TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA : PEMAHAMAN HADIS DALAM KITAB SUNAN AL TIRMIDHI NO INDEKS 446.

(1)

TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA

(Pemahaman Hadis dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446)

Skripsi :

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

SITI SHARIFATUL MUFTIMAH NIM: E03213083

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Siti Sharifatul Muftimah, “Turunnya Allah ke Langit Dunia (Pemahaman Hadis dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi> Nomor Indeks 446).”

Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang benar, Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan bagi-Nya. Namun dengan adanya hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini kita bisa menyakini bahwasannya Allah memang benar-benar turun dan Allah SWT itu fana serta tidak ada yang sepadan dengan-Nya. Sehingga dari sini masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana kualitas sanad dan matan, kehujjahan hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>; 2) Bagaimana pemaknaan hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>; 3) Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Tirmidhi> dan dibantu dengan kitab standart lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan kritik matan, metode ma’ani serta diperoleh dari hasil penelitian.

Dari proses penelitian, didapatkan hasil bahwa status sanad hadis ini adalah s}ah}i>h}, karena sanadnya muttasil dan semua perawinya thiqah. walaupun ada perawi yang bernama Suhai>l ibn Abi> S{a>lih} ada yang mengatakan bahwa dia adalah s}odu>q, dan al-Nasa’i mengatakan lai>sa bihi ba’thun, akan tetapi al-Ijliy mengatakan thiqah. Maka peneliti menggunakan teori al-ta’di>l muqoddamun ‘ala al-jarhi}, sehingga apabila seorang perawi itu ada yang memuji dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut. Sedangkan dari segi matannya status hadis ini adalah s}ah}i>h}, karena dalam kandungan matannya tidak ditemukan sha>dh (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Serta tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat dan rasionalitas (akal). Sehingga kehujjahan hadis tersebut berkualitas s}ah}i>h}, akan tetapi hadis ini bisa memenuhi klasifikasi sebagai hadis mutawatti>r ma’nawi, ditinjau dari banyak jalur sanad. Dengan demikian hadis ini bisa dijadikan hujjah atau landasan dalam pengambilan hukum serta bisa diamalkan. Turunnya Allah ke langit dunia ini bila dikaitkan dengan pendekatan bahasa bermakna hakiki dan masuk dalam tasawuf akhlaqi yang tajalli al-Af’al jika dikaitkan dengan pendekatan tasawuf. Salat malam adalah ibadah yang biasa dikerjakan orang-orang saleh, penghapus kesalahan dan pencegah dari perbuatan dosa. Seseorang-orang yang menginginkan do’anya diijabahi Allah maka ia akan sadar dan mau melaksanakan salat malam dengan ikhlas. Karena salat yang dilaksanakan pada waktu malam dengan khusyu’ akan ridho Allah SWT. Akan mampu meningkatkan terhadap ketahanan tubuh imunolog dan menghilangkan rasa nyeri pasien yang terkena kanker. Kata kunci: Turunnya Allah, Imam Tirmidhi>.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Penegasan Judul ... 7

G. Telaah Pustaka ... 9

H. Metode Penelitian ... 9

I. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II: METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS A. Status Hadis ... 15


(8)

b. Kesahihan Matan ... 30

B. Kehujjahan Hadis ... 34

a. Kehujjahan Hadis S{ah}i>h} ... 35

b. Kehujjahan Hadis H{asan ... 37

C. Pemaknaan Hadis ... 38

a. Pendekatan Bahasa ... 38

b. Pendekatan Tasawuf ... 40

c. Pendekatan Psikologi ... 46

BAB III: KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI< DAN HADIS TENTANG TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA ... 51

A. Biografi Imam al-Tirmidhi> ... 51

B. Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 55

C. Hadis Tentang Turunnya Allah Ke Langit Dunia ... 61

D. I’tiba>r dan Skema Hadis ... 67

E. Syarah Hadis Tentang Turunnya Allah Ke Langit Dunia ... 99

BAB IV: ANALISA HADIS TENTANG TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA ... 103

A. Kualitas dan Kehujjahan Hadis ... 103

B. Pemaknaan Hadis ... 114

C. Implikasi Hadis ... 119

BAB V : PENUTUP ... 131

A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 132 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tauhid menurut bahasa adalah meng-Esakan. Sedangkan menurut syariat adalah meyakini keesaan Allah di dalam rububiyah, uluhiyah, nama dan sifat serta hukum-Nya.1 Adapun yang disebut ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang benar, Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan bagi-Nya. Mustahil jika ada yang mampu menyamai-Nya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Ikhlas ayat 1-42 :

ٌدَحَأ ُهللٱ َوُ ْلُق

)

1

(

ُدَمصلٱ ُهللٱ

)

2

(

َو ْدِلَي ََْ

ْدَلوُي ََْ

)

3

(

ُهل نُكَي َََْو

ۥ

ٌدَحَأاًوُفُك

)

4 (

“Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Setiap muslim wajib mengimani tiga pilar tauhid, yaitu tauhid

rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid asma’ wash shifat, dan tauhid mutaba’ah.

Keempat macam ini semuanya terdapat dalam Surat Al-Fatihah.3 Kita imani bahwasannya Allah itu maha mendengar, melihat, dan berbicara kapanpun yang

1 Asy Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Wushobiy, Al-Qoulul Mufid: Penjelasan

Tentang Tauhid Cet. 1 (Sleman: Darul ‘Ilmi, 2005), 103.

2 Al-Qura>n, 112:1-4.


(10)

2

Allah kehendaki dan dengan apapun yang Allah kehendaki; dan bahwasannya

Allah itu beristiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy-Nya dengan istiwa’ yang sesuai dengan

(kemuliaan)-Nya sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Thoha ayat 54 :

:هطُ ىَوَ تْسا ِشْرَعْلا ىَلَع ُن ّْْرلا

5

َ

“Yang Maha Pengasih beristiwa di atas ‘Arsy.”

Nama dan sifat Allah itu taufiqiyah (berdasarkan wahyu); yaitu kita tidak menamai Rabb kita kecuali dengan nama-nama yang Dia atau Rasul-Nya SAW menamai diri-Nya, dan kita tidak mensifati Rabb kita kecuali dengan sifat-sifat yang Dia atau Rasul-Nya SAW mensifat-sifati diri-Nya.5

Seluruh kaum muslimin telah bersepakat bahwa semua pemahaman yang menyimpang terkait dengan tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah adalah perbuatan kufur. Namun, masih banyak syubhat-syubhat seputar tauhid asma’ wash shifat yang bermunculan di tengah kaum muslimin demi mengkaburkan kemurnian tauhid seorang muslim.

Diantara syubhat yang ada di tengah majelis kaum muslimin adalah masalah turunnya Allah ke langit dunia (sifat an-Nuzul). Terdapat banyak dalil yang berbicara tentang hal ini, namun sebagian kaum muslimin pada masa sekarang merasa kebingungan dalam menerima khabar ini. Di antara mereka ada

4 Al-Qura>n, 20:5.

5Asy Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Wushobiy, Al-Qoulul Mufid: Penjelasan


(11)

3

yang melakukan takwil dengan hawa nafsu dan ra’yu (akal) mereka. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi SAW:

ِلاَص َِِأ ِنْب ِلْيَهُس ْنَع ، ِِاَرَدْنَكْسِإا ِنَْْرلا ِدْبَع ُنْب ُبوُقْعَ ي اَنَ ثدَح :َلاَق ُةَبْيَ تُ ق اَنَ ثدَح

ْنَع ،ٍح

َراَبَ ت ُهللا ُلِزْنَ ي " :َلاَق َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا َلوُسَر نَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ،ِهيِبَأ

ِءاَمسلا ََِإ ََاَعَ تَو َك

َف ِِوُعْدَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُكِلَما اَنَأ :ُلوُقَ يَ ف ،ُلوَأا ِلْيللا ُثُلُ ث يِضََْ َنِح ٍةَلْ يَل لُك اَيْ ندلا

َبيِجَتْسَأ

ْغَأَف ُِِرِفْغَ تْسَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُهَيِطْعُأَف ُِِلَأْسَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُهَل

َءيِضُي ََح َكِلَذَك ُلاَزَ ي َََف ،ُهَل َرِف

" ُرْجَفلا

6 “Qutai>bah menyampaikan kepada kami dari Ya'qu>b bin Abdurrahman al-Iskandara>ni, dari Suhai>l bin Abu> S{a>lih, dari ayahnya, dari Abu> Hurai>rah bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Allah Tabara>ka wa Ta'a>la turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam pertama berlalu. Lalu dia berfirman, "Aku adalah penguasa, Siapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya. Hal itu berlangsung hingga fajar menyingsing."

Namun ada beberapa ulama yang menulis risalah tentang hadis di atas, berikut ini adalah komentar mereka:

1. Imam al-Baihaqi berkata, “pendapat yang paling selamat adalah beriman kepadanya tanpa mencari hakikat serta maksudnya, kecuali Rasulullah SAW telah menerangkannya, maka itulah yang dijadikan pegangan. Hal itu berdasarkan kesepakatan ulama yang tidak mewajibkan takwil tertentu, dan menyerahkan maknanya kepada Allah adalah selamat.” 7

6Imam al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi> Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 444-445.

7 Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyyah, 2008), 40.


(12)

4

2. Ibnu al-Arabi telah menakwilkan kata “turunnya Allah SWT” dengan dua sisi; bisa saja bermakna perintah-Nya, dan bisa juga kata itu adalah isti’arah (penggunaan kalimat yang tidak dalam arti sebenarnya, ed.) untuk

mengungkapkan sikap lembut terhadap orang orang yang berdo’a serta

mengabulkan permohonan mereka.8

3. Abu Bakar ibn Faurak meriwayatkan dari sebagian syaikh bahwa kata yanzilu (turun) sebenarnya adalah yunzilu (diturunkan), yakni malaikat diturunkan. Pendapat ini didukung oleh riwayat an-Nasa>’i melalui jalur al -Aghar dari Abu> Hurai>rah dan Abu> sa’i>d dengan lafaz innalla>ha yumhilu h}atta yumd}i> shat}ra al-Lai>l, thumma ya’muru muna>diya>n yaqu>lu: hal min da>’in fayustaja>bu lahu” (sesungguhnya Allah SWT menangguhkan hingga berlalu separuh malum, kemudian dia memerintahkan penyeru untuk mengatakan, “adakah yang berdoa maka akan dikabulkan permohonannya.”) dalam hadis Uthma>n bin Abi> al-Ash disebutkan “yuna>di muna>din hal min da>’in yustaja>bu lahu” (penyeru menyerukan, “adakah yang berdoa agar dikabulkan untuknya.”).9

4. Al-Baidhawi berkata, “setelah jelas berdasarkan nash-nash qath’i (pasti)

bahwa Allah tidak sama dengan materi dan ruang, serta tidak mungkin Dia

“turun” dalam arti berpindah dari satu tempat ke tempat yang lebih rendah

8Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah

al-Taufiqiyyah, 2008), 40. 9 Ibid,. 41.


(13)

5

darinya, maka yang dimaksud dengan “turunnya Allah SWT” adalah turunnya cahaya rahmat-Nya, yakni berpindah dari sifat keagungan yang berkonsentrasi kemurkaan dan kemarahan kepada sifat kemurahan yang berkonsekuensi kelembutan dan kasih sayang.10

Akan tetapi hadis di atas kiranya perlu untuk diteliti mengingat Hadis berkedudukan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Hadis merupakan penafsiran al-Qur'an dalam bentuk praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Banyak hukum-hukum di dalam al-Qur'an yang diantaranya sulit dipahami atau dijalankan bila tidak diperoleh keterangan (penjelasan) yang diperoleh dari hadis Nabi SAW.

Di samping itu, dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad SAW, adanya pemalsuan hadis yang disebabkan adanya perbedaan madzhab dan aliran, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunan yang beragam serta adanya periwayatan bi al-ma'na dan periwayatan bi al-Lafd}i. Sebab-sebab itulah yang mendorong pentingnya melakukan penelitian hadis ini.

Tujuan pokok penelitian hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini, baik dari segi sanad maupun dari segi matan adalah untuk mengetahui kualitas hadis ini. Sehingga diketahui tentang kehujjahan hadis ini. Sampai

10 Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah


(14)

6

akhirnya di dalam penelitian ini melakukan analisis mengenai pemaknaan Hadis Turunnya Allah ke Langit Dunia dan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diketahui identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Pandangan Ulama mengenai hadis turunnya Allah ke langit dunia. 2. Waktu turunnya Allah ke langit dunia

3. Pemaknaan an-Nuzul.

4. Implikasi hadis dalam kehidupan manusia. 5. Kualitas hadis turunnya Allah ke langit dunia. 6. Kehujjahan hadis turunnya Allah ke langit dunia.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Bagaimana kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446?

2.Bagaimana pemaknaan Hadis Turunnya Allah ke Langit Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446?

3.Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?

D. Tujuan Penelitian


(15)

7

1.Untuk mengidentifikasi kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.

2.Untuk menemukan pemaknaan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.

3.Untuk menemukan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada realitas sosial, adapun kegunaannya antara lain:

1.Dari segi teoritis: untuk menambah wawasan, wacana dan khazanah ilmu pengetahuan keislaman pada umumnya, dan dalam bidang hadis pada khususnya.

2.Dari segi praktis: hasil penelitian ini diharapkan agar mendapatkan kepastian tentang nilai pada hadis-hadis tersebut untuk dijadikan landasan atau pedoman dalam kehidupan.

F. Penegasan Judul

Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman, maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:


(16)

8

Turun :Bergerak ke arah bawah; bergerak ke tempat yang lebih rendah daripada tempat semula.11

Allah :Nama Tuhan dalam Bahasa Arab; pencipta alam semesta yang mahasempurna; Tuhan yang Maha Esa yang disembah oleh orang yang beriman.12

Langit Dunia :Ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya bulan, bintang, matahari, dan planet yang lain; dimana bumi di pijak; Bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya; planet tempat kita hidup.13

Kitab Sunan al-Tirmidhi>: Imam al-Tirmidhi>, Vol.1, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, No 446.

Ma’ani hadis :Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan

memahami hadis Nabi Muhammad SAW.14

Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul adalah untuk mencari makna hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.

11 Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Cet. 1 (Surabaya: Amelia, 2002), 577. 12Ibid,. 29.

13Ibid,. 264.

14 Abdul Mustaqim, Ilmu Maani al-Hadis Paradigma Interkonektif: Berbagai Teori dan


(17)

9

G. Telaah Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa sumber-sumber rujukan baik yang primer maupun yang sekunder, seperti al-Qur'a>n, dan kitab-kitab hadis. Penulis juga telah membaca literatur yang menjadi telaah pustaka diantaranya:

1. Jurnal "Mengenal Allah: Cara dan Manfaatnya" yang ditulis oleh Abudin Nata, edisi mimbar agama dan budaya volume: 17 nomer: 3 2000, IAI. Dalam jurnal tersebut dijelaskan tentang cara mengenal Allah dan manfaat mengenal Allah.

2.

Skripsi dengan judul Konsistensi Status Hasan Imam Tirmidhi> dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi. Skripsi ini disusun oleh Hosnol Khotimah, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016. Dalam skripsi ini fokus pembahasannya pada kajian kitab Sunan al-Tirmidhi>.

H. Metode Penelitian

Yang dimaksud metode adalah suatu cara tentang bagaimana menyelidiki, mempelajari dan melaksanakan sesuatu cara sistematis, efektif dan terarah.15 Sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

15 A. Mursal Thohir, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997),


(18)

10

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Data kualitatif adalah Data yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata atau bukan dalam bentuk angka. Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang mempunyai relefansi dengan permasalahan penelitian ini.

Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Sehingga penulisan ini menggunakan model penelitian kualitatif. Dalam penelitian dilakukan dengan menelusuri secara langsung dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>, juga beberapa kitab hadis yang dinilai masih terkait.

2. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian, menurut Suharsimi Arikunto adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yakni:


(19)

11

a. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai, yaitu: Kitab Sunan Tirmidhi> karya Abu> Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa ibn al-Dhah}ak al-Sulami al-Tirmidhi> beserta syarahnya.

b. Sumber sekunder yakni kitab hadis standar lainnya yang dijadikan sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:

1) Kitab S{ahih Al-Bukha>ri> karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Isma>il ibn al-Mughi>rah ibn Bardhibah.

2) Kitab S{ahih Muslim karya Abu H{usai>n Muslim ibn H{ajja>j al-Qusyairi> al-Nasaiburi.

3) Kitab Sunan Abu> Da>wu>d karya Sulai>ma>n Ibn al-Ash’as ibn Ish}a>q ibn Shida>d ibn Amr al-Azdi al-Sijista>ni.

4) Kitab Sunan Ibnu Ma>jah karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Yazi>d ibn Ma>jah al-Rabi’I al-Qazwini.

5) Kitab al-Muwat}t}a>’ Ima>m Ma>lik karya Abu> Abdulla>h Ma>lik bin Anas bin Ma>lik bin Abi> Ami>r H{ari>th al-Asbah}i.

6) Tahdibu>t tahdi>b karya Ibnu Ha>jar al-Asqola>ni.

7) Tahdhi>b al-Kama>l Fi> Asma>’i al-Rija>l karya Jam>aluddi>n al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>.


(20)

12

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu: pertama Takhri>j al-H{adi>th, secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengeluarkan hadis dari sumber asli. Maka Takhri>j al-H{adi>th merupakan langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis. Dan kedua I’tiba>r al-H{adi>th dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja.16 Dengan dilakukannya I’tiba>r, maka akan

terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.

4. Analisis Data

Analisa data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data dan hadis akan meliputi dua komponen tersebut.

16 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(21)

13

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-h}adi>th dan al-jarh}} wa al-ta’di>l, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (Tah}}ammu>l wa ada’). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan ekspilit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis -hadis lain yang kualitasnya sahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.17 Selain itu juga digunakan metode memahami matan dengan menggunakan metode ma'ani al-h}adi>th dengan pendekatan-pendekatan untuk memahami kandungan yang ada di dalam matan hadis tersebut, agar dapat memahami hadis tersebut secara benar dan tepat.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mudah, jelas dan dapat dimengerti, maka di dalam proposal ini secara garis besar akan penulis uraikan pembahasan pada masing-masing bab sebagai berikut :

17 Hasjim Abbas, “Pembakuan Redaksi Matan Hadis Pasca al-Kutub al-Sittah dalam Konteks Hukum”, Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 2 No. 1 (Januari, 2002), 6-7.


(22)

14

Bab satu berisi pendahuluan yang mencakup tentang gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan proposal ini, meliputi : latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian serta pada akhir bab tentang sistematika pembahasan.

Bab dua merupakan landasan teori yang membahas tentang kriteria status hadis, teori kehujjahan hadis, dan teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan landasan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.

Bab tiga merupakan data Kitab Sunan al-Tirmidhi> dan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, merupakan penyajian data tentang Imam Mukharij dan kitabnya yang meliputi Biografi Ima>m al-Tirmidhi>, Kitab Sunan al-Tirmidhi>, Data Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, Skema Sanad dan l'tibar, Syarah Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia.

Sedangkan bab empat merupakan analisis data yang menjadi tahapan setelah seluruh data terkumpul, terdiri dari kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, didalamnya termasuk membahas analisa sanad dan matan hadis. Kemudian pemaknaan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia dan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

Bab lima merupakan bagian penutup, yang meliputi: kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(23)

15

BAB II

METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS

A. Status Hadis

Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat (hujjah) apabila memenuhi syarat-syarat ke-sahih-an, baik dari aspek sanad maupun matan. Ibnu al-Shalah menyatakan sebuah definisi hadis sahih yang disepakati oleh para muh>}addithi>n, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Isma’il:

اهتنم َإ طباضلا لدعلا لقنب دانسإ لصتي يذلا دنسما ثيدْا وهف :حيحصلا ثيدْا امأ

َلعم لو اذاش نوكي لو

"Adapun hadis shahih ialah hadis yangbersambung sanadnyasampai kepadaNabi

diriwayatkanolehperiwayatyang 'adildanz}a>bit}sampaiakhirsanad, (di dalam hadis tersebut) tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat ('illat)."1

Dari definisi di atas, maka hadis yang berkedudukan sahih baik dari segi sanad maupun matan adalah jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Ketersambungan sanad

2. Periwayat bersifat 'adil dan z}a>bit} 3. Terhindar dari sha>dh

4. Terhindar dari 'illat

1 M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 64.


(24)

16

Syarat-syarat terpenuhinya kesahihan ini sangatlah diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.2

a. Kesahihan Sanad

Salah satu keistimewahan periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Muhammad SAW yang semua itu harus diterima dari para periwayat yang 'adil dan z}a>bit}.3

Sanad atau isnad ini diyakini sebagai jalan yang meyakinkan dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa pernyataan ulama berikut ini menjadi bukti atas pernyataan tentang pentingnya sanad ini. Muhammad Ibn Sirin menyatakan bahwa "sesungguhnya isnad merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya". Abdullah ibn Al-Mubarak menyatakan bahwa "isnad merupakan bagian dari agama jika tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka hatinya".

Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan. Imam Nawawi juga menegaskan apabila sanad suatu hadis

2 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis Cet. 1 (Malang:

UIN-Malang Press, 2008), 13.


(25)

17

berkualitas sahih, maka hadis tersebut bisa diterima, tetapi apabila tidak maka hadis tersebut harus ditinggalkan.

Nilai dan kegunaan sanad tampak jelas bagi seseorang untuk mengetahui keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari keadaannya dalam kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad yang muttas}il dan munqat}i'. Jika tidak terdapat sanad, tidak dapat diketahui hadis yang sahih dan yang tidak sahih.4

Dalam hubungannya dalam penelitian sanad, maka unsur-unsur kaedah kesahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada yang berhubungan dengan keadaan pribadi para periwayat.5

Agar suatu sanad bisa dinyatakan sahih dan dapat diterima, maka sanad tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung, memiliki kualitas pribadi yang 'adil dan memiliki kapasitas intelektual z}a>bit}, terhindar dari sha>dh dan ‘illat.

a) Persambungan Sanad

Sanad yang bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat

4Mahmud al-T{ah}h}a>n,Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya:

Bina Ilmu, 1995), 99.

5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 66.


(26)

18

sebelumnya yang mana hal ini terus berlangsung sampai akhir sanad. Jadi, seluruh rangkaian periwayat mulai yang disandari mukharij sampai perawi yang menerima hadis dari Nabi, saling memberi dan menerima dengan perawi terdekat.

Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya suatu sanad, muh>}addithi>n menempuh langkah-langkah sebagai berikut: pertama, mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti. Kedua, mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab rija>l al-h}adi>th (kitab yang membahas sejarah hidup periwayat hadis) dengan tujuan untuk mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat satu zaman dan hubungan guru murid dalam periwayatan hadis. Ketiga, meneliti lafad yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat terdekatnya dalam sanad.6 Al-Khatib al-Baghdadi

memberikan term sanad bersambung adalah seluruh periwayat thiqah ('adil dan z}a>bit}) dan antara masing-masing periwayat terdekatnya betul-betul telah terjadi hubungan periwayatan yang sah menurut ketentuan tahammul wa al-'adalah al-h}adi>th yaitu kegiatan penyampaian dan penerimaan hadis.

6 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Cet. 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1988),


(27)

19

Berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas periwayat terbagi kepada thiqah dan tidak thiqah. Dalam penyampaian riwayat, periwayat yang thiqah memiliki akurasi yang tinggi karena lebih dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan bagi periwayat yang tidak thiqah, memerlukan penelitian tentang keadilan dan ke-z}a>bit}-an-nya yang akurasinya di bawah perawi yang thiqah.

b) Kualitas Pribadi periwayat ('adil)

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kualitas pribadi periwayat haruslah adil. Dalam memberikan pengertian istilah 'adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan itu dapat disimpulkan kriterianya pada empat hal, yaitu: Pertama, beragama Islam. Kedua, Mukallaf yakni baligh dan berakal. Ketiga, melaksanakan ketentuan agama yang dimaksud adalah teguh dalam agama, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat maksiat dan berakhlaq mulia. Keempat, memelihara muru'ah yaitu kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan.7

Sifat-sifat keadilan para perawi dapat dipahami melalui popularitas kepribadian yang tinggi tampak dikalangan ulama hadis.

7 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(28)

20

Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam kepribadiannya. Penerapan kaidah al-jarh} wa ta'di>l, apabila tidak ditemukannya kesepakatan diantara kritikus perawi mengenai kualitas pribadi para perawi.8

c) Kapasitas Intelektual Periwayat (z}a>bit)

Periwayat yang kapasitas intelektualnya memenuhi syarat keshahihan sanad hadis disebut sebagai periwayat yang z}a>bit}

.

Arti harfiah z}a>bit} ada beberapa macam, yakni dapat berarti kokoh, yang kuat, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. Ulama hadis memang berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah z}a>bit}, namun perbedaan itu dapat dipertemukan dengan memberikan rumusan sebagai berikut: Pertama, periwayat yang bersifat z}a>bit} adalah periwayat yang hafal dengan sempurna hadis yang diterima dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya. Kedua, periwayat yang bersifat z}a>bit} adalah periwayat yang selain disebutkan di atas juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.9

d) Terhindar dari sha>dh

8 Manzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 131.

9 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(29)

21

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian sha>dh suatu hadis. Dari berbagai pendapat yang ada, yang paling popular dan banyakdiikuti sampai saat ini adalah pendapat Imam al-Syafi’I (wafat 204 H/ 820 M), yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak riwayat yang lebih thiqah.10

Dari pendapat Imam Syafi’I tersebut dapat dinyatakan

bahwa kemungkinan suatu hadis mengandung sha>dh, apabila hadis tersebut memiliki sanad lebih dari satu. Apabila suatu hadis hanya diriwayatkan oleh seorang thiqah saja, dan pada saat yang sama tidak ada perawi yang lain yang meriwayatkan, maka hadis tersebut tidak dikatakan sha>dh. Artinya hadis yang hanya memiliki satu sanad saja tidak tidak dikenal kemungkinan mengandung sha>dh.11

Salah satu langkah penting untuk menetapkan kemungkinan terjadinya sha>dh dalam hadis adalah dengan cara membanding-bandingkan suatu hadis dengan hadis lain yang satu tema.

Dengan demikian sha>dh adalah kejanggalan riwayat, dimana kejanggalan riwayat itu bertentangan dengan riwayat banyak perawi lain yang lebih thiqah. Dengan demikian, di

10 Abu Abdullah al-Hakim al-Nasaiburi, Ma’rifatu Ulum al-Hadith (Kairo: Maktabah

al-Muntanabbi, t.th), 119.


(30)

22

samping ukurannya adalah kualitas riwayat, juga secara kuantitas sanadnya, perawi thiqah itu kalah banyak dengan perawi thiqah lain yang mempunyai riwayat yang menyelisihinya.

e) Terhindar dari ‘illat

Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa pengertian ‘illat disini bukanlah pengertian ‘illat secara umum, yakni cacat yang disebut sebagai tha’nu al-hadis atau jarh. Maksud ‘illat dalam hal ini adalah sebab-sebab tersembunyinya yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang secara lahiriyah tampak berkualitas sahih, menjadi tidak sahih.12

Langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah menghimpun seluruh sanad untuk matan yang satu tema, kemudian diteliti untuk membandingkan sanad satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan matannya ia perlu dibandingkan dengan matan-matan yang lain. Apabila bertentangan dengan mata-matan hadis lainnya yang senada, atau kandungannya bertentangan dengan al-Qur’an, maka berarti mengandung ‘illat.

Dengan demikian ‘illat adalah suatu sebab yang samar dan tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis, meskipun secara dhahir kelihatannya selamat dari cacat. Seperti periwayatan anak

12Nuruddin ‘Itr,


(31)

23

kepada bapaknya sendiri. Secara dhahir dihukumi muttasil (bersambung), namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut ternyata tidak ditemukan indikasi anak meriwayatkan hadis itu dari bapaknya, karena anak lahir ketika bapaknya telah meninggal dunia.13

Dalam melakukan penelitian kualitas sanad hadis dikenal cabang keilmuan yang disebut ilmu rija>l al-h}adi>th, yaitu ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis. Ilmu ini berfungsi untuk mengungkap data-data para perawi yang terlibat dalam civitas periwayatan hadis dan dengan ilmu ini juga dapat diketahui sikap ahli hadis yang menjadi kritikus terhadap para perawi hadis tersebut.14

Ilmu rijal al-hadith itu terbagi menjadi dua macam ilmu yang utama, yaitu ilmu Tari>kh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l.15

1. Ilmu Tari>kh al-Ruwah

Muhammad 'Ajjaj al-khatib mendefinisikan ilmu Tari>kh al-Ruwah ialah ilmu untuk mengetahui para rawi dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadis.16

13 Zainuddin dkk., Studi Hadis Cet. 3 (Surabaya: UINSA Press, 2013), 162.

14 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis Cet. 1 (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,

2003), 6.


(32)

24

Dengan ilmu ini, dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua rawi yang menerima, menyampaikan atau yang melakukan tranmisi hadis Nabi Saw sehingga para rawi yang dibahas adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat, tabi'in sampai mukharij hadis.17

2. Ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l.

Dalam terminologi ilmu hadis, al-Jarh} berarti menunjukkan sifat-sifat tercela bagi seorang perawi sehingga merusak atau mencacatkan keadilan dan ke-z}abit}-an-nya. Adapun ta'di>l diartikan oleh al-Khatib sebagai upaya mensifati perawi dengan sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilan agar riwayatnya diterima.

Berdasarkan definisi di atas, maka ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l adalah ilmu yang membicarakan masalah keadaan perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadilan maupun sifat-sifat yang menunjukkan kecacatan yang bermuara pada penerimaan atau penolakan terhadap riwayat yang disampaikan.18

16Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadith (Bandung: Al-Maarif, 1974), 295. 17 Suryadi, Metodologi Ilmu, 18.

18 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis Cet. 1 (Malang:


(33)

25

Dalam ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l dikenal beberapa kaidah dalam men-jarh dan men-ta'di>l -kan perawi, diantaranya:19

حرْا ىلع مدقم ليدعتلا

"Penilaianta'di>ldidahulukanataspenilaianJarh}”.

Dalam kaidah ini apabila ada kritikus yang memuji seorang rawi dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut. Alasannya karena sifat terpuji itu merupakan sifat dasar perawi dan sifat tercela adalah sifat yang datang kemudian. Kaidah ini digunakan al-Nasa>'i namun umumnya ulama hadis tidak menerima.

ليدعتلا ىلع مدقم حرْا

"Penilaian Jarh}didahulukanataspenilaian ta'di>l”.

Kaidah ini didasarkan pada asumsi bahwa pujian itu timbul karena persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan. Kaidah ini didukung oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh.

كْاف لدعماو حراْا ضراعت اذإ

م

رسفما حرْا تبث اذإ لإ لدعملل

19M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(34)

26

"Apabila terjadi pertentangan antara pujian dan celaan ,maka yang

harus dimenangkan adalah pujian, kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya".

Kaidah ini dikemukakan oleh jumhur ulama kritikus hadis dengan cacatan, penjelasan tentang ketercelaan itu harus relevan dengan upaya penelitian.

إ

ل هحرج لبقي َف افيعض حراْا ناك اذ

ل

ةقث

"Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah golongan

orang yang d}a'if, maka kritikannya terhadap orang yang thiqah tidak diterima".

Kaidah ini juga banyak didukung ulama kritik hadis.

ى ابشأا ةيشخ تبثتلا دعب لإ حرْا لبقيل

نحورجا

"Al-jarh} tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya".

Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara periwayat yang dikritik dengan periwayat yang lain. Sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan. Kaidah ini juga banyak digunakan para ulama ahli kritikus hadis.

انلا حرْا

ش

هب دتعي ل ةيويند ةوادع نع ئ

"Al-jarh} dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan".


(35)

27

Hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif. Pada dasarnya banyak sekali muncul kaidah-kaidah yang berkenaan dalam hal ini, namun enam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam kitab hadis. Akan tetapi pada intinya, tujuan penelitian adalah bukan untuk mengikuti kaidah tertentu melainkan penggunaan kaidah tersebut harus disesuaikan dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.

3. Lambang-lambang Metode Periwayatan.

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa sanad hadis selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat lambing-lambang atau lafal-lafal yang memberi petunjuk tentang metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.20

Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan dalam periwayatan hadis, dalam hal ini untuk kegiatan tah}ammulul hadis, bentuknya bermacam-macam, misalnya sami'tu, sami'na>, h}addathani>, h}addathana>, 'an dan anna>.

20M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(36)

28

Sebagian dari lambing-lambang itu ada yang disepakati penggunaannya dan ada yang tidak disepakati.

Sebagian ulama menyatakan bahwa sanad yang mengandung huruf 'an sanadnya terputus. Tetapi mayoritas ulama menilai bahwa sanad yang menggunakan lambang periwayatan huruf 'an termasuk dalam metode al-sama' apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Dalam sanad yang mengandung huruf 'an itu tidak terdapat penyembunyian cacat (tadli>s) yang digunakan oleh periwayat.

b. Antara periwayat dengan periwayat terdekat yang diantara huruf 'an itu dimungkinkan terjadi pertemuan. c. Periwayat yang menggunakan lambing ‘an ataupun anna

itu adalah periwayat yang terpecaya (thiqah).21

Sehingga mayoritas para ulama telah menetapkan bahwa metode periwayatan hadis ada delapan macam, yakni:22

1) Sama' yaitu seorang murid mendengar langsung dari gurunya. Lafad yang biasa digunakan adalah

ن خأ ،ينثدح ، نثدح ،تع س

21 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Cet. 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 62-63.

22M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(37)

29

2) 'Ardl yaitu seorang murid membacakan hadis (yang didapatkan dari guru lain) di depan gurunya. Lafad yang biasa digunakan adalah

هيلع أ ق ،ع سأ نأو اف ىلع أ ق

3) Ija>zah yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah hadis tanpa membaca hadis tersebut satu persatu. Lafad yang biasa digunakan adalah

وأ ىت ع و سم عي ج كل زجأ ،ىنع ىنافلا تكلا ياور كل زجأ يت يو م

4) Munawalah yaitu guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang yang meriwayatkannya. Dalam munawalah ada yang disertai ijazah, lafad yang digunakan جإ نثدح ، نأ نأ ، جإ ،ىنأنأsedangkan munawalah yang tanpa ijazah menggunakan lafad ، نلو ن

ىنلو ن

5) Kitabah/muka>tabah yaitu seorang guru menuliskan rangkaian hadis untuk seseorang. Lafad yang digunakan


(38)

30

6) I'la>m yaitu memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi hadis tertentu. Lafad yang digunakan ماعإ ن خأ

7) Was}iyah yaitu seorang guru mewariskan buku-buku hadisnya. Lafad yang digunakan يلإ ىصوأ

8) Wijadah yaitu menemukan sejumlah buku-buku hadis yang ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal namanya. Lafad yang digunakan

اف نع ىنغلب / اف نع دجو ، اف نثدح اف طخب دجو

Sedangkan kata yang sering dipakai dalam meriwayatkan hadis antara sanad satu dengan sanad yang lain adalah ىنأ نأ ، نأ نأ ،ىن خأ ،ىنثدح ، ن خأ ، نثدح

b. Kesahihan Matan

Matan secara etimologi berarti punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminologi matan adalah cerminan konsep ideal yang diberikan dalam bentuk teks, kemudian difungsikan sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.23

Mayoritas ulama hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis menjadi penting untuk dilakukan setelah sanad bagi matan hadis tersebut


(39)

31

diketahui kualitasnya. Ketentuan kualitas ini adalah dalam hal kesahihan sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat ke-d}a'if-an-nya.24

Apabila merujuk pada definisi hadis sahih yang diajukan Ibnu al-Shalah, maka keshahihan matan hadis tercapai ketika telah memenuhi dua kriteria, antara lain:25

1) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan (sha>dh) 2) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kecacatan ('illat)

Maka dalam penelitian matan, dua unsur tersebut harus menjadi acuan utama tujuan dari penelitian. Karakteristik keshahihan matan dikalangan ulama hadis sangat bercorak. Corak tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian, alat bantu dan persoalan serta masyarakat yang dihadapinya. Sebagaimana pendapat Khatib al-Baghdadi, bahwa satu matan hadis dapat dinyatakan maqbul sebagai hadis yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap).

b) Tidak bertentangan dengan hadis mutawattir.

c) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan para ulama masa lalu.

24 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,

1992), 123.


(40)

32

d) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti.

e) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.

f) Tidak bertentangan dengan akal sehat.

Butir-butir tolak ukur yang dikemukakan oleh al-Baghdadi itu terlihat ada tumpang tindih. Masalah bahasa, sejarah dan lain-lain yang oleh sebagian ulama disebut sebagai tolak ukur.26

Secara singkat Ibn al-Jauzi memberikan tolak ukur kesahihan matan, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal maupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadis maudu'. Karena itulah Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama yang menyangkut aqidah dan ibadah.27

Dalam prakteknya, ulama hadis memang tidak memberikan ketentuan yang baku tentang tahapan-tahapan penelitian matan. Karena tampaknya, dengan keterikatan secara letterlick pada dua acuan di atas, akan menimbulkan beberapa kesuliatan. Namun hal ini menjadi kerancuan juga apabila tidak ada kriteria yang lebih mendasar dalam memberikan

26 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,

1992), 126.

27 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo, 2004),


(41)

33

gambaran bentuk matan yang terhindar dari sha>dh dan 'illat. Dalam hal ini, S{alah} al-Di>n al-Adhlabi dalam kitabnya Manh}aj Naqd Matan cinda> al-Ulama’ al-H{adi>th al-Nabawi mengemukakan beberapa kriteria yang menjadikan matan layak untuk dikritik, antara lain:28

1) Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan. 2) Rusaknya makna.

3) Berlawanan dengan al-Qur'an yang tidak ada kemungkinan ta'wil padanya ataupun hadis mutawattir yang telah mengandung suatu petunjuk secara pasti.

4) Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa Nabi. 5) Sesuai dengan madzhab rawi yang giat mempropagandakan

madzhabnya.

6) Hadis itu mengandung sesuatu urusan yang mestinya orang banyak mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya kecuali satu orang.

7) Mengandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil.

8) Susunan bahasanya rancu.

9) Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional.

28 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(42)

34

10) Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam atau tidak sesuai dengan shari>'at Islam.

11) Isinya bertentangan dengan hukum dan Sunnatullah.

Selanjutnya, agar kritik matan tersebut dapat menentukan keshahihan suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis, para ulama telah menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat kategori, antara lain:29

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat.

3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah. 4) Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Dengan kriteria hadis yang perlu dikritik serta tolak ukur kelayakan suatu matan hadis di atas, dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya unsur-unsur kaidah kesahihan matan hadis tersebut hanya dua item saja, tetapi aplikasinya dapat meluas dan menuntut adanya pendekatan keilmuan lain yang cukup banyak dan sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.

B. Kehujjahan Hadis

Hadis adalah segala perkataan, perbuatan serta hal-hal yang berkaitan dengan Nabi SAW. Hadis yang seperti itulah yang kemudian oleh kebanyakan

29 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(43)

35

ulama dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan hukum syariat. Dalam kedudukannya yang sangat penting tersebut, hadis haruslah benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan adanya kenyataan tentang rentang waktu yang cukup panjang antara masa nabi dengan masa pembukuan hadis itu sendiri.

Seperti yang telah diketahui, syarat-syarat yang merupakan komponen ukuran untuk mengetahui dapat diterima atau harus ditolaknya suatu hadis dilengkapi dengan teknik penerapannya atas keadaan sanad dan matan hadis. hadis yang dapat diterima (al-H{adith al-Maqbu>l) terbagi sebagai berikut, yaitu: hadis s}ah}i>h} dan hadis hasan,. Mengenai teori kehujjahan hadis, para ulama mempunyai pandangan sendiri antara tiga macam hadis di atas. Bila dirinci, maka pendapat mereka adalah sebagai berikut:

1. Kehujjahan Hadis S}ah}i>h}

Hadis s}ah}i>h} adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, sempurna hafalannya (z}a>bit}), sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan sha>dh. klasifikasi hadis s}ah}i>h} terbagi dalam dua bagian yakni hadis s}ah}i>h} lidha>tihi dan s}ah}i>h} lighayrihi. Hadis s}ah}i>h} lidha>tihi yaitu hadis s}ah}i>h} yang syarat-syaratnya seperti yang saya sebutkan di atas. Sedangkan hadis s}ah}i>h} lighayrihi adalah hadis h}asan lidha>tihi apabila diriwayatkan melalui jalur lain yang semisal atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang sama maupun hanya maknanya saja yang sama, maka kedudukan hadis


(44)

36

tersebut menjadi kuat dan meningkat kualitasnya dari tingkat hasan ketingkatan yang sahih.30

Bila ditinjau dari sifatnya, klasifikasi hadis s}ah}i>h} terbagi dalam dua bagian yakni hadis maqbu>l ma'mulin bihi dan hadis maqb>ul ghai>ru ma'mulin bihi. Dikatakan sebuah hadis itu hadis ma>qbul ma'mulin bihi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:31

a. Hadis tersebut muhkam yakni dapat digunakan untuk memutuskan hukum, tanpa shubhat sedikitpun.

b. Hadis tersebut mukhtalif (berlawanan) yang dapat dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.

c. Hadis tersebut rajih yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.

d. Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.

Sebaliknya, hadis maqb>ul ghai>ru ma'mulin bihi yang memenuhi kriteria antara lain: mutashabbi>h (sukar dipahami), mutawaqqaf fihi (saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan), marjuh (kurang kuat dari pada hadis maqbul lainnya), mansukh (terhapus oleh hadis maqbul yang datang berikutnya) dan hadis maqbu>l yang maknanya

30 Nurudin itr, Ulumul Hadis Cet. 1 (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 270. 31 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,


(45)

37

berlawanan dengan al-Qur'an, hadis mutawattir, akal sehat dan ijma>' para ulama.32

2. Kehujjahan Hadis H{asan

Hadis H{asan adalah hadis yang sanadnya bersambung, periwayatnya ‘adil, akan tetapi tingkat kekuatan hafalannya rendah dan tidak terdapat ‘illat dan sha>dh. Ibnu al-Shalah berkata, rawi hadis hasan adalah orang yang dikenal jujur dan dapat dipercaya, tetapi tidak mencapai tingkatan para rawi hadis sahih, karena tingkat hafalannya masih dibawa mereka.33

Klasifikasi hadis h}asan terbagi dalam dua bagian yakni h}asan lidha>tihi dan h}asan lighayrihi. Hasan lidha>tihi adalah hadis yang memenuhi syarat hadis di atas. Sedangkan hadis h}asan lighayrihi adalah hadis yang kualitasnya meningkat menjadi hadis hasan karena diperkuat oleh hadis lain. Jenis hadis inilah yang dimaksud oleh Imam al-Tirmidhi> dalam definisinya tentang hadis hasan.34

Akan tetapi para muhaddithin tetap menganggap hadis hasan sebagai suatu jenis tersendiri, karena hadis yang dapat dipakai hujjah itu

32 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,

1992), 145-147.

33 Nurudin itr, Ulumul Hadis Cet. 1 (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), 266


(46)

38

adakalanya berada pada tingkat tertinggi, yakni hadis sahih; atau pada tingkat terendah yakni hadis hasan.

Menurut seluruh fuqaha, hadis hasan dapat diterima sebagai hujjah dan diamalkan, karena telah diketahui kejujuran rawinya dan keselamatan perpindahannya dalam sanad. Demikian pula pendapat kebanyakan muhaddithin dan ahli ushul.

C. Pemaknaan Hadis

Pada dasarnya, teori pemaknaan dalam sebuah hadis timbul tidak hanya karena faktor keterkaitan dengan sanad, akan tetapi juga disebabkan oleh adanya faktor periwayatan secara makna. Secara garis besar, penelitian matan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni dengan pendekatan Bahasa, Tasawuf (sufistik), dan Psikologi.

1. Pendekatan Bahasa

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan dengan pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapatkan


(47)

39

pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah:

a. Mendeteksi hadis yang mempunyai lafal yang sama.

Pendeteksian lafal hadis yang sama ini dimaksudkan untuk mengetahui beberapa hal, antara lain:35

1) Adanya idraj (sisipan lafal hadis yang bukan berasal dari Rasulullah SAW).

2) Adanya Idtirab (pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih). 3) Adanya al-Qalb (pemutarbalikan matan hadis).

4) Adanya penambahan lafal dalam sebagian riwayat (ziya>dah al-thiqah).

b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi.

Bahasa Arab telah dikenal sebagai bahasa yang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan. Ungkapan majaz menurut ilmu balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki. Rasulullah Saw juga sering menggunakan ungkapan majaz dalam menyampaikan sabdanya.


(48)

40

Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi, 'aqli, isti'arah, kinayah dan isti'arah tamthiliyyah atau ungkapan lainnya yang tidak mengandung makna sebenarnya. Makna majaz dalam pembicaraan hanya dapat diketahui melalui qarinah yang menunjukkan makna yang dimaksud.

Dalam ilmu hadis, pendeteksian atas makna-makna majaz tersebut termasuk dalam pembahasan ilmu ghari>b al-h}adi>th. Karena sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Shalah bahwa ilmu ghari>b al-h}adi>th adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafal-lafal dalam matan hadis yang sulit dipahami karena jarang digunakan.36 Tiga metode di atas merupakan sebagian dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus digunakan seperti ilmu nahwu dan sharaf sebagai dasar keilmuan dalam bahasa Arab.

2. Pendekatan Tasawuf

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan tasawuf tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan


(49)

41

terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan dengan pendekatan tasawuf perlu dilakukan untuk mendapatkan pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan tasawuf ini adalah:

a. Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara mengadakan Riyyadah pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).37 Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi,yaitu: 38

1) Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela).

Takhalli berarti mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa buruknya, tercela sifat-sifat tersebut. Adapun sifat-sifat tercela

yang harus dihilangkan antara lain syirik, hasad, marah, riya’, dan

ujub. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, perlu dilakukan cara seperti berikut:

37 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2005), 233.


(50)

42

a)Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah. b)Muh}a>sabah (koreksi).

c)Riya>d}ah (latihan) dan mujahadah (perjuangan).

d)Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat terhadap kebiasaan yang buruk dan menggantinya dengan kebiasaan baik.39

2) Tahalli (menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji).

Tahalli yaitu menghias diri dengan jalan membiasakan sikap dan sifat serta perbuatan yang baik. Langkahnya membina pribadi agar memiliki akhlak karimah dan senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam bertakhalli). Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat ketuhanan, seperti mengesakan Allah, taubat, zuhud, wara', sabar, syukur, rida,

tawakkal dan qana’ah.

3) Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).

Tajalli adalah hati seseorang terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu sifat-sifat kemanusiaan atau nur yang selama ini tersembunyi (ghaib) atau fana selain Allah ketika tampak (tajalli)


(51)

43

wajah-Nya. Al –Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan, diantaranya:40

a) Tajalli al-Af’al, yaitu tajallinya pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitas itu disertai kudrat dan iradat-Nya serta ketika itu ia melihat-Nya. Hal ini dapat berarti bahwa gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kudrat dan iradat-Nya.

b) Tajalli al-Asma’, yaitu lenyapnya seseorang dari dirinya dan bebas dari sifat-sifat kebaharuan serta lepas dari ikatan tubuh kasarnya.

c) Tajalli al-Sifat, yaitu seorang hamba menerima sifat-sifat ketuhanan, artinya tuhan mengambil tempat padanya tanpa hulu dzat-Nya. Tajalli Dzat, yaitu apabila Allah SWT menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang memfanakan dirinya, bertempatlah Dia padanya yang dapat berupa sifat dan dzat.

b.Tasawuf Amali.

Tasawuf Amali adalah tasawuf yan membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini,

40Abdul Karim Al-Jilli, Insa>n al-Ka>mil Fi> Ma’rifah al-Awa>khir wa al-Awa>’il (Beirut: Dar


(52)

44

tasawuf amali berkonotasikan tarekat. Tarekat dibedakan antara kemampuan sufi yang satu dengan yang lain. Ada seseorang yang dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah dan ada seseorang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Dari sinilah muncul strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan yang kemudian dikenal istilah murid, mursyid, dan wali.41

Dalam tasawuf amali yang berkonotasi tarekat ini mempunyai aturan, prinsip, dan sistem khusus. Oleh karena itu, ia mempunyai keistimewaan yang khusus seperti jiwa yang bersih.

c. Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orsinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang.42 Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi

menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Tasawuf falsafi tidak bisa hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dhauq), tetapi tidak dapat pula

41 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf Cet. 1(Jakarta: Amzah, 2012), 28.


(53)

45

dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.

Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para sufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar dikenal dengan syatahiyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami, yang sering mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar dan menimbulkan tragedi. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi.

Abu Yazid al-Bustami mempunyai teori ittihad, yaitu suatu tingkatan tasawuf dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah telah menjadi satu sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil dengan kata-kata “Hai Aku”. Dalam ijtihad, identitas telah menjadi satu. Karena fananya, sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Tokoh lainnya adalah al-Hallaj dengan ajaran hulul, yaitu suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat dua unsur yaitu unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur lahut (ketuhanan). Teori hulul ini lebih jauh dikembangkan oleh Ibnu Arabi dengan teori wahdah al-wujud. Dalam teori ini, Ibnu Arabi


(54)

46

mengubah nasut menjadi al-Khalq dan lahut menjadi al-haq. Kedua unsur tersebut pasti ada pada setiap makhluk sebagai aspek lahir dan batin.43

Paham yang dibawa oleh para sufi Falsafi menghadirkan pro dan kontra karena perbedaan latar belakang sudut peninjauan dan analisisnya. Dalam dunia tasawuf dikenal istilah fana dan baqa. Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang sufi telah

mencapai puncak tujuan yang diinginkannya, yaitu ma’rifat dan

hakikat hingga muncul kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-‘arif (orang yang mengetahui), dan al-ma’ruf (yang diketahui/Tuhan) adalah satu.

3. Pendekatan Psikologi

Untuk mengetahui dan memahami kandungan hadis ini. Ada beberapa faktor yang digunakan dalam pendekatan psikologi, yaitu:

a. Faktor Sosial dalam Agama

Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap


(55)

47

orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau.44

Tidak hanya keyakinan-keyakinan kita yang terpengaruh oleh factor-faktor sosial, pola-pola ekspresi emosional kita pun, sampai batas terakhir, bisa dibentuk oleh lingkungan sosial kita.

Faktor-faktor sosial juga tampak jelas dalam pembentukan keyakinan keagamaan, tetapi secara principal ia tidak melalui penampilan yang berlandaskan penalaran sehingga keyakinan-keyakinan seseorang terpengaruh oleh orang lain. Dalam semua kasus sugesti yang berhasil itu, gagasan yang disugestikan oleh tukang hipnotis bagi orang yang bersangkutan sudah berubah menjadi persepsi, perbuatan atau keyakinan.45

b. Faktor Alami dalam Agama.

Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa ada tiga jenis pengalaman yang bisa dimasukkan diantara berbagai faktor yang memberi sumbangan terhadap sikap keagamaan: pengalaman mengenai dunia nyata, mengenai konflik moral, dan mengenai keadaan-keadaan emosional tertentu yang tampak memiliki kaitan dengan agama.46

44 Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein Cet. 1 (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1992), 37.

45 Ibid., 38. 46 Ibid., 59.


(56)

48

Pengalaman kasar, bukan yang sudah dinalari atau yang berubah menjadi suatu argumen, sering digambarkan dalam karya satra. Salah satu contoh terkenal terdapat pada salah satu bab mengenai keterasingan dalam buku Thoreau, Walden.47 Ada tiga

unsur yang bisa dibedakan dalam sumbangan-sumbangan pengalaman di dunia nyata kepada sikap keagamaan: pengalaman-pengalaman mengenai manfaat, keharmonisan dan keindahan.48

Pengalaman mengenai manfaat timbul dari kenyataan bahwa beberapa benda di Alam Semesta dianggap bermanfaat bagi manusia; kehangatan yang menyenangkan, hujan-hujan yang tepat waktu, tanaman-tanaman yang tumbuh subur dan binatang-binatang jinak. Dalam hal sumbangan pengalaman di dunia nyata kepada sikap keagamaan ada lagi yang melebihi konsep tuhan sebagai pemasok kebutuhan-kebutuhan manusia. Ada juga kenyataan lain bahwa manusia dapat melihat di dunia itu suatu keharmonisan dan tujuan yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan manusia. Yang ketiga, adalah pengalaman mengenai keindahan di dunia nyata ini. Ini, tanpa ragu-ragu bisa dikatakan, bukan unsur penting dalam pengalaman banyak orang. Namun demikian, ada sejumlah orang

47 Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein Cet. 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992), 60.


(57)

49

yang bagi mereka dumnia tampak indah mengagumkan dan luar biasa.

c. Faktor Emosional dalam Agama

Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitannya dengan agama mereka. Ini bisa disebut faktor “emosional atau “afektif” dalam sikap keagamaan.49

Setiap pemeluk agama memiliki pengalaman emosional dalam kadar tertentu yang berkaitan dengan agamanya; bahkan boleh jadi mendalam sekali tanpa membedakan jenisnya dari pengalaman-pengalaman keagamaan kebanyakan orang lain. Bila kita berbicara tentang pengalaman keagamaan maka yang kita maksud bisa berupa pengalaman yang meskipun secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan-keagamaan tetapi ia cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan.50

Ada peribadatan-peribadatan keagamaan yang juga dapat mebimbulkan pengalaman-pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan merupakan tujuan utamanya.

49 Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein Cet. 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992), 87.


(58)

50

Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan-peribadatan itu akan terasa agak kosong dan bersifat formal semata-mata.

Pengalaman-pengalaman emosional seperti itu bisa timbul dari beberapa macam peribadatan keagamaan yang secara prinsipal tidak berusaha menimbulkan tanggapan emosional. Namun ada peribadatan-peribadatan keagamaan lainnya yang tampaknya ditujukan untuk mengintefsikan pengalamn-pengalaman emosional para pelakunya.51 Tujuan ini mendapat penilaian berbeda-beda pada

setiap tradisi keagamaan, sebagian beranggapan bahwa perasaan-perasaan para pelaku peribadatan itu hanya memiliki makna sekunder, sedangkan agama-agama lain yang benar-benar berusaha menimbulkan emosi yang kuat bisa beranggapan bahwa hal itu merupakan bukti akan turunnya “Ruh”.

51 Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein Cet. 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992), 93.


(59)

BAB III

KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI<> DAN HADIS TENTANG

TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA

A. Biografi Imam al-Tirmidhi>

Nama lengkap beliau Imam al-H{afiz Abu ‘Isa Saurah ibn Mu>sa> bin al-Dhah}ak al-Sulami al-Tirmidhi>. Namun beliau lebih populer dengan nama Abu ‘Isa, hal ini untuk membedakan al-Tirmidhi> dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama yang populer dengan nama tersebut seperti al-Tirmidhi> al-Kabi>r, al-H{aki>m al-Tirmidhi>, dan beliau sendiri. Tempat kelahiran beliau pada wilayah utara sungai Jihun (Amudariya) di sebuah kota kecil terletak disebelah utara Iran dan dikenal dengan kota Turmudh atau Tirmidhi>, dengan dialek setempat terbaca Tirmidhi>. Lahir pada tahun 209 H dan meninggal pada malam senin tanggal 13 Rajab 279 H1

dalam usia 70 tahun di kota yang sama. Kesamaan tempat lahir dan meninggal memberi pertanda bahwa sebagian besar dedikasi keilmuan Imam al-Tirmidhi dipersembahkan untuk masyarakat Islam di kampung halamannya.

Sebagian ulama sangat membenci sebutan tersebut dengan berargumen sabda Nabi Muhammad SAW yang dibawa oleh Abu> Shai>bah bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena Isa tidak punya ayah.

1 Ahmad Muhammad Shakir, Al-Jami al-S{ah}i>h} wahuwa Sunan al-Tirmidhi> Juz. 1 (Kairo:


(60)

52

Namun tetap saja itu tidak berpengaruh karena hal ini dimaksudkan untuk membedakan al-Tirmidhi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang juga terkenal dengan nama al-Tirmidhi,2 yaitu:

1. Abu> I<sa al-Tirmidhi>, pengarang kitab al-Jami’ al-S{ah}i>h} (lebih akrab dengan Sunan al-Tirmidhi>), tokoh yang menjadi pembahasan pada tulisan ini.

2. Abu> al-H{asan Ah}mad bin al-H{asan, yang masyhur dengan panggilan al-Tirmidhi> al-Kabi>r.

3. Al-H{akim al-Tirmidhi> Abu> Abdulla>h Muh}ammad Ali> bin al-H{asan bin Bashar, seorang zuhud, hafidz, muadzin, juga pengarang kitab yang biasa dengan sebutan al-H{akim al-tirmidhi>.

Imam Tirmidhi mencari hadis sejak kecil. Hidupnya banyak dicurahkan untuk menghimpun dan meneliti hadis. Ia pergi pertama kali ke Bukhara, kemudian Hijaz, Irak, Khurasan dan sebagainya dalam rangka hal tersebut. Di tempat-tempat itu ia selalu mencatat hadis yang didengar dari para ulama yang ditemuinya.3 Diantara ulama yang menjadi gurunya adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Qutai>bah bin Sa’ad al-Saqa>fi, Ish}a>k ibn Mu>sa, Mah}mud ibn Ghai>lan, Sa’i>d ibn Abdurrahma>n, Muh}ammad ibn Bashar, Ali ibn H}ajar, Ah}mad

2

Suryadi, “Kitab al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} karya al-Tirmidhi>”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an

dan Hadis, Vol. 3 No. 2 (Januari, 2003), 244.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan pada hadis Imam Tirmidhi> Nomor Indeks 446, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>

dengan jalur Qutaiba>h (W. 240 H), Ya’qu>b ibn ‘Abdirrah}man (W. 181

H), Suhai>l bin Abi> S{a>lih}, Abi>hi ialah Dhakwa>n Abu> S{a>lih} al-Sama>n

al-ziya>t al-Madani (W. 101 H), Abi> Hurai>rah (W. 57 H) yang

menerima hadis secara langsung dari Nabi SAW merupakan hadis

yang berkualitas H{asan S{ah}i>h}. Namun peneliti menduga

bahwasannya Ima>m Tirmidhi> dalam menilai sebuah hadis

mengatakan H{asan dari segi sanad dan S{ah}i>h} dari segi matan.

Sehingga Ima>m Tirmidhi> menggunakan teori al-Jarh}i muqoddamun

‘ala al-ta’di>l dalam menilai hadis tentang turunyya Allah ke langit

dunia. Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya status sanad hadis

tentang turunnya Allah ke langit dunia ini adalah s}ah}i>h}, karena

sanadnya muttasil dan semua perawinya thiqah. walaupun ada

perawi yang bernama Suhai>l ibn Abi> S{a>lih} ada kritikus Abu> Fatah}

al-Azdi yang mengatakan bahwa dia adalah s}odu>q, dan al-Nasa’i

mengatakan lai>sa bihi ba’thun, akan tetapi al-Ijliy mengatakan


(2)

132

al-jarhi}, sehingga apabila seorang perawi itu ada yang memuji dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih adalah pujian atas rawi

tersebut. Adapun nilai matan hadis tersebut s}ah}i>h}, karena dalam

kandungan matannya tidak ditemukan sha>dh (kejanggalan) dan ‘illat

(cacat). Serta tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih

kuat dan rasionalitas (akal).

Adanya analisa sanad dan matan hadis yang dijadikan tolak ukur, maka hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini berkualitas

s}ah}i>h}, akan tetapi hadis ini bisa memenuhi klasifikasi sebagai hadis

mutawatti>r ma’nawi, ditinjau dari banyak jumlah sanad. Dengan

demikian hadis ini bisa dijadikan hujjah atau landasan dalam pengambilan hukum serta bisa diamalkan.

2. Turunnya Allah ke langit dunia ini jika dikaitkan dalam pendekatan

bahasa termasuk dalam makna hakiki, dan jika dikaitkan dalam

pendekatan tasawuf termasuk dalam tasawuf akhlaq yang tajalli

al-Af’al.

3. Salat malam adalah ibadah yang biasa dikerjakan orang-orang saleh,

penghapus segala kesalahan dan pencegah dari perbuatan dosa.

Seseorang yang menginginkan do’anya diijabahi Allah maka ia akan

sadar dan mau melaksanakan salat malam dengan ikhlas pada setiap sepertiga malam terakhir. Karena Salat yang dilaksanakan pada waktu

sepertiga malam dengan khusyu’, ikhlas dan penuh pengharapan akan ridho Allah SWT. Akan mampu meningkatkan terhadap ketahanan


(3)

133

tubuh imunolog dan menghilangkan rasa nyeri pasien yang terkena kanker.

B. Saran

1. Dalam penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. 2. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, berharap agar hasil studi ini

dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lebih lanjut.

3. Selama seseorang muslim tersebut menyakini atau mengimani keesaan Allah dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi maka seseorang tersebut tidak akan tersesat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nuruddin. al-Madkhal ila Ulum al-Hadis. Madfinah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972.

__, Nurudin. ‘Ulumul Hadis. Cet. 1. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012.

Abbas, Hasyim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: TERAS, 2004.

Abu al-‘Ula> Muh}ammad Abdurrah}man, “Fi> Nuzu>lir Rabbi” dalam Tuh}fatul

Ah}wadhi> dalam Maktabah H{adith Shari>f, ver. 3.

Admin,

http://www.mozaikislamterkini.com/2016/01/keutamaan-shalat-malam-pada-waktu.html/ “Keutamaan Salat Malam Pada Waktu Sepertiga

Malam” (Selasa, 21 Februari 2017)

Amin, Ahmad. Etika; Ilmu Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. _____, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2012.

Anwar, Desi. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Cet. 1. Surabaya: Amelia, 2002. Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Cet. 2. Surabaya: Al-Muna, 2010.

Al-Asqala>ni>, Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar. Fath}ul Ba>ri. Vol. 6. Beirut: Dar

al-Ma’rifah, 1379.

al-Asqalani>, Ibnu H{ajar. Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Vol. 9. Beirut: Dar al-Kutb, 1995.

_________, Ibnu H{ajar. Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Vol. 11. Beirut: Dar al-Kutb, 1995.

_________, Ibnu H{ajar. Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Vol. 11. Beirut: Dar al-Kutb, 1995.

Azami, Muhammad Musthofa. Metodologi Kritik Hadis. terj. A. Yamin Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

al-Bukha>ri>, Imam. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.

Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.


(5)

Da>wu>d, Abu>. Sunan Abu> Da>wu>d. Vol. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994. Gibb, H.A.R. dan J.H. Kraemers. Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah. Teran Buzer

Hanbary: t.p., 1933.

Hasjim Abbas. “Pembakuan Redaksi Matan Hadis Pasca al-Kutub al-Sittah dalam

Konteks Hukum”. Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 2 No. 1. Januari, 2002.

Isma’il, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan bintang, 1988.

______, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Al-Jilli, Abdul Karim. Insa>n al-Ka>mil Fi> Ma’rifah al-Awa>khir wa al-Awa>’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.

Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2005. al-Khatib, Ajjaj. Usul al-Hadis Beirut: Darul Fikr, 2006.

al-Mizzi>, Jam>aluddi>n al-H{ajja>j Yu>suf. Tahdhi>b al-Kama>l Fi> Asma>’i al-Rija>l. Kairo: Dar al-Fikr, Vol. 8, 1994.

______, Jam>aluddi>n al-H{ajja>j Yu>suf. Tahdhi>b al-Kama>l Fi> Asma>’i al-Rija>l. Kairo: Dar al-Fikr, Vol. 15, 1994.

______, Jam>aluddi>n al-H{ajja>j Yu>suf. Tahdhi>b al-Kama>l Fi> Asma>’i al-Rija>l. Kairo: Dar al-Fikr, Vol. 21, 1994.

Ma>jah, Ibnu. Sunan Ibnu Ma>jah. Vol. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.

Ma>lik, Ima>m. Muwat}t}a’ Ima>m Ma>lik. Vol. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.

Muslim, Ima>m. S{ah}i>h} Muslim. Vol. 3. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.

al-Nasaiburi, Abu Abdullah al-Hakim. Ma’rifatu Ulum al-Hadith. Kairo: Maktabah al-Muntanabbi, t.th.

Al-Nawawi. S{ah}i>h} Muslim bi Sharh} al-Nawawi. Vol. 1. Mesir: Maktabah

al-Misriyyah, 1924.

Nata, Abuddin. “Mengenal Allah: Cara dan Manfaatnya” Mimbar Agama dan Budaya. Vol. 17 No. 3. 2000.


(6)

Norhidayati, Salamah. Kritik Teks Hadis. Yogyakarta: TERAS, 2009. Rahman,Fatchur. Ikhtisar Mustalah al-Hadith. Bandung: Al-Ma’arif, 1974. Shakir, Ahmad Muhammad. Al-Jami’ al-S{ah}i>h} wahuwa Sunan al-Tirmidhi>. Vol.

1. Kairo: Matba’ah Musthofa al-Babi al-Halabi, 1973.

Sholeh, Moh. Terapi Salat Tahajud. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2012.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Cet. 1. Malang: UIN-MALIKI Press, 2010.

Suparta, Manzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Suryadi. “Kitab al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} karya al-Tirmidhi>”.Jurnal Studi Ilmu-ilmu

Al-Qur’an dan Hadis. Vol. 3 No. 2. Januari, 2003.

______. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Cet. 1. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003.

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu. Fi> Riha>b al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah

al-Sittah Mesir: Silsilah al-Buhus al-Islamiyyah, 1969.

al-T{ah}h}a>n, Mahmud. Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis. terj. Ridlwan Nasir

Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Thohir, A. Mursal. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.

Thouless, Robert H. Pengantar Psikologi Agam. terj. Machnun Husein Cet. 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992.

Tirmidhi>, Imam. Sunan Tirmidhi>. Vol. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

al-Wushobiy, Asy Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Al-Qoulul Mufid: Penjelasan Tentang Tauhid. Cet. 1. Sleman: Darul ‘Ilmi, 2005.

Wensick, AJ. Mu’jam al-Mufahras li al-Faz} al-H{adi>s al-Nabawi. Vol. 6. Brill: Madinah Leiden, 1967.