Hadis kemiskinan menurut ibnu qutaibah dalam kitab ta’wil mukhtaliful hadis

(1)

KITAB TA’WIL MUKHTALIFUL HADIS

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

Fiqri Auliya Ilhamny NIM : 107034001713

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

INSPIRASI UNTUK SEORANG KAWAN

Walaupun kita gagal, ingatlah mimpi itu indah.

“ Sudently, we can get what we want, but not what we need” “when we never try, we never know”

“ Mimpi dan kenyataan mungkin jarang bersatu, tapi selalu ada peluang meraih dan menggapainya ”

barang siapa mengerjakan kebaikan dzarrahpun, niscaya dia akan meliha (balasan)Nya *az-zalzalah ayat 7*

*Fiqri Ilhamny (Mahasiswa TH ’07)

NB :Skripsi ini saya persembahkan khusus kepada teman-teman TH angkatan 2007 yang tidak dapat menyelesaikan masa studi S1 di UIN Jakarta.


(5)

mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang begitu berjasa dalam mencurahkan kebaikan kepada seluruh manusia.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis merasakan tantangan dan halangan yang begitu berat. Di sela-sela kesibukan penulis dalam bekerja, penulis harus

menyempatkan diri mencari buku-buku referensi serta mengetik hasil temuan tersebut dengan harapan dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Sebagai karya tulis hamba yang dha’if, tentunya di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, ada kemungkinan ditemukan bagi mereka yang ingin menelaahnya dengan lebih teliti. Segala kesalahan tersebut tidak lain adalah sebuah keterbatasan pengetahuan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Segenap civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer MA, (Dekan Fakultas Ushuluddin), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pembantu Dekan Bidang Akademik), Dr. M.

Suryadinata, M.Ag (Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum), Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA (Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A (Ketuan Jurusan Tafsir-Hadis), Jauhar Azizy, MA (Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis)

2. Dr. M Isa HA Salam, MA Selaku pembimbing yang telah dengan sabar dan tidak bosan-bosannya membantu, membimbing dan mengarahkan serta menasehati penulis dalam penulisan skripsi ini, semoga beliau selalu diberi perlindungan dan kesehatan oleh Allah SWT (Amin).

3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen di Jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, dari semenjak penulis masuk di Fakultas Ushuluddin sampai saat ini, sehingga berkat jasa beliau-beliaulah penulis mendapatkan berbagai pengetahuan, semoga Allah SWT selalu melindungi beliau-beliau semua (Amin).


(6)

4. Kedua orang tua (H. Abdullah Cholil dan Zumrotun Nisa)yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa menghembuskan nafas untuk mendoakan penulis agar kelak menjadi manusia yang sukses serta bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat, hidayah, perlindungan dan kesehatan kepada mereka (Amin).

5. Kakak dan adik penulis (Mas Iqbal, Mbak Nining, Mas Meni, Mbak Nining, Ida Zuraida dan Malik) yang sudah banyak berkorban membantu penulis mengeluarkan sebagian penghasilannya dalam menyelesaian skripsi ini, semoga Allah SWT melancarkan dan memberikan keberkahan atas rejekinya (Amin)

6. Teman-teman penulis di Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2007: Mustar, Mi’roji, Husnul Aqib, Fiqri Aulia Ilhamny, Daud Catur Wicaksono, Irwan Muhibbudin, Muhammad Rusli, Arfan Akbar, Muhammad Berbudi, Muhammad Badrul Munir, Ismail Amir, Syaifuddin, Dian Kusnadi, Uchil, Redhitya Bagus, dan kepada teman-teman lain yang penulis tidak bisa cantumkan namanya satu persatu dalam kata pengantar ini, semoga Allah SWT melindungi mereka semua dimanapun berada (Amin).

7. Kepada teman-teman KKN 46 tahun 2010, yang selalu memberikan semangat, semangat dan semangat pada penulis.

8. Akhirnya, harapan penulis, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan selalu diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi dari lubuk hati yang paling dalam penulis haturkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya.

Jakarta, 28 September 2014


(7)

Nama : Fiqri Auliya Ilhamny Tempat/ Tanggal Lahir : Surabaya, 12 Juni 1987

NIM : 107034001713

Jurusan : Tafsir Hadis

Judul Skripsi : “Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah Dalam Kitab

Ta’wil Mukhtalif al-Hadis)”. Dosen Pembimbing : Dr. M. Isa HA Salam, MA

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 September 2014


(8)

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... iii

DAFTAR ISI ……….... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI …..………...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...………... 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ………... 5

D. Tinjauan Pustaka ………... 6

E. Metodologi Penelitian ……..…………..………….... 7

F. Sistematika Penulisan ………...…..…... 8

BAB II IBNU QUTAIBAH DAN KITAB TA'WIL MUKHTALIFUL HADIS A. Riwayat Hidup ... 9

1. Biografi Ibnu Qutaibah ... 9

2. Karya-karyanya ... 11

B. Mengenal Kitab Ta'wil Mukhtaliful Hadis ... 13

1. Latar Belakang Penulisan Kitab ... 13

2. Metode Penyelesaian Kitab Ta’wil Mukhtaliful Hadis.. 17

a. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Hadis .... 18

b. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Al-Quran .. 20

c. Penyelesaian Hadis Yang Tidak Sejalan Dengan Akal 22 d. Penyelesaian Hadis Mutasyabihat ... 24

BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG KEMISKINAN ... 27

A. Pengertian Kemiskinan Dan Indikator ... 27

1. Prespektif Islam ... 28

2. Prespektif Sosial ... 31

B. Faktor-Faktor yang Membentuk Kemiskinan ... 32

1. Faktor Kondisi Alam ... 32

2. Faktor Kultular ... 34


(9)

BAB IV Analisis Hadis Kemiskinan ... 41

A. Hadis Kemiskinan ………... 41

1. Meneliti Kandungan Matan Dengan Hadis... 43

2. Meneliti Kandungan Matan Dengan Al-Qur’an ... 45

3.Wasiat Nabi Mencintai Orang Miskin ... 46

4. Pendapat Ulama Tentang Do’a Miskin ... 50

B. Analisis Ibnu Qutaibah tentang Hadis Kemiskinan … 51 BAB V PENUTUP……….... 54

A. Kesimpulan………... 54

B. Saran……….... 55


(10)

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan Huruf

Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ب B ط t

ت T ظ z

ث Ts ع

ج J غ gh

ح H ف f

خ Kh ق q

د D ك k

ذ Dz ل l

ر R م m

ز Z ن n

س S و w

ش Sy ـه h

ص S ء `

ض D ي y

B. Vokal

Vokal Tunggal : ... = a ... = i ... = u

Vokal Panjang : ... = â ... = î ... = û

Vokal Rangkap : ... = ai ... = au

C. Alif Lam (al)

Alif lam ta’rîf (لا) dalam lafadz atau kalimat, baik yang bersambung

dengan huruf qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan

diikuti dengan kata penghubung ” –“. Namun, jika terletak diawal kalimat, maka ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:


(11)

1. Al ditulis dengan huruf kecil

- al-Qur’an = seperti, “sebagai mana disebutkan dalam al-Qur’an” - al-Baihaqî = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasannya…” 2. Al ditulis dengan huruf besar

- Al-Baihaqi = seperti, “Al-Baihaqi menyatakan bahwa….”

- Al-Bukhari = seperti, “Al-Bukhari, didalam kitabnya menegaskan…”

D. Singkatan

SWT = Subhânahu wa ta’âlâ H = Hijriyah

as = ‘Alaih al-salâm ra = Radiya Allâh ‘anhu

M = Masehi w = Wafat

Q.S = al-Qur’ân; surat h = Halaman saw = Sholla Allahu ‘alaih wa sallam


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum. Fenomena itu terdapat pada berbagai lapisan masyarakat di Indonesia,1 baik yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maupun yang mayoritas penduduknya beragama non Islam, yaitu Hindu, Kristen, dan kepercayaan lokal. Fenomena seperti itu juga terdapat pula pada banyak masyarakat di negara lain. Dengan demikian kemiskinan bukan merupakan fenomena yang bersifat khusus pada masyarakat dengan latar belakang tertentu dari segi Suku, Bangsa dan Agama.

Menurut Parsudi Suparlan, kemiskinan bukanlah suatu yang terwujud sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek yang utama adalah sosial dan ekonomi.2 Pendapat ini agaknya sejalan dengan ungkapan Anwar Nasution yang menyatakan, bahwa keterbelakangan ekonomi suatu negara atau masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh Agama, kepercayaan, sikap hidup dan adat istiadat, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel-variabel lain3. Kedua pendapat ini mengakui bahwa kemiskinan ditimbulkan oleh berbagai faktor.

1

Pada tahun 1990, terdapat 22,7 juta jiwa rakyat indonesia berada dibawah garis kemiskinan (15,08% dari total penduduk). Lihat Biro Pusat Statistik, kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan

di Indonesia 1976-1990 (Jakarta: BPS, 1991), hal. 19

2

Parsudi Suparlan, “Kemiskinan”, dalam A.W. Widjaja (ed), Manusia Indonesia Individu,

Keluarga, dan Masyarakat (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hal.29

3Anwar Nasution, “Bahasan”, dalam Sri Edi Swarsono, et al. (ads), Sekitar Kemiskinan Dan


(13)

Kemiskinan sebagai fenomena sosial telah berlangsung lama. Setidaknya, dapat dikatakan bahwa fenomena demikian itu sudah ada pada masa al-Qur’ân diturunkan. Ini mengandung arti bahwa banyak masyarakat yang bergelut dengan kemiskinan dalam jangka waktu yang lama. Ini dapat pula berarti bahwa banyak warga masyarakat, secara individual atau berkelompok, gagal mengatasi kemiskinan sebagai suatu hal yang tidak mereka kehendaki.

Kemiskinan tidak dikehendaki oleh semua orang, sebab dalam kondisi seperti ini mereka dalam keadaan serba kekurangan, tidak mampu mewujudkan berbagai kebutuhan utamanya di dalam kehidupannya, terutama dari segi material. Akibat dari ketidakmampuan di bidang material, orang miskin mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizinya, memperoleh pendidikan, modal kerja dan sejumlah kebutuhan utama lainnya. Akibat lain yang mungkin timbul diantara mereka, antara lain, kurangnya harga diri, moralitas yang rendah dan kurangnya kesadaran beragama.

Islam sangat memperhatikan fenomena kemiskinan, yang tergambar dalam teks qurani maupun hadist

.                                                 

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.


(14)

3

Akan tetapi di antara sekian banyak hadis ataupun do’a-do’a yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diajarkan kepada umatnya, ada doa yang sedikit mengganjal. yaitu:

نيكاسملا ة م يف ين شحا ،ًانيكسم ينتيمأ ،ًانيكسم ينيحأ َم للا

Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) di dalam rombongan orang-orang miskin”.4

Disisi lain, seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Seharusnya telah memberikan solusi-solusi tentang wacana-wacana yang telah terjadi, karena hadis menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an.

Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.5

Perlu kita tekankan kembali bahwa hadis mempunyai kedudukan yang begitu penting dalam Islam, sehingga Tuhan sendiri perlu menjelaskan posisi Nabi -sebagai sumber hadis- dalam Islam. Oleh karena itu bagi kita sebagai

4

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz 2 halaman 1381 no

5


(15)

umat Islam, kiranya juga perlu mengetahui fungsi hadis tersebut dalam kehidupan kita sehar-hari, termasuk fungsi utama hadis terhadap sumber pertama Islam yakni al-Quran. Karena kita yakin bahwa dengan mengetahui fungsi hadis tersebut, kita akan lebih dapat mengenal hadis dan lebih mantap dalam mengkaji dan sekaligus mengamalkannya.6

Secara umum bahwa fungsi hadis bagi umat Islam ialah sebagai pedoman dan arah dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena hadis itu memberikan arahan yang berupa prinsip-prinsip yang harus ditegakkan, baik dalam kaitannya dengan persoalan ibadah maupun bermuamalah dengan sesama manusia. Disamping itu hadis juga memberikan berbagai ketentuan yang cukup rinci, khususnya berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, dan lainnya. Jadi setiap muslim yang mengaku beriman, sesungguhnya ia harus menjadikan hadis Nabi sebagai tuntunan dalam segala aktifitasnya, tentu saja disamping al-Quran yang menjadi prioritas utama.7

Dalam hal ini perlu adanya pemahaman yang harus dijabarkan kembali secara detail tentang bagaimana agama Islam melalui sumber hukumnya yang kedua yakni hadis Nabi Muhammad SAW, memberikan pemahaman tentang hakikat dari sebuah kemiskinan. Untuk menuju hal tersebut pada skripsi ini akan menjelaskan lebih spesifik lagi melalui pendapat Ibnu Qutaibah di dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif Hadis. Karena didalam buku ini men-syarah tentang arti miskin yang terdapat dalam hadis nabi.

6

Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996

7


(16)

5

Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok yang dibahas adalah Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah Dalam Kitab

Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan membatasi permasalahan dengan menitik beratkan kepada pensyarahan Ibnu Qutaibah dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif Hadis dalam hadis Allahumma ahyinii miskinan, wa amitnii miskinan, wahsyurnii fi jumratil masaakiin”

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan

permasalahannya pada: Bagaimana syarah Ibnu Qutaibah tentang kemiskinan dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis?

C. Kajian Pustaka

Penulis telah menemukan beberapa skripsi yang berkaitan tentang skripsi yang penulis bahas, yaitu :

1. Studi Kualitas Hadis Tentang Kemiskinan Mendekati Kekafiran, yang ditulis oleh Amiludin bin Yusuf, pada tanggal 20 Februari 2008. Namun demikian, Skripsi ini hanya membahas hadis-hadis tentang kemiskinan, tidak mencakup keseluruhan hadis-hadis kemiskinan akan tetapi hanya membatasi pada hadis miskin mendekati kekafiran.


(17)

2. Telaah Interpretasi Yusuf Qardhawi terhadap Ayat-ayat Kemiskinan, yang ditulis oleh Muhammad Aqib pada tanggal 21 Mei 2012. Skripsi ini hanya memaparkan ayat-ayat 6 ayat al-Qur’ân dalam menjawab masalah kemiskinan, dengan penekanan pada problem dan bahaya kemiskinan.

3. Studi kritik sanad dan matan hadis tentang doa nabi agar dihidupkan dalam keadan miskin dengan Kode 1936 th u tahun 2007. Skripsi ini juga membahas hadis yang penulis kaji, akan tetapi dalam pembahasannya lebih terfokus pada sanad, dan sedikitnya penjabaran dari bidang matan.

Oleh karena itu skripsi yang penulis tulis ini lebih memfokuskan kepada analisa syarah Ibnu Qutaibah, terhadap kemiskinan dengan pandangan dan pendapat para ulama. Adapun kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam penulisan skripsi ini Ta’wil Mukhtaliful hadis karena didalam kitab ini menjabarkan pendapat Ibnu Qutaibah dan kitab-kitab lainnya yang mendukung dengan pembahasan skripsi ini seperti penjelasan hadis dari ulama hadis.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam bentuk penelitian, tujuan merupakan landasan utama yang dijadikan tolok ukur. Tanpa tujuan yang jelas, maka akan simpang siurlah pelaksanaan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana Ibnu Qutaibah menjabarkan arti kemiskinan yang dimaksud dalam doa Nabi.


(18)

7

Dan yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan inspirasi bagi kajian Islam terutama dalam kajian Hadis yang penulis lakukan sekarang ini.

2. Sebagai syarat untuk gelar sarjana S1 pada Fakultas Ushuluddin.

E. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research). Library Research adalah suatu penelitian penyelidikan terhadap buku-buku, majalah dan bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Kemudian dari bacaan tersebut penulis mengklarifikasikan materi dan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.

Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada metodologi deskriptis analisis, yang dalam hal ini diharapkan dapat memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan isi skripsi ini. Demikian juga agar penulis dapat menyusun dalam bentuk yang sistematis sehingga nantinya dapat mengena pada inti permasalahan dan dapat memperoleh hasil penelitian yang benar.

Adapun data primer yang penulis pakai dalam penulisan skripsi ini adalah : Kitab Ta’lif mukhtaliful hadis sebagai kitab primer dan buku-buku lain sebagai pendukung.

Sedangkan data sekunder merupakan sumber pendukung yang ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini. Semua itu dilakukan melalui proses pengumpulan data-data, pendapat para ulama ahli fiqih dan hadis untuk kemudian dijadikan analisis kesimpulan akhir pada skripsi ini.


(19)

Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis menggunakan standar buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 yang dianjurkan Fakultas Ushuluddin dan juga rujukan penulisan ayat-ayat al-Qur’ân Depag RI.

F. Sistematika Penulisan

Ada lima bab dalam skripsi ini, setiap bab terdiri dari sub-sub bab, hal ini sebagai penjelas yang memiliki kolerasinya dengan pembahasan bab-bab tersebut. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi peneletian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, biografi dari Ibnu Qutaibah dan sekilas tentang kitab Ta’wil mukhtalif al-hadis.

Bab ketiga pengertian kemiskinan, yang berisi penjabaran miskin dari prespektif islam, prespektif sosial.

Bab keempat mengkaji dari matan hadis, dan analisis Ibnu Qutaibah tentang hadis kemiskinan didalam kitab mukhtalif al-hadis.

Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.


(20)

9

BAB II

IBNU QUTAIBAH DAN KARYANYA TA'WÎL MUKHTALIF AL-HADÎTS

A. Riwayat Hidup

1. Biografi Ibnu Qutaibah

Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainûrî Marwazî. Kun-yahnya adalah Abû Muhammad. Ia dinisbatkan pada al-Dainûrî, yaitu suatu daerah di mana ia pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan pada al-Marwazî yang merupakan tempat kelahiran ayahnya. Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutbâ atau al-Qutaibâ yang merupakan bentuk tashghîr (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata aqtâb yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia dinisbatkan pada kata tersebut.1

Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H / 828 M di Baghdad, dan ada yang mengatakan di Kufah. Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang berada di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dinasti ‘Abbâsiah berada di tengah-tengah bangsa Persia.2 Sejak saat itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaibah untuk

1‘Abd al

-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin

Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, (Beirut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah 1988) Cet. I, hlm. 8

2

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta, RajaGrafindo Persada 1995, Cet. III) hlm. 51


(21)

menyerap ilmu dari beberapa ulama setempat. Tidak puas dengan apa yang beliau dapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan perlawatan dari satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang dilakukan para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur dan tempat-tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama yang ada di sana. Beliau belajar hadis pada Ishâq bin Râhawaih, Abû Ishâq Ibrahim bin Sulaimân al- Ziyâdî, Muhammad bin Ziyâd bin ‘Ubaidillâh al-Ziyâdî, Ziyâd bin Yahyâ al- Hassânî, Abû Hâtim al-Sijistânî dan para ulama yang semasa dengan mereka.3

Di samping mempelajari ilmu-ilmu agama, beliau juga haus akan pengetahuan yang berkembang pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari ilmu semakin membara ketika menyaksikan berbagai macam pemikiran yang meracuni sebagian besar umat Islam, sehingga pada akhirnya beliau tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan yang berkembang pada saat itu. Beliau juga mampu memberikan solusi terhadap problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama ahli Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan, yang sebelumnya memperbincangkan sekitar permasalahan tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-Sunnah.4

3 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah,

Ta'wil Mukhtalif al-hadis, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995, hlm. 6. Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa

al-Muhadditsûn, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th., hlm 362

4


(22)

11

Di samping itu beliau juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh ensiklopedik besar, sehingga tidak heran bila beliau menjadi rujukan bagi Ibnu Atsîr dalam mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihâyah fî Ghorîb al-Hadîts dan ulama lain dalam permasalahan yang sama.5

Dalam bidang fiqh, beliau senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishâq.6

Ibnu Qutaibah Wafat tahun 276 H pada usia 63 tahun (menggunakan perhitungan tahun hijriyah)

2. Karya-Karya Ibnu Qutaibah

Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300 buah. Beliau banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadis maupun ulama lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya mengatakan, “Barang siapa sengaja menentang Ibnu Qutaibah maka dicurigai sebagai seorang zindiq (atheis).” Mereka juga mengelu-elukan Ibnu Qutaibah dengan mengatakan, “Setiap rumah yang tidak terdapat karya Ibnu Qutaibah, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.”7

5‘Abd al

-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 12-13

6

Muhammad Abû Zahw,Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, , Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm 362

7‘Abd al

-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988,Cet. I, hlm.7


(23)

Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah: (1) Al-Ibil, (2) Adab al-Qâdlî, (3) Adab al-Kâtib, (4) Al- Isytiqâq, (5) Al-Asyribah, (6) Ishlâh al-Ghalâth, (7) I’râb al-Qur'an, (8) A’lâm al-Nubuwwah, (9) Al-Alfâzh al-Muqribah bi al-Alqâb al-Mu’ribah, (10) Al- Imâmah wa al-Siyâsah, (11) Al-Anwâ', (12) Al-Taswiyah bain al-‘Arab wa al- ‘Ajam, (13) Jâmi’ al-Nahwî, (14) Al-Ru'yâ, (15) Al-Rajul wa al-Manzil, (16) Al-Râd ‘alâ al-Syu’ûbiyah, (17) Al-Râd ‘ala Man Yaqûlu bi Khalq al-Qur'an, (18) Al-Syi’ru wa al-Syu’arâ, (19) Al-Shiyâm, (20) Thabaqât al-Syu’arâ, (21) Al-Arab wa ‘Ulûmuha, (22) ‘Uyûn al -Akhbâr, (23) Gharîb Hadîts, (24) Gharîb Qur'an, (25) Al-Faras, (26) Fadllu al-‘Arab ‘alâ al-Ajam, (27) Al- Fiqh, (28) Al-Qirâ'ât, (29) Al-Masâ'il wa al-Ajwibah, (30) Al-Musytabih min al-Hadîts wa al-Qur'an, (31) Musykil al-Hadîts, (32) Al-Ma’ârif, (33) Ma’âni al-Syi’r, (34) Al-Nabât, (35) Al-Hajwu, dan karya-karya yang lain. Seluruh hasil karya tersebut beliau ajarkan di kota kelahirannya, Baghdad. Di antara para muridnya yang mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan oleh Ibnu Qutaibah adalah anaknya sendiri, Abû Ja’far bin ‘Abdillah yang pernah menjabat sebagai Qâdli di Mesir sekitar tahun 320 H.8

Akhirnya pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H/889 M beliau dipanggil oleh Allah SWT. Seluruh hidupnya beliau pergunakan untuk mengembangkan pemikiran keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi

8 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah,


(24)

13

perhatian yang lebih besar beliau tujukan untuk membela sunnah dan ulama ahli hadis di hadapan musuh-musuh Islam.9

B. Mengenal Kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts

1. Latar Belakang Penulisan Kitab

Imam Ibnu Qutaibah hidup pada masa Daulah ‘Abbâsiyah yang pusat kekuasaannya di kota Bahgdad. Beliau hidup pada masa ‘Abbâsiyah II, yaitu masa Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232 H/847 M. Pada masa ini keadaan politik dan militer mulai mengalami kemerosotan, namun dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, tidak terkecuali dalam bidang hadis. Keadaan itu antara lain karena negara-negara bagian dari kerajaan Islam berlomba-lomba dalam memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama dan para pujangga.10

Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan, banyak pula bermunculan gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan oposisi, seperti revolusi Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi’ah, Murji'ah, Ahl al-Sunnah dan Mu’tazilah.11 Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah mulai berkembang di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun pemikirannya yang lebih kompleks dan

9

Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm 363

10

A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Banda Aceh, Badri Yatim 1973, Bagian I, hlm.190., op. cit., hlm. 53

11

A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, ( Banda Aceh, Badri Yatim 1973) hlm. 199.


(25)

sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas periode pertama, yaitu sekitar awal abad ke-9 Masehi setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abû al-Hudzail al-‘Allâf (135-235 H/752-849 M) dan al-Nazhâm (185-221 H/801-835 M).12

Pada periode ini, bahkan sejak abad ke-2 Hijriah, telah lahir para mujtahid di bidang ilmu fiqh dan ilmu kalam. Kemajuan ilmu pengetahuan Islam pun sangat pesat. Pada masa ini pula bentrokan pendapat telah mulai memanas baik antar madzhab fiqh maupun antar madzhab ilmu Kalam. Ulama ahli hadis pada masa ini juga menghadapi tantangan dari madzhab ilmu Kalam khususnya kaum Mu’tazilah. Ketegangan ini semakin memuncak ketika kaum Mu’tazilah mendapat angin segar dari penguasa pada waktu itu yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh Khalifah al-Ma'mûn (wafat 218 H/833 M) yang dengan tegas mendukung pendapat-pendapat Mu’tazilah. Pada masa ini ulama fiqh dan ulama hadis menghadapi ujian yang sangat berat terutama ketika dipaksa oleh para penguasa untuk mengikuti paham Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan al-Qur'an.Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi ulama hadis ini tetap berlanjut pada masa Khalifah al-Mu’tashim (wafat 227 H/842 M) dan al- Watsîq (wafat 232 H/846 M). Barulah pada waktu Khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H/846 M), ulama hadis mulai mendapat kelonggaran, sebab khalifah ini memiliki kepedulian terhadap sunnah.13

12

A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, ( Banda Aceh, Badri Yatim 1973) hlm. 57

13

Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, , Jakarta, Logos 1996, Cet. I, hlm. 158


(26)

15

Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan hadis. Pada masa ini hadis-hadis Nabi semakin tersebar luas ke berbagai wilayah. Sementara itu golongan-golongan yang memusuhi ulama hadis semakin gencar memperuncing permusuhan, akibatnya pemalsuan hadis dengan motivasi yang berbeda-beda pun kian merajalela. Di samping itu mereka juga meragukan validitas metodologi yang dipakai oleh ulama hadis dalam mengkodifikasikan sunnah, sehingga berakibat lahirnya sikap pengingkaran terhadap sunnah.14

Lebih jauh sebelum itu, mereka juga meragukan kejujuran para sahabat Nabi semenjak terjadinya fitnah pada masa ‘Ali bin Abî Thâlib. Mereka mencerca sebagian besar tokoh-tokoh sahabat dan menuduh mereka berbuat bohong, bodoh dan munafik. Penilaian ini membuat musuh-musuh Islam menolak hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat tersebut. Selain itu mereka juga mengingkari kehujjahan qiyas, ijma’ dan kepastian hadis mutawattir, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum Mu’tazilah. Pendirian golongan ini mengenai sunnah yang ekstrim dan menyalahi akidah umumnya kaum muslimin itu berpengaruh besar terhadap pertentangan antara tokoh-tokoh mereka dengan para ulama hadis serta membawa mereka kepada sikap saling menuduh. Mereka menuduh ulama hadis sebagai pembawa kebohongan, kepalsuan dan pengumpul berita tanpa memahami apa isi berita itu. Sementara itu ulama hadis menuduh mereka sebagai fasik, jahat, pembuat

14

Mushthafâ al-Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur kholish Madjid, (Jakarta, Pustaka Firdaus 1991) Cet. I, hlm. 116


(27)

bid’ah dalam agama dan mendominasi pendapat sendiri (al-ra'yu) yang Allah tidak memberinya otoritas mutlak.15

Serangan-serangan musuh Islam tersebut ternyata mampu mengguncang pendirian umat Islam pada waktu itu, sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang perselisihan dan mengklaim kebenaran hanya berada di pihak mereka. Akibat dari perpecahan ini, umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan. Di antara mereka ada yang masih memegang teguh dan mengedepankan urusan akhirat. Ada yang berpenampilan ulama, namun materialistis. Ada juga cendekiawan yang berilmu, tapi tidak bertaqwa. Ada yang hanya ikut-ikutan dan ada pula yang tidak tahu menahu. Masing-masing golongan mempunyai pendirian yang tidak mau dikalahkan oleh yang lain. Masing-masing juga mempunyai hujjah sendiri-sendiri baik dari al-Qur'an, sunnah maupun ijtihad untuk menjatuhkan lawan-lawan mereka.16

Peristiwa ini semakin lama semakin memanas hingga akhirnya lahirlah ulama-ulama hadis yang teguh pendiriannya dan berusaha semaksimal mungkin melalui pendapat dan karya-karyanya untuk membela kebenaran dan membersihkan tuduhan-tuduhan hina yang ditujukan pada sunnah Nabi maupun para ahli hadis.17

Sebagai seorang ulama yang santun, berilmu tinggi dan berwawasan yang luas, Ibnu Qutaibah merasa terpanggil untuk menancapkan kembali pondasi kebenaran dan kewibawaan Islam yang telah diceraiberaikan oleh orang-orang yang

15

Mushthafâ al-Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur kholish Madjid, (Jakarta, Pustaka Firdaus 1991) Cet. I, hlm. 178

16 ‘Abd al

-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Beirut, 1988,Cet. I, hlm. 10

17 ‘Abd al

-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Beirut, 1988,Cet. I, hlm. 11


(28)

17

tidak bertanggung jawab, melalui salah satu karyanya yang monumental Ta'wil Mukhtalif al-Hadîts. Di dalam karyanya tersebut, beliau berusaha menepis anggapan sebagian golongan yang menuduh ulama hadis telah melakukan kecerobohan, dengan meriwayatkan hadis yang dianggap saling berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur'an, pemahaman akal serta mengamalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan Kemahasucian Allah. Beliau juga memberikan jawaban sebagai solusi pemecahan hadis-hadis tersebut berdasarkan keahlian yang beliau miliki. Sebelum menguraikan itu, terlebih dahulu beliau menjelaskan konflik yang terjadi antara ahli Kalam dan ahli Ra’yu (golongan rasionalis), membeberkan sikap golongan pengingkar sunnah yang menolak kapasitas para sahabat serta mengungkapkan argumentasi mereka terhadap al-Qur'an dan sunnah.18

2. Metode Penyelesaian Kitab Ta’wil Mukhtalif Al-Hadist

Pada dasarnya, penyelesaian yang ditempuh oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts tidak hanya menuntaskan pertentangan antara beberapa hadis saja. Beliau juga mengkompromikan hadis-hadis yang dinilai berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur'an dan dalil ‘aqlî serta menjelaskan hadis-hadis yang mengandung makna tasybîh (penyerupaan dengan sifat-sifat Allah).

Beberapa pendekatan yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam penyelesaian tersebut menunjukkan betapa luasnya ilmu dan wawasan beliau dalam berbagai aspek. Inilah yang melatarbelakangi analisisnya dalam memberikan solusi terhadap

18

Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995)., hlm 368


(29)

hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan. Namun secara spesifik, berikut akan penulis contohkan berbagai langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah sebagai metode penyelesaiannya

a. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Hadis

Penyelesaian antara beberapa hadis yang saling bertentangan merupakan bagian terbesar yang mendominasi isi dari kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts dengan berbagai macam pendekatan. Berbagai pendekatan tersebutakan dapat diketahui setelah menelaah terlebih dahulu uraian Ibnu Qutaibah dalam contoh yang penulis ketengahkan dalam penelitian ini.

Hadis tentang etika memakai sandal, yang dalam hal ini terdapat riwayat yang bersumber dari Abû Hurairah sebagai berikut:

ع ن ا ب ي ه ر ي ر ع ن لا ي ص ل ى ع ل ق هنا م سو هي

اا ن ق ط ع ش س ع أ ح ك م ف ل ي ش ف ن ي ع ل و حا

Artinya:“Dari Abû Hurairah yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Apabila tali sandal seseorang di antara kalian putus, maka janganlah ia berjalan dengan satu sandal.”19

Hadis tersebut dianggap bertentangan dengan riwayat ‘Aisyah yang mengatakan bahwa: ق ل ت ب نا ق ط ع ش س ع م سو هي ع ل ى ص ل ل س ى ش ف ،

ف لا ي ع ل لا حا ، ح ي ى ص ح ا ل خ ر

Artinya: ‘Aisyah berkata,”Pernah (suatu ketika) tali sandal Rasulullah SAW putus, kemudian beliau berjalan dengan satu sandal hingga beliau memperbaikinya.”20

19

HR. Muslim dalam shahih-nya dalam masalah pakaian (69) dan (71)

20


(30)

19

Dalam menemukan titik temu antara kedua hadis di atas, Ibnu Qutaibah berusaha menyoroti setting sosial masyarakat Arab pada waktu hadis tersebut terjadi. Beliau berangkat dari penilaian masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan umum yang telah berlaku di dalamnya, termasuk adat istiadat daerah setempat. Seperti yang diuraikan oleh Ibnu Qutaibah sebagai berikut.

Seseorang akan dianggap tabu bila ia menemukan tali sandalnya telah putus, kemudian membuangnya atau setidak-tidaknya membawa tali sandal tersebut dan berjalan dengan satu sandal yang lain sampai menemukan gantinya. Hal ini terjadi jika orang tersebut memakai sesuatu yang sejenis dengan sandal seperti sepatu, kaos kaki dan sebagainya. Berbeda dengan apabila yang dipakai adalah pakaian satu steel umpamanya, maka ia tidak dianggap tabu jika memakai salah satu bagian dari pakaian tersebut.21

Sedangkan jika salah satu tali sandalnya putus namun orang tersebut hanya melangkah sejauh dua sampai tiga langkah saja sampai dapat memperbaikinya, maka hal tersebut juga tidak dianggap tabu. 22

Pertimbangan Ibnu Qutaibah tersebut bukanlah satu-satunya dasar pemahaman beliau dalam memberikan solusi. Sebagai buktinya, beliau sengaja memberi perbandingan dengan permasalahan lain yang memiliki kaitan erat, yang dijadikan dalil penguat agar apa yang beliau tawarkan dalam memahami hadis-hadis

21 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin

Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr1995) hlm. 98-99

22 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin


(31)

di atas dapat diterima secara menyeluruh oleh orang lain. Dalil penguat tersebut dapat dilihat dari pendapat Ibnu Qutaibah sebagai berikut.

Permasalahan di atas sama seperti bolehnya seseorang yang sedang shalat, melangkah dua sampai tiga langkah menuju barisan yang ada di depannya. Tetapi haram baginya jika berjalan, apalagi sampai melebihi tiga langkah. Ia tidak boleh mengambil selendang yang jatuh, tidak boleh melipat pakaian apalagi melakukan pekerjaan yang terus menerus. Ia boleh tersenyum, namun tidak boleh tertawa. Semua itu berdasarkan pada kaidah bahwa tuntutan hukum bagi sesuatu yang sedikit dilakukan, akan berbeda dengan yang banyak dan berulang-ulang dilakukan.23

Uraian di atas memberi gambaran bahwa metode yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan tersebut berdasarkan pada pendekatan sosiologis, yang merupakan salah satu cara memahami hadis Nabi yang berpijak dari posisi masyarakat yang membawa kepada perilaku tertentu. Di samping itu, Ibnu Qutaibah juga mengikutsertakan kaidah-kaidah hukum yang dijadikan sebagai dalil penguat terhadap uraiannya.

b. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Al-Qur'an

Dalam memberikan solusi terhadap pertentangan antara hadis dengan al-Qur'an, Ibnu Qutaibah berusaha menakwilkan keduanya yang dianggap masih janggal dan kurang jelas pemahamannya. Di samping memberikan takwil, Ibnu Qutaibah juga menganalisa berdasarkan uraian bahasa, serta mempertegas argumentasinya dengan

23 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin


(32)

21

menampakkan kelemahan pendapat lain. Hal ini dapat dilihat dalam contoh hadis yang beliau utarakan sebagai berikut:

Ayat dan hadis yang menerangkan tentang wasiat sebagaimana berikut:

                            

Artinya:“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya...”(QS. al- Baqarah:180).24

Ayat tersebut bertentangan dengan hadis di bawah ini:

ل ل ق م سو هي ع ل ى ص ل ل س ّ أ و

ص ي ة ل ا

`Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,”Tidak (sah) wasiat untuk ahli waris.”25

Pada ayat diatas menerangkan bahwa membolehkan berwasiat, sedangkan dalam hadis Nabi melarang untuk berwasiat. Terdapat perbedaan mengenai boleh atau tidaknya berwasiat. Langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan kedua dalil dalam contoh di atas adalah menggunakan metode naskh, sebab inilah satu-satunya cara yang mungkin dilakukan.

Ayat ini telah di naskh (baca : dihapus) oleh ayat-ayat mengenai warisan. Dan Hadis ini menjadi penguat setelah ayat-ayat mengenai warisan.26

24

Al-Qur’an Departemen Agama RI., (Jakarta: Kalam Ilahi,2002)hlm. 44

25

HR. At- Tirmidzi dalam Sunan-nya (2120 dan 2121)

26 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin


(33)

c. Penyelesaian Antara Hadis Yang Tidak Sejalan dengan Akal

Dalam rangka menyelaraskan pemahaman terhadap hadis yang dianggap sulit diterima oleh akal, Ibnu Qutaibah berusaha mengklasifikasikan pemahaman terhadap redaksi hadis baik secara tekstual maupun kontekstual.

Pemahaman secara tekstual dapat dilihat dari uraian Ibnu Qutaibah tentang hadis-hadis di bawah ini.

ل ق م سو هي ع ل ى ص ي لا أ و ا ق ع لا ب ف ي ن ء أ ح ك م ف م ق ، ف إ ف أ ي ح ج ح ي ه س ّ و ف ا ي آ خ ر ش ف ء ، و أ ن ه ي ق سلا م و ي خ ر شلا ف ء

Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika ada seekor lalat jatuh ke dalam tempat minum kamu maka celupkanlah, sebab ia selalu mendahulukan sayapnya yang mengandung racun dan mengakhirkan sayapnya yang mengandung obat penawar.”27

Hadis tersebut dirasa janggal pemahamannya oleh sebagian golongan, sebab bagaimana mungkin antara racun dan penawarnya dapat berkumpul dalam satu tempat, dan bagaimana bisa terjadi seekor lalat mampu mengetahui mana sayap yang beracun dan yang tidak beracun.

Menurut Ibnu Qutaibah pemahaman hadis sebagaimana di atas tidak akan diperoleh secara menyeluruh sebelum memahami hal-hal yang sebenarnya lebih utama untuk dijadikan pedoman dalam memahami hadis-hadis semisal hadis di atas. Dalam hal ini Ibnu Qutaibah sengaja tidak secara langsung memberikan solusi terhadap pemecahan hadis di atas, namun beliau lebih condong memberikan kasus tertentu sebagai bahan perbandingan agar dapat digunakan untuk memahami hadis di atas, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qutaibah di bawah ini.

27


(34)

23

Di antara hadis-hadis Rasulullah SAW terdapat beberapa hadis yang memang sulit dipahami oleh akal, namun hal ini bukanlah salah satu penyebab ditolaknya suatu hadis. Dengan menolak suatu hadis berarti juga menolak semua yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Berkumpulnya racun dan penawarnya dalam hadis di atas tidak ubahnya seperti menfaat seekor ular. Menurut para tabib, daging ular berfungsi sebagai obat penawar bagi racun yang dibawanya, dapat mengobati sengatan kalajengking, gigitan anjing gila dan sebagainya. Perut kalajengking yang telah dirobek dapat mengobati rasa sakit yang ditimbulkan oleh sengatannya. Begitu juga dengan lalat yang bermanfaat untuk mempertajam penglihatan, mencegah sakit mata dan untuk mengobati sengatan kalajengking jika diramu dengan cara-cara tertentu. Semua itu menunjukkan bahwa obat penawar yang di dalamnya terdapat racun ternyata mampu berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.28

Masih sama seperti permasalahan di atas, secara rasional bagaimana mungkin sekelompok semut mampu menyimpan biji makanan pada musim panas untuk digunakan pada musim dingin. Jika khawatir membusuk, maka biji tersebut dikeluarkan pada malam hari. Tetapi jika khawatir tumbuh, maka bagian tengahnya dilobangi. Hal semacam ini telah banyak terjadi dan tidak dapat dianalogkan. Seandainya diteliti dan dibahas lebih jauh, maka akan membutuhkan waktu yang panjang karena semua itu termasuk salah satu kelebihan yang dimiliki oleh makhluk Allah.29

28Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin

Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 387

29 Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin


(35)

Dari uraian di atas, Ibnu Qutaibah mencoba mengajak orang lain untuk menemukan satu titik pemahaman tekstual terhadap hadis-hadis yang semisal dengan hadis di atas melalui beberapa gambaran dan kejadian yang bersifat alamiah dan realistis. Di samping itu beliau mampu mencari celah kelemahan orang lain, yang dalam hal ini adalah para pengingkar hadis, dengan memaparkan beberapa bukti yang nyata.

d. Penyelesaian Hadis-Hadis Mutasyâbihât

Permasalahan yang muncul di dalam hadis-hadis mutasyâbihât (samar maknanya) tidaklah pertentangan antara hadis satu dengan hadis lain yang sama-sama mengandung makna tasybîh. Tetapi pemaknaan redaksi hadis itu sendirilah yang membutuhkan pemahaman tersendiri sebab mengandung arti adanya penyerupaan antara Allah dengan makhluk-Nya. Hal ini tidak terlepas dari penolakan sebagian golongan terhadap hadis-hadis mutasyâbihât yang menilai bahwa hadis-hadis tersebut telah menyalahi aturan. Oleh karenanya Ibnu Qutaibah berusaha memberikan penjelasan sesuai dengan bidang keilmuan yang beliau miliki serta analisisnya yang cermat dengan tidak melampaui kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab beliau yakin bahwa orang-orang yang disinggung oleh Allah dalam al-Qur`an sebagai al-Râsikhûn fi al-‘Ilmi (orang yang mendalam ilmunya) juga


(36)

25

mendapat pengetahuan dari Allah tentang rahasia maksud syariat yang telah ditetapkan.30

Dalam memberikan argumentasinya, Ibnu Qutaibah memandang perl tidaknya melakukan takwil terhadap hadis-hadis mutasyâbihât tergantung pada ada tidaknya dalil-dalil pendukung yang kuat baik dari kitab, hadis maupun ijtihad yang rasional, sehingga diharapkan pendapat beliau dapat diterima oleh berbagai kalangan.

Di antara proses pemahaman terhadap hadis-hadis mutasyâbihât tersebut adalah berangkat dari riwayat hadis sebagai berikut:

ق ب لا م ن ب ي ن أ ص ع ي ن م ن أ ص ب ع ل ع ز و ج ل

Artinya:”Sesungguhnya hati seorang mukmin berada di antara kedua jari-jari Allah.”31

Jika dalam memahami hadis tersebut diperlukan takwil, maka penakwilan tersebut dapat diterima. Tetapi jika diartikan sesuai dengan apa adanya, maka akan bertentangan dengan Kemahasucian Allah.

Menurut Ibnu Qutaibah, hadis tersebut tidak tergolong hadis-hadis yang boleh ditakwili sebab tidak ditemukan dalil lain sebagai penguat. Beliau lebih cenderung memaknai hadis tersebut apa adanya dengan menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah. Hal tersebut sebagaimana pendapat beliau sebagai berikut:

30

Yusuf Qardhawi, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj. Bahruddin Fannani, Robbani Press, Jakarta, 1997, Cet. I, hlm. 227. Lihat Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî,

Al-Kasysyâf, (Beirut, Dâr al-Fikr1995) Cet. I, Juz. I, hlm. 413

31Muhammad ‘Abd al

-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin


(37)

Penakwilan mereka tentang lafadz عبصأ yang bermakna nikmat, justru akan semakin jauh dari maksud hadis tersebut. Sebab sehubungan Menurut al Zamakhsyarî, orang-orang yang mendalami ilmu-Nya adalah orang-orang yang teguh dan tegar serta memegang erat suatu kepastian yang ada pada-Nya. Dengan hadis tersebut Rasulullah SAW telah bersabda dalam doanya, “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu”.


(38)

27

BAB III

PANDANGAN UMUM TENTANG KEMISKINAN

A. Pengertian dan Indikator Kemiskinan

Dalam kehidupan di dunia ini, selalu ada permasalahan dan problem yang harus dihadapi untuk diselesaikan. Hal ini dapat terjadi pada tingkat individu, keluarga, tetangga, umat beragama, bahkan yang lebih luas lagi yaitu pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu permasalahan yang sering muncul hampir di setiap negara adalah kemiskinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan melarat, tidak punya apa-apa.1 Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, keamanan, dan kebudayaan. Kemiskinan juga merupakan salah satu ancaman sosial dan keberagaman umat manusia di seluruh dunia.

Dalam Islam kemiskinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari sudut tasawuf, fikih dan aqidah. Bidang fikih, kemiskinan ditempatkan pada objek pemberian, penekanannya juga dilihat dari sisi materi. Menurut ilmu fikih, kemiskinan terbagi dalam dua wujud yaitu fakir dan miskin. Fakir berarti kondisi seseorang sama sekali tidak memiliki daya untuk bertindak memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun hasil yang diperoleh terlalu kecil bahkan kurang untuk bisa memenuhi kehidupan tersebut. Menurut ulama mahzab Syafi’i, kemiskinan dihitung berdasarkan harta milik atau usaha seseorang, apakah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak.2 Dalam prespektif tasawuf, kemiskinan adalah lambang kesucian. Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, seorang sufi harus menempuh Maqamat atau

1

Tim prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gitamedia Press, 2011) hal. 31

2

Lilies Nurul Husna dan Achmad wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran (Jakarta: Lakpesdam NU, 2011), hal 27


(39)

aqidah padangan kemiskinan nampak dari pembahasan takdir dan perilaku manusia antara golongan Jabariyyah dan Qadariyyah berbeda pandangan, kemiskinan bukanlah keadaan hidup yang semata-mata karena takdir sebagaimana aliran Jabariyyah. Atau sebaliknya bahwa kemiskinan adalah semata-mata karena faktor manusianya, sebagaimana pendapat kalangan Qadariyyah.

Untuk mengetahui pengertian kemiskinan yang lebih luas maka penulis membagi menjadi dua perspektif. Pertama perspektif agama dalam hal ini Islam dan yang kedua perspektif ilmu sosial. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Perspektif Islam

Kemiskinan berasal dari Arab Sakana, yang berarti “diam” atau “mandek”. Kata lain yang semakna dengannya adalah fakir dari kata “Faqr” artinya “tulang punggung”. Maksudnya adalah beban yang sangat besar hingga mematahkan tulang punggung.4 Ketika menjelaskan tentang kemiskinan, al-Qur’an memakai beberapa kata. Namun, kata yang sering digunakan adalah kata faqir dan miskin. Kata faqir (bentuk mufrad), fuqara (bentuk jama’) dan faqr (bentuk masdar) dipergunakan al-Quran dalam berbagai arti, yang tersebar dalam 13 ayat, pada sepuluh surat. Surat-surat tersebut ialah dua surat Makkiyah, yaitu surat al-Qashash dan Fatir, serta delapan surat Madaniyyah, yaitu al-Baqarah, Ali-Imran, an-Nisa’, at-Taubah, al-Hajj, an-Nur, Muhammad, dan al-Hasyr. Al-Quran menggunakan kata

3 HM. Sa’ad Ibrahim

, Kemiskinan Dalam Prespektif al-Quran (Malang: UIN Malang Press, 2007), hal.7

4

Said Aqil Sirodj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, mengedepankan islam sebagai inspirasi


(40)

29

fuqoro sebagai lawan kata ghaniy, sebagaimana terdapat dalam surat al-Fathir ayat 15 sebagai berikut:

                 

Artinya : Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Al-Quran juga mengemukakan bahwa fuqara adalah kelompok yang berhak menerima atau memperoleh bagian zakat bersama kelompok-kelompok lain, sebagaimana ayat 60 surat at-Taubah berikut;5

                                      

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Selanjutnya dalam ayat 16 surat al-Balad menggambarkan orang miskin sebagai orang yang sangat papah, menunjukkan bahwa orang miskin itu ialah orang yang tidak berharta. Dalam ayat 76 surat al-Kahfi justru memberi gambaran bahwa orang-orang miskin dalam ayat tersebut justru pemilik perahu. Hanya saja dalam ayat ini perahu tersebut bukan milik seorang. Tetapi juga kepunyaan orang-orang miskin. Dengan adanya perbedaan gambaran tersebut, al-Quran bermaksud menjelaskan bahwa seorang disebut miskin bukan ditentukan oleh ketiadaannya harta benda yang mereka miliki, akan

5


(41)

berusaha mencukupi kebutuhan hidup.6

Islam menempatkan kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan yang memiliki kompleksitas tersendiri, tidak dapat dipahami bahwa dengan melihat satu atau sebagian unsur saja. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dengan satu sisi, kemiskinan itu memang takdir yang harus diterima oleh manusia, namun pada sisi lain manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengubah keadaan tersebut sehingga tidak lagi menjadi miskin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Ra’d ayat 11 sebagai berikut:

                                                     

Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum. Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Dari keketerangan diatas kemiskinan dalam Islam diartikan keadaan kekurangan dari seseorang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak jarang menjerumuskan pada kemunkaran. Oleh sebab itu dalam Islam ada perintah bagi yang mampu untuk menolong dan berbagi dalam rangka mengangkat kesejahteraan bersama dan menghindarkan dari keterpurukan melalui Zakat, Infak dan Shadaqah.

6


(42)

31

2. Perspektif Sosial

Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), kemiskinan memiliki wujud yang majemuk seperti rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif, kelaparan, dan kekurangan gizi, serta rendahnya kesehatan, akses pendidikan, dan layanan sosial lainnya yang terbatas.7

Selain itu, kemiskinan juga diartikan sebagai kondisi kehidupan serba kekurangan yang dialami seseorang, baik laki-laki ataupun perempuan, atau rumah tangga, sehingga tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar itu meliputi terpenuhinya hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, hak atas tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman dari tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.8

Selain itu kemiskinan sering juga didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksiorang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Sedangkan Bank Dunia (WB) memberi defini keadaan miskin yaitu “povertyis concern with absolute standard of living of part of society the poor in the equality refers to relative living standard across the whole society”. (Keprihatinan dengan standar mutlak hidup bagian dari masyarakat miskin

7

Lilies Nurul dan Wazir Wicaksono, Ormas Agama, h.13

8

Mishabul Hasan, dkk, Ulama Mengadvokasi Anggaran, (Jakarta: PP Lakpesdam NU, tt), h.14


(43)

Bank dunia juga memberikan gambaran pengertian “sangat miskin” ini sebagai orang yang mempunyai pendapatan hidup kurang dari USD 1 perhari, dan “miskin” dengan pendapatan kurang dari USD 2 perhari.9

Peraturan pemerintah dalam konteks Indonesia mendefinisikan fakir-miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumberdaya hidup berupa mata pencahariandan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Atau seseorang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya yang layak bagi kemanusiaan.

B. Faktor-faktor yang Membentuk Kemiskinan

Para ilmuan sosial sependapat sebagaimana dikatakan oleh Supardi Suparlan bahwa sebab utama yang melahirkan kemiskinan adalah sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu sendiri bukanlah suatu gejala yang terwujud semata-mata karena sistem ekonomi. Dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari interaksi yang melibatkan hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya.10

Ada tiga faktor yang membentuk atau melahirkan kemiskinan. Ketiga faktor tersebut yaitu;

1. Faktor Kondisi Alam

Kelompok atau orang yang memandang permasalahan kemiskinan sebagai “kehendak alam” yang secara ringkas menganggap bahwa

9

Mishabul Hasan, Ulama Mengadvokasi Anggaran, h.15

10


(44)

33

kemiskian merupakan realitas diluar kendali manusia. Jadi menurut mereka, kemiskinan harus diterima dan dijalani saja apa adanya.11

Berkaitan dengan kondisi alam, al-Quran menyatakan bahwa alam sementara ini ditundukkan kepada manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Jatsiyyah ayat 13 berikut:



    

  



 

 

  

Artinya : Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

Berpijak pada ayat ini, dapat dinyatakan bahwa alam semesta merupakan sumber daya yang siap didayagunakan untuk berbagai kepentingan manusia. Karena Allah yang telah menundukan alam tersebut, maka pola manusia dengan alam harus diletakkan atas prinsip-prinsip yang sejalan dengan norma-norma ketuhanan. Norma demikian termasuk dalam konteks tauhid. Dalam paradigma tauhid inilah, maka manusia harus tetap berpegang teguh pada norma-norma agama Ilahi dalam mengelola alam, jika yang terjadi tidak demikian, maka pada gilirannya akan merasakan dampak negatif dari interaksi tersebut.

Bahkan al-Quran telah memberikan sinyal bahwa fenomena kehancuran telah merata, baik di daratan maupun di lautan yang disebabkan pola interaksi antara manusia dengan alam. Dalam hal ini melalui surat ar-Rum ayat 41, al-Quran menyatakan;

11


(45)

   

   

 

 

 





 

Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Pola interaksi destruktif antara manusia dan alam, berupa eksploitasi alam tanpa melakukan analisis dampak lingkungan, kecenderungan untuk menghabiskan seluruh potensi alam, keengganan mengadakan peremajaan demi kelangsungan alam, dan sebagainya. Akibat dari pola interaksi demikian ialah kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak, baik generasi yang sedang berlangsung maupun generasi selanjutnya.12

2. Faktor Kultural

Manusia memegang seluruh kendali atas apa yang terjadi, begitu juga dalam konteks kemiskinan. Akibat dari kemalasan, kebodohan, dan keterbelakangan dalam berbagai hal inilah, maka permasalahan kemiskinan muncul.

Menurut kaum konservatif kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin, karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa kewirausahaan, tidak ada hasrat berprestasi, dan sebagainya. Orang-orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya sendiri.

12


(46)

35

Al-Quran mengajarkan dalam kondisi yang amat lemah pun manusia harus mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki. Hal ini digambarkan al-Quran lewat kisah perjalanan Siti Maryam ketika melahirkan Nabi Isa. Maryam diperintahkan untuk menggoyang pohon kurma agar buahnya yang ranum berguguran. Bukan persoalan bagaimana pohon kurma itu dapat digoyangkan, tapi bagaimana Siti Maryam yang dalam posisi mau melahirkan (kondisi fisik dan psikisnya lemah) bekerja keras untuk dapat menggoyangkan pohon kurma itu. Dengan mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki, Maryam telah berhasil mengatasi prolemnya, yaitu yakin ada makanan untuk dimakan demi mengembalikan kekuatannya setelah melahirkan.

Berdasarkan uraian diatas, cukup beralasan bahwa sebagian dari sebab-sebab terjadinya kemiskinan kaitannya dengan kondisi manusia itu sendiri adalah kurang percaya pada kemampuan yang dimilikinya, keengganan mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, pola hidup konsumtif dan boros, keengganan mencari ilmu, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu.13

3. Faktor Struktural

Dalam faktor ini, seseorang memandang persoalan kemiskinan bukan hanya dari satu hal, tetapi memiliki keterkaitan dengan banyak hal. Kemiskinan bukan sekedar masalah sifat hidup seseorang, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial dan berbagai hal lain yang melekat dalam kehidupan masyarakat.

13


(47)

menyatakan bahwa “kemiskinan WAW timbul karena struktur, mereka sebenarnya bukan orang miskin, tetapi dibuat miskin oleh suatu struktur”.

Sementara itu, kaum radikalis menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka miskin karena memang dilestarikan untuk miskin. Kemiskinan mempunyai fungsi yang menunjang kepentingan kelompok dominan, rulling elites,atau kelas kapitalis. Negara-negara terbelakang menjadi miskin karena memang secara terencana dimiskinkan. Pembangunan yang terjadi kata Strohmhanyalah entwickelung der unterentwickelung (pembangunan keterbelakangan).14

Menurut Sa’ad Ibrahim yang dimaksud dengan sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi struktural adalah tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan the rulling class mengenai harta kekayaan yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Menurut Sa’ad, salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial ialah terkonsentrasinya modal di tangam orang-orang kaya. Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi demi meraih prestasi dibidang ekonomi. Memiliki potensi saja tanpa didukung modal tidak akan mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara optinal. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran ayat 7 surat al-Hasyr sebagai berikut:

14

Sri Edi Swasono, Al Muzammil dan Amri Yusra, Sekitar Ekonomi dan Kemiskinan (Jakarta: UI Press, 1988), h.25


(48)

37                                                                 

Artinya : apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Dalam ayat ini, harta rampasan perang hanyalah menjadi salah satu contoh yang ditunjukan oleh al-Quran, yang harus dibagi berdasarkan prinsip keadilan. Esensi ayat ini terletak pada tuntutan diwujudkannya keadilan dalam bidang ekonomi, tidak hanya harta rampasan perang saja, tetapi juga meliputi komoditas ekonomi lainnya. Indikasi terwujudnya keadilan di bidang ekonomi ialah jika kesempatan untuk mendayagunakan sumber-sumber ekonomi terbuka bagi setiap orang, tidak hanya terbuka bagi kalangan tertentu saja khususnya kalangan orang-orang kaya.

Kelanjutan daari kezaliman bidang ekonomi yaitu terjadinya kecenderungan hidup mewah para penguasa, yang pada gilirannya memicu kehancuran. Dalam hal ini al-Quran mengingatkan melalui surat al-Isra’ ayat 16 sebagai berikut:

                    

Artinya : dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.


(49)

jahat, maka konsekuensi logisnya terjadi berbagai bentuk kezaliman berupa undang-undang, peraturan-peraturan, dan keputusan-keputusan yang justru merugikan orang banyak, terutama bagi mereka yang lemah, termasuk golongan orang fakir miskin. Dengan demikian jelas adanya keterkaitan antara terjadi dan langgengnya kemiskinan dengan kezaliman penguasa.15

C. Kondisi dan Wajah Kemiskinan di Masyarakat

Kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan yang sering membuat kelimpungan para pemimpin, terlebih di kalangan pemimpin formal, baik pada ranah lokal maupun nasional dan global. Dalam beberapa dekade ini banyak dilakukan kajian, diskusi, dan retorika tentang kemiskinan oleh banyak pihak, baik kalangan pemerintah maupun swasta. Bahkan pada sisi lain terjadi perang opini bahwa kemiskinan dijadikan komoditas yang menghasilkan keuntungan bagi beberapa pihak. Kecurigaan yang melatar belakangi opini tersebut berangkat dari otak-atik terhadap fakta bahwa banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah maupun swasta (LSM), namun pada kenyataannya kemiskinan belum mengalami peningkatan yang signifikan (berkurangnya orang miskin).

15


(50)

39

Menurut data BPS16, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini adalah:

Tahun Jumlah (juta jiwa) % dari total penduduk

2010 31,02 13,33

2009 32,53 14,15

2008 34,96 -

2007 37,17 16,58

Kemiskinan bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di seluruh dunia. Para ahli ilmu-ilmu sosial telah menyusun berbagai statistik untuk mengetahui luasnya kemiskinan di seluruh penjuru dunia dengan berpatokan pada beberapa indikator tertentu, antara lain kekurangan makanan, perkiraan usia rata-rata ketika dilahirkan dan lain-lain. Makanan merupajan kebutuhan pokok yang dipenuhi oleh setiap orang, sedangkan usia rata-rata mencerminkan sejauh mana pengaruh berbagai jenis kekurangan pada diri seseorang. Selain kedua ukuran biologis diatas ditambah pula unsur ketidaktahuan sebagai indikator yang berkaitan dengan kemajuan sosial.

Bagi PBB, ketiga indikator ini memberikan gambaran singkat namun jelas sejauh mana tersebarnya kemiskinan dengan berbagai gejalanya yang beraneka ragam. Berdasarkan ketentuan ini, pada tahun 1971 PBB menyusun daftar nama negara di seluruh dunia yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu negara maju, negara berkembang, serta negara miskin (yakni negara yang palng miskin dan terbelakang secara materil atau yang paling sedikit pertumbuhan ekonominya).

16


(1)

mengucapkan, “Ya Allah hidupkanlah aku di dalam kefakiran dan kumpulkanlah aku di dalam kefakiran dankumpulkanlah aku di dalam kumpulan orang-orang fakir”26,

maka hal tersebut baru merupakan pertentangan.

Arti kemiskinan di dalam sabda Rasulullah SAW, “dan kumpulkanlah aku dalam keadaan miskin,” berarti rendah hati.27 Seakan-akan Rasulullah SAW memohon kepada Allah agar tidak di jadika orang yang keras hati dan orang-orang yang sombong agar tidak dikumpulkan bersama mereka.28

Kalimat miskin (maskanah) adalah kalimat yang diambil dari kata as-sukun. Di katakan di dalam bahas Arab Tamaskana Ar-Rajul apabila seseorang lembut, rendah hati, khusyu’ dan tunduk.29

Di antaranya sabda Nabi kepada orang yang shalat :

ت

ء

س

ت

س

ن

ت

ع

أ

س

ك

“ melemahlah, tenanglah dan tundukkan kepalamu.”30

Maksud dari hadis di bawah tersebut hendaklah engkau khusyu’ dan merendahkan diri dihadapan Allah SWT.”31

Di antara dalil yang ibnu Qutaibah sampaikan: Sesungguhnya Rasulullah SAW jika memohon Kemiskinan yang berarti kefakiran, niscaya Allah SWT melarang permohonan tersebut. Karena Allah SWT telah menjaminnya menjadi orang yang

26

Telah di takhrij di dalam pembahasan ini

27

Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka

Azzam hal. 279)

28

Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka

Azzam hal. 279)

29

Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka

Azzam hal. 280)

30

HR. Ibnu Majah. Dalam Sunan-nya (1319)

31


(2)

53

berkecukupan dan mampu dengan air yang diciptakan untuknya, sekalipun Allah tidak memberikan uang dirham yang berlimpah ruah.32

Allah SWT berfirman,







6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? 7. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. 8. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

Kalimat al’ail (kekurangan) adalah orang miskin/ faqir yang memiliki keluarga atau tidak memiliki keluarga. Kalimat al mu’il adalah orang fakir yang memiliki keluarga, baik ia meiliki harta atau tidak.33

Ibnu Qutaibah juga menambahkan bahwa, tidak pernah mendengar Nabi siapapun, sahabat manapun, ahli ibadah dan para mujtahid manapun berdoa, ” Ya

Allah fakirkanlah diriku dan janganlah engkau memberikan kepadaku.” Dan tidak dengan cara seperti itu Allah SWT memperbudak manusia, tetapi Allah memperbudak manusia agar mereka berdoa, “Ya Allah berikanlah aku rezeki, ya Allah sehatkanlah aku.”34

Uraian di atas menunjukan bahwa dalam memberikan jalan keluar terhadap pertentangan hadis-hadis tersebut, Ibnu Qutaibah tidak hanya memahaminya melalui pendekatan bahasa saja, namun juga berdasarkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya dengan hadis yang bersangkutan.

Setelah menganalisa pendapat Ibnu Qutaibah beserta ulama hadis mengenai arti miskin ternyata tidak ada pesinggungan, yang berarti maksud dari miskin adalah tawadhu.

32

Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka

Azzam hal. 280)

33

Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka

Azzam hal. 281)

34


(3)

54

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan dari tulisan ini dengan merujuk kepada rumusan masalah sebagai berikut:

Kata miskin berasal dari akar sukun yang berarti tenang, tawadhu (rendah hati) dan khusy’. Berbeda dengan fakir yang lebih condong ke arah materi.

Dalam menakwilkan hadist-hadist tersebut, mereka kurang memahami arti dari fakir dan miskin, dan cenderung menyamakan keduanya, padahal keduanya tidak sama.

Ada beberapa hadis yang bertentangan dengan hadis ini, tapi itu bukan menjadi pelemah hadis ini. Karena hadis itu justru menguatkan pemahaman akan arti miskin.

Dengan demikian, hadis bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena dibalik kata miskin tersebut ada maksud tawadhu’ atau rendah diri, bukan miskin harta.


(4)

55

B. Saran-saran

Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada hadis kemiskinan. Maka dari itu penulis berharap dikemudian hari ada penulis yang menyempurnakan penelitian ini dengan bahasan dan penakwilan yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.

Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif, terhadap hadis-hadis kemiskinan dan tidak hanya menggunakan kitab ta’wil

mukhtalif al-hadis saja.

Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada umumnya. Amien.


(5)

56

DAFTAR PUSTAKA

‘Athâ. ‘Abd al-Qadîr Ahmad, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ. Beirut, Dâr al-Fikr, 1995.

Abû Zahw. Muhammad,Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut: Dâr al-Fikr, th.1995 Ariffudin. Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi . Jakarta: Renaisan,

2005.

Biro Pusat Statistik. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia

1976-1990. Jakarta: BPS, 1991.

Departement Agama, Al-Qur’an Departemen Agama RI. Jakarta: Kalam Ilahi, 2002. Hanafi. Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Hanbal. Ahmad bin, Musnad Ibnu Hanbal. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996.

Hasan. Mishabul, Ulama Mengadvokasi Anggaran. Jakarta: PP Lakpesdam NU, t.th. Hasyim. Ahmad, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam. Banda Aceh: Lentera, 1973.

http://pustakaimamsyafii.com/mencintai-orang-orang-miskin-dan-dekat-dengan-mereka.html/ diakses 14-september-2014

Husna. Lilies Nurul dan Achmad wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran. Jakarta: Lakpesdam NU, 2011.

Ibrahim. Saad, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Ismail. Syuhudi, Metodelogi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Majah. Ibnu, Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. An-Nasa’i, Imam. Sunan an-nasai’, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995

Nasution. Anwar, Sekitar Kemiskinan Dan Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang

Islam. Jakarta: UI Press, 1987.

Qardhawi. Yusuf, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj. Bahruddin Fannani. Jakarta: Robbani Press, 1997.

, Kajian Kritis Pemaknaan Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan


(6)

57

, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan. Bandung: Karisma, 1999.

Qutaibah. Abdullah Bin Muslim bin, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, 1988.

Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis. Jakarta: GayaMediaPratama,1996.

Sa’ad. Ibrahim, Kemiskinan Dalam Prespektif al-Quran. Malang: UIN Malang Press, 2007.

Saputra. Munzier, Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.

al-Sibâ’i. Mushthafâ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur Kholish Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Sirodj. Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, mengedepankan islam sebagai

inspirasi bukan aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.

Sou'eb. Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah II. Jakarta: Bulan Bintang t.th, 1996.

Suparlan. Parsudi, Manusia Indonesia Individu. Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986.

Swasono. Sri Edi, Al-Muzammil dan Amri Yusra, Sekitar Ekonomi dan Kemiskinan. Jakarta: UI Press, 1988.

Al-Thawil. Nabl Subhi, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim. Bandung: Mizan, 1990.

Tim prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gitamedia Press, 2011. Tirmidzi, Imam. Sunan Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996

Yatim. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Zaghlul. Abu Hajar Muhammad Al-Sa’id Bin Baisuni, Mausu’at Al-Athraf Al-Hadis

Al-Nabawi Al-Syarif. Beirut: Dar Al-Fikr, 1989.

Zahrah. Muhammad Abû, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996