BAB III KEDUDUKAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM HUKUM TERKAIT PERNIKAHAN YANG TIDAK TERCATAT DI KANTOR URUSAN AGAMA DAN STATUS ANAKNYA A. Ijtihad dan Fatwa - BAB III

ANAKNYA

A. Ijtihad dan Fatwa

Dalam studi hukum Islam, fatwa merupakan ranah ijtihad dalam menentukan hukum atas permasalahan tertentu.

1. Pengertian fatwa

Kata fatwa secara bahasa menurut al Fayûmi berasal dari:

“Fatwa tertulis dengan huruf Wawu dengan harakat Fathah dan dengan huruf Ya dengan Dhamah, 3 merupakan kata benda dari Fatwa seorang „alim

(berilmu) jika ia menjelaskan ilmu, Wastaftaituhu artinya “Aku menanyakannya agar ia berfatwa ”. Menurut Ibnu Manzûr dalam kamusnya:

“Dan futyâ, futwâ dan fatwa adalah sesuatu yang difatwakan oleh ahli fikih” Dalam kajian fikih, fatwa tidak terlepas dari bab ijtihad, karena bahasan fatwa merupakan bagian dari fatwa.

Al Qur‟an menyebutkan kata-kata terkorelasi dengan fatwa seperti dalam firman Allah:

1 „Ali al Fayûmi Abû al Abbâs, Al Misbâh al MunîrFî Gahrîb Syarh al Kabîr, Jilid II, ( Beirut: Maktabah al Ilmiyah,tt) h. 464 2 Vokal „A” 3 Vokal “U”

4 Ibnu Manzûr, Lisân al „Arab, Jilid XV, (Beirut: Dâr As Shâdir,1414H) h. 148 bagian wa-ya-fa

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita Katakanlah,”Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka…”(QS. An Nisâ [4]:127

Dapat disimpulkan bahwa secara bahasa fatwa adalah produk yang dihasilkan oleh ahli fikih atau ulama secara umum atas permasalahan atau pertanyaan pihak-pihak yang meminta fatwa. Adapun orang atau pihak yang mengeluarkan atau menjelaskan sebuah fatwa atau disebut sebagai mufti. Sedangkan menurut istilah muncul beberapa pendapat terkait istilah mufti, diantaranya: Menurut as Syâtibî yang disebut dengan mufti adalah:

“Mufti adalah orang yang tegak diatas umat (qâim) seperti posisi Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam.”

Menurut Ibnu Hamdân, yang dimaksud dengan mufti adalah:

وْقِفْلا ِر َثْك َِلْ ِو ْف ِظ ًع ِع ِئا ِر َةَف ِم ِّك ِح َعَم ِليِلندلِبِ ا َش ْر َولا َق ِـاَكْحَأ َم ْع ْن ُن َت َم لا َوُى “Yaitu orang yang memberitahukan hukum Allah dengan pengetahuan ُ

dalil, ia juga memberitahukan tentang Allah dengan hukum-hukum- Nya, pendapat lain mengatakan mufti adalah orang yang mumpuni dengan mengetahui hukum-hukum yang ada dalam syariat, disertai dalil dan mampu menghafalnya karena banyak pemahamannya.”

Menurut Ibnul Qayyim al Jauziyah:

ٍذ ُم َػن ِّف َي َغ الله ِم ْك ُح َع ِن ُِب ْخ لا َو ِت ُى لػ ْف ا “Mufti adalah dia yang mengabarkan hukum Allah dan bukan ُ ُ

pelaksana hukumnya”

5 Imam As Syâtibî, Al Muwâfaqât, Jilid V (t.tp: Dâr Ibnu Affân, 1417H) h.235 6 Maksud tegak diatas umat adalah mufti mewarisi ilmu-ilmu syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW secara umum, ia juga mengajarkan bagi orang-orang yang belum memahami, mendakwahkan kebenaran dan mengingatkan manusia jika terjadi penyimpangan.

7 Ibnu Hamdân bin Syabîb, Sifat al Fatwa wa al Mufti wa Al Mustafti, (Beirut: Maktabah al Islami,1397H) h. 4 8 Ibnul Qayyim al Jauziyah, I‟lâm al Muwaqi‟in „An Rabb al „Alamîn, Jilid VI (Saudi Arabia; Dâr Ibnul Jauzy li An Na syr wa at Tauzi‟,1423H) h. 41

Fatwa memiliki kedudukan penting dalam hukum islam, mufti merupakan ulama yang disegani dan diakui baik secara kuantitas maupun kualitas keilmuannya. Ulama juga merupakan pewaris dan penerus risalah para nabi, tentu mereka memutuskan atau mengeluarkan fatwa dengan berbagai pertimbangan maslahat kepada khalayak luas. Karena tidak mungkin umat ini bersatu dalam sebuah keburukan, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:

“Telah menceritakan kepadaku Sa‟îd bin Mansûr, dan Abû Ar Rabî‟ al „Atakiy dan Qutaibah bin Sa‟îd berkata,”Telah menceritakan kepada kami Hammâd dan dia putra Zaid adi Ayûb dari Abî Qilâbah, dari Abî

Asmâ dari Tsaubân berkata,” Bersabda Rasulullah SAW,”Akan senantiasa ada segolongan umatku yang menegakkan kebenaran, mereka tidak gentar dengan orang yang menghalanginya, hingga

datang hari kiamat mereka tetap tegak dalam kebenaran”.(HR. Muslim)

Imam An Nawawi mendeskripsikan betapa beratnya tanggung jawab seorang mufti seperti beliau sebutkan dari Abdurrahman bin Abî Lailâ ia berkata,”Aku mengetahui 120 orang sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar ditanya oleh seseorang terkait sebuah permasalahan, namun mereka

melemparkan ini ke itu hingga kembali ke urutan pertama 10 .” Beliau juga mengatakan bersumber dari Atha bin Saib menyebutkan

bahwa ada seseorang bertanya kepada segolongan mereka ditanya, dan seseorang diantara mereka menjawab dengan bergetar tubuhnya”. 11 Begitu

juga Imam Syafi‟i saat ditanya tentang sebuah permasalahan, namun beliau tak menjawab, hingga berkata,” Aku diam hingga aku tahu manakah yang lebih utama, diam atau berbicara”. 12 Imam Malik pernah ditanya dengan

9 Imam Muslim bin al Hajâj An Naisabûri, Sahîh Muslim, Jilid III, ( Beirût: Dâr Ihyâ At Turats,tt) tahqiq Muhammad Abdul Baqi, h. 1523 No. 1920 10 Imam An Nawawi, Adâb al Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, (Damaskus: Dâr al Fikr,1408H) h. 14 11 Imam An Nawawi, Adâb al Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 15 12 Imam an-Nawawi, Adâb al- Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 15 9 Imam Muslim bin al Hajâj An Naisabûri, Sahîh Muslim, Jilid III, ( Beirût: Dâr Ihyâ At Turats,tt) tahqiq Muhammad Abdul Baqi, h. 1523 No. 1920 10 Imam An Nawawi, Adâb al Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, (Damaskus: Dâr al Fikr,1408H) h. 14 11 Imam An Nawawi, Adâb al Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 15 12 Imam an-Nawawi, Adâb al- Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 15

sebuah pertanyaan, hendaklah ia berfikir sebelum menjawab, apakah dirinya menghadapkan diri kepada neraka atau surge, hingga ia ambil kesimpulan

barulah ia menjawab”. 13 Imam An Nawawi juga menyebutkan tentang kategori orang atau pihak

yang berhak memberikan fatwa diantarnya: 14

a. Memiliki kapasitas keilmuan yang diakui oleh mayoritas ulama yang bersumber dari Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas.

b. Memiliki sifat-sifat mulia, wara‟ dan jauh dari kepentingan hawa nafsu.

c. Muslim, dapat dipercaya dan menjaga amanah dan memiliki sifat-sifat terpuji.

d. Jauh dari sifat-sifat tercela.

e. Mengetahui maqashid Syariah, dan mampu memilah-milah kebaikan (maslahat) dan keburukan (mafsadat).

f. Mampu beristimbat dengan dalil-dali dalam hukum islam dan permasalahan seputarnya. Bahkan Ibnu Shalâh menyebutkan sudah seharusnya seorang mufti tidak terpengaruh dengan hubungan kekerabatan kepada orang yang meminta fatwanya (al-mustafti) sehingga sikapnya tidak berat sebelah atau terpengaruh karena hubungan persaudaraan atau kekerabatan tersebut, juga tidak terpengaruh dengan permusuhan, jka mereka memiliki permasalahan, karena kedudukan mufti ibarat kedudukan perawi dalam ilmu hadits, kepercayaan (tsiqah) atas apa yang di

fatwakan. 15 Adapun adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufti adalah

sebagai berikut:

a. Mufti harus menjawab dengan jawaban yang jelas, tidak berbelit-belit dalam prinsip kebaikan dan kebenaran.

b. Jawaban dengan lisan lebih utama, karena langsung didengar oleh orang yang meminta fatwa, dan bahasa lisan lebih lugas dibanding bahasa tulisan. Namun dibolehkan jika mufti mengeluarkan fatwanya via tulisan, apalagi kondisi zaman yang sudah modern.

c. Senantiasa menyerahkan diri dan berlindung kepada Allah atas fatwa yang dikeluarkan, Makhul dan Imam Malik, mereka tidak berfatwa melainkan setelah membaca kalimat, Lâ Haula walâ Quwwata Illâ Billâh , (tiada daya dan kekuatan melainkan dari Allah).

d. Mufti memberikan jawaban dengan berdasarkan Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Setelah itu ia boleh berijtihad.

13 Imam an-Nawawi, Adâb al- Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 16 14 Imam an-Nawawi, Adâb al-Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 20-22 15 Imam an -Nawawi, Adâb al-Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 19

Dalam kajian Ushul Fikih ada tiga rukun dalam hal fatwa yaitu: ada orang atau pihak yang mengeluarkan fatwa yang lebih sering dikenal dengan mufti, ada juga orang atau pihak yang meminta fatwa selanjutnya dikenal dengan al-mustafti, dan produk fatwa (al-mustafta fih)

2. Kedudukan Ijtihad dan fatwa dalam hukum Islam

Pembahasan fatwa tak terlepas dari pembahasan ijtihad dalam kajian ushul fikih, karena fatwa merupakan bagian dari ijtihad. Karena seorang mufti dituntut mengetahui dalil-dalil syariat dan pembahasan serta tata cara istimbat hukum didalamnya. Menurut Imam Al Ghazâli, pengertian ijtihad dalam Kitab al Mustashfâ adalah sebagai berikut:

“Ijtihad adalah ungkapan dari mengerahkan segala kemampuan, mengeksplorasinya dalam sebuah perbuatan atau pekerjaan tertentu, ungkapan ini tidaklah dipergunakan melainkan pada sesuatu yang mengandung beban

berat dan sungguh-sungguh. Seperti dikatakan,”Seseorang bersungguh-sungguh dalam membawa batu

besar, tidak dikatakan, seseorang bersungguh-sungguh dalam membawa biji kecil, akan tetapi lafaz ini dikenal dikalangan para ulama khusus untuk mengerahkan kesungguhan dan kemapuan dalam mencari pengetahuan tentang hukum syariat. Ijtihad yang sempurna adalah bila mana seseorang mengerahkan segala kemampuannya sampai pada titik ketidakmampuan lagi untuk mencari tambahan lagi .

16 Abû Hâmid al- Ghazâlî, Al Mustashfâ, ( Beirut: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1413H) h. 342

Tidak jauh berbeda, Imam Al Ậmidi dalam al Ihkâm mendefinisikan ijtihad dalam dua hal, secara bahasa dan istilah. Adapun secara bahasa beliau menyebutkan:

Secara bahasa Ijtihad adalah ungkapan untuk mengerahkan segala kemampuan dalam mencapai kebenaran suatu perkara yang mengandung beban berat dan kesulitan, oleh karena itu dikatakan,” Fulan bersungguh-sungguh membawa batu besar, tidak dikatakan Fulan bersungguh-sungguh membawa biji kecil.

Sedangkan secara isilah beliau menyebutkan:

Sedangkan secara istilah ahli ushul, ijtihad dikhususkan dalam hal mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari dugaan sesuatu hukum syariat atas dasar rasa jiwa, yang tak membutuhkan pencarian lain lagi.

Dari penjelasan diatas, menurut hemat penulis yang dinamakan ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syariat dari sumber-sumber yang mendukung, saat sebuah hukum tak disebutkan dalam

Al Qur‟an maupun As Sunnah. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid . Untuk itulah diperlukan sosok dengan memiliki syarat-syarat

tertentu diantaranya: 19

17 Al Ậmidi, Al Ihkâm fî Ushûl al Ihkâm, Jilid IV (Beirut: al Maktabah al Islâmiy, tt) h. 162 18 Al Ậmidi, Al Ihkâm fî Ushûl al Ihkâm h.162 19 Abû Hâmid Al Ghazâlî, Al Mustashfâ h.342 17 Al Ậmidi, Al Ihkâm fî Ushûl al Ihkâm, Jilid IV (Beirut: al Maktabah al Islâmiy, tt) h. 162 18 Al Ậmidi, Al Ihkâm fî Ushûl al Ihkâm h.162 19 Abû Hâmid Al Ghazâlî, Al Mustashfâ h.342

b. Adil dan tidak berbuat maksiat yang bisa mengurangi kadar keutamaan dalam fatwanya.

c. Memiliki pengetahuan dalam empat bidang yaitu Al Qur‟an, Hadits, Ij ma‟ dan akal.

d. Mengetahui ilmu bahasa Arab dan cabangnya seperti Nahwu, Sharaf dan lainnyayang berfungsi memahami teks dan maksud logika dalam literatur Arab.

e. Mengetahui ilmu-hadits dan periwayatannya, sehingga bisa memilah mana riwayat yang sahihah ( benar) dan fasidah (rusak). Menurut Hamdân An Numairi Al Harâni, mujtahid terbagi menjadi

empat golongan yaitu: Mujtahid Mutlak, Mujtahid Mazhab tertentu, Mujtahid dalam ilmu tertentu dan mujtahid dalam masalah tertentu. 20

Yang dinamakan mujtahid mutlak adalah:

“Mujtahid mutlak adalah siapa yang hafal dan memahami banyak hal dalam fikih dan ushul fikih, dalil-dalil dalam permasalahannya, ia memiliki kemampuan sempurna yang memungkinkan untuk mengetahui hukum-hukum syariat berdasarkan dalil-dalil dan segala kejadian jika ia mampu, sehingga kebenarannya lebih banyak, maka ia layak berfatwa ditambah dengan syarat- syarat lain”.

Sedangkan mujtahid dalam mazhab tertentu maksudnya adalah seseorang yang sudah mencapai derajat mujtahid namun hanya dalam ranah

mazhabnya saja, misalnya seseorang yang menguasai mazhab Syafi‟i dan fokus didalamnya namun tidak menguasai mazhab lain. Begitu juga dengan mujtahid yang hebat dalam ilmu tertentu tidak dalam ilmu lain, atau dalam masalah lainnya. Hukum yang dijadikan objek ada dua macam, yaitu hukum syar‟i (syariat) dan hukum „aqli (akal). Hukum syariat terkait dengan

20 Hamdân An Numairi al Harâni al Hambali, Sifatu al fatwa wal Mufti wal Mustafti, ( Beirut: Maktabah al Islami, 1397 H) h. 16 21 Hamdân An Numairi al Harâni al Hambali, Sifatu al fatwa wal Mufti wal Mustafti h. 15 20 Hamdân An Numairi al Harâni al Hambali, Sifatu al fatwa wal Mufti wal Mustafti, ( Beirut: Maktabah al Islami, 1397 H) h. 16 21 Hamdân An Numairi al Harâni al Hambali, Sifatu al fatwa wal Mufti wal Mustafti h. 15

Sedangkan hu kum syar‟i biasanya terkait dengan hukum yang dibolehkan berijtihad maupun yang tidak boleh. Seperti shalat, puasa, haramnya zina, khamar dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini jika ada orang yang mengingkari kebenaran hukumnya dengan sadar dan sengaja, maka ia telah mendustakan Allah dan Rasul-nya. Adapun wilayah yang dibolehkan berijtihad adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama

dan ahli fikih atas dua pendapat atau lebih. 22 Sehingga masing-masing ulama menggunakan pendapatnya sendiri berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan

pendapat yang dianutnya. Dan orang yang boleh berijtihad adalah para ulama yang memnag memiliki kapasitas yang telah penulis sebutkan diatas, bukan

orang awam yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad. 23 Pada prinsipnya ada dua keutamaan bagi kalangan yang sudah sampai

pada derajat mujtahid, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:

“Telah menceritakan kepada kami, Yahya bin Yahya, at Tamimiy, telah mengabarkan kepada kami Abdul Azîz bin Muhammad, dari Yazîd bin Abdillah bin Usâmah bin al Hâd, dari Muhammad bin

Ibrâhim, dari Busr bin Sa‟îd, dari Abî Qais, pelayan „Amr bin al Ậsh, dari „Amr bin al Ậsh, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Jika seorang hakim berijtihad, kemudian meraih kebenaran, maka baginya

22 Abû Ishâq as Sairâzi, al Luma‟ fî Ushûl al Fikh, ( t.tp: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1424 H) h. 130 23 Ahmad Al Marwazi as Sam‟ânî, Qawâthi‟ul Adillah Fî al Ushûl, Jilid II ( Beirut:Dâr al Kutub Al Ilmiyah, 1418 H) h. 302 24 Imam Muslim, Sahih Muslim , Jilid III, ( Beirut: Dâr Ihyâ at Turâts al „Arabi, tt) h. 1342 No. 1716 22 Abû Ishâq as Sairâzi, al Luma‟ fî Ushûl al Fikh, ( t.tp: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1424 H) h. 130 23 Ahmad Al Marwazi as Sam‟ânî, Qawâthi‟ul Adillah Fî al Ushûl, Jilid II ( Beirut:Dâr al Kutub Al Ilmiyah, 1418 H) h. 302 24 Imam Muslim, Sahih Muslim , Jilid III, ( Beirut: Dâr Ihyâ at Turâts al „Arabi, tt) h. 1342 No. 1716

Para ulama bersepakat bahwa ada persamaan dan perbedaan antara hakim dan fatwa dalam beberapa hal, adapun persamaan fatwa dan hakim adalah sama-sama menjelaskan syariat dan cabang-cabang didalamnya. Sehingga tidak akan dijumpai fatwa atau hukum bolehnya melanggar aturan syariat yang telah ditetapkan Allah.

Adapun perbedaan antara fatwa dan hakim diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Mufti hanyalah sebagai mukhbir (orang yang menyampaikan hukum) atas permasalahan yang diajukan kepadanya sifatnya fatwa adalah tabligh (menyampaikan) dan produk fatwa statusnya adalah ghairu ilzam (tidak menekan) dalam arti bisa jadi fatwa dalam suatu negara berlaku dan ditaati hanya oleh warga negara tersebut, dan tidak mengikat untuk warga negara yang lain, sedangkan hakim, memutuskan perkara saat terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Seperti disebutkan oleh Imam al Qarrâfi dalam kitabnya ketika ditanya tentang hakikat hukum yang dilakukan oleh seorang hakim, beliau menjawab:

“Mengkonstruksikan secara mutlak dan mengikat hukum dalam masalah ijtihad yang berdekatan, yang terjadi perselisihan untuk kemaslahatan di dunia”.

3. Jenis-jenis cara menyampaikan fatwa

Seseorang yang dimintai fatwa untuk zaman ini tidak seperti pada zaman nabi Muhammad atau sahabat atau pada masa imam-imam mazhab. Kondisi masyarakat dan kemampuan seseorang untuk mencapai derajat mujtahid mutlaq dengan syarat-syarat yang begitu lengkap sangat sulit ditemukan. Oleh karena itu untuk saat ini lebih kepada ijtihad secara bersama-sama para alim ulama dalam sebuah wadah yang dinaungi oleh negara tertentu, seperti di Indonesia kita mengenal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada beberapa cara untuk menyampaikan fatwa diantaranya:

a. Fatwa dengan Ucapan Ini merupakan cara yang paling efektif ketika ada orang bertanya tentang suatu hal kemudian dijawab oleh seorang mufti secara langsung melalui

25 Imam al Qarrâfi, Al Ihkâm fî Tamyiz al Fatâwâ, an al Ahkâm wa at Tasharufât al Qâdhi wa al Imâm, (Beirut: Dâr al Basyâir al Islâmiyah li Tauzi wa An Nasyr,1416H) h.33 25 Imam al Qarrâfi, Al Ihkâm fî Tamyiz al Fatâwâ, an al Ahkâm wa at Tasharufât al Qâdhi wa al Imâm, (Beirut: Dâr al Basyâir al Islâmiyah li Tauzi wa An Nasyr,1416H) h.33

…Maka bertanyalah kepaa orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An Nahl [16]:43) Abdurrahman Nâshir As Sa‟di ketika menafsirkan kalimat ِر

(ahlu

dzikr) yaitu mereka orang-orang berilmu yang memahami dan mengajarkan ajaran dari kitabullah. Ini juga merupakan penghargaan Allah kepada para ulama Ahli ilmu yang benar-benar bertanggungjawab dengan keilmuan yang mereka miliki. Dan orang-orang ahlu dzikr adalah ahlul qur‟an mereka yang dekat dengan Al Qur‟an”. 26

b. Fatwa dengan perbuatan Merupakan perbuatan yang Rasulullah dahulu ajarkan kepada para sahabat, sehingga perbuatan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan, atau penjelasan tentang sebuah hukum agama. Seperti bagaimana Rasulullah mengajarkan manasik haji kepada para sahabat dalam sabdanya:

“Telah menceritakan kepada kami Ishâq bin Ibrâhim, dan Ali bin Hasyram, semuanya dari Isâ Bin Yûnus, berkata Ibnu Hasyram, telah

26 Abdurrahman Nashir as Sa‟diy, Taisîr al Karîm Ar Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al Manân , Jilid (Beirut: Muassasah Ar Risâlah, 1420 H) h. 441 27 Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid II ( Beirut: Dâr Ihya Turâts al Araby, tt) h. 943 No.1297 Bab Istihbab Ramyul Jamarat 26 Abdurrahman Nashir as Sa‟diy, Taisîr al Karîm Ar Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al Manân , Jilid (Beirut: Muassasah Ar Risâlah, 1420 H) h. 441 27 Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid II ( Beirut: Dâr Ihya Turâts al Araby, tt) h. 943 No.1297 Bab Istihbab Ramyul Jamarat

tak akan berhaji lagi setelah hajiku ini.”(HR. Muslim)

c. Fatwa dengan Tulisan Tulisan merupakan alat yang penting dalam menyampaikan pesan, begitu juga dalam menyampaikan kabar terutama jika si pemberi kabar jauh tempatnya atu ada kendala-kendala lain yang menyebabkan fatwa tersebut tidak bisa disampaikan secara lisan langsung. Tulisan dibolehkan dalam menyampaikan pesan atau hukum tertentu seperti yang disebutkan oleh Ibnu Quddâmah ketika menukil pendapat Abû Hanifah:

“Tidak dibolehkan menuliskan kepada orang yang tidak jelas ditentukan”. Namun ibnu Quddâmah kemudian meneruskan dalam penjelasannya,”

“Menurut kami, tulisan seorang Hakim kepada yang bawahannya sampai kepada mereka, dan hukumnya mengikat untuk diterima, juga

bila tulisan itu diperuntukkan kepada seseorang tertentu”. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tulisan merupakan sarana untuk menyampaikan hukum tertentu dan kondisinya mengikat.

d. Fatwa dengan Isyarat Fatwa dengan isyarat dilakukan bagi orang yang meminta fatwa namun ia memiliki keterbatasan, misalnya tuli, atau bisu. Sehingga seorang mufti dibolehkan dengan menggunakan isyarat dalam menjelaskan hukum tertentu, namun hal ini dilakukan pada kondisis tertentu, tidak semua kondisi dan untuk orang-orang tertentu saja. Rasulullah bersabda:

28 Ibnu Quddâmah, Al Mughni, Jilid X, ( Kairo: Maktabah al Qâhirah, 1388 H) h.83 29 Ibnu Quddâmah, Al Mughni h. 83

“Telah menceritakan kepada kami al Makki bin Ibrâhim, ia berkata,” Telah menceritakan kepada kami Handzalah bin Abî Sufyân, dari

Sâlim, ia berkata,” Aku mendengar dari Abû Hurairah dari Nabi SAW bersabda,”Ilmu akan diikat,akan muncul kebodohan dan fitnah akan muncul banyak al Haraj, Rasulullah ditanya, apakah al Haraj itu? Beliau menjawab,”Seperti ini, dengan isyarat tangannya sambil menggerakkan, seperti membunuh”.(HR. Al Bukhâri)

4. Hubungan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Hukum negara

Para ulama di Indonesia yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia, memiliki otoritas dan kewenangan untuk memberikan pencerahan dan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh masyarakat atau problematika yang berkembang dimasyarakat yang memerlukan pijakan dan pondasi hukum islam yang jelas. Karena pendapat yang mereka keluarkan sesuai dengan pertimbangan syariah, demikian dijelaskan oleh Zafrullah Salim SH, M. Hum, Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkum Ham dalam konteks MUI, ia juga menambahkan fatwa merupakan implementasi dari khidmatul ummah (berkhidmat untuk ummat). Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI berperan untuk mentransformasikan makna hukum islam yang bersifat

umum kedalam kasuistik khusus yang terjadi di masyarakat. 31 . Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan Lembaga Swadaya

Masyarakat yang mewadahi ulama, zu‟ama (tokoh agama) dan cendikiawan islam di Indonesia, berperan untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di Indonesia. MUI berdiri pada 7 rajab 1395 H atau betepatan dengan 26 Juli 1975 di Jakarta. Sejarah awal berdirinya MUI merupakan hasil dari pertemuan enam ornag ulama yang mewakili 26 propinsi, yang merupakan unsur-unsur ormas isalm tingkat pusat yaitu, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perti, Al Washliyah, Ma th‟laul Anwar, Syarikat Islam, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Udara, Laut dan Polri serta 13 orang lainnya. Selanjutnya pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam .

30 Imam Al Bukhari, Shahih Al Bukhâri, Jilid 1, ( Damaskus: Dâr Thûq an Najat, 1422 H) h. 28 No. 85 Bab Man Ajâba al Futyâ Bii syârât al Yad wa Ra‟s

31 www.halalmui.org/newMUI/index.php/main diakses pada 13 Juli 2016

Piagam Berdirinya MUI, yang selanjutnya disebut sebagai MUNAS Ulama I. dalam perjalanannya MUI memeliki beberpa peran strategis

diantaranya: 32

a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang di ridhai Allah Subhanahu wa Taala.

b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memamntapkan persatuan dan kesatuan bangsa.

c. Menjadi penghubung antara ulama dan umara dan penterjemah antar umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional.

d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendikiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan isnformasi secara timbal balik. Selain itu dalam pengabdiannya Majelis Ulama Indonesia memiliki lima fungsi dan peran utamanya yaitu:

a. Sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (waratsatul anbiya)

b. Sebagai mufti (pembuat fatwa)

c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riayah wa Khadim al Ummah )

d. Sebagai gerakan Islah wa Tajdid (pembaharuan)

e. Sebagai penegak amar ma‟ruf dan nahy munkar. Kemudian terkait dengan polemik apakah fatwa Majelis Ulama Indonnesia bersifat mengikat atau tidak, jika kita telusuri dari aspek hukum klasik memang kedudukan fatwa itu ghaira ilzam (tidak mengikat) atau opsional, artinya boleh diikuti dan boleh tidak. Maksudnya jika ada lebih dari satu fatwa dari satu masalah yang sama, maka umat boleh memilih mana yang lebih memberikan ketenangan baik secara efek maupun secara argumentatif maupun secara bathin. Namun kondisi sekarang memungkinkan sebuah fatwa bersifat mengikat mengingat tidak semua orang berkompeten dalam bidang agama, apalagi MUI merupakan sebuah lembaga yang berisi pada ulama dari berbagai ormas Islam yang ada di Indonesia, tentu keberadaanya merupakan representasi para Ulama Indonesia secara umum, oleh karenanya fatwa MUI

memiliki kekuatan penuh dalam mengatasi problematika syariat. 33

Terkait dengan status anak, pernikahan di bawah tangan di Indonesia lebih populer dengan sebutan „nikah sirri‟. Istilah nikah dibawah tangan

32 http://mui.or.id/sekilas-mui&ei diakses 13 Juli 2016 33 http://www.agustiantocentre.com/?p%3D326&ei=qilTAN diakses 14 Juli 2016 32 http://mui.or.id/sekilas-mui&ei diakses 13 Juli 2016 33 http://www.agustiantocentre.com/?p%3D326&ei=qilTAN diakses 14 Juli 2016

dalam Bahasa Arab berarti sesuatu yang disembunyikan 34 . Lawan kata dari I‟lan (terang-terangan). Dalam perkembangannya nikah sirri dikenal juga

dengan istilah zawaj „urfi. Syekh Wahbah Az Zuhaily menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan nikah sirri adalah:

“Yaitu nikah yang pihak suami berpesan agar saksi-saksi merahasiakan istrinya baik kepada jamaah maupun keluarganya”.

Jika terjadi nikah sirri maka harus di talaq bain dan nikahnya harus di fasakh (dibatalkan) karena dilakukan tanpa saksi bahkan dihukum rajam seperti zina. Dalam kajian fikih klasik, nikah sirri berawal dari keberadaan saksi atau wali. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi merupakan syarat nikah, namun mereka berbeda pendapat apakah merupakan syarat sah (syart sihah) atau syarat kesempurnaan (syart tamam). Dan mereka juga telah bersepakat

tentang tidak bolehnya nikah sirri 36 .

34 Majma‟ Lughah al Arabiyah bil Qahirah, Mu‟jam Al Wasith, Jilid 1, ( Kairo: Dar ad Da‟wah,tt) h. 426 35 Wahbah az Zuhaily, Al Fikh al Islami wa Adillatuhu, Jilid IX, ( Damaskus: Dar al Fikr, tt) h. 6560 36 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Jilid 3 (Cairo: Dar al Hadits, 1425H) h. 44

Kemudian disebutkan juga didalam hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas

bahwasanya Rasulullah bersabda: ،َسُنوُي ْنَع ،ُداندَْلْا َةَدْيَػبُع وُبَأ اَنَػثندَح ،ََيَّْعَأ ِنْب َةَماَدُق ُنْب ُدنمَُمُ اَنَػثندَح

“Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Qudamah bin A‟yan, telah menceritaka kepada kami Ubaidah bin al Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwasanya

Nabi SAW bersabda,” Tidak ada nikah tanpa wali”(HR. Abu Daud)

Sayid Sabiq menyebutkan terkait ketiadaan saksi, karena saksi merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan,maka ketiadaan saksi menjadikan hukum nikahnya tidak sah. Disini kehadiran saksi dalam akad nikah menjadi penting, meski sudah pernikahan itu diumumkan kepada

khalayak dengan sarana lain. 38 . Meskipun di dalam KUHPerdata tidak dikenal istilah nikah sirri, namun didalam hukum Islam digunakan untuk

pernikahan yang di rahasiakan 39 .Pernikahan dibawah tangan menurut Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan pernikahan di bawah tangan adalah 40 : Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syaratnya yang ditetapkan

dalam fikih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Dalam pasal kedua disebutkan: Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah jika terpenuhi syarat dan hukumnya, tetapi haram jika terdapat mudharat.

Menurut HM. Anshari perkawinan sirri memiliki tiga pengertian yaitu, Pertama, pernikahan yang dilakukan tanpa wali dari pihak perempuan,

karena faktor ketidak setujuan atas pernikahan tersebut 41 . Pernikahan inilah dalam literatur klasik dikenal dengan Zawaj „Urfi, yaitu pernikahan yang

37 Abu Daud as Sijistani, Sunan Abu Daud, Jilid II, (Beirut: Maktabah Ashriyah, tt) no. 2085 38 Sayid Sabiq, Fikh Sunnah , Jilid II, ( Beirut: Dar al Kitab „Al Arabi,1397H) h. 56 39 H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,

h. 127 40 Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 10 tahun 2008 Tentang Nikah di Bawah

Tangan 41 H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional, h. 127 Nasional, h. 127

Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, juga sesuai dengan agama kedua belah pihak. Namun tidak dicatatkan di lembaga pencatat pernikahan. Biasanya dengan berbagai alasan, misalnya, belum mampu secara finansial untuk biaya pernikahan, atau administrasi pernikahan yang mahal, atau pegawai negeri sipil yang takut ketahuan melanggar aturan sehingga takut dicopot dan sebagainya. Ketiga, perkawinan yang belum dilaksanakan resepsi pernikahan (walimatul Ursy), dan pernikahan tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat yang berlaku baik secara agama maupun secara negara, hanya saja belum diadakan resepsi pernikahan saja.

Terkait dengan pengertian pertama tentang nikah sirri, yaitu pernikahan yang tidak ada wali dari pihak perempuan, Adapun pernikahan tanpa wali dalam agama islam dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah. Rasulullah bersabda:

“Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Umar, ia berkata,”Telah menceritakan kepadaku Sufyan bin Uyainah, dari Ibnu Juraij dari

Salman bin Musa dari Az Zuhri dari „Urwah dari Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah bersabda,”Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya bathil, nikahnya bathil,nikahnya bathil…”(HR. At Tirmîzi)

Berdasarkan hadits diatas maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali maka pernikahannya batal demi hukum. Imam as Syaukâni mengomentari hadits ini dalam ungkapannya:

42 Muhammad bin Isâ At Tirmîzi, Sunan Tirmîzi, Jilid III, (Mesir: Syarikah Musthafa al Babî al Halbi,1395H) h. 1102

“Hadits ini menunjukkan bahwa tidak sah nikah tanpa wali karena hukum asal pengingkaran nafi) adalah pengingkaran sahnya nikah bukan syarat kesempurnaanya, wali adalah pihak yang paling dekat dengan si wanita dari keturunan, dibanding dengan saudara kandungnya”.

Undang-undang perkawinan tidak mengatur secara rinci tentang tentang wali nikah, namun hanya menyebutkan syarat-syarat umum (tidak didetailkan) dalam pasal 6-7 Undang-Undang Perkawinan. Tetapi secara implicit tertera dalam pasal 2 ayati (1) yang berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari bunyi pasal tersebut secara tidak langsung terkandung makna rukun nikah secara umum di dalamnya. Kemudian baru diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam (inpres Nomor 1 tahun 1991) didalam pasal 14 disebutkan masalah rukun- rukun pernikahan yang ada: calon suami, calon istri, wali

nikah, dua orang saksi, dan Ijab Kabul. 44 Terkait dengan pengertian kedua tentang nikah sirri, pernikahan yang

tidak dicatatkan. Jika yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun secara agama namun tidak dicatatkan pada lembaga pernikahan negara, maka pernikahan tersebut sah secara agama, namun tidak memiliki perlindungan hukum jika suatu saat nanti terjadi kasus terkait pernikahannya. Dalam hal ini biasanya pihak wanita yang banyak dirugikan. Misalnya sang suami pergi meninggalkan istrinya yang dinikahi secara sirri bertahun-tahun tiada kabar berita, nafkahpun tiada. Maka dalam hal ini pihak istri tidak dapat mengajukan tindakan suami tersebut karena pernikahannya tidak sah secara hukum negara

meski secara hukum agama sah. Al Qur‟an menyuruh manusia untuk taat kepada Allah, Rasul dan kepada para pemimpin, seperti dalam firman-Nya:

43 Muhammad bin Ismail bin Shalah As Shan‟ani, Subul as Salam,Jilid II, (t.tp: Dar al Hadits,tt) h. 172 44 H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,

h. 128

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul- Nya, dan Ulil amri (pemimpin) diantar kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( QS. An Nisa [4]: 59)

Ayat tersebut diatas mengisyaratkan ada trilogi ketaatan, yaitu taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ketaatan kepada pemimpin, seolah ketiganya tidak terpisahkan dan saling berhubungan. Ibnu Asyûr menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah golongan khusus yang amanah dan dapat dijadikan teladan. sifat amanah dan dapat dijadikan teladan ini merupakan pemimpin terpilih secara syariat, memiliki kekuasaan tertentu atau kekhalifahan dari kaum muslimin secara umum. Syarat sebagai ulil amri adalah harus memiliki minimal dua kemampuan, yaitu ilmu dan adil dalam

memimpin. 45 Ketaatan kepada pemimpin merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya dalam hal pernikahan proses pencatatan nikah

merupakan wujud ketaatan kepada pemimpin. Dalam kajian kaidah fikih disebutkan kaidah:

“Janganlah membuat bahaya dan membahayakan orang lain”. Pernikahan tidak di catatkan maka kemungkinan besar akan muncul hal- hal yang berbahaya bagi kedua belah pihak dikemudian hari. Oleh karena itu pernikahan jenis ini dilarang keras oleh agama. Jika kita perhatikan maka salah satu tujuan (maqashid) nikah atau tujuan menikah adalah terciptanya sakinah mawadah wa rahmah (ketenangan dan kasih sayang). Pencatatan nikah pada dasarnya untuk menghadirkan ketenangan dalam rumah tangga, jika suatu masa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Maka mengikuti arahan pemimpin dalam hal ini produk undang-undang pernikahan agar dicatatkan

45 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, Jilid V,(Tunisia: Dar Tunis li Nasyr, 1984) h 98 46 Muhammad Shidqi al Burnu, Al Wajiz Fi Idhah Qawaid al Fikh al Kuliyah,( Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1422H) h. 251 45 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, Jilid V,(Tunisia: Dar Tunis li Nasyr, 1984) h 98 46 Muhammad Shidqi al Burnu, Al Wajiz Fi Idhah Qawaid al Fikh al Kuliyah,( Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1422H) h. 251

yang berlaku. 47 Pada pasal (1) diatas mengatur norma agama, dimana perkawinan

dianggap sah bila memenuhi ketentuan dan aturan agama. Jika tidak, maka perkawinan terebut tidaklah sah dan tidak bisa dinamakan perkawinan tetapi dinamakan zina. Sedangkan ketentuan pada pasal (2) mengatur norma hukum. Agar tercapai tunjuan pernikahan yang diharapkan maka pemerintah selaku penyelenggara negara menyediakan sarananya. Menurut HM. Anshari,

ada tiga kelamahan tidak terpenuhinya norma hukum perkawinan. 48 Pertama, pihak yang dirugikan secara hukum dalam sebuah keluarga dapat menuntut

atau memperoleh haknya melalui negara yaitu lembaga peradilan. Biasanya pihak yang kuat adalah laki-laki, dan mayoritas yang menjadi korban adalah perempuan. Kedua, hak anak akan terzalimi, misalnya sang anak memerlukan berkas Akta Kelahiran atau surat-surat keterangan lain, jika pernikahan yang tidak dicatatkan akan menemui banyak kendala dan kesulitan terkait bukti resmi perkawinan kedua orang tuanya.

Karena surat resmi akan dikeluarkan jika memiliki dokumen asal yang resmi pula. Ketiga, tuntutan keperdataan lain, seperti waris, hak pemeliharaan anak dan sebagianya. Tidak akan dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan jika pasangan suami isteri tersebut tidak memiliki bukti resmi tentang perkawinan mereka.

Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal

43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 Kitab Undang-Undanh Hukum Perdata, menurut Andi Hartanto, setiap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah adalah sah, atau seorang anak yang di buahkan dalam suatu ikatan pernikahan yang sah, tetapi lahirnya anak tersebut setelah orang tuanya bercerai, atau seorang anak yang dibuahkan di

47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) 48 H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional, h. 130-131 Nasional, h. 130-131

B. Pengakuan terhadap Anak dari Pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama menurut Majelis Ulama Indonesia

Secara hukum Islam, status anak dalam pernikahan disebut sebagai nasab. Nasab ini terkait dengan status pernikahan kedua orang tuanya, apakah secara agama saja atau secara agama dan hukum nasional. Menurut Abdul Wahab Khalaf, status anak (tsubut nasab) dalam hukum islam terbagi

menjadi tiga bagian: 50

1. Dari hubungan biologis (Tsubût nasab bil firâsy)

Yang dimaksud dengan firâsy adalah suami istri yang sebagai pihak yang menyebabkan seorang anak hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka. Jika seorang istri hamil, kemungkinan besar sang suamilah yang memiliki peran, bukan orang lain. Sehingga tidak perlu pengakuan orang lain ataupun penguat-penguat lain. Dalam kondisi ini maka nasab dapat diketahui dengan melihat masa terpendek dan masa terpanjang dalam kehamilan seorang istri. Adapun masa terpendek dalam kehamilan seorang istri adalah enam bulan, hal ini seperti disebutkan didalam Al Qur‟an:

“Kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampaimenyapihnya adalah tiga puluh bulan…( QS. Al Ahqâf [46]:15)

Pada ayat ini masa mengandung dan menyapih seorang anak adalah selama tiga puluh bulan. 51 . Dalam ayat yang lain Al Qur‟an menyebutkan dengan

redaksi berbeda:

49 Andi Hartanto, Hukum Waris, Kedudukan Anak Luar Kawin menurut Burgerlijk Wetboek, (Surabaya: Laksbang Justisia, 2015) h.47 50 Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm, ( Kairo: Dâr al Kutub Al Ilmiyyah, 1357 H) h. 186

51 Imam At Thabarî, Tafsîr At Thabarî, Jilid XI (t.tp: Muassasah Ar Risâlah, 1420 H) h. 113

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun” (QS. Luqmân [31]:14)

Dari kedua ayat diatas kemudian digabungkan dan diambil selisihnya, yaitu tiga puluh bulan di kurangi dua tahun (24 bulan) hasilnya, enam bulan, sehingga waktu terpendek seorang wanita hamil adalah enam bulan, artinya dapat di jelaskan sebagai berikut:

a. Jika seorang istri melahirkan anak saat usia akad pernikahan kurang dari enam bulan, maka itu bukan anak dari suaminya yang sah. Karena batas minimal hamil adalah enam bulan berdasarkan ayat diatas. Dan tidak boleh dinasabkan kepada pihak suami.

b. Jika suami tidak rela dan curiga istrinya berbuat zina maka ada syariat li‟an.

c. Jika pernikahannya rusak (fâsid) dan anak lahir saat usia kehamilan setelah akad kurang dari enam bulan maka, nasabnya bukan ke ayahnya. namun jika lahir setalah enam bulan maka anak tersebut di nasabkan kepada sang suami.

d. Adapun masa kehamilah terpanjang, belum ditemukan sumber-sumber valid baik Al Qur‟an dan Hadits yang mengatakan hal tersebut, akhirnya dikembalikan kepada pendapat para ulama, Imam Malik berpendapat masa terpanjang hamil adalah 4 tahun, Imam Abu Hanifah berpendapat, dua tahun, dan pendapat Az Dzahiriyah menghukuminya Sembilan

bulan, kembali kepada ijtihad masing-masing ulama. 52

Seperti disebutkan dalam firman Allah:

52 Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm h. 190

) ۹ - ٦ : [ ۲٤ ] ْروُّنلا ُ ةروُس (

“Dan orang-orang yang menuduh istrnya (berzina) padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi selaon diri mereka sendiri, maka persaksian itu adalah empat kali bersumpah atas nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima:bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang- orang yang benar”. (QS. An Nûr [24]: 6-9)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya:

Di dalam ayat yang mulia ini merupakan solusi bagi para suami dan tambahan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Jika seseorang menuduh istrinya berbuat zina, dan sulit baginya untuk menegakkan bukti, hendaklah ia melakukan li‟an. Seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, yaitu dengan hadir kehadapan imam (hakim), dan ia menghadirkan bukti penguat atas tuduhannya, lalu bersumpah dihadapan hakim dengan empat kali saksi sebagai pengganti empat orang saksi.

Sedangkan dalam hadits banyak dijumpai hadits-hadits yang menjelaskan te ntang li‟an, salah satunya adalah:

53 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al Qurân Al Azhîm, JilidXI ( t.tp: Dâr Thayibah Li An Nasr wa At Tauzi‟e, 1420 H) h. 14

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa‟nabi dari Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Sahl bin Sa‟d As Sa‟idi memberitahukannya bahwa „Uwaimir bin Asyqar Al Ajlâni datang kepada „Ậshim bin „Adi dan berkata,”Wahai „Ậshim, apa pendapatmu jika ada seorang laki-laki mendapati istrinya bersama seorang laki- laki lain,apakah boleh ia membunuhnya hingga kalian pun membunuhnya? Atau apa yang harus dilakukannya?”.WahaiAshim tolong tanyakan kepada Rasu lullah pertanyaanku itu”. Lalu Ashim bertanta kepada Rasulullah, namun Nampak Rasulullah tidak suka

54 Abu Daud, Sunan Abi Daud, Jilid II ( Mesir: Al Maktabah Al Mishriyah Shaidan, tt) h. 274, No. 2246, Bâb F îLi‟ân 54 Abu Daud, Sunan Abi Daud, Jilid II ( Mesir: Al Maktabah Al Mishriyah Shaidan, tt) h. 274, No. 2246, Bâb F îLi‟ân

lakukan?”Lalu Rasulullah bersabda,”Sungguh telah diturunkan Al Qur‟an terkait denganmu dan sahabatmu (istrimu) bawalah ia kemari,” Sahl berkata,” Lalu mereka saling me li‟an, dan aku juga bersama Rasulullah pada saat itu, lalu “Uwaimir berkata,” Aku telah berdusta atasnya wahai Rasulullah bila aku tetap menahannya (tidak menceraikannya). Akhirnya ia pun menceraikannya talaq tiga, sebelum diperintahkan oleh Rasulullah, Ibnu Syihâb berkata,”Itulah petunjuk Sunnah bagi kedua belah pihak yang saling melakukan li‟an”.(HR. Abu Daud)

2. Dengan pengakuan anak (al Iqrâr)

Pengakuan ini menyebabkan tetapnya nasab seseorang karena pengakuan tersebut, jika seseorang mengakui bahwa seorang anak tersebut itu adalah anaknya, maka tetaplah nasab anak tersebut terhadapnya sehingga menjadi anak yg diakuinya. Ini memungkinkan pengakuan atas dua hal, pengakuan anak tersebut untuk dirinya atau pengakuan anak tersebut bukan

anaknya. 55

3. Dengan bukti penguat (bayyinah)

Adapun pengakuan dengan penguat, hal ini bisa terjadi jika terdapat dua orang saksi dari kalangan kaum laki-laki dan atau satuorang laki-laki dan perempuan yang terkenal dapat dipercaya. Jika ada penolakan maka bagi orang yang mengaku, harus memberikan bukti penguat dengan kehadiran

saksi-saksi yang disebutkan diatas secara sempurna (kamilah). 56 Dalam konteks undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 status atau

asal-usul anak dijelaskan dalam pasal 42, 43 dan 44 sebagai berikut: 57

55 Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm h. 194 56 Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm h.200 57 Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan Pasal 42-44

Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43: (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawianan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 44: (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan. Kemudian terkait dengan pem buktian asal-usul anak, Undang-Undang

Perkawinan juga menyebutkan: 58 (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran

autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan permasalahan anak, diantaranya: Pertama , anak sah adalah anak yang ada dan terlahir dari pernikahan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan, yaitu anak sah lahir sebab perkawinan yang sah dan anak yang lahir didalam perkawinan yang sah. Kedua , lawan anak sah adalah anak tidak sah, yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja, tidak dengan ayah. Sehingga hukum anak zina agaknya digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan ini. Ketiga, suami berhak melakukan pengingkaran atau penyangkalan terhadap sahnya seorang anak. Keempat, bukti asal-usul anak dapat dilakukan dengan akte

kelahiran. 59 Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan aturan-

aturan yang mirip dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 99:

58 Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan Tahun 1974 pasal 55 59 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI , (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2004) h. 282

Anak sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil dari pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Kemudian alam Pasal 100 disebutkan: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab

dnegan ibunya dan keluarga ibunya. 60 Nampaknya, KHI menjelaskan lebih jauh berkenaan dengan anak sah yang

menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami yang

dikenal dengan proses 61 li‟an. Dalam hukum Islam, seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa

anak yang dilahirkan oleh istrinya bukanlah anaknya, selama sang suami dapat membuktikan dengan beberapa ketentuan diantaranya: 62

1. Suami belum pernah berhubungan seksual (berjima‟) dengan istrinya, akan tetapi istri mengandung dan melahirkan anak.

2. Lahirnya anak tersebut kurang dari enam bulan, sejak suami berjima‟ dengan istrinya, sedangkan bayi yang lahir seperti bayi yang sudah layak lahir (bukan premature)

3. Bayi tersebut lahir setelah lebih dari empat tahun dan sang istri tidak pernah berjima‟ dengan suaminya. 63

Terkait dengan tata cara li‟an diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 126: Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina, dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Pasal 127:

Tata cara li‟an: