Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain

I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup
Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II Nomor 2: 70 – 77

Jurnal Studi Kultural
http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup
I Made Marthana Yusa*
STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:

Studi ini meninjau aspek-aspek dalam konteks desain dan gaya hidup mengenai pelaksanaan ritual

kematian yang dikonstruksi dalam terminologi perayaan kematian. Sepanjang peradaban manusia telah
ditemukan peninggalan berupa artefak, kebudayaan dan sastra yang berhubungan dengan cara manusia
memaknai kematian. Kematian sebagai bagian dari kehidupan dimaknai dengan berbagai cara. Pada studi
ini, penulis mengungkap bagaimana manusia—secara khususnya masyarakat di Indonesia —merayakan
kematian dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut berhubungan dengan kepercayaan dan pola perayaan
kematian.

Dikirim 24 April 2017
Direvisi 7 Mei 2017
Diterima 9 Mei 2017

Kata Kunci:
Perayaan
Kematian
Gaya
Obituary
Homology

Perayaan kematian yang dipengaruhi hasrat untuk hadir, dikenali, dihormati, dan memosisikan diri atau
golongan tertentu pada suatu tataran sosial budaya tertentu akhirnya memiliki kecenderungan untuk

membentuk suatu kebiasaan yang mengarah pada suatu gaya hidup. Penulis mengkaji perayaan kematian
dari berbagai filsafat kematian menurut berbagai pemikiran filsuf, psikologi kematian, perayaan kematian
dalam sudut pandang kepercayaan/agama, dan studi kasus tentang peringatan kematian seperti pada
prosesi mengantar roh orang mati (atman) menuju alam baka pada tradisi di Bali (ngaben), berita
kematian pada surat kabar (obituary), hingga homology instrumentasi pendukung ”perayaan kematian”
seperti atribut dan busana.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Semua siklus kehidupan manusia dengan penandaan
ritual pada momen-momen tertentu tidaklah lepas dari
peranan manusia lainnya atau lingkungannya. Manusia
menciptakan suatu penandaan atau prasasti untuk
momen-momen tertentu seperti kelahiran yang
merupakan peristiwa di mana manusia ”hadir” dan
juga penandaan dimulainya kehidupan seorang
manusia dalam suatu lingkungan masyarakat.
Momen akil balig (peristiwa inisiasi), di mana manusia

mendapat status di dalam masyarakat tadi. Kemudian,
pernikahan dapat menjadi momen penting dalam
masyarakat. Pernikahan merupakan saat di mana
manusia akan melakukan proses regenerasi untuk
meneruskan keturunannya.


Peneliti koresponden: Kampus STMIK STIKOM Indonesia (STIKI Indonesia), Jl. Tukad
Pakerisan no.97 Denpasar, BALI 80225. E-mail: made.marthana@gmail.com
made.marthana@stiki-indonesia.ac.id, angelmarthy.com | angelmarthy.deviantart.com

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Sedangkan yang terakhir adalah kematian atau akhir
dari proses kehidupan. Penandaan pada momen
tersebut kemudian menjadi suatu kebiasaan manusia
dan kemudian karena kebiasaan tersebut dipercayai
oleh masyarakat menjadi suatu hal yang sakral, maka
kebiasaan itu berkembang dan menjadi suatu tradisi
dalam masyarakat.

Suatu tradisi akan berkembang lagi dan menjadi
”hukum” atau kode etik di dalam masyarakat. Di
dalam suatu kepercayaan masyarakat terhadap
”hukum” atau kode etik tadi maka kebiasaan-kebiasaan
di dalam masyarakat tersebut akan dilakukan bahkan
dilaksanakan.
Jikalau ada bagian dari masyarakat yang tidak
mematuhinya, maka ia, sebagai bagian dari masyarakat
tersebut, akan mendapat ”sanksi atau hukuman” dari
lingkungannya.
70

I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Namun karena tidak adanya sanksi atau hukuman
untuk seseorang yang dianggap melanggar kode etik
atau norma tadi, maka lingkungannya pamali atau
tidak boleh dilanggar, atau yang biasa disebut tabu.


dunia ini suatu saat, mau tidak mau, siap tidak
siap, pasti akan kita tinggalkan dan tidak ada bekal
yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup
manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam
dalam memori ruhani yang nantinya akan di-printout di akhirat kelak.

Hal tersebut menimbulkan suatu mitos atau legenda di
dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Menurut
Alan Tomlinson dalam Piliang (2008) [1] dikatakan:
Lifestyle is about what we believe and think, what we
arrive at our beliefs, what we do, and how our action
express particular belief or value. Manusia merespon
kematian dalam kognisinya terhadap berbagai
kepercayaan dan pengalaman.

Yang menarik, keyakinan semacam ini tidak saja
ditemukan di kalangan agamawan melainkan juga
di kalangan filsuf serta memperoleh dukungan
ilmiah seperti yang secara panjang lebar

dikemukakan oleh Frank J.Tipler dalam bukunya
The Physics of Immortality (1994).

Penulis mengkaji dengan metode cultural reading:
semiotics dan hermeneutics tentang bagaimana
manusia “merayakan kematian” dalam berbagai
aktivitas yang berpola, kemudian menjadikannya
sebagai way of life yang menuju kepada penerapan
lifestyle secara sadar ataupun tidak sadar.
2.

Telaah Pustaka
2.1. Kematian sebagai
Manusia

“Bagian

dari

Kehidupan”


Tanpa disadari, keyakinan bahwa setiap saat
seseorang bisa dijemput kematian memiliki
pengaruh yang amat besar bagi kehidupan
seseorang. Begitu pun keyakinan adanya
kelanjutan hidup setelah kematian. Dengan
harapan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat
kelak, maka Raja-raja Mesir Kuno membangun
piramida dengan puncaknya yang runcing dan
menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan
arwahnya menuju surga.
Sementara Raja-raja Tiongkok ketika meninggal
dan jasadnya dikubur, berbagai perhiasan yang
paling disukai disertakannya ke dalam suatu
bangunan yang kokoh dan megah karena yakin
bahwa kematian adalah suatu transisi untuk
memasuki kehidupan baru yang lebih agung dan
abadi. Dalam pada itu Islam secara tegas
mengajarkan bahwa tiada seseorang pun yang bisa
menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali

akumulasi dari amal kebaikan kita sendiri [2].
Doktrin Islam tersebut secara ekspresif dan
dramatis diperagakan dalam seremoni ibadah haji
yang semuanya mengenakan baju ihram.
Rangkaian ibadah haji tersebut memberikan pesan
kuat pada seluruh manusia bahwa pada akhirnya
Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Mengutip kata orang bijak, tersenyumlah engkau
ketika malaikat maut menjemputmu meskipun
keluarga yang engkau tinggalkan akan menangis.
Sebaliknya, alangkah malangnya jika engkau
hadapi kehadiran maut dengan tangis penuh
ketakutan sementara orang-orang di sekitarmu
tersenyum gembira karena merasa risih akan
keberadaanmu di tengah mereka [3].

Citra 1. Baju Ihram sebagai simbol kesahajaan dan kesetaraan manusia
di hadapan Tuhan. Sumber Gambar : dari berbagai sumber


Maka tidak aneh jika filsuf J. Paul Sartre sendiri pun
bergumam: “kematian merupakan peristiwa yang tidak
terpahami. Fenomena kematian adalah kenyataan yang
menyergap secara tiba-tiba dan membuta, sehingga
manusia tidak mampu mengontrolnya. Kedatangannya
tidak bisa diperhitungkan dan sangat mengejutkan
manusia yang sedang merencanakan hidupnya dan
berusaha mewujudkannya.”
Kematian adalah keniscayaan, hal ini pasti disadari
setiap insan. Kendati demikian, manusia pada
umumnya tidak suka, bahkan sangat takut pada
kematian. Bagi sebagian orang, kematian sangat
menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai
peristiwa yang amat tragis dan mengerikan.

71

I Made Marthana Yusa

Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam

Psikologi Kematian [3], menjelaskan beberapa alasan
mengapa manusia takut terhadap kematian.
Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan
menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap
berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk
harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya
dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu
keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut
pada dosa-dosa yang ia lakukan selama di dunia ini.
Kematian kerapkali menjadi dramatis, apalagi kalau
peristiwa itu melibatkan diri kita, orang yang kita cintai,
orang yang sangat kita butuhkan, orang yang
memengaruhi atau menentukan jalur hidup kita.
Akibatnya, meskipun kita (manusia) hidup di alam di
mana semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami
kematian, tidak begitu mudah menerima kematian itu
sendiri, atau menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.
Manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan
tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam
menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali,

biasanya ingat kematian hanya kalau tiba-tiba ada
jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca
istirja’: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Namun,
istirja’ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja, karena ia
tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah
dengan ibadah dan amal saleh.
2.2 Perayaan Kematian
Para filsuf memiliki dua pandangan yang bertolak
belakang tentang hidup. Ada yang pesimis sehingga
memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat, penuh
kesedihan dan kesulitan lalu berakhir dengan maut yang
berarti kepunahan. Ada juga yang optimis menilai hidup
sebagai penghormatan dan tanggung jawab yang dapat
berakhir dengan kebahagiaan dan kekekalan yang baru
diperoleh melalui maut [4].
Ada berbagai cara dan ekspresi manusia dalam
memaknai kematian. Ada kecenderungan bagi orangorang untuk menunjukkan eksistensi, prestasi dan
”posisi” diri ataupun kerabat dekat di sekelilingnya
bahkan hingga kematian tiba.
Ada keinginan untuk ”memberitahu dunia” tentang
berita kematiannya. Hal tersebut berkaitan dengan
ontologi citra dan psikologi citra. Ada yang
menganggap peristiwa kematian sebagai suatu perayaan
yang penuh suka cita dan layak untuk dirayakan
bersama. Berbagai cara dalam mengekspresikan
perayaan kematian tersebut bisa berbentuk suatu
peringatan dan pengabadian peristiwa kematian dalam
Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

nisan, monumen, obituary, dokumentasi multimedia dan
sebagainya atau bisa dengan perayaan upacara seperti
penghormatan terakhir dalam prosesi kemiliteran, atau
upacara tradisional seperti Ngaben dalam tradisi
masyarakat di Bali [5].
3. Metode
Penulis mengkaji perayaan kematian dengan tiga metode.
Pertama, metode studi literatur, dengan melihat fenomena
perayaan kematian dan mengkajinya dengan sudut pandang
berbagai filsafat kematian menurut berbagai pemikiran
filsuf, psikologi kematian, dan perayaan kematian dalam
sudut pandang kepercayaan/agama.
Kedua, observasi. Observasi dilakukan dengan mengamati
perayaan kematian pada studi kasus ritual kematian seperti
pada prosesi mengantar roh orang mati (atman) menuju alam
baka pada tradisi di Bali (ngaben), berita kematian pada
surat kabar (obituary), hingga mengamati homology
instrumentasi pendukung ”perayaan kematian” seperti atribut
dan busana.
Observasi yang dilakukan menggunakan pendekatan
semiotika visual. Tanda-tanda yang didokumentasikan
sebagai hasil observasi dikaitkan antara penanda dan petanda
dengan korelasi yang logis dan benar. Hasil pengorelasian
dirangkum dalam kesimpulan.
Ketiga, analisis yang digunakan adalah tinjauan desain dan
gaya hidup dengan membingkai permasalahan dalam ruang
lingkup desain dan gaya hidup, kemudian melihat
implementasi teori-teori desain dan gaya hidup yang ada
pada objek penelitian.
4. Pembahasan
4.1 Pelebon Agung Keluarga Kerajaan di Puri Agung
Ubud, Gianyar, Bali

Tradisi masyarakat di Bali dengan kepercayaannya,
Hindu Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi
jiwanya. Saat seseorang meninggal dipercayai
bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh.
Tubuh kasar (sthula sarira) yang terdiri dari unsur
api (panas), udara (gas), air (cair), bumi (padat),
dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta,
dan jiwa yang telah disucikan (atman), sebagai
badan halus (suksma sarira) menyatu dengan sang
pencipta. Inilah hakekat dan tujuan ngaben.
Kematian sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih
penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana
harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah
kematian datang. Itulah yang jelas tertangkap dari
cara sanak keluarga, rekan, dan warga
melaksanakan ngaben atau pelebon.
72

I Made Marthana Yusa

Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah
bersemangat, penuh harapan bagi yang telah
meninggal, maupun yang ditinggalkan.

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Dalam hal ini (ngaben), penulis melihat adanya hubungan
perayaan ngaben dengan konsep capital dalam hubungannya
dengan lifestyle (dapat dilihat pada bagan di citra 3). Posisi
keluarga kerajaan yang tinggi dalam tatanan masyarakat
sosial di Ubud (cultural and symbolic capital),
direpresentasikan dalam berbagai instrumentasi ngaben yang
megah dan menghabiskan banyak uang (Economic Capital),
namun mampu memberikan keuntungan berupa keringanan
biaya bagi masyarakat karena penyelenggaraannya secara
massal (social capital) (dapat dilihat pada bagan di citra 4).

ECONOMIC
CAPITAL

Citra 2. Patung lembu dan bade atau tempat jenazah diarak dari Puri Agung
Ubud menuju Setra Dalam Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali, Selasa
(15/7/2008). Puncak upacara kremasi keluarga kerajaan (pelebon) yang
dituakan, Tjokorda Gde Agung Suyasa, Tjokorda Gede Raka, serta Desak Raka
(Gung Niang Raka), itu disaksikan ribuan warga di Bali dan wisatawan.
Sumber gambar : http://cetak.kompas.com

Tiga orang yang dikremasi itu tergolong dituakan dan
terpandang. Mereka adalah Tjokorda Gde Agung
Suyasa, kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua
komunitas tradisional di Ubud sejak 1976; Tjokorda
Gede Raka, seorang pensiunan di Kepolisian Kota
Besar Denpasar; dan Gung Niang Raka. Turut pula
dikremasi 68 jenazah dari empat banjar desa adat sekitar
Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan, Ubud Tengah,
Ubud Kelod Peken, dan Ubud Kaja [6].

SOCIAL
CAPITAL

CULTURAL
CAPITAL

Citra 3. Bagan hubungan Capital & Lifestyle
FIELD OF
PRODUCTION

FIELD OF
EXPRESSION

l
bo
m
Sy

ic

l
ita
ap
C

Ec
on
om
ic

Ca
pi
ta
l

LIFE STYLE
C
ul
tu
ra
l

C
ap
ita
l

i
ap
C
al
i
oc

l
ta

FIELD OF
DISSEMINTION

Juru bicara Puri Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa,
menjelaskan ngaben kali ini adalah pertama terbesar
sejak 1979 saat ngaben seniman masyhur dari Ubud
yang juga keturunan puri, Cokorda Gde Agung
Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan dianggap
penting dari sisi penegak moral dan ritual keagamaan,
dukungan masyarakat di Bali pun sedemikian besar.

LIFE STYLE

SYMBOLIC
CAPITAL

S

FIELD OF
APPRECIATION

Citra 4. Bagan Fields of Lifestyle

Setidaknya 68 desa adat di Bali secara gotong royong
membantu upacara ini. ”Pelebon bukanlah suatu acara
duka, tetapi diyakini sebagai cara menghibur jiwa-jiwa
yang telah meninggal dan menjaga agar jiwa mereka
tidak terganggu oleh tangisan yang ditinggal [6]. Di sisi
lain, pelebon merupakan bentuk gotong royong seluruh
anggota keluarga dan masyarakat untuk mengurangi
beban biaya,” kata Kerthyasa, Jumat lalu.
Menurut Kerthyasa, berapa pun besarnya biaya upacara
keagamaan—biaya fisik dalam seluruh ritual kremasi di
Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara
itu tidak dapat berhenti di tengah jalan. ”Dalam ngaben
niri (sendiri) biaya bisa di atas Rp 50 juta dari kantong
pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya bisa ditekan
jadi Rp 5 juta,” kata Ni Nyoman Rented, menantu
almarhumah Ni Wayan Genjong, salah satu petani
penggarap yang jenazahnya ikut dalam ngaben massal
ini [6].
Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Pada upacara tersebut, seluruh jenazah ditempatkan di suatu
bade (menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini 28,5
meter dengan berat 11 ton) diarak ribuan warga di Bali.
Prosesi juga diikuti patung lembu penuh hiasan megah dan
disucikan Masyarakat Hindu serta Patung Nagabanda.
Patung naga hanya muncul pada kremasi keluarga puri yang
dituakan. Lembu adalah simbolisasi dari Lembu Nandini,
Wahana Dewa Siva, penguasa dunia kematian [6].
Saat dikremasi, jenazah ditempatkan di atas menara sebagai
simbol antara bumi dan langit. Suatu bhoma (topeng
bermuka seram) ditempatkan di belakang menara untuk
menakuti roh jahat dan topeng garuda ditempatkan di depan
menara.

73

I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

beranggapan perajin krans (karangan) bunga duka cita
nggege mangsa (mendahului kehendak tuhan).

Citra 5. Kiri: Replika Lembu Hitam, sombol dari Lembu Nandini, wahana dewa
Siwa, sebagai pemralina (penguasa dunia akhir kehidupan). Tengah : Bhoma,
topeng pengusir bala (hal negatif). Kanan : bade (wadah jenazah) dengan
tumpang (atap) sembilan, sebagai lambang alam bhurloka (alam roh). Ada
pemanfaatan objek simbol (use of object) berkaitan dengan pola gaya hidup.
sumber : http://cetak.kompas.com

4.2 Fenomena meninggalnya Soeharto,
Presiden ke-2 NKRI
Meninggalnya tokoh yang sangat populer sangat
memengaruhi masyarakat. Ada keinginan untuk ikut
larut dalam seremoni itu yang berhubungan dengan
fenomena ‘histeria massa’, yang dikendalikan oleh
mekanisme citra. Seseorang bisa melihat hal tersebut
pada “perayaan kematian” Soeharto, mantan presiden
Indonesia.
Sebagai masyarakat Indonesia yang pernah “dekat”
dengan kepemimpinan Soeharto, janggal rasanya jika
tidak ikut terlarut dalam “perayaan kematian” Soeharto.
Ada suatu self moral punishment, Panopticon: the
social relation of observation, surveillance, discipline
and efficiency (Michel Foucault, Discpline and Punish),
walaupun Soeharto tidak sempurna dan dikecam banyak
orang di Indonesia karena pemerintahan yang korup.
Pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan
kebijaksanaan untuk menaikkan bendera Merah Putih
setengah tiang untuk menghormati Soeharto yang telah
menjadi presiden di Indonesia selama lebih dari 30
tahun lamanya [7].
Senin siang, 28 Januari 2008 itu, di kawasan Astana
Giribangun, Metasih, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah―kompleks pemakaman keluarga Cendana,
diterjang panas menyengat. Tak banyak orang yang
memperhatikan, saat pemakaman Soeharto ternyata
disyukuri para tukang ojek karena mereka memperoleh
rezeki nomplok. Saat penguburan jenderal besar itu
mereka memperoleh penghasilan melebihi hari-hari
biasa [7].
Pada hari biasa pendapatan menarik ojek paling banyak
Rp 15.000 hingga Rp 20.000, pada saat pemakaman
Penguasa Orde Baru itu, Senin siang, para pengojek
mengantongi Rp 200.000. Bahkan, sejumlah menteri tak
segan mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk
menggunakan jasa ojek menuju Astana Giribangun [7].

Sejak presiden terlama berkuasa di Indonesia itu dirawat
di RSPP dan dinyatakan kondisinya kritis, pesanan
membanjiri kios bunga milik Dwi Santo yang terletak di
jantung Kota Solo. Dwi Santo mengaku usaha
pembuatan karangan bunga miliknya yang sudah empat
generasi menjadi langganan keluarga Cendana [7].
Saat Siti Hartinah atau Ibu Tien, istri Soeharto,
meninggal beberapa tahun lalu, pihaknya juga
kebanjiran pesanan krans bunga. Hingga Minggu
(27/1/2008) pagi kios bunga milik Dwi Santo telah
menyiapkan 300 papan krans karangan bunga duka cita
yang telah dipesan pelanggan. Permintaan tulisan di
krans bunga duka cita pun beragam. "Biasanya mereka
minta ditulis singkat, tapi minta dibesarkan nama
instansi atau nama pemesannya. Ini kan menandakan si
pengirim karangan bunga duka cita tidak tulus
mencampaikan ucapan belasungkawa," ujarnya [7].
Dari fenomena tersebut, seperti fenomena pada
perayaan ngaben, terdapat hubungan perayaan kematian
Presiden Soeharto saat itu dengan konsep capital dalam
hubungannya dengan Lifestyle. Dalam hal ini social dan
economic capital.
Terdapat fenomena menarik tentang pemujaan citra
(fetishism of image ) dan ontologi citra Soeharto beserta
Keluarga Cendana (Keluarga Besar Soeharto) dalam
mempertahankan posisi citra (existence of images) yang
menggiring pada ontologi citraan (ontology of images)
dan posisi pada “masyarakat kelas atas”.
Soeharto dan keluarganya “meminjam” image Astana
Giri Bangun sebagai tempat peristirahatan terakhir
(baca:makam) dalam transposisi image untuk
menunjukkan kelas priayi dari Keluarga Besar Soeharto.
Karena, Astana Giri Bangun mewakili image tempat
pemakaman para priayi agung keluarga besar dari
Keraton Mangkunagaran (Citra 7).

Citra 6. Astana Giri Bangun, Metasih, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah―kompleks pemakaman keluarga Cendana dengan image-nya sebagai
makam keluarga priayi. Sumber Gambar: dari berbagai sumber

Penjual jasa lain yang memetik untung dari kematian
Soeharto adalah para penjual bunga. Banyak orang
Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

74

I Made Marthana Yusa

Keluarga
Besar
Soeharto

Status
Sosial
Tinggi

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

Borrowing

Transposition

Astana
Giri
Bangun

Makam
Keluarga
Priayi
Mangkunegaran

Citra 7. Transposisi Image antara Keluarga Besar Soeharto
dan Astana Giri Bangun.

4.3 Obituary sebagai Ontologi Citraan
Obituary merupakan wujud ekspresi dari kecenderungan
orang-orang untuk menunjukkan eksistensi, prestasi dan
”posisi” diri ataupun kerabat dekat di sekelilingnya
bahkan hingga kematian tiba. Ada keinginan untuk
”memberitahu dunia” tentang berita kematiannya.
Citra 9. Obituary 01. Sumber: dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Hal tersebut berkaitan dengan Ontologi Citra dan
Psikologi Citra. Jonathan Rutherford dalam karya tulisnya, Identity: Community, Culture, Difference, (1990)
[1] mengatakan : “Pada tingkat individual, identitas
memberikan seseorang suatu ‘lokasi personal’ (personal
location) sebagai ‘titik pusat individualitas’ yang stabil
dan mantap.” Terdapat suatu upaya dalam mengukuhkan
eksistensi diri dan memperlihatkan lokasi personal
antara desain obituary yang satu dengan yang lain.
Seperti yang bisa dilihat pada analisis penulis tentang
obituary.

Space (ruang/bidang) penempatan obituari dalam media
surat kabar mendapat tempat di bagian yang sama
dengan iklan. Karena itu banyak yang menempatkan
nama yang bersifat komersil dalam obituary. Bisa nama
toko atau perusahaan asal atau milik almarhum atau
pihak terkait yang ingin diakui eksistensinya atau
keterlibatannya dengan almarhum.
Seakan-akan, seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali
juga Komaruddin Hidayat dalam psikologi kematian, si
almarhum tidak siap berpisah dengan orang-orang yang
dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama
ini dikumpulkannya dengan susah payah. Dalam
obituary dicantumkan jabatan semasa almarhum hidup
beserta perusahaan-perusahaan yang dimiliki dan rekan
kerja yang dijalin semasa hidup.

Citra 8. Image tag atau banner obituari pada Klasifikasi Iklan (Klasika)
KOMPAS dengan gaya romantisme-nostalgia, menyesuaikan dengan citra
positif kematian yang meninggalkan kenangan dan memori terhadap
almarhum.Sumber Gambar : Klasika Harian KOMPAS

4.4 Homology Obituary
Penulis melihat adanya homology dalam struktur desain
obituary. Pertama, dibuat berbingkai, berbentuk
pemberitahuan dengan kop obituary menunjukkan
bahwa obituary mengabarkan berita kematian. Biasanya
tulisan yang tertera pada kop obituary adalah berita
duka cita, atau rest in peace. Kemudian waktu
kematian, dan identitas almarhum yang disampaikan
dengan foto wajah yang terbaik (belum tentu foto
terakhir) menurut keluarga almarhum, beserta nama
dengan ukuran yang mencolok dan umur almarhum.
Masyarakat keturunan Tionghoa menyertakan nama
Tionghoa-nya. Kemudian dilanjutkan informasi seputar
penyemayaman jenazah dan nama-nama keluarga dan
kerabat almarhum.
Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Citra 10. Obituary 02. Sumber: dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Ada juga obituary yang menampilkan prestasi gemilang
almarhum semasa hidupnya. Kegemilangan prestasi
almarhum tentu saja akan membawa kebanggaan juga
bagi keluarga yang ditinggalkan. Biasanya untuk
memperlihatkan kegemilangan prestasi tersebut, sang
75

I Made Marthana Yusa

almarhum diperlihatkan dengan kostum atau atribut
kebesarannya.

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

dan nilai pakaian dalam seremoni kematian. Semakin
mahal dan semakin terkenal rancangan busana, semakin
tinggi status sosial dan capital-nya.

Yang berprestasi di dunia militer, foto almarhum
memperlihatkan atribut militer. Yang berprestasi dalam
dunia pendidikan, diperlihatkan prestasi tersebut dengan
toga dan atributnya. Seperti yang bisa dilihat pada citra
11 obituary 03.
Citra 12 Kiri : Gaya berpakaian nyekar yang lebih santai dengan baju batik.
Tengah dan Kanan: Gaya berpakaian untuk melayat yang didominasi warna
hitam dan putih atau kombinasi warna lain yang menimbulkan kesan duka dan
menunjukkan simpati dan empati. Sumber: Berbagai sumber

Dalam
tradisi
militer,
”perayaan”
kematian
diselenggarakan upacara kemiliteran dengan berbagai
atribut militer dan rentetan upacaranya.

Citra 11. Obituary 03. Sumber: Dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Tentu saja dibutuhkan biaya untuk memasang obituary
pada media. Semakin besar ukurannya, maka semakin
besar-lah uang yang harus dibayar. Peluang tersebut
dipergunakan juga untuk menunjukkan posisi dan
difference untuk membedakan dari yang lain sehingga
memperlihatkan strata sosial dan eksistensi almarhum
dan keluarga dengan jelas.

Citra 13. Rentetan upacara ”Perayaan Kematian” Militer. Penuh dengan
perangkat kemiliteran dan tembakan penghormatan dengan instrumen simbol
disposisi bunga dan karangan bunga yang lekat dengan perayaan kematian.
Sumber: Berbagai sumber

Pada Citra 14 dapat dibandingkan
instrumentasi dalam "perayaan kematian".

disposisi

Dalam hubungan ”perayaan” kematian dalam kelompok
masyarakat, terjalin adanya kontak sosial, kepedulian
terhadap manusia lain yang meninggal dunia. Muncullah
Praktik nyekar, melayat dengan cara yang terkait
dengan disposisi yang telah disepakati sebelumnya
dalam masyarakat dalam rangka ”perayaan” kematian
itu.
Disposisi itu biasanya berupa atribut, simbol dan
berbagai instrumentasi. Misalnya pada pakaian.
Kebanyakan warna pakaian untuk menghadiri acara
resmi yang berhubungan dengan kematian di Indonesia
biasanya adalah warna hitam atau putih yang
melambangkan kedukaan dan kesucian. Warna-warna
cerah pada umumnya dianggap tabu karena kontras dan
cenderung bermakna kegembiraan.

Citra 14. Disposisi instrumentasi dalam perayaan kematian. Sumber:
Rangkuman gambar oleh penulis

Semua di-setting dalam suasana duka. Untuk acara
nyekar, aturan dalam berpakaian lebih tidak terikat, tapi
tetap dalam batasan-batasan yang telah disepakati
bersama dalam lingkungan tertentu.

5. Konklusi
Manusia memaknai kematian sebagai bagian dari kehidupan
dengan berbagai cara. Pertama, ada yang takut dengan
kematian itu, kemudian sebagai respon akan rasa panik
tersebut, timbul paranoia, sehingga akhirnya dengan tekun
mempelajari agama secara mendalam. Yang ingin mencapai
pencerahan secara instan, biasanya mencari pengalaman
dengan mengikuti aliran-aliran kepercayaan alternatif seperti
sufisme, taoisme, dan lain-lainnya.

Ada keinginan juga yang secara sadar atau tidak sadar
untuk memperlihatkan status sosial dari cara berpakaian

Ada yang memperingati kematian dalam perspektif
menghargai kehidupan dan bertindak sebaik-baiknya,

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

76

I Made Marthana Yusa

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

menghargai penggunaan waktu dan tempat seefektif dan
seefisien mungkin. Ada yang tidak peduli dengan kematian
dan memanfaatkan masa hidup dengan bersenang-senang
dengan alasan waktu hidup singkat. Kaum ini adalah kaum
hedonis.
Masyarakat memiliki pola khusus dalam merayakan
kematian. Ada pemanfaatan objek (use of object), ruang dan
waktu ketika manusia berhadapan dengan perayaan
kematian. Penulis mengambil contoh perayaan ngaben,
fenomena kematian tokoh populer, ontologi citra melalui
obituary dan disposisi instrumentasi perayaan kematian
dalam membahas “perayaan” kematian dalam tinjauan
desain dan gaya hidup. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa ada berbagai konsep gaya hidup yang diterapkan
dalam konteks “perayaan” kematian manusia, seperti
concept of capital, the use of object, ontologi citra, disposisitransposisi image, dan homology.
Referensi
[1]

Piliang, Yasraf Amir. 2008. Materi Kuliah Desain dan Gaya
Hidup. Bandung : Institut Teknologi Bandung

[2]

Al Ghazali. 2008. Metode Menjemput Kematian. Bandung :
JABAL

[3]

Hidayat, Komaruddin. 2005. Psikologi Kematian-Mengubah
Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta : Mizan.

[4]

Christiawan, Johanes. 2002. Ketika Aku Melihat Kematianku.
Studio Seni Grafis. Bandung : ITB.

[5]

---, . 2017. “Kebermaknaan Kematian Menurut John Hick”.
http://nelkaonline.wordpress.com/2007/11/21/kebermaknaankematian-menurut-john-hick/)

[6]

Koestanto, Benny Dwi. 2008. ”Ngaben Massal - Seribu
Harapan
di
Setra
dalam
Ubud”.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/16/01434040/seri
bu.harapan.di.setra.dalam.ubud.

[7]

Soetopo, Eddy J.2008. ‘Berkah’ Kematian Soeharto. VHR
Media./

Profil Penulis
I Made Marthana Yusa, S.Ds., M.Ds menyelesaikan pendidikan program
Sarjana Desain dan Magister Desain pada Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Institut Teknologi Bandung.
Penulis saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Doktoral Kajian
Budaya Universitas Udayana, Bali. Homebase Penulis adalah pada
konsentrasi Desain Grafis dan Multimedia, Teknik Informatika, STMIK
STIKOM Indonesia, Denpasar-Bali. Beberapa publikasi penulis dapat
dilihat pada :
Google Scholar :
https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&imq=I+Made+Marthana+Yusa
&user=AYrv2xQAAAAJ
Orcid : orcid.org/0000-0001-7642-8837
Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

77