Ketika Dakwah Kultural Jadi Pilihan

Ketika Dakwah Kultural Jadi Pilihan
Sidang Tanwir Muhammadiyah Tahun 2002 di Denpasar telah menetepkan Dakwah
Kultural jadi pilihan Persyarikatan Muhammadiyah dalam melangsungkan gerakan
dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Ini satu babakan baru setelah selama ini
Muhammadiyah dicap sebagai anti kultural, terutama kultur tradisional. Karenanya
diperlukan strategi-strategi khusus di dalam menghadapinya.
Gerakan dakwah Muhammadiyah kerap dikritik tidak toleran terhadap tiadisi lokal, baik
kehidupan estetis (seni), cara hidup dan pranata sosialnya. Terhadap tradisi lokal, disadari
PP Muhammadiyah dalam pengantarnya mengenai pembahasan Dakwah Kultural pada
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar Bali, gerakan dakwah Muhammadiyah
cenderung menafikkan. Dengan bertitik tolak pada pandangan keunikan manusia, need
dan interesmya, maka dapat dikembangkan strategi adopsi (pemungutan), coeksistensi
(hidup berdampingan), dan proeksistensi dalam praktek dakwah. Strategi ini melibatkan
proses seleksi mana yang substansi dan mana yang partikuler, dialog dan kerja.
Untuk itu perlu mengenali objek dakwah. Karena pada dasarnya setiap manusia tidak ada
yang paling berhak menyatakan dirinya paling beregama dibanding orang lain.
Dihadapan Allah semua manusia musafir, prestasi kedeliatannya kepada Allah
(ketakwaan) hanya diketahui oleh Allah semata. Prestasi keagamaan manusia hanya
dikenali dari sikap dan perilaku lahiriah yang dinyatakannya. Maka untuk keperluan
dakwah yang menempatkan seluruh manusia sebagai objek dakwah dan perubahan
sebagai target, pendefinisian sementara keadaan keagamaan objek dakwah diperlukan.

Sekali lagi bukan untuk keperluan mengahakimi, melainkan keperluan mendorong
terjadinya proses transformasi ke arah ideal.
Selain itu, kehidupan islami sebagai arah transformasi. Ini sejalan dengan pandangan
Muhammadiyah bahwa seluruh ajaran Islam meropakan petunjuk hidup. Pengamalan
Islam secara sempuma akan menjamin pemeluknya memperoleh kehidupan yang lebih
baik dalam segala aspek kehidupan, spritual, intelektual, dan sosial. Orientasi
kesempurnaan kehidupan islami inilah yang menjadi arah dari segala transformasi dalam
gerakan dakwah.
Tak kalah pentingnya adalah menetapkan tujuan yang tidak sama, sesuai keunikan
masing-masing. Sebab tiap manusia diciptakan dengan keunikan masing-masing
mengikuti fitrah, lmgkungan dan perkembangan kesejarahannya. Potensi kesucian atau
keagamaan yang ada dalam diri manusia itulah yang didorong untuk menuju tahap yang
lebih ideal. Jika sang dai memandang bahwa Islam kultural itu lebih ideal maka upaya
dakwah secara produktif diarahkan pada segenap proses yang memberi kemungkinan
objek dakwah berubah.
Untuk itu perlu memperhatikan "human need" dan "human interest". Segenap proses
dakwah disusun dengan mengakui manusia apa adanya dan memberi peluang menjadi
sesuai dengan kemampuannya. Pengakuan akan kedaulatan kemanusiaan ini diwujudkan
dengan mencari berbagai proses dakwah yang benar-benar memperhitungkan human
need (kebutuhan manusia) dan human interest (intres manusia). Jika dakwah itu sendiri

adalah proses dialogis -bukan proses hegemonik— maka perhatian terhadap aspek
alamiah manusia tersebut akan menghindarkan adanya konflik dalam dakwah. Kebutuhan

objek dakwah dapat berupa kebutuhan pengetahuan, motivasi, bimbingan, penyertaan,
kebutuhan dasar hidup juga kesenangan yang menjadi hobinya. Karena itulah targe t
dakwah dan prosesnya berbeda satu dengan lainnyaa. Pendekatan intelektual, kultural,
spritual dan amal mengikuti atas kebutuhan objek dakwah.
Selain itu, tanggap dengan persoalan kemamisiaan (lokal, nasional dan global). Ini
mengingat misi dakwah kultural menghadirkan agama fungsional bagi kehdupan manusia
maka gerakan dakwah kultural tidak boleh bersifat ahistoris dan asosial, tidak tanggap
terhadap persoalan kehidupan lokal, nasional dan global. Persoalan yang meliputi aspek
ekonomi, politik, kultural dan sosial. Termasuk juga persoalan krisis spritualitas,
kecenderungan nativis, dekadensi moral dan lain-lain. Gerakan Dakwah Kultural dituntut
mampu menangkap esensi persoalan dan sebabnya, dari dalam dan dari luar. Selanjutnya
secara proaktif mengelola proses dakwah dalam rangka mencapai ideal target dakwah.
Penyelesaian ini dapat saja menggunakan pola advokatif, partisipatif, dan pemberdayaan
tergantung keadaan objek dakwah dan isu strateeis yang menjadi prioritasnya.
Dan tak kalah pentingnya adalah sinergi dengan semua potensi dan kekuatan yang ada.
Dengan memandang personal, komunal dan masyarakat (objek dakwah) dalam keadaan
hidup, dengan seluruh kehidupannya, maka seluruh proses dakwah kultural memerlukan

sinergi dengan berbagai potensi dan resourches baik yang dimiliki Muhammadiyah
maupun di luar Muhammadiyah. Potensi dan sumber daya meliputi SDM, kelembagaan,
seni dan tradisi lokal/lslam, dan berbagai aktifitas seperti even-even budaya.
Muhammadiyah berusaha mengelola seluruh sumber daya tersebut sesuai dengan tahapan
dan target dakwahnya.
Meskipun demikian, perlu evaluasi dan pengembangan untuk menemukan cara-cara dan
pendekatan baru. Sebab dakwah sebagai proses yang tiada akhir ada karena cita-cita ideal
dan target dakwah berkembang mengikuti perkembangan kehidupan. Proses
dakwah, pendekatan, metode, teknik dan medianya berkembang mengikuti
perkembangan kehidupan. Proses ini berlanjut terus tiada akhir. Pendekatan, metode,
teknik dan media baru harus ditemukan seiring dengan evaluasi atas proses dakwah. Inti
evaluasi adalah kesediaan secara jujur membandingkan keadaan sebelumnya dengan
target yang ditetapkan, dan menilai segenap proses yang dijalankan.
Namun yang perlu diingat Dakwah adalah berbeda dengan Politik. Menurut Ketua PP
Muhammadiyah Prof Dr HA Syafii Maarif Politik mengatakan: Si A adalah kawan, Si B
adalah lawan. Dakwah mengoreksi: Si A adalah kawan, Si B adalah sahabat. Politik
cenderung berpecah dan memecah, dakwah merangkul dan mempersatukan. (eff)..
Sumber; SM-02-2005