3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tolitoli - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mangantar: Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan dalam Masyarakat Suku Lauje sebagai Pendekatan Pendampingan Prapernikahan

BAB III
MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJE
Pada bab tiga ini berisi tentang hasil data penelitian terhadap Mangantar dalam
masyarakat Suku Lauje yang meliputi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dan deskripsi
pelaksanaan proses Mangantar sebagai konseling prapernikahan.
3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tolitoli
Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi
Tengah. Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Tolitoli, Pada tahun 2000
berdasarkan Undang-undang No.51 Tahun 1999 kemudian Kabupaten Tolitoli dimekarkan
menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Buol
sebagai kabupaten hasil pemekaran.
Menurut legenda, kata Tolitoli berasa dari kata Totolu, yang artinya “tiga”. Bila kita
melihat peta pulau Sulawesi, maka daerah kabupaten Tolitoli tampak memanjang dari timur ke
barat. Letaknya di sebelah utara garis katulistiwa, dalam koordinat 0.200- 1020’ lintang utara dan
1200-122020’ bujur timur serta memiliki luas wilayah 4.079,6 km2, terdiri dari 73 esa, 5
kelurahan dan 10 kecamatan serta mempunyai batas-batas sebagai berikut : sebelah utara dengan
Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Kabupaten Buol, sebelah selatan dengan Kabupaten
Donggala dan Parigi Moutong dan sebelah barat dengan selat Makassar yang memisahkan
Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Iklim Kabupaten Tolitoli dipengaruhi oleh

dua


musim secara tetap, yaitu musim barat yang basah dan musim utara yang kering. Angin
barat bertiup antara bulan Oktober sampai bulan Maret dan pada periode ini Kabupaten

41

Tolitoli ditandai dengan musim penghujan. Angin utara bertiup antara bulan April sampai bulan
September, yang pada periode ini di Kabupaten Tolitoli terjadi musim kemarau.1

Gambar (1) Peta Kabupaten Tolitoli
Sumber : Internet
Penduduk yang mendiami kabupaten Tolitoli terdiri dari berbagai suku yaitu, penduduk
asli: suku Tolitoli, suku Dampal, suku Lauje dan suku Dondo. Suku pendatang : suku Bugis,
suku Minahasa, suku Sangir, suku Kaili, suku Gorontalo, suku Poso, suku Toraja, suku Bali,
Cina dan Arab.2 Masing-masing suku memiliki ciri khas budaya mereka sendiri, misalnya
bahasa, tarian, alat musik, pakaian, dll.
3.2 Gambaran Umum Suku Lauje
Lauje adalah sebuah kata yang tidak asing lagi bagi masyarakat di Kabupaten Tolitoli dan
Kabupaten Parigi Moutong. Kata Lauje diartikan “tidak ada.” Lauje digambarkan sebagai sebuah
suku yang masih primitif dan tinggal di hutan pada masa itu dengan cara hidup bergerombol,

memiliki pemahaman animisme dan sangat sulit ditemui oleh orang yang bukan sesama suku
Lauje. Suku Lauje memiliki populasi terbanyak di Kabupaten Parigi Moutong. Populasi ini
tersebar dibeberapa desa yang ada di Palasa, antara lain: Koja, Banbasiang dan Tongko’u. Ada
1
2

Catalog: Kabupaten Tolitoli Dalam Angka 2017, (Tolitoli: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli, 2017), 5-7.
A.J.Diamanti, Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 74.

42

juga yang tinggal di bagian Tomini, antara lain: Pogolimpangatang, Punsung E’yang dan Silipoi.
Pusat pemukiman terbesar bagi suku Lauje adalah Labani, Osom dan Afu-afu, yang ditempuh
melewati 8 anak sungai dan sebuah danau dari lembah Palasa (Pantai Timur) untuk bisa
mencapai daerah tersebut. Untuk mencapai perbatasan antara Parigi Mountong (Pantai Barat)
dan Tolitoli/Dondo (Pantai Timur) harus melalui tanjakan yang tinggi demi mencapai sebuah
puncak gunung yang disebut “Balansatu’u”3
Awal abad 20, orang Lauje memutuskan untuk menetap di wilayah Dondo Kabupaten
Tolitoli. Mereka tinggal di sekitar pegunungan Balansatu’u, Sinungkud, Punsung Pado dan
Punsung Dondo. Perpindahan ini diakibatkan karena kurangnya lahan pertanian yang ada di

tempat asal mereka, sehingga mereka mulai mencari lahan yang baru untuk dijadikan tempat
mereka bekerja untuk masa depan. Mereka menetap dan mulai menanam tanaman seperti jagung,
sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, dan ubi.
Pekerjaan itu dilakukan dengan cara berpindah-pindah tempat, karena bila sudah ada
hasil panen, mereka harus membuka lahan yang baru lagi untuk kembali menanam. Sebagai
wujud dari rasa syukur mereka atas hasil panen yang mereka dapatkan, dilakukanlah upacara
adat yang disebut “Manalasa”. Selain itu ada juga adat-adat lain yang dilakukan dalam
masyarakat suku Lauje, antara lain: buka hutan (Momongi), mulai menanam (Momula), melamar
(Mangantar), menikah (Mokabing), potong gigi (Mogasa), naik ayunan (Molongkung) dan
semua adat dilakukan secara gotong royong (Medunduluan).4
Masyarakat suku Lauje tinggal di dua wilayah kecamatan yang meliputi beberapa desa,
yaitu: Desa Malala, Desa Anggasan, Desa Ogowele, Desa Luok Manipi (Kec. Dondo), dan Desa

3
4

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje), Kinapasan 15 Agustus 2017.
Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

43


Bangkir (Kec. Dampal Selatan). Dari beberapa desa inilah terdiri dusun antara lain Ta’udan (Km
7), Jongin, Bambanong dan Kinapasan. Jumlah masyarakat suku Lauje secara keseluruhan
hampir mencapai 2.000 lebih jiwa dan 1.000 keluarga.
Dalam penelitian ini saya berfokus pada masyarakat suku Lauje yang ada di dusun
Kinapasan yang memiliki jarak tempuh dari kota Tolitoli ke dusun Kinapasan kira-kira 117 Km
dengan memakai kendaraan roda dua maupun roda empat dengan waktu yang ditempuh dua jam
perjalanan. Penduduk di dusun Kinapasan berjumlah 391 jiwa dengan 110 KK. Masyarakat suku
Lauje di hampir semua tempat menjalani kehidupan dengan bertani dan mengelola hasil hutan
yaitu rotan, damar, kayu gaharu,dll. Sebagian masyarakat suku Lauje yang ada di dusun
Kinapasan masih tinggal di gunung yang mereka sering sebut dengan wilayah kolom 2 atau
Wuyule.
Proses migrasi suku Lauje dari kabupaten Parigi Moutong ke kabupaten Tolitoli di abad
20 sekitar tahun 1920-1930 membawa dampak tersendiri pada tatanan kehidupan selanjutnya.
Daerah dengan lahan yang baru membuat suku ini betah untuk tinggal di lokasi itu. Hutan
dibabat, tanah diolah secara tradisional, hidup dengan keterbatasan, diatur secara adat oleh
kepala adat/tomogulang dengan batasan-batasan hukum adat yang berlaku serta tidak dicemarkan
oleh hukum adat manapun. Masyarakat suku Lauje masih hidup secara primitive serta tinggal di
hutan dengan mengandalkan alam semesta yang memberikan jaminan demi kelangsungan
kehidupan. Pekerjaan berburu binatang hutan (Mo Gubas/Mo Ngongko) dan mencari pohon enau

atau rumbia demi mendapatkan sagu (Mo Nya’ul) sebagai teman lauk dari hasil buru serta
membuat rumah/tempat tinggal dari kayu bulat berdiameter 12 dengan panjang 6 meter.

44

Rumah tersebut dibangun dengan cara ditancapkan ke tanah, diikat dengan rotan serta
beratapkan daun rotan, lantai dan dinding dari kulit kayu. Rumah tersebut tidak ada sekat yang
memisahkan seperti rumah-rumah modern sekarang ini, serta mereka masih hidup dengan adat
budaya yang tidak pernah tergantikan. Hidup dengan pola lama selama sekian waktu dan tibatiba muncul pola hidup baru membuat mereka merasa sangat asing. Pola hidup baru mereka
kenal dengan istilah “Mesusuyang Kai siopu” yang artinya berdoa kepada Tuhan. Selama ini
masyarakat suku Lauje percaya dan menyembah kepada para leluhur-leluhur yang mereka yakini
sebagai pemberi hidup dan yang menjaga mereka. Namun, seiring berjalannya waktu agama
Kristen mulai masuk dan hampir sebagian masyarakat suku Lauje sudah memeluk agama
Kristen, tetapi tidak meninggalkan sepenuhnya agama suku mereka.5
Dalam masyarakat suku Lauje ada istilah “Medunduluan” yang artinya gotong royong.
“Medunduluan” ini terlihat pada kegiatan-kegiatan masyarakat seperti menanam padi, kerja di
kebun, panen jagung, dll. “Medunduluan” dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi perempuan
pun terlibat. Dalam pelaksanaan adat Mangantar masyarakat mempersiapkan dengan
“Medunduluan’ atau bergotong royong. Atas dasar itulah, maka menurut penulis, Medunduluan
bisa dijadikan landasan filosofis.

3.3. Asal-Usul dan Pemaknaan Mangantar
Dalam masyarakat suku Lauje dikenal dengan beberapa adat, salah satunya adalah
Mangantar/ maso minta, yang artinya melamar/mengikat. Mangantar dipahami oleh masyarakat
suku Lauje sebagai pengikat untuk mengikat pasangan yang saling mencintai dan nantinya akan
berlanjut sampai kepada proses pernikahan. Sebelum Mangantar dilakukan, ada tahap yang
harus dilewati yaitu peminangan (Mo nyabi) dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan
5

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

45

dengan membawa sebungkus gula putih dan sebungkus kopi kepada pihak perempuan.
Sebungkus gula dan ini merupakan simbol dari pinangan dan ketika menyerahkannya ada
kalimat yang diucapkan “wiame arancana mae mongantar’e onjo labia nopeteuea’e ono gula
manu kopi” yang artinya saya datang ke tempat ini membawa gula dan kopi ada rencana untuk
melamar anak perempuan bapak dan ibu.
Dari penyerahan sebungkus gula dan kopi ada harapan dari pihak laki-laki agar pihak
perempuan bisa menerima pinangan tersebut. Pihak laki-laki harus bersabar karena butuh waktu
tiga hari untuk pihak perempuan menjawab pinangan. Apabila gula dan kopi tidak dikembalikan,

itu artinya pinangan diterima, tetapi jika gula dan kopi dikembalikan, artinya pinangan ditolak.
Mengapa gula dan kopi ? Karena menurut masyarakat suku Lauje gula dan kopi dianggap
sebagai sesuatu yang penting di dalam rumah tangga. Ibaratnya, ketika ada orang yang bertamu
di rumah mereka, maka harus diberikan kopi untuk diminum bersama. Ada juga yang
menganggap bahwa ketika kita menginap disalah satu keluarga, kita pun harus membawa gula
dan kopi untuk dinikmati bersama dengan keluarga. Jadi bisa dikatakan bahwa gula dan kopi
sebagai pengantar dalam sebuah rencana. Bila pinangan diterima, maka secara langsung
perempuan tersebut sudah menjadi milik dari laki-laki yang meminangnya dan keduanya harus
menjaga hubungan mereka dengan setia sampai pada proses pernikahan.
Dalam proses Mangantar ada barang-barang hantaran yang dibawa oleh pihak laki-laki.
barang-barang tersebut terdiri dari, (Sangil), sarung (Naus), anting-anting (Nganganti), kalung
(Rante), sisir (Sasalau), bedak (Pupur), peniti (Paniti), cermin (Pandangan), baju(Kabaya),
benang (Gapas), lipstik (Pabale), jarum (Osigi), dan gelang (Gonge). Penyerahan hantaran,
barang-barang yang diberikan mengikuti perkembangan jaman.

46

Gambar (2) Barang-barang hantaran dalam proses Mangantar
Sumber : Dokumentasi pribadi
Pada jaman dulu barang hantaran hanya berupa piring (Sangil), sarung (Naus) dan peniti

(Paniti). Sedangkan pada jaman modern, kalung (Rante), sisir (Sasalau), bedak (Pupur), cermin
(Pandangan), baju(Kabaya), benang (Gapas), lipstik (Pabale), gelang (Gonge), sendal, jepitan
rambut, cincin, handbody, sabun, dan shampo. Barang-barang tersebut memiliki makna
tersendiri, misalnya piring, sarung, dan peneti.
Orang Lauje yang hidup jaman dulu hanya memiliki ketiga barang tersebut dan menurut
mereka piring dapat disimbolkan sebagai keperluan rumah tangga untuk makan dan juga
dianggap sebagai kekuatan untuk membangun rumah tangga. “Kalo bicara soal adat, maka
harus lepas piring. Karena piring itu dianggap barang yang keras jadi supaya itu rumah tangga
juga punya kekuatan yang keras rupa piring”6 Kemudian sarung disimbolkan sebagai pengganti
dari pakaian mereka, karena pada jaman dulu belum ada pakaian yang menutupi tubuh mereka
secara keseluruhan. Sedangkan peneti dianggap sebagai pengait pada sarung yang mereka pakai.
Untuk barang-barang hantaran jaman sekarang bisa dikatakan cukup lengkap karena mengikuti
kebutuhan mereka yang hidup di jaman modern.
6

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

47

Masyarakat suku Lauje memaknai tradisi Mangantar sebagai sesuatu yang sakral, yang

tidak bisa lagi dinodai oleh apapun juga. Mangantar artinya perempuan telah diikat oleh lakilaki, maka dari itu wajib untuk perempuan menjaga pergaulannya dengan teman laki-laki lain
dan laki-laki wajib untuk membiayai perempuan yang telah dilamarnya. Mangantar dimaknai
melalui tindakan bergaul so musti jaga jarak, tau diri jo kalo so orang punya, musti setia deng
so musti datang-datang baku bantu di rumah laki-laki ataupun perempuan7 artinya, baik lakilaki maupun perempuan harus menjaga jarak bergaul dengan siapapun dan menyadari bahwa
mereka sudah dimiliki oleh orang lain, maka harus setia terhadap pasangan serta menjaga
silaturahmi dengan orang tua.
Bukan hanya kedua pihak yang memaknai arti dari Mangantar itu sendiri, masyarakat
pun ikut memaknainya dengan mendidik, mengingatkan dan mendukung pasangan yang sudah
melakukan adat Mangantar. “Masyarakat ikut mendukung apalagi kalo keluarga so kase tau
kalo dorang pe anak so dilamar. Biar Cuma mo bantu liat-liat akan tu anak, ditegur kalo so
talewat batas bergaul”8 artinya, masyarakat ikut membantu mengawasi dan memberi teguran
apabila pergaulan dari perempuan ataupun laki-laki dianggap berlebihan. Masyarakat menyadari
bahwa ini merupakan bertanggung jawab bersama dalam menjaga hubungan pasangan yang telah
melakukan adat Mangantar. Karena bagi mereka ketika telah melakukan adat, maka itu tidak
bisa dilanggar.
3.4. Pelaksanaan Mangantar
Setelah dilakukan pinangan oleh laki-laki yang awali dengan mengantar sebungkus gula
dan sebungkus kopi dan pinangan tersebut diterima oleh pihak perempuan, maka
7
8


Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)
Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

48

dilaksanakanlah adat Mangantar yaitu, keluarga pihak laki-laki dan kepala adat melakukan
pertemuan di rumah pihak perempuan dan sekaligus menyerahkan hantaran perlu diketahui
bahwa hantaran menurut masyarakat suku Lauje bukanlah sesutau yang memberatkan.
Menurut pemahaman masyarakat suku Lauje jika perempuan sudah di Mangantar, maka
perempuan tersebut sudah menjadi tanggung jawab dari laki-laki dan laki-laki harus membiayai
(Mo ngongkose) perempuan beserta keluarganya dengan memberikan uang, beras, sayur, ikan
serta kebutuhan lainnya. Hal tersebut berjalan terus sampai tiba saatnya mereka menikah.
Dalam pelaksanaan Mangantar terjadi percakapan antara ketua adat dan keluarga dari
kedua pihak, yaitu berisi balasan pantun yang intinya menanyakan apakah perempuan tersebut
sebelumnya sudah pernah menikah atau belum. Kemudian percakapan yang membahas tiga hal,
yang pertama tentang sejarah atau silsilah keluarga. Hal tersebut dianggap penting oleh
masyarakat suku Lauje karena menghindari adanya pernikahan satu darah. Percakapan
berikutnya membahas tentang Moar/mahar atau persyaratan untuk memasuki pernikahan seperti
piring, parang, harus memotong ayam dua ekor setelah itu dibakar. Moar dalam masyarakat suku

Lauje dianggap sebagai pengganti dari surat nikah. Yang terakhir pembicaraan yang berisi
nasehat-nasehat bagi kedua calon yang akan menikah untuk mempersiapkan mereka dalam
kehidupan berumah tangga. Selain itu ada juga pembicaraan mengenai uang yang akan dipakai
untuk proses Mokabing, bagi masyarakat suku Lauje uang yang harus dikeluarkan sebesar Rp.
10.000.000. Pembicaraan tentang uang ini di luar dari pembicaraan adat. 9 Mokabing merupakan
tradisi pernikahan adat suku Lauje yang dilakukan setelah tradisi Mangantar dan sesudah
penyerahan mo’ar.

9

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje), 16 Agustus 2017.

49

Gambar (3) Percakapan antara pihak laki-laki dan perempuan
Dalam proses Mangantar yang melibatkan juga Kepala Suku dan Kepala adat Lauje
Sumber : Dokumentasi pribadi

Ketika menjalani proses Mangantar entah dalam waktu yang lama atau cepat, ada salah
satu dari mereka yang berkhianat, maka batal semua proses pernikahan mereka. Bila kesalahan
itu dilakukan oleh perempuan, maka harus mengembalikan dua kali lipat dari biaya lamaran dan
biaya-biaya yang selama ini dikeluarkan oleh laki-laki. Bila sebaliknya, maka lamaran dan biayabiaya yang sudah diberikan tidak dapat dikembalikan.
Tradisi Mangantar belum ada hukum adat, berbeda jika sudah menikah ada hukum adat
yang mengatur untuk masalah seperti itu. Adat Mangantar merupakan adat yang diyakini
sebagai pengikat antara laki-laki dan perempuan, dengan adat Mangantar mendorong pihak lakilaki untuk bekerja lebih keras demi mengumpukan dana menuju pernikahan dan juga untuk
membiaya perempuan yang sudah diikat. Setelah laki-laki dan perempuan berhasil melewati
proses Mangantar, maka mereka bisa menuju ke jenjang pernikahan. Oleh karena itu sebelum
menikah (Mokabing) dilakukan “sorong Mo’ar (mahar) oleh kedua belah pihak, yang
dilaksanakan pada malam hari sebelum adat pernikahan (Mokabing).

50

Sorong Mo’ar dilakukan saling berhadap-hadapan antara ketua suku dari kedua pihak.10
Mahar yang diserahkan berupa piring 1 lusin, baki 2 buah (yang besar dan sedang/kecil), parang
dan ayam 2 ekor (yang satu dari pihak perempuan dan yang satu dari pihak laki). Mahar
dilakukan sebagai arti bahwa laki-laki mampu membangun kehidupan rumah tangga. Mahar
tidak dapat digunakan oleh keluarga yang baru terbentuk, tetapi harus digunakan oleh pihak
keluarga perempuan. Alasannya karena menurut kepercayaan jaman dulu jika laki-laki
menggunakan piring yang sudah diberikan kepada perempuan, maka akan berdampak pada
keturunan mereka. Misalnya, anak terlahir cacat, anak sakit-sakitan atau anak selalu menangis.11
Pada pagi hari tepatnya jam 06.00, kedua mempelai yang akan menikah menjalani proses
nikah ada (Mokabing), dimana mereka harus berdiri menghadap matahari sambil menginjak
parang (Mongupage Piging). Ini berarti agar kehidupan rumah tangga nantinya keras seperti
parang dan mengapa harus menghadap matahari agar nantinya kehidupan rumah tangga mereka
bercahaya seperti matahari. Kemudian, kepala adat mengambil dua ekor ayam jantan dan betina
yang telah dipersiapkan serta disembelih di depan pengantin laki-laki dan perempuan.
Jika ayam jantan yang pertama mati, maka itu berarti pengantin laki-laki yang akan lebih
dahulu mati. Demikian juga sebaliknya, jika ayam betina yang pertama mati, maka penganti
perempuan yang akan mati. Namun itu merupakan pemahaman jaman dulu dan sudah tidak
berlaku hingga sekarang ini. Akan tetapi, ritual tersebut masih sering dilakukan. Memotong
ayam memberi arti bahwa pernikahan mereka telah resmi secara adat suku Lauje. Parang yang
dipakai menyembelih ayam diletakan (ditindis) pada dahi kedua mempelai dengan tujuan agar
kedua mempelai menjalani kehidupan keras seperti parang.
10

Kepala suku berbeda dengan ketua adat, kalau ketua adat mereka yang dipilih atas dasar sudah menguasai ritualritual adat yang ada di suku Lauje. Sedangkan kepala suku adalah mereka yang dituakan dalam masyarakat suku Lauje.
11
Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje).

51

Sesudah adat dilakukan, kedua mempelai kembali ke ruang khusus untuk mendapatkan
nasihat dari kepala adat dan ketua adat. Nasehat yang diberikan adalah “mulai kawin ini dorang
itu harus saling menghargai antar laki-laki dan perempuan supaya dorang bisa bersatu deng
bisa saling bekerjasama, bagaimana suami istri dapat saling mencintai dan menghargai, saling
mendukung satu dengan yang lain. Biasanya kita kalau tidak saling mencintai perempuan ke
barat laki-laki ke timur berarti kita tidak bisa bakudapa” artinya ketika sah menjadi suami dan
istri, maka laki-laki dan perempuan harus saling mencintai, menghargai, dan saling mendukung
agar mereka dapat bekerjasama. Kalau tidak saling mencintai, maka tidak akan ada kecocokan.12
Ketika proses peminangan, proses Mangantar, proses Mokabing selesai dilakukan, maka
ada proses terakhir yang harus dilewati oleh pasangan suami dan istri yaitu “Mongkologe
Alopa”, yang artinya potong nasi bungkus atau ketupat. Pemotongan nasi bungkus ini dilakukan
pada dua hari setelah proses Mokabing (nikah adat), dimana kedua mempelai mendatangi orang
tua mereka masing-masing dan makan minum bersama dengan potongan nasi bungkus yang akan
diberikan oleh kedua mempelai kepada pihak mertua dengan cara disuap. Adat ini menandakan
bahwa baik laki-laki ataupun perempuan harus menghormati dan merawat orang tua mereka.
3.5. Pemahaman Masyarakat Suku Lauje tentang Mangantar
Dalam menjalani sebuah hubungan tentunya ada harapan yang ingin dicapai, tidak hanya
sekedar berpacaran, tetapi berkeinginan untuk bisa sampai ke jenjang yang lebih serius yaitu
pernikahan. Melangkah ke pernikahan pastinya ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh
pasangan, salah satunya ialah tahap lamaran. Pada tahap lamaran biasanya pasangan merasa
sudah saling memiliki satu dengan yang lainnya, sehingga berusaha dengan bekerja keras

12

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje).

52

mengumpulkan segala sesuatu demi bisa mencapai sebuah pernikahan. Masing-masing orang
memiliki pemahaman tersendiri mengenai lamaran, demikian halnya dengan masyarakat suku
Lauje.
Ada yang memahami lamaran atau Mangantar dengan ungkapan “kalo sudah dilamar
berarti so tidak mau lagi suka dengan laki-laki lain karena sudah diikat”13 artinya, ketika sudah
dilamar, perempuan tidak bisa lagi berhubungan dengan laki-laki lain. Ada juga pemahaman
bahwa “biasa kalopun dia sudah berhubungan ada kalanya orang tua tidak setuju, makanya itu
dilakukan Mangantar kalau memang dia mungkin mau sama saya tapi keluarganya tidak mau
makanya diantar itu untuk dilihat kepastiannya”14 yang berarti, biasanya ketika kita sudah
berhubungan dengan perempuan, ada orang tua yang tidak setuju. Oleh karena itu, melalui
Mangantar, maka bisa diperoleh sebuah kepastian akan hubungan selanjutnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya Mangantar, misalnya karena saling
suka dan ada juga karena dijodohkan. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan pemahaman tentang
Mangantar, “ kalo sudah satu tahun kita melamar baru kita dikawin rugi, sa pikir kalo sudah
dikawin so cukup, jadi tidak usah Mangantar. Tidak perlu ada Mangantar langsung kawin saja,
karena so dianggap suami istri”15 artinya, tidak perlu adanya Mangantar, karena rugi jika kita
sudah melamar tetapi tidak dinikahi, lebih baik langsung dinikahi dan langsung dianggap sebagai
suami istri.
Menurut mereka yang telah melakukan tradisi Mangantar, ada manfaat dan keuntungan
yang mereka dapatkan dari tradisi ini, misalnya“so ada yang membantu, kan so diongkos toh

13

Wawancara dengan ibu. Wati Sulumini, 17 Agustus 2017.
Wawancara dengan Bpk. Taji Najadi, 17 Agustus 2017.
15
Wawancara dengan Bpk. Samaia Sabol, 17 Agustus 2017.
14

53

setiap satu bulan ada lagi yang dikase, uang beras”16 artinya, ketika sudah dilamar maka sudah
ada yang membantu membiayai kehidupan sehari-hari. “So Mangantar berarti orang tau so ada
ikatan, so harus kerja keras kumpul modal untuk kawin, begitu juga musti siap mental”17
artinya, melalui Mangantar orang lain bisa melihat atau mengetahui bahwa sudah ada ikatan
dengan seseorang dan juga bisa lebih mempersiapkan diri baik mental maupun finansial untuk
menikah. Ada juga pendapat lainnya, “so Mangantar jadi harus lebih dewasa, tau jaga diri
dengan harus mandiri karna kita sudah dilamar”18 artinya, karena sudah dilamar seharusnya
kita lebih dewasa, tahu menjaga diri dan harus mandiri. Setiap keuntungan, pasti ada kerugian
yang dirasakan dari tradisi Mangantar, misalnya “so tidak bebas bergaul”19 artinya, sudah tidak
ada kebebasan untuk bergaul.
Dalam Mangantar, ada beberapa perempuan yang bersedia dilamar diusia yang bisa
dikatakan muda (belasan tahun), ada juga yang dilamar diusia yang sudah matang, kebanyakan
itu orang tua jaman dulu. Pada jaman dulu tradisi Mangantar, biasanya karena perjodohan dari
kedua orang tua, usia tidak menjadi sebuah persoalan, asalkan kedua pasangan sudah bisa kerja.
Berbeda halnya dengan jaman sekarang, dimana seharusnya telah ada aturan yang melarang anak
yang masih di bawah umur untuk menikah, tetapi akibat dari salah pergaulan maka secara
terpaksa harus dinikahkan. Pada saat melakukan penelitian, penulis menemukan contoh kasus,
yaitu ada seorang anak perempuan yang terkena dampak dari pergaulan bebas, yang
mengharuskan anak perempuan dan orang tuanya menanggung malu karena anak tersebut dalam
keadaan hamil di luar nikah dan pasangannya berasal dari agama yang berbeda. Ini merupakan
sesuatu yang berat bagi keluarga juga kepala suku yang bertanggung jawab dalam masyarakat
16

Wawancara dengan ibu. Windo, 17 Agustus 2017.
Wawancara dengan Bpk. Tommy Pasaribu, 18 Agustus 2017.
18
Wawancara dengan ibu. Nuriyanti, 18 Agustus 2017.
19
Wawancara dengan ibu Santi, 18 Agustus 2017.
17

54

suku Lauje. Kemudian, setelah mereka bergumul dengan masalah ini, maka ada seorang laki-laki
yang bersedia bertanggung jawab menikahi perempuan tersebut. Proses adat pun berlangsung
dari Mangantar sampai dengan proses yang terakhir, yaitu Mongkologe Alopa atau potong nasi
bungkus.
Menurut hasil wawancara ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa anak
perempuan maupun laki-laki dalam masyarakat suku Lauje mau untuk melakukan tradisi
Mangantar, yaitu:
a. Orang tua. Menurut orang tua, jika anaknya sudah tidak memiliki niat untuk
melanjutkan sekolah, maka jalan yang diambil adalah dengan menikahkan anaknya.
b. Pergaulan. Anak-anak jaman sekarang ini sudah mengenal dan terjerumus ke dalam
pergaulan bebas, bahkan mereka berani menjalin hubungan yang sudah di luar batas,
sehingga berdampak negatif (hamil di luar nikah) dan akhirnya menanggung malu.
c. Tempat tinggal. Keadaan rumah sebagian masyarakat suku Lauje yang tidak ada sekat
untuk memisahakan kamar orang tua dan anak, sehingga orang tua dan anak-anak
tidur dalam satu ruangan, mengakibatkan ketika orang tuanya melakukan hubungan
suami istri, maka anak-anak pun melihat dan menimbulkan rasa penasaran dalam diri
mereka untuk mencoba.

55

.
Gambar (4) Tempat tinggal masyarakat suku Lauje
Sumber : Dokumentasi pribadi

d. Perjodohan. Pada jaman dahulu, orang tua sering menjodohkan anaknya dengan
alasan, bila anak-anak sudah bisa bekerja maka mereka sudah direstui untuk menikah.
Dalam situasi menghadapi permasalahan seperti ini, masyarakat tetap membantu dan
mendukung setiap proses yang dijalani oleh pasangan tersebut. Tidak sedikit pun dari mereka
yang menjauhi, karena bagi mereka anak perempuan tersebut telah mendapatkan kepastian dan
pertanggung jawaban.
Dari beberapa pendapat tentang pemahaman mereka berkaitan dengan Mangantar, bisa
disimpulkan bahwa Mangantar menjadi tradisi yang sangat penting dalam masyarakat suku
Lauje khususnya di dusun Kinapasan, selain karena tuntutan adat bisa juga dipahami sebagai
proses untuk mencari kepastian dari hubungan yang dijalani, juga sebagai pengikat dalam sebuah
hubungan. Ini terlihat dengan adanya manfaat yang bisa mereka rasakan, baik itu untuk laki-laki,
maupun untuk perempuan. Mangantar menjadikan mereka lebih dewasa dalam berpikir dan
bertindak, mereka lebih mandiri, lebih bekerja keras untuk mengumpulkan uang menuju ke
pernikahan.
56

Selain itu, ada keuntungan yang bisa dirasakan oleh kaum perempuan, dimana mereka
bisa terbantu melalui pembiayaan oleh kaum laki-laki karena sudah dianggap telah menjadi
sebuah tanggung jawab. Kalau kerugian yang dirasakan tidak hanya kaum laki-laki, tetapi kaum
perempuan pun merasakan ketidakbebasan dalam bergaul. Mereka mulai merasa sudah ada
batasan-batasan untuk bergaul dengan lawan jenis. Pemahaman lainnya adalah pada jaman dulu
apabila sudah dilakukan tradisi Mangantar, itu berarti perempuan sudah menjadi milik laki-laki
yang melamarnya dan harus dibiayai semua yang menjadi kebutuhan perempuan dan
keluarganya serta secara tidak langsung pasangan ini bisa tinggal dalam satu rumah karena telah
dianggap sebagai suami istri.
Dalam proses Mangantar, ada pasangan yang berkhianat maka secara tidak langsung
semua proses menuju pernikahan batal. Bila laki-laki yang berkhianat, bukan berasal dari suku
Lauje, maka bagi laki-laki yang di luar dari suku Lauje harus tetap mengikuti adat budaya suku
Lauje. Jika perempuan yang berasal dari luar suku Lauje harus tetap menerima pemberian
ongkos dari pihak laki-laki. Tradisi ini sebenarnya tidak mengikat khusus untuk pasangan di luar
suku Lauje, asalkan ada kesepakatan bersama dengan orang tua.
3.6. Rangkuman
Dari isi penulisan bab III, penulis menemukan beberapa hal yang penting, yaitu :
a. Dari pembahasan mengenai asal-usul Mangantar, melahirkan sebuah landasan filosofis
yaitu Medunduluan (gotong royong), landasan filosofis ini juga didasarkan dari falsafah
hidup orang Lauje yaitu Medunduluan. Alasannya karena masyarakat suku Lauje sangat
menjunjung tinggi nilai gotong royong dalam kehidupan mereka. Dengan bergotong
royong mereka dapat saling membantu dan mendukung, sehingga dalam mengerjakan

57

apapun semuanya terasa ringan. Misalnya, menanam padi, kerja dikebun, panen jagung,
dll. Hingga pada saat Mokabing mereka mempersiapkan secara gotong royong.
b. Dalam pemaknaan dan pelaksanaan Mangantar, ada nilai-nilai spiritual yang bisa penulis
temukan, antara lain: pengorbanan, tanggung jawab, kerjasama, komitmen, dan
menyatukan keluarga.

58