PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA J

1

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH
AUTHORITARIAN ORANG TUA DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
BIDANG KEGIATAN
PKM- PENELITIAN

Diusulkan oleh:
Tiara Dewi Tualeka 1300013244/2013
Siti Rohimah

1300013264/2013

Alfii’a Nanda Pita O 1300013300/2013

Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta
2015


2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………
DAFTAR ISI …………………………………………………………...
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
…………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………….
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………..
1.4 Luaran yang diharapkan …………………………………
1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritarian ……………..
2.2 Resiliensi ………………………………………………...
2.3 Remaja …………………………………………………..
2.4 Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritarian Orang Tua
dengan Resiliensi pada Remaja …………………………
2.5 Hipotesis …………………………………………………

BAB III Metode Penelitian
3.1 Identifikasi Variabel Penelitian ………………………….
3.2
Definisi Operasional Variabel Penelitian
………………..
3.3
Populasi Sampel Penelitian
……………………………...
3.4
Metode Pengumpulan Data
……………………………...
3.5 Analisis Data …………………………………………….
BAB IV Biaya dan Jadwal Kegiatan
4.1
Jadwal Kegiatan
………………………………………....
4.2 Rancangan Biaya ………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………….
Lampiran 1. Biodata Ketua, Anggota, Dosen Pembimbing …

Lampiran 2. Justifikasi Anggaran Kegiatan …………………
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan
Pembagian Tugas ……………………………...
Lampiran 4. Surat Pernyataan Ketua Pelaksana …………….

1
2
2
2
2
3
4
5
6
6
7
7
7
7
7

9
9
10

3

RINGKASAN
Setiap orang memulai kehidupannya dalam keluarga, setiap pribadi selalu
membentuk akar kepribadiannya dalam komunitas dimana dia memulai
kehidupannya. Dengan demikian, apabila ingin mengatasi masalah-masalah
perilaku yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini, orang perlu memperbaiki
masyrakat, yakni keluarga. Bronfenbrenner (1979) mengemukakan lima sistem
lingkungan sosiokultural yang membentuk kepribadian manusia, yakni
mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. mikrosistem
adalah seting lingkungan kehidupan awal, dimana seorang anak menerima
berbagai pengaruh melalui relasi langsung dengan orang tua, sanak keluarga dan
teman-teman bermainnya (Warugu, 2010).
Orang tua berperan penting dalam bertanggung jawab terhadap
perkembangan fisik maupun psikologis seorang remaja. Gaya pengasuhan orang
tua yang kurang tepat dalam mendidik seorang anak remaja dapat mempengaruhi

munculnya perilaku negatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara persepsi terhadap
pola asuh authoritarian orang tua dengan resiliensi pada remaja. Sampel
merupakan remaja akhir usia antara 18-20 tahun, mahasiswa Perguruan Tinggi
Swasta di Yogyakarta. Teknik pengumpulan data menggunakan Purposive
Sampling, yakni subjek dipilih sesuai kriteria yang telah di tetapkan peneliti yaitu
yang mengacu pada pola asuh authoritarian yang di alami subjek.
Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui hubungan persepsi terhadap pola
asuh authoritarian orang tua menggunakan Skala Persepsi Pola Asuh Athoritarian
Orang Tua. Sedangkan untuk mengukur kemampuan resiliensi remaja
menggunakan Skala Resiliensi. Skala tersebut berupa pernyataan tertulis favorable
(yang berisi gambaran dari ciri atribut yang akan di ukur). Skala tersebut
digunakan untuk memperoleh informasi mengenai indikator perilaku dari atribut
yang bersangkutan, skala yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan empat
alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh subjek yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai
(S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Untuk semua alternatif
jawaban tersebut, subjek hanya boleh memilih satu alternatif jawaban saja, setiap
jawaban memiliki nilai-nilai tertentu yang berjarak interval sama.
Analisis data yang digunakan untuk mengukur persepsi terhadap pola asuh
authoritarian orang tua dengan resiliensi pada remaja adalah analisis data

inferensial dimana analisis ini dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan dengan
pengujian hipotesis dan uji statistik yang digunakan adalah korelasi product

4

moment dari Pearson (rxy), karena penelitian dilakukan untuk menguji hubungan
dua variabel dimana dalam penelitian ini hanya terdapat 1 variabel bebas dan 1
variabel tergantung.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang memulai kehidupannya dalam keluarga, setiap pribadi selalu
membentuk akar kepribadiannya dalam komunitas dimana dia memulai
kehidupannya. Dengan demikian, apabila ingin mengatasi masalah-masalah
perilaku yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini, orang perlu memperbaiki
masyrakat, yakni keluarga. Bronfenbrenner (1979) mengemukakan lima
sistem lingkungan sosiokultural yang membentuk kepribadian manusia, yakni
mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.
mikrosistem adalah seting lingkungan kehidupan awal, dimana seorang anak
menerima berbagai pengaruh melalui relasi langsung dengan orang tua, sanak

keluarga dan teman-teman bermainnya (Warugu, 2010).
Keluarga sebagai kelompok mikrosistem pertama yang menjadi penentu
kepribadian seorang anak remaja. Kelompok sosial pertama yang ditemui anak
remaja adalah keluarga sebelum ke lingkungan sosial yang lebih besar.
Keluarga menjadi landasan utama terbentuknya keperibadian dan karakter
anak remaja, termasuk juga menjadi tempat awal terbentuknya kemampuan
anak remaja dalam menyesuaikan diri.
Orang tua berperan penting dalam bertanggung jawab terhadap
perkembangan fisik maupun psikologis seorang remaja. Gaya pengasuhan
orang tua yang kurang tepat dalam mendidik seorang anak remaja dapat
mempengaruhi munculnya perilaku negatif. Jika kita menelusuri kembali
berdasar dari teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud mengenai
perkembangan seseorang, perkembangan masa 3 tahun diawal kehidupan yang
diterima seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangan di waktu
kemudian. Hal ini menunjukan bahwa pola asuh yang didapatkan seorang
remaja sejak kecil dapat mempengaruhi kemampuannya di masa mendatang,
dan salah satunya kemampuan resiliensi.
Kemampuan resiliensi remaja adalah kemampuan seorang remaja untuk
bounce back kapasitas remaja untuk bounce back, untuk bangun kembali dari
kejatuhan, dalam beradaptasi ataupun bangkit dari kesulitan yang dihadapi

(Setyoso, 2013).
Di era globalisasi sekarang ini masih banyak kecenderungan orang tua
menggunakan pola asuh authoritarian sehingga berdampak bagi resiliensi
seorang remaja. Salah satu hal yang menjadi aspek dalam resiliensi adalah
regulasi emosi, emosi menjadi komponen penting untuk kemampuan
resiliensi, dengan pola asuh yang otoriter dengan ciri bahwa orang yang

5

dominan berperan maka ini bisa membuat anak tidak bisa mengekspresikan
emosinya dengan lebih terbuka sehingga membuat emosinya menjadi tidak
stabil dan berdampak bagi kemampuan resiliensi seorang remaja.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh authoritarian orang tua
dengan resiliensi pada remaja?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap pola asuh authoritarian
orang tua dengan resiliensi pada remaja
1.4 Luaran yang diharapkan
Luaran yang diharapkan pada penelitian ini berupa artikel ilmiah. Luaran pada

penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pemahaman
mengenai persepsi terhadap pola asuh authoritarian orang tua dengan resiliensi
pada remaja dan bisa menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan pola asuh authoritarian dan resiliensi serta bisa menambah
kajian pengetahuan dalam bidang ilmu psikologi.
1.5 Manfaat Penelitian
1). Manfaat Teoritis
Hasil penelitian tentang hubungan antara persepsi terhadap pola asuh
authoritarian orang tua dengan resiliensi pada remaja ini dapat dijadikan
sebagai tambahan referensi pengetahuan di bidang ilmu psikologi yang
berkaitan dengan resiliensi remaja terutama di indonesia.
2). Manfaat Praktis
Hasil penelitian tentang hubungan antara persepsi terhadap pola asuh
authoritarian orang tua dengan resiliensi pada remaja ini dapat menjadi
bahan pertimbangan bagi para orang tua dalam memberikan pengasuhan
kepada para remaja, dan dapat menjadikan remaja yang memiliki resiliensi
baik.

6


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resiliensi
Resiliensi adalah seberapa tinggi daya tahan seseorang dalam menghadapi
stress dan kesengsaraan dan ketidakberuntungan (Petranto, 2005). Menurut
(Luthar, 2000) resiliensi adalah proses adaptasi yang dinamis untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi (Resnick, Gwyther, dan Roberto, 2011). Aspek-aspek
resiliensi Menurut Reivich dan Shatte, 2002 (dalam skripsi Pasudewi C Y, 2013),
memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu:
1. Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang
menekan. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap
orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin
menjadi seorang yang pemarah.
2. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat
mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan
perilaku mereka.

3. Optimisme
Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang,
individu yang resilien adalah individu yang optimis.
4. Causal Analysis
Causal Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama.
5. Empati
Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki
hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan berempati berpotensi
menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-individu yang tidak
membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut
tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa
yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain
6. Self-efficacy

7

Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy
merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah
yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy adalah perasaan kita
bahwa kita efektif dalam dunia.
7. Reaching Out
Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau
mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Reaching
out menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang
positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk
mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalamkehidupannya.
Sumber Pembentukan Resiliensi oleh Grotberg (dalam Desmita, 2009)
menyebutkan upaya mengatasi kondisi-kondisi adversity dan mengembangkan
resiliensi pada remaja, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga factor dalam
diri remaja, disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi, yang merupakan sumber
resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya
dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (Pasudewi,
2013) yaitu:
Sumber I have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan
bagi pembentukan resiliensi, yaitu: hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan
penuh, struktur dan peraturan di rumah, model-model peran, dorongan untuk
mandiri, akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan
kesejahteraan.
Sumber I am (aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan
kekuatan pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan
keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am adalah:
disayang dan disukai banyak orang, mencinta, empati, dan kepedulian pada orang
lain, bangga dengan dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri
dan menerima
konsekuensinya, percaya diri, optimistik, dan penuh harap.
Sumber I can (aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa
saja yang dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilan sosial
dan interpersonal. Keterampilan ini meliputi: berkomunikasi, memecahkan
masalah, mengelola perasaan-perasaan dan impuls, mengukur temperamen sendiri
dan orang lain, menjalin hubungan yang saling mempercayai.
2.2 Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritarian
Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian, terhadap
rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu
yang berarti dan merupakan aktifitas yang integrated dalam diri individu
(Walgito, 2001 dalam Sunaryo, 2002).
Persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan
perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan

8

setelah panca inderanya mendapat rangsang (Maramis, 1999 dalam Sunaryo,
2002).
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga yaitu
bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma
dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat (Setiabudhi dan
Hardiwinoto, 2002).
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua
yang diterapkan pada anak. Dalam (Fine, 1973) banyak ahli mengatakan
pengasuhan anak (child rearing) adalah bagian penting dan mendasar,
menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat baik (Wahyuning, Jash,
Rachmadiana, 2003).
Baumrind (dalam Fathi, 2011) mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis,
yaitu: pola asuh authoritarian, authoritative, dan permissive. Tiga jenis pola asuh
Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy
dan Heyes yaitu: pola asuh otoriter, demokratis dan permisif (Fathi, 2011).
1.

Pola Asuh Authoritarian (Otoriter), Ciri khas pola asuh ini diantaranya adalah
kekuasaan orang tua dominan jika tidak boleh dikatakan mutlak, anak yang
tidak mematuhi orang tua akan mendapatkan hukuman yang keras, pendapat
anak tidak didengarkan sehingga anak tidak memiliki eksistensi di rumah,
tingkah laku anak dikontrol dengan sangat ketat.

2.

Pola Asuh Authoritative (Demokratis), menjunjung keterbukaan, pengakuan
terhadap pendapat anak, dan kerjasama. Ciri yang kental dari pola asuh ini
adalah adanya diskusi antara anak dan orangtua. Kerjasama berjalan baik
antara anak dan orang tua. Anak diakui eksistensinya. Kebebasan berekspresi
diberikan pada anak dengan tetap berada di bawah pengawasan orangtua.

3.

Pola Asuh Permisif, orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak.
Cirinya, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu memberi bimbingan dan
kontrol, perhatianpun terkesan kurang. Kendali anak sepenuhnya terdapat
pada anak itu sendiri.

Maka persepsi terhadap pola asuh authoritarian dapat diartikan sebagai proses
pengorganisasian, penginterpretasian, terhadap gaya pengasuhan dengan cara
authoritarian oleh orang tua melalui proses mengamati, mengetahui, atau
mengartikan tindakan orang tua yang dominan terhadap anak.
2.3 Remaja
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke
dewasa. Batasan remaja menurut WHO (2007) adalah 12-24 tahun. Remaja

9

merupakan tahapan seseorang dimana ia berada diantara fase anak dan dewasa
yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi
(Effendi dan Makhfudli, 2009).
Berdasarkan definisi resiliensi dan remaja maka resiliensi pada remaja
merupakan kapasitas remaja untuk bounce back, untuk bangun kembali dari
kejatuhan, dalam beradapatsi ataupun bangkit dari kesulitan yang dihadapi.
2.4 Persepsi terhadap pola asuh authoritarian dengan resiliensi pada remaja.
Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini. Di tangan
merekalah masa depan dunia ini beserta seluruh isinya berada. Itulah sebabnya,
kaum remaja perlu mendapatkan pola asuh yang tepat. Kesalahan pola asuh
sekecil apapun yang dilakukan terhadap mereka dapat berakibat fatal dan sulit
diperbaiki. Jika pada masa remaja mereka salah urus, dapat dipastikan masa depan
dunia ini akan rusak karena ditangani atau dikelola oleh orang-orang yang pada
masa remajanya salah urus (Surbakti, 2009).
Saat ini sudah banyak muncul pilihan yang lebih baik dalam menerapkan pola
asuh di dalam masing-masing keluarga seperti pola asuh authoritative
(demokratis). Namun masih banyak juga fenomena pengasuhan yang salah yang
terjadi dalam keluarga seperti pola asuh authoritarian (otoriter), pola pengasuhan
seperti membuat para remaja tidak bisa berkembang secara maksimal karena
control yang kuat dalam keluarga membuat remaja tidak bisa melakukan hal-hal
yang diinginkan dengan lebih terbuka seperti menyuarakan apa yang diinginkan.
Pola asuh authoritarian sangat menekankan kekuasaan tanpa kompromi
sehingga seringkali menimbulkan korban sia-sia. Pola komunikasi mereka satu
arah (monolog) karena penganut paham authoritarian tidak mengenal dialog.
Bagi mereka dialog hanyalah membuang-buang waktu. Hasil penerapan pola asuh
authoritarian menyebabkan anak-anak remaja mengalami hal-hal sebagai berikut:
tertekan secara psikis dan fisik, kehilangan dorongan semangat juang, cenderung
selalu menyalahkan diri, cenderung berskap pasif dan menunggu, mudah putus
asa, mengalami luka batin, sering menyalahkan keadaa, tidak memiliki inisiatif,
lamban mengambil keputusan, tidak berani mengemukakan pendapat, tidak berani
memulai (Surbakti 2009).
Resiliensi adalah seberapa tinggi daya tahan seseorang dalam menghadapi
stress dan kesengsaraan dan ketidak beruntungan. Masalah datang dan pergi tanpa
diundang. Selama hidup, permasalahan bisa singgah dan mampir dalam
kehidupan. Akan tetapi, yang membedakan orang yang resilien dan orang yang
tidak resilien adalah kesejahteraan pribadinya serta kemampuannya untuk
memberdayakan kompetensi pribadinya dalam mengatasi masalah (Petranto,
2005).
Ini menunjukan bahwa resiliensi remaja akan baik jika dia dapat
memberdayakan kesejahteraan pribadi dan kompetensi pribadinya. Maka jika pola
asuh yang baik sebagai dasar pembentukan kompetensi diri tidak didapatkan

10

dengan cukup maka bisa terjadi kemungkinan resiliensi yang buruk pada diri
seorang remaja.
2.5 Hipotesis
Ada hubungan yang negatif antara persepsi terhadap pola asuh authoritarian
orang tua dengan resiliensi pada remaja. Semakin positif persepsi terhadap pola
asuh authoritarian orang tua maka semakin rendah kemampuan resiliensi pada
remaja, sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap pola asuh authoritarian
orang tua maka semakin tinggi kemampuan resiliensi pada remaja

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel Bebas
: Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritarian Orang Tua
Variabel Tergantung : Resiliensi Remaja
3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritarian Orang Tua
Persepsi terhadap pola asuh authoritarian orang tua adalah proses mengamati
dan menginterpretasi tindakan orang tua yang dominan terhadap anak dari
perilaku orang tua yang suka membentak, memukul, memutuskan
pendapat secara sepihak, mengontrol segala macam aktifitas anak.
b. Resiliensi Remaja
Resiliensi remaja adalah kemampuan remaja untuk bangkit dari permasalahan
yang dihadapi seperti menyelesaikan konflik yang terjadi dengan
lingkungan sosial di luar keluarganya, kemampuan untuk hidup mandiri,
kemampuan untuk memilih orang yang bisa dijadikan teman dekat di luar
lingkungan keluarga.
3.3 Populasi Sampel Penelitian
Sampel merupakan remaja akhir usia antara 18-20 tahun, mahasiswa Perguruan
Tinggi Swasta di Yogyakarta. Teknik pengumpulan data menggunakan
Purposive Sampling, yakni subjek dipilih sesuai kriteria yang telah di
tetapkan peneliti yaitu yang mengacu pada pola asuh authoritarian yang di
alami subjek.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui hubungan persepsi terhadap pola
asuh authoritarian orang tua menggunakan Skala Persepsi Pola Asuh
Athoritarian Orang Tua. Sedangkan untuk mengukur kemampuan resiliensi
remaja menggunakan Skala Resiliensi. Skala tersebut berupa pernyataan
tertulis favorable (yang berisi gambaran dari ciri atribut yang akan di ukur).
Skala tersebut digunakan untuk memperoleh informasi mengenai indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan, skala yang dipakai dalam penelitian
ini menggunakan empat alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh subjek
yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak

11

Sesuai (STS). Untuk semua alternatif jawaban tersebut, subjek hanya boleh
memilih satu alternatif jawaban saja, setiap jawaban memiliki nilai-nilai
tertentu yang berjarak interval sama.
3.5 Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk mengukur persepsi terhadap pola asuh
authoritarian orang tua dengan resiliensi pada remaja adalah analisis data
inferensial dimana analisis ini dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan
dengan pengujian hipotesis dan uji statistik yang digunakan adalah korelasi
product moment dari Pearson (rxy), karena penelitian dilakukan untuk menguji
hubungan dua variabel dimana dalam penelitian ini hanya terdapat 1 variabel
bebas dan 1 variabel tergantung.

12

BAB IV
BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
4.1 JADWAL KEGIATAN
Bulan
Minggu ke
Penyusunan program
survei lapangan dan
perijinan
Penyusunan skala
psikologi
Pemberian skala
psikologi
Pelaksanaan kegiatan
Evaluasi kegiatan
Analisis data
Penyusunan laporan

1
2
3
4
5
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

4.2 RANCANGAN BIAYA

No. Anggaran

Biaya (Rp)

1.

Peralatan Penunjang

2.576.000

2.

Barang Habis Pakai

1.000.000

3.

Perjalanan

1.280.000

4.

Lain-Lain

225.000
Jumlah

5.081.000

13

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, F dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan
Praktik dalam Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika
Fathi, B. 2011. Mendidik Anak dengan Al-Qur’an sejak janin, Jakarta: Grasindo
Petranto, I. 2005. It Takes Only One to Stop the Tango, Depok : Kawan Pustaka
Resnick B, Gwyther L P, Roberto K . 2011. Resilience in Aging: Concepts,
Research, and Outcomes, New York USA: Spring Street
Semium, Y. 2006. Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai
Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-teori yang terkait,
Yogyakarta: Kanisius
Setiabudhi, T dan Hardiwinoto. 2002. Anak Unggul Berotak Prima, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Setyoso, T.A. 2013. Bukan Arek Mbeling, Jakarta : Indie Book Corner
Sunaryo. 2002. Psikologi untuk Keperawatan, Jakarta : EGC
Surbakti, E. B. 2009. Kenalilah Anak Remaja Anda, Jakarta: Gramedia
Wahyuning W, Jash, dan Rachmadiana M. 2003. Mengkomunikasikan Moral
kepada Anak, Jakarta: Elex Media Komputindo
Warugu, F. 2010. Membangun Budaya Berbasis Nilai Panduan Pelatihan Bagi
Trainer, Yogyakarta : Kanisius