Keterangan Saksi Yang Tidak Hadir Dalam

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam proses peradilan, pembuktian adalah tahapan yang sangat penting untuk
dilakukan. Seorang hakim tidak mungkin dapat untuk menjatuhkan putusan kepada
terdakwa tanpa adanya proses pembuktian. Berdasarkan Pasal 183 KUHP, seorang hakim
tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tanpa adanya dua alat bukti yang
sah.1 Berikut adalah alat bukti yang diatur di dalam Pasal 184 KUHP, yaitu:2
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Alat Bukti Surat; dan
d. Alat Bukti Petunjuk.
Keterangan saksi sebagai fokus dari analisis laporan ini adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengertahuannya itu.3 Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan
yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.4
Saksi terbagi atas saksi yang memberatkan terdakwa (a charge) dan saksi yang
meringankan terdakwa (a de charge).5 Pemeriksaan keterangan saksi yang menjadi
fokus dalam analisis laporan ini adalah saksi a charge. Di dalam persidangan dalam
tahap pembuktian yang ideal, saksi a charge hadir dengan sebelumnya telah dipanggil
oleh penuntut umum setelah mendapat izin dari majelis hakim. Setelah itu, saksi akan

dibawa masuk oleh petugas untuk dihadirkan di persidangan.
Di dalam laporan pengamatan ini, penulis akan menganalisis mengenai
pengamatan yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Bogor pada hari Selasa, tanggal
28 April 2015. Pengadilan pada hari itu adalah tahap Pembuktian sidang dengan nomor
perkara 73/PID.Sus/2015/PN.Bgr. Laporan pengamatan dari persidangan perkara ini
1 Indonesia (a), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981,
TLN No. 3258, Ps. 183.
2 Ibid., Ps. 184.
3 Ibid., Pasal 1 angka 27.
4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 239.
5 Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana : Proses Persidangan Perkara Pidana, (Bekasi: PT. Galaxi
Puspa Mega, 2002), hlm. 19.

1

berjudul “Keterangan Saksi Yang Tidak Hadir Dalam Persidangan: Pengamatan di
Pengadilan Negeri Bogor”.
B. Kasus Posisi
1. Identitas Terdakwa
Terdakwa dalam kasus ini adalah RICKY SANJAYA yang beralamat di Desa

Kencana RT. 02/02 Kelurahan Kencana Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
Dalam perkara ini, terdakwa tidak diwakili oleh penasihat hukum.
2. Dakwaan
Bahwa Terdawa dengan sengaja dan tanpa hak, mendistribusikan dan/atau
menstramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi eletronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman yang
diancam dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transasi Elektronika. Terdakwa didakwa
demikian dikarenakan melakukan perbuatan berupa mengirimkan pesan singkat
kepada Lela Khotimatul Kholilah (+6283877190619), Asisten Manager Pemasaran
Radar Bogor yang nomornya tertera dalam koran Radar Bogor. Pesan singkat
tersebut kurang lebih berisikan ancaman bom yang akan diledakkan di Botani
Square, Bogor Trade Mall, dan Stasiun Bogor pada natal dan tahun baru. Terdakwa
mengaku merupakan jaringan ISIS basis Bogor.
3. Persidangan
Persidangan yang dihadiri penulis adalah pada tahap pembuktian yaitu pemeriksaan
keterangan saksi. Pada persidangan hari Selasa, tanggal 28 April 2015, pada pukul
13.26, saksi yaitu bernama Mito merupakan wartawan dari Radar Bogor yang
dalam perkembangan kasus ini menjadi pihak yang memeriksa kebenaran peristiwa
kepada pihak Kepolisian Bogor, yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak

dapat hadir di persidangan. Sehingga, Jaksa Penuntut Umum meminta izin kepada
Majelis Hakim untuk dapat membacakan berita acara pemeriksaannya saja dan
diizinkan oleh Hakim. Selanjutnya, pemeriksaan saksi yang tidak hadir ini
dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi tambahan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Sedangkan Terdakwa, tidak mengajukan saksi yang ditujukan untuk

2

meringankannya. Sehingga, pemeriksaan berlanjut pada pemeriksaan Terdakwa.
Selama persidangan, juga terlihat bahwa salah satu hakim anggota dari majelis
hakim sempat tertidur.
II. LANDASAN TEORI DAN YURIDIS
Berdasarkan Pasal 1 Angka 26 KUHAP, yang dimaksud dengan saksi adalah setiap
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. 6
Secara umum, hal yang sangat diperlukan dalam pembuktian adalah mendengar keterangan
saksi karena saksi adalah saksi hidup dari peristiwa pidana tersebut. Keterangan saksi sebagai
alat bukti merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. 7 Jarang sekali
sebuah pembuktian kasus pidana dilakukan tanpa mendengarkan keterangan saksi. Karena
pada dasarnya, dalam membuat surat dakwaan pun Jaksa Penuntut Umum memerlukan faktafakta yang biasanya didapatkan oleh saksi, selain didapatkan dari Terdakwa dan Korban.

Selain mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri, terdapat syarat lain
untuk menjadi seorang saksi. Seorang saksi tidak dapat didengarkan keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi apabila:8
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke
ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anakanak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersama-sama sebagai
terdakwa.
Disamping itu, apabila saksi karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi, dalam hal yang dipercayakan kepada mereka.

6 Indonesia (a), Op.cit., Psl. 1 Angka 24.
7 Yahya Harahap, Op.cit., hlm.286.
8 Indonesia (a), Op.cit., Psl. 168.

3

Di dalam KUHAP, diatur mengenai tata cara pemeriksaan saksi, dengan penjabaran

sebagai berikut:9
-

Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang demi menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengarkan pendapat
umum, terdakwa atau penasihat hukum (diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a
KUHAP).

-

Saksi yang lebih dulu diperiksa adalah korban yang menjadi saksi (diatur dalam Pasal
160 ayat (1) huruf b KUHAP).

-

Hakim ketua sidang menyatakan identitas saksi tentang nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan,
dan apakah kenal dengan terdakwa sebelumnya dan kembali mengkonfirmasi status
saksi apakah ada hubungan keluarga sedarah, semenda sampai derajat keberapa dengan
terdakwa, ataupun saksi suami atau isteri dari terdakwa meskipun sudah bercerai atau

terikat hubungan kerja dengan terdakwa (diatur dalam Pasal 160 ayat (2) KUHAP).

-

Sebelum memberikan keterangan di persidangan, seorang saksi harus disumpah menurut
agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan dengan sebenarbenarnnya (diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP).

-

Hakim dapat meminta kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk
mendapatkan kebenaran. Penuntut umum, penasihat hukum dan terdakwa diberikan
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dengan perantara hakim ketua sidang (diatur
dalam Pasal 165 ayat (1) dan (2) serta Pasal 164 ayat (2) KUHAP).

-

Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(diatur dalam Pasal 164 ayat (1) KUHAP).


-

Setelah saksi memberikan keterangannya, saksi tetap berada di persidangan kecuali
diizinkan untuk meninggalkan ruang sidang oleh hakim. Para saksi dalam persidangan
dilarang saling bercakap-cakap (diatur dalam Pasal 167 KUHAP).
Ditinjau dari segi kekuatan pembuktian atau ”the degree of evidence”, keterangan

saksi harus memiliki beberapa hal agar mempunyai nilai kekuatan, yaitu:10
9 Indonesia (a), Op.cit., Psl. 160-167.

4

a. Harus mengucapkan sumpah atau janji (diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP)
Sumpah atau janji ini dilakukan menurut cara agamanya masing-masing. Lafal sumpah
atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan
tiada lain daripada sebenarnya. Apabila saksi menolak untuk memberikan sumpah maka
akan disandera sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 161 KUHAP. Berdasarkan Pasal
171 KUHAP, yang diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin serta orang sakit
ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

b. Yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri, ia alami sendiri, dan menyebut alasan dari
pengetahuannya (diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP juncto Pasal 185 ayat (1)
KUHAP)
Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti, keterangan saksi yang bernilai
alat bukti adalah yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri, ia alami sendiri, dan menyebut
alasan dari pengetahuannya. Diluar itu, keterangannya bukanlah keterangan yang tidak
dapat dijadikan atau dinilai sebagai alat bukti. Mengenai keterangan yang didapatkannya
dari orang lain atau yang biasa disebut sebagai ”testimonium de auditu” tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti. Pedapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran
bukan merupakan keterangan saksi.
c. Harus diberikan di sidang pengadilan (diatur dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP)
Keterangan saksi yang berisi penjelasan tetang apa yang didengarnya, dilihatnya dan
dialaminya sendiri baru dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah apabila dinyatakan di
persidangan. Keterangan yang dinyatakan diluar sidang bukan alat bukti dan tidak dapat
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup (diatur dalam Pasal 185 ayat (2)
KUHAP)
Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua
orang saksi, atau jika saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saksi maka kesaksian
tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.

10 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Ed.2, cet.11. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.286-290.

5

e. Keterangan saksi tidak berdiri sendiri (diatur dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP)
Walaupun saksi yang dihadirkan di hadapan sidang telah terpenuhi secara kuantitatif
sebagai alat bukti yang sah, tidak ada gunanya jika secara kualitatif keterangan mereka
saling berdiri sendiri atau dengan kata lain tidak berkesesuaian.
Dalam hal saksi tidak hadir di hadapan sidang, Pasal 162 mengatur bahwa jika saksi
sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang
sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau
tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara,
maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. Jika keterangan itu sebelumnya
telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan
keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban), dinyatakan bahwa seorang saksi
dan/atau korban dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan.11 Namun,
hal ini merupakan pengecualian apabila saksi berada dalam ancaman yang sangat besar. Di

dalam penjelasan undang-undang ini dijelaskan bahwa pengertian ancama yang sangat besar
adanya ancaman yang menyebabkan saksi tidak dapat memberikan kesaksiannya. Saksi
tersebut dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan
pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat
tentang kesaksian tersebut.12
III. ANALISIS HASIL PENGAMATAN
Dalam menganalisis hasil pengamatan yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri
Bogor tepatnya hari Selasa, tanggal 28 April 2015, pada pukul 13.26 dalam perkara
73/PID.Sus/2015/PN.Bgr.,

dengan

terdakwa

RICKY

SANJAYA,

penulis


akan

menggarisbawahi dua hal, yaitu mengenai:
1. keterangan dari saksi yang tidak hadir, dan
2. kekuataan pembuktian dari keterangan saksi tersebut.
11 Indonesia (b), Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, UU NO. 13 Tahun 2006, LN No. 64
Tahun 2006, TLN No.4635, Psl. 9 ayat (1).
12 Ibid., Psl. 9 ayat (2).

6

Dengan menganalisis kedua hal ini, penulis akan mengetahui apakah keterangan saksi
tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah atau tidak.
A. Keterangan Saksi dari Saksi yang Tidak Hadir
Pada persidangan hari itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi yang bernama
Mito sebagai keterangan saksi yang akan dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Namun, saksi tersebut tidak dapat hadir di hadapan persidangan. Pada saat itu, Jaksa
Penuntut Umum tidak menjelaskan alasan ketidakhadiran dari saksi dan Hakim Ketua
Sidang juga tidak menanyakannya. Hakim Ketua Sidang tetap mengizinkan Jaksa
Penuntut Umum untuk membacakan berita acara pemeriksaan.
Berdasarkan Pasal 162 KUHAP, diatur bahwa jika saksi sesudah memberi
keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak
dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat
tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka
keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. Namun, di dalam sidang yang diamati
oleh penulis, tidak terungkap alasan dari tidak hadirnya saksi ke persidangan. Sehingga,
menurut penulis hal-hal yang dinyatakan di dalam berita acara pemeriksaan masih dapat
dipertanyakan. Hal ini juga seharusnya menjadi perhatian dari Hakim Ketua Sidang
dengan menanyakan alasannya. Karena yang diperkenankan memberikan keterangan
dengan tidak menghadiri sidang hanyalah yang diatur di dalam Pasal 162 KUHAP,
dimana saksi tersebut harus sudah meninggal dunia, atau halangan yang sah, atau tinggal
di tempat yang sangat jauh, ataupun sedang menjalankan kepentingan negara. Sehingga,
apabila saksi bukanlah seperti apa yang dijelaskan dalam Pasal 162 KUHAP, maka
keterangan saksi yang dijadikan alat bukti haruslah dihadirkan di persidangan jika ingin
diajukan sebagai alat bukti dalam perkara tersebut. Apabila ternyata dalam sidang
tersebut terdapat keterangan yang menunjukkan bahwa saksi memenuhi hal-hal yang
dimaksud dalam Pasal 162 KUHAP, maka keterangannya itu dapat disamakan nilainya
dengan keterangan saksi di bahwa sumpah yang diucapkan di sidang.
Selain itu, berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan bahwa
saksi dapat memberikan kesaksian tanpa hadir dalam persidangan dengan keadaan
bahwa saksi berada dalam ancaman yang sangat besar. Pengertian dari ancaman yang

7

besar yang ada di dalam penjelasan UU ini masih tidak dapat menjelaskan ukuran dari
ancaman yang besar itu. Karena pengertiannya hanyalah ancaman yang menyebabkan
saksi tidak dapat memberikan kesaksiannya. Terlepas dari tidak jelasnya ukuran dari
ancaman yang besar ini, dengan tidak diketahuinya atau tidak tereksposnya alasan saksi
tidak dapat menghadiri persidangan, maka hal ini tidak dapat dibenarkan apabila
keterangan saksi Mito yang berupa Berita Acara Pemeriksaan yang dibacakan oleh Jaksa
Penuntut Umum dijadikan sebagai alat bukti. Dan dengan tidak ternyatanya alasan saksi
Mito tidak dapat menghadiri sidang, maka keterangan tersebut tidak dapat disamakan
nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di persidangan dan
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Karena keterangan saksi yang dapat dijadikan
alat bukti adalah keterangan yang dapat memenuhi syarat sah keterangan saksi yang
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
B. Kekuatan Pembuktian
Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dapat dilihat dari terpenuhi atau
tidaknya syarat-syarat sahnya keterangan saski, yaitu:
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji
Dengan tidak hadirnya saksi Mito, maka saksi tidak dapat disumpah. Padahal
berdasarkan Pasal 160 ayat (3), pada prinsipnya sumpah wajib dilakukan sebelum
saksi memberikan keterangan. Walaupun sebelumnya dalam pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum tersebut Mito telah disumpah
terlebih dahulu, keterangan ini tidak dapat disamakan dengan keterangan saksi yang
diberikan dibawah sumpah. Karena alasan saksi tidak menghadiri sidang tidak
ternyata di dalam persidangan sehingga tidak diketahui bahwa alasannya dapat
dibenarkan dalam Pasal 162 KUHAP maupun Pasal 9 UU Perlindungan Saksi dan
Korban.
2. Yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri, ia alami sendiri, dan menyebut alasan dari
pengetahuannya
Di dalam keterangan Mito yang ada di dalam Berita Acara Pemeriksaan yang
dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dapat disimpulkan bahwa Mito adalah orang
yang melihat sendiri bahwa Lela sebagai penerima pesan singkat, menerima pesan

8

singkat tersebut sebanyak dua kali. Karena pada saat Lela menerima pesan tersebut,
Lela sedang bersama Mito.
3. Harus diberikan di sidang pengadilan
Syarat ini tidak terpenuhi sama juga dengan syarat kesatu. Karena secara jelas Mito
tidak hadir di persidangan walaupun sudah diwakilkan dengan Berita Acara
Pemeriksaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena tidak ternyatanya
alasan Mito tidak menghadiri persidangan, maka Berita Acara Pemeriksaan tersebut
tidak dapat mewakili kehadiran Mito di Persidangan.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Untuk syarat ini, analisis dari keterangan saksi Mito saja tidak cukup. Namun, jika
dilihat dalam persidangan, terlihat bahwa Lela sebagai saksi korban telah diperiksa
sebelumnya. Dan setelah pembacaan berita acara pemeriksaan Mito terdapat saksi
lagi yaitu pimpinan redaksi dari Radar Bogor.
5. Keterangan saksi tidak berdiri sendiri
Untuk syarat ini, analisis dari keterangan saksi Mito saja juga tidak cukup. Namun,
penulis juga mengikuti persidangan hingga selesai sehingga dapat mendengar
keterangan saksi dari pimpinan redaksi Radar Bogor. Keterangan Mito dalam Berita
Acara Pemeriksaan dan keterangan dari pimpinan redaksi Radar Bogor adalah saling
berkesesuaian.
Jika dilihat dari penjabaran diatas, maka dapat diketahui bahwa keterangan saksi
yang dianalisis oleh penulis yaitu keterangan saksi Mito, tidak memenuhi syarat sah dari
keterangan saksi yang dijadikan sebagai alat bukti.
C. Analisis Sidang Secara Keseluruhan
Hal lain yang patut diperhatikan adalah mengenai sikap hakim selama proses
persidangan. Salah satu Hakim Anggota Sidang sempat tertidur ketika sidang sedang
berlangsung. Hal ini tentunya akan mencederai integritas dan perilaku hakim. Perilaku ini
akan menimbulkan kesan bahwa hakim tidak pantas dalam mengadili perkara dan
menyalahi etika.
IV. PENUTUP

9

A. Kesimpulan
Sidang secara keseluruhan berjalan baik dan tenang. Namun memang
permasalahan keterangan saksi Mito yang dibacakan di hadapan sidang oleh Jaksa
Penuntut Umum ini patut dipermasalahkan jika ini dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis jika dilihat secara yuridis dapat disimpulkan
bahwa keterangan saksi Mito yang berupa pembacaan Berita Acara Pemeriksaan oleh
Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam
Pembuktian Pekara 73/PID.Sus/2015/PN.Bgr.
B. Saran
Secara futuristik, hal ini tentunya harus dijadikan perhatian karena hal ini akan
mengurangi hak terdakwa untuk mendapatkan pembuktian sebagaimana yang
seharusnya. Terlebih lagi, jika terdakwa dalam keadaan yang tidak mengerti proses
berjalannya suatu perkara di pengadilan dan tidak diwakili oleh penasihat hukum. Jaksa
Penuntut Umum harus menjelaskan apa alasan mengapa terdakwa tidak dapat hadir
dipersidangan, dan jika Jaksa Penuntut Umum lalai dalam menjelaskannya, maka Hakim
harus menanyakan hal tersebut pada Jaksa Penuntut Umum karena ini berkaitan dengan
ketentuan dalam Pasal 162 KUHAP.

10

DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun
1981, TLN No. 3258.
______. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No. 13 Tahun 2006. LN No. 64
Tahun 2006. TLN No.4635
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Ed.2, cet.11. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Sofyan, Andi dan Abd. Asis. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana, 2014.
Wisnubroto, Al. Praktek Peradilan Pidana: Proses Persidangan Perkara Pidana. Bekasi: PT.
Galaxi Puspa Mega, 2002.

11