SALAT TAHAJUD SEBAGAI PENGOBATAN ALTERNATIF : KUALITAS DAN PEMAKNAAN HADIS DALAM KITAB SUNAN AL-TIRMIDZI NOMOR INDEKS 3549.

(1)

SALAT

TAHAJUD SEBAGAI PENGOBATAN ALTERNATIF

(Kualitas dan Pemaknaan Hadis Dalam Kitab Sunan Al-Tirmidhi>

Nomor Indeks 3549)

Skripsi:

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

NUR FITRIANA FAJRIN E03211033

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

Abstrak

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah shalat tahajud selain untuk pengamal akan mendapatkan tempat yang terpuji di sisi Allah, shalat tahajud juga dapat digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit yang diderita oleh masyarakat. Setelah melakukan pencarian, akhirnya ditemukan hadits yang berkaitan dengan shalat tahajud yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

untuk itu masalah yang akan diteliti ini berkaitan: 1) Bagaimana kualitas hadits dalam kitab sunan al-Tirmidzi Nomor indeks 3549, 2) Bagaimana kehujjahan hadits dalam kitab sunan al-Tirmidzi nomor indeks 3549? Dan 3) Bagaimana pemaknaan hadits yang menerangkan shalat tahajud sebagai pengobatan alternative?.

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui kualitas hadits dalam sunan al-Tirmidzi nomor indeks 3549 dan juga untuk mengetahui pemaknaan hadits tentang shalat tahajud sebagai pengobatan alternatif.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dalam menjawab penelitian tersebut dilakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh dari kitab hadits Sembilan yang standar terutama kitab sunan al-Tirmidzi. Kemudian dilakukan analisa dengan melakukan takhrij terhadap hadits yang diteliti, melakukan kritik sanad maupun matan terhadap hadits tersebut dan meneliti makna yang terkandung dalam hadits yang menunjukan bahwa shalat tahajud dapat menyembuhkan berbagai penyakit


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... ……… iv

ABSTRAK ... v

PERSEMBAHAN ... vi

MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C.Rumusan Masalah ... 7

D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

E. Telaah Pustaka ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 9

G.Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II SHALAT TAHAJUD DAN ILMU HADIS A.Shalat Tahajud 1. Pengertian Shalat Tahajud ... 13

2. Rakaat Shalat Tahajud ... 13

3. Waktu dan Keutamaan Shalat Tahajud ... 14

4. Shalat Tahajud Perspektif Medis ... 16

B.Teori Keshahihan Hadis 1. Keshahihan Sanad Hadis ... 25

2. Keshahihan Matan Hadis ... 32


(7)

BAB III IMAM AL-TIRMIDHI DAN HADIS TENTANG SHALAT

TAHAJUD

A.Biografi Imam al-Tirmidhi> ... 40 B.Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 42 C.Pendapat Para Ulama ... 47 D.Data Hadis Tentang Shalat Tahajud Sebagai

Pengobatan Alternatif ... 48 E. I’tibar dan Skema Sanad ... 49

BAB IV KEHUJJAHAN HADIS TENTANG SHALAT TAHAJUD

SEBAGAI PENGOBATAN ALTERNATIF NO. INDEKS 3549

A.Kualitas Hadis Tentang Shalat Tahajud Sebagai Pengobatan Alternatif

a. Kualitas Sanad Hadis ... 58 b. Kualitas Matan Hadis ... 79 B.Pemaknaan hadis ... 81

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 86 B.Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Salat merupakan ibadah yang menjadi ruh bagi jiwa seorang muslim, ibadah yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bukan hanya kewajiban. Salat merupakan kebutuhan jiwa pententeram ketika resah dan penyejuk ketika suasana hari risau. Salat juga menjadi tiang agama karena salat merupakan ibadah dari rukun Islam.1

Sebenarnya yang mengetahui rahasia salat atau apa rahasia di balik salat tentunya hanya Allah dan Rasul-Nya. Shalat merupakan ibadah yang istimewa di dalam ajaran Islam, baik dilihat dari perintah yang diterima oleh Nabi Muhammad secara langsung maupun dimensi-dimensi yang lainnya. Salat merupakan satu-satunya wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad tanpa perantara malaikat Jibril.2

Melalui salat tergambar rukun-rukun Islam yang lain. Salah satu media komunikasi yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah. Selain salat wajib, terdapat beberapa yang dilakukan di luar salat wajib sebagai upaya pendekatan diri umat muslim dengan Rabb-Nya, yaitu melalui salat sunnah. Salat sunnah inilah salat yang dilakukan sebagai penyempurna salat wajib seorang muslim.

1

Irma Indriani, Mukjizat Shalat Malam (Pustaka Makmur, tt), 11-12. 2


(9)

2

Tidak ada salat sunnah yang dianjurkan oleh al-Qur‟an kecuali tahajud. Sedangkan salat-salat sunnah yang lain itu hanya sampai pada tataran hadis Nabi SAW. Begitu pentinganya salat tahajud, sehingga pada permulaan turun perintah untuk melaksanakannya hukum salat tahajud adalah wajib3, Allah berfirman:

                                

“Bangunlah untuk sembahyang di malam hari, kecuali sedikit daripadanya. Yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.”4

Kemudian setelah turun ayat yang ke 20 barulah hukumnya menjadi sunnah, Allah berfirman:                                                                                                                                                     

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu. Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang-orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan

3

Ibid., 95.


(10)

3

berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh balasannya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”5

Perubahan hukum dalam melaksanakan salat tahajud ini tentu akan menjadi perenungan bersama, terutama bagi orang-orang yang mau berpikir akan ayat-ayat al-Qur‟an. Sebagai anjuran tentu dalam melaksanakannya memerlukan sebuah kekuatan iman, apalagi waktu mengerjakannya adalah malam hari ketika orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya. Melaksanakan salat tahajud memang memerlukan sebuah keihklasan hati tanpa tendensi apapun, kecuali hanya menaati perintah dari Allah kepada hambanya. Jika sudah demikian, maka tahajud akan menjadi sebuah nilai yang sangat besar di sisi-Nya.6 Sebagaimana dalam firman Allah SWT yang menyeru Rasulullah SAW dan umatnya untuk melaksanakan salat tahajud dalam surah al-Isra‟ ayat 79:





 





 



   

Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.7

Menurut pandangan para ahli, baik dari para psikolog maupun ahli kesehatan, ibadah salat mengandung unsur terapeutik bagi kesehatan manusia. Menurut Djamaluddin Ancok, sebagaimana yang dikutip oleh Haryanto,8 ada beberapa

5al-Qur’a>n, 73:20. 6

Kurniasih, Indahnya Tahajud, 98.

7al-Qura>n

, 17:79. 8


(11)

4

aspek terapeutik yang terdapat dalam ibadah salat, antara lain aspek olahraga, aspek meditasi, aspek autosugesti dan aspek kebersamaan.9

Keutamaan salat malam sangat besar berdasarkan hadis Nabi SAW:

َ ح

َ دَ ث

َ ن

َ َا

َ راَ و

َ بَن

َ نَ

َ مَ ع

َ رَ و

َ وَف

َ َ را

َ و

َ بَن

َ نَ

َ سَ ع

َ ي

َ اَد

َ يْ

َ ل

َ قَ.ي

َ لا

َ حَ:

َ دَ ث

َ ن

َ باَا

َ نَ

َ وَ

َ ب

َ أَ.

َ خَ ب

َ رَ ن

َ أَي

َ بَ و

َ

َ ص

َ خ

َ رَ

َ ع

َ نَ

َ باَ ن

ََ ق

َ س

َ ي

َ عَ،ط

َ نَ

َ عَ ر

َ و

َ بَة

َ نَ

َ زلا

َ بَ ي

َ عَ،ر

َ نَ

َ عَ

ئا

َ ش

َ قَ.ة

َ لا

َ ت

:

َ ك

َ نا

ََ ر

َ سَ

و

َ،ملسوَهيلعَلاَىلصَلاَل

َ إَ ذ

َ صَا

َ ل

َ قَ،ى

َ ماَ

َ حَ ت

َ تَى

َ رَرطف

َ ج

َ ل

َ

َ قَ.

َ لا

َ ت

ََ ع

َ ئا

َ ش

َ ة

َ يَ:

َ رَا

َ سَ و

َ ل

َ

َ َعنصتأَ!لا

َ ذ

َ وَ،ا

َ قَ د

َ

َ لَرفغ

َ ك

ََ م

َا

َ تَ ق

َ د

َ مَ

َ م

َ نَ

َ ذَ نَ ب

َ ك

ََ وَ م

َ تَا

َ أ

َ خ

َ ر

َ فَ؟

َ ق

َ لا

ََ

ي"

َ عَا

َ ئا

َ ش

َ ة

َ أَ!

َ ف

َ ل

َ أَ

َ كَ و

َ نَ

َ عَ ب

ًَد

َ شَا

َ ك

َ وًَر

."ا

10

Bercerita kepada kami Harun bin Ma‟ruf dan Harun bin Sa‟id al-Ayli, keduanya

berkata: bercerita kepada kami Ibnu Wahab. Mengabarkan kepadaku Abu S}akhr dari Ibnu Qasit}, dari ‘Urwah bin al-Zubair, dari ‘Aishah, berkata: bahwasanya Rasulullah

ketika beliau shalat, berdiri sampai kakinya bengkak. Kemudian ‘Aishah bertanya: ya Rasulullah! Apa yang telah engkau lakukan, dan telah mengampuni engkau segala sesuatu yang terjadi masa lalu dan masa yang akan datang? Kemudian Rasulullah menjawab Wahai ‘Aisyah! Tidak akan menjadikan seorang hamba untuk bersyukur.

Bercermin dari sejarah Nabi melakukan tahajud ini, begitu luar biasa, sehingga dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi kerap kali melakukan salat malam hingga kakinya sering menggigil dan bengkak-bengkak. Namun keberadaan fisik Nabi tidak mengalahkan kecintaan Nabi dalam melaksanakan salat tahajud ini. Hingga kepada istrinya yang bertanya tentang apa yang dilakukannya itu, Nabi mengatakan, bahwa apakah istrinya tidak mau kalau beliau termasuk orang yang bersyukur. Kekuatan ruhani dapat mengalahkan fisik.

Banyak keutamaan dan manfaat yang dapat diperoleh ketika melaksanakan salat tahajud diantaranya dapat memusnahkan kelalaian hati, salat tahajud dapat

9

Kurniasih, Indahnya Tahajud, 94. 10Shalih bin „Abd „Aziz, Mausu>

at al-H}adith al-Syarif al-Kutub al-Sitta (Riyadh: Maktabah Darussalam, 1429), 1169.


(12)

5

menjadi sarana dikabulkannya doa, diberi rezeki yang berlimpah, dapat menjernihkan pikiran dan berguna bagi kesehatan tubuh.11 Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya yang berasal dari Bilal:

َ ح

َ دَ ث

َ ن

َ أَا

َ ح

َ مَ د

ََ ب

َ نَ

َ مَ نَ ي

َ ع

,

َ ح

َ دَ ث

َ ن

َ أَا

َ ب

اَو

لَ ن

َ ض

َ ر,

َ ح

َ دَ ث

َ ن

َ بَا

َ ك

َ رََ

بَ ن

َ

َ خَ ن

َ ي

َ ع

َ نَ

َ مَ ح

َ م

َ د

ََ ا

َ قلَ ر

َ ش

َ يَ

َ ع

َ نَ

َ رَ بَ ي

َ عَ ة

ََ ب

َ ن

ََ يَ ز

َ يَ د

َ عَ,

َ نَ

َ أَ ب

َ إَى

َ دَ رَ

ي

َ س

ََ ا

َ خل

َ وَ ل

َ ن

َ ي

َ عَ,

َ نَ

َ ب

َ ل

َ ل

ََ أ

َ ن

ََ ر

َ سَ

و

َ ل

َ

َ لا

َ: لا قَ م ل سَ ه ي ل عَ لاَى ل ص

َ عَ ل

َ يَ ك

َ مَ

َ بَ ق

َ يَ ما

ََ لا

َ يل

َ ل

ََ فَ إ

َ نَ ه

ََ دَ أ

َ ب

َ

َ صلا

َ ل

َ ح

َ يَ ن

ََ ق

َ بَ ل

َ ك

َ م

َ وَ,

َ قَ ن إ

َ يَ ما

ََ لا

َ يل

َ ل

ََ ق

َ رَ بَ ة

ََ إَ ل

َ لاَى

َ وَ,

َ مَ ن

َ ه

َ ةا

ََ ع

َ نَ

َ اَ ل

َ ثَ م

َ وَ,

َ تَ ك

َ فَ ي

َ رَ

َ سلا

َ يَ ا

َ ت

َ وَ,

َ مَ ط

َ رَ د

َ ةََ ل

َ دل

َ ءا

ََ ع

َ نَ

َ ا

َ جل

َ س

َ د.

“Bercerita kepada kami Ahmad bin Mani‟, bercerita kepada kami Abu Nad}r, bercerita

kepada kami Bakar bin Khunais, dari Muhammad al-Quraishi dari Rabi‟ah bin Yazid dari Abi Idris al-Khaulani, dari Bilal bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Wajib atas kalian qiyamul lail. Sebab, hal itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, penghapus dosa, penghapus segala kejelekan, dan pengusir penyakit dari tubuh.”

Adanya hadis di atas perlu untuk mengadakan penelitian lebih jauh lagi tentang salat tahajud dapat mengusir penyakit dari tubuh. Sebagaimana diketahui, bahwa hadis telah disepakati oleh Ulama sebagai dalil hukum. Sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur‟an, hadis memiliki perbedaan dengan al-Qur‟an. Salah satu perbedaannya adalah terletak dari periwayatannya. Al-Qur‟an seluruhnya diriwayatkan secara mu>tawa>tir sedangkan tidak semua hadis diriwayatkan secara mu>tawa>tir.12 Kecuali terhadap hadis mu>tawa>tir, terhadap hadis ahad kritik tidak hanya diajukan kepada sanad akan tetapi juga terhadap matan. Di samping itu, dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat pemalsuan hadis yang

11Muhammad bin Shalih „Ali Abdilah,

Kiat Mudah Shalat Tahajud (Surakarta: Navida

Media, 2011), 5. 12

Syuhudi Isma‟il, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Cet I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 92-108.


(13)

6

disebabkan adanya perbedaan madhhab, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu yang lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunan yang beragam serta adanya periwayatan bi al-ma’na. Dari permasalahan tersebut hadis ini tidak boleh hanya dimaknai secara tekstual tetapi harus dimaknai secara kontekstual sehingga pesan yang terkandung dapat dipahami. Sebab itulah yang mendorong pentingnya melakukan penelitian hadis ini.13

B.Rumusan Masalah

Demi tercapainya pembahasan yang praktis dan sistematis, maka permasalahan yang akan dibahas diformulasikan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis dalam kitab Sunan al-Tirmidhi> No. Indeks 3549?

2. Bagaimana pemaknaan hadis yang menerangkan salat tahajud sebagai pengobatan alternatif?

C.Tujuan dan Kegunaaan Penelitian

Demi tercapainya pembahasan yang praktis dan sistematis, maka permasalahan yang akan dibahas diformulasikan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Untuk menguji kualitas sanad dan matan hadis dalam kitab Sunan al-Tirmidhi> No. Indeks 3549.

13

Syuhudi Isma‟il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan


(14)

7

2. Untuk mendeskripsikan maksud hadis salat tahajud sebagai pengobatan alternatif dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>.

Kegunaan penelitian adalah:

1. Untuk menjadi bahan teoritis guna kepentingan penulisan karya ilmiah yang berbentuk skripsi.

2. Dapat dijadikan bahan atau pertimbangan bagi peneliti dan penyusunan karya ilmiah selanjutnya yang ada hubungannya dengan masalah ini.

D.Telaah Pustaka

Penelitian yang membahas mengenai kajian tentang salat tahajud sebagai pengobatan alternatif, sejauh ini belum ditemukan yang telah membahas secara spesifik mengenai penelitian ini. Dan telah ditemukan kajian mengenai salat tahajud yang pernah dilakukan oleh:

1. Salat Tahajud dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam karya Halimah Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga tahun 2013. Dalam penelitian ini menjadi kajiannya adalah tahajud sebagai upaya untuk membantu individu dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Sebagai terapi kesehatan fisik maupun batin dan upaya untuk membantu individu yang mencari penyelesaian masalah kehidupan, baik masalah kesehatan, spiritual, keluarga, social maupu ekonomi.

2. Peranan Salat Tahajud dalam Menghadapi Stress Mahasiswa Universitas karya Karnado Putra Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2011. Dalam penelitian ini menjadi kajiannya adalah untuk mengidentifikasi peran salat tahajud dalam menghadapi stres bagi mahasiswa.


(15)

8

E.Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagaimana berikut :

1. Model Penelitian

Penelitian ini kegunaan model kualitatif dalam bentuk kepustakaan, yang bermaksud mendiskripsikan kualitas dan pemaknaan hadis tentang salat tahajud sebagai pengobatan alternatif dalam kitab Sunan al-Tirmidhi> No. Indeks 3549.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan terbagi menjadi tiga klasifikasi, antara lain : a. Sumber Data Primer

1) Kitab Sunan al-Tirmidhi>

b. Sumber Data Sekunder, yaitu Kitab hadis standar lainnya yang termasuk dalam Kutub al-Sitta, diantaranya

1) S}ahi>h al-Bukha>ri

2) S}ahi>h al-Muslim

3) Sunan al-Nasa’i


(16)

9

5) Sunan Abu Dawud

6) Sunan Ibnu Majjah

Buku penunjang lainnya, yaitu buku-buku kritik sanad dan matan, kitab-kitab tentang kehujjahan hadith ahad seperti Kaidah Kesahihan Sanad Hadis karya Syuhudi Ismail, Kritik Hadis: pendekatan historis Metodologis karya Umi Sumbulah, dan buku-buku yang berkaitan dengan tema.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

Dalam Penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu : takhrij al-hadith dan i'tibar al- hadith.

a. Takhrij al-hadith secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengeluarkan hadis dari sumber asli.14 Maka Takhrij al-hadith

merupakan langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis.

b. Kegiatan i'tibar dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak hasanad-nya terdapat seorang periwayat saja.15

14Syuhudi Isma‟il,

Metode Penelitian Hadis Nabi, Cet I (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

41. 15


(17)

10

5. Metode Analisis Data

Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut. Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rijāl al-hadīth dan al-jarh} wa al-ta'dī l , serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (Tah}ammul wa al-ada>' ). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit al-Qur‟an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis lain yang bermutu s}ahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.16

Dalam hadis yang akan diteliti ini pendekatan keilmuan hadis yang digunakan untuk analisis isi adalah ilmu asbab al-wurud al-hadith yang digunakan untuk mengungkap suatu fakta dari sejarah sehingga dapat dicapai pemahaman suatu hadis dengan lebih komprehensif.

16


(18)

11

F. Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan skripsi ini, pembahasannya terdiri dari lima bab. Yang masing-masing bab terdiri dari macam-macam sub bab. Satu dengan sub bab yang lain merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Secara global sistematika pembahasannya sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab 2 Salat tahajud dan ilmu hadis, yang meliputi: pengertian salat tahajud, rakaat salat tahajud, keutamaan salat tahajud, salat tahajud perspektif medis, teori kes}ahihan hadis, teori ke-hujjah-an hadis, dan teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolak ukur dalam penelitian ini.

Bab 3 Imam al-Tirmidhi> dan data hadis tentang salat tahajud sebagai pengobatan alternatif, yang meliputi: biografi Imam al-Tirmidhi>, kitab Sunan al-Tirmidhi>, data hadis tentang salat tahajud sebagai pengobatan alternatif dalam Sunan al-Tirmidhi> No. Indeks 3549, kritik sanad (Jarh wa Ta’dil), I’tibar dan skema sanad.

Bab 4 Kehujjahan Hadis tentang salat tahajud sebagai pengobatan alternatif dalam kitab sunan al-Tirmidhi> no indeks 3549 yang meliputi terdiri dari kehujjahan hadis yang diteliti dan penjelasan maksud hadis tersebut.


(19)

12

Bab 5 Penutup, bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang penulis sajikan dalam bentuk peetanyaan dan bab ini juga berisi saran-saran dari pembaca demi perbaikan penulisan yang akan datang.


(20)

BAB II

SALAT TAHAJUD DAN ILMU HADIS

A.

Salat Tahajud

1. Pengertian Salat Tahajud

Tahajud secara bahasa berasal dari kata “tahajjada” yang berarti bangun tidur dengan berat, sehingga syarat melaksanakan salat tahajud menurut mayoritas Ulama harus tidur terlebih dahulu. Secara istilah tahajud adalah salat sunnah yang dilakukan pada malam hari setelah melaksanakan salat isya dan setelah bangun tidur.1

Salat tahajud merupakan shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari sesudah mengerjakan salat isya sampai terbitnya fajar dan sesudah bangun tidur, meskipun itu hanya sebentar. Hukum shalat tahajud adalah sunnah

mu’akkad yaitu sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa mengerjakan salat tahajud.2

2. Rakaat Salat Tahajud

Tidak ada ketentuan dan batasan yang pasti mengenai jumlah rakaat salat tahajud, namun paling sedikit adalah dua rakaat yang paling utama 11 atau 13

1

Sobron Zayyan, Dahsyatnya Shalat Fardhu dan Sunnah (Bandung: Kawan Pustaka, 2011), 123.

2

Muhammad Muhlisin, Amalkan Shalat Tahajud & Dhuha Pasti Hidupmu Sukses, Kaya


(21)

14

rakaat dengan salam di setiap dua rakaat salat dan ditutup oleh salat witir. Hal ini berdasarkan dengan sabda Nabi SAW:

نع

َ

اع

َ ل ي للاَ ن مَ ي ل ص يَ.ملسوَهيلعَلاَىلصَلاَ ل و س رَ ناكَ:تلاقَاهنعَلاَيضرَةشئ

َ ءي شَي فَ س ل ج يَ لَ س م خ بَ ك ل ذَ ن مَ ر ت و يَ,ًة ع ك رَ ة ر ش عَ ث ل ث

ا ر خ اَىفَ ل ا

“Telah berkata Aisyah: bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat malam 13 rakaat, dari 13 rakaat itu beliau shalat witir 5 rakaat dan beliau tidak duduk diantara rakaat-rakaat itu kecuali pada rakaat terakhir.”3

3. Waktu dan Keutamaan Salat Tahajud

Waktu salat malam qiyamullail: tahajud dan witir dimulai setelah salat isya sampai sebelum terbit fajar atau masuk waktu shubuh, sebagaimana dalam hadis Aisyah ra:

َ، ب ر حَ ن بَ ر ي ز وَ، ة ب ي شَي ب أَ ن بَ ر ك بَو ب أَا ن ث د ح

َ ن عَ، ني ص حَي ب أَ ن عَ، نا ي ف سَ ن عَ،ٌعي ك وَا ن ث د حَ: لا ق

: ت لا قَ، ة ش ئا عَ ن عَ، قو ر س مَ ن عَ، با ث وَ ن بَى ي ح ي

َ

َ م ل س وَ ه ي ل عَ لاَى ل صَ لاَ لو س رَ ر ت و أَ د قَ ل ي للاَ ل كَ ن م

َ خآ وَ، ه ط س و أ وَ، ل ي للاَ ل و أَ ن م

َ ر ح سلاَى ل إَ ر ت وَى ه ت نا فَ، ر

. 4 َ

“Bercerita kepada kami Abu Bakar Ibn Shaibah dan Zuhair Ibn Kharb, berkata: bercerita kepada kami Waki‟, dari Sufyan, dari Abi Husin, dari Yahya Ibn Wathab, dari Masruq, dari Aisyah bersabda: Setiap malam Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam melakukan sholat witir, baik di awal malam, pertengahannya, atau di akhirnya. Dan berakhir waktu witir beliau sampai waktu sahur.”

Berdasarkan hadits di atas, tidak mengapa insya Allah ta‟ala jika seseorang melakukan sholat di awal malam atau pertengahan malam saja jika memang hal itu yang lebih mudah baginya, terutama ketika khawatir tidak bisa bangun

3

Al-Hafizh Zaki Al-Din „Abd Al-„Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shohih Muslim, Terj. Syinqithy Djamaluddin dan H.M. Mochtar Zoerni (Mizan: 2002), 222.

4


(22)

15

di akhir malam. Namun waktu yang paling afdhal adalah di akhir malam, karena Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam bersabda:5

َ ْاَ ه للاَ د ب عَي ب أ وَ، ة م ل سَي ب أَ ن عَ، با ه شَ ن باَ ن عَ، ك لا مَ ن عَ، ة م ل س مَ ن بَ ه للاَ د ب عَا ن ث د ح

َي ب أَ ن عَ، ر غ

َ ي ض رَ ة ر ي ر

َ

َ لَ ل كَى لا ع ت وَ ك را ب تَا نُ ب رَ ل ز ن يَ"َ: لا قَ م ل س وَ ه ي ل عَ لاَى ل صَ ه للاَ لو س رَ ن أَ: ه ن عَ ه للا

َى ل إَ ة ل ي

َ أ س يَ ن مَ ه لَ بي ج ت س أ فَ،ي نو ع د يَ ن مَ: لو ق يَ ر خآاَ ل ي للاَ ث ل ثَى ق ب يَ ني حَا ي نُدلاَ ءا م سلا

َ ن مَ، ه ي ط ع أ فَي ن ل

َ ه لَ ر ف غ أ فَي ن ر ف غ ت س ي

.

6 َ

“Bercerita kepada kami Abdullah Ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Abi Salamah, dari Abi Abdillah al-Aghar, dari Abi Hurairah ra: bahwasanya Rasulullah bersabda: Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku jawab do‟anya, siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku kabulkan permintaannya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka akan Aku ampuni dia.”

Salat tahajud memiliki keutamaan yang luar biasa sebagaimana terdapat pada hadis Nabi SAW, bahwa Allah SWT akan memberikan sembilan jenis kemuliaan yaitu lima keutamaan di dunia dan empat keutamaan di akhirat.7 Maka lima keutamaan di dunia tersebut adalah sebagai berikut:

1. Allah SWT akan memeliharanya dari segala bentuk godaan setan. 2. Terdapat tanda ketaatan dan kepatuhan dimukanya.

3. Manusia dan hamba-hamba Allah SWT yang shaleh akan mencintainya.

4. Lidahnya selalu mengucapkan perkataan yang mengandung hikmah.

5

https://nasihatonline.wordpress.com. Waktu terbaik untuk berdoa dan sholat tahajud. Diakses pada 25 Februari 2015 6: 13.

6

Maktabah Shamilah, Shamela, ver. 51. 7


(23)

16

5. Allah SWT akan menjadikannya orang yang bijaksana, yaitu akan diberikan pemahaman dalam agamanya.

Selanjutnya empat keutamaan di akhirat, adalah sebagai berikut:

1. Ketika bangkit dari kubur di hari pembalasan kelak, maka terlihat wajahnya yang berseri.

2. Orang yang ikhlas dan istiqomah dalam tahajud ketika dihisab akan mendapat keringanan.

3. Bisa melewati jembatan-jembatan shirothol mustaqim,dengan sangat cepat, laksana halilintar yang menyambar.

4. Allah SWT akan memberikan catatan amalnya di tangan sebelah kanan.

4. Salat Tahajud Perspektif Medis

Salat tahajud memiliki manfaat praktis, baik dari sudut pandang religius maupun kesehatan. Salat tahajud membuktikan bahwa ketenangan dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi risiko terkena penyakit jantung, dan meningkatkan usia harapan. Sebaliknya, stres dapat menyebabkan seseorang sedemikian rentan terhadap infeksi, mempercepat perkembangan sel kanker, dan meningkatkan metastasis. Dengan demikian secara teoritis, para pengamal shalat tahajud pasti terjamin kesehatannya, baik secara fisik maupun mental.8

Perlu diketahui bahwa hormon kortisol dikenal juga dengan hormon pemicu stres. Hormon ini merupakan jenis dari hormon steroid. Korteks adrenal yang berada di atas ginjal adalah penghasil dari hormon kortisol. Pada tubuh manusia setiap hari menghasilkan 40-80 hormon kortisol. Dalam jumlah

8


(24)

17

yang normal hormon ini bekerja baik pada tubuh dalam mengatur tekanan darah, kekurangan oksigen, untuk melawan rasa sakit, terjadinya infeksi, kepanasan, ataupun kedinginan, dan rasa lapar.9

Ketika mengalami stres, maka tubuh akan memproduksi hormon ini di atas normal, artinya tubuh akan meningkatkan produksi hormon kortisol lebih banyak. Ketika jumlahnya dalam tubuh meningkat bukan lagi memiliki fungsi sebagai penyeimbang tubuh, tetapi akan menyebabkan permasalahan yang cukup serius dalam metabolisme tubuh manusia.10

Pengelolaan stres memiliki dua komponen utama: edukatif dan teknik relaksasi,yang meliputi meditasi, perenungan, dan umpan balik hayati (biofeedback). Shalat tahajud memiliki kandungan aspek meditasi dan relaksasi yang cukup besar, dan kandungan yang dapat digunakan sebagai coping mechanism pereda stress.11

Beberapa masalah yang akan terjadi jika kadar hormon kortisol meningkat dalam tubuh manusia:

1. Osteoporosis

Kortisol akan meredam fungsi dari osteoblas hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan tulang-tulang baru dan penyusutan pada tulang.

2. Gula Darah

9

Irma Indriani, Mukjizat Shalat Malam (Pustaka Makmur, 2014), 157. 10

Ibid., 158. 11


(25)

18

Sifat diabetogenik merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh kortisol karena hormon ini menyebabkan peningkatan produksi gula atau glukosa.

Dr. Abdul Hamid Diyab dan Dr. Ah Qurqus menyatakan keutamaan shalat tahajud untuk kesehatan, diantaranya:

1. Mereka menyatakan bahwa shalat tahajud atau shalat malam membantu meningkatkan imun atau ketahanan tubuh, sehingga tubuh menjadi kuat tidak mudah terserang berbagai penyakit. Hal ini disebabkan karena ketika seseorang terbangun untuk tahajud di sepertiga malam berarti dia secara tidak langsung berhenti dari kebiasaan tidur dan berhenti dari ketenangan dalam waktu lama. Di mana hal tersebut adalah salah satu pendukung terjadinya penyumbatan pada darah.

2. Tahajud akan menghindarkan penyakit punggung yang biasanya dialami pada usia menjelang atau sudah tua.

3. Pada umumnya jika seseorang sakit paru-paru akan menghindari dingin dalam arti menghindari bangun malam apalagi ketika di musim hujan. Namun, sebenarnya shalat tahajud akan mencegah tubuh dari penyakit paru-paru basah. Hal ini terjadi karena ketika tidur terlalu lama apalagi dalam keadaan terlentang, maka kelebihan uap air dan paru-paru yang berada di bagian tubuh akan tertindih oleh tubuh itu sendiri. Hal inilah akan menyebabkan salurannya tersumbat dan paru-paru akan lembab.


(26)

19

4. Tahajud merupakan suatu cara untuk mempertahankan kestabilan hormon melatonin. Hormon inilah yang membentuk sistem kekebalan pada tubuh. Selain itu, hormone ini pula yang akan menghambat pertumbuhan gerak pemicu tumor dalam tubuh seperti

estrogen.12

B.Teori Keshahihan Hadis

Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argument yang kuat (hujjah) apabila memenuhi syarat-syarat ke-s}ahih-an, baik dari aspek sanad maupun matan. Ibnu Al-S}alah menyatakan sebuah definisi hadis s}ahih yang disepakati oleh para muhaddisin, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail:

َ أََم

َ اَا

َ ل

َِدَ ي

َ ث

َ

ََصلا

َِح

َ يَ ح

َ فَ:

َ هَ و

َ

َ لا

َِدَ ي

َ ث

ََ اَ

ل

َ سَ

َ دَ

ََلا

َِذ

َ يَى

ََت

َِص

َ لََِإ

َ سَ

َ داَ

ََِبَ

َ قَِل

ََ ا

َ علَ د

َ لَ

ََضلا

َ با

َ ط

ََِإ

َ ل

َ مََ

َ تَ ه

َ اَ

َ وَ ل

َ

َ يَ ك

َ وَ ن

َ

َ ش

ٌَذا

َ وَا

َ ل

َ مََ ع

ََلَ ل

Adapun hadis s}ahih ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan d}a>bit} sampai akhir sanad, (di dalam hadist tersebut) tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat (‘illat).13

Dari definisi di atas, maka hadis yang berlevel s}ahih baik dari segi sanad maupun matan adalah jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Bersambung sanadnya

Sanadnya bersambung artinya setiap rawi dalam menerima hadis benar-benar menerimanya dari rawi sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang

12

Ibid., 159-160. 13

Syuhudi Ismail, Metodologi Keshahihan Sanad Hadis Nabi, cet I (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 64.


(27)

20

pertama. Oleh karena itu, menurut M. Ajaj al-Khatib, hadis munqat}I‟, mu'd}al, mu'allaq, mudallas dan mursal tidak termasuk kategori hadis shahih karena sanadnya tidak bersambung.14

Sementara imam al-Bukhari berpendapat bahwa suatu hadis dapat disebut sanadnya bersambung apabila murid dan guru atau rawi pertama dengan rawi kedua benar-benar pernah bertemu walaupun hanya sekali. Sedangkan menurut imam Muslim, sanad hadis dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan bertemu bagi kedua rawi diatas. Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup dalam satu kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran saat itu, meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.15

Berdasarkan hal diatas, syarat yang dikemukakan imam al-Bukhari lebih ketat daripada yang ditetapkan oleh imam Muslim. Hal ini menjadikan karya shahih al-Bukhari menempati peringkat pertama dalam hirearki kitab hadis yang paling sahih. Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad suatu hadis, ada dua hal yang dapat dijadikan objek penelitian, yaitu: sejarah rawi dan lafad-lafad periwayatan.16

2. Periwayat bersifat „adil

Secara bahasa kata 'adil berasal dari 'adala, ya'dilu, 'adalatan, yang berarti condong, lurus, lawan dari dhalim dan pertengahan. Kata 'adil ini kemudian digunakan oleh muh}addithi>n sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi

14M. ‘Ajjaj al-Kha>tib, Us}u>l Al - Hadi>th

: Pokok - Pokok Ilmu Hadis, terj. M. Nur Ahmad

Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 276. 15

Ibid., 281. 16


(28)

21

agar riwayatnya bisa diterima. Akan tetapi definisi 'adil di kalangan Ulama ahli hadis sangat beragam, namun itu terjadi berangkat dari kepentingan dan hal-hal yang substantifnya sama. Menurut al-Razi sebagaimana dikutip oleh M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, 'adil didefinisikan sebagai kekuatan ruhani (kualitas spiritual) yang mendorong untuk selalu berbuat takwa, yaitu mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah.17

Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertakwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.18

Sedangkan menurut Ibnu al-Syam‟ani sebagaimana dikutip oleh Fatchur Rahman keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu: pertama selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat, kedua menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun, ketiga tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan kadar iman dan mengakibatkan penyesalan dan keempat tidak mengikuti pendapat salah satu

madhhab yang bertentangan dengan dasar shara’.19

17M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2011), 14.

18

al-Kha > tib, Us} ul Al - Hadi >th ,,,. 276.

19


(29)

22

Untuk mengetahui 'adil tidaknya seorang rawi, para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara, yaitu: pertama, melalui popularitas keutamaan seorang rawi di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik bin Anas dan Sufyan al-Thauri, kedua rawi tersebut tidak diragukan keadilannya. Kedua, penilaian dari kritikus hadis. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis. Ketiga, penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus rawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.20

3. Seluruh rawinya bersifat d}abit

D{abit} artinya cermat dan kuat hafalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi d}abit} adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima.21

Dilihat dari kuatnya hafalan rawi, ke-d}abit}-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, d}abit} s}adri atau d}abit} al-fu'ad, dan kedua d}abit} al-kitab. d}abit}

s}adri artinya kemampuan untuk memelihara hadis dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan d}abit}

al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, sehingga ia tahu apabila ada tulisan periwatan hadis yang salah.22

20

Idri, Studi Hadis,,,. 163. 21

Sumarna, Metode Kritik,,,. 15. 22


(30)

23

Sebagaimana rawi yang ‘adil, rawi yang d}abit} dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-d}abit-an seorang rawi hadis menurut berbagai pendapat ulama yaitu: pertama, ke-d}abit-an seorang rawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama. Kedua, d}abit-an seorang rawi dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayat seorang rawi dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-d}abit-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah. Ketiga, seorang rawi yang tidak sering mengalami kekeliruan tetap dikatakan d}abit asalkan kesalahan itu tidak terus-menerus. Tetapi jika ia sering mangalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadis, maka ia tidak disebut d}abit.23

4. Terhindar dari sha>dh

Secara bahasa, Shadh merupakan isim fa>’il dari shadhdha yang berarti menyendiri. Menurut istilah Ulama hadis, Shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat thiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih

thiqah. Mengenai hadis shadh, al-Syafi'i sebagaimana dikutip oleh Idri berpendapat bahwa suatu hadis dipandang shadh jika ia diriwayatkan oleh seorang yang thiqah namun bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang

thiqah yang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya. Selanjutnya Idri mengutip pendapat al-Hakim al-Naysaburi yang menyatakan bahwa hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang

23


(31)

24

thiqah, akan tetapi tidak ada periwayat thiqah lain yang meriwayatkannya, pendapat ini berbeda dengan pendapat al-Syafi‟i di atas.24

Sedangkan menurut Fatchur Rahman, shadh yang terjadi pada suatu hadis terletak pada adanya pertentangan antara periwayatan hadis oleh rawi yang (yang dapat diterima periwayatannya) dengan maqbul periwayatan hadis oleh rawi yang lebih rajah (kuat), hal ini disebebkan adanya kelebihan dalam jumlah sanad atau lebih dalam hal ke-d}abit}-an rawinya atau adanya segi tarjih yang lain. Dengan kata lain pendapat ini mengamini pendapat al-Syafi‟i di atas.25

5. Terhindar dari ‘illat26

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pengertian ‘illat di sini bukanlah pengertian secara umum, yaitu cacat yang disebut sebagai t}a’n al-adi>th atau jarh}. Akan tetapi yang dimaksud ‘illat di sini adalah sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang secara dhahir nampak s}ahih menjadi tidak s}ahih.27

Untuk mengetahui terdapat ‘illat tidaknya suatu hadis, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu: pertama, mengumpulkan semua riwayat hadis, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matannya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui

24

Idri, Studi Hadis,,,. 168. 25

Rahman, Ikhtisar Musthalahul,,,. 123. 26

Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 111. 27

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, cet. III (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 163.


(32)

25

dimana letak ‘illat dalam hadis tersebut.28 Kedua, membandingkan susunan rawi dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam keumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahliannya, bahwa hadis tersebut mempunyai ‘illat dan ia menyebutkan letak ‘illat pada hadis tersebut.29

Sebagaimana dalam shudhudh, 'illat ini juga bukan hanya terdapat pada sanad hadis, tetapi terdapat juga pada matan hadis. Tiga kriteria pertama, yaitu: 'adalat,

d}abit} dan ittis}al, berkaitan erat dengan rawi. Sedangkan 'illat dan shadh Syarat-syarat terpenuhinya keshahihan ini sangatlah diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.30

1. Keshahihan Sanad Hadis

Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharij

sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi SAW yang semua itu harus diterima dari para periwayat yang ‘adil dan

d}a>bit}.31

28

Ibid., 164. 29

Idri, Studi Hadis,,,. 171. 30

Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, cet I (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 13.

31


(33)

26

Sanad atau isnad ini diyakini sebagai jalan yang meyakinkan dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa pernyataan Ulama berikut ini menjadi bukti atas pernyataan tentang pentingnya sanad ini. Muhammad Ibn Sirin menyatakan

bahwa “sesungguhnya isnad merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya”. Abdullah bin al-Mubarak menyatakan “bahwa isnad merupakan bagian dari agama jika tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka

hatinya”.

Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan. Imam Nawawi juga menegaskan apabila sanad suatu hadis berkualitas s}ahih,

maka hadis tersebut bias diterima, tetapi apabila tidak, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.

Nilai dan kegunaan sanad tampak bagi seseorang untuk mengetahui keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari keadaannya dalam kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad yangmuttas}il dan munqathi’. Jika tidak terdapat sanad, tidak dapat diketahui hadis yang s}ahih dan yang tidak

s}ahih.32

Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaedah keshahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada yang berhubungan dengan keadaan pribadi para periwayat.

32

Mahmud al-Tahhan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, ter. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 99.


(34)

27

Dengan banyaknya jumlah perawi dan memiliki kualitas pribadi dan kapasitas intelektual yang berbeda. Maka untuk mempermudah dalam membedakan sanad yang bermacam-macam dan penilaian terhadap kualitasnya, sanad hadis harus mengandung dua unsur penting, yaitu:

1. Nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis yang terkait. 2. Lambang-lambang periwayatan hadis yang telah difungsikan oleh

masing-masing perawi dalam meriwayatkan hadis, seperti sami’tu, sami’na,

akhbarani, akhbarana, haddatsani, haddatsana, qala lana, nawalani,

nawalana, ‘an dan anna.33

3. Agar suatu sanad bisa dinyatakan s}ahih dan dapat diterima, maka sanad tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung, memiliki kualitas pribadi yang ‘adil dan memiliki kapasitas intelektual (d}abit}).

Ilmu rijal al-hadith itu terbagi menjadi dua macam ilmu yang utama, yaitu ilmu Tarikh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh wa Ta’dil.34

1) Ilmu Tarikh Al-Ruwah

Muhammad „Ajjaj al-Khatib mendefinisikan ilmu tarikh al-ruwah ialah ilmu untuk mengetahui para rawi dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadis.35

33

Nawer Yuslem, Ulumul Hadis (Ciputat: Mutiara Sumber Widya, 2001), 352. 34

Ibid., 293. 35


(35)

28

Dengan ilmu ini, dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua rawi yang menerima, menyampaikan atau yang melakukan transmisi hadis Nabi SAW sehingga para rawi yang dibahas adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat, para tabiin sampai mukharij hadis.36

2) Ilmu al-Jarh wa Ta’dil

Dalam terminologi ilmu hadis, al-jarh berarti menunjukkan sifat-sifat tercela bagi seorang perawi, sehingga merusak atau mencacatkan keadilan dan ke-d}abit} -annya. Adapun ta’dil diartikan oleh al-Khatib sebagai upaya mensifati perawi dengan sifat-sifat yang dapat mensucikan diri perawi dari sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilan agar riwayatnya diterima.

Berdasarkan definisi di atas, maka ilmu al-jarh wa ta’dil adaah ilmu yang membicarakan masalah kedaan perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadilan maupun sifat-sifat yang menunjukkan kecacatan yang bermuara pada penerimaan atau penolakan terhadap riwayat yang disampaikan.37

Ilmu jarh wa ta’dil berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah jarh wa ta’dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedabitan perawi.38

3) Lambang Periwayatan Hadis

36

Suryadi, Metodologi…, 18. 37

Sumbulah, Kritik Hadis…., 77-78. 38

Mahmud al-Thahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 100.


(36)

29

Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan dalam periwayatan hadis, dalam hal ini untuk kegiatan tahammul hadis, bentuknya bermacam-macam, misalnya sami’tu, sami’na, haddathani, haddathana, ‘an dan ‘anna.

Sebagian Ulama menyatakan bahwa sanad yang mengandung huruf ‘an sanadnya terputus. Tetapi mayoritas Ulama menilai bahwa sanad yang menggunakan lambing periwayatan huruf ‘an termasuk dalam metode al-sama’

apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

a) Dalam sanad yang mengandung huruf ‘an itu tidak terdapat penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan oleh periwayat.

b) Antara periwayat dengan periwayat terdekat yang diantari huruf ‘an itu dimungkinkan terjadi pertemuan.

c) Para periwayat haruslah orang-orang yang terpercaya.

Namun dalam berbagai macam kitab ilmu hadis dijelaskan bahwa metode periwayatan hadis ada delapan macam, yakni:

1. Metode al-Sima’

Metode al-sima’ yaitu cara penyebaran hadis yang dilakukan dengan cara seorang murid mendengarkan bacaan atau kata-kata dari gurunya. Metode ini dilakukan dengan cara mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik dengan didektekan maupun tidak, baik bersumber dari hafalan maupun tulisannya.

S}ighat untuk periwayatan hadis dengan metode alsima‟ yang disepakati


(37)

30

mengabarkan kepadaku/kami, ا ثدح ,ى ثدح: seseorang telah bercerita kepadaku/kami, ا ع س ,تع س: saya/kami mendengar.

2. Metode al-Qira>’ah

Metode al-Qira>’ah oleh mayoritas Ulama hadis disebut dengan istilah

al-’ardh. Metode al-Qira>’ah dalam terminologi tahammul al-hadith ini dimaksudkan sebagai sebuah metode periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang murid membacakan tulisan atau hafalan hadis kepada gurunya (al-qira>’ah ‘ala

shaikh). Dikatakan demikian karena si pembaca menyuguhkan hadis kepada sang guru, baik ia sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacanya, sedangkan ia mendengarkannya.

S}ighat-s}ighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode

al-qira>’ah, yang disepakati penggunaannya seperti: يلع تْأرق: aku telah membacakan di hadapannya, يلع ْتأرق: dibacakan oleh seseorang di hadapan guru sedang aku mendengarnya, يلع ةأرق انر خا وا ا ثدح: mengabarkan atau menceritakan kepadaku di hadapannya.

3. Metode al-Ija>zah

Metode al-ija>zah didefinisikan sebagai suatu metode penyebaran hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru mengizinkan muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan hadis, baik melalui lafadz (bacaan) maupun tulisannya. Dengan kata lain ijazah merupakan izin dari seorang guru hadis kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab yang diriwayatkan dirinya.


(38)

31

4. Metode al-Muna>walah

Metode ini didefinisikan sebagai metode periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya, agar diriwayatkannya dengan sanad darinya (guru tersebut).

S}ighat-s}ighat yang digunakan untik meriwayatkan hadis berdasarkan metode

al-muna>walah di antaranya adalah: ىنأ نا ,نأ نا: menceritakan kepadaku/kami (untuk

al-muna>walah yang dibarengi ijazah), ا لوان ,ى لوان: memberikan kepadaku/kami (untuk al-muna>walah yang tidak dibarengi ijazah).

5. Metode al-Muka>tabah

Metode periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru menuliskan hadisnya yang kemudian diberikan kepada muridnya, baik yang hadis maupun yang tidak hadir. S}ighat-s}ighat yang digunakam untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-muka>tabah di antaranya adalah باتك ناف ى ثَدح: seseorang telah bercerita kepadaku dengan tulisan باتك ناف ى نر ْخا: seseorang telah mengabarkan kepadaku dengan tulisan, باتك ناف ى ثدح: seseorang telah menuliskan kepadaku.

6. Metode al-I’lam

Cara penyebaran hadis yang ditempuh dengan cara seorang guru mengumumkan atau memberitahukan kepada muridnya bahwa ia telah mendengar suatu hadis atau kitab hadis namun informasi tersebut tidak disusul kemudian dengan ungkapan agar hadis/kitab hadis yang telah didengarnya tersebut


(39)

32

diriwayatkan oleh muridnya. S}ighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-I’lam adalah ا ثَدح لاق ناف ى لْعا: seseorang telah memberitahukan kepadaku telah berkata kepada kami.

7. Metode al-Washiyyah

Metode al-washiyyah merupakan salah satu bentuk periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru berwasiat kepada seseorang ketika ia meninggal atau sedang berpergian, agar hadis dan kitab hadis yang telah ia riwayatkan itu diserahkan kepada muridnya. S}ighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-washiyyah ini adalah ا ت ب ن ا ف ى ص ْو ا

ق لا ف ْي ح َد ث ا ا ل ا ى خ

ر : seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab ”telah bercerita pada si Fulan”.

8. Metode al-Wijadah

Periwayatan bentuk al-wijadah ini adalah seorang murid menemukan tulisan hadis yang diriwayatkan oleh gurunya. Diantara lambang periwayatan hadis berdasarkan metode al-wijadah ini adalah ناف طخب تدجو: saya telah membaca

khath (tulisan) si Fulan, ناف طخب تدجو : saya telah mendapat khath si Fulan.39

2.Keshahihan Matan Hadis

Matan secara etimologi berarti punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminologi matan adalah cerminan konsep ideal

39


(40)

33

yang dibiaskan dalam bentuk teks, kemudian difungsikan sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.40

Mayoritas Ulama hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis menjadi penting untuk dilakukan setelah sanad bagi matan hadis tersebut diketahui kualitasnya. Ketentuan kualitas ini adalah dalam hal keshahihan sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat ke-d}a’if-annya.41

Apabila merujuk pada definisi hadith s}ahih yang diajukan Ibnu al-Shalah, maka kesahihan matan hadis tercapai ketika telah memenuhi dua kriteria, antara lain:42

1. Matan hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan (shadh). 2. Matan hadis tersebut harus terhindar dari kecacatan (‘illat).

Maka dalam penelitian matan, dua unsure tersebut harus menjadi acuan utama tujuan dari penelitian.

Karakteristik kesahihan matan dikalangan Ulama hadis sangat bercorak. Corak tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian, alat bantu, dan persoalan serta masyarakat yang dihadapinya. Sebagaimana pendapat al-Khatib al-Baghdadi, bahwa satu matan hadis dapat dinyatakan maqbul sebagai hadis yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan akal sehat

40

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2004), 13. 41

Ismail, Metodologi Penelitian..., 123. 42


(41)

34

2. Tidak bertentangan dengan al-Qur‟an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang telah tetap).

3. Tidak bertentangan dengan hadis mu>tawa>tir

4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan para ulama masa lalu.

5. Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti.

6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.43

Butir-butir tolak ukur yang dikemukakan oleh al-Baghdadi itu terlihat ada tumpang tindih. Masalah bahasa, sejarah dan lain-lain yang oleh sebagian ulama disebut sebagai tolak ukur.44

Secara singkat Ibn al-Jauzi memberikan tolak ukur kesahihan matan, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal maupun dengan ketentuan-ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadis maud}u’. Karena itilah Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama yang menyangkut akidah dan ibadah.45

Dalam prakteknya, Ulama hadis memang tidak memberikan ketentuan yang baku tentang tahapan-tahapan penelitian matan. Karena tampaknya, dengan keterikatan secara letterlik pada dua acuan diatas, akan menimbulkan beberapa kesulitan. Namun hal ini menjadi kerancauan juga apabila tidak ada kriteria yang

43

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi…,126. 44

Ibid., 126. 45

Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), 127.


(42)

35

lebih mendasar dalam memberikan gambaran bentuk matan yang terhindar dari

shadh dan ‘illat. Dalam hal ini, Shaleh al-Din al-Adzlabi dalam kitabnya Manhaj Naqd al-Matan ‘inda al-Ulama al-Hadith al-Nabawi mengemukakan beberapa kriteria yang menjadikan matan layak untuk dikritik, antara lain:46

1. Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan. 2. Rusaknya makna

3. Berlawanan dengan al-Qur‟an yang tidak ada kemungkinan ta’wil padanya ataupun hadis mu>tawa>tir yang telah mengandung suatu petunjuk secara pasti. 4. Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa Nabi.

5. Sesuai dengan madhhab rawi yang giat mempropagandakan madhhabnya. 6. Hadis itu mengandung sesuatu urusan yang mestinya orang banyak

mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya kecuali satu orang.

7. Mengandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil.

8. Susunan bahasanya rancau.

9. Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasioanal.

10. Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agam Islam atau tidak sesuai dengan syari’at Islam.

11. Isinya bertentangan dengan hokum dan Sunnatullah.

46


(43)

36

Selanjutnya, agar kritik tersebut dapat menentukan kesahihan suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis, para Ulama telah menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat kategori, antara lain:47

1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur‟an.

2. Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat. 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah. 4. Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Dengan kriteria hadis yeng perlu dikritik serta tolak ukur kelayakan suatu matan hadis di atas, dapat dinyatakan bahwa walaupun pada dasarnya unsur-unsur kaidah kesahihan matan hadis tersebut hanya dua item saja, tetapi aplikasinya dapat meluas dan menuntut adanya pendekatan keilmuan lain yang cukup banyak dan sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.

C.Teori Pemaknaan Hadis

Pada dasarnya, teori pemaknaan dalam sebuah hadis timbul tidak hanya karena faktor keterkaitan dengan sanad, akan tetapi juga disebabkan oleh adanya faktor periwayatan secara matan. Secara garis besar, penelitian matan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni dengan pendekatan bahasa dan dari segi kandungannya.48

47

Ibid., 128. 48


(44)

37

1. Pendekatan Dari Segi Bahasa

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda dengan latar budaya dan kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian

matan dengan pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapatkan pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah:

a. Pendeteksian hadis yang mempunyai lafaz} yang sama

Pendeteksian lafaz} hadis yang sama ini dimaksudkan untuk mengetahui beberapa hal, antara lain:49

1. Adanya idraj (sisipan lafaz} hadis yang bukan berasal dari Rasulullah SAW).

2. Adanya idhthirab (pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih)

3. Adanya al-Qalb (pemutarbalikan matan hadis).

4. Adanya penambahan lafaz} dalam sebagian riwayat (ziyadah al-thiqah).

b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi

49


(45)

38

Bahasa Arab telah dikenal sebagai bahasa yang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan. Ungkapan majaz menurut ilmu balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki. Rasulullah SAW juga sering menggunakan ungkapan majaz dalam menyampaikan sabdanya.

Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah dan

isti’arah tamthiliyyah atau ungkapan lainnya yang tidak mengandung makna sebenarnya. Makna majaz dalam pembicaraan hanya dapatdiketahui melalui

qarinah yang menunjukkan makna yang dimaksud.50

Dalam ilmu hadis, pendeteksian atas makna-makna majaz tersebut termasuk dalam pembahasan ilmu gharib al-hadith. Karena sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu al-Shalah bahwa ilmu gharib al-hadith adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafaz}-lafaz} dalam matan hadis yang sulit dipahami karena jarang digunakan.51

Tiga metode diatas merupakan sebagian dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus digunakan seperti ilmu nahwu dan s}araf sebagai dasar keilmuan dalam bahasa Arab.

2. Pendekatan Dari Segi Kandungan Makna Melalui Latar Belakang

Turunya Hadis

Mengetahui tentang sebab turunnya suatu hadis sangatlah penting, karena dengan mengetahui historisasi sebuah hadis, maka dapat dipahami seting sosial

50

Qardhawi, Studi Kritis…, 185. 51


(46)

39

yang terjadi pada saat itu, sehingga dapat memberikan pemahaman baru pada kontek sosial budaya masa sekarang dengan lebih komprehensif.

Dalam ilmu hadis, pengetahuan tentang historisasi turunnya sebuah hadis dapat dilacak melalui ilmu asbab al-wurud al-hadith. Cara mengetahuinya dengan menelaah hadis itu sendiri atau hadis lain, karena latar belakang turunnya hadis ini ada yang sudah tercantum di dalam hadis itu sendiri dan ada juga yang tercantum di hadis lain.52

Adanya ilmu tersebut dapat membantu dalam pemahaman dan penafsiran hadis secara obyektif, karena dari sejarah turunnya, peneliti hadis dapat mendeteksi lafaz}-lafaz} yang ‘am (umum) dan khash (khusus). Dari ilmu ini juga dapat digunakan untuk men-takhsis-kan hukum, baik melalui kaidah “al-ibratu bi khushus al-sabab” (mengambil suatu ibrah hendaknya dari sebab-sebab yang

khusus) ataupun kaidah “al-ibratu bi ‘umum al-lafaz} la bi khushus al-sabab

(mengambil suatu ibrah itu hendaknya berdasar pada lafaz} yang umum bukan sebab-sebab yang khusus).53

52

Ibid., 327. 53


(47)

BAB III

SUNAN

TIRMIDHI>

DAN HADIS TENTANG SALAT TAHAJUD

SEBAGAI PENGOBATAN ALTERNATIF

A.Biogarfi Imam al-Tirmidhi>

Nama lengkap beliau Abu> ‘I>sa Muhammad ibn Ibnu Sawrah ibn Mu>sa ibn al-Dah>h>ak al-Sullami> al-Bughi al-Tirmidhi> al-Dariri. Beliau dilahirkan di kota Turmudz kawasan Bolkaha yang terkenal juga dengan sebutan Jihun di daerah Transokiana di Asia Tengah. Menurut keterangan sebagian ulama hadis, Imam Tirmidhi> dilahirkan tahun 200 H (815 M) dan menurut sebagian Ulama lagi tahun 209 H (824 M).1

Ahmad Muhammad Shakir menambah dengan sebutan al-Dariri karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya. Sedangkan al-Sullami adalah nisbah kepada Bani Sulaim, sebuah kabilah dari suku „Aylan. al-Tirmidhi> adalah nisbah kepada tempat kelahiran beliau yaitu Turmudh, sebuah kota kuno yang terletak di pinggiran sungai Jihun (Amudariyah) utara Iran, di kota ini kemudian dikenal dengan gelar al-Tirmidhi>.2

Sejak kecil beliau sudah senang mempelajari ilmu hadis dan fiqh, beliau menimba ilmu di berbagai wilayah yang meliputi Khurasan, Iraq dan Hijaz serta lainnya untuk mencari hadis dengan menemui guru-guru ilmu hadis.3 Di tempat-tempat itu ia selalu mencatat hadis yang didengar dari para Ulama yang

1

Depag RI, Ensiklopedia Islam III (Jakarta: tp, 1993), 1246-1248. 2

Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub, 1994), 45-47.

3Muhammad Abu Syu‟bah

, Kitab Hadis Shahih yang Enam, cet II (Bogor: Litera Antar


(48)

41

ditemuinya. Mereka itu antara lain adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud,

Qutaibah ibn Sa‟id, Ishak ibn Musa, Mahmud ibn Ghailan, Sa‟id ibn Abdurrahman, Muhammad ibn Bashar, Ali ibn Hajar, Ahmad ibn Mani‟, dan

Muhammad ibn al-Musanna.4

Imam al-Tirmidhi> dikenal orang sebagai orang yang luas hafalannya, banyak telaahnya, ahli hadis dan ilmu hadis. Kedalaman ilmunya di bidang ilmu hadis, tergambar, terutama dalam kitabnya al-jami‟ al-Tirmidhi>.

Tidak sedikit murid-murid Imam al-Tirmidhi>, diantaranya ialah Makhul ibn Fadl, Muhammad ibn Mahmud Anbar, Hammad ibn Shakir, Abdullah ibn Muhammad Nasfiyyun, Haisham ibn Kulain Shashi, Ahmad ibn Yusuf al-Nasafi, dan Abdul Abbas Muhammad ibn Mahbubi yang ikut meriwayatkan kitab al-Jami‟.5

Dari sisi kepribadiannya, Imam al-Tirmidhi> adalah tokoh yang disamping

zuhud dan wara‟ ia juga individu yang suggestible, mudah hanyut perasaannya setiap menyaksikan derita orang lain, karenanya tidak jarang ia menangis dan di akhir hayatnya menderita buta total. Sedangkan dari keintelektualnya, ia dikenal orang sebagai sosok yang luas hafalannya, banyak telaahnya dan juga ahli hadis beserta ilmunya.6

Pada usia 40 tahun al-Tirmidhi> berguru kepada Imam Bukhari di bidang hadis, sehingga beliau dikenal sebagai korp diskusi dalam bidang hadis. Tampak membekas sekali pengaruh pembinaan Imam Bukhari sehingga dalam kalangan

4

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2005), 118. 5

Ibid., 119.


(49)

42

muhadisin Imam al-Tirmidhi> di kenal sebagai Al-Hafidz al-Naqd (kritikus hadis). Selain itu juga beliau belajar kepada Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan lainnya.7

B.Kitab Sunan al-Tirmidhi>

Kitab yang telah disusun dan diselesaikan pada 10 Dhulhijjah 270 H.8 Kitab ini memiliki judul lengkap al-Jami al-Mukhtasar min al-Sunan ‘an Rasulillah.9 Nama al-Jami’ karena kitab ini memuat delapan pokok kandungan hadis yang antara lain meliputi hadis tentang siyar (hukum Internasional), adab (perilaku),

tafsir (tafsir al-Qur‟an), ‘aqidah (keyakinan/keimanan), fitan, ahka>m, (hukum dengan berbagai jenisnya), al-asyrrat wa al-manaqib (biografi Nabi dan para sahabat tertentu), al-fad}ail (keutamaan-keutamaan).10

Pola dasar yang dipegang Imam al-Tirmidhi> dalam menyampaikan setiap hadis dalam al-jami’ adalah menjadikan hadis sebagai bahan kajian (referensi) yang siap pakai. Pola tersebut di jabarkan dalam bentuk:

1. Rumusan judul atau tema pokok pembicaraan atau kandungan hadis.

2. Keterangan rinci tentang derajat nilai hadis dikaitkan dengan nilai kehujjahan dalam disiplin syariah Islamiah. Imam al-Tirmidhi> layak dipandang sebagai orang yang pertama mencantumkan penilaian terhadap derajat mutu setiap

7

Hasjim Abbas, Pengantar Studi Kitab-Kitab Hadis Standar (Laporan Penelitian Bogor: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, 1993), 60-61.

8

Muhammad Must}afa Azami, Metodologi Kritik Hadis, ter. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 157.

9

Suryadi, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2003), 249.

10


(50)

43

hadis termasuk didalamnya menyingkap aspek ‘illat pada setiap hadis setempat.

3. Melengkapi setiap hadis dengan ulasan yang mengarah pada fiqhul hadis terdiri atas pandangan fuqaha generasi sahabat, tabi‟in dan Ulama yang hidup

sezaman dengan Imam al-Tirmidhi> sampai pada tingkat relevansi kandungan hadis yang bersangkutan dengan praktik amaliah Ulama sezaman atau sebelum periode Imam al-Tirmidhi>.

4. Menyajikan data individu perawi atau rijalul hadith lengkap dengan nama diri, penggilan kehormatan (kauniyah) dan sedikit tentang indikasi jarh wa ta’dil perawi yang bersangkutan.11

Dalam mengembangkan keilmuannya, Imam al-Tirmidhi> menulis beberapa kitab atau karya-karya sebagai berikut:

1. Al-Jami‟ah al-Mukhtasar min al-Sunan „an Rasulullah 2. Tawarikh

3. Al-„Illal

4. Al-„Illah al-Akbar 5. Shamail

6. Asma‟ al-Shahabah 7. Al-asma‟ wa al-Kuna 8. Al-Atsar al-Mawqufah.12

11

Hasjim Abbas, Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar (Surabaya: Bidang Penerbitan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2003), 77-78.

12


(1)

84

Hormon kortisol dikeluarkan oleh kelenjarnya secara periodic, sehingga

membentuk suatu irama yang disebut sebagai irama sirkadian. Kadar kortisol tertinggi dicapai setelah tengah malam (dini hari) hingga siang hari. Untuk menurunkan kadarnya secara umum sehingga dapat sehat dengan kekebalan yang tinggi yakni dengan cara melakukan shalat tahajud.

Shalat tahajjud yang dilakukan dengan khusyuk, ikhlas, kontinyu dan penuh pengharapan akan ridho Allah SWT pada waktu tengah malam dapat mendatangkan rasa ketenangan dan ketentraman yang luar biasa. Suasana yang tenang dan sunyi pada malam hari tentu dapat menunjang konsentrasi, sehingga kekhusyukan dalam shalat lebih mudah didapat. Dalam kondisi seperti ini, bacaan shalat dan do‟a yang dipanjatkan dapat lebih mudah diresapi maknanya. Sehingga, shalat tahajud dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif akan datangnya pertolongan Allah SWT.

Ketenangan Shalat tahajjud yang dilakukan di penghujung malam yang sunyi, dapat mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Sementara ketenangan itu sendiri terbukti mampu meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan meningkatkan usia harapan hidup. Sebaliknya, bentuk-bentuk tekanan mental seperti stres maupun depresi membuat seseorang rentan terhadap berbagai penyakit, Infeksi dan mempercepat perkembangan sel kanker serta meningkatkan metastasis (penyebaran sel kanker). Tekanan mental itu sendiri terjadi akibat gangguan irama sirkadian (siklus bioritmik manusia) yang ditandai dengan peningkatan Hormon Kortisol. Perlu


(2)

85

diketahui Hormon Kortisol ini biasa dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui

kondisi seseorang apakah jiwanya tengah terserang stres, depresi atau tidak.11 Shalat tahajud dari sisi lahiriah sangat bermanfaat, ketika rajin menunaikan shalat sunnah ini, akan terbebas dari penyakit baik fisik maupun psikis. Selain itu shalat tahajud dapat mengefektifkan kemampuan seseorang dalam menanggulangi masalah yang dihadapi. Shalat ini akan berdampak positif bagi seseorang ketika dia mampu mendirikannya dengan ikhlas.12

11

Muhammad Sholeh, Terapi Shalat Tahajud (Jakarta: PT Mizan Publika, 2006), 46. 12


(3)

86

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap hadis Imam al-Tirmidhi> No Indeks 3549, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hadis tentang shalat tahajud sebagai pengobatan alternatif merupakan hadis gharib. Menurut Imam al-Nasa’i dan al-Darkutni salah satu perawinya dha’if dan

matruk. Namun hadis ini ditunjang oleh jalur sanad dari Imam Baihaqy yang

berstatus hasan. Maka hadis tersebut masih bisa dipakai untuk lil fadhailul a’mal. 2. Pemaknaan hadis tentang shalat tahajud dapat menyembuhkan berbagai penyakit,

diantaranya penyakit fisik dan psikis. Penyakit fisik meliputi penyakit diabetes, mengurangi risiko pembekuan darah di pembuluh darah dari jaringan mata, mengurangi kenaikan tekanan darah, penyakit rematik, serangan jantung, stroke, dan penyakit lainnya. Dan penyakit psikis meliputi stress atau depresi.

B.Saran

Kajian hadis tentang shalat tahajud sebagai pengobatan alternatif dalam Sunan al-Tirmidhi> nomor indeks 3549 dalam skripsi ini masih perlu dilakukan penyempurnaan. Adanya saran dan kritikan terhadap skripsi ini masih sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan bagi masyarakat dalam bidang tafsir hadis.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. 2004. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: TERAS

Abu Syu‟bah, Muhammad. 1991. Kitab Hadis Shahih yang Enam, cet II. Bogor: Litera Antar Nusa

al-Adabi, Shalih al Din Ibn Ahmad. 1983. Manhaj Naqdi al Matan Inda al Ulama

al Hadis al Nabawi. Beirut: Dar al-Afak al-Jadidah

al-Husaini, Ibnu Hamzah. 2007. Asbabul Wurud Latar Belakang Historis

Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, juz III. Jakarta: Kalam Mulia

Ali Abdilah, Muhammad bin Shalih. 2011. Kiat Mudah Shalat Tahajud Surakarta: Navida Media

al-Khatib, Ajjaj. 2006. Us}ul al-Hadith. Beirut: Darul Fikr

al-Mazzi>, Jama>luddi>n Yu>suf. Tt. Tahdi>b al Kama>l fi> Asma’> al Rija>l, Juz I. Beirut: Dar al Fikr

al-Mundziri, Al-Hafizh Zaki Al-Din. 2002. Ringkasan Shohih Muslim, Terj. Syinqithy Djamaluddin dan H.M. Mochtar Zoerni. Mizan

Al-Qur‟an dan Terjemah

Arifin, Zainul. 2010. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Al-Muna

ash-Shiddieqy, Hasbi. 2002. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putera

As-Siba‟I, Musthafa. 1990. Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum. Bandung: Diponegoro

Azami, Muhammad Must}afa. 1996. Metodologi Kritik Hadis, ter. A. Yamin. Bandung: Pustaka Hidayah

Casmini, 2002. Keistimewaan Shalat Ditinjau Dari Aspek Psikologi dan Agama, dalam jurnal Hisbab vol. 1 Nomor 1. Yogyakarta: Jurusan BPI Fakultas Dakwah IAIN SUKA

Depag RI. 1993. Ensiklopedia Islam III. Jakarta: tp


(5)

88

Haryanto, Sentot. 2003. Psikolog Shalat Yogyakarta: Mitra Pustaka Imam al-Tirmidhi>. 1994. Sunan al-Tirmidhi>juz 1. Beirut: Dar al-Kutub Indriani, Irma. 2014. Mukjizat Shalat Malam. Pustaka Makmur

Isma‟il, Syuhudi. 1992. Metode Penelitian Hadis Nabi, Cet I. Jakarta: Bulan Bintang

Isma‟il, Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan

Pemalsunya, Cet I. Jakarta: Gema Insani Press

Isma‟il, Syuhudi. 1995. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet II. Jakarta: Bulan Bintang

Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga

Kurniasih, Imas. 2008. Indahnya Tahajud. Yogyakarta: Mutiara Media Ma‟ruf, Sabil. Energy Shalat. PT Mizan Publika

Maktabah Shamela versi 51.

Muhammad bin Saurah, Abi „Isa. Tt. Jami’ Shohih Sunan At-Tirmidhi> , Juz V. Lebanon: Darul „Ilmiyah

Muhlisin, Muhammad. 2014. Amalkan Shalat Tahajud & Dhuha Pasti Hidupmu

Sukses, Kaya & Bahagia. Yogyakarta: Lafal

Noorhidayati, Salamah. 2009. Kritik Teks Hadis. Yogyakarta: TERAS

Qardhawi, Yusuf. 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad Al-Baqir. Bandung: Karisma

Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: Al-Ma‟arif

Salam, Bustamin dan M. Isa H. A. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo

Sisbani, “Shalat Tahajud Sebagai Terapi Berbagai Penyakit”,

http://sisbani.blogspot.com/2010/08/shalat-tahajud-sebagai terapi

berbagai/(Senin, 29 Desember 2014, 16.00)


(6)

89

Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, cet I. Malang: UIN-Malang Press

Suparta, Manzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Suryadi. 2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, cet I. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah

Tahhan, Mahmud. 1995. Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, ter. Ridlwan Nasir. Surabaya: Bina Ilmu

Tobroni, Roni. 2008. Mukjizat Shalat Malam. Bandung: Mizan

Yuslem, Nawer. 2001. Ulumul Hadis. Ciputat: Mutiara Sumber Widyas

Zayyan, Sobron. 2011. Dahsyatnya Shalat Fardhu dan Sunnah. Bandung: Kawan Pustaka

Zuhri, Muhammad. 1997. Hadis Nabi (Sejarah dan Metodologinya). Yogyakarta: Tiara Wacana

Zuhri, Muhammad. 2003. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya