tabu dalam masyarakat Gorontalo dalam

2013
TABU DALAM MASYARAKAT GORONTALO
(Taboo among Gorontalonese in Gorontalo Province)
M. Lukman Hakim
Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo
Jalan Beringin Nomor 664, Tomulabutao, Gorontalo
Pos-el: mlukman_gtlo@yahoo.com
Abstract
This paper tend to describe and analyze aspects of taboo among Gorontalonese either in the
form of speech/word and act. This study is expected to provide valuable contribution to
society, especially to the immigrant communities in Gorontalo province. The method used in
this paper is a qualitative descriptive analysis, while the sampling technique is specifically
suited to the purpose of the study (purposive sampling). Based on psychological motivation,
taboo appears on three conditions, namely taboo of fear, taboo of delicacy, and the taboo of
Propriety.
Key words: taboo, Gorontalonese
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tabu dalam masyarakat
Gorontalo baik dalam bentuk ucapan/perkataan dan perbuatan. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangsih yang berharga bagi masyarakat khususnya masyarakat
pendatang di daerah Provinsi Gorontalo. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah

kualitatif deskriptif analisis dengan teknik pengambilan sampel secara khusus sesuai dengan
tujuan penelitian (purposive sampling). Berdasarkan motivasi psikologis, tabu muncul
minimal karena tiga hal, yakni taboo of fear, taboo of delicacy, dan taboo of propriety.
Kata kunci: tabu, masyarakat Gorontalo.

1

1. PENDAHULUAN
Gorontalo adalah salah satu suku etnis di Sulawesi Utara yang mempunyai corak
budaya sendiri. Menurut Buruadi (2012) Masyarakat suku Gorontalo mayoritas adalah
pemeluk agama Islam. Agama Islam sangat kuat diyakini oleh masyarakat suku Gorontalo.
Beberapa tradisi adat suku Gorontalo tampaknya banyak mengandung unsur Islam. Dari
seluruh penduduk Gorontalo hanya sebagian kecil saja yang memeluk agama lain di luar
Islam. Kendati telah lama memeluk Islam, sisa-sisa corak keyakinan lokal masih sangat
terasa dari kepercayaan sebagaian kalangan terhadap mahluk-mahluk halus dan ritus-ritus
upacara yang berbau adat.
Dalam konsep Masyarakat suku Gorontalo, adat dipandang sebagai suatu kehormatan
(adab), norma, bahkan pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini dinisbatkan dalam
suatu ungkapan "Adat Bersendi Sara" dan "Sara Bersendi Kitabullah". Arti dari ungkapan ini
adalah bahwa adat dilaksanakan berdasarkan sara (aturan), sedangkan aturan ini harus

berdasarkan Al-Quran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sendi-sendi kehidupan
masyarakat Gorontalo adalah sangat religius dan penuh tatanan nilai-nilai yang luhur. (Humas
Pemda Gorontalo, 1999).
Dalam tataran masyarakat Gorontalo, aturan hukum maupun nasehat-nasehat yang
terkandung dalam adat dan budaya Gorontalo merupakan pakaian (bo’o) yang harus
dikenakan dan dimanifestasikan dalam kehidupan. Dengan demikian, warga Gorontalo adalah
warga yang taat hukum, aturan, adat dan budaya. Jadi, jika melanggar norma-norma yang
berlaku, itu artinya orang tersebut sama dengan orang yang tidak berpakaian dalam hidup ini
(Mobiliu, 2013).
Pada era yang serba modern ini terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam
masyarakat Gorontalo secara umum. Pemahaman tentang adat istiadat secara tidak langsung
sangat terasa dalam kehidupan masyarakat Gorontalo. Disamping itu, juga ditambah semakin
mudahnya mengakses informasi. Yang terjadi kemudian adalah nilai-nilai budaya yang
sebelumnya sangat mewarnai kehidupan dan tingkah laku masyarakat menjadi menipis dan
cenderung ditinggalkan oleh masyarakat Gorontalo.
Masyarakat yang dulunya begitu gigih memegang warisan budaya leluhur mulai
melupakan jati dirinya. Hal-hal yang dulunya dilarang dan ditabukan saat ini sudah dianggap
hal yang lumrah ditengah pergaulan dalam masyarakat sebagai konsekuensi kemajuan
teknologi dan informasi yang begitu pesat. Jarak bukan lagi sebagai penghalang dalam
kehidupan. Akibatnya informasi begitu mudah diterima tanpa dicerna sedemikian rupa.

2

Mengacu pada pendapat di atas, Fadel Muhammad dalam Mobiliu (2013) mengatakan
saat ini saja kita bisa menyaksikan, seseorang hanya duduk di suatu kursi sudah bisa melihat
dan berkomunikasi dengan orang di tempat yang paling jauh di luar dunia sana, teknologi
seakan telah mendekatkan jarak dan waktu. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah
melahirkan budaya baru dan memengaruhi tatanan budaya masyarakat.
Tabu atau larangan banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari pada
masyarakat Gorontalo. Tabu itu terdapat pada anak-anak, wanita hamil, tumbuh-tumbuhan,
binatang, mahluk halus, dan hunian. Hal tersebut masih sangat terasa dalam masyarakat
khususnya pada kalangan tua-tua. Sebaliknya, kawula muda menganggap tabu bukan lagi
sebagai sesuatu yang harus dihindari.
Penelitian tentang tabu khususnya dalam masyarakat Gorontalo masih sangat kurang
padahal, pada masyarakat Gorontalo hampir dalam setiap sendi kehidupannya terdapat halhal yang ditabukan baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, masalah pokok yang menjadi
sasaran penelitian adalah (1) bagaimana bentuk tabu dalam masyarakat Gorontalo baik dalam
bentuk perbuatan maupun dalam bentuk ucapan/ujaran (2) sanksi apa yang di berikan kepada
si pelanggar tabu (3) penjelasan logis (interpretasi) di balik tabu dalam masyarakat
Gorontalo.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk tabu dalam masyarakat

Gorontalo baik dalam bentuk perbuatan maupun dalam bentuk ucapan/ujaran; (2)
mendeskripsikan sangsi yang di berikan kepada si pelanggar tabu; (3) mendeskripsikan
penjelasan logis di balik tabu dalam masyarakat Gorontalo. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan secercah gambaran tentang hal-hal yang ditabukan dalam masyarakat
Gorontalo—sekaligus pemicu munculnya penelitian-penelitian serupa pada masa yang akan
datang. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rambu-rambu dalam bergaul dan berinteraksi
sehari-hari khususnya bagi pendatang di Gorontalo.
2. Kerangka Teori
Fromkin dan Rodman dalam Paul Ohoiwutun (2007: 94—95) menyatakan bahwa kata
“tabu” (taboo) diambil dari bahasa Tongan, yang merupakan rumpun bahasa Polynesia yang
diperkenalkan oleh Captain James Cook kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris dan
bahasa-bahasa Eropa lainnya yang artinya tindakan yang dilarang atau dihindari. Ketika
suatu tindakan dikatakan tabu, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan
tersebut juga dianggap tabu. Seseorang pada awalnya dilarang melakukan sesuatu kemudian
3

dilarang untuk berbicara mengenai apapun yang berhubungan dengan hal tersebut.
Tabu sebenarnya sama maknanya dengan larangan atau pantangan. Larangan tersebut
tidak memperbolehkan penutur mengucapkan atau melakukan hal yang dilarang tersebut
karena akan menimbulkan akibat tertentu sesuai dengan tabu yang dilanggar. Tabu atau

larangan ditemukan dalam setiap masyarakat, bahasa, tradisi, kebiasaan, tradisi lisan, sastra,
ritual, adat istiadat. Mattews (1997) menyatakan bahwa kata tabu adalah kata yang dihindari
penggunaannya dalam beberapa bentuk konteks ujaran karena alasan agama, adat yang pantas
dalam pergaulan, kesantunan, dan lain sebagainya. Kata itu biasanya digantikan oleh
ungkapan metafora, eufemisme, atau ungkapan figuratif lain di dalam bentuk ujaran. Ada
beberapa alasan hadirnya tabu dalam konteks sosial budaya, di antaranya kata yang
digunakan dan perbuatan yang dilakukan dinilai tidak sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1582) disebutkan bahwa tabu adalah hal
yg tidak boleh disentuh, diucapkan, dsb karena berkaitan dengan kekuatan supernatural yg
berbahaya (ada risiko kutukan); pantangan; larangan. Tabu atau pantangan adalah suatu
pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak
diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak
dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang
bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan
pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari
masyarakat sekitar.
Tabu dan makian berkaitan erat. Oleh karena itu, Ullman (dalam Wijana dan
Rohmadi, 2006:110—111) mengatakan bahwa dalam ilmu makna, makian berkaitan erat
dengan tabu (taboo) yang memiliki makna yang sangat luas, tetapi umumnya berarti ‘sesuatu

yang dilarang’ lebih lanjut dikatakan bahwa berdasarkan motivasi psikologis yang melatar
belakanginya, kata-kata tabu muncul sekurang-kurangnya karena tiga hal, yakni: adanya
sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan (taboo
of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas (taboo of propriety).
Pada zaman dahulu, sebelum masuknya Islam masyarakat Gorontalo mempunyai
kepercayaan animisme yang begitu kuat, malah kepercayaan ini masih diamalkan oleh
segelintir masyarakat. Oleh karena itu, tanpa disadari tabu memang telah lama wujud dalam
masyarakat Gorontalo.

4

3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk menjelaskan
jenis-jenis tabu dalam masyarakat Gorontalo baik dalam bentuk ucapan (makian) maupun
dalam bentuk perbuatan. Metode ini bertujuan menggambarkan apa adanya tentang sasaran
penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Pemilihan
metode itu dilakukan berdasarkan pandangan bahwa objek penelitian ini berhubungan erat
dengan tingkah laku dan kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo.

5


4. PEMBAHASAN
4.1 Sekilas tentang Masyarakat Gorontalo
Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan
merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado.
Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur
yaitu dari Ternate, Gorontalo, dan Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut
Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti
Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan
sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena
letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi bagian
utara. (Situs Resmi Kota Gorontalo, 2012)
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan
(linula) yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu
tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a".
Asal usul suku Gorontalo, tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari struktur fisiknya,
orang Gorontalo memiliki ras mongoloid. Hanya saja mungkin sejak beberapa abad yang
lalu telah terjadi percampuran ras dengan bangsa-bangsa lain, sehingga suku Gorontalo saat
ini memiliki postur fisik yang beragam. Warna kulit mulai dari kuning hingga ke coklat
gelap. Rambut juga bervariasi, dari rambut lurus, ikal dan keriting. Menurut perkiraan suku

Gorontalo dahulunya berasal dari daratan Indochina, kemungkinan dari daerah Burma atau
Filipina. Dilihat dari bahasa, bahasa Gorontalo memiliki keterkaitan dengan bahasa-bahasa
lain di pulau Sulawesi, seperti bahasa Minahasa, Bugis, Makasar, Toraja, dan juga dengan
bahasa-bahasa di Filipina.
Suku Gorontalo, berinteraksi menggunakan bahasa Gorontalo. Selain bahasa
Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain, yaitu: bahasa Suwawa, Bolango dan
Atinggola. Orang Gorontalo hampir seluruhnya beragama Islam. Islam masuk pada awal
abad ke-16. Akan tetapi, mereka masih memercayai makhluk-makhluk halus (motolohuta)
dan kekuatan gaib (hulobalangi). Sebagian beranggapan makam para orang sakti dahulu
adalah keramat. (Farha Daulima, 2008). Senada dengan pendapat di atas, Hasanuddin dan
Basri Amin (2012:23—26) menyatakan pada sekitar tahun 1520 dalam periode ini, terjadi
perubahan penting dalam kehidupan masyarakat Gorontalo setelah masuknya Islam dalam
kerajaan yang dipelopori oleh Raja Amai. Lebih lanjut dikatakan sebelum tahun tersebut di
atas, masyarakat menganut kepercayaa animisme yang kebiasaannya menyembah dewa yang
6

bersemayam di Gunung Tilongkabila-Toguwata, Malenggabila, dan Longgibila.
4.2 Tabu Dalam Masyarakat Gorontalo
4.2.1 Tabu dalam Bentuk Ucapan
Tabu dalam bentuk ucapan berkaitan dengan (1) kesopanan (propriety) seks, bagianbagian tubuh tertentu dan fungsinya, serta beberapa kata makian yang semuanya tidak pantas

atau tidak santun untuk diungkapkan; (2) kehalusan (delicacy). Terdapat beberapa kata tabu
dalam bahasa Gorontalo yang perlu kita renungkan dan kaji sebelum terlanjur digunakan.
Masyarakat Gorontalo, kaya dengan adat dan budaya Timur yang menjadi pegangan
sejak dahulu. Adat, adab, dan budaya telah menjadi pedoman hidup. Kebersamaan dalam
masyarakat inilah yang menyebabkan hadirnya peraturan-peraturan tertentu yang berunsur
tabu yang menjadi suatu pegangan oleh seluruh anggota masyarakat agar adat, adab, dan
budaya yang dijunjung itu terjaga. Tabu merupakan suatu strategi kesantunan yang
melibatkan aspek kebahasaan supaya kesopanan, adat, dan adab yang dijunjung dalam
masyarakat Gorontalo itu dapat dipatuhi bersama oleh setiap anggota masyarakat. Aspek
kesantunan yang berunsur tabu ini merangkumi perkataan-perkataan dan perbuatan tertentu
dalam bahasa Gorontalo yang tidak boleh sewenang-wenang diucapkan atau dilakukan dalam
situasi tertentu.
Menurut Ajib Rosidi, Pikiran Rakyat, Sabtu 15 Oktober 2011, hal. 30) dalam setiap
bahasa terdapat kata-kata makian, yaitu kata-kata yang digunakan orang ketika marah atau
ketika mau menghina orang lain. Kata-kata makian jarang atau tidak pernah ditemui dalam
buku-buku pelajaran bahasa. Tetapi, mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat. katakata yang biasa digunakan untuk memaki dalam berbagai bahasa diambil dari kata-kata yang
terdapat dalam enam golongan yaitu: yang bertalian dengan agama atau kepercayaan, yang
bertalian dengan kelamin, yang berkaitan dengan nama bagian tubuh, yang berkaitan dengan
fungsi bagian tubuh, kata-kata yang merupakan sinonim kata “bodoh”, dan nama-nama
binatang.

4.2.2 Hutu, Tele’, Pundingo dan Kodo’
Dalam masyarakat Gorontalo, kata Hutu bermakna alat kelamin pria. Tele (melayu
Manado), kodo, dan pundingo semuanya berkonotasi tentang alat kelamin wanita. Tele dan
pundingo dianggap paling kasar dan tidak sopan diucapkan karena memang berarti alat
kelamin dalam arti yang sesungguhnya. Kodo’ bukan berasal dari bahasa Gorontalo
melainkan plesetan kodok atau katak dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk

7

menggambarkan seorang wanita yang memakai pakaian yang sangat ketat sehingga
kemaluannya terbayang jelas dibalik pakaiannya.
Semua kata di atas tidak mengandung unsur kesopanan sama sekali ketika diucapkan
kepada lawan bicara. Orang yang menggunakan makian tersebut dianggap sebagai orang
yang kurang ajar dan tidak tahu tatakrama. Oleh karena itu, hutu, tele dan pundingo
sebaiknya jangan digunakan dan diganti dengan kata haku yang dianggap lebih halus dan
lebih sopan. Haku dalam bahasa Gorontalo bermakna milikku.
4.2.3 Mohule dan Hulelilolo
Kedekatan geografis dan kedekatan emosional antara Kota Manado dan Provinsi
Gorontalo tidak dapat dipungkiri turut memengaruhi bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Gorontalo. Di samping itu, Provinsi Gorontalo dulunya merupakan kabupaten yang diatasi

oleh Provinsi Sulawesi Utara, sehingga tidak jarang dijumpai kata-kata atau makian yang
berasal dari Sulewesi Utara (Manado) juga digunakan oleh masyarakat Gorontalo. Hulelilo,
memiliki arti yang mirip dengan makian yang sering kita dengar di Sulawesi Utara yaitu cuki
mai. Ujaran itu merupakan makian yang berasal daerah kawasan timur daerah ini tepatnya
dari Manado yang berarti “gauli ibumu”. Kata ini sangat kasar dan berpotensi menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Sementara itu, kata Hulelilo dalam bahasa Gorontalo berarti
bersetubuh. Bersetubuh di sini bukan hanya ditujukan kepada orang yang dimaki. Akan
tetapi, kata tersebut juga bisa dimaknai sebagai menyetubuhi orang tua. Oleh karena itu,
Untuk memperhalus biasanya diganti dengan kata “berhubungan”. Kedua kata tersebut
sebaiknya dihindari penggunaannya dalam masyarakat kecuali si pengguna siap dengan
akibat dari kata-kata tersebut.
4.2.4 Tahede dan Polombuo’o
Saat ini di Gorontalo, orang dewasa, remaja, dan anak-anak sekalipun sudah akrab
dengan istilah tahede. Saat emosi, jengkel, dan marah kepada seseorang, kata-kata ini sering
terlontar begitu saja tanpa merasa bersalah dan takut. Selanjutnya, di kalangan anak-anak
remaja, tahede dijadikan sebagai bahan gurauan dan candaan. Anehnya, hal itu dianggap
biasa-biasa saja.
Tahede termasuk makian atau sumpahan yang tabu diucapkan sembarangan. Di
kalangan orang tua zaman dulu, siapa yang mengucapkan dan berani melontarkan kata-kata
ini dikategorikan sebagai orang yang ‘kurang ajar’ yang dalam bahasa Gorontalo disebut
tawu bangganga.
8

Tahede dalam kepercayaan masyarakat Gorontalo adalah nama setan atau mahluk
halus, atau makhluk siluman yang bertubuh tinggi dan besar yang sangat ditakuti karena
manusia saja sebatas lututnya saja jika berdiri. Makian atau sumpahan tahede ini muncul dan
sering dilontarkan saat seseorang marah besar kepada seseorang yang lain agar setan tahede
itu datang mencengkeram leher orang yang dimarahinya atau orang yang dianggapnya musuh
hingga mati. Polombuo’o dalam bahasa Gorontalo berarti makian yang maknanya memanggil
setan sekaligus bermakna sebagai nama setan. Makian ini sangat ditabukan dalam masyarakat
Gorontalo karena dianggap memanggil setan sehingga dapat mendatangkan hal-hal yang
tidak diinginkan. Orang Gorontalo yang mendengar makian ini akan serta-merta melarang si
pengguna untuk tidak menggunakan makian di atas.
4.2.5 Apula
Apula berarti anjing dalam bahasa Gorontalo. Makian ini juga digunakan oleh
masyarakat di luar Gorontalo. Jenis makian ini tidak berterima karena sebagaian besar
masyarakat Gorontalo memeluk agama Islam yang mengharamkan jenis binatang ini bahkan
menganggapnya sebagai najis. Makian ini digunakan kepada seseorang yang dianggap
memiliki sifat seperti anjing yang diharamkan dalam agama. Dalam Masyarakat Gorontalo,
selain anjing masih terdapat makian-makian yang acuannya berupa binatang yaitu: olobu
(kerbau), kadal (tendelenga), dan batade (kambing). Ketiga contoh terakhir tidak terlalu
ditabukan dalam masyarakat Gorontalo. Biasanya makian itu digunakan oleh anak yang
seumuran ketika mereka bermain atau bercanda.
4.2.6 Huangango
Huangango dalam bahasa Gorontalo berarti lobang mulut. Makian ini biasanya
digunakan kepada orang yang banyak bicara, mau menang sendiri, dan ucapannya tidak dapat
dipercaya. Makian ini tidak terlalu ditabukan namun tetap saja dianggap kasar dan dapat
menyinggung perasaan orang yang diajak bicara (jika tidak dilandasi unsur keakraban).
4.2.7 Telelilamu dan Punthingilamu
Pada dasarnya aspek kesopanan dan kehalusan berbahasa lebih tertumpu pada tutur
kata atau percakapan. Biasanya, masyarakat Gorontalo senantiasa berhati-hati ketika bertutur
dengan orang lain agar tutur kata atau percakapan tersebut tidak menyakiti orang lain.
Telelilamu dalam bahasa Gorontalo berarti kelamin orang tuamu. Kata ini merupakan satu di
antara sekian banyak makian yang sangat ditabukan dalam masyarakat Gorontalo dan sangat
9

kasar. Kata ini menjadi tabu karana konotasinya yang tidak sopan dan sangat berbahaya
diucapkan. Makian ini sangat merendahkan derajat seseorang serta berpotensi mengubah
emosi seseorang ketika mendengar makian ini. Orang yang dimaki dengan makian ini rela
menghunus pedang dan mempertaruhkan nyawanya. Masyarakat Gorontalo mungkin masih
dapat memaklumi jika yang dimaki adalah diri pribadi. Akan tetapi, menjadi lain apabila
orang tua yang dijadikan sasaran makian. Oleh karena itu, sebaiknya jangan menggunakan
makian ini jika tidak mau menanggung resikonya. Punthingilamu yang berarti biji kemaluan
ibumu. Makian ini juga sangat kasar seperti telelilamu yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua jenis makian ini sangat berpotensi menimbulkan konflik tanpa adanya unsur
keakraban. Jadi, orang yang menjadi sasaran perkataan punthingilamu akan menjadi begitu
berang sehingga mungkin segera menghunus parang/pedang dan terjadilah perkelahian yang
dapat berakhir dengan kematian.
4.2.8 Hulodu, Bata’o, Talodu, Biyongo, Polodu, Huange’e dan Huakede
Dalam bahasa Gorontalo, huladu, bata’o dan talodu masing-masing bermakna bodoh,
tolol dan bodoh sekali. Makian ini biasanya digunakan kepada seseorang yang dianggap
kurang memahami sesuatu walaupun telah dijelaskan berkali-kali. Kata-kata ini juga
dianggap kasar dan tidak memiliki kesopanan ketika digunakan kepada lawan bicara.
Biyongo dan polodu dalam bahasa Gorontalo berarti gila dan sinting-sinting. Kata-kata ini
biasanya digunakan dalam suasana yang santai untuk menggambarkan keterkejutan,
ketidaksukaan atau untuk menimpali seseorang yang berbicara yang tidak jelas dan
cenderung tidak searah dengan pembicaraan yang sedang dibicarakan. Huange’e dalam
bahasa Gorontalo berarti bau ketiak. Kata ini juga termasuk makian yang sering digunakan
oleh kawula muda di Gorontalo. Kata huange’e lebih berterima dibanding kata kalumba,
polombuo’o, telelilamu, tahede karena nilai negatifnya yang relatif rendah.
4.2.9 Polosupo, HuangoTutubu, Tinggolopu, Pondulomu, Molotabe, dan Huango Wulingo
Selain makian-makian yang dianggap sangat kasar di atas, ada beberapa makian lain
yang dianggap tidak terlalu kasar, seperti: huango wulingo (lubang hidung), huango tutubu
(lubang pantat), tinggolopu (kurus kerempeng, jorok), polode’o (tukang kentut), pondulomu
(mata pete, picin), molotabe atau polosupo (ingkar janji).
4.2.10 Penyebutan Tempat Keramat
Latar belakang dan kepercayaan masyarakat Gorontalo sebelum masuknya Islam
10

secara tidak langsung turut memengaruhi cara berpikir dan sudut pandang mereka terhadap
makhluk halus atau tempat tempat yang berhubungan dengan makhluk halus. Masyarakat
Gorontalo, sangat berhati-hati ketika melakukan atau mengucapkan sesuatu yang
berhubungan dengan makhluk halus.
Perkataan dan perbuatan tertentu sangat mereka tabukan. Penyebutan langsung nama
tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Gorontalo merupakan salah satu kata yang sangat
ditabukan. Oleh karena itu, untuk menyampaikan makna yang terkandung dalam kata atau
ungkapan yang dilarang itu, maka perkataan atau tutur kata yang lain perlu dicari padanannya
agar dapat menggantikan perkataan yang ditabukan tersebut.
Tujuan pergantian perkataan tersebut agar perkataan yang diganti itu lebih halus atau
lebih berterima apabila dipertuturkan. Pohulata adalah kata yang digunakan untuk
menggantikan nama tempat yang ditabukan atau dianggap keramat serta dapat mendatangkan
sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa Gorontalo, Pohulata berarti makhluk halus,
dan penunggu tempat yang dikeramatkan. Ujaran ini lebih lazim digunakan ketika ada orang
yang bertanya tentang nama tempat yang dikeramatkan.
4.2.11 Nama Orang Yang Dituakan
Masyarakat Gorontalo seperti halnya sebagian besar masyarakat yang berada di luar
Gorontalo meyakini bahwa penyebutan nama orang-orang yang dituakan, atau yang
dihormati dalam masyarakat sangat ditabukan. Dalam keseharian masyarakat Gorontalo
khususnya pendatang sangat sulit mengetahui nama asli seseorang.
Seorang kepala desa misalnya lazim dipanggil “ayahanda” istrinya disebut “ibunda”
yang biasanya diikuti oleh nama tempat atau tempat ia bertugas. Nama anak pertama dan
anak kedua sangat berperan dalam penyebutan nama seseorang dalam masyarakat Gorontalo.
Orang yang bernama Ismail Rahim dan berpropesi sebagai kepala desa tidak lazim dipanggil
dengan nama aslinya. Biasanya dalam penyebutannya disematkan nama anak misalnya papa
Mega atau papa Iki.
4.2.12 Kalumbaa
Ketakutan terhadap sesuatu atau makhluk adikodrati (supernatural) menimbulkan tabu
untuk menyebut namanya dalam masyarakat. Kalumba, makhluk halus paling ditakuti oleh
masyarakat Gorontalo. Kalumba dalam bahasa Gorontalo adalah sejenis setan/makhluk jadijadian yang biasa dipelihara oleh orang-orang tertentu dan untuk kepentingan tertentu yang
bersifat negatif. Selain itu, makhluk ini bisa dijadikan penangkal ilmu hitam jika ada orang
11

yang berniat jahat. Kalumba juga berfungsi sebagai sarana untuk menyakiti orang-orang yang
tidak disenangi oleh si pemilik kalumba.
Wujud Kalumba, diyakini berbentuk kambing dengan kaki menghadap ke atas dengan
kepala dan lidah menjulur ke bawah. Kalumba dapat mengakibatkan kematian seseorang jika
disentuh dan dilihat secara langsung. Masyarakat Gorontalo sangat menabukan kata itu dan
mereka lebih nyaman menggunakan kata ‘bibiahu’ yang berarti peliharaan. Oleh karena itu,
masyarakat

sedapat mungkin menghindari penyebutannya karena dapat mendatangkan

petaka (kematian).
4.3 Tabu dalam Bentuk Perbuatan
Dalam masyarakat Gorontalo, tabu selain dalam bentuk ucapan, tabu juga dapat kita
temukan dalam bentuk perbuatan. Dalam bentuk perbuatan, tabu biasanya berhubungan
dengan warna-warna tertentu, tumbuh-tumbuhan, wanita hamil, makanan, aktivitas pada
malam hari, dan anak-anak.
4.3.1 Memakai Pakaian Yang Berwarna Cerah
Masyarakat Gorontalo, walaupun mayoritas beragama Islam namun dalam kehidupan
sehari-hari masih memercayai hal-hal yang berbau mistis. Hal itu wajar mengingat sebelum
masuknya Islam di Gorontalo pada tahun 1520 atau awal abad 16 melalui Ternate,
masyarakat pada saat itu menganut kepercayaan animisme. Masyarakat Gorontalo, yakin
bahwa ada warna-warna (pakaian) tertentu yang mengandung kekuatan magis yang harus
diperhatikan ketika hendak digunakan. Mereka menabukan/melarang menggunakan pakaian
berwarna merah setelah turun hujan. Orang yang melanggar tabu ini akan kerasukan setan.
Warna merah menurut masyarakat Gorontalo adalah warna kesukaan makhluk halus (setan).
4.3.2 Biru Muda
Dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, orang yang berduka harus dihargai dan
dijaga hatinya tidak luluh. Oleh sebab itu, apabila terjadi kedukaan—tetangga yang berada di
sekitar rumah hendaknya turut merasakan kedukaaan tersebut (bersimpati). Masyarakat
Gorontalo mementingkan kerukunan dan rasa senasib sepenanggungan. Lebih dari itu,
berbusana pun disesuaikan ketika hendak menghadiri acara kedukaan. Oleh karena itu, orang
yang diundang pada acara kedukaan harus mengetahui hal-hal yang ditabukan khususnya
yang berhubungan dengan warna pakaian. Di Gorontalo, hari pertama sampai hari ke-39
(upacara kematian), undangan diwajibkan memakai pakaian berwarna putih atau pakaian
12

berwarna lain selain warna merah terang.
Sementara itu, hari ke-40 kematian—hadirin atau undangan harus memakai pakaian
warna biru langit. Dalam bahasa Gorontalo warna (pakaian) biru langit disebut “wobulo”.
Makna obulo adalah pertanda bahwa rasa duka keluarga sudah mulai menghilang. Seseorang
yang datang dengan pakaian yang menyolok dianggap menghina keluarga yang berduka.
4.3.3 Bongo mopa, Pepaya, dan Bu’alo
Kelapa hibrida atau dalam bahasa Gorontalo disebut ‘bongo mopa’ merupakan salah
satu tanaman yang ditabukan ditanam di depan rumah. Kepercayaan ini mengacu pada bentuk
fisik pohon kelapa hibrida tersebut yang mungil, pendek dan buah yang kecil. Masyarakat
Gorontalo meyakini jika menanam jenis pohon ini dapat mendatangkan hal-hal yang tidak
diinginkan misalnya: umur, rejeki dan sebagainya juga pendek. Seperti hanya kelapa hibrida
di atas, pepaya juga sangat ditabukan ditanam di depan rumah.
Penabuan jenis tanaman ini merujuk pada penamaan pepaya itu sendiri yang berarti
payah. Dalam KBBI payah berarti lelah, penat, sukar, susah, dan sangat atau berat (tentang
sakit) kemudian ditambah partikel (pe) yang diadopsi dari bahasa melayu Manado yang
berarti “milik atau sangat” sehingga masyarakat Gorontalo meyakini orang yang menanam
pohon papaya dengan sengaja di depan rumahnya maka segala sesuatunya akan payah, sukar,
susah, dan sangat atau berat dalam segala hal.
Pohon bu’alo adalah sejenis tumbuhan perdu yang biasanya tumbuh subur di pinggir
sungai, daunnya lebar, buahnya kecil-keci dan akan terbelah jika sudah matang. Orang
Gorontalo melarang menanam pohon ini. Pohon bu’alo yang tumbuh dengan sendirinya di
sekitar rumah sebaiknya dipangkas atau ditebang. Jika hal tersebut dilanggar, mereka
meyakini hubungan dalam keluarga tidak berlangsung lama atau akan tercerai-berai seperti
bentuk buah tersebut ketika matang. Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Gorontalo,
tumbuhan ini identik dengan mistis dan guna-guna (bilao). Mereka juga meyakini jika ingin
memetik bunga atau daun dari tumbuhan ini sebaiknya dilakukan pada senja hari dan jangan
melakukan pada saat yang lain. Tumbuhan ini sangat ampuh digunakan untuk hal-hal yang
bersifat negatif atau ilmu hitam.
4.3.4

Nenas dan Mangga Kuini
Nenas dan mangga kuini merupakan dua jenis buah yang ditabukan dikonsumsi oleh

wanita hamil dalam masyarakat Gorontalo. Nenas dilarang dikonsumsi karena kulitnya yang
bersisik-sisik. Sehingga, wanita hamil sangat tabu memakan buah ini. Masyarakat meyakini
13

melanggar tabu atau pantangan ini dapat berakibat langsung pada janin yang dikandungnya.
Anak yang akan dilahirkan nanti akan bersisik seperti buah nenas. Sedangkan, Mangga kuini
(manga macan) mengakibatkan anak yang dilahirkan mengeluarkan liur (terus menerus) dari
mulutnya.
4.3.5

Keluar pada Malam Hari
Menurut kepercayaan masyarakat Gorontalo, wanita hamil sangat ditabukan keluar

rumah khususnya pada malam hari. Mereka meyakini bahwa wanita yang hamil—itu
beraroma harum dalam penciuman setan. Oleh karena itu, wanita hamil yang keluar malam
karena alasan yang sangat penting diharuskan membawa paku atau peniti yang diselipkan
disela-sela rambutnya. Kedua benda tersebut diyakini bisa menangkal hal-hal yang tidak
diinginkan khususnya yang berhubungan dengan makhluk halus.
Larangan ini jika dilanggar diyakini bisa berakibat fatal kepada si jabang bayi.
Mereka meyakini, hilang dan meninggalnya bayi dalam kandungan karena melanggar
larangan ini. Di samping itu, masyarakat Gorontalo juga menabukan orang hamil membunuh
binatang. Mereka meyakini anak yang dikandung bisa mati dalam kandungan atau meninggal
pada saat dilahirkan. Larangan ini sangat kuat dalam masyarakat Gorontalo karena keyakinan
tentang akibat yang dapat ditimbulkan jika melanggar tabu ini.
4.3.6 Nasi Kuning dan Telur
Di Gorontalo, nasi kuning termasuk beberapa jenis makanan yang ditabukan dalam
situasi tertentu. Nasi kuning dan telur (yang masih utuh) dalam budaya masyarakat Gorontalo
merupakan makanan wajib pada ritual keagamaan dan kematian. Menurut keyakinan mereka,
nasi kuning dan telur adalah makanan kesukaan setan. Oleh karena itu, makanan ini selalu
hadir dalam ritual kematian.
Menurut kepercayaan mereka, makanan ini sangat ditabukan jika dikonsumsi di
dalam kamar. Mereka yakin memakan makanan tersebut di dalam kamar sama halnya dengan
mengundang setan masuk dan bersemayam di dalam kamar. Selain itu, di tempat-tempat yang
dikeramatkan, makanan ini sangat ditabukan dibawa apalagi dimakan di tempat tersebut.
mereka yakin, jika hal itu dilakukan, si pelanggar bisa terkena penyakit yang diakibatkan
oleh makhluk halus (setan).
4.3.7 Ampas Kelapa (popato lo bongo)
Dalam keseharian masyarakat Gorontalo, ampas kelapa atau dalam bahasa Gorontalo
14

popato lo bongo merupakan barang sisa yang harus diperlakukan dengan hati-hati. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumya, kalumba merupakan perwujudan makhluk halus yang
paling ditakuti dan masyarakat Gorontalo. Mereka meyakini ampas kelapa merupakan
makanan kesukaan kalumba. Oleh karena itu, popato lo bongo atau ampas kelapa sangat
dilarang atau ditabukan dibuang pada sore hari karena itu sama saja mengundang kalumba
yang sangat ditakuti datang ke rumah kita.
4.3.8 Panci (ulongo)
Panci atau ulongo dalam bahasa Gorontalo juga tak lepas dari unsur tabu. Panci atau
ulongo yang digunakan untuk memasak makanan bayi sangat tabu digunakan memasak
terutama untuk memasak telur. Jika melanggar, mereka menganggap sang bayi akan sakitsakitan, rewel bahkan bisa sampai meninggal dunia. Secara rasional, panci untuk memasak
makanan bayi seharusnya hanya untuk memasak makanan bayi bukan untuk yang lain apalagi
digunakan untuk memasak telur yang memiliki bakteri.
4.3.9 Membeli Silet, Jarum, Minyak Tanah, dan Garam
Aktivitas jual beli ternyata juga memiliki tabu atau larangan jika dilakukan pada
malam hari. Masyarakat Gorontalo menabukan membeli silet, jarum, garam, dan minyak
tanah pada malam hari. Mereka meyakini silet yang dibeli pada malam hari sama halnya
membiarkan diri kita diikuti oleh setan. Selain itu, membeli jarum pada malam hari diyakini
dapat memancing setan untuk mencari darah. Minyak tanah diyakini bisa mendatangkan sial
(pada penjual) jika dibeli pada malam hari. Seiring dengan perkembangan jaman hal yang
ditabukan sudah mulai ditinggalkan. Tabu atau larangan membeli minyak tanah pada malam
hari saat ini tidak terlalu dipersoalkan lagi dalam masyarakat. Akan tetapi, seseorang yang
mau membeli minyak tanah pada malam hari tidak boleh menyebut “minyak tanah”
sebaiknya menggunakan “mau membeli air atau langsung menunjuk benda yang akan dibeli.
4.3.10 Menjahit, Menggunting Kuku dan Menggunting Rambut
Menjahit, menggunting kuku, dan menggunting rambut pada malam hari sangat
ditabukan dalam masyarakat Gorontalo. Pada dasarnya, hampir seluruh suku di Indonesia
menabukan hal tersebut. Hal ini dapat dipahami karena jaman dahulu ketika penerangan
belum memadai menjahit pada malam hari merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan. Oleh
karena itu, hal ini dilarang dengan konsekwensi jangan sampai tangan juga ikut terjahit.
Menggunting rambut dan memotong kuku juga ditabukan dalam masyarakat Gorontalo.
15

Masyarakat Gorontalo meyakini menggunting rambut dan menggunting kuku pada malam
hari berakibat si pelanggar pendek umur. Tabu ini masih diyakini hingga sekarang walaupun
sudah mulai ditinggalkan khususnya oleh generasi sekarang.
4.3.11 Duduk Diatas Buah Kelapa
Kelapa atau dalam bahasa Gorontalo disebut bongo, merupakan salah satu komoditi
yang sangat melimpah di Gorontalo selain jagung (binde). Umumnya, masyarakat Gorontalo
setelah panen buah kelapa, buah kelapa hanya dibiarkan tersebar atau ditumpuk di belakang
rumah sekaligus menunggu buah kelapa kering. Kondisi inilah yang memberikan peluang
khususnya anak-anak untuk bermain di atas buah kelapa tersebut.
Di Gorontalo, anak-anak dilarang atau ditabukan bermain di atas buah kelapa.
Menurut kepercayaan jika hal tersebut dilakukan mengakibatkan orang tua si pelaku
meninggal. Tentu saja, hal ini tidak sepenuhnya betul. Larangan ini muncul sebagai langkah
antisipasi kepada si anak untuk terus waspada meskipun orang tuanya tidak ada. Umumnya,
anak-anak serta merta menghindari larangan jika akibat dari larangan itu berakibat ke orang
tuanya (meninggal).

16

5. Simpulan
Pada dasarnya, tabu atau larangan dalam masyarakat Gorontalo disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: kesopanan, wanita hamil, anak-anak, dan aktivitas pada malam
hari. Anehnya, hampir semua tabu yang diyakini berkaitan dengan makhluk halus. Hal ini
telah terpatri secara turun-temurun, tanpa ada keberanian untuk mengkaji dan menganalisa
hal-hal dibalik penabuan atau pelarangan tersebut. Kepercayaan terhadap sesuatu tanpa
dilandasi dengan pengetahuan yang memadai akan membatasi ruang dan gerak seseorang.
Masyarakat takut dan terbebani melakukan sesuatu yang sifatnya tabu sehingga kreativitas
menjadi sesuatu hal yang sulit karena selalu dihantui dengan perasaan takut. Semestinya,
masyarakat Gorontalo harus mengetahui dan memahami mengapa sesuatu menjadi tabu
dalam masyarakat. Tabu selayaknya bukan menjadi penghalang. Akan tetapi, tabu bisa
menjadi sesuatu yang lebih pleksibel dan berterima khususnya pada zaman modern ini. Di
samping itu, pengetahuan tentang sejarah sangat diperlukan untuk memahami penabuan atau
pelarangan sesuatu dalam masyarakat.

17

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Basri. 2012. Memori Gorontalo, Teritori, Transisi, dan Tradisi. Yogyakarta: Ombak
Apriyanto, Joni. 2012. Sejarah Gorontalo Modern. Yogyakarta: Ombak.
Buruadi, Karmin. 2012. Me’raji. Gorontalo: Ideas Publishing.
Daulima, Farha. 2008. Tata Cara Adat Pemakaman di Daerah Gorontalo. Gorontalo: Galeri
Budaya Daerah Mbu’I Bungale.
Endaswara, Suwardi. 2013. Folklor Nusantara, Hakikat, Bentuk, dan fungsi. Yogyakarta:
Ombak.
Hasanuddin, Basri Amin. 2012. Gorontalo dalam Dinamika Masa Kolonial. Yogyakarta:
Ombak
Humas Pemda Gorontalo. 1999. Sejarah Gorontalo dan Adat Istiadatnya.
Jenks, Chris. 2013. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mobiliu, Ali. 2013. Motoyunuto. Gorontalo: Ideas Publishing.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik. Bekasi: Kesaint Blanc.
Situs

Resmi

Kota

Gorontalo.

2012.

Sejarah

Gorontalo.

Online,

(http://www.gorontalokota.go.id/index.php/kilas-kota-gorontalo/sejarah
gorontalo.html) diunduh tanggal 26 Agustus 2013
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

18