Hakekat Ilmu dalam Islam docx
“Ilmu adalah cahaya”, kata almarhum Kyai saya di kampung mengutip pesan
yang disampaikan oleh Imam Waki’ kepada muridnya Idris as-Syafi’i. Kyai saya
kemudian menjelaskan nasehat Imam Waki’ tersebut, bahwa seseorang yang di dalam
dirinya terdapat cahaya maka ia akan menjadi manusia yang berenergi, memiliki
semangat hidup. Saya baru sadar, rupanya kyai saya mengkomparasikan nasehat
Imam Waki’ di atas dengan teori Energinya Albert Einstein. Faktanya orang-orang
yang berilmu merupakan tipe manusia yang seakan-akan memiliki kelebihan energi.
Orang-orang alim atau para ulama’ di era kejayaan Islam misalnya banyak yang
berpredikat polymath atau ahli dalam aneka bidang ilmu dan penemuan serta teoriteorinya berpengaruh hingga di era modern ini. Maka apa sebenarnya hakikat ilmu
dalam Islam? Mengapa dulu Islam melahirkan jutaan ilmuwan namun sekarang
dengan berkembangnya teknologi dan aneka metode pembelajaran justru kaum
muslimin mundur di berbagai bidang?
Ilmu sendiri berasal dari istilah Arab Al-‘ilmu yang secara etimologis atau
bahasa merupakan bentuk masdar atau kata sifat dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman.
Dijelaskan bahwa lawan kata Al-‘ilmu adalah kata Al-jahl (tidak tahu/bodoh). Maka
bisa diambil kesimpulan bahwa kata Al-‘ilmu secara bahasa adalah pengetahuan. Lalu
apakah semua pengetahuan adalah ilmu?
Secara terminologis atau istilah, ilmu merupakan pemahaman tentang segala
sesuatu . Ilmu juga bermakna sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui
dari dzat (esensi), sifat, dan makna sebagaimana adanya atau pemahaman yang lebih
mendalam tentang segala sesuatu. Sedangkan dalam kitab tafsir Aisar at-Tafaasir,
Abu Bakar Al Jazairi menjelaskan makna Surat Fathir ayat 28 yang berbunyi :
1
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah Swt di antara hamba-hambaNya
hanyalah Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(Q.S Al-Fathir : 28)
“Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak
mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya. Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”2. Sedangkan
makna “rasa takut” menurut Sa’id ibn Jubair adalah segala sesuatu yang menghalangi
engkau dari maksiat kepada Allah Swt3.
Sedangkan menurut Ibn Taimiyah, ilmu adalah sesuatu yang datang dari
Rasulullah Saw sebagai petunjuk bagi manusia yang sangat diperlukan dalam
mengarungi kehidupan. Sukses atau tidaknya seorang manusia tergantung sekuat apa
dia memegang ilmu. Dan ilmu yang dimaksud sebagai ilmu sebagai jalan petunjuk
adalah ilmu yang berasal dari Rasulullah Saw.
Senada dengan Ibn at-Taimiyah, Ahmad Karzun memandang ilmu itu sebagai
panglima sedangkan amal itu pengikutnya. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu
adalah panglimanya, sedang amal pengikutnya. Setiap amal yang tidak berpedoman
kepada ilmu dan tidak mengikuti bimbingan ilmu, maka amal itu tidak berguna bagi
pelakunya bahkan dapat membahayakannya”. Karena itu sebagian ulama salaf
berkata: “Barang siapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang ia rusak
lebih banyak dari apa yang ia perbaiki”. Jadi, ilmu adalah tolak ukur dan standar
utama kebenaran.4
Quraisy Shihab menandaskan apabila dikembalikan kepada Al-Qur’an maka
makna orang ‘Alim adalah apabila pengetahuannya menimbulkan rasa takut kepada
Allah Swt. Semakin tinggi pengetahuan atau ilmunya semakin tinggi pula ketaatannya
kepada Allah Swt. Jadi bisa disimpulkan bahwa hanya orang-orang berilmu yang
paling tinggi rasa takutnya kepada Allah Swt sehingga semakin taat dan tunduk
kepada aturan Allah Swt. Maka apabila ada orang yang berilmu namun tidak memiliki
rasa takut kepada Allah Swt, bisa dipastikan orang tersebut ilmunya tidak bermanfaat.
Allah Swt bahkan mencela orang seperti ini di dalam Al Qur’an dengan gambaran
seumpama anjing yang menjulurkan lidahnya baik ketika diusir maupun dibiarkan
(Q.S Al-A’raf : 175-176).
Bisa disimpulkan bahwa ilmu adalah nur atau cahaya sebagaimana pesan
Imam Waki’, sebagai petunjuk atau penerang bagi manusia agar hidupnya selalu
lurus. Orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang memiliki sifat ta’abud atau
menghamba kepada Allah Swt karena ilmunya selalu selaras dengan amalnya dan
amalnya selalu dalam bimbingan ilmunya. Apapun ilmunya, baik ilmu agama (fiqh)
maupun ilmu science (matematika, fisika, kimia) serta sosial (geografi, ekonomi,
politik) selama semuanya memunculkan sifat takut kepada Allah Swt wajib bagi kaum
muslimin untuk mempelajarinya.
Sedangkan fenomena yang menimpa kaum muslimin dewasa ini bisa jadi
disebabkan oleh dua hal. Pertama, kesalahan dalam memahami hakekat ilmu. Ilmu
hanya dipahami sebagai pengetahuan semata bukan sebagai jalan (thariqah) untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kedua, terjadi Deislmasasi ilmu, yaitu ketika
ilmu-ilmu umum dipisahkan dari hakekat agama sebagai bagian usaha Barat untuk
memperlemah posisi kaum muslimin dengan menyebarkan virus sekulerisme ke
tengah-tengah dunia Islam. Pada akhirnya kaum muslimin mengalami kesalahan
dalam melakukan epistimologi yang pada gilirannya justru membuat posisi kaum
muslimin semakin mundur dalam kancah peradaban dunia. Wa ma tawfiqi illa bilLah.
Catatan kaki :
1.
Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, Cairo: 1980, Jilid 2,
hlm. 624.
2. Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, Madinah Al
Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003, Jilid 4, hlm. 354
3. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq al-Shekh, Lubab at-Tafsir min Ibni
Katsir, terj. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i, 2004, Jilid 6, hlm. 610
4. Zamroji, Imam, Etika Menuntut Ilmu Dalam Islam. www.insistnet.com
Hakekat Ilmu Dalam
Islam
Oleh: Nur Fajarudin, S.Pd
Jurusan Ilmu Pendidikan Islam
Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Ibnu Khaldun Bogor
2013-2014
yang disampaikan oleh Imam Waki’ kepada muridnya Idris as-Syafi’i. Kyai saya
kemudian menjelaskan nasehat Imam Waki’ tersebut, bahwa seseorang yang di dalam
dirinya terdapat cahaya maka ia akan menjadi manusia yang berenergi, memiliki
semangat hidup. Saya baru sadar, rupanya kyai saya mengkomparasikan nasehat
Imam Waki’ di atas dengan teori Energinya Albert Einstein. Faktanya orang-orang
yang berilmu merupakan tipe manusia yang seakan-akan memiliki kelebihan energi.
Orang-orang alim atau para ulama’ di era kejayaan Islam misalnya banyak yang
berpredikat polymath atau ahli dalam aneka bidang ilmu dan penemuan serta teoriteorinya berpengaruh hingga di era modern ini. Maka apa sebenarnya hakikat ilmu
dalam Islam? Mengapa dulu Islam melahirkan jutaan ilmuwan namun sekarang
dengan berkembangnya teknologi dan aneka metode pembelajaran justru kaum
muslimin mundur di berbagai bidang?
Ilmu sendiri berasal dari istilah Arab Al-‘ilmu yang secara etimologis atau
bahasa merupakan bentuk masdar atau kata sifat dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman.
Dijelaskan bahwa lawan kata Al-‘ilmu adalah kata Al-jahl (tidak tahu/bodoh). Maka
bisa diambil kesimpulan bahwa kata Al-‘ilmu secara bahasa adalah pengetahuan. Lalu
apakah semua pengetahuan adalah ilmu?
Secara terminologis atau istilah, ilmu merupakan pemahaman tentang segala
sesuatu . Ilmu juga bermakna sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui
dari dzat (esensi), sifat, dan makna sebagaimana adanya atau pemahaman yang lebih
mendalam tentang segala sesuatu. Sedangkan dalam kitab tafsir Aisar at-Tafaasir,
Abu Bakar Al Jazairi menjelaskan makna Surat Fathir ayat 28 yang berbunyi :
1
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah Swt di antara hamba-hambaNya
hanyalah Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(Q.S Al-Fathir : 28)
“Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak
mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya. Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”2. Sedangkan
makna “rasa takut” menurut Sa’id ibn Jubair adalah segala sesuatu yang menghalangi
engkau dari maksiat kepada Allah Swt3.
Sedangkan menurut Ibn Taimiyah, ilmu adalah sesuatu yang datang dari
Rasulullah Saw sebagai petunjuk bagi manusia yang sangat diperlukan dalam
mengarungi kehidupan. Sukses atau tidaknya seorang manusia tergantung sekuat apa
dia memegang ilmu. Dan ilmu yang dimaksud sebagai ilmu sebagai jalan petunjuk
adalah ilmu yang berasal dari Rasulullah Saw.
Senada dengan Ibn at-Taimiyah, Ahmad Karzun memandang ilmu itu sebagai
panglima sedangkan amal itu pengikutnya. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu
adalah panglimanya, sedang amal pengikutnya. Setiap amal yang tidak berpedoman
kepada ilmu dan tidak mengikuti bimbingan ilmu, maka amal itu tidak berguna bagi
pelakunya bahkan dapat membahayakannya”. Karena itu sebagian ulama salaf
berkata: “Barang siapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang ia rusak
lebih banyak dari apa yang ia perbaiki”. Jadi, ilmu adalah tolak ukur dan standar
utama kebenaran.4
Quraisy Shihab menandaskan apabila dikembalikan kepada Al-Qur’an maka
makna orang ‘Alim adalah apabila pengetahuannya menimbulkan rasa takut kepada
Allah Swt. Semakin tinggi pengetahuan atau ilmunya semakin tinggi pula ketaatannya
kepada Allah Swt. Jadi bisa disimpulkan bahwa hanya orang-orang berilmu yang
paling tinggi rasa takutnya kepada Allah Swt sehingga semakin taat dan tunduk
kepada aturan Allah Swt. Maka apabila ada orang yang berilmu namun tidak memiliki
rasa takut kepada Allah Swt, bisa dipastikan orang tersebut ilmunya tidak bermanfaat.
Allah Swt bahkan mencela orang seperti ini di dalam Al Qur’an dengan gambaran
seumpama anjing yang menjulurkan lidahnya baik ketika diusir maupun dibiarkan
(Q.S Al-A’raf : 175-176).
Bisa disimpulkan bahwa ilmu adalah nur atau cahaya sebagaimana pesan
Imam Waki’, sebagai petunjuk atau penerang bagi manusia agar hidupnya selalu
lurus. Orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang memiliki sifat ta’abud atau
menghamba kepada Allah Swt karena ilmunya selalu selaras dengan amalnya dan
amalnya selalu dalam bimbingan ilmunya. Apapun ilmunya, baik ilmu agama (fiqh)
maupun ilmu science (matematika, fisika, kimia) serta sosial (geografi, ekonomi,
politik) selama semuanya memunculkan sifat takut kepada Allah Swt wajib bagi kaum
muslimin untuk mempelajarinya.
Sedangkan fenomena yang menimpa kaum muslimin dewasa ini bisa jadi
disebabkan oleh dua hal. Pertama, kesalahan dalam memahami hakekat ilmu. Ilmu
hanya dipahami sebagai pengetahuan semata bukan sebagai jalan (thariqah) untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kedua, terjadi Deislmasasi ilmu, yaitu ketika
ilmu-ilmu umum dipisahkan dari hakekat agama sebagai bagian usaha Barat untuk
memperlemah posisi kaum muslimin dengan menyebarkan virus sekulerisme ke
tengah-tengah dunia Islam. Pada akhirnya kaum muslimin mengalami kesalahan
dalam melakukan epistimologi yang pada gilirannya justru membuat posisi kaum
muslimin semakin mundur dalam kancah peradaban dunia. Wa ma tawfiqi illa bilLah.
Catatan kaki :
1.
Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, Cairo: 1980, Jilid 2,
hlm. 624.
2. Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, Madinah Al
Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003, Jilid 4, hlm. 354
3. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq al-Shekh, Lubab at-Tafsir min Ibni
Katsir, terj. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i, 2004, Jilid 6, hlm. 610
4. Zamroji, Imam, Etika Menuntut Ilmu Dalam Islam. www.insistnet.com
Hakekat Ilmu Dalam
Islam
Oleh: Nur Fajarudin, S.Pd
Jurusan Ilmu Pendidikan Islam
Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Ibnu Khaldun Bogor
2013-2014