BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERENCANAAN STRU

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Struktur Atap
Struktur atap adalah bagian bangunan yang menahan/mengalirkan beban-

beban dari atap. Struktur atap terbagi menjadi rangka atap dan penopang rangka
atap. Rangka atap berfungsi menahan beban dari bahan penutup atap sehingga
umumnya berupa susunan balok – balok (dari kayu/bambu/baja) secara vertikal,
horizontal dan diagonal kecuali pada struktur atap dak beton (Zikri,2016).
Berdasarkan posisi inilah maka muncul istilah gording, kasau dan reng. Dalam
strukur atap terdiri dari struktur kuda-kuda, gording, dan penutup atap.
2.2 Kuda-kuda Baja
Pada konstruksi kuda-kuda yang mempunyai jarak bentang yang besar akan
terdapat gaya batang yang besar pula hingga konstruksi sambungan titik buhul
pada kuda-kuda kayu akan sulit pemecahannya. Maka untuk mengatasi hal ini
dibuatlah konstruksi kuda-kuda dari baja.
Untuk jarak kuda-kuda satu terhadap yang lain cukup besar misalnya 5,00 m
sampai 6,00 m, balok gording dapat dibuat dari baja profil kanal atau baja profil
L, sedangkan untuk jarak kuda-kuda yang lebih besar lagi, maka untuk

menghemat balok gording dapat dibuat dari baja profil yang disusun (“construer”)
(Sumargo, 2009).
Pada kuda-kuda baja yang besar, maka konstruksi tumpuan harus betul-betul
dapat menjamin kebebasan kuda-kuda untuk bergerak akibat kembang susut baja
karena perubahan temperatur. Pada kontruksi yang sederhana, agar kuda-kuda
dapat bergerak dengan bebas maka lubang untuk angkur baut dapat dibuat bujur
telur (“oval”) sedangkan pada konstruksi yang besar harus dibuat konstruksi
khusus (Sumargo, 2009).

6

7

2.3

Baja
Bahan baja, sebagaimana kita ketahui dewasa ini, merupakan kreasi

manusia modern. Pendahulu baja, yaitu besi cetak (cast iron, ditemukan di Cina
pada abat ke IV sebelum masehi) dan besi tempa (wrought iron), telah banyak

digunakan pada banyak gedung dan jembatan sejak pertengahan abad kedelapan
belas sampai pertengahan abad kesembilan belas. Meskipun demikian, di Amerika
Serikat, baja baru mulai dibuat pada tahun 1856 (Speigel,L.,& Limbrunner
George,F.,1998). Baja konstruksi adalah alloy steels (baja panduan), yang
umumnya mengandung lebih dari 98% besi dan biasanya kurang dari 1% karbon.
Sekalipun komposisi aktual kimiawi sangat bervariasi untuk sifat-sifat yang
diinginkan, seperti kekuatannya dan ketahanannya terhadap korosi, baja dapat
juga mengandung elemen paduan lainnya, seperti silikon, magnesium, sulfur,
fosfor, tembaga, krom, nikel, dalam berbagai jumlah. Baja tidak merupakan
sumber yang dapat diperbarui (renewable), tetapi dapat mempunyai daur ulang
(recycled), dan komponen utamanya besi sangat banyak. Salah satu keuntungan
baja adalah keseragaman bahan dan sifat-sifatnya yang dapat diduga secara cukup
tepat. Kestabilan dimensional, kemudahan pembuatan, dan cepatnya pelaksanaan
juga merupakan hal-hal yang menguntungkan dari baja struktural ini. Kita dapat
juga menuliskan kerugian-kerugiannya seperti mudahnya bahan ini mengalami
korosi (kebanyakan baja, tidak semua jenis baja) dan berkurangnya kekuatan pada
temperatur tinggi. Baja tidak mudah terbakar, tetapi harus antiapi (Speigel,L.,&
Limbrunner George,F.,1998).
Sedangkan baja ringan adalah komponen berkualitas struktural dari
lembaran baja yang dibentuk model tertentu dengan proses press-braking atau roll

forming. Suhu tidak diperlukan dalam proses pembentukan (tidak seperti baja hotrolled), oleh sebab itu disebut cold-formed. Biasanya baja cold-formed merupakan
komponen tipis, ringan, mudah untuk diproduksi, dan murah dibandingkan baja
hot-rolled (Mutawalli, 2010).
Riset tentang baja cold-formed untuk bangunan dimulai oleh Prof. George
Winter dari Universitas Cornell mulai tahun 1939. Berdasarkan riset-riset beliau
maka dapat dilahirkan edisi pertama tentang “Light Gauge Steel Design Manual”

8

tahun 1949 atas dukungan AISI (American Iron and Steel Institute) (Wei-Wen Yu,
2000). Sejak dikeluarkan peraturan tersebut atau lebih dari lima dekade ini, maka
pemakaian material baja canai dingin semakin berkembang untuk konstruksi
bangunan, mulai struktur sekunder sampai struktur utama, misalnya untuk balok
lantai, rangka atap dan dinding pada bangunan industri, komersial maupun rumah
tinggal.
Proses pembebanan diluar elastic range menyebabkan perubahan dalam
daktilitasnya yang berguna, jika digunakan dalam temperatur atmosfir. Proses
semacam ini dikenal sebagai Cold Work (Oentoeng, 2000). Baja ringan atau light
weight steel adalah komponen struktur baja dari lembaran atau pelat baja dengan
proses pengerjaan dingin kemudian diproses kembali komposisi atom dan

molekulnya (Irfan dkk., 2013). Karakteristik dari baja struktur dapat dilihat pada
Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural:
Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural
Jenis Baja

Tegangan Putus

Tegangan Leleh

Peregangan

Minimum, fu

Minumum, fy (MPa)

Minimum (%)

BJ 34
BJ 37


(MPa)
340
370

210
240

22
20

BJ 41
BJ 51
BJ 55

410
500
550

250
290

410

18
16
13

Sumber : Tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung, SNI 03-1729-2002
halaman 11

Menurut Tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung, SNI
03-1729-2002 halaman 9, tegangan putus dan leleh untuk perencanaan tidak boleh
diambil melebihi nilai yang ada ditabel tersebut. Sifat-sifat mekanis baja lainnya
yang ditetapkan sebagai berikut :
E (Modulus Elastisitas)

= 200.000 MPa

G (Modulus Geser)

= 80.000 MPa


µ (Nisbah Poisson)

= 0,3

α (Koefisien Pemuaian)

= 12 x 10-6 /ºc

9

Menurut Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung.
SNI 03-1729-2002 halaman 27, untuk penampang yang mempunyai perbandingan
lebar terhadap tebalnya lebih kecil dari pada nilai λ r, daya dukung nominal
komponen struktur tekan dihitung sebagai berikut :
Nn = Ag.fcr = Ag

fy
w


…..

……… 2.1
fcr =

fy
w

……....….. 2.2

untuk λc ≤ 0,25 maka w = 1
untuk 0,25 < λc < 1,2 maka
w=

1,43
1,6−0,67 λc

…..….….. 2.3

untuk λc ≥ 1,2 maka w = 1,25 λc2

Konstruksi pendukung bangunan mempunyai suatu susunan batang-batang baja
terdiri dari :
Rangka atap / Kuda-kuda
a) Pembebanan
b) Gording
c) Kuda-kuda
2.4

Beban
Menurut Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (berdasarkan

SNI 03-1729-2002) oleh Agus Setiawan, beban adalah gaya luar yang bekerja
pada suatu struktur. Penentuan secara pasti besarnya beban yang bekerja pada
suatu struktur selama umur layannya merupakan salah satu pekerjaan yang cukup
sulit. Dan pada umumnya penentuan besarnya beban hanya merupakan suatu
estimasi saja. Meskipun beban yang bekerja pada suatu lokasi dari struktur dapat
diketahui secara pasti, namun distribusi beban dari elemen ke elemen, dalam suatu
struktur umumnya memerlukan asumsi dan pendekatan. Jika beban-beban yang
bekerja pada suatu struktur telah diestimasi, maka masalah berikutnya adalah
menentukan kombinasi-kombinasi beban paling dominan yang mungkin bekerja


10

pada struktur tersebut. Besar beban yang bekerja pada suatu struktur diatur oleh
peraturan pembebanan yang berlaku, sedangkan masalah kombinasi dari bebanbeban yang bekerja telah diatur dalam SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2 yang akan
dibahas kemudian.
2.4.1

Beban Mati
Beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat

tetap, termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian-penyelesaian, mesin-mesin
serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu
(Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-17271989). Termasuk dalam beban mati adalah berat rangka, berat gording, beban
atap, dll.
Untuk merancang tentunya beban mati ini harus diperhitungkan untuk
digunakan dalam analisa. Dimensi dan berat elemen struktur tidak diketahui
sebelum analisa struktur selesai dilakukan. Berat yang ditentukan dari analisa
struktur harus dibandingkan dengan berat perkiraan semula. Jika perbedaannya
besar, perlu dilakukan analisa ulang dengan menggunakan perkiraan berat yang

lebih baik.
Berat beberapa material yang biasa digunakan dalam struktur dalam dilihat
dalam Peraturan Pembebanan Indonesia SNI 03-1729-1989 pada Tabel 2.2 Berat
sendiri bangunan dari komponen gedung. Untuk material khusus, biasanya
produsen

telah

memberikan

data

berat

material

berikut

dimensi

karakteristiknya.

Tabel 2.2 Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung

dan

11

Baja

7.850 kg/m3

Batu alam

2.600 kg/m3

Batu belah, batu bulat, batu gunung ( berat tupuk )

1.500 kg/m3

Batu karang ( berat tumpuk)

700 kg/m3

Batu pecah

1.450 kg/m3

Besi tulang

7.250 kg/m3

Beton (1)

2.200 kg/m3

Beton bertulang (2)

2.400 kg/m3

Kayu (kelas) (3)

1.000 kg/m3

Kerikil, koral ( kering udara sampai lembab , tanpa diayak )

1.650 kg/m3

Pasangan bata merah

1.700 kg/m3

Pasangan batu belah , batu bulat , batu gunung

2.200 kg/m3

Pasangan batu cetak

2.200 kg/m3

Pasangan batu karang

1.450 kg/m3

Pasir ( kering udara sampai lembab)

1.600 kg/m3

Pasir (jenuh air)

1.800 kg/m3

Pasir kerikil, koral ( kering udara sampai lembab)

1.850 kg/m3

Tanah , lempung dan lanau ( kering sampai lembab)

1.700 kg/m3

Tanah, lempung dan lanau ( basah)

2.000 kg/m3
11.400
kg/m3
7 kg/m2

Tanah hitam ( timbel )
Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan bentang maksimum
5 m dan jarak s.k.s. minimum 0,80 m
Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidang
atap
Penutup atap sirap dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidang atap

50 kg/m2
40 kg/m2

Penutup atap seng gelobang (BJLS-25) tanpa gording

10 kg/m2

Semen asbes gelombang (tebal 5 mm)

11 kg/m2

Sumber : SNI 03-1729-1989

2.4.1.1 Gording

12

Gording adalah balok atap sebagai pengikat yang menghubungkan antar
kuda-kuda. Gording juga menjadi dudukan atau kasau dan balok jurai dalam.
Struktur gording direncakan kekuatannya berdasarkan pembebanan beban mati
dan beban hidup dan beban angin. Kombinasi pembebanan yang ditinjau adalah
beban pada saat pemakaian yaitu beban mati ditambah beban air hujan, sedangkan
beban sementara yaitu beban-beban mati ditambah beban pekerja pada saat
pelaksanaan.
Dasar perhitungan yang digunakan adalah :
1) Peraturan Pembebanan Bangunan untuk Rumah dan Gedung SNI 03-17271989. Memuat dan menjelaskan mengenai ketetapan beban-beban yang harus
diperhitungkan dalam perencanaan suatu bangunan.
2) Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI 03-17292002. Memuat dan menjelaskan mengenai syarat-syarat serta ketentuan dan
standarisasi yang harus dipakai dalam perencanaan, khususnya perencanaan
baja di Indonesia.
Struktur gording direncanakan kekuatannya berdasarkan pembebanan
beban mati, beban hidup dan beban angin. Kombinasi pembebanan yang ditinjau
adalah beban pada saat pemakaian yaitu beban mati ditambah air hujan,
sedangkan beban sementara yaitu beban-beban mati ditambah beban pekerja pada
saat pelaksanaan.
Apabila gording ditempatkan dibawah penutup atap, maka komponen
beban atap dipindahkan tegak lurus ke gording, maka terjadi pembebanan sumbu
ganda terjadi momen pada sumbu x dan y dalah Mx dan My.
Berikut adalah rumus untuk perencanaan gording :

13

a. Pembebanan akibat beban mati (q)

qx
q qy
Gambar 2.1 Uraian Beban Gording Akibat Beban Mati
Beban pada sumbu x, qx = q cos α

….………. 2.4

Beban pada sumbu y, qy = q sin α

….………. 2.5
Beban Merata (q)

Gambar 2.2 Beban Merata Gording
Momen pada sumbu x, Mx =

1
8

x qx x

1
8

x qy x λ2

λ2

…….

……. 2.6
Momen pada sumbu y, My =

b. Pembebanan akibat beban hidup

px
q py

.…………. 2.7

14

Gambar 2.3 Uraian Beban Gording Akibat Beban Hidup
Beban pada sumbu x, Px = P Cos α

.…………. 2.8

Beban pada sumbu y, Py = P Sin α

.…………. 2.9
Beban Terpusat (P)

Gambar 2.4 Beban Terpusat (P) Gording
Momen pada sumbu x, Mx =

1
4

x Px x λ

………… 2.10

Momen pada sumbu y, My =

1
4

x Py x λ

………… 2.11

Momen-momen akibat beban hidup merata q, dan terpusat P diambil yang
berpengaruh terbesar. (akibat q atau akibat P).
c. Pembebanan akibat beban angin

Wx

b
Wx

Kg/m'

a

Gambar 2.5 Pembebanan Akibat Beban Angin
Wx = c . b . tekanan angin kg/m2
Wy = 0

……..….. 2.12
..……….. 2.13

15

Dimana : c adalah koefisien angin
Momen yang diakibatkan oleh beban angin adalah :
Mxw =

1
8

Wy λ2

….…..
…. 2.14

Myw = 0

.…....…... 2.15

Beban angin yang harus diperhitungkan pada kombinasi pembebanan
adalah beban angin tekan. Sedangkan beban angin hisap digunakan untuk
perhitungan kekuatan kait.
d. Kontrol Terhadap Tegangan
Mx My
+
≤σ
Wx Wy
………… 2.16
e. Kontrol Terhadap Lendutan
Lendutan izin = L/250
Lendutan terjadi
f=



L
fx 2 + fy2 ≤ f´ =
→Gording
250

(

)

Dimana rumus lendutan :

……..….. 2.17

16

{

5
q . λ4
×
→ Lendutan akibat beban merata
385 E . I
1 P . λ3
F= ×
→ Lendutan akibat beban terpusat
48 E . I
f=

………… 2.18

5
fg=384
q.L^4/E.l

x
L

fy
P

x

fx

f
fg= 1 P.L^3/E.l

y

Gambar 2.6 Lendutan Pada Gording

2.4.2

Beban Hidup
Beban hidup ialah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau

penggunaan suatu gedung, dan kedalamnya termasuk beban-beban pada lantai
yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta
peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung dan
diganti selama masa hidup dari gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan
dalam pembebanan lantai dan atap tersebut (Pedoman Perencanaan Pembebanan
Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989). Khusus pada atap ke dalam beban

17

hidup dapat termsuk bebean berasal dari air hujan, baik akibat genangan maupun
akibat tekanan jatuh (energy kinetik) butiran air. Ke dalam beban hidup tidak
termasuk beban angin, beban gempa dan beban khusus yang disebut dalam ayat
(2.4.3) dan (2.4.4) (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan
Gedung SNI 03-1727-1989). Beban hidup pada atap gedung adalah :
a. Beban hidup pada atap dan/atau bagian atap serta pada stuktur tudung
(canopy) yang dapat di capai dan dibebani oleh orang, harus diambil
minimum sebesar 100 kg/m2 bidang datar.
b. Beban hidup pada atap dan/atau bagian atap yang tidak dapat dicapai dan
dibebani oleh orang, harus diambil yang paling menentukan diantara dua
macam beban berikut :


Beban terbagi rata per m2 bidang datar berasal dari beban air hujan sebesar
(40-0,8α) kg/m2
Dimana α adalah sudut kemiringan atap dalam derajat, dengan ketentuan
bahwa beban tersebut tidak perlu ditinjau bila kemiringan atapnya adalah
lebih besar dari 50º.



Beban terpusat berasal dari seorang pekerja atau seorang pemadam
kebakaaran dengan peralatannya sebesar minimum 100 kg

c. Pada balok tepi atau gording tepi dari atap yang tidak cukup ditunjang oleh
dinding atau penunjang lainnya dari pada kantilever harus ditinjau
kemungkinan adanya beban hidup terpusat sebesar minimum 200 kg.
d. Beban hidup pada atap gedung tinggi yang diperlengkapi dengan landasan
helikopter (helipad) harus diambil sebesar minimum 200 kg/m 2 diluar
daerah landasan, sedangkan pada daerah landasannya harus diambil beban
berasal dari helikopter sewaktu mendarat dan mengangkasa.
2.4.3

Beban Angin
Beban angin ialah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian

gedung yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara (Pedoman Perencanaan
Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989).

18

Penentuan beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif
dan tekanan negative (angin hisap) yang berkena tegak lurus pada bidang-bidang
yang ditinjau. Besarnya tekanan positif dan tekanan negative ini dinyatakan dalam
kg/m2, ditentukan dengan mengalikan angin tekan yang ditentukan pada butir (I),
(II), (III), dan (IV) berikut, dengan ketentuan nilai angin tekan yang harus diambil
adalah sebagai berikut :
a. Angin tekan harus diambil minimum 25 kg/m 2, kecuali yang ditentukan
dalam ayat-ayat (b), (c), dan (d).
b. Angin tekan dilaut dan ditepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus
diambil minimum 40 kg/m2, kecuali ditentukan dalam ayat-ayat (c), dan
(d).
c. Untuk daerah-daerah di dekat laut dan daerah-dearah lain tertentu, di mana
terdapat kecepatan-kecepatan angin yang mungkin menghasilkan angin
tekan yang lebih besar dari pada yang ditentukan dalam ayat-ayat (a), dan
(b), angin tekan (p) perlu dihitung dengan rumus :
P=

V2
16

(Kg/m2)

…..……. 2.19

Di mana V adalah kecepatan angin dalam m/det., yang harus ditentukan
oleh instansi berwenang.
d. Pada cerobong, angin tekan dalam kg/m2 harus ditentukan dengan rumus
(42,5 + 0,6 h), di mana h adalah tinggi cerobong seluruhnya dalam meter,
diukur dari lapangan yang berbatasan.
Menurut SNI 03-1727-1989, koefisien angin (c) untuk gedung tertutup
untuk bidang-bidang luar, koefisien angin (+ berarti tekanan dan – berarti
hisapan), adalah sebagai berikut :
I.

II.

Dinding vertikal :
Di pihak angin

+ 0,9

Di belakang angin

- 0,4

Sejajar dengan arah angin

- 0,4

Atap segitiga dengan sudut kemiringan α :

19

Di pihak angin :

α < 65°

(0,02 α – 0,4)

65° < α >< 90°
Di belakang angin untuk semua
III.

+ 0,9
α

- 0,4

Atap lengkung dengan sudut pangkal β
β < 220° :

Untuk bidang lengkung di pihak angin :
Pada seperempat busur pertama

- 0,6

Pada perempat busur kedua

- 0,7

Untuk bidang lengkung dibelakang
angin pada seperempat busur pertama - 0,5
Pada seperempat busur kedua
β > 22° :

- 0,2

Untuk bidang lengkung dipihak angin:
Pada seperempat busur pertama

- 0,5

Pada seperempat busur kedua

- 0,6

Untuk bidang lengkung dibelakang
angin :
Pada seperempat busur pertama

- 0,4

Pada seperempat busur terakhir

- 0,2

catatan : Sudut pangkal adalah sudut antara garis penghubung titik pangkal dengan titik
puncak dan garis horizontal.

IV.

Atap segitiga majemuk :
Untuk bidang-bidang atap pihak angin :
α < 65°
65° < α < 90°

(0,2 α - 0,4)
+ 0,9

Untuk semua bidang atap di belakang angin,
kecuali yang vertikal menghadap angin,
untuk semua α

- 0,4

Untuk semua bidang atap vertikal bi belakang
angin yang menghadap angin
2.4.4

Beban Khusus

+ 0,4

20

Beban khusus ialah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian
gedung yang terjadi akibat selisih suhu, pengangkatan dan pemasangan,
penurunan fondasi , susut, gaya-gaya tambahan yang berasal dari beban hidup
seperti gaya rem yang berasal dari keran, gaya sentrifugal dan gaya dinamis yang
berasal dari mesin-mesin, serta pengaruh-pengaruh khusus lainnya (Pedoman
Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989).
2.4.5

Beban Kombinasi
Menurut Peraturan Baja Indonesia, SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2

mengenai kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa dalam perencanaan suatu
struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis kombinasi pembebanan berikut ini :
1,4 D
1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr or S or H)
1,2 D + 1,6 (Lr or S or R) + (0.5 L or 0,8 W)
1,2 D + 1,3 W + 0.5 L + 0,5 (Lr or S or R)
1,2 D ± 1,0 E + 0.5 L + 0.2 S
0,9 D ± (1,3 W or 1,0 E)
(Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiawan, hal. 11-12)
Dengan :
D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk
dinding, lantai atap, plafond, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan.
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut,
tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan dan lain-lain.
Lr adalah beban hidup diatap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja,
peralatan, dan material atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda
bergerak.
R adalah beban hujan, tidak termasuk diakibatkan genangan air.
W adalah beban angin.s
S adalah beban salju.
E adalah beban gempa yang ditentukan dari peraturan gempa γL = 0,5

21

Bila L < 5 kPa, dan γL = 1 bila ≥ 5 kPa. Faktor beban untuk L harus sama dengan
1,0 untuk garasi parker, daerah untuk pertemuan umum dan semua daerah yang
memikul beban hidup lebih besar dari 5 kPa.
2.5

Konsep Dasar LRFD
Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja

adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerja/working stress design (Allowable
Stress Design/ASD) dan perencanaan kondisi batas/limit states design (Load and
Resistance Factor Design/LRFD). Metode ASD dalam perencanaan struktur baja
telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dalam 20 tahun
terakhir prinsip perencanaan struktur baja mulai beralih ke konsel LRFD yang
jauh lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabilitas (Setiawan,
2008). Peraturan LRFD AISC adalah berdasarkan model probabilistic atau model
kemungkinan/peluang, kalibrasi dengan peraturan ASD AISC tahun 1978, dan
evaluasi menggunakan pertimbangan dan pengalaman terbaru/terkini sepanjang
dilakukannya pengembangan metode struktur oleh lembaga terkait (Novan, 2009).
Meskipun telah terbitnya SNI 03-1729-2002, kesulitan yang dihadapi oleh
perancang struktur baja Indonesia masih cukup besar yaitu tidak tersedianya alat
bantu praktis untuk merancang berupa kurva dan tabel yang dapat mempersingkat
waktu perhitungan. Hal ini tidak terjadi pada peraturan AISC-LRFD di Amerika
Serikat yang telah cukup lengkap menyediakan alat bantu perancangan. Untuk
hal-hal lain yang tidak tercakup dalam SNI 03-1729-2002, penulis mengacu pada
peraturan AISC-LRFD. Hal ini dengan pertimbangan bahwa pengkayaan
wawasan mengenai berbagai peraturan selain SNI juga perlu dilakukan mengingat
di dunia kerja dimungkinkan untuk tidak selalu menggunakan SNI.
Pertanyaan yang sering muncul adalah “Apakah LRFD akan lebih
mengehemat dibandingkan dengan ASD?”. Jawabannya adalah mungkin benar,
terutama jika beban hidup lebih kecil dibandingkan beban mati. Perlu dicatat
bahwa tujuan adanya LRFD bukanlah mendapatkan penghematan melainkan
untuk memberikan reliabilitas yang seragam untuk semua struktur baja. Dalam
ASD faktor keamanan sama diberikan pada beban mati dan beban hidup,

22

sedangkan pada LRFD faktor keamanan atau faktor beban yang lebih kecil
diberikan untuk beban mati karena beban mati dapat ditentukan dengan lebih pasti
dibandingkan beban hidup. Akibatnya perbandingan berat yang dihasilkan ASD
dan LRFD akan tergantung pada rasio beban hidup terhadap beban mati
(Sumargo,2009).
Untuk gedung biasa rasio beban hidup terhadap beban mati sekitar 0,25 s.d
4,0 atau sedikit lebih besar. Untuk bangunan baja tingkat rendah, perbandingan
tersebut akan sedikit diatas rentang ini. Dalam ASD kita menggunakan faktor
keamanan yang sama untuk beban mati dan beban hidup tanpa melihat rasio
beban. Jadi dengan ASD akan dihasilkan profil yang lebih berat dan faktor
keamanan akan lebih naik dengan berkurangnya rasio beban hidup terhadap beban
mati (Sumargo, 2009)
Untuk rasio L/D lebih kecil dari 3, akan terdapat penghematan berat profil
berdasarkan LRFD atau sekitar 1/6 untuk elemen tarik dan kolom dan 1/10 untuk
balok. Sebaliknya jika rasio L/D sangat tinggi maka hampir tidak ada penambahan
penghematan berat baja yang dilakukan berdasarkan LRFD dibandingkan ASD
(Sumargo, 2009)
.
2.6

SAP 2000

2.6.1

Sistem Koordinat
Setiap model struktur menggunakan koordinat yang berbeda untuk

menentukan joint dan arah beban, displacement, gaya dalam dan tegangan.
Pengetahuan tentang sistem koordinat ini sangat penting bagi pengguna, karena
untuk menentukan model dan mengterprestasikan hasil-hasil keluaran dari
program, pengguna harus memahami sistem koordinat ini. Semua sistem
koordinat ditunjukkan dengan sumbu tiga dimensi, menggunakan aturan tangan
kanan dan menggunakan sistem cartesius (segiempat).
2.6.1.1 Sistem Koordinat Global

23

Sistem koordinat Global X-Y-Z digunakan untuk memberikan lokasi dua
titik, sepasang sudut, atau dengan memberikan arah koordinat. SAP 2000 selalu
mengasumsikan sumbu Z arahnya vertikal, dengan Z+ arah ke atas.
2.6.1.2 Sistem Koordinat Lokal
Sistem koordinat Lokal 1-2-3 digunakan untuk menentukan potongan
property, beban dan gaya-gaya keluaran. Untuk menentukan sistem koordinat
lokal elemen yang umum dapat menggunakan orientasi default dan sudut
koordinat elemen frame, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.

Sumbu lokal 1 arah selalu memanjang arah sumbu elemen, arah positif
ialah dari ujung i ke ujung j.

2.

Orientasi default sumbu lokal 2 dan 3 ditentukan oleh hubungan diantara
sumbu 1 dan sumbu global Z sebagai berikut :
a. Jika sumbu lokal 1 arahnya horisontal, maka bidang 1-2 dibuat sejajar
dengan sumbu Z.
b. Jika sumbu lokal 1 arahnya ke atas (Z+) maka arah sumbu lokal 2
sejajar dengan sumbu X+.
c. Sumbu lokal 3 arahnya selalu horisontal sumbu bidang X-Y.

2.6.2

Material Property

1.

Modulus Elastisitas e1, untuk kekakuan aksial dan lentur. Berdasarkan
SKSNI 3.1.5 Ec = 4700√fc’ atau non pratekan Ec = 20000 Mpa. Untuk
baja E = 210 000 kN/m2 (21 Mpa).

2.

Modulus geser g12 untuk kekakuan torsi dan kekakuan geser melintang,
yang dihitung dari e1 dan angka Poison u12.

3.

Kerapatan massa per-unit volume m untuk menghitung massa elemen,
ambil rumus m = w/9,81 dimana w berat sendiri per unit.

4.

Berat sendiri per-unit volume w untuk menghitung beban berat sendiri
beton w = 24000 kg/m3 dan berat sendiri baja w = 7850 kg/m3 (78.5
kN/m3)

24

2.6.3

Beban Pada Struktur
Beban yang bekerja pada struktur ada beberapa macam diantaranya ialah

berat sendiri struktur, beban yang bekerja pada elemen, beban yang bekerja pada
gempa dan beban dinamik.
2.6.3.1 Berat Sendiri
Besarnya beban berat sendiri sama dengan berat volume w dikalikan
dengan luas penampang d. Berat sendiri arahnya selalu ke bawah, searah dengan
sumbu –Z. Berat sendiri ini dikalikan dengan faktor skala yang ditentukan untuk
seluruh struktur.
2.6.3.2 Beban Terpusat pada Elemen
Beban terpusat pada elemen digunakan untuk menentukan gaya terpusat
dan momen yang bebas dikerjakan pada sepanjang elemen. Lokasi beban dapat
ditentukan dengan salah satu cara pada Gambar 2.7 Menentukan Beban Terpusat
Elemen berikut ini.

25

Gambar 2.7 Menentukan Beban Terpusat Elemen
2.6.3.3 Beban Merata pada Elemen
Beban merata pada elemen digunakan untuk menentukan gaya dan momen
yang bekerja pada sepanjang elemen frame. Intensitas beban dapat berupa beban
merata atau trapesium (Santoso, 2008) seperti Gambar 2.8 Menentukan Beban
Merata pada Elemen dan Gambar 2.9 Menentukan Beban Trapesium pada Elemen
berikut.

Gambar 2.8 Menentukan Beban Merata pada Elemen

26

Gambar 2.9 Menentukan Beban Trapesium pada Elemen

2.7

Perhitungan Profil Kuda-kuda

2.7.1

Batang Tarik

1. Kelelehan dari penampang kotor (gross area) dari elemen yang jauh dari titik
sambungan.
2. Keruntuhan fraktur dari area bersih (not area) disambungan
3. Kegagalan blok geser fraktur dilubang baut sambungan
Batang tarik dapat dijumpai pada jembatan, rangka atap, tower, ikatan angin,
sistem pengaku, dll. Pemilihan penampang batang tarik sangat sederhana karena
tidak ada bahaya tekuk (buckling) sehingga untuk mendapat luas penampang yang
diperlukan cukup menghitung beban terfaktor yang dipikul oleh batang luas
penampang yang diperlukan (Sumargo,2009).
Tahap pengecekan kapasitas tarik aksial penampang siku ganda adalah sebagai
berikut:
1. Kapasitas leleh penampang gross : Pny = ∅ t . Fy . Ag
2. Penampang netto : An = Ag – 1 . tp . ( ∅ b + 2 mm)
3. Penampang efektif : Ueff = 1 -

Cx
2. S 2+S 1

Aeff = Ueff . An

27

4. Pengecekan kapasitas block shear : Pnf = ∅ nf . Fu . Ae
∅ t = Faktor Tahanan Tarik

Dimana :

Fy = Tegangan Leleh
Ag = Luas area fraktur
An = Penampang Netto
tp = Tebal Pelat
∅ b = Diameter Baut
∅ nf= Faktor Tahanan Tarik
Fu = Tegangan Ultimate
Ae = Luas area efektif = U . An
U = Koefisien reduksi

Tahap pengecekan kapasitas baut penampang siku ganda adalah sebagai berikut :
1. Luas penampang baut : Agb = 0.25.π. ∅ b2
2. Kapasitas geser 1 baut : Rvb = ∅

fb

. (0.5 . Fub) . mf . Agb

3. Kapasitas geser pelat siku 1 baut : Rvps = ∅

fb

4. Kapasitas geser pelat buhul 1 baut : Rvpg = ∅

. 1,2 . Lc . (2.ts) . Fub
fb

. 1,2 . Lc . tp . Fub

5. Kapasitas tumpuan pelat sikut 1 baut : R bps = 2 . ∅
b

fb

. [2,4 . Fu . ( ∅

+ 2 mm).ts]

6. Kapasitas tumpuan pelat buhul 1 baut : Rbpg = ∅

fb

. [2,4. Fu . ( ∅

2 mm). tp
7. Kapasitas baut desain : Rbd = min(Rvb, Rvps, Rvpg, Rbps, Rbpg)
8. Jumlah baut butuh : nb = ceil (
Dimana :



fb

Pu
)
Rbd

= Faktor tahanan geser baut (0.75)

Fub = Mutu baut (370 MPa)
mf = Jumlah bidang geser
Lc = s1 ( jarak tengah baut dengan tengah baut lainnya)
ts = Tebal pelat

b

+

28

2.7.2

Batang Tekan
Jika beban berusaha untuk menekan atau membuat pendek suatu batang,

tegangan yang dihasilkan disebut tegangan tekan dan batangnya disebut batang
tekan (Sumargo,2009). Secara umum ada tiga ragam keruntuhan dari batang tekan
yaitu tekuk lentur (flexural buckling), tekuk local (local buckling), dan tekuk
torsional (torsional buckling). Berikut ini adalah penjelasan dari ragam tersebut.
1. Tekuk lentur yang disebut juga tekuk Euler adalah jenis keruntuhan tekuk
yang paling sering terjadi dan akan banyak dibahas dalam bab ini. Elemen
yang mendapat lentur akan menjadi tidak stabil.
2. Tekuk local terjadi jika beberapa bagian penampang dari suatu kolom
menekuk akibat terlalu tipis sebelum ragam tekuk lain terjadi. Ketahanan
suatu kolom terhadap tekuk local diukur dari rasio lebar-tebal bagian
penampang.
3. Tekuk torsional dapat terjadi pada kolom dalam susunan penampang
tertentu. Kolom seperti ini akan runtuh oleh tekuk torsi atau kombinasi
tekuk torsi dan lentur.
Ada dua perbedaan utama antara batang tarik dan tekan, yaitu:
1. Gaya tarik menyebabkan batang lurus sedangkan gaya tekan menyebabkan
batang melentur ke luar bidang gaya tersebut bekerja dan ini merupakan
kondisi berbahaya.
2. Lubang baut atau rivet dalam batang tarik akan mereduksi luas
penampang, sedangkan pada batang tekan seluruh luas penampang dapat
menahan beban.
Analisis dilakukan sebagai berikut :
1. Jarak antar baut kopel : ac =
2. Torsional inersia : Jo =

1
3

Lds
4
. (hs .ts3 + bs . ts3)

3. Inersia gabungan : Ix = 2. Ixo
4. Check stabilitas local flens : λf =

Jg = 2. Jo

Iy = 2.Iyo + 2 . [As1 . (0.5 .tgp + Cx)2]
bs
ts

29

5. Untuk syarat batas flange : λpf = 0.45



E
Fy

6. Syarat penampang kompak : λf ≤ λpf
Pengecekan kapasitas tekan aksial penampang siku ganda adalah sebagai berikut :
π2 . E
1. Faktor kelangsingan spesifikasi : Fex =
( KL rm)2
2. Tegangan buckling kritis : Fcrx =
3. Syarat kapasitas tekan aksial
Dimana ;

2.8

Fy
Fex

(0.658 ) . F

y

Pu
≤1
Pn

Pn = Øc . Ag . Fcrd

Ld

= Panjang Batang

KLrm

= Modifikasi Faktor Kelangsingan

bs/hs

= Panjang Kaki Profil

ts

= Tebal Kaki Profil

Fex

= Faktor Kelangsingan Spesifikasi

Øc

= Faktor Tahanan untuk Elemen Tekan (0,9)

Sambungan
Sambungan terdiri dari komponen sambungan (pelat pengisi, pelat buhul,

pelat pendukung, dan pelat penyambung) dan alat pengencang (baut dan las).
Sambungan tipe tumpu adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut
yang dikencangkan dengan tangan, atau baut mutu tinggi yang dikencangkan
untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang disyaratkan, kuat rencananya
disalurkan oleh geser pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang
disambungkan (SNI 03-1729-2002).
Sambungan

tipe

friksi

adalah

sambungan

yang

dibuat

dengan

menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan
baut minimum yang disyaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya geser
rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan
yang ditimbul antara bidang-bidang kontak (SNI 03-1729-2002).
Pembebanan dalam bidang adalah pembebanan yang gaya dan momen
lentur rencananya berada dalam bidang sambungan sedemikian rupa sehingga

30

gaya yang ditimbulkan dalam komponen sambungan hanya gaya geser.
Pengencang tanpa slip adalah pengencang yang tidak memungkinkan terjadinya
slip antara pelat atau unsur yang dihubungkan, sedemikian rupa sehingga
kedudukan relatifnya tidak berubah. Pengencang tanpa slip dapat berupa
sambungan tipe friksi dari baut mutu tinggi atau las (SNI 03-1729-2002).
Pembebanan tidak sebidang adalah pembebanan yang gaya atau momen
lentur rencananya menghasilkan gaya yang arahnya tegak lurus bidang
sambungan. Gaya ungkit adalah gaya tarik tambahan yang timbul akibat
melenturnya suatu komponen pada sambungan yang memikul gaya tarik sehingga
terjadi gaya ungkit di ujung komponen yang melentur. Kencang tangan adalah
kekencangan baut yang diperoleh dengan kekuatan penuh seseorang yang
menggunakan alat pengencang standar atau dengan beberapa pukulan alat
pengencang impak (SNI 03-1729-2002).
Kuat rencana setiap komponen sambungan menurut SNI 03-1729-2002
tidak boleh kurang dari beban terfaktor yang dihitung. Perencanaan sambungan
harus memenuhi persyaratan berikut:
a.

Gaya-dalam yang disalurkan berada dalam keseimbangan dengan gayagaya yang bekerja pada sambungan;

b. Deformasi pada sambungan masih berada dalam batas kemampuan
deformasi sambungan;
c. Sambungan dan komponen yang berdekatan harus mampu memikul gayagaya yang bekerja padanya.
2.8.1

Jenis Sambungan
Menurut Diktat Sambungan oleh Novan A tahun 2009, Secara umum

berdasarkan posisi jalur gaya, konfigurasi elemen, dan geometrisnya sambungan
dapat dikelompokkan atas 2 jenis yaitu:
a. Sambungan Sederhana (Simple Connection), adalah gaya yang bekerja pada
sambungan melalui titik berat sambungan tersebut.

31

b. Sambungan Eksentris (Eccentric Connection), adalah gaya yang bekerja pada
sambungan tidak melalui titik berat sambungan tersebut dan mempunyai
eksentrisitas atau lengan gaya.
Sambungan merupakan bagian paling kritis pada sebuah struktur baja.
Banyak kegagalan terjadi bukan pada elemen utamanya (balok atau kolom)
namun mayoritas terjadi pada elemen sambungan.
Sambungan tipe lama seperti Rivet (paku keliling, Fy=190 MPa s/d 260 MPa)
sudah lama ditinggalkan sejak tahun 1951 (Peninggalan revolusi industry dan
perang dunia I-II). Rivet ditinggalkan karena rumit dalam pengerjaan (ereksi),
memerlukan 4 orang tenaga terlatih untuk melaksanakan penyambungannya,
sedangkan baut bisa memakai 2 tenaga tidak terlatih untun pekerjaan yang sama.
Konsep desain dan analisis Rivet sama dengan baut hanya berbeda material.
Las sederhana dalam konsep, persyaratan dan visualisasi sambungannya.
Namun las membutuhkan tenaga las terlatih dan pengawasannya sangat ketat serta
memakan biaya yang lebih besar dibandingkan baut. Kekurangan las bisa diatasi
dengan melakukan pengelasan di WorkShop atau dengan mengkombinasikan
dengan sambungan baut (Novan, 2009).
Sambungan bisa menerima 1 jenis gaya atau kombinasi sejumlah gaya
(Aksial+Momen+Shear)
2.8.2

Perencanaan Baut

2.8.2.1 Jenis Baut
Ada beberapa jenis baut yang dapat digunakan sebagai sambungan dalam
struktur baja. Beberapa jenis baut tersebut antara lain adalah ‘Unfinished Bolt’
atau baut biasa dan ‘High Strength Bolt’ atau baut mutu tinggi. Baut biasa
dikelompokkan oleh ASTM dalam A307 yang terbuat dari baja karbon dengan
sifat tegangan-regangan yang hampir sama dengan baja A36. Diameter baut ini
bervariasi antara 5/8 s.d. 1 ½ dengan interval diameter 1/8 in. baut A307
umumnya digunakan pada struktur ringan dengan beban statik dan untuk elemen
sekunder seperti gording, girt, pengaku, platform, rangka kecil, dll.

32

Perencanaan umumnya akan menggunakan baut biasa untuk sambungan
dan bukan baut mutu tinggi. Kekuatan dan kelebihan dari baut biasa telah sejak
lama tidak diperhatikan. Analisa dan perencanaan sambungan dengan baut A307
diperlakukan sama seperti sambungan Rivet kecuali dalam hal tegangan ijin
(Sumargo,2009).
Baut mutu tinggi dibuat dari karbon medium baja yang dipanaskan dan
dari baja alloy dengan kekuatan tarik dua kali atau lebih dari baut biasa. Pada
dasarnya ada dua jenis baut mutu tinggi, baut A325 (dari karbon medium yang
dipanaskan) dan baut A490 dengan kekuatan yang lebih tinggi (dari baja alloy
yang dipanaskan). Baut mutu tinggi digunakan pada seluruh jenis bangunan mulai
dari bangunan kecil hingga bangunan tingkat tinggi serta jembatan. Baut jenis ini
dikembangkan akibat kelemahan tarik pada leher baut biasa setelah proses
pendinginan. Gaya tarik yang dihasilkan tidak cukup kuat untuk membuat baut
dalam posisi semua/diam akibat beban getaran. Baut mutu tinggi harus
dikencangkan lebih kuat hingga mempunyai tegangan tarik bagian disambung
terikat kuat antara kepala baut dan ‘nuts’, dan beban ditransfer oleh gesekan.
Kadang-kadang baut mutu tinggi dibuat dari baja A449 untuk ukuran yang
lebih besar dari 1 ½ in diameter baut A325 dan A490. Baut dengan ukuran lebih
besar digunakan pula sebagai baut angkur mutu tinggi dan batang berulir dengan
diameter yang bervariasi (Sumargo,2009).
Untuk baut mutu tinggi, baut dan semua kelengkapannya harus memenuhi
persyaratan sesuai dengan JIS, AISC, atau persyaratan lain yang setara atau dapat
dilihat pada Tabel 2.3 Baut Mutu Tinggi Berdasarkan JIS,AISC.
Tabel 2.3 Baut Mutu Tinggi berdasarkan JIS, AISC
Tipe

A-325

F-8 T

Gaya tarik ijin

Gaya geser ijin

M16

(ton)
6.127

(ton)
2.451

M20

8.821

3.495

M22

12.03

4.766

M24
M16

15.71
5.03

6.218
2.41

Ukuran

33

F-10 T

M20

7.85

3.77

M22

9.50

4.56

M24
M16

11.30
6.23

5.42
3.02

M20

9.73

4.71

M22

11.80

5.70

M24

14.00

6.78

Sumber : JIS,AISC 2010

Untuk kondisi beban sementara, gaya-gaya ijin di atas bisa ditingkatkan sebesar
30%.
JIS adalah Japanese Industrial Standars
AISC adalah peraturan perancangan struktur baja yang dikeluarkan oleh
American Institute Of Steel Construction.
2.8.2.2 Kelebihan Baut Mutu Tinggi
Menurut buku ajar Perancangan Struktur Baja Metode LRFD Elemen Aksial
Politeknik Negeri Bandung oleh Sumargo tahun 2009, Kelebihan dari baut mutu
tinggi adalah :
1. Pekerja lebih sedikit dibandingkan dalam pemasangan sambungan Rivet.
2. Dibandingkan sambungan Rivet, untuk memberikan kekuatan yang sama
diperlukan baut mutu tinggi lebih sedikit.
3. Sambungan yang baik dengan baut mutu tinggi tidak memerlukan tenaga yang
dilatih terlalu tinggi dibandingkan dengan sambungan baut atau Rivet dengan
mutu sambungan yang sama. Cara pemasangan baut mutu tinggi yang baik
dapat dipelajari hanya dalam beberapa jam.
4. Tidak diperlukan baut bantu pelaksanaan (erektion bolt) dan harus dilepaskan
kembali

(tergantung

peraturan

yang

digunakan)

dibandingkan

pada

sambungan las.
5. Kebisingan yang ditimbulkan tidak seperti pada sambungan Rivet.
6. Peralatan yang diperlakukan untuk membuat sambungan baut lebih murah.
7. Tidak menimbulkan bahaya kebakaran atau terlemparnya Rivet yang masih
panas.

34

8. Sambungan dengan baut mutu tinggi memberikan kekuatan fatik yang lebih
tinggi dibandingkan sambungan Rivet dan las.
9. Jika perlu perubahan bentuk struktur akan lebih mudah hanya dengan
membuat baut dibandingkan dengan sambungan las dan Rivet.
2.8.2.3 Tata Letak Baut
Jarak antar pusat lubang pengencang tidak boleh kurang dari 3 kali
diameter nominal pengencang atau dapat dilihat pada Gambar 2.7 Tata Letak
Baut.

Gambar 2.10 Tata Letak Baut
Sumber : Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD Berdasarkan SNI 03-17292002, Agus Setiawan)

A. Jarak Tepi Minimum
Jarak minimum dari pusat pengencang ke tepi pelat atau pelat sayap profil
harus memenuhi spesifikasi dalam Tabel 2.4 Jarak Tepi Minimum.
Tabel 2.4 Jarak Tepi Minimum
Tepi dipotong dengan

Tepi dipotong dengan

Tepi profil bukan hasil

tangan
1,75 db

mesin
1,50 db

potongan
1,25 db

Sumber : SNI 03-1729-2002

Dengan db adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir.
B. Jarak Maksimum

35

Jarak antara pusat pengencang tidak boleh melebihi 15t p (dengan tp adalah
tebal pelat lapis tertipis didalam sambungan), atau 200 mm. Pada pengencang
yang tidak perlu memikul beban terfaktor dalam daerah yang tidak mudah
berkarat, jaraknya tidak boleh melebihi 32t p atau 300 mm. Pada baris luar
pengencang dalam arah gaya rencana, jaraknya tidak boleh melebihi (4t p + 100
mm) atau 200 mm.
C. Jarak Tepi Maksimum
Jarak dari pusat tiap pengencang ke tepi terdekat suatu bagian yang
berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12 kali tebal pelat lapis
luar tertipis dalam sambungan dan juga tidak boleh melebihi 150 mm.
2.8.2.4 Lubang Baut
Sambungan sering memperlemah elemen, faktor ini merupakan fungsi
daktilitas material, spasi baut, konsentrasi tegangan pada lobang, prosedur
pabrikasi yang disebut Fenomena “Shear Lag” atau kelebihan tegangan.
Fenomena ini terjadi jika sejumlah penampang lintang dari elemen ada
yang tidak tersambung (salah satu kaki dari profil siku yang dibaut atau dilas ke
gusset plate [pelat buhul]). Akibatnya bagian yang tersambung mengalami
“Overload” dan yang tidak mengalami “Kelebihan Tegangan”. Reduksi efek ini
bisa dilakukan dengan memperpanjang area sambungan. Penelitian Mussed dan
Chesson (1963) menyarankan Shear Lag dihitung dengan menggunakan reduksi
atau area efektif (Novan, 2009).
Untuk sambungan baut (Luas bersih efektif) : Ae = An.U

...……… 2.20

Untuk sambungan las (Luas efektif)

...….…… 2.21

: Ae = Ag.U

U : faktor reduksi untuk kedua jenis sambungan.
U=1−


≤ 0.9
I

I

: Panjang Sambungan

An

: Luas Bersih (Netto) Penampang

Ag

: Luas Kotor (Gross) penampang



…….……2.22

: Jarak dari centroid luas elemen tersambung kebidang sambungan.

36

2.8.2.5 Kekuatan Baut
Beberapa tahap ntuk menghitung kapasitas tarik dan sambungan type bearing
adalah sebagai berikut :
1. Ulir diluar bidang geser : An = Ag – 2 (Øb + 2 mm) .tp
2. Menghitung kapasitas tarik elemen pelat : Fnp = Øt . Fy . A
3. Menghitung kapasitas geser 1 baut : Rnb = Øfb.(0.5.Fub).mf.Ab
4. Kapasitas tarik sambungan yang menentukan : Rnco1 = min(Rnpd,Rnbd)
5. Ulir didalam bidang geser , kapasitas geser 1 baut : Rnb1 = Øfb.(0.4
Fub).mf.Ab
6. Kapasitas tarik sambungan yang menentukan : Rnco2 = min(Rnpd,Rnbd)