Hukum Memboikot Perdagangan dalam Islam

Tri Suharsono
Independent Researcher
“Research for Better Future”

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan represif yang dilakukan oleh kolaborasi Amerika dan Israel
terhadap Palestina yang semakin parah dalam satu dekade belakangan ini memicu
berbagai macam reaksi dunia. Israel sebagai eksekutor lapangan, banyak
melakukan kekerasan dan penindasan terhadap warga Palestina. Sementara
Amerika sebagai aktor birokrasi politik, berjuang mati-matian melindungi aksi
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina
di daerah-daerah konflik.
Atas dasar kemanusiaan, bukan hanya umat Islam yang turun ke jalan
mengajukan protes atas tindakan Israel, tapi juga penganut setia Nasrani. Namun
sepertinya gelombang aksi protes yang dilancarkan oleh dunia tidak membuat
kedua negara tersebut berhenti. Bahkan amerika justru mendukung pendudukan
Israel dengan memindahkan kantor kedutaan mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem
baru-baru ini. Presiden Donald Trump berpendapat bahwa Yerusalem adalah
ibukota negara Israel yang sebenarnya, dan pemindahan kantor kedutaan Amerika

merupakan pemenuhan janji Trump selama masa kampanye presiden.
Fakta yang tidak banyak diketahui dunia adalah bahwa pada tahun 1995
Amerika memberlakukan Jerusalem Embassy Act (Undang-Undang Kedutaan
Besar Yerusalem) yang disahkan pada tanggal 23 Oktober 1995 tentang Status
Yerusalem dan Keberadaan Kedutaan Besar Amerika di Yerusalem. Undangundang tersebut menyebutkan bahwa Amerika harus mengakui Yerusalem sebagai
ibukota Israel dan Kedutaan Besar AS harus dipindakan ke kota itu. Namun,
dalam prakteknya pemerintahan AS sebelum Trump tidak pernah menjalankan
undang-undang tersebut. Sebagai gantinya, setiap presiden terpilih harus
menandatangani sebuah Keputusan Presiden yang menyatakan bahwa Kedutaan
Besar AS akan tetap berada di Tel Aviv. Sayangnya, Keppres ini hanya berlaku
selama 6 bulan, sehingga harus diperbaharui setiap semesternya. Presiden Donald

2

Trump juga mengeluarkan Ketetapan Presiden tentang Penangguhan Pemindahan
Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem di bulan Juni 2017 yang lalu. Tapi, ketika
Tappres tersebut berakhir, pada tanggal 6 Desember 2017, ia mengakui
Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memulai proses pemindahan kedutaan besar
Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Sebagaimana yang diketahui dunia, pada tanggal 29 November 1947,

PBB menempatkan Yerusalem di bawah pemerintahan internasional khusus,
corpus separatum, dan bukan merupakan wilayah dari negara berdaulat manapun.

Kemudian pada saat penandatanganan perjanjian gencatan senjata antara Israel
dan Yordania pada tanggal 3 April 1949, keduanya sepakat membagi wilayah
Yerusalem untuk sementara, yaitu kawasan barat yang dikuasai oleh Israel dan
kawasan timur yang berada di bawah pengawasan aliansi Yordania-Arab. Namun
secara internasional perjanjian itu tidak diakui karena dipandang melawan
keabsahan Resolusi 181 yang menghendaki pemisahan dan internasionalisasi
Yerusalem. Dan pada tanggal 23 Januari 1950, parlemen Israel dalam Sidang
Knesset pertama secara sepihak mendeklarasikan kota Yerusalem sebagai ibukota
negara Israel dengan menyatakan bahwa Yerusalem selalu dan akan selalu
menjadi ibukota Israel. Akan tetapi aneksasi tersebut tidak mendapat pengakuan
internasional. Mayoritas dunia internasional sepakat bahwa status final Yerusalem
harus diselesaikan melalui negosiasi. Sebagai bukti, hingga saat ini tidak ada satu
negarapun yang membuka kantor Kedutaan Besar di Yerusalem. Hanya saja
Yunani, Inggris, dan Amerika membuka kantor konsulat mereka di sana.
Pertanyaannya adalah, “Apakah dampak dari pemindahan kantor
kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem?” Sebenarnya tidak banyak yang akan


berubah. Mengingat saat ini kantor dan kediaman resmi Perdana Menteri
Benjamin Netanyahu, Parlemen Israel, begitu juga Mahkamah Agung dan
Kementerian Luar Negeri Israel berkedudukan di Yerusalem. Para pemimpin
dunia yang berkunjung ke Israel juga selalu melakukan lawatan ke Yerusalem
untuk bertemu dengan para pejabat tinggi Israel. Jadi, Israel sebenarnya sudah
menjalankan pemerintahannya di sana.

3

Bagi penduduknya, Yerusalem adalah kota terbuka, dimana warga
Yahudi dan Palestina dapat bergerak dengan bebas. Walaupun pada kenyataannya
interaksi antara kedua pihak sangat minim, dan ada perbedaan besar antara
lingkungan Yahudi yang kaya dan warga Palestina yang miskin. Namun deklarasi
pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalaem akan punya makna
simbolis yang mendalam dan makin menyulitkan proses perdamaian IsraelPalestina.
Uni Eropa, Jerman dan Perancis juga sudah mendesak Donald Trump
agar tidak mengambil tindakan gegabah mengubah satus quo Yerusalem.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang beranggotakan 57 negara mengatakan
bahwa mengubah status Yerusalem merupakan agresi telanjang terhadap dunia
Arab dan Muslim. Organsasi Liga Arab menyatakan bahwa langkah ini akan

menjadi tindakan berbahaya yang bakal berakibat buruk di seluruh Timur Tengah.
Arab Saudi, sekutu penting Amerika Serikat, juga sudah bereaksi keras
menentang langkah Donald Trump. Jerman memperingatkan warganya yang akan
berkunjung ke Yerusalem atau sedang berada di sana agar waspada dan sedapat
mungkin menghindari kawasan timur, karena diperkirakan akan pecah kerusuhan
dan aksi kekerasan terbaru.
Penindasan yang dirasakan oleh Palestina dan penduduknya, baik secara
fisik maupun politik, memicu umat Islam melakukan berbagai macam bentuk
penolakan. Salah satu bentuk penolakan umat Islam di Indonesia adalah petisi
yang dihasilkan dari Aksi Palestina yang diadakan oleh MUI di Monas pada Ahad
17 Desember 2017 yang salah satu isinya adalah memboikot produk Amerika dan
Israel. Pro dan kontra kemudian muncul. Mereka yang tidak sependapat
memandang aksi boikot bertentangan dengan prinsip syariat Islam karena hukum
Islam tidak melarang setiap Muslim untuk ber-mu‟amalah dengan orang kafir.
Tulisan ini dibuat untuk menelaah aksi boikot yang digaungkan
sekelompok ulama terhadap komoditas dagang yang dihasilkan oleh Yahudi dan
antek-anteknya, dalam kajian hukum Islam.

4


B. Permasalahan
Permasalahan utama dalam tulisan ini adalah bagaimana sebenarnya
hukum memboikot produk perdagangan yang produsennya dengan terangterangan memusuhi dan menindas umat Islam, serta bagaimana menyikapi aksi
boikot terhadap komoditas dagang Yahudi dan antek-anteknya yang difatwakan
oleh segolongan ulama di dunia.

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk menegaskan hukumhukum Islam yang berkaitan dengan pemboikotan produk dan pemutusan
hubungan mu‟amalah dengan orang-orang atau perusahaan-perusahaan (termasuk
juga negara) yang dengan tegas dan nyata melakukan tindakan semena-mena
terhadap umat Islam, serta mengkaji hadits-hadits yang relevan untuk dapat
mengambil sikap dalam menindaklanjuti fatwa ulama yang menyerukan
pemboikotan komoditas dagang Amerika dan Israel.

5

BAB II
PEMBAHASAN
PEMBOIKOTAN KOMODITAS PERDAGANGAN
DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Hukum Ber-mu’amalah dengan Orang Kafir
Hukum asal menetukan bahwa umat Islam diperbolehkan ber-mu‟amalah
dengan orang kafir, baik Ahlu Dzimmah atau Ahlul Ahdi (orang kafir yang
memiliki perjanjian dengan umat Islam), maupun kafir harbi (kafir yang boleh
diperangi), selama objek akad serta kandungan akadnya tidak bertentangan
dengan aturan Islam, dan hal itu tidak termasuk memberikan loyalitas kepada
mereka. 1
Berikut ini beberapa hadits yang meriwayatkan tentang perilaku
mu‟amalah Rasulullah dan para sahabat dengan orang-orang kafir (kaum
musyrikin, Yahudi, dan golongan non Muslim lainnya):

1.

HR. Bukhori
Abdurrahman bin Abu Bakr, radhiyallahu anhuma , berkata, “Kami

a.

sedang bersama Rasulullah SAW, kemudian datang seorang musyrik,
rambutnya panjang dan kusut masai, membawa seekor kambing.


Kemudian Nabi SAW berkata, “Kambing ini untuk dijual atau sebagai
pemberian?” Orang musyrik tadi berkata, “Tidak, tapi untuk dijual.”
Kemudian Nabi membeli kambing darinya.” Hadits ini termaktub dalam

shohih Bukhori No. 2216 di bawah Bab Berniaga dengan Orang Musyrik
dan Ahlul Harb (kafir harbi).
b.

Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan Salman Al-Farisi untuk
mukatabah (seorang budak yang menebus dirinya kepada tuannya

dengan cara mencicil), dan saat itu Salman Al-Farisi masih seorang
Yahudi. (diriwayatkan oleh Bukhori secara Mu‟allaq).
Kiblat.net. 2017. Landasan Syar‟i dalam Memboikot Produk Kafir. https://
www.kiblat.net/2017/12/22/landasan-syari-dalam-memboikot-produk-orang-kafir/
1

6


2.

HR. At-Tirmidzi: Ibnu Abbas, radhiyallahu anhuma , berkata, “Rasulullah
SAW wafat dan baju besi beliau (masih) tergadai pada seorang Yahudi,

karena beliau berhutang 30 sho‟ gandum guna memberi nafkah kepada
keluarganya.”
3.

HR. Bukhori wa Muslim: Aisyah, radhiyallahu anha , berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW berhutang bahan makanan kepada seorang Yahudi untuk
menafkahi keluarganya.

4.

Iqtidho Shirothol Mustaqim 2/15: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Jika seorang bersafar ke darul harb (negeri yang dikuasai orang kafir yang
tidak mengikat perjanjian dengan umat Islam) untuk membeli sesuatu, maka
hal itu diperbolehkan menurut mazhab kami. ” Beliau berargumen dengan


menggunakan hadits yang menceritakan tentang berdagangnya Abu Bakar,
radhiyallahu anhu, di Syam semasa Rasulullah masih hidup, padahal saat itu

Syam adalah Darul Harb.
5.

HR Al-Baihaqi No 19283: Hasan Al-bashri berkata bahwa Abu Musa AlAsy‟aari menulis surat kepada Umar bin Khattab, radhiyallahu anhuma , yang
isinya, “Pedagang muslim jika masuk ke darul harb (negeri kafir yang tidak
ada perjanjian) ditariki pajak 10 persen. ” Kemudian Umar membalas,

“Kalau begitu, ambillah Uysr (bea cukai) dengan nilai yang sama.”
6.

Fathul Bari 9/820: Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Diperbolehkan bermu‟amalah dengan orang kafir, selama objek mu‟amalah-nya tidak
mengandung unsur yang haram, dan, dalam hal ini, keyakinan dan cara
mereka ber-mu‟amalah satu sama lain tidak dianggap.”

Kebolehan ber-mu‟amalah sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits
di atas bersifat umum dan tidak terbatas hanya pada negeri-negeri Islam. Artinya,
umat Islam tetap boleh ber-mu‟amalah dengan orang-orang kafir meskipun berada

di negeri kafir sekalipun. Dalam kaitannya dengan hal ini, Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin, rahimahullah, berpendapat bahwa jika kita (umat Islam)
melarang diri kita sendiri menggunakan atau mengkonsumsi produk-produk non
Muslim (Yahudi, Nasrani, kaum Musyrikin, dan golongan non Muslim lainnya),

7

maka hilanglah berbagai hal yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam, seperti
alat-alat transportasi (mobil dan sepeda motor) dan alat-alat komunikasi
(handphone), yang kebanyakan merupakan produk orang-orang non Muslim,
termasuk juga hal-hal bermanfaat lainnya yang hanya diproduksi oleh mereka.
Ketika ditanya mengenai hukum dari mengkonsumsi dan menjual Coca
Cola (produk minuman Yahudi), Syaikh Muhammad mengatakan bahwa memang
benar minuman itu (Coca Cola) bisa saja mengandung unsur berbahaya yang
dimasukkan oleh mereka (Yahudi) ke dalamnya, karena sebagaimana diketahui
bersama bahwa bangsa Yahudi bukanlah golongan yang amanat,2 dengan
mencontohkan peristiwa yang menimpa Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika
seorang perempuan Yahudi bernama Zainab binti al-Harits, istri dari Salam bin
Misykam (seorang pemimpin Yahudi Bani Nadhir di Khaibar), meletakkan racun
pada daging kambing yang mereka hadiahkan kepada beliau, sebagai pembalasan

dendam atas kematian ayah, paman, dan suaminya pada saat perang Khaibar di
tahun ketujuh setelah hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Sehingga pada saat
menjelang kematiannya (tiga tahun setelah insiden itu), beliau bersabda “Wahai
Aisyah, aku masih merasakan sakit akibat makanan yang dulu pernah aku santap
di Khaibar. Dan inilah saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku oleh
racun itu.”3 Yang berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori

tersebut, dan hadits-hadits lainnya, maka tidak ada lagi ruang untuk keraguan atas
pengaruh racun dalam jasad Rasulullah SAW dan campur tangannya dalam
kematian beliau.4
Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, memang sangat memungkinkan
bagi mereka (Yahudi) untuk meletakkan unsur-unsur berbahaya dalam produk
QS. Ali Imron (3:75). “Di antara ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ada orang yang jika
kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara
mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya
kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka mengatakan:
"Tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi (orang Arab).” Mereka berkata Dusta
terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui.”
3
Shohih Al-Bukhori No. 4165. Bab Maradh an-Nabi. Juz IV Halaman 1611.
4
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Abdul Aziz Alu Syaikh, Abdullah bin Ghadyan,
Shalih Al-Fauzan, Bakr Abu Zaid. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Bab Atsar as-Samm „alar Rasul.
Juz 26 Halaman 37.
2

8

yang mereka hasilkan, akan tetapi, aku (Syaikh Muhammad) menduga bahwa
barang-barang yang sampai kepada kita saat ini pasti sudah dicek dan diuji
keamanannya, sehingga telah diketahui bermanfaat ataukah tidak. Jadi, tidak ada
bahaya dalam mengkonsumsi dan menjual Coca Cola, baik dari sisi syar‟i
maupun dari segi kesehatan.5
Dengan demikian, dalam ber-mu‟amalah umat Islam diperintahkan untuk
lebih mempertimbangkan aspek mudharat yang ditimbulkannya daripada aspek
pelakunya. Jadi, Islam tidak melarang umatnya untuk berbisnis dengan golongan
manapun selama hubungan bisnis tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam dan tidak berpengaruh kepada loyalitasnya kepada agamanya, baik secara
langsung maupun tidak. Adapun mengenai tindakan Amerika dan Israel yang
dengan tegas tidak mengindahkan hak-hak umat Islam, Syaikhul Islam
mengatakan bahwa Allah melarang orang-orang beriman untuk bersedih atau
bersempit hati terhadap orang-orang kafir dan/atau perbuatan makar mereka
kepada umat Islam, sebagaimana Allah melarang Nabi dan Rosul-Nya bersusah
hati. Mengingat orang kafir dan perbuatan makar mereka sejatinya adalah ujian
bagi keimanan dan keislaman seseorang. Orang iman yang baik akan bersabar,
berteguh hati, dan tawakal, serta senantiasa meyakini bahwa Allah bersama orangorang yang bertakwa dan selalu berbuat baik. Bahkan mereka akan ber-tafakkur
dan menganggap musibah yang menimpa mereka merupakan akibat dari dosa
yang telah mereka perbuat, sehingga mereka dapat selalu bersabar dan memohon
ampun serta bertasbih kepada Allah di waktu pagi dan sore.6
Maka jangan pernah menjadikan perilaku makar suatu kaum sebagai
dasar untuk memboikot produk-produk perdagangan mereka karena hanya akan
merugikan diri kita sendiri, mengingat umat Islam masih belum mampu
memproduksi seluruh barang untuk memenuhi kebutuhannya.

Muhammad Abduh Tuasikal. 2010. Kaset Liqa‟ al-Bab al-Maftuh No. 64: Fatwa Syaikh
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin. Sebagaimana dikutip dalam https://rumaysho.com/997-fatwaulama-tentang-hukum-boikot-produk-yahudi.html.
6
Majmu‟ Fatawa Juz 18 Halaman 295.
5

9

B. Landasan Syar’i untuk Memboikot Produk Kafir
Untuk menghindari segala macam hal yang dapat membahayakan bisnis,
jiwa, akidah, dan agama dalam ber-mu‟amalah dengan orang-orang kafir, maka
setiap Muslim diharuskan memahami rambu-rambu dalam kegiatan bisnis dengan
mereka. Aturan dasar dalam setiap hubungan kerjasama adalah firman Allah
dalam Surat Al-Maidah berikut ini:

ََ َُ ََ َ َ َ َْ َ ِ
ََ َُ َََ
ْ ْ ْ
‫ل‬
‫الِ واتقوى وا تعاونوا‬
‫اإث ِم َوال ُعد َوان‬
ِ ‫وتعاونوا ل‬
ِ
Artinya, “Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan
jangan saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan. ” (QS. Al-

Maidah, 5:2)
Ayat 2 Surat Al-Maidah di atas menegaskan bahwa kerjasama yang
dilarang dalam hukum Islam adalah kerjasama dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. Mengingat permusuhan juga merupakan amalan yang mendatangkan
dosa bagi pelakunya, maka pada intinya, kerjasama yang dikategorikan sebagai
perbuatan haram dalam hukum Islam adalah seluruh kerjasama dalam urusan
perbuatan dosa.
Secara terperinci, riwayat-riwayat yang membahas tentang rambu-rambu
yang harus dihormati oleh kaum Muslimin dalam berbisnis dengan golongan non
Muslim (Yahudi, Nasrani, kaum Musyrikin, dan golongan Non Muslim lainnya)
dituangkan ke dalam hadits-hadits di bawah ini:
1.

Ibnu Baththol berkata, “Ber-mu‟amalah dengan orang kafir diperbolehkan,
kecuali jual beli yang dengan jual beli itu orang kafir memanfaatkannya

untuk memerangi umat Islam.”7
2.

Ibnu Taimiyah ditanya tentang ber-muamalah dengan kaum Tartar (golongan
kafir yang hidup di wilayah perbatasan antara Cina dan India), beliau
menjawab, “Diperbolehkan bermu‟amalah dengan mereka (kaum Tartar),
selama itu halal, dan dilarang jika mengandung hal yang haram. Namun jika
7

Fathul Bari Juz 4 Halaman 410.

10

bertransaksi jual beli dengan mereka, dan jual beli itu membantu mereka
untuk melakukan hal yang haram, seperti menjual kuda perang atau senjata
bagi mereka yang melakukan perang yang haram (yaitu memerangi kaum
muslimin), maka hal ini tidak diperbolehkan.”8 Beliau menyandarkan

fatwanya pada salah satu hadits dari Anas bin Malik yang menyebutkan
bahwa, “Rasulullah SAW melaknat 10 orang terkait khamr: (1) orang yang
memerasnya, (2) orang yang minta diperaskan, (3) orang yang meminumnya,
(4) orang yang mengantarkannya, (5) orang yang minta diantarkan, (6)
orang yang menuangkannya, (7) orang yang menjualnya, (8) orang yang
memakan harganya, (9) orang yang membelinya, dan (10) orang yang minta

dibelikannya.”9 Argumen Ibnu Taimiyah tersebut menitikberatkan pada
aspek yang terkandung dalam kegiatan mu‟amalah dengan kaum kafir. Beliau
mengingatkan bahwa dalam menghukumi sesuatu, kita tidak hanya menilai
perbuaatannya saja, melainkan juga segala sesuatu yang terkandung di
dalamnya, termasuk juga efek yang mungkin ditimbulkannya. Sehingga,
suatu perbuatan yang secara hukum asal diperbolehkan, bisa saja menjadi
haram karena dampak dari perbuatan tersebut. Seperti dalam kasus khamr
sebagaimana diterangkan dalam hadits At-Tirmidzi di atas, berjual beli adalah
aktifitas yang dihalalkan dan sangat direkomendasikan dalam hukum Islam,
tapi menjadi haram jika yang diperjualbelikan adalah khamr, karena
memberikan akses kepada orang lain untuk berbuat dosa.
3.

Abu Abdullah Muhammad bin Umar Al-Waqidi, seorang sejarawan Arab
keturunan Bani Aslam yang terkemuka, dalam salah satu kitabnya
mengisahkan tentang berbagai upaya Nabi Muhammad SAW melakukan
perlawanan terhadap kekuatan ekonomi musuh, guna melemahkan kekuatan
mereka. Seperti yang dikisahkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Maghazi
(kitab yang menceritakan tentang peperangan dan militer Islam di zaman
Nabi berdasarkan riwayat hadits yang masyhur), dimana Nabi Muhammad
memerintahkan salah seorang pamannya yang ahli memanah, yaitu Sa‟ad bin
8
9

Majmu‟ Fatawa Juz 29 Halaman 275.
HR. At-Tirmidzi No. 1313. Juz 2 Halaman 380.

11

Abi Waqqash, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy pada bulan
Dzulqo‟dah di tahun pertama setelah hijrah (sekitar bulan Mei tahun 623 M)
di daerah Wadi Kharrar, yang keudian dikenal dengan Ekspedisi Militer
Kharrar. Meskipun upaya penghadangan ini gagal, karena Sa‟ad dan 20 orang
pasukannya terlambat tiba di tempat yang diperintahkan dan rombongan
pedagang Quraisy telah lewat satu hari sebelumnya, namun kejadian itu
membuktikan upaya Nabi untuk memboikot perniagaan kaum kafir Quraisy. 10
4.

Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiyyah meriwayatkan bahwa Nabi
pernah langsung memimpin 200 sahabatnya dalam Ekspedisi Militer Buwath
pada bulan Rabi‟ul Awwal di tahun 2H (September 623M) untuk
menghadang kafilah dagang Quraisy di daerah Buwath, yang terdiri dari 100
orang (termasuk di dalamnya Umayyah bin khalaf bin Safwan Al-Jumahi,
yang merupakan pemimpin Quraisy dan Bani Jumah yang terkemuka) dan
2500 ekor unta. Diriwatkan dari Ibnu Abbas, radhiyallahu anhuma , bahwa
Rasulullah SAW mendengar kafilah dagang Abu Sufyan kembali dari Syam,
kemudian Rasulullah menyerukan sahabat-sahabatnya, “Ini adalah kafilah
dagang Quraisy, di dalamnya terdapat harta-harta mereka, maka keluarlah
kalian menghadangnya, semoga Allah menjadikannya harta rampasan
perang (fai‟) bagi kalian.” Penghadangan ini kemudian menjadi pemicu

terjadinya perang Badar.11
5.

Imam Bukhori meriwayatkan tentang keputusan Nabi terhadap kelompok
Abu Bashir. Abu Bashir dan kelompoknya adalah penduduk Mekah yang
masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah, yang kemudian melarikan diri
dari Mekkah untuk bergabung bersama Rasulullah, namun beliau tidak bisa
menerima mereka di Madinah karena telah terikat perjanjian dengan kaum
Quraisy. Akhirnya mereka bersembunyi di wilayah pesisir dan menghadang
kafilah dagang Quraisy yang melewati daerah mereka untuk berniaga ke
negeri Syam, dan menjadi kelompok penyamun yang ditakuti di masa itu,
sehingga menggetarkan hati pedagang-pedagang Quraisy yang akan melewati
10
11

Kitab Al-Maghozi Al-Waqidi Jilid 1 Halaman 11.
Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyyah Jilid 2 Halaman 284. Jakarta: Darul Falah.

12

wilayah pesisir. Keberadaan kelompok Abu Bashir dirasakan sangat
mengganggu roda ekonomi kota Mekah yang diduduki oleh kaum Musyrikin
sebab mereka harus mencari jalur perdagangan baru yang memakan biaya
operasional dan waktu yang lebih banyak, belum lagi kerugian dan kegagalan
bisnis akibat perampasan dan penghadangan. Akhirnya orang-orang kafir
Quraisy meminta Rasulullah untuk meminta Abu Bashir bergabung dengan
beliau di Madinah. Permintaan tersebut mengimplikasikan bahwa mereka
membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. 12
6.

Imam Bukhori juga meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah
mendoakan agar

perekonomian Quraisy dilemahkan.

Ibnu

Mas‟ud,

radhiyallahu anhu, bercerita bahwa pada saat Rasulullah berdakwah kepada

kaum Quraisy namun mereka mendustakan dan sombong, lalu Nabi berdo‟a,
“Ya Allah, bantulah diriku untuk mengalahkan mereka dengan mengirimkan
kepada mereka musim kemarau sebagaimana mu sim kemaraunya Yusuf.”

Akhirnya kota Mekah ditimpa kekeringan yang memusnahkan segala sesuatu,
hingga mereka harus memakan bangkai. Kemudian Abu Sufyan berkata,
“Wahai Muhammad, kaummu celaka, berdoalah kepada Allah agar mencabut
musibah ini dari mereka.”13
Hadits-hadits

di

atas

menunjukkan

dasar-dasar

yang

menjadi

pertimbangan untuk memutuskan hubungan mu‟amalah dengan kaum kafir, dan
juga upaya-upaya yang dilakukan oleh Rasulullah beserta sahabat untuk
memboikot perdagangan orang-orang kafir Quraisy sebagai langkah pencegahan
agar mereka tidak berbuat hal-hal yang merusak kepada Rasulullah dan pengikutpengikutnya. Apa yang dilakukan oleh Rasul dan sahabat-sahabatnya dalam Ushul
Fiqih dikenal dengan istilah Saddudz Dzarai‟ (menutup jalan). Artinya, menutup

jalan sesuatu yang mubah agar tidak menjadi haram dengan cara melarangnya
untuk dikerjakan. Dalam hal ini mengharamkan amalan-amalan mubah karena
dapat menimbulkan mafsadat (kerusakan).

12
13

Shohih Bukhori No. 7231.
Shohih Bukhori No. 4823.

13

Jadi, jika suatu amalan mubah dipastikan dapat menjadi jalan menuju
keharaman, maka para ulama sepakat melarangnya. Namun jika peluangnya kecil,
maka ulama tetap berpegangan dengan hukum asal, yaitu mubah. Jika kondisinya
berimbang, sesaat menjadi jalan menuju keharaman, namun di lain waktu tidak,
maka dalam hal ini para ulama mengkaji aspek mashlahat dan mafsadat dari
amalan mubah tersebut.14 Ibnu Katsir berkata, “Syari‟at menentukan bahwa jika
sesuatu hukumnya haram, maka segala jalan menuju ke sesuatu tersebut juga
diharamkan, karena apa yang menjadi jalan bagi sesuatu yang haram maka dia
haram, sebagaimana segala sesuatu yang tidak sempurna kewajiban dengannya
maka hukumnya menjadi wajib.”15

Dalam konteks ini, kasus memboikot roda perekonomian orang kafir
dapat dibenarkan, mengingat rusaknya ekonomi mereka membuat mereka tidak
bisa berbuat kerusakan terhadap umat Muslim. Dengan demikian pendapat
sebagian umat Muslim yang memandang pemboikotan komoditas dagang
Amerika dan Israel bertentangan dengan syari‟at Islam tidak sepenuhnya benar.
Mu‟amalah dengan orang Amerika dan Israel memang diperbolehkan (mubah)
secara hukum asal, namun karena berpotensi menimbulkan sesuatu yang haram,
yaitu menghasilkan sarana untuk memerangi umat Islam di Palestina, maka
hukum membeli produk-produk perdagangan Yahudi dan antek-anteknya bisa
berubah menjadi haram.
Dengan demikian, aksi boikot terhadap produk perdagangan Amerika
dan Israel dipandang telah tepat dan sesuai dengan syar‟i karena merupakan
langkah pencegahan terhadap aksi makar Zionis Israel kepada Muslim Palestina,
sekaligus penyelamatan jiwa dan harta mereka. Jika ada umat Islam yang tetap
mempergunakan dan mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan dan dijual
oleh kedua negara musuh besar Islam tersebut, maka artinya mereka mendukung
penindasan dan kekerasan terhadap saudara Muslim mereka di Palestina. Dan,
merujuk pada firman Allah di Surat Al-Maidah ayat 2 yang melarang umat Islam
Kiblat.net. 2017. Landasan Syar‟i dalam Memboikot Produk Kafir. https://
www.kiblat.net/2017/12/22/landasan-syari-dalam-memboikot-produk-orang-kafir/.
15
Tafsir Ibnu Katsir Juz 3 Halaman 351.
14

14

saling tolong menolong atas perbuatan dosa dan permusuhan, dan sabda
Rasulullah dalam Shahih Muslim, “Barangsiapa yang memberi pertunjuk pada
kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan jelek tersebut dan
juga dosa dari orang yang mengamalkannya setelah itu tanpa mengurangi dosa

mereka sedikitpun,”16 berarti mereka juga akan mendapatkan dosa yang sama
dengan yang diterima oleh kaum Yahudi penindas Muslim Palestina tersebut.

C. Sikap Muslim yang Ideal terhadap Aksi Boikot
Fenomena terpecahnya umat Islam dalam menyikapi aksi boikot yang
difatwakan oleh para ulama membuat bingung banyak umat Muslim awam.
Mereka yang pro tentu saja dipandang memiliki ghirah Islam yang kuat,
sementara mereka yang kontra terhadap aksi boikot dipertanyakan pada posisi
mana mereka berdiri, Yahudi Zionis atau Muslim Palestina? Umat Muslim yang
sepakat dengan aksi boikot mengeluarkan argumen-argumen yang dinukil dari
berbagai riwayat yang mashur dalam Hukum Islam, sementara mereka yang
menolak aksi boikot, sayangnya mendasari keputusan mereka dengan argumentasi
yang tidak kuat, yakni hukum dasar ber-mu‟amalat (khususnya jual beli) dengan
orang kafir adalah boleh, maka tidak boleh memutuskan hubungan dagang dengan
mereka, karena hal itu bertentangan dengan syari‟at mu‟amalah Islam.
Maka, untuk menyudahi perdebatan tentang Fatwa Aksi Boikot UlamaUlama Islam, ayat-ayat Al-Quran, nuqilan Al-Hadits, dan pendapat-pendapat
ulama berikut dapat dijadikan referensi untuk menentukan sikap:
1.

Jangan condong kepada orang zhalim, sebagaimana diterangkan dalam AlQuran (QS. Huud, 11:113), “Dan janganlah kamu cenderung kepada orangorang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekalikali kamu tiada mempunyai seorang penolong-pun selain daripada Allah,

kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” Abul „Aliyah mengatakan
bahwa maksud dari janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang
16

HR. Muslim No. 1017.

15

zhalim adalah jangan ridha terhadap perbuatan mereka . Sementara As-Suddi

dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa maksud dari lafazh itu adalah jangan
bersikap lunak terhadap kezhaliman. 17 Maka, kita pun jangan pernah ridha

dengan kekafiran mereka, dan kejahatan mereka terhadap umat Islam.
Apakah tidak ridha itu cukup diam saja dan hanya pengakuan hati dan lisan?
Tentu tidak, minimal lakukan yang masih bisa dilakukan, dan tidak bermu‟amalah dengan produk mereka adalah bagian dari ketidakridhaan kita

terhadap kejahatan mereka terhadap umat Islam.
2.

Hukum mu‟amalah dengan orang kafir adalah mubah, berdasarkan pendapat
Thawus bin Kaisan sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dalam
Kitab Fathul Qodir yang mengatakan bahwa Ibnu Kaisan berkata, “Hukum
asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah (boleh) sampai tegaknya dalil
yang menunjukkan perubahan hukum asal ini.”18 Sementara Imam At-

Tirmidzi meriwayatkan, “Kehalalan adalah apa-apa yang Allah halalkan
dalam kitab-Nya, keharaman adalah apa-apa yang Allah haramkan dalam
kitab-Nya, dan apa-apa yang didiamkan-Nya (tidak ditetapkan halalharamnya), maka itu termasuk yang dimaafkan (diperbolehkan= mubah).”19

Mengingat Allah tidak membuat ketetapan mengenai status halal-haram
dalam hubungan bisnis dengan orang kafir, dan hukum asal segala sesuatu
adalah mubah, maka hukum ber-mu‟amalah dengan orang kafir adalah
mubah dan bisa berubah menjadi halal maupun haram tergantung dari
dampak mashlahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.
3.

Jika terdapat produk Muslim dan produk kafir yang kualitasnya sama-sama
bagus, maka utamakan membeli produk Muslim. Namun jika ternyata produk
muslim tidak memiliki kualitas sebaik produk orang kafir, dan bahkan sering
dikelabui, maka saat ini tidak mengapa membeli produk orang kafir. 20

Zaadul Masir. Mawqi‟ At Tafasir Juz 3 Halaman 386.
Imam Asy-Syaukani. Fathul Qadir Juz 1 Halaman 64.
19
HR. At-Tirmidzi No. 1726.
20
Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi) Lil Buhuts wal-Ifta‟.
Fatwa No. 3323.
17

18

16

4.

Hukum asal boikot terhadap komoditas perdagangan orang-orang kafir adalah
mubah dan bisa menjadi wajib atau sunah, bahkan bisa diharamkan
tergantung pada mashlahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.

5.

Aksi boikot dilakukan hanya jika kaum Muslimin tidak kesulitan mencari
produk pengganti.

6.

Produk yang diboikot memang benar-benar diyakini hasil keuntungan
penjualannya digunakan untuk menindas kaum Muslimin. Jika masih berupa
persangkaan tanpa didukung dengan bukti yang kuat, maka fatwa aksi boikot
akan menjadi pengelabuan terhadap umat.

7.

Fatwa atau perintah boikot hanya dapat dikeluarkan oleh para penguasa, atau
orang-orang yang memiliki otoritas atau kapasitas mengeluarkan fatwa atau
perintah, mengingat hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika semua
orang diperbolehkan bicara, maka akan membuat orang awam bingung. 21
Sebagai seorang Muslim yang baik, sikap yang paling ideal dalam

menghadapi fatwa ulama tentang aksi boikot adalah membuat pertimbanganpertimbangan logis berdasarkan poin-poin yang ditegaskan di atas.

21

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan. Tasjilat Minhajus Sunnah Riyadh. Sebagaimana
di-syi‟arkan dalam Majalah Al-Furqon IV/12.

17

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Meskipun berdasarkan syar‟i mu‟amalah dengan orang kafir tidak
dilarang, namun ketika mu‟amalah tersebut adalah mu‟amalah yang merugikan
dan melemahkan umat Islam, serta menguntungkan orang kafir, dan menguatkan
posisi serta kekuatan mereka dalam merencanakan dan melakukan makar terhadap
umat Islam, maka ini menjadi mu‟amalah yang diharamkan oleh Allah Ta‟ala, dan
termasuk berserikat dalam kejahatan, menjerumuskan diri sendiri dalam
kebinasaan, serta ta ‟awun „alal itsmi wal udwan. Tatkala itu terjadi, maka
pemutusan hubungan mu‟amalah dengan cara pemboikotan komoditas dagang
kaum kafirin merupakan keputusan yang akan membawa kemashlahatan bagi
umat Muslim, dan oleh karena itu dipandang wajib hukumnya.

B. Saran
Keputusan untuk mengeluarkan fatwa tentang pemboikotan komoditas
perdagangan adalah perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak, oleh
karena itu harus dipertimbangkan secara cermat dan hati-hati. Terutama sekali
mengenai pertimbangan yang paling mendasar, yaitu bukti kuat yang
mengkonfirmasi bahwa hasil penjualan produk tersebut memang benar
dipergunakan untuk tindakan makar terhadap umat Islam, dan efek yang akan
ditimbulkan oleh pemboikotan. Jika aksi boikot tidak akan memberi pengaruh
terhadap ekonomi mereka, maka lebih baik diganti dengan aksi membatasi
pembelian. Karena aksi boikot sebenarnya bukan hanya merugikan korbannya,
tapi juga pelakunya. Umat Islam harus ingat bagaimana para Nabi zaman dahulu
diperlakukan oleh orang-orang kafir, bahkan ada yang sampai dibunuh, tapi
mereka tidak lantas memerintahkan pemboikotan perdagangan kaum kafirin.

18

Namun, ada kondisi di mana umat Islam tidak diperbolehkan berjual beli dengan
orang kafir, yaitu ketika barang dagangan tadi mereka manfaatkan untuk
memerangi umat Islam.