Metode penyelesaian hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah W. 276H dalam kitab Ta'wil Mukhtalif al-Hadith.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Fitah Jamaludin, “Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif Menurut Ibn Qutaybah (W. 276H) Dalam Kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th.

Permasalahan hadis mukhtalif cukup menjadi perhatian besar bagi ulama hadis

maupun ulama fiqh, salah satunya adalah Ibn Qutaybah. Dia adalah ulama hadis yang

menekuni permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th, ini terwujud dalam karyanya yaitu kitab Ta’wi>l Muktalif al-H{adi>th.

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, 1) Bagaimana konsep

hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H), 2) Bagaimana metode Ibn

Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif di dalam kitab

Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th. Dan kemudian dianalisis dengan tujuan mengatahui

konsep dan metode pemahaman hadis mukhtalif Ibn Qutaybah.

Penelitian tentang metode memahami hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah

dalam kita Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th ini menggunakan pendekatan analisis

deskriftif, yang mengklasifikasikan data-data sesuai permasalahan dan dianalisa isinya dan diberi kesimpulan pada akhir penelitian. Karena itu kegiatan penelitian ini menganalisis data kegiatan, program kegiatan masa lalu dan lebih mengarah pada penelitian peristiwa, pemikiran, solusi, dan yang lainnya, penelitian ini pula menggunakan pendekatan analitis historis.

Dalam penelitian kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th terdapat beberapa hasil

penelitian, yaitu beberapa pengelompokan hadis mukhtalif berdasarkan pemikiran Ibn

Qutaybah, yaitu hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan dengan hadis lainnya,

kemudian hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an,dan yang terakhir adalah hadis

yang bertentangan dengan akal. Selanjutnya, metode yang digunakan olehnya dalam

memahami hadis mukhtalif adalah metode al-jam‘u, naskh, maupun al-tarji>h}.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian dan pertimbangan bagi para pembaca maupun peneliti teks tentang agama, khususnya dalam bidang hadis maupun ilmu hadis.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... .. iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... .. v

ABSTRAK ... ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II DESKRIPSI TENTANG KAJIAN IKHTILA<F AL-H{ADI<TH A. Pengertian Ikhtila>f al-H{adi>th ... 15

B. Sejarah Ikhtila>f al-H{adi>th ... 21


(8)

D. Pendapat Ulama Tentang Ikhtila>f al-H{adi>th ... 32 E. Cara Mengatasi Permasalahan Ikhtila>f al-H{adi>th ... 34 BAB III METODE IBN QUTAYBAH (W 276 H) DALAM MENYELESAIKAN

IKHTILA<F AL-H{ADI<TH

A. Ibn Qutaybah (w 276 H) dan Kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th. .. 42

B. Konsep Hadis-hadis Mukhtalif Menurut Ibn Qutaybah (w 276 H) 56

C. Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif dalam Kitab Ta’wi>l

Mukhtalif al-H{adi>th ... 65

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IBN QUTAYBAH (W 276 H) DALAM

PENYELESAIAN HADIS-HADIS MUKHTALIF

A.Analisis tentang Konsep Hadis Mukhtalif menurut Ibn Qutaybah

(w 276 H) ... 83

B.Analisis Tentang Metode Pemahaman Ibn Qutaybah (w 276 H)

Terhadap Hadis-Hadis Mukhtalif ... 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran-saran ... 94


(9)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nabi Muhammad saw menurut al-Qur’an adalah Rasul utusan Allah, Nabi

yang terakhir, penyampai ajaran agama Islam, perilakunya merupakan teladan

yang baik, dan kehadirannya membawa berita yang menggembirakan dan berita

yang menakutkan, selain itu kehadirannya merupakan rahmat bagi semesta alam.1

Apabila demikian, seluruh hadis Nabi merupakan bagian penting dalam dari bukti

keutamaan Nabi dalam mempraktekkan ajaran agama Islam.

Dalam al-Qur’an pula dinyatakan bahwa dalam menyampaikan ajaran

Islam, Nabi mendapatkan bimbingan dari Allah Swt, seperti ketika Nabi

diperintah untuk menyampaikan dakwahnya dengan bijaksana. Tentunya perintah

tersebut ia laksanakan dengan penuh kesempurnaan karena kepatuhan Rasulullah

Saw kepada Allah sangatlah tinggi. Apabila Nabi keliru dalam menjalankan

perintah Allah, niscaya Allah akan mengingatkannya.2

Hadis-hadis yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw merupakan

sumber rujukan kedua dalam syariat Islam setelah al-Qur’an, dan menjadi pangkal

kedua dari hukum-hukum shar‘i.3

1

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 109.

2

Ibid., 110.

3

Na>fidh H{usayn H{amma>d, Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Fuqaha>’ wa Al-Muh}addithi>n, (t.tp.: Da>r al-Wafa>’, 1993), 5.


(10)

2

Allah berfrman dalam surat al-Nisa>’: 59,

آ ي ا يأ ي

ْم ْ رْ أْا ي وأو وسر ا اوعيطأو ا اوعيطأ او

و ْ ت ْمتْك ْ إ وسر او ا ى إ وّرف ءْيش يف ْمتْع ت ْ إف

يوْأت سْحأو رْيخ ك ذ رخ ْا ْويْاو ب

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan uli>

al-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika

kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu

lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”4

Hadis Nabi pula berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur’an tersebut,

sebagai penafsirannya, sebagai baya>n atas kemushkilan al-Qur’an, dan lain

sebagainya. Dan sesungguhnya tidaklah mungkin mengamalkan apa yang telah

tertulis dalam al-Qur’an tanpa ada penjelasan dari Rasulullah Saw melalui sabda,

perbuatan, maupun keputusan Nabi.5 Allah Swt berfirman dalam surat al-Nah}l,

44:

و ْم ْي إ ّ

يبت رْك ا كْي إ ّْْأو

ور فتي ْم ع

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka

memikirkan.”6

Selain itu, dalam surat al-Nah}l: 64,

ّ و يف اوف تْخا ّ ا م يبت إ ت ْا كْي ع ّْْأ و

و ْ ي ْوق ة ْح و

4

Departemen Agama R.I., al-Qur’an dan Terjemahannya (Solo: PT Qomari Prima Publiser, 2007), 114.

5

H{amma>d, Mukhtalif al-H{adi>th…, 5.

6


(11)

3

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar

kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan

menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”7

Ketika hadis atau sunnah tersebut benar-benar dari Nabi, maka ia

merupakan syariat dan petunjuk bagi kaum muslimin yang harus dipatuhi.

Sebagian hadis ada yang berupa wahyu melalui Jibril, sebagian melalui ilham, ada

pula yang melalui ijtiha>d Rasulullah.8

Ketika Rasulullah Saw melakukan ijtiha>d dan tidak turun wahyu yang

mengingatkannya dalam bentuk teguran, maka dianggaplah keputusan dalam

berijtiha>d tersebut datangnya dari Allah, dengan artian apa yang datang dari Nabi

Muh}ammad adalah wahyu, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat

al-Najm, 1-4:

و اذإ مّْ او

,

وغ و ْم بح ص ّ

,

ع قطْي و

و ْا

,

ىحوي يْحو إ و ْ إ

.

“Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula

keliru. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa

nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya).”9

Nabi Muhammad hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi Nabi

dengan masyarakat tidak hanya terjadi secara satu arah saja (dari Nabi kepada

ummatnya), tetapi komunikasi tersebut terjadi dua arah secara timbal balik.

Terkadang Rasulullah menerima pertanyaan dari para sahabatnya. Bahkan, pada

7

Ibid., 373.

8

Muh}ammad b. Muh}ammad Abu> Shahbah, Difa>‘ ‘An al-Sunnah (t.tp.: Maktabah al-Sunnah, 1989), 5.

9


(12)

4

kesempatan tertentu, Nabi mengomentari peristiwa yang sedang terjadi. Selain

adanya sebab yang memunculkan hadis tersebut, ada pula hadis yang bersifat

umum dan ada yang bersifat khusus.10

Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar

belakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai

kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Bisa saja sebuah hadis

dipahami secara tekstual, dan ada hadis-hadis lain yang hanya dapat dipahami

secara kontekstual. Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan apabila ada

petunjuk hadis yang kuat dan mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami

dan diterapkan secara tersirat (kontekstual).11

Namun terkadang ada beberapa hadis Nabi yang apabila diperbandingkan,

dari segi sanadnya sama-sama s}ah}i>h}, maka dapat ditemukan beberapa hadis yang

tampaknya saling bertentangan, dan itu menimbulkan kesan yang tidak sejalan

pada petunjuk Nabi dalam memandang suatu persoalan. Ada beberapa kelompok

yang menyatakan bahwa riwayat hadis yang bersangkutan bukanlah berasal dari

Nabi, alasannya mustahil Nabi memberikan petunjuk kepada umatya denagn

petunjuk yang saling bertentangan. Kalangan tertentu ada yang menjadikan

masalah pertentangan pada hadis Nabi tersebut bukanlah termasuk dalam ajaran

agama Islam.12

Beberapa kelompok ahl bid‘ah melancarkan serangan dengan gencar

terhadap sunnah dan ahli hadis karena kesalahan mereka dalam memahami hadis,

10

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 5.

11

Ibid., 6.

12


(13)

5

sehingga mereka membuat tuduhan bahwa ahli hadis telah berdusta dan

meriwayatkan keterangan-keterangan yang bertentangan, lalu menyandarkannya

kepada Nabi Saw .13

Beberapa pandangan di atas telah mengesampingkan bahwasannya ada

kemungkinan kebijaksanaan Nabi yang telah mengharuskan lahirnya

bentuk-bentuk pernyataan yang tampak saling bertentangan. Ulama ahli hadis telah

mengajukan beberapa tawaran penyelesaian terhadap kajian h}adi>th mukhtalif

sehingga hadis-hadis yang tampaknya bertentangan itu dapat teratasi.14

Perkara ikhtila>f al-h}adi>th telah berlangsung di kalangan ulama, dan dalam

penyelesaiannya para ulama mengelompokkan kajian ini ke dalam salah satu

kajian ilmu hadis yaitu, mushkil al-h}adi>th, ikhtila>f al-h}adith, ta’wi>l al-h}adi>th, dan

talfii>q al-h}adith. Maksud dari setiap penamaan tersebut adalah sama.15

Dari itulah, membahas permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th menjadi sesuatu

yang penting dalam membangun pemikiran yang islami, dan membentuk

pemikiran yang berbeda-beda pada ummat Islam, khususnya dalam hal

pencegahan serangan akhlaq maupun pikiran. Para ulama telah mengerahkan

upaya mereka dalam segala hal untuk menjaga kemuliaan hadis Nabi, menjaga

dari segala apa yang dapat meruntuhkan hadis itu sendiri, melalui

13

Nu>r al-Di>n ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandung: Rosdakarya, 2012), 350.

14

Ibid., 111.

15

Muh}ammad ‘Ajja>j al-Kha>tib, Us}u>l al-H{adi>th ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu (Beyru>t: Da>r al-Fikr, 2009), 183.


(14)

6

pemikiran yang menyeleweng dari pemikiran yang benar, dan para ulama’

tersebut tidak pernah menyerah dalam melakukannya.16

Beberapa ulama telah mencurahkan ilmu mereka dalam penyusunan

literatur dalam bidang ikhtila>f al-h}adi>th. Dalam sejarah, ulama yang terkenal

dalam penyusunan kitab tersebut adalah Ima>m al-Sha>fi‘i (w 203 H) dengan

karyanya yang berjudul Ikhtila>f al-H{adi>th. Kemudian disusul oleh Ibn Qutaybah

(w 276 H) yang menyusun kitab dengan judul Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th, selain

itu ada pula ada karya al-T{ah}}a>wi> (w 321 H) yaitu Mushkil al-A>tha>r, Abu Bakr

Muhammad b. Al-H{asan (Ibn Fu>raq) (w 406 H) yaitu Mushkil al-H{adi>th wa

Baya>nuhu, dan lain sebagainya.17

Kegigihan ulama terhadap kajian ikhtila>f al-h}adi>th telah ada pada masa sahabat, mereka berijtihad dengan memadukan berbagai hadis lalu menjelaskan

dan menjabarkan maknanya. Kemudian berlanjut hingga masa ulama-ulama

setelahnya. Salah satu ulama yang mempunyai peran penting dalam kajian ikhtila>f

al-h}adi>th adalah Ibn Qutaybah (w 276 H), dia seorang yang menguasai banyak

cabang ilmu: bahasa Arab, Nah}wu, sastra Arab, tafsir, hadis, fiqh, dan lain-lain.

Dalam bidang hadis, ia berguru kepada Abu> Ya‘qu>b Ish}a>q b. Ibra>hi>m b. Makhlad

b. Ibra>hi>m al-Hanzali> al-Mrwa>zi> (w 238 H).18

Salah satu karyanya dalam bidang hadis adalah kitab Ta’wi>l Mukhtalif

al-H{adi>th, kitab ini adalah hasil karya terpenting miliknya dan sekaligus cerminan

16‘Abd Alla>h Sha‘ba>

n ‘Ali, Ikhtila>f al-Muh}addithi>n wa al-Fuqaha>’ fi al-H{ukmi ‘Ala al -H{adi>th (Kairo: Da>r al-H{adi>th, t.th), 5.

17

Al-Kha>tib, Us}u>l al-H{adi>th… 184.

18

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, vol III (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2005), 95.


(15)

7

zamannya, yakni pembelaan hadis dari serangan musuh Islam. Dalam kitab Ta’wi>l

Mukhtalif al-H{adi>th ini Ibn Qutaybah menggambarkan betapa gencarnya serangan

terhadap hadis pada masa itu. Dalam kitab tersebut Ibn Qutaybah (w 276 H)

menyelesaikan hadis-hadis yang tampak saling bertentangan. Karena banyak

kalangan yang menolak hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan.19

Dalam memahami hadis mukhtalif, para ulama pun berbeda

metode-metode yang digunakannya, dari itulah penulis berusaha mengurai metode-metode yang

digunakan oleh Ibn Qutaybah, lalu membandingkan dengan metode ulama lain

dalam memahami hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan. Karena di atas

telah disinggung bahwasannya ada sebagian kelompok yang menolak adanya

pertentangan dalam hadis, bahkan ada yang berpendapat bahwa itu bukan dari

Nabi SAW.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas, dalam penelitian ini penulis hendak membahas tentang

kajian ikhtilaf al-h}adi>th, dan dapat diperrinci sebagai berikut: 1. Sejarah ikhtila>f al-h}adi>th.

2. Kajian seputar ikhtila>f al-h}adi>th dan hubungannya dnegan kajian mushkil

al-h}adi>th.

3. Biografi Ibn Qutaybah (w 276 H) dan pembahasan tentang kitab Ta’wi>l

Mukhtalif al-H{adi>th.

4. Konsep hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H).

19


(16)

8

5. Metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam memahami hadis-hadis mukhtalif.

6. Konsep ikhtila>f al-h}adi>th menurut ulama. 7. Peranan ikhtila>f al-h}adi>th dalam kritik hadis.

Dari sekian banyak masalah di atas, penulis batasi pada:

1. Konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H).

2. Metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam memahami hadis-hadis mukhtalif di

dalam kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan pembatasan masalah, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H)?

2. Bagaimana metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan hadis-hadis

mukhtalif di dalam kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendiskripsikan konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276

H).

2. Mendiskripsikan metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan


(17)

9

E. Kegunaan Penelitian

Selanjutnya, dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan

(manfaat) sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membantu para pembaca untuk

memahami pemikiran Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan

hadis-hadis mukhtalif dalam kitabnya dan perbandingan dengan metode ulama lain.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi para

pengkaji hadis, yang khususnya adalah mahasiswa Ilmu Hadis, dalam rangka

mengembangkan kajian ilmu hadis dan ilmu-ilmu lainnya yang bersangkutan.

Sehingga dapat dipahami secara benar oleh masyarakat sesuai dengan kondisi

dan kebutuhan pada saat ini. Dan untuk menegaskan kembali pentingnya hadis

sebagai salah satu sumber hukum dalam agama Islam.

F. Tinjauan Pustaka

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan tinjauan pustaka, untuk kajian ini

dimaksudkan untuk meninjau kembali penelitian-penelitian terdahulu yang sudah

ada dalam pustaka untuk menghindari adanya kesamaan maksud dalam penelitian

tersebut jika memang ada.

Secara umum buku yang membahas tentang pemahaman dalam kajian


(18)

10

1. Buku yang ditulis oleh Muh. Zuhri yang berjudul Telaah Matan Hadis,

Sebuah Tawaran Metodologis, buku tersebut membahas kritik dan

pemahaman terhadap hadis beserta langkah-langkah pendekatannya.20

2. Disertasi yang ditulis oleh Suryadi yang berjudul Metode Pemahaman Hadis

Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muh}ammad al-Ghazali> dan Yu>suf al-Qard}a>wi>).

Metode dalam karya tersebut menggunakan metode perbandingan antara Muh}ammad al-Ghaza>li> dan Yu>suf al-Qard}a>wi>, kemudian membahas metode

al-Ghaza>li> dan Yu>suf al-Qard}a>wi> dalam memahami hadis-hadis nabi, lalu

dibahas pula karakteristik metode keduanya, orisinalitas pemikiran, tipologi

pemikiran dan implikasi pemikiran.21

3. Disertasi yang ditulis oleh Agusni Yahya yang berjudul Otentisitas Dan

Pemahaman Hadis-Hadis Mukhtalif, Studi Pemikiran Ibn Taymiyyah. Karya

ini membahas tentang pemikiran Ibn Taymiyyah mengenai otentisitas hadis,

lalu membahas tentang pemahaman dan penyelesaian hadis-hadis mukhtalif

Ibn Taymiyyah.22

Penelitian yang dilakuakn oleh penulis, lebih kepada bagaimana Ibn

Qutaybah memecahkan permasalahan hadis-hadis mukhtalif, dari bagaimana

cara menjama‘, bagaimana cara menasakh dan mentarji>h.

20

Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003).

21Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muh}

ammad al-Ghazali> dan Yu>suf al-Qard}a>wi>)” (Disertasi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004).

22Agusni Yahya, “

Otentisitas Dan Pemahaman Hadis-Hadis Mukhtalif, Studi Pemikiran Ibn Taymiyyah” (Disertasi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009).


(19)

11

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa langkah

yang akan ditempuh, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam

penelitian kepustakaan (Library Research), karena objek penelitiannya adalah

literartur kepustakaan yang mempunyai hubungan dengan permasalahan

penelitian.

2. Sumber Data

Sesuai dengan pokok kajian yang akan diteliti yaitu bagaimana

pemahaman Ibn Qutaybah terhadap hadis-hadis mukhtalif dan

perbandingannya terhadap metode ulama lain, maka beberapa sumber data

yang akan digunakan terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data

sekunder, antara lain:

a. Sumber data primer.

1) Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th karya Abu> Muh}ammad ‘Abd Allah b. Muslim b. Qutaybah (w 276 H).

b. Sumber data sekunder.

1) Kita>b Mushkil al-Hadi>th aw Ta’wi>l al-Akhba>r al-Mutasha>bihah karya

Abu> Bakr b. al-H{asan b. Fu>raq al-Is}bah>ni> al-Ash‘a>ri> (w 406 H).

2) Tuh}fat al-Akhya>r Bi Tarti>b Musykil al-A>tha>r karya Abu> Ja‘far


(20)

12

3) Kayfa Nata‘amalu Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Yu>suf al-Qard}a>wi>.

4) Us}u>l al-H{adi>th ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu karya Muhammad ‘Ajja>j

al-Khat}i>b.

5) Ikhtila>f al-Muh}addithi>n wa al-Fuqaha’ fi al> -H{ukmi ‘Ala al-H{adi>th,

karya ‘Abd Allah Sha‘ba>n ‘Ali.

6) Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th, karya Mah}mu>d al-T{ah}h}an>n.

7) Manhaj al-Tawfi>q wa al-Tarji>h} Bayna Mukhtalaf al-H{adi>th wa

Atharuhu Fi al-Fiqh, karya ‘Abd al-Maji>d Muhammad Isma‘i>l.

8) Al-I‘tiba>r fi> al-Na>sikh wa al-Mansu>kh min al-A>tha>r, karya Abu> Bakr Muh{ammad b. Mu>sa> b. al-H{amda>ni>.

9) Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n

al-Fuqaha>’, karya Usa>mah b. ‘Abd Alla>h Khayyat}.

10)S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, karya Muh}ammad b. Isma>‘i>l Abu> ‘Abd Alla>h al

Bukha>ri>.

11)Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Fuqaha>’ wa Al-Muh}addithi>n, karya

Na>fidh H{usayn H{amma>d, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik

dokumentasi. Teknik ini diterapkan pada dokumen tertulis tertentu yang

meliputi buku, jurnal ilmiah, dan dokumentasi tertulis lainnya yang

berhubungan dengan kajian penelitian.


(21)

13

Dari pengumpulan data yang berkaitan dengan kajian penelitian, maka

dalam menganalisa data menggunakan metode analisis deskriftif, yaitu setelah

data terkumpul maka diklasifikasikan sesuai permasalahan yang diteliti,

dianalisis isinya dan dibandingkan antara satu data dengan yang lainnya dan

akhirnya diberi kesimpulan.23

Selain itu, digunakan metode historis dan metode content analisis,

dalam hal ini penulis ingin memaparkan sejauh mana pemikiran Ibn Qutaybah

(w 276 H) dalam memahami hadis-hadis mukhtalif.

H. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan tulisan ini terdiri atas 5 bab. Pada setiap bab terdapat

sub-sub yang akan merinci pembahasan pada setiap bab, agar terulas secara

sistematis. Adapun bab-bab tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bab satu, berupa pendahuluan, berisikan uraian tentang latar belakang

permasalahan, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

2. Bab dua, membahas tentang deskripsi tentang kajian ikhtila>f al-h}adi>th yang

meliputi, bagaimana pengertian ikhtila>f al-h}adi>th, sejarahnya, macam-macam

ikhtila>f al-h}adi>th, dan pendapat para ulama tentang khtila>f al-h}adi>th.

3. Bab tiga, paparan tentang biografi Ibn Qutaybah (w 276 H) dan kitab Ta’wi>l

Mukhtalif H{adi>th, kemudian menjelaskan konsep hadis mukhtalif menurut Ibn

23


(22)

14

Qutaybah (w 276 H), lalu memaparkan metode-metode yang digunakannya

dalam mengatasi permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th beserta contoh-contohnya.

4. Bab empat, merupakan analisa terhadap konsep hadis mukhtalif menurut Ibn

Qutaybah (w 276 H) dan analisa terhadap metode-metode yang digunakannya

dalam mengatasi permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th.

5. Bab lima, merupakan bab terakhir atau bab penutup yang terdiri atas

kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran dari peneliti. Kesimpulan

disusun dalam pernyataan-pernyataan yang merupakan jawaban atas


(23)

BAB II

DESKRIPSI TENTANG KAJIAN IKHTILA<F AL-H{ADI<TH

A. Pengertian Ikhtila>f al-H{adi>th

Kata ikhtila>f menurut bahasa adalah bentuk isim masdar dari kata

ikhtalafa-yakhtalifu yang berarti berselisih, tidak sepaham.1 Menurut Ibn Manz}u>r,

kata ikhtila>f berarti lam yattafiq (tidak serasi atau tidak cocok), dan kullu ma> lam

yatasa>wa (segala sesuatu yang tidak sama).2 Menurut Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n arti dari

ikhtila>f adalah kebalikan dari arti “ittifa>q”, sedangkan ikhtila>f al-h}adi>th,

menurutnya berarti hadis-hadis maqbu>l yang bertentangan dengan hadis maqbu>l

yang lainnya dan memungkinkan adanya jam‘u.3

Sedangkan menurut istilah ahli hadis yang lain, arti dari ikhtila>f al-h}adi>th adalah sebagai berikut:

1. Al-Suyu>t}i>: adanya dua hadis yang maknanya saling bertentangan, maka dua

hadis tersebut dapat ditalfi>q atau ditarji>h salah satunya.4

2. „Abd al-Ma>jid al-Ghawri>: hadis-hadis s}ah}i>h} atau hadis h}asan yang saling

bertentangan dan memungkinkan dijam‘ antara dua hadis yang saling

bertentangan tersebut.5

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 362.

2

Jama>l al-Di>n Muh}ammad b. Mukarram b. „Ali b. Ah}mad b. Abu al-Qa>sim b. H{abaqah b. Manz}u>r, Lisa>n al-‘Ara>b (Kairo: Da>r al-Ma„a>rif, t.th), 1240.

3

Mah}mu>d al-T{ahh} }an>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th (t.t.: Markaz al-Hady Li al-Dira>sah, 1405H), 46.

4

Jala>l al-Di>n „Abd al-Rah}man b. Abi> > Bakr al-Suyu>t}i>, Tadri>b Ra>wi> Fi> Sharh} Taqri>b

al-Nawa>wi> (t.t.: Da>r Ibn al-Jawzi>, t.th.), 779.

5

„Abd al-Ma>jid al-Ghawri>, Mawsu>‘ah ‘Ulu>m al-H{adi>th Wa Funu>nuhu, vol III (Beiru>t: Da>r Ibn Kathi>r, t.th.), 206.


(24)

16

3. Na>fiz H{usayn: ilmu yang berkaitan dengan dua hadis yang keduanya tampak

bertentangan/berlawanan.6

4. Sedangkan ikhtila>f al-h}adi>th sebagai kajian sebuah ilmu, yaitu ilmu yang

membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, lalu

dihilangkan pertentangan tersebut atau dikompromikan keduanya.dan ilmu

yang membahas hadis-hadis yang sulit untuk dipahami atau dijelaskan,

kemudian dihilangkan kesamarannya dan dijelaskan hakikat maknanya.7

Dari sejumlah definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

pertama, pertentangan yang terjadi pada hadis-hadis mukhtalif bersifat lahiriah

bukan pada makna dari hadis yang bertentangan tersebut, alasannya bahwa yang

menyampaikan hadis tersebut bersumber dari satu orang yaitu Rasulullah Saw,

maka tidak mungkin Rasul memberikan sabda yang maknanya bertentangan.

Kedua, secara metodologis, penyelesaian hadis mukhtalif pada langkah pertama

dilakukan adalah al-jam‘u atau al-tawfi>q. Apabila ada dua hadis maqbu>l yang

bertentangan dan keduanya dapat dikompromikan, maka hadis tersebut dipandang

sebagai hadis mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data sejarah

yang memastikan bahwa salah satu hadis tersebut datangnya tidak bersamaan,

maka hadis yang datang terakhir dipandang sebagai na>sikh dan yang lainnya

dipandang mansu>kh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan, maka jalan yang

ditempuh selanjutnya adalah tarji>h}. Selanjutnya, apabila metode tarji>h tidak dapat

dilakukan, maka hadis-hadis yang mukhtalif tersebut di-tawaqquf-kan. Melihat

6

Na>fiz Husayn H{amma>d, Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Fuqaha>’ wa al-Muh]addithi>n, (Mesir: Da>r al-Wafa>‟, 1993), 13.

7„Ajja>


(25)

17

metode-metode yang dilakukan untuk menempuh penyelesaian ikhtila>f al-hadi>th,

maka metode tersebut dilakukan secara bertahap dan bukan langsung memilih

metode yang diinginkan, yaitu dengan metode al-jam‘u, al-tawfi>q,atau al-talfi>q.

Jika tidak dapat dilakukan dengan cara yang pertama ini (al-jam‘u), maka secara

bertahap dilakukan dengan metode al-na>sikh, al-tarji>h}, dan al-tawaqquf.8

Hadis-hadis dapat dikatakan bertentangan dengan hadis yang lain apabila

memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Hadis yang bertentangan adalah dari jenis hadis yang kualitasnya maqbu>l, dan

sebaliknya hadis mardu>d bukanlah termasuk dari pembahasan hadis mukhtalif.

2. Hadis yang mukhtalif adalah hadis yang bertentangan dari segi maknanya saja,

tidak dianggap hadis mukhtalif apabila hadis satu dengan hadis yang lain

saling merusak.

3. Hadis yang mukhtalif adalah hadis yang layak untuk dijadiskan hujjah.

Apabila salah satu hadisnya berkualitas d}a‘i>f, maka hadis yang berkualitas

lebih kuat tidah terpengaruh oleh hadis d}a‘i>f yang berlawanan.

4. Antara kedua hadis mukhtalif dimungkinkan untuk dilkukan metode al-jam‘u

ataupun metode al-tarji>h}.9

Pada masa Rasulullah belum ada perbedaan pendapat dalam menentukan

hukum-hukum islam, para sahabat masih bersandar pada Rasulullah. Akan tetapi

8

Daniel Juned, Ilmu Hadis (Paradigma Baru Dan Rekonstruksi Ilmu Hadis) (Jakarta: Erlangga, 2010), 113.

9

Usa>mah „Abd Allah Khayyat}, Mukhtalif H{adi>th Bayna Muh}addithi>n wa


(26)

18

setelah wafatnya Rasulullah banyak masalah baru yang mengharuskan para

sahabat untuk berijtiha>d dalam menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqih.10

Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya ikhtila>f al-h}adi>th

adalah sebagai berikut:

1. Faktor internal hadis (al-‘a<mil al-da>khili)

Faktor ini berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut. Biasanya

terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadis tersebut yang nantinya kedudukan hadis

tersebut menjadi d}a‘i>f. Dan secara otomatis hadis tersebut ditolak ketika hadis

tersebut berlawanan dengan hadis s}ah}i>h}. 2. Faktor eksternal (al-‘a>mil al-kha>riji)

Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi Saw, yang

mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana

Nabi menyampaikan hadisnya.

3. Faktor metodologi (al-budu’ al-manhaji)

Yakni berkitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadis

tersebut. Ada sebagian dari hadis yang dipahami secara tekstual dan belum

secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang

dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan

hadis-hadis yang mukhtalif.

10


(27)

19

4. Faktor Ideologi

Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madhhab dalam memahami suatu

hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran

yang sedang berkembang.11

Adapun ilmu pembahasan lain mengenai hadis-hadis yang sulit dipahami, para

ulama menyebutnya dengan istilah Mushkil al-H{adi>th. Al-Mushkil secara bahasa

berasal dari kata shakala. Ibn Fa>ris berkata: Kata shakala dalam kebanyakan

bentuknya mengandung arti: Mumathalah (persamaan), misalnya disebutkan:

ha>dha shaklu ha>dha", artinya: Ini sama dengan ini.12 Sedangkan dalam Lisa>n

al-‘Arab disebutkan: ashkala al-amru artinya: masalah ini ambigu (mempunyai lebih

dari satu makna sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kerancuan).13

Jadi, al-mushkil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu,

mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kerancuan atau

ketidakjelasan. Kemudian kata mushkil digunakan untuk menunjukkan sesuatu

yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda ataupun karena sebab

lain.14 Oleh karena itu, istilah mushkil al-hadi>hs juga digunakan untuk

menunjukkan hadis yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.

Berdasarkan kitab-kitab Must}alah} karangan para ulama terdahulu, seperti:

al-Muh}addith al-Fa>s}il, Ma‘rifat ‘Ulu>m al-H{adi>th, Muqoddimah Ibn S{ala>h, dan

lain sebagainya, penggunaan istilah Mushkil al-Hadi>th tidak dipakai dan disebut

11

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadis (Yogyakarta : Idea Press, 2008), 87.

12

Ahmad b. H{a>rith b. Zakariyya, Mu‘jam Maqa>yis al-Lughah vol. 3 (Beirut: Ittihad al-Kutta>b al-„Arab, 2002), 203-204.

13

al-Ifriqi, Lisa>n al-‘Arab vol. 11, 135.

14

Abdullah bin Muslim Ibn Qutaybah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur'an (Beyru>t: Da>r Kutub


(28)

20

dalam jenis-jenis ilmu hadis. Yang mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalif

al-H{adi>th, yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: Ilmu yang

membahas tentang hadis-hadis yang secara z}ahir saling bertentangan. Kemudian

ketika menyebutkan contoh karangan dalam pembahasan tersebut, mereka

menyebut kitab Mushkil al-A>tha>r karangan Ima>m al-T{ah}a>wi>, dalam kitabnya

Mushkil al-A<tha>r, maka akan didapati didalamnya terdapat hadis-hadis yang tidak

bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir,

atau bertentangan dengan ayat al-Quran, sejarah ataupun fakta ilmiah.

Zayn al-Di>n al-„Ira>qiy berkata: Karangan dalam pembahasan mukhtalif

al-h{adi>th di antaranya adalah kitab karangan Muhammad b. Jari>r al-T{aba>riy, juga kitab Muhskil al-A<tha>r karya al-T{ah>awiy.15

Jadi, jelaslah bahwa para ulama terdahulu memasukkan pembahasan

hadits-hadits yang mushkil dalam pembahasan mukhtalif al-h}adi>th. Dan tentunya

akan timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka memberikan definisi

mukhtalif al-h}adi>th mereka hanya menyebutkan pertentangan suatu hadis dengan

hadis yang lain, sedangkan hadis mushkil mempunyai makna yang lebih luas dari

itu. Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta’akhkhiri>n juga melakukan hal yang

sama dengan menyamakan mukhtalif al-h}adi>th dan mushkil al-h}adi>th.16

Mungkin, ulama yang pertama kali menyebutkan bahwa suatu hadis

dimungkinkan mempunyai makna yang tidak jelas dan menimbulkan tanda tanya yang bukan sekedar bertentangan dengan hadis lain adalah Ima>m al-T{ah}awi dalam

15

Zayn al-Di>n Abu> al-Fad}l Abd al-Rah}i>m al-„Iraqi, Sharh al-Tabs}i>rah wa al-Tadhki>rah vol I (Beyru>t: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyah, 2002), 109.

16

Muhammad b. Ja„fa>r al-Kattani, Risa>lah Mustat}rafah li Baya>n Mashhu>r Kutub


(29)

21

kitabnya Mushkil al-A>tha>r. Dia berkata: Ketika saya meneliti hadis-hadis

Rasulullah Saw yang s}ah}i>h} sanadnya, dan diriwayatkan oleh perawi yang

terpercaya, saya menemukan hadis-hadis yang tidak diketahui maksud

kandungannya oleh sebagian besar orang, maka sayapun tertarik untuk

menelitinya, kemudian menyingkap tabir kemushkilannya dengan

menjelaskannya, dan mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya.17

B. Sejarah Ikhtila>f al-H{adi>th

Telah muncul pertentangan antar hadis-hadis sejak zaman Rasu>l, tetapi

pertentangan hadis pada waktu itu tidaklah terlalu banyak, karena Rasul sebagai

sumber pokok hadis masih ada, dan kaum muslimin pada waktu itu langsung

menghadap kepadanya apabila ada masalah pertentangan hadis, Rasul pun

menyelesaikan permasalahan itu dengan menjabarkan apa yang menjadi kendala

dan menjelaskan hukum-hukumnya. Sebagai contoh adalah dua hadis berikut ini.

ْع ا يّ ر ع ْبا ع

ق

م سو ْي ع ها ى ص يب ا ق

: اّْحأا ج

ذ

ة ْيرق ي ب يف إ رّْع ا ّحأ ي ّي ا

د

18

“Dari Ibn „Umar berkata, Nabi Saw bersabda kepada kami ketika Nabi kembali

dari perang Ahza>b: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian s}alat „Ashar

keculi di perkampungan Bani> Qurayz}ah.”

ثّح

ا ّْبع

ق

حأ ع ا ّأ :م سو ْي ع ها ى ص يب ا تْأس :

: ق ؟ ا ى إ

ذ

تْقو ى ع اّ ا

د

19

“Dari „Abd Allah, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Nabi menjawab: “S}alat pada waktunya.”

17

Abu>Ja„far Ahmad b. Muhammad b. Sala>mah al-Thohawi, Baya>n Mushkil al-A>tha>r, Vol I (Beyru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1994), 3.

18

Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol V (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 112.

19

Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol I (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 112.


(30)

22

Letak pertentangan antara kedua hadis tersebut adalah ketika terbayangkan

oleh para sahabat mengenai dua hadis yang saling bertentangan secara lahiriyah, yaitu ketika Rasulullah Saw melarang untuk melakukan s}alat kecuali setelah

sampai di perkampungan Qurayz}ah, meskipun sudah masuk waktu s}alat (‘as}r),

seperti apa yang telah tertera dalam teks hadis tersebut. Dan pernyataan tersebut bertentangan dengan hadis yang menyatakan bahwa Rasul menyukai s}alat pada

waktunya.20

Terdapat perbedaan di antara sahabat mengenai solusi pertentangan dua

hadis tersebut. Pemecahan dari permasalahan yang pertama adalah sebagai berikut, apabila dikembalikan kepada pernyataan “la> yus}alliyanna ah}ad al-‘as}r

illa> fi> bani> Qurayz}ah”, maka pernyataan tersebut adalah pengkhususan dari

keumuman s}alat wajib pada waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan

pernyataan lain adalah perintah untuk melaksanakan s}alat pada waktunya.

Sedangkan pendapat yang selanjutnya adalah mera>jihkan hadis yang

memerintahkan s}alat pada waktunya dan mengesampingkan makna perintah Rasul

untuk melaksanakan s}alat di Bani> Qurayz}ah, dan bahwasannya maksud dari

perintah Rasul untuk hadis yang pertama adalah agar para sahabat mempercepat langkahnya dalam perjalanan dan melaksanakan s}alat di Bani> Qurayz}ah meskipun

keluar dari waktu s}alat.21

Dan Rasulullah Saw tidak mencela pada masing masing kelompok atas ijtihadnya. Dan telah diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> dalam hadis sebagai berikut:

20„Abd al

-Maji>d Muh}ammad Isma>„i>l, Manhaj al-Tawfi>q wa al-Tarji>h} Bayna Mukhtalaf

al-H{adi>th wa Atharuhu Fi al-Fiqh (t.t.: Da>r al-Nafa>is, t.th.), 23.

21


(31)

23

ق ،ر ع ْبا ع ، ف ْ ع

:

ج م سو ْي ع ها ى ص يب ا ق

: اّْحأا

ذ

ي ا

ة ْيرق ي ب يف إ رّْع ا ّحأ ي ّ

د

ّْأف

قو ، يتْأ ىتح ي ّ ا :ْم ضْعب قف ،قيرط ا يف رّْع ا م ضْعب

ع ها ى ص يب رك ف ،ك ذ ّْري ْم ،ي ّ ْ ب :ْم ضْعب

،م سو ْي

ْم ْ اّحاو ْف عي ْم ف

22

“Dari Na>fi„, dari Ibn „Umar dia berkata: Nabi Saw bersabda kepada kami ketika

kembali dari perang Ah}za>b: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian s}alat

„ashar kecuali di perkampungan Bani> Qurayz}ah.” Lalu tibalah waktu s}alat ketika

mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, „Kami tidak akan s}alat

kecuali telah sampai tujuan‟, dan sebagian lain berkata, „Bahkan kami akan

melaksanakan s}alat, sebab Rasul tidaklah bermaksud demikian‟. Maka kejadian

tersebut diceritakan kepada Nabi Saw, dan Nabi tidak mencela seorang pun dari

mereka.”

Kedua, setelah Rasul wafat, maka tidak ada lagi sumber hadis atau tempat

mengadukan permasalahan, maka pada saat itu dibukalah pintu ijtihad bagi para

sahabat, mereka berijtihad berdasarkan keilmuan yang mereka miliki, dan hasil

ijtihad pun bermacam-macam, karena keragaman pengetahuan dan akal mereka.

Sebagai contoh adalah tentang dua hadis di bawah ini:

ّْأْاو ، يرج ْا طْ ك ذ يف ف تْخا : ق ،ىسو يبأ ْ ع

ّ ا إ ْسغْا ّي : وي ّْأْا قف

قو .ء ْا ْوأ قْف

أف :ىسو وبأ ق : ق ، ْسغْا جو ّْقف ط خ اذإ ْ ب : ورج ْا

ْ أ ي : تْقف ،ي ذأف ةشئ ع ى ع تْذْأتْس ف تْ قف ك ذ ْ ْم يفْشأ

-

أ ي ْوأ

ي ْ ْا

-

:ْت قف ،كييْحتْسأ ي إو ءْيش ْ ع ك أْسأ ْ أ ّي أ ي إ

أ إف ،كْتّ و يت ا ك أ ْع ئ س تْك ع ي أْست ْ أ ييْحتْست

ع ْت ق ؟ ْسغْا جوي ف :تْق ،ك أ

،تْطقس ريب ْا ى

ها وس ق

:م سو ْي ع ها ى ص

ذ

ت ْا ت ْا و بْ أْا بعش ْيب ج اذإ

ْسغْا جو ّْقف

د

23

22

Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol II (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 15.

23

Muslim b. al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, vol I (Beyru>t: Da>r Ih}ya>‟ al-Tura>th al-„Arabi>, t.th.) 271.


(32)

24

“Dari Abu> Mu>sa dia berkata, “Sejumlah Muha>jiri>n dan Ans}a>r berselisih dalam hal tersebut. Kaum Ans}a>r berpendapat bahwa tidak wajib mandi kecuali disebabkan mengucurnya air mani atau keluarnya air mani. Sedangkan kaum Muha>jiri>n berpendapat, „Bahkan apabila seseorang telah mencampuri istrinya (sekalipun tidak keluar mani), maka dia telah wajib mandi.‟ Perawi berkata, “Abu> Mu>sa> berkata, „Aku adalah yang paling sehat dari pertikaian tersebut, lalu aku berdiri untuk meminta izin „A>ishah, lalu dia memberikanku izin. Lalu aku berkata kepadanya, „Wahai ibu atau wahai Umm al-Mu‟mini>n, sesungguhnya aku berkeinginan untuk menanyakan kepadamu tentang sesuatu, dan sungguh aku malu kepadamu.‟ Lalu dia („A>ishah) berkata, „Janganlah kamu malu untuk bertanya kepadaku tentang sesuatu yang kamu dahulu pernah bertanya kepada

ibumu yang melahirkanmu. Aku adalah ibumu.‟ Aku bertanya, „Apa yang

mewajibkan mandi?‟ Dia menjawab, „Sungguh telah kamu temukan manusia „arif

terhadap pertanyaan yang kau ajukan, Rasulullah Saw bersabda, „Apabila seorang

laki-laki duduk di antara cabang empat wanita (maksudnya kedua paha dan kedua tangan) dan bertemulah kelamin laki-laki dengan kelamin wanita maka sungguh telah wajib mandi‟.”

،ّ ّْ ْا ّيعس يبأ ْ ع ثّح

: ق أ م سو ْي ع ها ى ص يب ا ع

ذ

ء ْا ء ْا إ

د

24

“Dari Abu> Sa„i>d al-Khudri> dari Nabi Saw dia bersabda: Bahwa air (mandi wajib)

itu disebabkan karena (keluarnya) air mani.”

Hadis yang pertama menyatakan, apabila bertemu kelamin laki-laki dan

kelamin perempuan maka diwajibkanlah mandi. Sedangkan hadis yang ke dua

mempunyai arti bahwa tidak diwajibkan mandi kecuali keluar air maninya. Maka

para sahabat mengatasi masalah ini dengan mera>jihkan hadis yang pertama,

karena „A<ishah yang lebih mengetahui dan lebih paham masalah tersebut.25 Contoh lain adalah dua hadis di bawah ini:

24

Ibid., 269.

25

Abu> Bakr Muh{ammad b. Mu>sa> b. „Uthma>n al-HA{ >zimi> al-Hamda>ni>, Al-I‘tiba>r fi> al-Na>sikh wa al-Mansu>kh min al-A>tha>r, Vol I (H{aydar A>ba>d: Da>‟irah al-Ma„arif al


(33)

25

ع

ْع ا يّ ةشئ ع

:ْت ق

ذ

ها ى ص ا وس ى ع ّ ْشأ

وّي مث ، اتْحا رْيغ ج ْ ب ج حبّْي ك ْ إ م سو ْي ع

د

26

“Dari „A>ishah r.a. dia berkata: “Aku bersaksi tentang Rasulullah Saw, apabila Rasul pada pagi hari masih dalam keadaan junub setelah berhubungan tanpa mengeluarkan sperma, maka Rasul meneruskan puasanya”.

،رْ ب يبأ ْ ع

يف وقي ،ّقي ، ْع ها يّ رْير بأ تْع س : ق

: ّّق

ذ

ْمّي ف ب ج رّْفْا ك ّْأ ْ

د

27

“Dari Abu> Bakr ia berkata, saya mendengar Abu> Hurayrah r.a. mengkisahkan. Di dalam kisahnya ia berkata, “Siapa yang junub di waktu fajar, maka janganlah ia berpuasa.”

Dua hadis di atas dianggap bertentangan, karena hadis yang diriwayatkan oleh „A>ishah dapat disimpulkan bahwa orang yang sedang junub dan telah masuk waktu fajar maka dia masih boleh berpuasa. Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah dapat disimpulkan bahwa orang yang sedang

dalam keadaan junub di waktu fajar maka dilarang berpuasa. Dalam penyelesaiaan

perbedaan hadis tersebut, maka para sahabat menempuh metode tarji>h} yaitu

dengan mera>jih}kan hadis yang diriwayatkan oleh „Aishah dari pada hadis yang

telah diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah.28

Kemudian pada masa ta>bi„i>n, Ima>m al-Awza>„i> telah menceritakan bahwa

dia bertemu dengan Imam Abu> H{ani>fah, al-Awza>„i> berkata: mengapa kamu tidak

mengangkat tangan ketika ruku>„ maupun i„tida>l? Abu> H{ani>fah menjawab: tidak

benar hadis yang menjelaskan bahwa Rasul melakukan itu. Al-Awza>„i> bertanya:

26

Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol III (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 31.

27

Muslim b. al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, vol II (Beyru>t: Da>r Ih}ya>‟ al-Tura>th al-„Arabi>, t.th.) 779.

28


(34)

26

bagaimana tidak benar? Padahal telah berkata kepadaku al-Zuhri> dari Sa>lim dari

ayahnya dari Rasulullah Saw:

م سو ْي ع ها ى ص ا وس أ " : يبأ ْ ع ، ا ّْبع ْب م س ْ ع

ف اذإو ، وكر ربك اذإو ، اّ ا حتتْفا اذإ ْيب ْ وْ ح ْيّي فْري ك

ْأ

ضْيأ ك ك عف ، وكر ا س

29

“Dari Sa>lim b. „Abd Allah dari Bapaknya, bahwa Rasulullah Saw mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai s}alat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk.”

Sedangkan imam Abu> H{ani>fah dengan riwayatnya sebagai berikut:

ا ّْبع أبْأ : ق ،رّْ ْب ّْيوس ربْخأ

ْ ع ، يْفس ْ ع ،

ب ْا ْب

ا ّْبع ْ ع ،ة قْع ْ ع ،ّوْسأْا ْب ْحر ا ّْبع ْ ع ، ْي ك ْب مص ع

: ق م سو ْي ع ها ى ص ا وس ّب ْمكربْخأ أ : ق

ذ

فرف قف

ّْعي ْم مث ر وأ ْيّي

د

30

“Telah mengabarkan kepada kami Suwayd b Nas}r dia berkata: telah

memberitakan kepada kami „Abd Allah b. al-Muba>rak dari Sufya>n dari „As}im bin Kulayb dari „Abd al-Rah}ma>n b. al-Aswad dari „Alqamah dari „Abd Allah dia berkata: “Maukah kalian aku beritahu tentang cara s}alat Rasulullah Saw? Nabi Saw mengangkat kedua tangan pertama kali kemudian tidak mengulanginya.”

Melihat permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan

ikhtila>f al-hadis sudah ada sejak zaman Rasul, sahabat dan tabiin, oleh karena itu

mereka berijtihad mengemukakan solusi dari berbagai permasalahan yang muncul

di zaman mereka yang berkaitan tentang hadis-hadis Rasulullah Saw. Salah satu

permasalahannya adalah terdapat hadis-hadis mukhtalif yang membutuhkan

29

Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol I (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 148.

30

Abu> „Abd al-Rahma>n Ah}mad b. Shu„ayb b „Ali al-Khura>sa>ni> al-Nasa>‟I, Sunan al-S{ughra> li al-Nasa>’i>, Vol II (H{alab: Maktabah al-Mat}bu>„ah al-Isla>miyyah, 1986), 182


(35)

27

perhatian khusus dengan tujuan menyelesaikan pertentangan yang tampak, dan

maksud dari hadis tersebut dapat dipahami secara hukum yang dikandungnya.31

Akan tetapi, ilmu tentang ikhtila>f al-h}adi>th belum tertulis secara rapi dan

sistematis, sampai akhirnya muncullah Imam al-Sha>fi„i>> sebagai penulis tentang

ilmu ikhtila>f al-h}adi>th. Pada awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya,

ilmu yang berhubungan dengan hadis-hadis mukhtalif merupakan bagian

pembahasan ilmu us}u>l al-fiqh. Karena ini terlihat jelas dalam kitab Al-Umm karya

Ima>m al-Sha>fi„i> dalam kitabnya al-Risa>lah, al-Umm, Ikhtila>f al-H{adi>th.

Latar belakang penulisan ilmu ikhtila>f al-h}adi>th oleh Ima>m al-Sha>fi„i> adalah kekacauan dan penyalahan terhadap hadis Rasul yang nampak saling

bertentangan, dan pada saat itu apabila ada hadis yang tampak saling bertentangan

maka secara singkat dihukumi sebagai nasakh. Maka Imam al-Sha>fi„i> bergegas

untuk menjelaskan kesalahan dan membetulkan kerancuan terhadap pemaknaan

hadis mukhtalif.32

Selain imam al-Sha>fi„i>, pembahasan ikhtila>f al-hadi>th ini juga ditulis dalam kitab secara khusus oleh beberapa ulama, antara lain adalah Ibn Qutaybah

dalam karyanya Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th, dan ada pula karya dari al-T{ah}awi>

yaitu kitab Mushkil al-Hadi>th.

Di sisi lain, ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadis dalam makna ilmu

riwayah, lebih bersifat ilmu mus}t}alah} al-h}adi>th, seperti kitab al-Muh}addith al-Fa>s}i>l karya Ramahurmuzi>. Kemudian bahasan yang lain yang berhubungan fiqh

al-h}adi>th untuk masa sesudahnya juga terlihat dalam kitab-kitab hadis yang

31

„Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th…183.

32


(36)

28

disusun oleh para ahli hadis yang juga ahli fiqh, seperti karya Ibn Khuzaymah, Ibn H{ibba>n, dan al-Bayhaqi. Kemudian, kaidah-kaidah ini juga menjadi bagian dari

kitab-kitab „ulu>m al-h}adith> seperti terlihat dalam kitab Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>th karya al-H{a>kim, al-Kifa>yah fi>‘Ilm al-Riwa>yah dan al-Ja>mi‘ li Akhla>q al-Ra>wi> wa

Adab al-Sa>mi‘, keduanya adalah karya Kha>tib al-Baghda>di>. Dan seterusnya

sampai pada masa Ibn al-S{ala>h} yang dipandang sebagai masa puncak penulisan

ulu>m al-h}adi>th.

Dalam perkembangan lebih lanjut, ilmu ikhtila>f al-h}adi>th tidak saja

dibahas dalam kitab-kitab us}u>l al-fiqh saja melainkan juga dalam kitab ulu>m

al-h}adi>th pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran di salam kitab-kitab fiqh

maupun sharh} al-h}adi>th, seperti Fath} al-Ba>ri>, Sharh}S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, ‘Awn al

-Ma‘bu>d, dan lain sebagainya.33 C. Macam-macam Ikhtila>f al-H{adi>th

Mengenai pembagian macam-macam ikhtila>f al-h}adi>th, Ibn al-S{ala>h

berpendapat sebagai berikut:

1. Memungkinkan adanya metode al-jam’u di antara dua hadis yang saling

bertentangan.34

Dalam menjamak hadis yang bertentangan, ada bebrapa syarat yang

dikemukakan, antara lain adalah:

a. Kedua dalil yang bertententangan dapat dijadikan h}ujjah.

b. Dengan menjama tidak mebatalkan nas}-nas} shara„ dan sebagainya.

33

Daniel Juned, Ilmu Hadis…111.

34

„Uthma>n b. „Abd al-Rah}ma>n Ibn al-S{ala>h}, ‘Ulu>m al-H{adi>th Li Ibn al-S{alah, vol IV (Riya>d{: Da>r Ibn al-Qayyim, 2008), 440.


(37)

29

c. Kedua dalil mempunyai kualitas yang sama sama kuatnya.

d. Tidak menjamak dengan takwil/pemaknaan yang jauh.

e. Tidak menjam‘ nas} s}ah}i>h} yang bertentangan, namu kemudian

menyelisihkannya.35

Contohnya adalah sebagai berikut:

ى ص ا وس أ : ْع ا يّ ،ر ع ْبا ع ،م س ْ ع

يف : اث يف ْ ش او ، ريط او وّْع ا " : ق م سو ْي ع ها

ّ او ، أْر ا

" ةباّ او ، ا

36

“Dari Sa>lim dari Ibn „Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada

‘adwa> (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada t}iyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), dan adakalanya kesialan itu terdapat pada tiga hal, yaitu: isteri, tempat tinggal dan kendaraan.”

Hadis di atas dianggap bertentangan dengan hadis lain, yaitu:

ها ى ص يب ا ق : وقي ّْعب ، رْير بأ س :ة س يبأ ْ عو

:م سو ْي ع

ذ

حّ ى ع ضرْ ّ وي ا

د

37

“Dari Abu Salamah mendengar Abu> Hurayrah mengatakan: Nabi Saw

bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.”

وس ق : وقي ، رْير بأ تْع س : ق ،ء ي ْب ّيعس ثّح

سو ْي ع ها ى ص ا

ذ

او ة او ، ريط او وّْع ا

رفو ،رفص

و ّْ ا

ّسأا رفت ك

د

38

“Dari Sa„i>d b. Mi>na>‟, aku mendengar Abu> Hurayrah berkata, Nabi Saw bersabda: Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian, tidak ada

t}iyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada

hantu yang gentayangan, dan tidak ada s}afar (kematian dikarenakan

penyakit cacing perut) yang terjadi secara sendirian, dan larilah dari orang yang sakit lepra seperti kamu lari dari singa.”

35

H{a>fiz} Thana>‟ Allah al-Za>hidi>, Taysi>r al-Us}u>l (TK: Da>r Ib H{azm, 1993), 314.

36

Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu>„Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol VII (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 135.

37

Ibid., 138.

38


(38)

30

Ketiga hadis di atas bukanlah saling bertentangan, melainkan memberi

pemahaman bahwa suatu penyakit akan mudah sekali menular pada orang

lain jika terjadi kontak langsung maupun secara tidak langsung.

Dalam hal ini, Ibn Qutaybah berpendapat bahwa dalam hadis-hadis di

atas tidak ada pertentangan apabila telah telah diketahui makna konteksnya

masing-masing. Dalam mengkompromikannya, Ibn Qutaybah terlebih

dahulu menjelaskan arti perkata dari redaksi hadis yang dipetentangkan

tersebut, lalu dijelaskan kaitannya dengan hadis-hadis yang lain.

Pada dasarnya penyakit menular hanya tertentu pada penyakit lepra,

t}a>‘u>n, dan sejenisnya, yaitu segala macam penyakit yang menular melalui

sebab-sebab tertentu. Penyakit lepra menimbulkan bau tidak sedap

sehingga menyakiti orang lain yang berada di sekitarnya dan terkadang ia

juga tertular. Maka dari itu disarankan agar jangan sampai mendekati

orang yang terkena penyakit lepra, dan sejenisnya. Mereka tidak dengan

tegas bermaksud hawatir tertular , tetapi hawatir apabila penyakit tersebut

menimbulakn bau tidak sedap sehingga mengganggu orang lain, yang

berakibat orang tersebut merasa sakit. Karenanya Nabi mengingatkan agar

tidak berbaur dengan orang yang menderita penyakit menular. Begitulah

maksud dari matn hadis حّ ى ع ضرْ ّ وي (Janganlah (unta) yang sakit

dicampurbaurkan dengan yang sehat).

Dan hadis-hadis yang bersangkutan dengan permasalahan di atas yang

memberi pengertian adanya kehawatiran menularnya suatu penyakit


(39)

31

di bawah ini ada sebuah riwayat yang menerangkan tentang penyakit t}a‘u>n

yang banyak ditakuti oleh orang-orang, adalah sebagai berikut:

: ق ،ّْي ْب ة سأ ْ ع

:م سو ْي ع ها ى ص ها وس ق

ذ

بع ْ س ب جو ّع ها ى تْبا ،ّْجر ا ةيآ وع ط ا

اذإف ، ّ

اورفت ف ، ب ْمتْأو ضْ أب قو اذإو ، ْي ع او خّْت ف ، ب ْمتْع س

ْ

د

39

“Dari Usa>mah b. Zayd berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: T{a‘u>n (penyakit menular/wabah kolera) adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-hambaNya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat

kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.”

Maksud Nabi dalam sabdanya tersebut adalah jangan sampai seseorang

yang keluar dari wilayah yang terkena penyakit t}a>‘u>n tersebut merasa telah

lari dari taqdir Allah, dan janganlah mendatangi wilayah tersebut sebab

tempat dia berada sekarang lebih aman dan lebih baik.

Dalam uraian tersebut dinyatakan bahwa Ibn Qutaybah tetap mengakui

adanya hukum alam yang berlaku bagi penyakit menular. Menurutnya

penyakit menular merupakan sesuatu yang tidak menular dengan

sendirinya, namun dengan takdir Allah dan sesuai dengan hukum alam.

Peristiwa t}a‘u>n dalam hadis tersebut dijadikan Ibn Qutaybah sebagai latar

belakang munculnya hadis tentang bencana (sial) sebab kedua hadis ini

dinilai mempunyai hubungan yang erat. Sehingga akan didapatkan titik

temu dari beberapa hadis yang dianggap saling berlawanan.

39

Muslim b. al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, vol IV (Beyru>t: Da>r Ih}ya>‟ al-Tura>th al-„Arabi>, t.th.), 1737.


(40)

32

2. Kedua hadis muhktalif tidak dimungkinkan adanya metode al-jam’u. Dan itu

terbagi menjadi dua macam, yang pertama, antara dua hadis tersebut ada yang

dimansukh. Hadis yang manjadi na>sikh adalah hadis yang diamalkan. Yang

kedua, tidak terjadi nasikh mansukh antara keduanya, tetapi salah satu hadis

diambil yang paling rajih.40

D. Pendapat Ulama Tentang Ikhtila>f al-H{adi>th

Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap mukhtalif al-h}adi>th

sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Nabi

wafat mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar

berbagai hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi

demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang

tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam

memahaminya, sebagaimana yang dilakukan para ulama fiqh, ulama us}u>l dan

ulama hadis. Mereka sepakat bahwasannya tidak ada pertentangan atau perbedaan

antara dalil dalil syar’. Tetapi, apabila ada hadis yang berbeda itu adalah ijtihad

atau pendapat dari masing-masing atau perorangan.

Menurut al-Sha>fi„i>>, sebenarnya tidak ada pertentangan yang sesungguhnya

(kontradiksi) di antara hadis-hadis tersebut. Dengan tegas dikatakannya: “Kami

tidak menemukan ada dua hadis yang bertentangan (mukhtalif), melainkan ada

jalan keluar penyelesaiannya. Hadis-hadis yang oleh sementara orang dinilai

mukhtalif yang mengandung makna bertentangan, menurut al-Sha>fi„i>>, sebenarnya

bukanlah bertentangan. Pertentangan-pertentangan yang tampak tersebut hanyalah

40

„Uthma>n b. „Abd al-Rah}ma>n Ibn al-S{ala>h}, ‘Ulu>m al-H{adi>th Li Ibn al-S{alah, vol IV (Riya>d{: Da>r Ibn al-Qayyim, 2008), 440.


(41)

33

pada lahirnya saja bukan dalam arti yang sebenarnya. Bisa dikatakan bahwa

dalam pandangan al-Sha>fi„i>>, timbulnya penilaian suatu hadis yang bertentangan

dengan hadis lainnya sebenarnya disebabkan oleh kekeliruan memahaminya.41

Dalam pandangan Yu>suf al-Qard}a>wi>, apabila ada hadis Nabi yang

bertentangan dengan hadis Nabi yang lain, maka perlu dicari solusinya, sehingga

hilanglah pertentangan tersebut. Secara singkat menurutnya ada beberapa cara

untuk mengatasinya, yakni: al-jam‘u, na>sikh wa al-mansu>kh dan tarji>h}.42

Dalam pandangan Ibn Taymiyyah, ummat islam seharusnya memahami

dan mengamalkan hadis Nabi secara totalitas, luas dan luwes, tidak terikat pada

satu madhhab saja, akan tetapi mengamalkan semua sunnah yang telah diajarkan

nabi dan diamalakn secara harmonis oleh kaum Salaf. Umat islam juga tidak

boleh menolak hadis-hadis yang dinyatakan s}ah}i>h} oleh para ulama hadis yang

terdapat di dalam kitab-kitab hadis, terutama dalam kitab S{ah}i>h}ayn. Dengan cara

pandang yang sedemikian itu dapat mengamalkan hadis Nabi secara optimal dan

dapat memlihara ukhuwwah isla>miyyah. Karena salah satu penyebab terpecah dan

lemahnya umat Islam adalah karena ketidaksungguhannya dalam memahami,

memelihara, dan mengamalkan sunnah Nabi yang dipandang maqbu>l, yaitu

mengamalkan sebagian hadis dan meninggalkan sebagian hadis yang tidak

disukai.43

41

Edi Safri, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1999), 6.

42

Yusuf al-Qardawi, Kayfa Nata‘a>mal….. , 113

43

Ibn Taymiyyah, Qa>‘idah al-Jali>lah fi> al-Tawassul wa al-Wasi>lah (Beyru>t: Maktab al-Isla>mi>: t. th.), 71


(42)

34

E. Cara Mengatasi Permasalahan Ikhtila>f al-H{adi>th

Dalam mengatasi hadis-hadis yang bertentangan, kebanyakan para ualama

menentukan cara yang berurutan, antara lain dengan menggunakan cara al-jam‘u,

nasakh, tarji>h}, tawaqquf.

1. Pendekatan al-Jam‘u atau al-Tawfi>q

Berangkat dari landasan teori bahwa pada hakikatnya tidak ada ikhtila>f

al-h}adi>th, Ibn Khuzaymah menyatakan “Aku tidak tahu kalau ada dua hadis yang

sanadnya sama-sama s}ah}i>h} namun isinya bertentangan, jika ada yang

mendapatkan hadis-hadis seperti itu, bawalah kepadaku untuk dikompromikan antara keduanya”

Kemudian, Abu Bakar Muhammad al-T{ayyib dalam rumusan teorinya

mengatakan bahwa hadis itu ada dua macam, yakni hadis yang diketahui

pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw, dan hadis yang diketahui tidak pernah

diucapkannya. Semua hadis yang dipastikan bersumber dari Rasul tidak

mungkin terjadi pertentangan dalam bentuk apapun, meski pada lahirnya

tampak bertentangan. Karena ta‘a>rud} pada dua hadis atau pun dengan

ayat-ayat al-Qur‟an yang berisikan larangan dan perintah, maka akan berakibat

makna satu hadis menggugurkan makna yang lainnya. Karena itu, apabila ada

dua hadis yang saling bertentangan maka kedua hadis tersebut harus dikaitkan

dengan dua waktu, dua kelompok, dua orang, atau dua sifat yang berbeda.44

Selanjutnya, Ima>m al-Shafi„i> dengan logika yang sama mengatakan bahwa

pada prinsipnya karena berasal dari sumber yang sama, semua hadis itu adalah

44


(43)

35

muttafiq dan tidak ada yang bertentangan. Pertentangan yang terkadang

tampak pada hadis, menurutnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya

ada faktor umum maupun faktor khusus dalam hadis. Ada hadis yang memang

bersifat umum dan yang dimaksudkan keumumannya. Tetapi ada pula hadis

yang bersifat umum namun yang dimaksudkan adalah maknanya yang khusus.

Faktor lain yang menyebabkan adanya iktilaf al-hadi>th adalah pengamalan

hadis yang sepotong-potong sehingga makna yang esensial dari hadis tersebut

menjadi berkurang atau bahkan hilang.

Bagian akhir komentar al-Shafi„i> mengandung isyarat bahwa riwayat

dengan makna dan faktor ketelitian para perawi hadis sering menjadi iktilaf.

Namun pada kesempatan lain, al-Sha>fi„i>> mengatakan, “ Kami sama sekali

tidak mempertentangkan dua hadis Rasulullah Saw selama ada jalan untuk

mengamalkan keduanya. Dan kami tidak memandang mukhtalif kecuali pada

keadaan yang sama sekali tidak dapat mengamalkan yang satu tanpa meninggalkan yang lain”.45

Contoh pendekatan permasalahan dengan cara al-jam‘u atau al-tawfi>q.

ها وس أ ، رير يبأ ع

-م سو ي ع ها ى ص

ْ " : ق ،

سغ

"أّوتي ف ح و ، ستغي ف تي ا

46

“Dari Abu> Hurayrah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi, dan barangsiapa yang

membawanya maka hendaknya ia berwudhu.”

45

Ibid., 115.

46

Abu Da>wud Sulayma>n b. al-Ash„ab, Sunan Abu> Da>wud Vol V, (Beyrut: al-Maktabah al-„As}riyyah, t.th.), 73.


(44)

36

ق ، بع ْبا ع

:

م سو ْي ع ها ى ص ا وس ق

ْي " :

إ ْسغ ْم تي ْسغ يف ْم ْي ع

ر ط ْ ْم تي إ و تْسغ اذ

" ْم يّْيأ او سْغت ْ أ ْم بْسحف ّ ب ْي و

47

“Dari Ibn „Abba>s r.a. Rasululullah Saw bersabda: Tidak diwajibkan kepadamu untuk mandi besar seteha memandikan jenazah, karena sesungguhnya mayit yang engkau madikan adalah orang mukmin yang suci dan tidak najis, maka

cukuplaj bagimu untuk mencuci tangan.”

Letak permasalahannya antara dua hadis di atas adalah, hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah menyeru wajibnya mandi bagi siapa saja

yang memandikan jenazah, sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Àbba>s tidak ada seruan wajibnya mandi bagi yang memandikan jenazah.

Dalam menjam‘ dua hadis di atas ada tiga kelompok, yaitu:

a. Hanafiyah, Ma>likiyyah, dan sebagian dari ash} }a>b al-Sha>fi‘i>

mengkompromikan dua hadis di atas dengan menarik hukum kepada sunnah. Yaitu hadis yang pertama dalam riwayat Abu> hurayrah, kaitannya

adalah pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Abba>s tidaklah mewajibkan

mandi. Dan dasar dari perintah mandi tersebut menjadi sunnah adalah

dengan melihat hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Umar,

: ق , ر ع ْبا ع

ذ

ك

ْ و ستْغي ْ ف تي ْا سغ

ستْغي

د

48

“Dari Ibn „Umar ra. “Kami telah selesai memandikan mayit, sebagian dari kami ada yang mandi besar, dan sebagian pula tidak melakukannya.”

b. Sebagian berpendapat bahwa hukumnya adalah ditarik kepada wajibnya

mandi.

47

Ah}mad b. al-H{usayn b. „Ali> al-Bayhaqi>, al-Sunan al-Kubra>, Vol I (Beyru>t: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), 456.

48

Abu> al-H{asan „ali b. „umar Alamad b. Mahdib. Mas„u>d b. Nu„ma>n b. Di>na>r al-Baghda>di al-Da>ruqut{ni, Sunan al-Da>ruqut}ni>, Vol II (Beyru>t: Muassasah al-Risa>lah, 2004), 434.


(1)

94

c. Menguraikan hubungan yang erat antara hadis-hadis tersebut berdasarkan

berbagai pendekatan seperti pendekatan sosiologis, antropologis dan psikologis.

d. Mendominasi pemahamannya berdasarkan aspek bahasa.

e. Menilai bahwa hadis-hadis tertentu termasuk kategori tata cara beribadah

yang bervariasi (tanawwu’ al-‘iba>dah).

f. Memberikan pemaknaan hadis baik secara tekstual maupun kontekstual

sepanjang dibutuhkan berdasarkan indikasi yang mengarah pada pemahaman tersebut.

g. Berusaha menyampaikan konsep-konsep yang abstrak dengan

menganalogikan pada hal-hal yang konkrit, sehingga diharapkan mampu menemukan titik temu pemahaman terhadap hadis yang bersangkutan.

h. Mengikutsertakan dalil-dalil lain baik naqli> maupun ‘aqli>.

i. Mengikutsertakan syair-syair Arab sebagai pendukung argumentasinya.

j. Memberikan analisis secara obyektif berdasarkan data-data yang ada.

B. Saran-saran

Demikianlah, setelah melakukan penelitian tentang metode penyelesaian Ibn Qutaybah terhadap hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan dalam

karyanya Ta’wi>l Mukhtalif al-Hadi>th, maka hasil dari penelitian ini diharapkan

dapat menjadi kajian dan pertimbangan bagi para pembaca maupun peneliti teks tentang agama, khususnya dalam bidang hadis maupun ilmu hadis. Dan penulis melihat ada beberapa pembahasan yang perlu diadakan penelitian lebih lanjut.


(2)

95

Pertama, dalam rangka mempelajari hadis, pemahaman dan pengamalan yang diperoleh haruslah melalui cara-cara yang proposional sehingga hasilnya dapat diterima secara komprehensif dan tidak parsial. Demikian juga apabila menemukan hadis yang secara lahiriah maknanya tampak saling bertentangan,

hendaknya dapat menyelesaikannya dengan Ilmu Mukhtalif al-H{adi>th, dengan

prinsip sedapat mungkin memberlakukan semua hadis dan menghindarkan sejauh mungkin meninggalkan sebuah hadis.

Kedua, langkah-langkah yang ditempuh Ibn Qutaybah dalam kitabnya tentunya harus mendapat perhatian yang lebih serius lagi. Berbagai disiplin keilmuan yang melatarbelakangi pemahamannya menjadi alasan yang penting untuk dilakukannya penelitian tersebut. Diharapkan dari penelitian baru ini akan menghasilkan beberapa pertimbangan lain yang lebih luwes untuk menyikapi teks-teks keagamaan khususnya yang mengindikasikan adanya pertentangan.

Ketiga, berbagai disiplin pengetahuan khususnya ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, historis dan psikologi, yang pada saat ini sedang berkembang dan tampak belum dijangkau secara khusus oleh ulama pada masa lalu, perlu memperoleh perhatian yang serius dari generasi selanjutnya yang memikul tanggung jawab untuk mendalami dan mengembangkan ajaran Islam.

Dalam kegiatan ijtiha>d, teori-teori yang dikembangkan oleh berbagai ilmu


(3)

DAFTAR PUSTAKA

‘Ali, ‘Abd Allah Sha‘ba>n Ikhtila>f al-Muh}addithi>n wa al-Fuqaha>’ fi al-H{ukmi ‘Ala al-H{adi>th. Kairo: Da>r al-H{adi>th, t.th.

As}far (al), Muhyi al-Di>n. muqaddimah cet ke 2, dalam Abu Muh}ammad ‘Abd

Allah b. Muslim b. Qutaybah, Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th. Beyru>t:

al-Maktab al-Isla>mi>, 1999.

Azra dkk, Azyumardi. Ensiklopedi Islam, vol III. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2005.

Bayhaqi> (al), Ah}mad b. al-H{usayn b. ‘Ali>. al-Sunan al-Kubra>,. Beyru>t: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

Bukha>ri> (al), Muh}ammad b. Isma>‘i>l Abu> ‘Abd Alla>h. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, (t.t.: Da>r

T{awq al-Naja>h, 1422.

Da>ruqut{ni (al), Abu> al-H{asan ‘ali b. ‘umar Alamad b. Mahdib. Mas‘u>d b. Nu‘ma>n

b. Di>na>r al-Baghda>di. Sunan al-Da>ruqut}ni>, Vol II. Beyru>t: Mu’assasah al

-Risa>lah, 2004.

Departemen Agama R.I., al-Qur’an dan Terjemahannya. Solo: PT Qomari Prima

Publiser, 2007.

Fawza>n, ‘Abd Allah b. Mukhtalif al-H{adi>th ‘Ind al-Ima>m Ah}mad. Riyad:

Maktabah Da>r al-Minhaj,1428.

Ghawri> (al), ‘Abd al-Ma>jid. Mawsu‘ah ‘Ulu> >m al-H{adi>th Wa Funu>nuhu. vol III

Beiru>t: Da>r Ibn Kathi>r, t.th..

H{amma>d, Na>fidh Husayn. { Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Fuqaha>’ wa Al

-Muh}addithi>n. t.tp.: Da>r al-Wafa>’, 1993.

Hamda>ni> (al), Abu> Bakr Muh{ammad b. Mu>sa>b. ‘Uthma>n al-H{A>zimi>. Al-I‘tiba>r fi>

al-Na>sikh wa al-Mansu>kh min al-A>tha>r Vol I. H{aydar A>ba>d: Da>’irah al-Ma‘arif al-‘Uthma>niyyah, tth.

Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Ish}a>q, Abu> Da>wud Sulayma>n b. al-Ash‘ab b. Sunan Abu> Da>wud. TK: Da>r

al-Risa>lah al-‘Ala>miyyah, 2009.


(4)

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

_______. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang,

2009.

Jabba>r (al), ‘Abd al-Rah}ma>n b. ‘Abd. Shaykh al-Isla>m Ibn Taymiyyah wa

Juhu>uduhu fi> al-H{adi>th wa ‘Ulu>mihi, Vol I. T.K: Da>r al-‘A<s}imah, T. Th.

‘Ira>qi>, Zayn al-Di>n ‘Abd al-Rah}i>m. Al-Taqyi>d Wa al-I>d}a>h}. Beyru>t: Muassasah

al-Kutub al-Thaqafiyah, 1415.

‘Itr, Nu>r al-Di>n. ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo. Bandung: Rosdakarya, 2012.

Juned, Daniel. Ilmu Hadis (Paradigma Baru Dan Rekonstruksi Ilmu Hadis.

Jakarta: Erlangga, 2010.

Kha>tib (al), Muh}ammad ‘Ajja>j. Us}u>l al-H{adi>th ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu.

Beyru>t: Da>r al-Fikr, 2009.

Khayyat}, Usa>mah ‘Abd Allah. Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Muh}addithi>n wa

al-Us}u>liyyi>n al-Fuqaha>’. Riya>d}: Da>r al-Fad}i>lah, 2001.

Manz}u>r, Jama>l al-Di>n Muh}ammad b. Mukarram b. ‘Ali b. Ah}mad b. Abu

al-Qa>sim b. H{abaqah b. Lisa>n al-‘Ara>b. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, t.th.

Munawwir, Ahmad Warson Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’ani al-Hadis. Yogyakarta : Idea Press, 2008.

Nasa>’I (al), Abu> ‘Abd al-Rahma>n Ahmad b. Shu‘ayb b ‘Ali al} -Khura>sa>ni>. al-Sunan al-S{ughra> li al-Nasa>’I, Vol II. H{alab: Maktabah al-Mat}bu>‘ah al

-Isla>miyyah, 1986.

Naysa>bu>ri> (al), Muslim b. al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qushayri>. S{ah}i>h} Muslim,

Beyru>t: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.th..

Qard>a>wi (al), Yu>su>f. Kayfa Nata‘a>mal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah. TK: Da>r

al-Shuru>q, 2000.

Qutaybah, Abu Muh}ammad ‘Abd Allah b. Muslim b. Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th.


(5)

Rah}ma>n (al), Al-ima>m Abu> ‘Amru ‘Uthma>n b. ‘Abd. ‘Ulu>m Al-H{adi>th Li Ibn

S{ala>h}. Beyru>t: Da>r al-Fikr, 1986.

S{ala>h, Ibn. ‘Ulu>m al-Hadi>th. Madi>nah: Maktabah al-Isla>miyyah, 1971.

S{ala>h} (al), ‘Uthma>n b. ‘Abd al-Rahma} >n Ibn. ‘Ulu>m al-H{adi>th Li Ibn al-S{alah, vol

IV. Riya>d{: Da>r Ibn al-Qayyim, 2008.

Safri, Edi. Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif. Padang: IAIN Imam

Bonjol, 1999.

Samahi>, Muhammad. M. al-Manhaj al-H{adi>th fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th Qism

al-Riwa>yah. TK: Da>r al-Anwa>r, t.th.

Sha>fi‘i> (al), Muh}ammad b. Idri>s. Ikhtila>f al-H{adi>th. Beyru>t: Da>r al-Fikr, 1417.

Shahbah, Muh}ammad b. Muh}ammad Abu>. Difa>‘ ‘An al-Sunnah. t.tp.: Maktabah

al-Sunnah, 1989.

Shaibani (al), Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad Musnad Ahmad Ibn Hanbal, TK: Muassasah Ar-Risalah, 2001.

Siba>‘i> (al), Mus}t}a>fa>. Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam,

terj. Nur kholish Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah II. Jakarta: Bulan Bintang, T.Th. Suryabrata, Sunardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Wali Press.

Suyu>t}i> (al), Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n b. Abi> Bakr. Tadri>b al-Ra>wi> Fi> Sharh}

Taqri>b al-Nawa>wi>. t.t.: Da>r Ibn al-Jawzi>, t.th..

Syafi’I (al), Imam. Al-Risalah, terj Ahmad Toha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

T{ah}h}an>n (al), Mah}mu>d. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th. t.t.: Markaz Hady Li

al-Dira>sah, 1405H.

Taymiyyah, Ibn. Qa>‘idah al-Jali>lah fi> al-Tawassul wa al-Wasi>lah. Beyru>t:

al-Maktab al-Isla>mi>: t. th.

Tirmidhi> (al), Muh}ammad b. ‘Isa> b. Sawrah b. Mu>sa b. al-D> }ah}h}a>k. Sunan

al-Tirmidhi> Vol IV. Mesir: Maktabah Mus}t}afa> al-Ba>bi>, 1975.

Tu>nisi> (al), al-Ha>di> Rashu. Mukhtalif al-Hadi>th Wa Juhu>d al-Muh}addithi>n Fi>h


(6)

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Za>hidi> (al), H{a>fiz} Thana’ Allah. > Taysi>r al-Us}u>l. TK: Da>r Ib H{azm, 1993.

Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996.

Zahrah, Muhammad Abu>. Us}u>l al-Fiqh. Mesir: t.p., t.t..

Zahw, Muhammad Abu>. al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n. Riya>d}: Maktabah

al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, 1984.

Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: