SKRIPSI penegakan hukum pidana. docx

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI
( EIGENRECHTING )

PUTU BAGUS DARMA PUTRA
NIM : 1116051031

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

1

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI
( EIGENRECHTING )

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

PUTU BAGUS DARMA PUTRA
NIM : 1116051031

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 2 JUNI 2016

Pembimbing I

A.A Ngurah Yusa Darmadi,SH.,MH
NIP 195711251986021001


Pembimbing II

I Gusti Ngurah Parwata,SH.,MH
NIP 195612241986031005

SKRIPSI INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL : 16 juli 2016

Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 0903/UN14.4E/IV/pp.07.02.05/2016 Tanggal 11 Juli 2016

Ketua

: A.A Ngurah Yusa Darmadi,SH.,MH

(

)


Sekretaris

: I Gusti Ngurah Parwata,SH.,MH

(

)

Anggota

: 1. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum

(

)

2. I Wayan Suardana, SH.,MH

(


)

3. Sagung Putri M.E Purwani, SH.,MH

(

)

4

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atas segala penyertaan dan rahmat-Nya, karena dapat menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini yang merupakan tugas dan kewajiban bagi setiap mahasiswa di tingkat
terakhir pada Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai syarat untuk
menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Meskipun pada
awalnya terdapat berbagai hambatan dan keraguan dalam proses pembuatannya,
namun karena ini adalah kewajiban penulis yang harus diselesaikan sebagai

bagian dari pertanggungjawaban, maka sudah menjadi kewajiban penulis untuk
dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan sebaik-baiknya. Adapun judul
skripsi yang penulis angkat ialah PENEGAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI ( EIGENRECHTING ).
Dengan terselesaikannya skripsi akhir ini, maka satu kewajiban penulis dapat
terselesaikan. Keberhasilan ini tidak begitu saja dapat diraih tanpa adanya
motivasi, baik itu dalam bentuk materiil dan imaterril dari berbagai pihak.
Sehingga baiknya penulis sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan
dari hati yang paling dalam kepada :
1.

Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., MHum., Dekan

2.

Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3.


Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II

4.

Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas

5.

Hukum Universitas Udayana.
Bapak A.A Gede Oka Parwata, SH., M.Si., Ketua Program

6.

Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Ibu A.A Sri Utari, SH.,MH, Dosen Pembimbing Akademik yang

7.


telah memberi banyak motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
Bapak A.A Ngurah Yusa Darmadi, SH.,MH, Dosen Pembimbing I
dalam penyusunan skripsi ini, beliau selalu memberikan petunjuk, arahan,
motivasi serta meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan
serta petunjuk dengan penuh kesabaran kepada penulis sehingga skripsi ini

8.

dapat diselesaikan.
Bapak I Gusti Ngurah Parwata, SH.,MH, Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan saran serta masukan dalam perbaikan skripsi ini,
guna menghasilkan skripsi yang sempurna, beliau selalu teliti, cermat serta

9.

sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta pegawai administrasi
dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.


Kedua Orang Tua tercinta, AKP I Wayan Mudiasa, SH dan Ibu
AKP Ni Ketut Purnamawati, SH serta Adik saya Ni Komang Ayu Indah
Paramitha yang telah banyak membantu lewat doa, perhatian, dorongan dan
semangat. peran mereka sungguh besar terhadap penulis karena tanpa
dukungan,

dampingan serta kasih sayang mereka penulis tidak akan bisa menyelesaikan
skripsi ini, mereka telah berkorban demi penulis, mereka selalu ada disaat
penulis susah ataupun senang, mendidik, serta selalu memberi nasehat dan
selalu memberikan semangat agar penulis tidak putus asa.
11.
Seorang wanita istimewa, A.A Ayu Manik Pratiwiningrat, SH yang
tidak henti-hentinya menuntun, menemani, menasihati serta mendukung dan
memberikan semangat moril maupun materil kepada penulis dalam
12.

menyelesaikan skripsi ini.
Teman-teman angkatan 2011 di Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

nuansa dan warna selama menjalani masa perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa kesempurnaan adalah
hanya milik Tuhan/Ida Shang Hyang Widhi Wasa, dan kekurangan adalah
milik segala manusia, maka begitu pula dalam skripsi ini mungkin belum
mampu memaparkan secara sempurna permasalahan yang di kaji, sehingga
Penulis tidak menutup diri terhadap kritik dan saran yang konstruktif.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan pemikiran di
masa mendatang.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om
Denpasar, Juni 2016
Penulis

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila

Karya

Ilmiah/Penulisan

Hukum/Skripsi

ini

terbukti

merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain
dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan
hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik
dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban
ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.


Denpasar, 8 Juni 2016
Yang menyatakan,

(Putu Bagus Darma Putra)
NIM. 1116051031

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUN DALAM.....................................................................

i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM .....................

ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ................ iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI..........................

iv

HALAMAN KATA PENGANTAR..................................................................

v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN.............................................................. viii
DAFTAR ISI......................................................................................................

ix

ABSTRAK......................................................................................................... xii
ABSTRACT........................................................................................................
.............................................................................................................................xiii
BAB I.

PENDAHULUAN.............................................................................

1

1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
1.3 Ruang Lingkup Masalah..............................................................
...................................................................................................
1.4 Tujuan Penulisan.........................................................................
1.4.1 Tujuan Umum....................................................................
1.4.2 Tujuan Khusus...................................................................
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................................
1.5.1 Manfaat Teoritis.................................................................
1.5.2 Manfaat Praktis..................................................................
1.6 Landasan Teori ...........................................................................

1
6
6
8
8
8
8
8
9
9

1.6.1 Landasan Teori...................................................................
1.6.2 Hipotesa.............................................................................
1.7 Metode Penulisan........................................................................
1.7.1 Jenis Penelitian...................................................................
1.7.2 Jenis Pendekatan................................................................
1.7.3 Data dan Sumber Data ......................................................
1.7.3.1 Data Primer .........................................................
1.7.3.2 Data Sekunder .....................................................
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis........................................

9
31
32
32
32
32
32
32
33
33

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM
SENDIRI DAN PENEGAKAN HUKUM
2.1. Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting).......................... 34
2.1.1. Pengertian Tindak Pidana ................................................. 34
2.1.2. Pengertian tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). 37
2.1.3. Unsur-unsur tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). 38
2.1.4 Jenis-jenis tindakan main hakim sendiri (eigenrechting)... 40
2.2. Penegakan Hukum....................................................................... 41
2.2.1. Pengertian penegakan hukum............................................ 41
2.2.2. Unsur-unsur penegakan hukum......................................... 43
2.2.3.Tujuan dan fungsi penegakan hukum................................. 45

BAB III. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA
TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING)
3.1. Faktor Penal............................................................................. 46
3.2. Faktor Non Penal....................................................................... 51
BAB IV.

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN MAIN
HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING)
4.1. Tindakan Main Hakim Sendiri Sebagai Tindakan Melawan
Hukum....................................................................................... 61
4.2. Tindakan Main Hakim Sendiri Dan Penegakan Hukum........... 71

BAB V.

PENUTUP
5.1 Simpulan................................................................................... 81
5.2 Saran.......................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RINGKASAN SKRIPSI

ABSTRAK
Penelitian ini berjudul penegakan hukum pidana terhadap tindakan main
hakim sendiri (eigenrechting), latar belakang dari penelitian ini adalah Hukum
pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin adanya kepastian dan tertib hukum di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Sebagai negara hukum, maka adanya
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang
hukum, politik, sosial, budaya, ekonomi dan keamanan merupakan syarat utama
disamping terjadinya peradilan yang bebas dari segala pengaruh kekuatan lain dan
tidak memihak serta adanya aparatur pemerintah yang tidak "Kebal Hukum", atau
dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis, oleh karena banyaknya tindakan
main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, dan tindakan main hakim
yang banyak tidak diproses secara hukum karena kurangnya alat bukti, selain itu
Kondisi masyarakat yang emosionalnya sangat besar dalam menghadapi pelaku
kasus kriminal secara langsung terutama golongan masyarakat yang ekonominya
kebawah, ditambah rendahnya pengetahuan hukum.
Metode penulisan pada penelitian ini menggunakan metode penelitian
Empiris dengan melihat fakta-fakta yang ada dilapangan menggunakan
pendekatan Sosiologis yaitu pendekatan secara fakta yaitu mengadakan penelitian
lapangan dengan melihat kenyataan yang ada sesuai permasalahn yang diangkat,
dengan teknik penulisan kualitatif.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim
adalah, Faktor Individu yaitu kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum
membuat seseorang cendrung menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan
masalah tanpa melalui proses hukum. Faktor Instrumental yaitu produk hukum
yang tidak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat, sehingga menimbulkan
ketidakserasian dan terhadap masyarakat tidak percaya terhadap hukum itu
sendiri. Faktor Institusional yaitu aparat penegak hukum sering melaksanakan
tugas diluar kewenangannya dan cendrung memihak dalam menyelesaikan
masalah. Penegakkan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri merupakan
salah satu perbuatan tindak pidana oleh karena itu, Barang siapa yang melakukan
perbuatan pidana harus diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan undangundang yang berlaku. Aparat penegak hukum harus mampu memberikan
perlindungan hukum pada masyarakat. Hukum itu harus ditegakkan sesuai dengan
norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Kata Kunci: Faktor, Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Main Hakim
Sendiri.

ABSTRACT
The tittle of this study is law enforcement to eigenrechting toward someone
body law interest, background of this study is law at essential have purpose to
guaranteee there is assure and obedient to the law in nation life. As the stated
based on the law, hence there is confession and protection on human right in the
law field, politic, social, culture, economoic and security is priority beside
occurance of free judicature from all other power effect and imparrtially and
government official is impunity or able be responsible juridically, thus many
vigilantism by public and eigenrechting that many don’t processed in law because
there was many lack of evidence, beside that high emotional public condition to
face the actor of criminal case directly especially public with low economic,
added to have low law knoledge.
This study method was used emperical design with facts that exist at field
by using sociology approach that is by conduct field research by looking reality
that match with issue arised by using qualitative technique.
This study is empirical study by using sociology and fact approach, with
qualitative method. Some factor effected on eigenrechting are individual factor
that is lack of knowledge and awareness of law to make someone tend to use
hisself to solve theirself problem without through law process. Instrument facto
that is law product that unmatching with public’s norms, so that it arise
unmatching and for the public don’t believe on the law itself. Institutional factor
is law enforcement official that often conduct on duty outside its authority and
tend take side in settlement of case. Law enforcement on eigenrechting is one of
criminal action. Who is conduct a criminal should be processed in law as
accordding the law applied. The law enforcer should give law protection for the
public. This law should be enforced as according the norms and rules applied.
Keywords: factor, law enforcement, criminal, eigenrechting

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Hukum pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin adanya kepastian dan
tertib hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, jaminan
adanya tertib hukum dapat dilihat dari sistem Pemerintahan Negara Indonesia
yang tertuang di dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yaitu : "Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)".
Sebagai negara hukum, maka adanya

pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang hukum, politik, sosial, budaya,
ekonomi dan keamanan merupakan syarat utama disamping terjadinya peradilan
yang bebas dari segala pengaruh kekuatan lain dan tidak memihak serta adanya
aparatur pemerintah yang tidak "Kebal Hukum", atau dapat dipertanggung
jawabkan secara yuridis.
Adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam bidang hukum maka
sebagai konsekwensinya adalah bahwa setiap orang diakui sebagai subyek hukum
yang mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat terhadap hukum dan
Undang-undang.
Adanya persamaan kedudukan di dalam hukum termasuk pula di dalamnya
kesamaan dan kesejajaran setiap warga negara dalam menghadap di depan sidang
pengadilan serta kesamaan dan kesejajaran setiap warga negara untuk membela
diri dari tuntutan ataupun dakwaan yang diajukan kepadanya.

Didalam proses beracara pidana, maka sejalan dengan tujuan hukum acara
pidana untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran materiil, maka terdapat
dua macam kepentingan yang harus diperhatikan yaitu :
(1) Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang melanggar suatu
peraturan hukum pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya guna keamanan masyarakat.
(2) Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan secara
adil demikian rupa, sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa
mendapat hukuman atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai
mendapat hukuman yang terlalu berat tidak seimbang dengan
kesalahannya.1
Mengingat demikian penting tujuan menentukan dan mewujudkan
kebenaran materiil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan
kepentingan tersangka, maka proses penyidikan sebagai upaya penting dalam
mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukan tindak pidana
guna menemukan si bersalah merupakan tugas yang harus benar-benar
diperhatikan oleh polri dalam kedudukannya sebagai aparat negara dalam
menangani proses pemeriksaan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.2
Sebagai suatu upaya penting dalam rangka mencari kebenaran yang sejati
maka proses penyidikan harus benar-benar menyadari kedudukan tersangka
sebagai pihak yang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga ia harus ditetapkan sebagai
subyek yang harus diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia.

1

Wiryono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Cet XIV, Sumur,
Bandung, hal. 21.
2
Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Penyelidikan dan Penyidikan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 17 (Selanjutnya disebut Martiman Prodjohamidjojo I).

Polisi sebagai salah satu alat negara penegak hukum merupakan aparat
negara yang

dipercaya dan diharapkan mampu menegakkan wibawa hukum

dengan selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara serta
senantisasa mengindahkan norma keagamaan perikemanusiaan, kesopanan dan
kesusilaan, sehingga Polisi tidak dibenarkan melakukan segala macam tekanan
dan paksaan yang menjurus pada tindakan yang menyimpang dari ketentuan
hukum acara pidana baik dalam

melakukan penangkapan maupun dalam

memperoleh keterangan dari tersangka.3
Suatu Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat”
menurut Burkens, apabila memenuhi syarat-syarat:
1. Asas legalitas. Setiap pihak pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan
ini, undang-undang dalam arti formil dan undang-undang sendiri
merupakan tumuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini
pembentukan undang-undang merupakan bagian penting Negara
hukum.
2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri
pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentuk undang-undang.
4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. 4
Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara
hukum sebagai berikut:
1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.
2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya.
3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas).

3

D. P. M Sitompul, 1985, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Tarsito, Bandung, hal. 114.
Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, 1988,
Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR
Surabaya, hal.111.
4

4. Adanya pembagian kekuasaan. 5
Terkait dengan Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto
mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum, secara
konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.6
Dalam konteks penegakan hukum, mencari dan menemukan kebenaran
adalah pekerjaan yang amat mahal di Indonesia. Bahkan boleh dikatakan,
mustahil. Lembaga-lembaga yang mengurus kebenaran secara telanjang telah
mengangkangi kebenaran yang hakiki. Karena itu upaya mencari kebenaran
akhirnya direbut oleh massa di jalan raya, atau dilempar secara sengaja kepada
khalayak. Pada akhirnya rakyat lebih memilih untuk jadi hakim sendiri (walaupun
ramai-ramai) dari pada hakim yang main sendiri. Fenomena kekecewaan
masyarakat yang memuncak terhadap penegakan hukum tersebut semakin
mendapat perannya ketika roda reformasi digulirkan oleh mahasiswa. Tindakan
aksi massa yang menghakimi sendiri pelaku yang dianggap bersalah menjadi
berita utama di beberapa media, karena tidak dapat dipungkiri tindakan main
hakim sendiri sudah menjadi mega trend di berbagai daerah.
Contoh yang dapat dikedepankan terhadap hal ini adalah tewasnya Jhony
Leopato di Baturiti, pengeroyokan pengacara dalam eksekusi obyek sengketa di
Padangsambian, penyerangan oleh para preman terhadap petugas negara yang
sedang mengeksekusi obyek sengketa Hotel Bali Garden di Kuta, pembakaran
5

Bagir Manan,1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945,
Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun 1994-1995, di Bandung,
hal. 19.
6
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, hal. 203.

rumah di Yangapi Tabanan, pembakaran bus Akas yang menabrak seorang nenek
di Antosari Tabanan dan beberapa kasus lainnya yang cenderung menghakimi
sendiri pelakunya.7
Berikut data tindakan main hakim sendiri yang terjadi di Kota Denpasar
pada tahun 2015 – 2016 adalah sebgai berikut :
Sumber Data : Polresta Denpasar tahun 2016
Tahun

Denbar

Densel

Dentim

Denut

Kuta

Kutsel

2015

28

13

4

5

6

5

2016

12

6

3

4

6

4

Kasus tindakan main hakim sendiri ini banyak yang diproses secara
hukum sesuai ketentuan yang berlaku tetapi tidak sedikit juga yang dilepas begitu
saja karena kurangnya bukti. Kondisi masyarakat yang emosionalnya sangat besar
dalam menghadapi pelaku kasus kriminal secara langsung terutama golongan
masyarakat yang ekonominya kebawah, ditambah rendahnya pengetahuan hukum
sehingga mudah memicu kemaharan dan lebih suka melakukan penghukuman
sendiri pada pelaku kejahatan karena bagi masyarakat penghukuman seperti itu
lebih efektif.8
Masyarakat yang ikut melakukan perbuatan main hakim sendiri
seharusnya dapat dipidana karena melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP, yang
disebutkan bahwa, “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.” Dalam hali ini, mengingat si korban kehilangan nyawa akibat
7

http://hendrapgmi.blogspot.co.id/2012/05/perbuatan-main-hakim-sendiri-dalam.html
Revrisond Baswir, 1996, Kesenjagan, Korupsi, Dan Kerusuhan Massa, Media Indonesia
No. 5857, Th.XXVII, hal.6.
8

penganiayaan tersebut, dalam Pasal 351 (3) KUHP diatur bahwa: “Jika
mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP, disebutkan bahwa, “barang siapa yang
dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap prang atau
barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan ( Lima tahun enam
bualan )” Dalam hal ini, mengingat si korban kehilangan nyawa/matinya orang
akibat kekerasan tersebut maka berdasarkan Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP
diancam pidana dengan penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.
Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan caracara lain seperti terror baik dengan sasaran psikologis maupun fisik. Maka dalam
membangun masyarakat yang sadar dan patuh hukum pemerintah harus
secepatnya membangan moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari penegak
hukum dengan mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh
masyarakat dibarengi dengan menindak secara tegas setiap anggota atau
kelompok masyarakat yang melakukan cara main hakim dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum yang mereka hadapi. Selain itu pencegahannya dapat
diupayakan baik dari segi masyarakat sendiri, pemerintah, maupun perangkat
peraturan hukum pidana yang berlaku.
Melihat fakta kasus diatas, bahwa kasus main hakim sendiri banyak yang
dihentikan kasusnya padahal korban hilang jiwa dan menghilangkan nyawa
seseorang melanggar hak asasi manusia. Sehingga peneliti ingin mengetahui
bagaimana persepsi aparat penegak hukum yang menjunjung supremasi hukum.
Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian

yaitu : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN MAIN
HAKIM SENDIRI ( EIGENRECHTING )

1.2. Rumusan masalah
Terhadap permasalahan yang telah dikemukakan diatas, menarik untuk
dibahas sebagai pokok pembahasan adalah :
1.

Faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya tindakan main
hakim sendiri ?

2.

Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindakan main hakim
sendiri ?

1.3. Ruang lingkup masalah
Agar pembahasan tidak menyimpang dari substansi permasalahan diatas,
maka rumusan permasalahan akan dibatasi mengenai Faktor yang mempengaruhi
terjadinya tindakan main hakim sendiri dan Penegakan hukum terhadap tindakan
main hakim sendiri.

1.4

Tujuan Penulisan
Tujuan pokok dari penyusunan skripsi ini dapat dibedakan menjadi 2

antara lain :
1.4.1. Tujuan Umum meliputi :
Untuk mengetahui penegakkan hukum pidana terhadap tindakan main
hakim sendiri (Eigenrechting).

1.4.2. Tujuan Khusus meliputi:
1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan
main hakim sendiri.
2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap tindakan main hakim
sendiri.

1.5

Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari segi teoritis, diharapkan hasil penulisan ini dapat
memberikan sumbangan dan manfaat terutama bagi penambahan ilmu
pengetahuan yang sekaligus dapat memperkaya bahan-bahan pengembangan
keilmuan yang berdimensi hukum acara pidana khususnya mengenai tindakan
main hakim sendiri.
1.5.2. Manfaat Praktis
Diharapkan juga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khsusnya
dalam tindakan main hakim sendiri, dan bagi mahasiswa yang ingin melakukan
penelitian hukum pidana khususnya tindakan main hakim sendiri.

1.6 Landasan Teoritis dan Hipotesis
1.6.1. Landasan Teori
1. Teori Negara Hukum
Dalam konsep negara hukum seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa Indonesia
merupakan negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya
hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun
oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum
harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara Negara/ Pemerintah termasuk
para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sanksi
hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan
hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para
penegak hukumnya.
Itulah konsep equality before the law (persamaan didepan hukum) dalam
konsep rule of law. Konsep rule of law itu sendiri seperti diterangkan oleh A.V
Dicey, memiliki unsur utama yaitu : supremacy of law, equality before the law dan
the constiution based on individual right.9
Unsur pertama, yaitu supremacy of law atau supremasi hukum, di Inggris
tempat dicetuskannya konsep tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawartawar lagi, hal ini merupakan unsur yang diperjuangkan rakyat inggris lebih awal
jika dibandingkan dengan negar-negara barat lainnya.
Unsur kedua, yaitu equality before the law atau persamaan di depan
hukum. Semua warga baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa
tunduk pada hukum dan di adili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga
negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila melanggar hukum baik
secara individu maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang
sama dan dalam pengadilan yang sama pula.
98

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, hal. 20

Unsur ketiga, yaitu constiution based on individual right, disini tidak
seperti yang umum terdapat di negara lain yang berupa sebuah dokumen yang
disebut constition atau Undang-undang dasar, melainkan constition disini
menunjuk pada sejumlah dokumen yang isinya bersifat fundamental.10
Dalam konsep negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah
sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara
sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan
pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara Negara/
Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus
dikenakan sanksi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang
pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara
pemerintahan, serta para penegak hukumnya.
Konsep rule of law bukan satu-satunya konsep negara hukum, selain itu
masih banyak konsep negara hukum dari negara-negara lain yang dikenal dengan
konsep Rechsstaat. Pemahaman mengenai negara hukum dengan konsep rule of
law umumnya berkembang di negara-negara eropa kontinental, pemahaman
terhadap negara hukum mengikuti konsep rechsstaat. Konsep rechsstaat menurut
beberapa sarjana dikenal dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menurut Friedich Julius Stahl, rechsstaat memiliki unsur utama, sebagai
berikut:
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
b. Pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politika,
c. Penyelenggaraan Pemerintah menurut Undang-undang (wetmatig
bestuur), dan
d. Adanya peradilan administrasi negara.11
109
11

Ibid, hal. 51.
Ibid, hal. 66.

2. Menurut Scheltema, unsur utama rechsstaat, meliputi:
a. Kepastian hukum,
b. Persamaan,
c. Demokrasi, dan
d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.12
3. Menurut H.D.Van Wijk dan Konijnenbelt, dengan unsur utama :
a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestur);
b. Hak-hak asasi,
c. Pembagian kekuasaan, dan
d. Pengawasan oleh kekuasaan peradilan.13
4. Menurut zippenlius, unsur utama negara hukum adalah :
a. Pemerintahan menurut hukum,
b. Jaminan terhadap hak-hak asasi,
c. Pembagian kekuasaan dan
d. Pengawasan yustisial terhadap pemerintah.
Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara
yang berdasarkan hukum, yaitu :
1.
2.
3.

Semua tindakan harus berdasarkan hukum.
Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya
Ada kelembagaan yang bebas untuk meniliai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas)
4.
Adanya pembagian kekuasaan.14
Selain itu Sri Soemantri juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang
terpenting dari negara hukum ada 4, yaitu :
1.
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasarkan hukum.
2.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
3.
Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4.
Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke
Controle)15
Demikian pula seperti yang diunkapkan oleh Philipus M. Hadjon yang
12

Ibid, hal. 66
A. Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 311.
14
Bagir Manan, 1994, Dasar- dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD
1945, Makalah Ilmiah Disampaikan Pada Mahsiswa Pasca Sarjana UNPAD, Tahun 1994-1995, di
Bandung, hal.19.
15
Sri Soemantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni
Bandung, hal. 29.
13

mendasarkan diri pada sifat-sifat liberal dan demokratis yang dikemukakan oleh
S.W. Couwenberg berpendapat bahwa ciri-ciri rechsstaat, adalah :
1. Adanya Undang-Udang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagia kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat
undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang
bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat
tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang
mendasarkan tindakannya atas Undang-undang.
3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.16
Ditambahkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa atas cin-cin tersebut diatas,
maka rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini
berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Seperti yang tersirat dalam Pasal 1 ayat
(3) amandemen UUDNRI 1945 menyatkan bahwa " Negara Indonesia adalah
negara Hukum". Sehingga jika dikaitkan deng ruang lingkup Pengadilan Pajak
maka secara filosofis konstitusional jelas di nyatakan bahwa Indonesia menganut
prinsip Negara Hukum yang dinamis atau welfare state (negara kesejahteraan),
sebab negara wajib menjamin kepastian hukum serta kesejahteraan sosial
masyarakat.17

2

Teori tentang Penegakan (Efektivitas) Hukum

16
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hal. 76.
17
S.F. Marbun, Moh.Mahfud MD, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Cet.Kedua, Liberty, Yogyakarta, hal.52

Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif.
Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah
sifat atau keadaan mulai berlakunya undang-undang.18
Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa
efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang
undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undangundang atau peraturan.19
Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum,
secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.20
Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa
“salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau
perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan
hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum,
tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik
yang bersifat positif atau negatif.21

18

J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 371.
19
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta, hal. 284.
20
Soerjono Soekanto I, loc. cit.
21
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.

Ketaatan seseorang berperilaku sesuai harapan pembentuk undang-undang,
Friedman menyatakan bahwa:
Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or
command, a deliberate instance of legal behavior that bens toward the
legal act that evoked it. Compliance and deviance are two poles of a
continuum. Of the legal behavior frustrates the goals of a legal act,
but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal
culpability.22
Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap
sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance),
ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsepkonsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan
dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan.23
Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto, yaitu :
a)
b)

Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
c)
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d)
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
e)
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.24

22

Lawrence, Friedman M., The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage
Foundation, New York, 1975, dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika
dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.
23
Siswantoro Sunarso, loc.cit.
24
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 8.

Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya,
karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur
daripada efektivitas penegakan hukum.
Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor
pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undangundang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan
dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap
penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan25 :
a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undangundang tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh
diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang
tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku;
b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum
juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag
tersebut diperintahkan demikian);
c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan
hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat
ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa
asing (Belanda) yang kurang tepat.
Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas
di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan
pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan
(role). Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role).
Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin

25

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 17-18.

dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang
berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan, yaitu :
a)

keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan
pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;
b)
tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi;
c)
kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,
sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;
d)
belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;
e)
kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.26
Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya
dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan
yang aktual. Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau
fasilitas tersebut, yaitu :
a)
b)
c)
d)
e)

yang tidak ada –diadakan yang baru betul;
yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan;
yang kurang –ditambah;
yang macet – dilancarkan;
yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.27

Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan
hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh
masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa,
hakim). Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak
hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak
26
27

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 34-35.
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 44.

hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
kebingungan pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik
dalam dirinya.
Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni
penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari
masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai
penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya
dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundangundangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga
timbul kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala
tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat.
Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum
sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa
hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat
satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan
muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban.
Lebih menekankan pada kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada
kepentingan umum, sehingga timbul gagasan kuat bahwa semua bidang
kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan ini pada
akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang
belum tentu berlaku secara sosiologis.28
Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut
dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan
28

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 54-55.

hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat
manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan
melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan
sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan
kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur
hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata
tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang
tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya.
Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya,
merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai
masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi
dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat
tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.29

3. Teori Keadilan
Teori Keadilan untuk menganalisa perbuatan main hakim sendiri, menurut
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi
dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan
pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang
dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls
banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.30

29

Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo
Perkasa, Jakarta, hal. 203.
30
Ibid, hal. 159.

Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus
diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang
tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas
hidup mannusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai
wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia
mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan
sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi,
ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan,
kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi
itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang
belum sehat. Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for
redress) sebagai syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang
baru.31
Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar,
kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan.
Jadi dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok
(primary goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan
kondisi pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang.
Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan
harus mengerjakan dua hal :
31

Ibid. hal. 159.

1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya
institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam
struktur dasar masyarakat tertentu .
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni :
1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang
pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,
intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan
psikisnya.
2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan,
yakni dengan keadilan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah
dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju
harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan
menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan
sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana.
3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama suka mengejar kepentingan
individualnya dan baru kemudian kepentingan umum.
Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri
sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu.
Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada
dua prinsip keadilan yang paling mendasar sebagai berikut

1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal
liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas
seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk
mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan semua
pihak.
2. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial
ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak
mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan
otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari
dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (different principle) dan prinsip
persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of
opportunity).
Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan
oleh Rawls, yaitu prinsip : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2)
perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua
prinsip-prinsip keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi
prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls
memberikan prioritas.
Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama
sebesar-besarnya secara leksikal berlaku lebih dulu daripadai prinsip kedua dan
ketiga. Hanya setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula
mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya.

Selanjutnya, prioritas kedua merupakan relasi antardua bagian prinsip keadilan
yang kedua (yaitu antara prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan). Menurut Rawls, prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara
leksikal berlaku lebih dulu daripada prinsip perbedaan.
Pertanyaan terakhir kita berikutnya adalah tentang teori keadilan seperti
apa yang berlaku bagi bangsa Indonesia? Secara jelas kita dapat langsung
menemukan, bahwa dalam rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu.
Sila ke-2 berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Sila ke-5
menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan
MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
butir-butir dari prinsip keadilan (termasuk yang disebutkan oleh Rawls) telah
diungkapkan pula secara jelas. Selanjutnya, apabila kita melihat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa
Indonesia terhadap keadilan itu.
Jadi dapatlah dikatakan keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia
adalah keadilan sosial. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadilan
sosial ini, pertama kali harus dikembal