BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Typhus Abdominalis
2.1.1 Definisi Typhus Abdominalis
Tipes atau Typhus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhosa atau Salmonella Paratyphi A, B dan C. Selain itu dapat juga menyebabkan
gastroenteritis (radang lambung). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan
nama tipes atau Typhus Abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam perut(Zulkoni, 2011).
Sejarah tifoid dimulai saat ilmuan Perancis bernama Piere Lois memperkenalkan istilah Typoid pada tahun 1829. Typhoid atau Typhus berasal dari bahasa Yunani yaitu Typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan kesadaran. Kemudian Gaffky menyatakan bahwa penularan penyakit ini melalui air dan bukan udara. Gaffky juga berhasil membiakkan Salmonella Typhi dalam media kultur pada tahun 1986. Widal akhirnya menemui pemeriksaan tifoid yang masih digunakan sampai saat ini. Selanjutnya, pada tahun 1948 Woodward dkk melaporkan untuk pertama kalinya bahwa obat yang efektif untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol (Kunoli,2013).
2.1.2 Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan terdiri atas saluran cerna yang dimulai dari mulut sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah menyediakan zat nutrisi yang sudah dicerna secara berkesinambungan untuk di distribusikan ke dalam sel melalui sirkulasi dengan unsur-unsur air, elektrolit, dan zat gizi.
Gambar 2.1 Sistem Pencernaan1. Mulut Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam mulut dilapisi oleh selaput lendir. Saliva atau liur yang dihasilkan oleh mulut bersifat alkali (basa) yang disekresikan oleh kelenjar parotis, submaksilaris, sublingualis dan kelenjar mukosa pipi. Saliva atau liur berfungsi : a. Sebagai pelumas (lubrikasi) pada waktu mengunyah dan menelan makanan.
b. Mencerna karbohidrat dengan amilase saliva. c. Mengandung lisozyme yang berperan sebagai anti bakteri.
d. Sebagai palarut molekul yang dapat memacu reseptor rasa.
e. Membantu proses bicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah.
f. Buffer karbohidrat di dalam saliva akan menetralkan asam dari makanan.
2. Gigi Gigi berfungsi melakukan proses pencernaan secara mekanik. Gigi akan oleh gigi depan (incisivus), setelah dipotong makanan akan dikunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), dengan tujuan makanan menjadi bagian –bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
3. Tenggorokan (faring) Adalah organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan.
Organ yang penting didalam faring adalah tonsil yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, menyaring, dan mematikan bakteri atau mikrorganisme yang masuk melalui jalan pencernaan dan pernafasan.
4. Kerongkongan (esofagus) Esofagus merupakan saluran pencernaan setelah mulut dan faring.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan gerakan peristaltik. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian : a. Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka) b. Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus) c.
Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
5. Lambung Lambung adalah kantong maskular yang letaknya antara esofagus dan usus halus. Fungsi lambung adalah menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung. Selain itu dilambung hanya terjadi absorbsi nutrien sedikit.
6. Usus halus yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada secum. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), usus penyerapan (ileum).
Fungsi usus halus :
a. Mensekresi cairan usus untuk menyempurnakan pengolahan zat makanan di usus halus.
b. Menerima cairan empedu dan pankreas melalui duktus koleduktus dan pankreatikus.
c. Mencerna makanan.
d. Mengabsorbsi air garam, dan vitamin.
7. Usus Besar Usus besar merupakan saluran pencernaan berupa usus berpenampungan luas atau berdiameter besar dengan panjangnya lebih kurang 1,5 – 1,7 m dan penampang 5-6 cm. Fungsi usus besar : a. Menyerap air dan elektrolit kemudian mensisakan massa yang disebut feses.
b. Menyimpan feses sampai saat defekasi.
8. Rektum
Bagian ini merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus sepanjang 12 cm yang dimulai dari pertengahan sakrum dan berakhir pada kanalis anus.
9. Anus dunia luar terletak di dasar pelvis/dindingnya diperkuat oleh spinchter ani (Niman, 2013).
2.1.3 Masa Inkubasi
Menurut Zulkoni (2011), masa inkubasi dihitung mulai saat pertama kali kuman ini masuk kemudian “tidur” sebentar untuk kemudian menyerang tubuh, masa ini berlangsung 7 – 12 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit ini penderita mengalami keluhan berupa :
1. Anoreksia
2. Rasa malas
3. Sakit Kepala bagian belakang
4. Nyeri Otot
5. Lidah kotor
6. Gangguan Perut (mulas dan sakit)
Sedangkan menurut Kunoli (2013), masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi : masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8-14 hari.
2.1.4 Etiologi
Menurut Zulkoni (2013),penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella Typhosa. Penyakit tipes (typhus Abdominalis) merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri
Salmonella Typhosa(food and water borne disease) . Seseorang yang sering
menderita penyakit tipes menandakan bahwa ia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini.
Salmonella Typhosa sebagai suatu spesies, termasuk dalam kingdom
bakteria, phylum proteobacteria, classis gamma proteobacteria, ordo enterobacteriales, famili enterobacteriakceae, genus salmonella . Salmonella Typhosa adalah bakteri gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidakberspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu : antigen O (somatic, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1(hyalin, protein membrane).
2.1.5 Patofisiologi
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/ feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman / karier. Empat F
(Finger, Files, Fomites, Fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah, dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/ dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama negara- negara yang sedang berkembang.
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat juga berperan sebagai perantara penularan
2.1.6 Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid yaitu dapat terjadi ulserasi plaques peyeri pada ileum yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering terjadi pada penderita yang terlambat diobati. Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran berkurang dan parotitis (Kunoli,2013).
Secara rinci, gejala klinis dijelaskan oleh Zulkoni (2011), yaitu :
1. Minggu Pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut lain seperti demam tinggi yang
o o
berkepanjangan yaitu setinggi 39 c hingga 40
c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernafasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis, perut kembung, dan merasa tidak enak, serta diare dan sembelit silih berganti. Lidah pada penderita putih kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor, tenggorokan terasa kering dan meradang.
2. Minggu kedua Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).
Gejala toksemia (ketika kuman sudah masuk aliran darah), semakin berat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare menjadi lebih sering dan terkadang bewarna gelap akibat perdarahan. Pembesaran hati atau limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi.
3. Minggu ketiga Suhu tubuh berangsur turundan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala- gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa otot-otot yang bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal atau umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernafas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
4. Minggu keempat Merupakan stadium penyembuhan meskipun sering dijumpai sisa gejala yang terjadi sebelumnya.
2.1.7 Pengobatan
Menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006 dipaparkan bahwa pengobatan penderita demam tifoid meliputi :
1. Perawatan Umum dan Nutrisi Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan, seperti: a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan perforasi.
b. Nutrisi
- Cairan : penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parental. Cairan parental diindifikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
- Diet : harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
- Roboransia - Antipiretik ( untuk kenyamanan penderita)
- Antiemetik (jika penderita muntah hebat)
d. Kontrol dan Monitor dalam perawatan - Suhu tubuh, serta tanda vital lain seperti nadi, nafas, tekanan darah). tubuh yang keluar (urin, feses) harus seimbang.
- Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.
- Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain.
- Efek samping dan atau efek toksik obat.
- Resistensi anti mikroba - Kemajuan pengobatan secara umum.
2. Antimikroba Antimikroba diberikan segera bila diagnosis klinis demam tifoid telah ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable maupun suspek.
Sebelum antimikroba diberikan harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman salmonella, kecuali fasilitas biakan ini tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan.
Antimikroba yang dikenal sensitif dan efektif untuk demam tifoid adalah :
Kloramfenikol -
- Seftriakson - Ampisilin & amoksilin
- TMP – SMX (kotrimoksasol)
- Quinolone - Cefixime - Tiamfenikol
3. Pengobatan dan Perawatan Komplikasi Terapi komplikasi tifoid :
Antimikroba yang dipilih adalah parentral dan dapat ganda seperti kombinasi ampisilin dan kloramfenikol. Pemberian kortikosteroid seperti deksametason dengan dosis 4x10mg intravena. Dosis untuk anak 1-3mg/kg BB/hr selama 3-5 hari.
b. Syok septik
- Penderita dirawat intensif
- Kegagalan hemodinamik yang terjadi diatasi secara optimal
- Obat-obatan vasokatif (seperti dopamin) dipertimbangkan bila syok mengarah irreversible.
c. Perdarahan perforasi
- Penderita dirawat intensif
- Transfusi darah jika ada indikasi
- Bila perforasi : rawat bersama dengan dokter bedah, operasi, antibiotik spektrum luas, diet parenta dan monitor keseimbangan cairan.
d. Komplikasi lain Komplikasi lain diobati sesuai dengan kondisi, obat- obatan dan prosedur perawatan defenitif untuk tifoid tetap diberikan.
4. Perawatan Mandiri di rumah Syarat penderita dapat dirawat dirumah :
- Penderita dengan kesadaran baik
- Penderita dengan keluarganya cukup mengerti cara-cara merawat serta paham dengan tanda bahaya dari tifoid.
- Rumah tangga penderita memiliki atau dapat melaksanakan sistem pembuangan ekskreta yang memenuhi syarat kesehatan.
Menurut Abata (2013), demam tifoid umumnya berlangsung selama 10-20 hari dengan rentang 3-60 hari, tergantung jumlah kuman yang masuk ke dalam tubuh penderita. Semakin banyak kuman yang masuk maka gejalanya akan semakin cepat muncul. Pada suhu yang tinggi penderita bisa sampai mengigau dan apatis.
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006, yakni :
1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan 3. Perlindungan dini agar tidak tertular.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan adalah :
tifoid. Bila ada kasus karier maka diterapi dengan quinolone selama 4 minggu (siprofloksasin 2x 750mg atau norfloksasin 2 x 400mg).
2. Perbaikan Sanitasi Lingkungan Perbaikan sanitasi lingkungan, meliputi :
Penyediaan air bersih untuk seluruh warga, untuk air minum - masyarakat membiasakan dengan memasak sampai mendidih.
- Jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan.
Pengolahan limbah, kotoran, dan sampah harus benar sehingga tidak - mencemari lingkungan.
3. Peningkatan Higiene Makanan dan Minuman Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi keamanan. - Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak - Hindari kontak antara makanan mentah dengan yang sudah masak. - Permukaan dapur dibersihkan dengan cermat. -
Lindungi makanan dari serangga, binatang mengerat dll. - Gunakan air bersih untuk dikonsumsi. -
4. Peningkatan Higiene Perorangan Setiap tangan yang dipergunakan unruk memegang makanan, maka tangan harus bersih, cuci tangan pakai sabun.
5. Pencegahan dengan imunisasi Immunisasi, sampai saat ini vaksin tiroid baru diprioritaskan untuk traveler Pengumpulan yang sistematik, analisis dan interpretasi yang terus menerus dari data kesehatan yang penting. Untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
7. Definisi Kasus Dalam hal pengumpulan data, diperlukan petugas yang memiliki kemampuan memadai dalam hal menentukan seorang pasien menderita tifoid atau bukan.
8. Sistim Pencatatan dan Pelaporan
9. Penanggulangan KLB Bila ada dugaan KLB disuatu daerah, maka diperlukan serangkaian kegiatan yang berpola dengan baik untuk menanggulanginya. Pihak unit pelayanan kesehatan (rumah sakit / puskesmas) segera melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan PenderitaTyphus Abdominalis.
2.2.1 Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang penting pada proses terjadinya penyakit. Sebagian penyakit timbul hampir secara eksklusif pada suatu kelompok usia tertentu saja. Angka kesakitan dan kematian dalam hampir semua keadaan itu berkaitan dengan fungsi dari proses umur, perkembangan, imunitas dan keadaan fisiologi, perubahan kebiasaan makan dari tiap golongan umur, perubahan daya dan Kunoli, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati(2009) yang berjudul
“Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid Di Indonesia Tahun 2007” mengatakan bahwa kelompok umur 1-14 tahun merupakan usia yang
berisiko terbesar terkena tifoid yaitu 1,449 kali daripada kelompok umur responden yang lain, makin tua kelompok umur makin rendah risiko yang terjadi.
Penelitian lain dilakukan oleh Rinni (2014) yang berjudul “Permodelan
Laju Kesembuhan Pasien Rawat Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid) Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional Dari Cox (Studi Kasus di RSUD Kota Semarang)”, menyatakan hasil bahwa pasien dengan usia kurang dari
15 tahun memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien lebih dari sama dengan 15 tahun.
2.2.2 Jenis Kelamin
Sebagian penyakit lebih sering dijumpai pada kaum pria dan sebagian lainnya pada wanita. Jika faktor pewarisan yang mempunyai kaitan seksual dapat disingkirkan, maka perbedaan seks dalam insidensi penyakit akan menimbulkan pemikiran awal tentang kemungkinan adanya faktor-faktor hormonal atau reproduktif yang menjadi faktor predisposisi (pencetus) atau pelindung (Friedman,1993).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati(2009) yang berjudul
“Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid Di Indonesia Tahun 2007” mengatakan bahwa kelompok laki-laki lebih dominan terkena tifoid (OR =
1,142) daripada kelompok perempuan. Ada perbedaan hasil penelitian antara Herawati (2009) dan penelitian yang dilakukan oleh Ja’afar(2013)yang berjudul “Epidemiological analysis of typhoid fever in Kelantan from a retrieved registry” yang menyatakan hasil penelitiannya bahwa demam tifoid didominasi oleh laki- laki dalam kelompok usia 5-14 tahun dan perempuan dalam kelompok usia 20– 35 dan 45-60 tahun.
Laju kesembuhannya sendiri dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinni (2014) yang berjudul “Permodelan Laju Kesembuhan Pasien Rawat
Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid) Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional Dari Cox (Studi Kasus di RSUD Kota Semarang)”, menyatakan hasil bahwa pasien dengan jenis kelamin perempuan
memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki-laki.
2.2.3 Titer Uji Widal
Menurut KEPMENKES No. 364 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Tes serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil salmonella didalam darah manusia (saat sakit, karier, atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yakni aglutinin O dan H. puncaknya pada minggu ke-3 sampai ke-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lama, sampai 2 tahun kemudian.
Peneliti beranggapan bahwa nilai titer berpengaruh terhadap derajat klinis penderita Typhus Abdominalis sehingga sedikit banyaknya dapat memengaruhi laju kesembuhan penderita. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Syafrani (2013)yang berjudul “Korelasi Titer Uji Widal Dengan
Derajat Klinis Pada Pasien Demam Tifoid Di RSUD Panglima Sebaya Kabupaten Paser Periode Tahun 2012” , menyatakan hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa kadar titer uji widal memiliki hubungan dengan derajat klinis pasien yang dapat diketahui dari nilai P.value= 0,002 atau < 0,05 dan nilai korelasi r = 0,767.
Interpretasi Reaksi widal :
- Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing- masing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil penelitiannya.
- Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.
- Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.
- Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil test negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan- keadaan gizi jelek, konsumsi obat- obat imunosuspresif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.
2.2.4 Komplikasi
Adanya komplikasi yang menyertai penyakit Typhoid Fever dapat mempengaruhi kesembuhan seseorang, karena tubuh menjadi lebih ekstra dalam melawan penyakit. Kematian karena Typhoid umumnya disebabkan oleh komplikasi typhoid antara lain radang paru paru, perdarahan usus, dan kebocoran usus. Tidak jarang jika operasi menjadi salah satu penatalaksanaan yang diambil oleh pihak tenaga medis jika komplikasi yang dialami pasien Typhus Abdominalis cukup parah seperti adanya perforasi usus.
Penggunaan obat-obatan antibiotika sendiri bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit. Perlubangan usus (perforasi usus ) merupakan salah satu bentuk komplikasi serius akibat typhoid yang dapat menyebabkan kematian. Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid sering terjadi menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006,diantaranya:
a. Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati) Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas-batas normal.
b. Syok Septik Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas, penderita jatuh ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Berbahaya jika syok menjadi
irreversible.
1. Perdarahan dan Perforasi Intestinal Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu ke dua demam atau setelah itu. Perdarahan dengan gejala berak berdarah (hematoskhezia) atau dideteksi dengan tes perdarahan tersembunyi (occult blood test). Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan nyeri tekan yang paling nyata di kuadran kanan bawah abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan kematian.
Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi. Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas khas untuk peritonitis.
3. Hepatitis Tifosa Demam tifoid yang disertai gejal-gejala ikterus, hepatomegali dan kelainan test fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kuffer.
4. Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-gejalanya adalah sama dengan gejala pankreatitis. Penderita nyeri perut hebat yang disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan bisisng usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat.
5. Pneumonia Dapat disebabkan oleh basil salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan gejal-gejala klinis pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada foto polos toraks.
6. Komplikasi Lain keseluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang menimbulkan infeksi yang bersifat lokal diantaranya :
Osteomielitis, artritis -
- Miokarditis, perikarditis, endokarditis
Pielonefritis, orkhitis - Serta peradangan- peradangan ditempat lain. -
2.2.5 Kadar Trombosit
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah untuk menghentikan perdarah aktif yang terjadi pada luka, Selain itu, trombosit juga mempunyai peran dalam melawan infeksi virus dan bakteri dengan memakan virus dan bakteri yang masuk dalam tubuh kemudian dengan bantuan sel-sel kekebalan tubuh lainnya menghancurkan virus dan bakteri di dalam trombosit tersebut. Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/µl darah.
Pada pemeriksaan trombosit penderita Typhus Abdominalis terdapat gambaran trombositopenia ringan (Penurunan Kadar trombosit dibawah nilai normal). Kejadian trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap proses kesembuhan penderita Typhus Abdominalis.
2.2.6 Kadar Leukosit
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll.
Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/µl darah. Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal, gangguan dari sistem kekebalan tubuh.
Pada pemeriksaan hitung leukosit total penderita Typhus
Abdominalis terdapat gambaran leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 –
3
4000 /mm ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Terjadi leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leukopenia 25%. Namun sekarang hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.
2.2.7 Anemia
Anemia disebabkan produksi haemoglobin yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila pada penderita Typhus Abdominalis terjadi penurunan haemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4 yang biasanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Okafor (2007) yang berjudul
Haematological alterations due to typhoid fever in Enugu Urban- Nigeria. Dapat
disimpulkan bahwa perbedaan rata-rata antara nilai hematologis diperoleh untuk pasien tifoid dibandingkan dengan pasien bukan tifoid, ditemukan bahwa demam dapat menimbulkan terjadinya anemia. Nilai normal Hb : Wanita : 12 – 16 gr/dL Pria : 14 – 18 gr/dL Anak : 10- 16 gr/dL Bayi baru lahir : 12-24 gr/dL
2.2.8 Tingkat Kesadaran
Pada penderita Typhus Abdominalis, umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tiroid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai samnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psychosis (organic Brain Syndrome ). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious) : yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis : yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium : yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi)
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma) : yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose) : yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun.
2.3 Analisis Survival
2.3.1 Pengertian Analisis Survival
Menurut Yasril(2009),survival berasal dari kata to survive yang berarti ketahanan/ kelangsungan hidup. Sedangkan analisis survival disebut juga analisis kelangsungan hidup atau analisis kesintasan. Analisis survival adalah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data dimana variabel outcome yang diteliti adalah waktu (time) sampai suatu kejadian (event) muncul. Time adalah tahun, bulan, minggu, atau hari dimulai dari awal pengamatan kejadian sampai kejadian itu muncul. Kejadian(event) itu sendiri dapat berupa kematian, insiden penyakit, kakambuhan, kesembuhan, kembali bekerja atau kejadian lain sesuai dengan kepentingan peneliti.
Dalam analisis survival, variabel waktu sebagai survival time, karena variabel ini menunjukkan waktu dari seseorang untuk “survived” dalam periode waktu tertentu. Pada analisis survival ada problem yang terjadi pada waktu pengamatan, bahwa kita tidak mengetahui time yang kita ukur secara pasti
(sensor 1. Orang yang kita amati tidak mengalami event.
2. Orang yang kita amati hilang dalam pengamatan (lost to follow up).
3. Orang yang kita amati meninggal yang terjadi bukan karena event (withdrawn).
2.3.2 Tujuan Analisis Survival
Menurut Yasril (2009), analisis survival bertujuan untuk :
1. Mengestimasi/ memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi survivor atau hazard dari data survival, misalnya kanker, mati, post operasi dan lain-lain.
2. Membandingkan fungsi survivor dan fungsi hazard pada dua atau lebih kelompok.
3. Menilai hubungan variabel – variabel explanatory dengan survival
time /waktu ketahanan misalnya dengan menggunakan “cox proportional
hazard”.2.3.3 Metode Analisis Survival
Metode analisis survival yang sering dipakai adalah :
1. Metode Tabel Kehidupan (life table)/ Aktuarial (cutler-ederer)
2. Metode Kaplan Meier (product limit)
3. Regresi Cox Ketiga metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu dibutuhkan setidaknya 2 metode pengujian. Dalam penelitian ini, metode analisis survival yang dipilih oleh peneliti adalah metode Kaplan Meier dan Regresi Cox.
A. Metode Kaplan Meier (product limit) Metode Kaplan Meier disebut sebagai product limitmethod, pada cara ini tidak dibuat interval tertentu, dan efek dihitung tepat pada saat ia terjadi.
Lama pengamatan disusun dari yang terpendek sampai yang terpanjang, dengan catatan subyek yang tersensor diikut sertakan. Metode Kaplan Meier ini berdasarkan pada dua konsep sederhana, yakni :
1. Pasien yang tersensor dihitung sebagai pasien at risk hanya sampai pada saat ia tersensor.
2. Peluang untuk hidup 2 bulan sama dengan peluang hidup pada 1 bulan 1 dikali dengan peluang hidup pada bulan II, dan seterusnya.
B. Regresi cox Apabila terdapat variabel-variabel kovariat yang ingin dikontrol maka kita dapat menggunakan regresi cox. Regresi cox dapat digunakan untuk membuat model yang menggambarkan hubungan antara survival time sebagai variabel dependen dengan satu set variabel independen. Variabel independen bisa kontinyu maupun kategorik.Regresi cox menggunakan hazard function sebagai dasar untuk memperkirakan Relative Risk untuk gagal. Fungsi
hazard “h(t)” adalah sebuah rate yang merupakan estimasi potensi untuk mati
pada satu unit waktu pada suatu saat tertentu, dengan catatan bahwa kasus tersebut masih hidup ketika menginjak interval waktu tersebut.
Tujuan dari penggunaan Regresi Cox adalah untuk :
1. Mengestimasi Hazard Ratio
3. Melihat confident interval dari Hazard Ratio Model Regresi Cox : H(t.x) = ho(t).e
- –(b1x1+ b2x2 + .............+ bixi)
2.4.4 Terminologi Penting
1. Sumbu y, sumbu x, dan garis survival Sumbu y pada kurva survival menunjukkan persentase survival, yaitu persentase subyek yang masih bertahan / bebas dari kejadian yang sedang diamati. Sumbu x pada kurva survival menunjukkan waktu. Garis “berkelok-kelok” adalah garis survival.
2. Survival rate untuk waktu-waktu tertentu
Survival rate untuk waktu tertentu dapat diketahui dengan cara menarik
garis vertikal pada waktu tertentu pada sumbu x sampai memotong garis survival.
3. Median Survival Median survival adalah waktu dimana 50% subyek mengalami event.
Median survival bisa diketahui dengan menarik garis horizontal dari sumbu y pada titik 50% sampai memotong garis survival.
4. Asumsi Proporsional Hazard
Proporsional Hazard (PH) artinya perbandingan kecepatan terjadinya
suatu kejadian antar kelompok setiap saat adalah sama. Ciri suatu kurva survival yang memenuhi asumsi PH adalah garis survival antar kelompok normalitas data pada analisis parametrik. Analisis yang dilakukan pada suatu fungsi survival yang memenuhi asumsi PH berbeda dengan analisis yang dilakukan pada fungsi survival yang tidak memenuhi asumsi PH. Survival yang memenuhi asumsi PH akan dianalisis dengan time
independent analisys sementara survival yang tidak memenuhi asumsi PH
akan dianalisis dengan analisis model interaksi dan analisis model stratifikasi.
5. Hazard Rasio
Insident Rate adalah kecepatan terjadinya suatu peristiwa yang secara
matematis merupakan perbandingan antara insiden dengan waktu (person
Time). Nama lain dari insident rate adalah hazard. Apabila kita membandingkan dua hazard, maka yang diperoleh adalah hazard Ratio.
Sedangkan bila kita membandingkan dua insiden maka yang akan kita peroleh Risiko Relatif (RR).
2.3.5 Langkah-Langkah Analisis Survival
Analisis survival terdiri dari tiga langkah utama yaitu pengecekan asumsi proporsional hazard (PH), analisis bivariat dan multivariat.
Berikut adalah rincian dari langkah-langkah tersebut :
1. Pengecekan asumsi PH Asumsi PH dapat diketahui dengan membuat kurva Kaplan Meier.
Metode lain untuk menguji asumsi PH adalah dengan membuat kurva –ln
ln survival dan global test. Asumsi PH terpenuhi apabila : b. Garis survival pada kurva –ln ln survival tidak saling berpotongan.
c. Nilai P dapat uji global test lebih besar dari 0,05.
Mungkin terdapat beberapa variabel yang memenuhi asumsi PH dan beberapa variabel tidak memenuhi asumsi PH.
2. Bivariat dan penilaian Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox regression. Untuk variabel yang tidak memenuhi asumsi PH, analisis cox regression tidak bisa dilakukan.
3. Analisis Multivariat Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25. Selain itu, variabel yang tidak memenuhi asumsi PH dan secara teoritis penting, harus dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Bila semua variabel memenuhi asumsi PH, maka analisis multivariat yang dipilih adalah analisis time independen cox
regression . Apabila terdapat variabel yang tidak memenuhi asumsi PH,
maka dapat dilakukan analisis cox regression model interaksi atau cox regression model stratifikasi.
4. Interpretasi Hasil Setelah menyelesaikan analisis survival, kita melakukan interpretasi hasil.
Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut : a. Variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan variabel.dikatakan berhubungan jika nilai p kurang dari 0,05 dan pada interval kepercayaan tidak ada angka 0.
b. Urutan kekuatan dari variabel-variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung. Pada analisis survival, urutan kekuatan dilihat dari besarnya nilai HR.
c. Model atau rumus untuk memprediksikan hazard function dan survival function.
Untuk hazard function, rumusnya adalah :
y
H(t) = H (t)e H(t) = Hazard pada waktu tertentu H (t) = Baseline hazard pada waktu tertentu Y = b x + b x + b x + ...........+ b x
1
1
2
2
3 3 n n
Untuk Survival function, rumusnya adalah :
(e^y)
S(t) = S (t)
S(t) = Survival pada waktu tertentu S (t) = Baseline survival pada waktu tertentu Y = b x + b x + b x + ...........+ b x
1
1
2
2
3 3 n n
5. Mengaplikasikan persamaan yang diperoleh untuk menghitung hazard dan probabilitas pasien.
Langkah-langkah analisis survival dapat diringkaskan dengan alur pada Gambar 2.1.
Gambar 2.2 Alur Analisis SurvivalSemua variabel memenuhi asumsi PH Sebagian variabel tidak memenuhi asumsi PH
Analisis bivariat : Analisis cox regression Analisis bivarat: Analisis cox regression untuk variabel yang memenuhi asumsi PH Analisis multivariat : Variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25 dan variabel yang tidak memenuhi asumsi PH yang secara klinis penting
Analisis Multivariat : Variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p< 0,25 : analisis cox regression time independen
Pilih mana analisis yang lebih baik Analisis regresi cox model stratifikasi Analisis regresi cox model interaksi
Interpretasi :
1. Variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung
2. Urutan kekuatan hubungan
3. Hazard function dan
survival function Aplikasi Pengujian asumsi PH
2.3.6 Time Independen Cox Regression
Langkah – langkah Time Independen Cox Regression adalah :
1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH) Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva kaplan meier. Asumsi PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.
2. Analisis Bivariat Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox.
Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25.
4. Interpretasi Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut :
Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung - dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing- masing variabel. Diketahuinya urutan kekuatan - dari variabel-variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung berdasarkan nilai HR-nya.
Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard - function dan survival function.
2.3.7 Cox Regression Model Interaksi
Langkah-langkah analisis survival denganCox Regression model interaksi adalah :
1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH) Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva Kaplan Meier. Asumsi PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.
2. Analisis Bivariat Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan
3. Analisis Multivariat Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut : Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung - dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan pada masing – masing variabel. Analisis terdiri dari beberapa tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis hubungan antara variabel A dan C, interaksi variabel A dan B, dan interaksi variabel C dan B. Analisis berhenti pada tahap dimana semua variabel memiliki nilai p < 0,05.
- Diketahuinya urutan kekuatan dari variabel–variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung. Berdasarkan nilai HR-nya (lihat pada tahap terakhir).
Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard - function dan survival function.
2.3.8 Cox Regression Model Stratifikasi
Langkah –langkah analisis survival dengan Cox Regression Model Stratifikasi adalah :
1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH) Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva kaplan meier. Asumsi PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.
2. Analisis Bivariat Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox.
3. Analisis Multivariat menggunakan model stratifikasi Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25. Pada analisis model stratifikasi, variabel yang tidak memenuhi asumsi PH (contoh : jenis kelamin) dijadikan sebagai variabel untuk menstratifikasi sampel.
Dengan demikian, pada analisis model stratifikasi sampel akan dianalisis berdasarkan kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan akan tetapi dianalisis dalam satu kesatuan analisis. Untuk melakukan analisis multivariat model stratifikasi. Cara pemilihan model stratifikasi atau model interaksi dilakukan dengan dua cara, yaitu secara klinis dan secara statistik.
1. Pemilihan Model Secara Klinis Secara klinis, pertimbangan utamanya adalah pada manfaat dan kepraktisan penggunaan model untuk kepentingan klinis. Apabila secara klinis lebih bermanfaat untuk menilai survival berdasarkan kelompok laki-laki dan perempuan, maka model stratifikasilah model yang tepat. Akan tetapi, bila secara klinis kita ingin melihat seberapa besar pengaruh jenis kelamin terhadap survival, maka model interaksilah model yang tepat.
4. Interpretasi Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut :
- Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing – masing variabel.
- Diketahuinya urutan kekuatan dari variabel–variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung. Berdasarkan nilai HR-nya. dan survival function.
2.3.9 Memilih Model Stratifikasi atau Model Interaksi