BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1 Kualitas Kehidupan Kerja

1.1 Definisi Kualitas Kehidupan Kerja

  Tosi, Rizzo, Carroll (1986) mendefenisikan kualitas kehidupan kerja (Quality of Work Life) sebagai kumpulan dari praktik organisasi yang direncanakan , pertama, untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan di tempat kerja dengan tujuan mendorong pertumbuhan manusia secara objektif, kedua, untuk memperbaiki keefektifan organisasi.

  Kualitas kehidupan kerja dapat diartikan sebagai keadaan dimana para pegawai dapat memenuhi kebutuhan mereka yang penting dengan bekerja dalam organisasi (Desler, 1984). Nayeri, Deghhan, Tahmineh, Noghabi (2011) mengartikan kualitas kehidupan kerja adalah sebuah sistem untuk menganalisa bagaimana pengalaman kerja individu dan organisasi. Ini menunjukkan sikap dan perasaan pegawai terhadap pekerjaan mereka.

  Kualitas kehidupan kerja adalah upaya yang sistematis dari organisasi untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pegawai untuk mempengaruhi cara mereka melakukan pekerjaan mereka dan kontribusi untuk membuat efektifnya keseluruhan organisasi. Kualitas kehidupan kerja yang efektif dapat melengkapi tindakan personil lainnya dan memberikan peningkatan motivasi, kepuasaan, dan produktivitas karyawan (Werther & Davis, 1985).

  Kualitas kehidupan kerja adalah dinamika multidimensional yang meliputi beberapa konsep seperti jaminan kerja, sistem penghargaan, pelatihan dan karier peluang kemajuan, dan keikutsertaan di dalam pengambilan-keputusan (Nayeri, et al,. 2011).

  Berdasarkan penjabaran mengenai kualitas kehidupan kerja diatas maka dapat disimpulkan secara umum bahwa kualitas kehidupan kerja adalah konsep yang mengambarkan persepsi karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan melalui pengalaman kerja dalam organisasi.

  Menutut Werther dan Davis (1996) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja memilki makna supervisi, kondisi pekerjaan, gaji dan insentif serta pekerjaan yang baik. Cassio (2003 dalam Nugroho 2013) mengatakan kualitas kehidupan kerja adalah persepsi karyawan dimana mereka menginginkan rasa aman, kepuasan dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia. Menurut Riggio (2000), kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh kompensasi finansial yang diterima, desain pekerjaan, kesempatan untuk berpartisipasi dalam organisasi, keamanan kerja, dan interaksi dengan anggota yang lain dalam organisasi.

  Vroom (1964) dalam Yaslis Ilyas (2002) kinerja sangatlah dipengaruhi oleh kepuasan, karena kepuasan adalah salah satu komponen pendorong motivasi kerja. Kondisi kepuasan dan ketidakpuasan kerja menjadi umpan balik yang akan mempengaruhi prestasi kerja diwaktu yang akan datang. Menurut Strauss dan Sayles (1980) dalam Handoko (2001) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi dini. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan tidak melakukan kesibukan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Dessler (1997) mengemukakan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan peraturan yang lebih baik, tetapi kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan dan kadang-kadang berprestasi lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja.

1.2 Komponen-komponen Kualitas Kehidupan Kerja

  Kualitas kehidupan kerja adalah tingkat dimana karyawan ingin memenuhi kebutuhan mereka meliputi pentingnya kebutuhan personal (bertumbuh, kesempatan, keselamatan) maupun penerimaan organisasi (meningkatnya produktivitas, berkurangnya pergantian) melalui pengalaman kerja saat mencapai tujuan organisasi. Nawawi, 2008 menjelaskan ada sembilan aspek yang perlu dikembangkan perusahaan agar dapat memperbaiki kualitas kehidupan kerja para karyawan, yaitu:

1.1.1 Partisipasi Pekerja (Employee Participation)

  Di lingkungan perusahaan, setiap karyawan perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan posisi, kewenangan dan jabatan masing-masing. Untuk itu perusahaan dapat mengikutsertakan karyawan dengan menyelenggarakan pertemuan- pertemuan yang tidak sekedar dipergunakan untuk menyampaikan perintah- perintah dan informasi-informasi, tetapi juga untuk memperoleh masukan dan mendengarkan saran-saran atau pendapat para karyawan (Nawawi, 2008).

  Partisipasi pekerja merupakan cara pandang dalam melihat sejauh mana seorang karyawan diikutsertakan dalam menentukan keputusannya sendiri atas pekerjaannya. Hal ini dilakukan untuk memberi kebebasan pada karyawan untuk berperan aktif dalam menentukan keputusan pekerjaannya sehingga organisasi tidak bersikap otoriter terhadap karyawan. Oleh sebab itu, semakin tinggi tingkat partisipasi karyawan maka semakin tinggi rasa tanggung jawab untuk menyeselesaikan tugas atau pekerjaannya (Siagian, 2004 dalam Samtica, 2011)

1.1.2 Pengembangan Karier

  Setiap karyawan berhak mengembangkan karirnya masing-masing untuk kesejahteraan masa depan. Itu dapat diperoleh melalui penawaran untuk memangku suatu pekerjaan atau jabatan, kesempatan dalam mengikuti pelatihan atau pendidikan di luar perusahaan. Di samping itu dapat juga ditempuh melalui penilaian kinerja (pelaksanaan pekerjaan) untuk mengatahui kelebihan dan kekurangan dalam bekerja yang dilakukan secara obyektif. Dan pada giliran selanjutnya dapat ditempuh dengan mempromosikan dalam memangku jabatan yang lebih tinggi di dalam perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja (Nawawi, 2008)

  Manfaat pengembangan karir menurut Notoadmojo (2007 dalam Samtica, 2011) diantaranya meningkatkan kesadaran akan pentingnya klasifikasi pekerjaan, membantu karyawan untuk menyusun strategi pengembangan, meningkatkan motivasi kerja karyawan, mempermudah proses promosi karyawan, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi turn

  over , dan meningkatkan loyalitas karyawan.

  1.1.3 Penyelesaian Konflik Setiap karyawan sebaiknya dilibatkan dalam penyelesaian konflik baik itu di lingkungan perusahaan maupun sesama karyawan, secara terbuka, jujur dan adil. Ini sangat berpengaruh kepada loyalitas dan dedikasi serta motivasi kerja karyawan. Untuk itu perusahaan perlu mengatur cara dalam penyampaian keluhan atau keberatan serta saran secara terbuka. Di samping itu dapat pula ditempuh dengan kesediaan mendengarkan masalah antar karyawan yang mengalami konflik, atau melalui proses banding pada pimpinan yang lebih tinggi dalam konflik dengan manajer atasannya (Nawawi, 2008).

  1.1.4 Komunikasi Di lingkungan semua perusahaan, pekerja atau karyawan memerlukan komunikasi terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dengan adanya komunikasi yang terbuka, pekerja atau karyawan dapat memperoleh informasi-informasi penting pada tepat waktu, menimbulkan rasa puas dan meningkatkan motivasi kerja yang positif. Untuk itu dalam penyampaian informasi dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan atau penyampaian sacara langsung pada setiap pekerja, dan dapat disampaikan melalui sarana publikasi perusahaan, seperti: papan buletin, majalah perusahaan, website perusahaan dan lain-lain (Nawawi, 2008).

  1.1.5 Kesehatan Kerja Setiap karyawan memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya, agar dapat bekerja secara efektif, efesien dan produktif.

  Untuk itu perusahaan dapat memberikan jaminan kesehatan atau menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan, program rekreasi dan juga program konseling atau penyuluhan bagi para pekerja atau karyawan (Nawawi, 2008).

  1.1.6 Keselamatan Kerja Di lingkungan suatu perusahaan, setiap karyawan memerlukan rasa aman atau jaminan kelangsungan pekerjaannya. Untuk itu, perusahaan perlu berusaha menghindari pemberhentian sementara para karyawan, menjadikannya sebagai pekerja atau karyawan tetap dengan memilki tugas- tugas reguler dan memilki program yang teratur dalam memberikan kesempatan karyawan mengundurkan diri, terutama melalui pengaturan pensiun (Nawawi, 2008).

  Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga kerja No.150 Tahun 2000 menyatakan adanya pemberian pesangon bagi karyawan yang berhenti bekerja karena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada umumnya, pesangon diberikan kepada karyawan yang mengalami PHK dengan alasan normal seperti pengunduran diri atau pensiun. Perusahaan diwajibkan untuk membayar sejumlah uang pesangon kepada karyawan yang telah diberhentikan atau pensiun sebagai uang penggantian yang memang seharusnya diterima karyawan. Undang- Undang yang mengatur pesangon ada dalam Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Perhitungan uang pesangon berdasarkan pencapaian masa kerja dan gaji atau upah. Dengan demikian perusahaan harus menjelaskan tentang hak uang pesangon bila pensiun atau mengundurkan diri.

  1.1.7 Keselamatan Lingkungan Nawawi (2008) mengatakan lingkungan kerja memiliki pengaruh terhadap produktivitas kerja. Jika lingkungan kerja tidak baik dan aman maka akan menimbulkan beban tambahan bagi para karyawan. Untuk itu perusahaan berkewajiban menciptakan dan mengembangkan serta memberi jaminan lingkungan kerja yang aman. Sesuai dengan Undang-Undang No.

  36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 156 ayat 1, pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu dibutuhkan bagian atau unit kerja yang menangani keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk mencegah penyakit akibat kerja (PAK) dan kecelakaan akibat kerja (KAK).

  1.1.8 Kompensasi yang Layak Kompensasi sangat berhubungan dengan karyawan secara individu, karena besarnya kompensasi merupakan ukuran hasil pekerjaan karyawan tersebut. Besar kecilnya kompensasi mempengaruhi prestasi kerja, motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawan. Kompensasi merupakan segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa atas kerjadan pengabdian mereka (Samtica, 2011).

1.1.9 Kebanggaan

  Definisi kata bangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perasaan besar hati yang dapat ditujukan dengan menghargai sesuatu. Rasa bangga terhadap institusi bisa diciptakan oleh organisasi kepada karyawannya dengan cara memberikan kesempatan untuk meningkatkan citra positif bagi organisasi dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan organisasi. Dalam bentuk yang sederhana dapat dilakukan melalui logo, lambang, jaket perusahaan dan lain-lain. Di samping itu rasa bangga juga dapat dikembangkan melalui partisipasi perusahaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengikutsertakan karyawan dan kepedulian terhadap masalah-masalah lingkungan sekitar (Nawawi, 2008).

2 Komitmen Organisasi

2.1 Definisi Komitmen Organisasi

  Komitmen adalah suatu sikap kerja (job attitude) atau keyakinan yangmerupakan cerminan kekuatan yang relatif dari keberpihakan dan keterlibatanindividu pada suatu organisasi. Menurut Hornby ( Purba 2009 : 72 ) pengertiankomitmen adalah kerelaan untuk bekerja keras dan memberikan energi sertawaktu untuk sebuah pekerjaan (job) atau aktivitas. Salancik (1998), mengungkapkan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan di mana individu telah mengikat tindakannya terhadap keyakinan yang sangat mendukung kegiatan dan keterlibatannya sendiri. Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan komitmen merupakan perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengandiri sendiri ( individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnyausaha ( tenaga, waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visibersama. Purba 2009 : 73. Robert Stringer (2002 dalam Wirawan 2008:133) mengemukakan komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota terhadap organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Pendapat di atas mengemukakan bahwa komitmen itu merupakan suatu sikap yang ditunjukkan seseorang dalam tanggung jawabnya sebagai anggota organisasi.

  Komitmen organisasi didefinisikan sebagai ikatan psikologis individu ke organisasi, termasuk rasa keterlibatan kerja, loyalitas dan kepercayaan dalam nilai-nilai organisasi. Komitmen organisasi dari sudut pandang ini ditandai dengan penerimaan karyawan tujuan organisasi dan kesediaan mereka untuk mengerahkan usaha atas nama organisasi (Miller &Lee, 2001). Oleh karena itu komitmen organisasi adalah, tingkat di mana seorang karyawan bersedia untuk mempertahankan keanggotaan karena minat dan hubungan dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi.

  Manetje & Martins (2009) menjelaskan komitmen organisasi yang ditandai dengan sikap dan perilaku. Komitmen Organisasi sebagai suatu sikap mencerminkan perasaan seperti keterikatan, identifikasi dan loyalitas kepada organisasi sebagai objek komitmen (Manetje & Martins, 2009). Komitmen organisasi merupakan perasaan yang sangat kuat dan erat dariseseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi yang berkaitan dengan peranserta mereka dalam suatu upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai. Keterlibatanindividu dalam suatu organisasi tentunya disebabkan oleh keyakinannya terhadaptujuan organisasi, sehingga akan selalu berupaya dengan sekuat tenaga untukkepentingan organisasi dan mempunyai hasrat untuk tetap bekerja keras bagikepentingan organisasi. Adanya komitmen terhadap organisasi menyebabkanseseorang untuk tetap mampu bertahan bekerja di dalam suatu organisasi denganhati yang tulus dan senang hati. Ini tercermin dari keinginan pegawai untuk tetapmenjadi anggota dalam organisasi, memiliki keyakinan yang kuat dalampenerimaan nilai dan tujuan organisasi, serta berupaya sekuat tenaga dalambekerja untuk mencapai tujuan organisasi.

  Menurut Fink (1986), bahwa ciri-ciri komitmen organisasi dikelompokkan menjadi sepuluh, yaitu: (1) selalu berupaya untuk mensukseskan organisasi, (2) selalu mencari informasi tentang organisai, (3) selalu mencari keseimbangan antara sasaran organisasi dengan sasaran pribadi, (4) selalu berupaya untuk memaksimalkan kontribusi kerjanya sebagai bagian dari organisasi secarakeseluruhan, (5) menaruh perhatian pada hubungan kerja antar unit organisasi, (6)berpikir positif tehadap kritik dari teman sekerja, (7) menempatkan prioritas organisasi di atas departemennya, (8) tidak melihat organisasi lain sebagai unit yang lebih menarik, (9) memiliki keyakinan bahwa organisasi akan berkembang dan (10) berfikir positif pada pimpinan puncak organisasi.

  Menurut Colquitt, LePine, Wesson (2009) mengatakan karyawan dapat merespon peristiwa negatif saat bekerja dengan empat cara, yaitu: keluar (exit), suara(voice), loyalitas (loyalty), dan penelantaran(neglect).Yang keluar(exit) dan mengabaikan(neglect) mewakili sisi lain dari komitmen organisasi yaitu: perilaku penarikan (withdrawal behavior). Withdrawal behavior terbagi atas dua bagian yaitu: psychological (neglect) dan physical (exit). Contoh psychological termasuk

  

daydreaming (melamun), sosializing (bersosialisasi diluar pekerjaan), looking

busy (tampak sibuk), moonlight (bekerja sambilan), dan cyberloafing

  (menggunakan internet). Contoh physical termasuk tardiness (keterlambatan),

  long breaks (istirhat panjang), missing meetings (tidak menghadiri pertemuan), absenteeism (tidak hadir), dan quitting (keluar).

2.2 Faktor yang Membentuk Komitmen Organisasi

  Ada berbagai faktor yang membentuk komitmen organisasi. Faktor-faktor tersebut meliputi: faktor yang berhubungan dengan pekerjaan; kesempatan kerja; karakteristik pribadi; hubungan yang positif; struktur organisasi;dan gaya manajemen.

2.2.1 Karateristik pekerjaan

  Komitmen organisasi adalah hasil pekerjaan yang berhubungan penting pada tingkat individu, yang mungkin berdampak dengan hal lainnya seperti turnover, kehadiran, usaha kerja, peran pekerjaan dan kinerja atau sebaliknya. Peran pekerjaan yang ambigu dapat menyebabkan kurangnya komitmen terhadap organisasi dan peluang promosi(Manetje & Martins, 2009).

  2.2.2 Kesempatan Kerja Adanyakesempatan kerjadapat mempengaruhi komitmen organisasi

  (Manetje & Martins, 2009). Individu yang memiliki persepsi yang kuatbahwa mereka memiliki kesempatan untuk menemukan pekerjaan lainmungkin menjadi kurang berkomitmen untuk organisasi mereka akibat memikirkan alternatif yang diinginkan tersebut.Akibatnya, keanggotaan dalam organisasi didasarkan pada komitmen kontinyu, di mana karyawan terus menghitung risiko yang tersisa dan meninggalkan organisasi tersebut (Meyer &Allen, 1997 dalam Sersic, 1999).

  2.2.3 Karateristik Pribadi Komitmen organisasi juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi karyawan seperti usia, masa kerja, danjenis kelamin(Meyer &Allen, 1997 dalam Manetje & Martins, 2009). Baron dan Greenberg(1990 dalam Manetje & Martins, 2009) menyatakan bahwa"karyawan yang lebih tua, orang-orang dengan kepemilikan atau senioritas, dan mereka yang puas dengan tingkat kinerja mereka sendiri cenderung melaporkan bahwa tingkat komitmen organisasi lebih tinggi daripada yang lain". Ini berarti bahwaorang yang lebih tua dipandang lebih berkomitmen untuk organisasi dari pada kelompok usia lainnya . Karakteristik pribadi lain yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi adalah yang berhubungan dengan jenis kelamin. Namun, pendapatnya bahwa perbedaan gender dalam komitmen sesuai dengan karakteristik kerja yang berbeda dan pengalaman yang terkait dengan jenis kelamin(Meyer &Allen, 1997 dalam Manetje & Martins, 2009).

  2.2.4 Lingkungan Pekerjaan Lingkungan kerja juga diidentifikasi sebagai faktor lain yang mempengaruhi komitmen organisasi. Salah satu kondisi lingkungan kerja yang umum dapat mempengaruhi komitmen organisasi yang positif adalah kepemilikan parsial dari suatu perusahaan. kepemilikan memberikan karyawan akan rasa penting dan mereka merasa menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Faktor lain dalam lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi adalah praktek kerja dalam kaitannya dengan rekrutmen dan seleksi, penilaian kinerja, promosi dan gaya manajemen (Meyer & Allen, 1997 dalam Manetje & Martins, 2009).

  2.2.5 Gaya Manajemen Sebuah gaya manajemen yang mendorong keterlibatan karyawan dapat membantu untuk memenuhi keinginan karyawan untuk pemberdayaan dan permintaan komitmen untuk tujuan organisasi. Gaertner(1999 dalam Vezzali, Capozza, Mari, Hichy, 2007) berpendapat bahwa"gaya manajemen yang fleksibel dan yang partisipatif kuat dan positif dapat meningkatkan komitmen organisasi". Organisasi perlu memastikan bahwa strategi manajemen mereka bertujuan untuk meningkatkan komitmen karyawan dari pada kepatuhan (William &Anderson, 1991 dalam Vezzali, et. al,).

2.2.6 Sifat-sifat dari imbalan yang diterima

  Komitmen organisasi dapat ditingkatkan dengan menerapkan perencanaan pembagian keuntungan (profit sharing plan), berupa insentif atau bonus yang proporsional dan keuntungan organisasi yang diadministrasikan secara jelas dan diterapkan secara adil (Greenberg & Baron, 2008).

2.3 Komponen Komitmen Organisasi

  Allen & Meyer (1997 dalam Sersic, 1999) mengemukakan bahwa ada tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu: komitmen afektif (affective

  commitment ), komitmen normatif (normative commitment), komitmen kontinuan

  (continuance commitment). Komitmen afektif (affective commitment) adalah bagian dari komitmen organisasi yang lebih menekankan pada pentingnya kongruensi antara nilai dan tujuan karyawan dengan nilai dan tujuan organisasi. Bila organisasi mampu menimbulkan keyakinan dalam diri karyawan atau pegawai yang menjadi nilai dan tujuan pribadinya memiliki kesamaan dengan nilai dan tujuan organisasi maka akan makin tinggi komitmen karyawan atau pegawai pada organisasi di tempat ía bekerja. Ini menunjukkan bahwa komitmen afektif merupakan sikap terhadap keyakinan yang kuat dan individu terhadap organisasi, sehingga ia menerima tujuan-tujuan organisasi, dan dengan kerelaan hati menggunakan upaya untuk kepentingan organisasi serta memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Dengan perkataan lain, komitmen afektif mengimplikasikan adanya ikatan yang kuat diantara sesama individu atau karyawan dimana individu terikat secara psikologis terhadap organisasi yang mempekerjakan mereka sehingga menimbulkan loyalitas, kasih sayang dan rasa memiliki terhadap organisasi termasuk mendukung bagi tujuan dan aktivitas organisasi. Komitmen kontinyu (continuance commitment) adalah bagian dari komitmen organisasi dimana pekerja akan bertahan atau meninggalkan organisasi karena melihat adanya pertimbangan rasional dari segi untung dan ruginya. Ini menunjukkan bahwa komitmen kontinyu muncul karena karyawan menghargai besarnya biaya yang dikorbankan seandainya ia meninggalkan organisasi. Atau dapat dinyatakan, komitmen kontinyu merupakan perasaan cinta terhadap organisasi karena investasi yang dirasakan pekerja baik secara psikologis maupun ekonomis di tempat kerja menguntungkan, jika dibandingkan dengan biaya yang dirasakan apabila keluar dan organisasi tersebut. Oleh karena itu, komitmen kontinyu sangat penting untuk retensi modal intelektualnya. Komitmen normatif (normative commitment) adalah salah satu bagian dari komitmen organisasi dimana pekerja/kayawan bertahan dalam organisasi karenaia merasakan adanya suatu kewajiban. Kewajiban ini melekat dalam diri karyawan karena keberpihakannya pada nilai dan budaya organisasi. Komitmen pada tahap normatif ini berhubungan dengan sumberdaya modal intelektual seperti proses,sistem, kultur, nilai organisasi dan filosofi manajemen sehingga muncul adanya rasa kewajiban dan tanggung jawab pekerja untuk tinggal dalam organisasi. Dengan demikian, aspek komitmen normatif

  .mengindikasikan bahwa individuakan menunjukkan perilaku tertentu karena mereka percaya hal ini merupakansuatu hak dan modal untuk dilakukan.

3 Komitmen Afektif

3.1 Definisi Komitmen Afektif

  Komitmen afektif dikonseptualisasikan sebagai "perasaan positif karyawan yang diidentifikasi dengan, keterikatan dan keterlibatan dalam organisasi kerja".

  Komitmen afektif berkembang jika karyawan mampu memenuhi harapan mereka dan memenuhi kebutuhan mereka dalam organisasi (karyawan ingin tinggaldalam organisasi) (Meyer danAllen,1984 dalam Bagraim, 2010). Anggota organisasi yang berkomitmen untuk sebuah organisasi secara afektif, terus bekerja untuk organisasi karena mereka ingin (Meyer &Allen, 1991 dalam Manetje & Martins, 2009).

  Pengembangan komitmen afektif melibatkan identifikasi dan internalisasi (Beck &Wilson, 2000dalam Sersic, 1999). Pertama, keterikatan afektif individu pada organisasi mereka pertama kali didasarkan pada identifikasi dengan keinginan untuk membangun hubungan menguntungkan dengan organisasi. Kedua, melalui internalisasi, ini mengacu pada selaras tujuan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dan organisasi. Secara umum, komitmen organisasi afektif berkaitan dengan sejauh mana seorang individu mengenali dengan organisasi (Allen &Meyer, 1990 dalam Sersic, 1999).

  Komitmen afektif dinilai lebih tinggi daripada komitmen yang lainnya terbukti dari perilaku yang ditimbulkan dari masing-masing komitmen yang berbeda. Pegawai dengan komitmen afektif memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menjadi pegawai di perusahaan bersangkutan sehingga melakukan pekerjaannya dengan totalitas sedangkan pegawai dengan komitmen kontinuans dan normatif melakukannya hanya karena menghindari kerugian finansial dan kerugian lainnya sehingga tidak melakukan dengan usaha yang optimal (Kusumastuti & Nurtjahjanti, 2013).

  Komitmen afektif mengungkapkan ikatan emosional dari karyawan. Karyawan yang menunjukkan komitmen emosional yang tinggi merasa diintegrasikan ke dalam organisasi dan mengidentifikasi diri mereka dengan itu (Mowday, Steers&Porter, et al., 1976 dalam Kanning & Hill, 2012). Secara rinci, ada tiga aspek yang sama membentuk komitmen afektif: a) keyakinan yang kuat dalam tujuan dan nilai-nilai organisasi dan penerimaan karyawan ini, b) kesiapan untuk memberikan dukungan seseorang untuk organisasi, dan c) kebutuhan yang kuat dari karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi (Mowday, Porter&Steers, 1982 dalam Kanning & Hill, 2012).

3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif

  Model komitmen organisasi dari Meyer dan Allen (1997 dalam Sersic, 1999) menunjukkan bahwa komitmen afektif dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tantangan pekerjaan, kejelasan peran, kejelasan sasaran, dan kesulitan tujuan, keterbukaan manajemen, kekompakan rekan, keadilan, kepentingan pribadi, umpan balik, partisipasi, dan ketergantungan.

4 Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif

  Suatu institusi harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas demi tercapainya tujuan dari institusi tersebut.Demikian juga rumah sakit yang harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu sumber daya manusia di rumah sakit adalah perawat. Sebagai tenaga kesehatan yang paling sering berada di dekat pasien yaitu 24 jam maka peran perawat sangat mempengaruhi pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Sehingga perlu untuk menjaga kualitas kehidupan kerja dari perawat itu sendiri (Nawawi, 2008).

  Kualitas kehidupan bekerja adalah tingkat dimana para anggota sesuatuorganisasi mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi penting, melaluipengalaman-pengalaman mereka di dalam organisasi di mana mereka bekerja(Hackman dalam Winardi, 2001). Ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh organisasi dalam mencapai kualitas kehidupan kerja yang baik, yaitu: kompensasi yang layak, keselamatan kerja, rasa aman atas pekerjaan, pengembangan karir dan lain-lain, yang dapat meningkatkan produktivitas organisasi . Hal ini pula yang dapat menumbuhkan komitmen organisasi para karyawan (Nawawi, 2008).

  Komitmen organisasi didefinisikan sebagai ikatan psikologis individu ke organisasi, termasuk rasa keterlibatan kerja, loyalitas dan kepercayaan dalam nilai-nilai organisasi. Komitmen organisasi dari sudut pandang ini ditandai dengan penerimaan karyawan tujuan organisasi dan kesediaan mereka untukmengerahkan usaha atas nama organisasi (Miller &Lee, 2001).

  Allen & Meyer (1997 dalam Sersic, 1999) mengemukakan bahwa ada tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu: komitmen afektif (affective

  commitment ), komitmen normatif (normative commitment), komitmen kontinuan (continuance commitment).

  Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut ( Allen & Meyer, 1997 dalam Sersic, 1999).Inilah yang diharapkan oleh organisasi yaitu setiap para karyawan merasa memilki (rasa kepemilikian) terhadap organisasi dimana karyawan tersebut bekerja yang tercermin melalui keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam organisasi. Boon, et all (2006 dalam Kusumastuti&Nurtjahjanti, 2013) menambahkan bahwa komitmen afektif dinilai lebih tinggi daripada komitmen normatif dan kontinuan, sedangkan komitmen normatif dinilai lebih tinggi daripada komitmen kontinuan (komitmen rasional).

  Winardi (2001 dalam Siagian 2008) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja seorang individu, telah dikaitkan dengan banyak macam perilaku di tempat kerja. Perbaikan-perbaikan dalam kualitas kehidupan bekerja misalnya dapat menimbulkan perasaan lebih positif terhadap diri sendiri (harga diri meningkat), terhadap pekerjaan yang dilaksanakan (meningkatnya kepuasan kerja dan keterlibatan) dan terhadap organisasi (komitmen lebih kuat terhadap tujuan- tujuan organisasi).

  Peningkatan kepuasan kerja, efisiensi produktivitas pekerja, keterlibatan dalam organisasi, dan komitmen merupakan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan kualitas kehidupan bekerja. Peningkatan dalam kualitas kehidupan bekerja merupakan suatu hal yang penting disebabkan karena sumbangannya untuk keberhasilan organisasi dan menurunkan tingkat perilaku negatif pekerja (Mullins, 1996 dalam Siagian, 2008).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Profitabilitas - Pengaruh Modal Kerja Dan Likuiditas Terhadap Profitabilitas Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013

0 0 15

KATA PENGANTAR - Pengaruh Modal Kerja Dan Likuiditas Terhadap Profitabilitas Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013

0 2 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dismenore 2.1.1.Definisi. - Hubungan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dismenore Dengan Motivasi Untuk Periksa Ke Pelayanan Kesehatan Di Smu YPSA- Medan

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (SelfControl) Remaja pada Siswa/i di SMA Negeri 17 Medan

0 0 30

LINGUISTIK DAN PROBLEMA TRANSLASI Muhammad Imaduddin imaduddin8888yahoo.co.id Abstrak - Linguistik dan Problema Translasi

0 1 8

Peran Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan pada Anak di Ruang Inap Anak RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Peran Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan pada Anak di Ruang Inap Anak RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 24

ASPEKTUALITAS DALAM BAHASA JAWA DI DESA BANDAR TENGAH KECAMATAN BANDAR KHALIPAH Nanda Dwi Astri nandadwi_astriyahoo.co.id Abstrak - Aspektualitas dalam Bahasa Jawa di Desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah

0 0 15

AN ANALYSIS OF THE SECOND YEAR STUDENTS AT SMP SWASTA MUHAMAMDIYAH 5 MEDAN IN USING PASSIVE VOICE Nasir Bintang bintang.nasiryahoo.co.id Abstract - An Analysis of The Second Year Students at SMP Swasta Muhamamdiyah 5 Medan In Using Passive Voice

0 0 11

Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

1 1 30