MEMAKNAI KEBUDAYAAN.doc 28KB Jun 13 2011 06:28:01 AM

MEMAKNAI KEBUDAYAAN
Oleh Haedar Nashir
Apa sih kebudayaan itu? Dalam termonilogi klasik seperti dikemukakan Edward
B. Taylor, “culture is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals,
laws, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of
society”. Kebudayaan ialah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaankebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam pengertian
tersebut kebudayaan demikian mencakup banyak aspek, yang melekat dengan keberadaan
hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Pengertian yang lebih dinamik memaknai kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan kolektif manusia dalam menanggapi lingkungan dan pengalamannya serta
digunakan sebagai acuan bagi tindakan-tindakannya dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, seperti dikemukakan Valentine dalam Culture and Proverty, kebudayaan
terdiri atas aturan-aturan yang menggerakkan dan membimbing perilaku manusia dalam
kehidupan bersama.
Jika dalam pengertian pertama kebudayaan lebih merupakan kata benda, maka
dalam pengertian yang kedua kebudayaan mengandung makna kata kerja. Namun
maksudnya sama, bahwa kebudayaan merupakan produk manusia secara kolektif untuk
mewujudkan pola kehidupan bersama. Kebudayaan itu diperoleh dari hasil belajar dan
pengalaman bersama yang wujudnya berupa hal-hal abstrak seperti nilai dan norma,
kemudian yang lebih konkret berupa sistem sosial seperti lembaga pendidikan dan

sebagainya, hingga bentuk yang paling konkret yaitu benda-benda dan karya hasil
manusia secara bersama seperti pakaian dan sebagainya. Kebudayaan itu berfungsi untuk
membentuk manusia agar hidup beradab, sebagai sistem kesatuan makna, menjadi pola
dasar bagi kehidupan bersama, dan menjalankan fungsi pendidikan sehingga tercipta
peradaban yang tinggi.
Dengan demikian, maka kebudayaan itu melekat dengan keberadaan manusia
sebagai makhluk sosial. Tidak mungkin manusia hidup tanpa kebudayaan. Kebudayaan
tidak dapat dihilangkan dari kehidupan manusia, tetapi kebudayaan dapat berubah sesuai
dengan perkembangan hidup manusia itu sendiri dalam setiap lingkungan dan babakan
sejarahnya. Kebudayaan itu melekat dengan akal-budi yang dianugerahkan Allah hanya
untuk manusia. Karena itu, kebudayaan dapat dikatakan sebagai “sunatullah sosial” di
alam raya ini.
Bagi komunitas umat beragama seperti pada sebagian umat Islam, kebudayaan
sering dimaknasi secara negatif. Kebudayaan dianggap barang bid’ah yang merusak atau
bertentangan dengan agama (Islam). Bahkan, secara ekstrem kebudayaan sering
dipertentangkan dengan agama, dengan ajaran Islam. Maksudnya untuk menunjukkan
keagungan dan ketinggian Islam sebagai Wahyu Allah, tetapi secara tidak sengaja justru
menyejajarkan agama dengan kebudauaan sekaligus menapikan kebudayaan sebagai
sunatullah manusia selaku makhluk sosial.
Jika kebudayaan diletakkan secara proporsional sebagai produk manusia secara

kolektif yang selalu berubah dan memiliki keterbatasan ruang dan waktu, maka umat

Islam sebenarnya dapat berpikir lebih positif dalam menyikapi kebudayaan. Bahkan
dalam kehidupan kaum muslimin, kebudayaan itu dapat memperoleh sumber nilai dan
norma utama dari ajaran Islam yang teraktualisasi dalam kehidupan sosiologis umat,
sehingga Islam menjadi objektif. Itulah kebudayaan yang bercorak profetik, bukan
kebudayaan yang lepas atau bercorak sekular atas dasar naluri manusia semata-mata.
Dengan corak kebudayaan profetik dapat dipertautkan nilai-nilai habl min Allah
dan nilai-nilai habl min al-nas secara sinergi, yang melahirkan Islam dalam kebudayaan
para pemeluknya. Jadi, bukan Islam dalam ajaran atau normativitas ajaran semata-mata
sebagaimana secara dogmatif sering dilukiskan dalam slogan Islam “kaffah” dalam
wacana sebagian kaum muslimin. Islam “kaffah” justru harus menyejarah, yakni Islam
dalam realitas kebudayaan kaum muslimin. Sehingga, tidak ada lagi jarak antara norma
ajaran Islam dengan kenyataan sejarah kaum muslimin. Itulah Islam “kaffah”.
Tapi, jangan membayangkan kebudayaan kaum muslimin itu bersifat normatif
yang kaku dan serba penuh sanksi, sebagaimana sering dibayangkan dalam alam pikiran
keagamaan yang bercorak teosentrik dan dogmatik. Kebudayaan muslim boleh jadi tidak
identik dengan syari’at Islam, lebih-lebih syari’at dalam arti hukum Islam. Kebudayaan
muslim itu merupakan sinergi dari “mode for action” sekaligus “mode of action” dalam
keyakinan, alam pikiran, pengalaman, dan perilaku kolektif muslim yang sumber-sumber

nilainya ialah nilai-nilai ajaran agama dan ijtihad masyarakat muslim.
Memang, ketika kebudayaan itu lepas dari nilai-nilai profetik keilahian dan
semata-mata berdasar pada naluri kolektif manusia semata, dimungkinkan memunculkan
pola-pola tingkahlaku yang bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran agama,
sehingga memerlukan seleksi atau sublimasi nilai. Namun, proses tersebut harus
diletakkan dalam rancang-bangun da’wah. Di situlah penting da’wah “yad’u ila al-khair”,
“al-amr bi al-ma’ruf”, dan “al-nahy an al-munkar” sebagaimana yang dikembangkan
Muhammadiyah. Agama juga sering bermakna multitafsir ketika melekat dalam
pemahaman ulama atau para pemeluknya, sehingga memerlukan kontekstualisasi dan
cara pandang yang luas. Di situlah kebudayaan tidak dapat divonis secara dogmatif oleh
satu tafsir agama semata. Sehingga, dalam konteks pemaknaan agama dan kebudayaan
yang berdimensi luas itulah sesungguhnya Muhammadiyah dapat memahami serta
memerankan fungsi da’wah kultural!

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2002