Bauran pemasaran sosial lembaga pengajian al-Ikhlas pada kaum waria muslim Surabaya.

(1)

BAURAN PEMASARAN SOSIAL LEMBAGA PENGAJIAN

AL-IKHLAS PADA KAUM WARIA MUSLIM SURABAYA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar

Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah

Oleh

Hendra Arohman

NIM. F1.2.9.15.292

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Waria merupakan kelompok masyarakat yang membutuhkan pembinaan dakwah secara khusus. Salah satu peran lembaga dakwah adalah hadir memberikan perhatian dakwah kepada waria yang menginginkan perbaikan diri. Fenomena adanya lembaga dakwah pengajian waria al-Ikhlas menunjukkan perhatian untuk berdakwah kepada masyarakat waria. Dakwah dalam kajian pemasaran, merupakan salah satu sistem pemasaran sosial. Maka penelitian fenomena pemasaran sosial dalam lembaga dakwah pengajian waria al-Ikhlas perlu dilakukan. Penelitian ini mengambil lembaga pengajian al-Ikhlas sebagai objek penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penetapan bauran pemasaran sosial yang meliputi product, price, place dan promotion lembaga pengajian waria al-Ikhlas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus eksplanatoris dengan metode pengumpulan data wawancara dan dokumentasi. Hasilnya, penelitian ini menemukan empat hal. Pertama, pengurus pengajian menetapkan produk sosial berupa keyakinan pada agama dan kampanye untuk kembali kepada kodrat lelaki. Kedua, perumusan ide harga untuk produk sosialnya, menekankan pada harga yang terjangkau agar dapat diakses oleh target adopter. Ketiga, penetapan place menggunakan zero level channel berupa komunikasi langsung kepada target adopter, serta menerapkan konsep two step flow model berupa merekrut para leader kelompok waria tertentu. Keempat, strategi promotion menggunakan tiga pola, yakni menggunakan media massa untuk publikasi luas, menggunakan ikatan kelompok para waria dan terakhir dengan menggunakan ajakan personal secara langsung. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan dan inspirasi bagi pengembangan konsep pemasaran sosial pada organisasi nonprofit.

Kata kunci: pemasaran sosial, bauran pemasaran, pengajian waria, manajemen dakwah


(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANLITERASI ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

UCAPAN TERIMA KASIH ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 11

F. Penelitian Terdahulu ... 11

G. Metode Penelitian ... 14

H. Sistematika Pembahasan ... 25

BAB II BAURAN PEMASARAN SOSIAL PADA WARIA ... 27

A. Konsep Pemasaran Sosial dan Waria ... 29


(8)

C. Teori Bauran Pemasaran Sosial ... 37

BAB III PROFIL LEMBAGA PENGAJIAN AL-IKHLAS SURABAYA 57 A. Sejarah Pendirian Lembaga Pengajian ... 57

B. Visi, Misi dan Struktur Lembaga Pengajian al-Ikhlas Surabaya ... 60

C. Anggota Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 62

D. Program Dakwah Lembaga Pengajian ... 67

BAB IV ANALISIS DATA STRATEGI BAURAN PEMASARAN LEMBAGA PENGAJIAN WARIA AL-IKHLAS ... 92

A. Pemasaran Sosial oleh Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 92

B. Strategi Produk Sosial Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 96

C. Strategi Harga Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 117

D. Strategi Saluran Distribusi yang Ditetapkan Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 122

E. Strategi Promosi yang Ditetapkan Lembaga Pengajian al-Ikhlas .. 127

BAB V PENUTUP ... 135

A. Kesimpulan ... 135

B. Keterbatasan Penelitian ... 137

C. Saran ... 137

Daftar Pustaka ... 139 LAMPIRAN ARSIP KARTU IDENTITAS JAMA’AH AL-IKHLAS


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipe Produk, Kebutuhan dan Tugas Pemasaran ... 41 Tabel 2.2 Tipe Strategi Komunikasi Personal ... 54 Tabel 2.3 Daftar Anggota Pengajian al-Ikhlas ... 64


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Model Analisis Data Interaktif ... 24 Gambar 2.1 Social Marketing Product ... 39 Gambar 2.2 Variasi Level dalam Saluran Distribusi ... 46 Gambar 2.3 Berbagai Model Aliran Distribusi untuk Intangible Product .. 49


(11)

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manajemen lembaga dakwah memiliki posisi penting di dalam pengaruhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat. Sebagaimana diskursus ilmu dakwah dalam Islam, bahwa kegiatan dakwah merupakan kegiatan yang wajib dilakukan tidak hanya setiap umat muslim, melainkan juga seharusnya terdapat segolongan umat yang berorganisasi untuk menyelenggarakan program-program dakwah secara professional. Telah tercantum dalam al Qur’an Surat ali Imran ayat 104:

ُكَ تَۡو

َ

َِإ َن ُعتدَي ٞةَم

ُ

أ ت ُكنِ م

ٱ

ِتيَ

ۡ

ت

ِب َنوُرُ

ت

أَيَو

ٱ

ِفوُرتعَ

ت

ِ َع َنت َ تنَيَو

ٱ

ِر

َكنُ ت

ُ ُه َكِئٓ

َلْوُأَو

ٱ

َن ُحِ تفُ

ت

٤

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung

Lembaga dakwah tersebut diharapkan dapat mengumpulkan orang-orang yang memiliki konsentrasi untuk kegiatan dakwah Islamiyah dan mampu secara terus menerus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar kepada umat Islam agar terdapat perubahan perilaku menuju kebaikan. Dapat disimpulkan bahwa lembaga dakwah senantiasa berorientasi untuk merubah perilaku masyarakat dengan berbagai programnya. Pada situasi seperti ini, paradigma kerja lembaga dakwah sejalan dengan konsep pemasaran sosial. Pemasaran sosial adalah pemasaran yang dilakukan dengan menjual ide atau gagasan agar pasar sasaran memiliki perubahan perilaku. Konsep pemasaran sosial berusaha untuk mengorganisir strategi merubah


(13)

2

perilaku pasar dengan berbagai macam langkah-langkah sesuai dengan konsep pemasaran selama ini. Salah satu strategi pemasaran yang dikembangkan adalah strategi bauran pemasaran bagi lembaga nonprofit yang mencakup penentuan produk, penetapan harga, penentuan saluran distribusi pemasaran dan strategi promosi produk. Untuk mencapai tujuan perubahan perilaku masyarakat, lembaga dakwah perlu untuk menerapkan strategi bauran pemasaran mengingat adanya serangan kerusakan moral masyarakat yang masih gencar sampai saat ini.

Pada masyarakat perkotaan terdapat salah satu lapisan masyarakat yang membutuhkan pembinaan moral agama, yakni kaum waria. Di kota Surabaya terdapat cukup banyak kaum waria yang menetap dan mencari penghidupan dan di dalam diri mereka telah terstigma di mata masyarakat umum bahwa mereka adalah golongan yang dekat dengan dunia kemaksiatan. Namun mengacu dari penelitian yang dilakukan oleh Lastiko Endi Rahmantyo, pada waria yang memiliki keyakinan agama, termasuk yang memeluk Islam, mereka ingin menunjukkan eksistensi diri mereka dikalangan umum dengan tetap menjalankan syariat-syariat agama1. Pada

kaum waria yang ingin terbebas dari dunia kegelapan, perlu menemukan tempat yang mampu menerima mereka. Selama ini mereka masih belum banyak diterima ketika masuk di lingkungan umum, seperti halnya ketika mereka mencoba untuk sholat jumat di masjid dekat rumahnya umumnya mereka mendapat sorotan dan akhirnya mereka malu. Kejadian negatif lainnya yang menimpa nasib kaum waria adalah adanya pengalaman bahwa salah satu dari teman waria di Surabaya yang

1 Lastiko Endi Rahmantyo, Waria dan Upayanya dalam meraih kapital simbolik: study kasus pengajian al-Ikhlas dan persekutuan doa hati damai dan kudus, Jurnal kajian sastra dan budaya vol. 1 no. 2, (Surabaya: Univ Airlangga, 2013),77.


(14)

3

meninggal, prosesi pemakamannya seperti tidak dihargai oleh masyarakat, asal dikubur saja2.

Keberadaan lembaga dakwah yang ada di Surabaya seringkali menampilkan produk pemikirannya yang menyudutkan kaum waria. Materi ceramah yang didengungkan sejauh ini bermuatan keras untuk menyalahkan kaum waria. Materi-materi tersebut seputar tentang haram dan masuk neraka bagi waria serta cenderung tegas untuk mengarahkan waria agar kembali kepada jati diri laki-laki. Produk kajian keagamaan seperti ini membuat kaum waria muslim tidak nyaman dan cenderung tidak tertarik pada tawaran-tawaran nilai pengajian. Sikap yang mereka tunjukkan adalah dengan tidak menghiraukan atau bahkan memilih untuk tidak mengikuti lagi kegiatan pengajian tersebut. Perilaku keagamaan para waria muslim memiliki hambatan untuk teraktualisasikan karena mereka tidak merasa nyaman.

Akses para waria muslim untuk mengikuti pengajian menjadi terbatas. Secara psikologis, mereka menjadi merasa jauh untuk mendapatkan nilai-nilai Islam yang menerima kehadiran mereka. Berdasarkan sudut pandang ilmu pemasaran, saluran pemasaran dakwah kepada para waria muslim menurut peneliti tidak banyak dikembangkan, karena lembaga dakwah Islam nampaknya masih fokus kepada pengembangan dakwah untuk masyarakat umum. Pasar dakwah pada segmen waria ini merupakan fakta sosial yang memang ada di kota Surabaya. Dan melihat keberadaan pasar dakwah seperti ini mendorong lembaga dakwah untuk mampu menjangkau mereka dengan cara-cara yang marketable. Pengembangan

2RM Danardono Hadinoto, “Kelompok Pengajian Jumat Manis yang Anggotanya Para Waria Surabaya”, dalam http://ppiindia.yahoogroups.narkive.com/EWxQ3LYK/kelompok-pengajian-jumat-manis, (diakses pada 11 Juli 2016, pukul 11.30).


(15)

4

dakwah pada ceruk pasar masyarakat waria muslim ini nampaknya akan sulit apabila tidak menjalankan fungsi-fungsi strategi bauran pemasaran yang tepat. Mereka menjadi tidak tertarik pada nilai-nilai Islam dan bahkan memungkinkan untuk mereka tetap melakukan perilaku-perilaku buruk sebagai waria.

Terdapat dalam jatidirinya, para waria muslim ini mengakui bahwa mereka memanglah terlahir sebagai fisik laki-laki, tapi mereka mendapati jiwanya seperti perempuan. Sehingga mereka pun tetap menjalankan syariat Islam sebagaimana halnya syariat laki-laki. Namun mereka perlu menemukan tempat untuk mereka belajar tentang Islam yang nyaman. Dari sudut pandang ini, strategi bauran pemasaran sosial tidak hanya perlu untuk pasar sasaran masyarakat umum, melainkan juga perlu untuk ceruk pasar dakwah seperti waria muslim, agar mereka tetap pada jalur kebaikan Islam dan memiliki perubahan perilaku sesuai dengan syariat Islam.

Di Surabaya terdapat fakta sosial berupa organisasi atau komunitas waria yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk tetap memiliki aqidah Islam dan menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Yakni organisasi pengajian jumat manis al-Ikhlas Surabaya, dimana mereka bersosialisasi dan berkumpul bersama sesama waria muslim untuk menunjukkan eksistensi dan karya mereka di hadapan masyarakat Surabaya. Pengajian al-Ikhlas ini sudah berdiri sejak tahun 2003, yang didirikan oleh salah seorang waria bernama Marini, atau nama prianya adalah Tamim. Ketua pengajian saat ini, Rudi, menjelaskan bahwa pengajian ini berdiri juga karena menilai masyarakat pada umumnya menganggap waria sebagai sampah, menjijikkan tapi para waria sadar di hadapan Tuhan bahwa mereka adalah


(16)

5

hambaNya, karena itu waria membutuhkan pencerahan karena mereka benar-benar nol tentang agama. Mereka menilai bahwa waria juga manusia yang butuh melaksanakan ibadah terhadap Allah SWT. Produk sosial yang dibawa oleh pengajian al-Ikhlas adalah nilai-nilai tentang ajakan untuk menemukan jatidiri laki-laki bagi para waria dan ajakan untuk taat beribadah kepada Allah SWT.

Pada awalnya jumlah jamaah pengajian ini hanya berjumlah 18 orang waria, namun hingga saat ini tercatat mencapai 80 orang. Bahkan saat melakukan halal bihalal pada saat idul fitri tahun 2006 pernah mencapai 300 orang mengikuti

kegiatan jama’ah al-Ikhlas. Pengajian ini rutin diadakan setiap malam jum’at legi

sebulan sekali karena itu pengajian ini dikenal juga dengan pengajian Jum’at Manis.

Ketua pengajian al-Ikhlas menjelaskan bahwa saat ini pengadaan pengajiannya

berganti pada setiap malam jum’at wage, dikarenakan apabila malam jum’at legi, banyak jama’ah yang tidak bisa hadir3. Struktur organisasi yang dibentuk dalam

organisasi pengajian al-Ikhlas ini meliputi, Ketua : Kurnia, Wakil : Bella, Bendahara : Tika, Sekretaris : Siska, Moderator : Yuli, Angle, H. Khamim, Seksi wilayah Sidoarjo : Kristin, Seksi wilayah Surabaya Barat : H. Ira, Seksi wilayah Kota : Dian. Seksi wilayah Madura dan Surabaya Utara : H.Sofa.

Pengajian dilaksanakan secara bergilir di rumah anggota yang tersebar di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Pengurus organisasi menghubungi para penceramahan, dan ceramah ustadz-ustadz sebelumnya seringkali dakwah langsung menyerukan halal, haram, dosa bagi waria, hal itu kemudian menyebabkan banyak

jama’ah pengajian yang keluar. Namun KH. Ali Rochmat yang saat ini mengasuh


(17)

6

pengajian ini, dengan sabar membimbing para waria ini dengan cara-cara yang bertahap hingga pengajian bertahan sampai 8 tahun sejak dibimbing oleh KH. Ali Rochmat. Pola pembimbingan KH. Ali Rochmat seperti itu melalui kesepakatan dengan pengurus pengajian, yang memberikan permintaan untuk memahami kaum waria. Selain pengajian, ada banyak kegiatan yang dilaksanakan komunitas ini, yaitu: santunan kepada yatim piatu dan pembentukan grup sholawat Banjari. Grup banjari yang semuanya waria pernah meraih juara II pada tahun 2009 lomba hadrah banjari untuk dewasa tingkat JATIM di masjid al-Akbar Surabaya. Selain itu, komunitas ini meraih juara II di Tambak Beras Jombang lomba hadrah banjari se-JATIM pada tahun 2010. Materi pengajian yang diberikan sesuai dengan moment dan kejadian pada saat itu. Dan selama sepuluh tahun pengajian waria dilaksanakan, ada perubahan perilaku keagamaan para waria untuk lebih dekat dengan Allah dan rajin beribadah.

Jama’ah pengajian al-Ikhlas terdapat komitmen untuk beridentitas laki-laki pada urusan Hablun Minaallah dan dalam urusan duniawi, mereka boleh terlihat seperti beridentitas perempuan. Komunitas pengajian ini menerapkan identitas ganda dalam urusan dunia dan akhirat. Hal itu terlihat dari adanya kontrak mutlak bagi peserta pengajian waria untuk berbusana gamis laki-laki dan berkopyah putih saat pengajian. Demikian pula, pada saat melaksanakan sholat, mereka menisbahkan dirinya sebagai laki-laki. Dua kepribadian ini terlihat jelas, pada saat menuju ke tempat pengajian, sebagian mereka awalnya memakai kostum dan dandanan seperti perempuan, kemudian berganti kostum berupa gamis dan kopyah putih serta menghaspus dandanan di tempat pengajian. Setelah acara selesai,


(18)

7

mereka berganti kostum kembali dan berdandan seperti perempuan. Dalam upaya membentuk perubahan perilaku mereka, bahkan ada tiga waria yang akhirnya kembali ke jatidiri sebagai lelaki dan memutuskan untuk hidup berkeluarga secara normal dengan wanita.4 Dan perkembangan terbaru saat ini, sudah ada dua orang anggota pengajian yang telah selesai menunaikan ibadah haji di tanah suci, yakni H. Ira, H. Karsono, H. Chamim dan H. Sofa. Mereka menunaikan ibadah haji dengan status laki-laki, dan saat ini menginspirasi bagi anggota pengajian yang selainnya untuk menyusul menunaikan ibadah tersebut5.

Peneliti melihat dalam fakta-fakta diatas, terdapat fenomena menarik terkait dengan pemasaran sosial lembaga dakwah. Yakni adanya fenomena keberhasilan lembaga dakwah Islam kepada ceruk pasar kaum waria muslim Surabaya yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas untuk mengkampanyekan perubahan perilaku waria. Berdasarkan sudut pandang pemasaran sosial, perubahan perilaku kaum waria tersebut ke arah jatidiri mereka sebagai laki-laki merupakan indikator keberhasilan. Berbagai program dalam organisasi pengajian al-Ikhlas tersebut menarik untuk diteliti dari sudut pandang strategi bauran pemasaran sosial. Perjalanan program dakwah pengajian al-Ikhlas merupakan kajian yang menarik dalam rangka mengarahkan perilaku menyimpang sekelompok pasar dakwah yang tidak banyak dijangkau oleh lembaga dakwah yang lain.

4Mutimmatul Faidah, Husni Abdullah, “Religiusitas dan Konsep diri Kaum Waria”, JSGI, Vol.

04, No. 01, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013), 2.


(19)

8

A. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang diatas, dapat diinventarisir berbagai identifikasi masalah dalam penelitian ini, yakni:

1. Terdapat lembaga pengajian yang khusus untuk kaum waria muslim di Surabaya, selama 13 tahun hingga saat ini bertahan membina kaum waria agar memiliki kesadaran untuk kembali kepada kodrat gendernya. 2. Dalam kepengurusan lembaga, mereka membentuk struktur pengurus dan berbagai program dan acara rutin maupun tidak rutin untuk memberikan aktualisasi keagamaan bagi kaum waria. Hal ini menunjukkan indikasi berjalannya manajemen di dalam kegiatan pengajian al-Ikhlas.

3. Metode pembinaan nilai-nilai Islam kepada waria muslim Surabaya bersifat kesadaran, dengan terus secara berkala mengajak mereka untuk melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pola pembinaan seperti ini mengindikasikan berjalannya metode-metode pemasaran sosial dalam dakwah.

4. Perkembangan jumlah anggota pengajian cukup besar yakni dari berjumlah 18 orang meningkat menjadi 80 orang waria muslim. Dan sampai saat ini yang telah mengalami perubahan dengan kembali hidup normal sebagai laki-laki mencapai 3 orang. Jumlah ini bisa dikatakan besar mengingat anggota pengajian al-Ikhlas merupakan kaum minoritas di kalangan masyarakat umum dan juga di kalangan


(20)

9

masyarakat waria pada umumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pemasaran kegiatan pengajian al-Ikhlas cukup sukses.

Fenomena yang hendak diangkat dalam penelitian ini adalah pada kesuksesan perjalanan dakwah lembaga pengajian waria muslim al-Ikhlas yang mampu menarik pasar waria muslim dan mengubah perilaku sebagian besar waria ke arah jati diri laki-laki mereka. Dinamika program dakwah yang diselenggarakan oleh pengurus pengajian al-Ikhlas akan dapat dijelaskan dalam perspektif strategi bauran pemasaran dalam konsep pemasaran sosial. Konsep bauran pemasaran yang hendak diterapkan adalah mencakup strategi product, strategi price, strategi place dan strategi promotion dalam merubah perilaku pasar waria muslim Surabaya. Penelitian ini akan spesifik menganalisis perkembangan lembaga pengajian al-Ikhlas dalam kacamata empat strateri bauran pemasaran tersebut. Dengan begitu, akan mampu tergambarkan dengan jelas strategi pemasaran sosial yang dilakukan oleh lembaga pengajian al-Ikhlas Surabaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada penjabaran pembatasan masalah penelitian diatas, peneliti menetukan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana strategi bauran pemasaran sosial yang diterapkan oleh Organisasi Pengajian Al-Ikhlas Surabaya dalam menangani kaum waria?”. Apabila lebih dirinci kembali, maka rumusan masalah diatas meliputi:

1. Bagaimana perumusan strategi produk pemasaran sosial yang dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?


(21)

10

2. Bagaimana perumusan strategi harga (price) produk pemasaran sosial yang dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?

3. Bagaimana perumusan strategi distribusi (place) pemasaran sosial yang dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?

4. Bagaimana perumusan strategi promosi (promotion) pemasaran sosial yang dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Dengan berdasarkan rumusan masalah seperti diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan mengetahui deskripsi strategi bauran pemasaran sosial yang dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya kepada target adopter dakwahnya. Tujuan penelitian diatas perlu dijabarkan berdasarkan tiap sub rumusan masalah yang terkandung didalamnya. Apabila dirincikan, maka tujuan penelitian ini meliputi:

1. Mengetahui proses perumusan strategi produk, dalam upaya pemasaran sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya 2. Mengetahui proses perumusan strategi harga, dalam upaya pemasaran

sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya 3. Mengetahui proses perumusan strategi distribusi, dalam upaya

pemasaran sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya

4. Mengetahui proses perumusan strategi promosi, dalam upaya pemasaran sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya.


(22)

11

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu pemasaran khususnya dalam bidang pemasaran sosial. Secara bersamaan, karena terkait dengan strategi lembaga dakwah, maka hasil penelitian ini akan menambah khasanah baru dalam dunia dakwah bahwa kegiatan dakwah mampu terjelaskan dengan tindakan maupun strategi pemasaran, sebagaimana kesamaannya dengan paradigma pemasaran sosial.

2. Manfaat Praksis

Secara praksis, hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan rujukan bagi lembaga dakwah yang lain, atau lebih khusus lagi pada lembaga dakwah yang membina pasar dakwah waria muslim. Dalam sudut pandang general, hasil penelitian ini juga mampu menjadi alternative referensi bagi organisasi-organisasi nirlaba dalam memasarkan produk sosialnya. Sehingga strategi pemasaran tidak hanya berhenti pada sisi organisasi dakwah, melainkan seluruh organisasi nirlaba.

E. Penelitian Terdahulu

Peneliti memerlukan acuan dasar dalam melakukan penelitian strategi bauran pemasaran organisasi pengajian al-Ikhlas ini. Acuan tersebut diambil dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh berbagai pihak. Penelitian-penelitian terdahulu ini akan dipilih yang berkaitan dengan judul Penelitian-penelitian bauran pemasaran organisasi pengajian al-Ikhlas. Terdapat beberapa penelitian terdahulu


(23)

12

yang mengangkat tema mengenai bauran pemasaran sosial dan juga mengenai pengajian al-Ikhlas.

Pertama, penelitian yang berjudul “waria dan upayanya dalam meraih kapital simbolik: Studi Kasus pengajian al-Ikhlas dan persekutuan doa hati damai

dan kudus”, ditulis oleh Lastiko Endi Rahmayanto dalam Jurnal Kajian Sastra dan budaya vol. 1 no. 2, Universitas Airlangga, Juli 20136. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap upaya para waria di Surabaya khususnya yang beragama Islam dan nasrani dalam meraih eksistensi di dalam masyarakat umum. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi pastisipan. Teori yang dipilih adalah trio teori yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieau yaitu teori habitus, arena dan kapital. Hasil penelitian ini adalah para waria memilih untuk bergabung dan membentuk organisasi keagamaan untuk mengurangi diskriminasi dan stigma masyarakat terhadap mereka. Selama ini mereka mendapatkan kesulitan untuk mencari tempat beribadah yang nyaman, sehingga untuk meraih eksistensi diri mereka, maka aktif pada organisasi keagamaan khusus waria membuat mereka lebih percaya diri dan bisa dilihat di masyarakat luas atas karya-karya mereka.

Kedua, penelitian yang berjudul “Religiusitas dan Konsep Diri Kaum

Waria”, ditulis oleh Mutimmatul Faidah dan Husni Abdullah dalam JSGI vol. 4 no. 01, Agustus 20137. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstruk kehidupan

6Lastiko Endi Rahmayanto, “Waria dan upayanya dalam meraih kapital simbolik: Studi Kasus pengajian al-Ikhlas dan persekutuan doa hati damai dan kudus”, Jurnal Kajian Sastra dan budaya

Vol. 1 no. 2, (Universitas Airlangga, Juli 2013), 62-81.

7Mutimmatul Faidah dan Husni Abdullah, “Religiusitas dan Konsep Diri Kaum Waria”, JSGI


(24)

13

waria menurut pandangan mereka sendiri. Format penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan konstruksionis. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori persepsi yang dikemukakan oleh Fisher. Hasil penelitian ini adalah pengungkapan tentang konsep diri para waria bahwa kondisi mereka yang telah menjadi waria merupakan suratan takdir dari yang Maha Kuasa. Namun mereka menyadari bahwa dalam kodrat mereka diciptakan sebagai laki-laki, sehingga para waria al-Ikhlas memainkan peran ganda dalam urusan Hablun Minannas dan Hablun Minallah.

Ketiga, penelitian yang berjudul “Strategi Bauran Pemasaran Majelis

Taklim Nurul Musthofa Ciganjur Jakarta Selatan”, ditulis oleh Lutfi Afif UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 20118. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi bauran pemasaran dakwah di Majelis Taklim Nurul Musthofa Ciganjur Jakarta Selatan. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data secara observasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori manajemen strategi dan teori bauran pemasaran Philip Kotler. Hasil penelitian ini adalah mendeskripsikan bahwa Majelis Taklim Nurul Mustofa Ciganjur Jakarta Selatan memiliki pola bauran pemasaran yang sudah kuat yakni meliputi produk, harga, tempat dan promosinya menunjukkan kesesuaian dengan harapan majelis Taklim Nurul Musthofa.

8Lutfi Afif UIN, “Strategi Bauran Pemasaran Majelis Taklim Nurul Musthofa Ciganjur Jakarta Selatan”, Syarif Hidayatullah, Jakarta 2011.


(25)

14

Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian terdahulu diatas, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan dengan judul penelitian yang akan peneliti angkat. Penelitian-penelitian yang memiliki kesamaan adalah sama-sama meneliti pengajian al-Ikhlas sebagai obyek penelitiannya. Namun dari penelitian-penelitian tersebut, topik penelitian yang diangkat tidak berkaitan dengan bauran pemasaran sosial, namun meliputi penelitian psikologi dan penelitian sosiologi. Sedangkan penelitian yang mengangkat tentang strategi bauran pemasaran, obyek penelitiannya adalah Majelis Taklim Nurul Musthofa, sehingga memiliki perbedaan obyek penelitian dengan peneliti. Dari semua penelitian terdahulu yang telah ada, maka peneliti memastikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang belum pernah dikaji dan penting untuk dilakukan.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Berangkat dari titik tolak rumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif menurut Bogdan dan Taylor (1975) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini diarahkan pada latar dan objek penelitian secara holistik, sehingga tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam


(26)

15

kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya9. Hasil penelitian strategi pemasaran sosial pengajian kaum waria ini adalah berupa keterangan-keterangan secara terperinci tentang keadaan strategi bauran pemasaran yang dirancang oleh sumber data penelitian. Maka peneliti akan mendapatkan data berupa penjelasan, ucapan, perkataan yang bersifat deskriptif dan bukan merupakan angka-angka.

Pada penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian studi kasus. Menurut Robert K. Yin penelitian studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why10. Penelitian ini menekankan pada sebuah fenomena yang khusus dengan

dilihat dari kacamata tertentu berdasarkan teori. Pertanyaan “bagaimana” atau “mengapa” akan diarahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, dimana

penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut. Sedangkan menurut Sevilla, dkk. (1993), penelitian yang terinci tentang seseorang (individu) atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu yang melibatkan penyelidikan mendalam dan pemeriksanaan menyeluruh. Peneliti dapat memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Karena itu, studi kasus bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian11. Pengajian kaum waria

9 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3. 10 Robert K. Yin, Studi kasus: Desain dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 9.

11 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 19-20.


(27)

16

Ikhlas merupakan salah satu contoh kasus yang dapat diangkat dalam penelitian, dimana organisasi pengajian tersebut secara khusus hanya membidik pasar dakwah berupa kaum waria yang muslim. Dalam hal ini, penelitian ini mendalam pada sisi bagaimana dan mengapa program-program dan kegiatan pengajian tersebut membidik kaum waria dan konsisten selama bertahun-tahun. Dan yang menarik dari realitas pengajian al-Ikhlas adalah jumlah anggota yang bertambah pada setiap tahunnya. Hal ini merujuk kepada adanya proses pengelolaan pemasaran tertentu yang dirancang atau dipikirkan oleh pengurus pengajian al-Ikhlas.

Tipe pendekatan studi kasus pada penelitian ini lebih dekat kepada studi kasus eksplanatoris, yakni penelitian ini akan banyak mengungkap mengenai keterangan-keterangan aktivitas kontemporer yang dilakukan oleh subyek penelitian sehingga kemudian didapatkan serangkaian data lengkap mengenai penjelasan atas strategi bauran pemasaran yang dibuat oleh subyek penelitian beserta pertimbangannya. Peneliti perlu menggunakan pendekatan studi kasus eksplanatoris dikarenakan berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri dan bukan sekadar frekuensi atau kemunculan. Untuk mendapatkan deskripsi yang mendalam mengenai strategi bauran pemasaran pengajian al-Ikhlas diperlukan penjelasan secara rinci mengenai bagaimana dan mengapa strategi yang dirancang seperti itu. Hal ini akan menuntut eksplanasi yang mendalam dari sumber data.

2. Subjek penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah teori mengenai bauran pemasaran sosial, sebagai fokus pembahasan dan analisis yang akan dilakukan oleh


(28)

17

peneliti. Teori bauran pemasaran mencakup empat hal yang akan dibahas, yakni mengenai perancangan produk sosial, penetapan harga/pengorbanan dalam melakukan produk sosial, penetapan saluran pemasaran untuk menyebarkan produk sosial kepada para adopter, dan terakhir adalah perumusan metode-metode promosi dalam meningkatkan konsumsi produk sosial.

3. Objek penelitian

Objek yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengurus dari organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya. Yang dimaksud pengurus disini adalah pihak dari lembaga pengajian al-Ikhlas tersebut yang bertugas untuk merancang strategi bauran pemasaran sosialnya. Peneliti memilih pengurus pengajian sebagai subyek penelitian karena patut diduga adalah sebagai pembuat kebijakan tentang strategi dakwah pada pengajian ini. Subyek penelitian ini mencakup ketua beserta jajaran pengurus inti yang ikut dalam menentukan strategi bauran pemasaran dari pengajian al-Ikhlas.

4. Metode pengumpulan data

Menurut Lexy J. Moloeng, metode pengumpulan data yang biasa digunakan dalam penelitian karya ilmiah kualitatif adalah pertama wawancara, adalah bentuk percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Tujuan wawancara, sebagaimana ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985) adalah mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain, memverifikasi, mengubah dan memperluan informasi yang diperoleh dari orang


(29)

18

lain12. Wawancara dilakukan dengan memiliki tiga bentuk, yakni wawancara terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur13.

Kedua, Observasi partisipatif, sebagaimana didefinisikan oleh Bogdan (1972) adalah penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu yang lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu, data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis.

Ketiga, Dokumen, sebagaimana dinyatakan oleh Guba dan Lincoln (1981) adalah setiap bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti. Dokumen dapat digunakan untuk menguji, menafsirkan, dan meramalkan. Dokumen dapat dibedakan atas dokumen resmi dan dokumen pribadi. Dokumen resmi adalah informasi yang dikemas dalam bentuk memo, pengumuman, instruksi, aturan organisasi, risalah rapat, surat keputusan, atau media massa seperti majalah, buletin, berita, Koran, dan lain-lain. Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya, biasanya dalam bentuk buku harian, surat pribadi dan autobiografi14.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mensinergisasikan semua metode tersebut dalam pengumpulan data penelitian. Hal ini dimaksudkan agar data yang didapatkan lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode wawancara dilakukan pada pengurus Organisasi pengajian al-Ikhlas. Pemilihan objek dan

12 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, 135.

13 Haris Herdiansyah, Wawancara Observasi dan Focus Groups: Sebagai Instrument Penggalian Data Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 63.


(30)

19

jumlah yang diwawancarai mempertimbangkan ketentuan metode sampling dalam penelitian karya penelitian kualitatif sebagai berikut:

Pertama, menentukan informan kunci (key informan ) atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian dan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Informan yang diteliti seharusnya adalah subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi indormasi, serta menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan15. Sedangkan situasi sosial yang dipilih hendaknya adalah situasi yang relative banyak merangkum informasi tentang domain-domain yang tercakup dalam topik penelitian (organizing domain), yang menjadi muara bagi domain-domain yang lain. Disamping itu, situasi sosial tersebut harus bersifat cukup sederhana untuk diamati, relative mudah diakses dan berlangsung relative sering atau berulang (frequently recurring activities)16.

Kedua, jumlah sampel (informan atau situasi) tidak dipersoalkan, bisa sedikit, bisa juga banyak, tergantung pada ketepatan pemilihan informan kunci dan kompleksitas serta keragaman fenomena sosial yang diteliti. Sewaktu-waktu pengambilan sampel dapat dihentikan ketika dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi atau sudah terjadi replikas perolehan informasi

Untuk melakukan metode obsevasi partisipasi, maka peneliti akan masuk ke dalam aktifitas pengajian al-Ikhlas untuk dapat melihat realitas tentang berbagai

15 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, 54 16 Ibid., 55-56


(31)

20

bauran pemasaran sosial yang dilakukan oleh para pengurus al-Ikhlas. Observasi pastisipasi ini akan mampu membantu penjelasan lebih terperinci dalam kegiatan bauran pemasasran sosial yang dilakukan pengurus. Penggunaan metode ini sebagai komplementer dari metode wawancara adalah dikarenakan potensi hambatan dalam wawancara dimana subyek penelitian kurang mampu menjelaskan dan menjawab dari instrument penelitian. Terkadang sumber data kurang memahami maksud pertanyaan penelitian dan tidak mengetahui realitas yang dimaksud dari istilah-istilah bauran pemasaran sosial. Sehingga diperlukan pengamatan dari peneliti untuk melengkapi deskripsi eksplanasi yang dibutuhkan dalam rumusan masalah penelitian.

5. Metode analisis data

Penjelasan para ahli dalam mendefinisikan pengertian analisis data sebagai berikut17: Menurut Patton (1980), Analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Menurut Bogdan dan Taylor (1975), analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis tersebut. Menurut Lexy J. Moloeng (2000), analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.


(32)

21

Menurut Moh. Nazir, tahap-tahap yang harus dilakukan dalam melakukan analisa data untuk penelitian karya kualitatif adalah sebagai berikut18:

1. Editing, data atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam record book, daftar pertanyaan ataupun pada interview guide perlu dibaca sekali lagi dan diperbaiki untuk menghilangkan keraguan atas data.

2. Koding, yakni memberikan kode pada data-data yang telah dikumpulkan untuk memudahkan proses pengorganisasi data.

3. Membuat tabulasi untuk memproses data dalam bentuk tabel-tabel dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori.

4. Menganalisis data dengan cara mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta mengingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Tujuan dari proses ini adalah untuk menerangkan sesuatu atau memberikan deskripsi terhadap sesuatu.

5. Penafsiran data yakni mencari pengertian yang lebih luas tentang penemuan-penemuan dari proses analisa data, sehingga penafsiran merupakan aspek tertentu dari proses analisa.

Adapun metode analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisa data kualitatif. Teknik analisa kualitatif adalah suatu analisa data yang diperoleh dengan diwujudkan dalam tulisan yang sistematis dan sesuai dengan teoritis yang pada akhirnya dapat disimpulkan.


(33)

22

Analisa data kualitatif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, jalin-menjalin pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis. Tiga kegiatan analisis tersebut yakni:

1. Reduksi data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang berorientasi menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Proses reduksi berlangsung terus-menerus selama penelitian yang berorientasi kualitatif berlangsung. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, hingga laporan akhir lengkap tersusun19 2. Penyajian data

Penyajian data adalah proses menyusun sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Karena peneliti tidak mungkin memproses informasi yang sangat

19 Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992),


(34)

23

besar jumlahnya, maka perlu menyederhanakan informasi yang kompleks kedalam kesatuan bentuk yang sederhana dan selektif atau konfigurasi yang mudah dipahami. Penyajian data kualitatif dapat menggunakan berbagai jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan yang dirancang untuk menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih. Dengan demikian, peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar segera dilakukan.

3. Penarikan kesimpulan/verifikasi

Penarikan kesimpulan adalah proses mencari makna dari keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsisi dari sekumpulan informasi kualitatif. Makna-makna yang muncul dari data-data tersebut harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya atau validitasnya. Kesimpulan-kesimpulan final mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang digunakan. Akan tetapi seringkali kesimpulan itu telah dapat dirumuskan sebelumnya sejak awal proses pengumpulan data.


(35)

24

Gambar 1.1. Model Analisis Data Interaktif20

Keterangan diatas berkedudukan untuk menjelaskan berbagai kegiatan analisis data penelitian. Dan pada penelitian ini, teknik analisis data yang dilakukan peneliti merujuk kepada teknik Miles-Huberman seperti dijelaskan diatas, yakni mulai dari tahap memilih dan mengedit data, memberikan kode, mengelompokkan berdasarkan tahap-tahap strategi bauran pemasaran sosial, serta menginterpretasikan data hingga menjadi sebuah kesimpulan yang mampu menjawab rumusan masalah. Pada teknik analisa tersebut akan dilakukan secara intensif dan berulang-ulang agar didapatkan data yang valid dan teruji.

Data yang didapatkan dari sumber data tidak dapat langsung disimpulkan dan disajikan dalam eksplanasi penelitian, melainkan perlu dilakukan pengujian atas kecocokan terhadap variable penelitian. Terdapat kemungkinan atas jawaban sumber data mengalami penyimpangan dari topik instrument atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan instrumen penelitian. Maka dari data-data yang

20 Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992),

20

Pengumpulan

Penyajian

Reduksi


(36)

25

tidak relevan dengan variabel penelitian akan disisihkan dan peneliti berusaha mencari data kembali kepada sumber data yang terkait dengan variabel penelitian.

Setelah didapatkan data-data yang relevan tentang bauran pemasaran sosial lembaga pengajian, maka peneliti akan melakukan penataan eksplanasinya, dengan cara mengelompokkan data-data sesuai dengan variabel penelitian dan kemudian menyajika penjelasan data tersebut dengan metode eksplanasi atau penjelasan terperinci. Dan dari eksplanasi data-data bauran pemasaran sosial pengajian al-Ikhlas tersebut akan dapat ditarik kesimpulan mengenai berbagai strategi bauran pemasaran yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pengurus organisasi.

G. Sistematika pembahasan

Secara umum, penelitian ini akan disusun dalam sistematika pembahasan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini penulis banyak menjelaskan mengenai fenomena permasalahan terkait adanya lembaga pengajian yang berdakwah kepada kaum waria Surabaya yang menjadi latar belakang penelitian ini, rumusan masalah yang menjadi pertanyaan besar dan menjadi fokus dalam menganalisis, serta penulis menampilkan beberapa penelitian terdahulu sejenis sebagai bukti bahwa penelitian ini masih orisinil dan masih termasuk dalam ruang lingkup penelitian manajemen dakwah.


(37)

26

Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai teori bauran pemasaran sosial yang menjadi pisau analisis atas eksistensi dakwah lembaga pengajian al-ikhlas, serta juga penulis menjelaskan konsep-konsep terkait dakwah pengajian.

Bab III Gambaran Objek Penelitian

Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai profil keberadaan lembaga pengajian al-ikhlas dan dinamika manajemen dakwahnya dalam upaya berdakwah menyadarkan para waria muslim di Surabaya.

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Pada bab ini penulis mencoba menganalisis fenomena perjalanan manajemen dakwah pengajian waria al-ikhlas dengan menggunakan sudut pandang teori bauran pemasaran sosial.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini penulis mencoba menarik poin-poin kesimpulan terkait setiap strategi bauran pemasaran sosial yang sedang berlaku di dalam upaya manajemen dakwah lembaga pengajian al-ikhlas. Lebih lanjut juga penulis memberikan saran-saran pada semua yang terkait dengan penelitian ini


(38)

BAB II

BAURAN PEMASARAN SOSIAL PADA WARIA

Konsep mengenai bauran pemasaran telah banyak terdapat pada teori pemasaran secara umum. Teori pemasaran terbagi menjadi tiga, yakni pemasaran barang, pemasaran jasa dan pemasaran sosial. Pemasaran pada lembaga pengajian perlu ditinjau dengan menelaah ketiga konsep pemasaran tersebut. Teori bauran pemasaran pun disusun berdasarkan tiga jenis pemasaran tersebut.

Bauran pemasaran untuk produk barang, terdapat konsep 4p, yakni Product, Price, Place, dan Promotion. Konsep bauran pemasaran 4p’s pada pemasaran produk barang kemudian dikembangkan menjadi 7p dalam pemasaran jasa, yakni 4p tersebut ditambah dengan People, Process dan Physical Evidence1.

Pengembangan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada produk jasa selalu menghadapi konteks pengelolaan antarmuka dengan pelanggan (customer interface), sehingga konsep 4p dianggap kurang memenuhi karakteristik produk jasa2 3. Jasa sendiri adalah kegiatan ekonomi yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain, dalam jangka waktu tertentu, dalam bentuk suatu kegiatan yang akan membawa hasil yang diinginkan kepada penerima, namun penerima tidak akan mendapatkan hak milik dari unsur-unsur fisik yang terlibat dalam penyediaan jasa

1 Christopher Lovelock, et al, Pemasaran Jasa: Manusia, Teknologi, Strategi Perspektif Indonesia,

(Jakarta: Erlangga, 2011), 25.

2 Rambat Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa: Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Salemba Empat,

2013), 92.

3 Fandi Tjiptono, Pemasaran Jasa: Prinsip, Penerapan, Penelitian, (Yogyakarta: CV Andi Offset,


(39)

28

tersebut4. Dapat disimpulkan bahwa fokus pemasaran jasa adalah memberikan layanan maksimal untuk kepentingan pelanggan, dan pelanggan memberikan kompensasi kepada penyedia layanan sebagai timbal balik.

Konsep bauran pemasaran sosial disusun sebagaimana pemasaran barang, yakni terdapat 4p. Namun karakteristik pemasaran sosial membedakan dirinya dengan pemasaran barang. Pemasaran sosial fokus terhadap produk berupa perubahan ide, gagasan dan perilaku. Pendekatan pemasaran sosial digunakan untuk orientasi perubahan sosial, yakni untuk perubahan perilaku.5

Entitas lembaga pengajian apabila ditinjau berdasarkan tujuannya adalah berorientasi untuk perubahan perilaku masyarakat. Lembaga pengajian dapat dikatakan sebagai organisasi non profit, dilihat dari pengertian organisasi non profit oleh Peter F. Drucker bahwa organisasi non-profit ada untuk membawa perubahan dalam individu dan masyarakat.6 Sehingga komitmen lembaga non profit adalah

murni untuk kepentingan sosial atau kemanusiaan. Teori pemasaran untuk lembaga sosial (non-profit) yang dianggap tepat adalah pemasaran sosial. Karakteristik lembaga non profit tidak berkomitmen terhadap pemberian layanan untuk mendapatkan kompensasi dari pelanggan, melainkan berkomitmen terhadap perubahan masyarakat itu sendiri, baik dalam tataran pemikiran maupun perilaku. Konsep bauran pemasaran yang relevan dalam konteks lembaga sosial merujuk kepada 4p dalam teori pemasaran sosial.

4 Christopher Lovelock, et al, Pemasaran Jasa: Manusia, Teknologi, Strategi Perspektif Indonesia,

(Jakarta: Erlangga, 2011), 16.

5 Philip Kotler dan Eduardo L. Roberto, Social Marketing: Strategies for Changing Public Behavior, (New York: The Free Press, 1989), 24.


(40)

29

A. Konsep Pemasaran Sosial dan Waria

1. Konsep Pemasaran Sosial

Konsep dasar pemasaran sosial dalam dunia akademis dimulai pada penjelasan Philip Kotler dan Gerald Zaltman lewat jurnal yang ditulisnya berjudul Sosial Marketing: An Approach to Planned Sosial Change. Menurut Kotler, social marketing adalah “the design, implementation, and control of the programs calculated to influence the acceptability of sosial ideas and involving considerations of product planning, pricing, communication, distribution, and marketing research”.7

Kotler dan Roberto mengatakan bahwa pemasaran sosial adalah strategi untuk mengubah kebiasaan8. Pemasaran sosial mencoba untuk mengubah kebiasaan atau perilaku dari yang tidak positif menjadi positif. Oleh karena itu keberhasilan dari sebuah pemasaran sosial terlihat apabila telah berubahnya pola kebiasaan dari masyarakat yang tidak positif menjadi positif. Pemasar membangun pengetahuan dalam diri konsumen sehingga konsumen tergerak untuk berubah untuk tidak memiliki kebiasaan yang tidak positif. Dalam pemasaran sosial, ide dan kebiasaan adalah produk yang dipasarkan.

Pemasaran sosial adalah penerapan prinsip dan teknik pemasaran pada upaya-upaya melakukan perubahan sosial yang positif, misalnya kampanye bahaya merokok, peningkatan partisipasi masyarakat dalam program

7 P. Kotler and Zaltman, Sosial Marketing: An Approach to planned sosial change, Journal of

Marketing, (August, 1971), 5.


(41)

30

keluarga berencana (KB) penyadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai, penggunaan kondom untuk hubungan seks yang aman dan sebagainya. Pemasaran sosial berbeda dengan pemasaran komersial seperti yang dikenal secara luas, khususnya di lingkungan ilmu manajemen dan bisnis. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, konsep pemasaran sosial seringkali dipahami secara keliru sebagai societal marketing, yakni program pemasaran komersial yang memperhatikan kepentingan masyarakat atau kepentingan sosial. Pemasaran sosial adalah irisan ilmu-ilmu sosial dengan disiplin ilmu pemasaran.

Dalam konsep pemasaran sosial, target adopter adalah penyebutan untuk konsumen atau pasar. Target adopter terdiri dari satu atau lebih kelompok yang dapat dibagi berdasarkan usia, status sosial, letak geografis9. Istilah target adopter digunakan bilamana pemasaran sosial berusaha untuk merubah perilaku pasar melalui kesadaran apa yang diyakininya. Pasar yang awalnya memiliki nilai dan perilaku tertentu, kemudian menerima produk sosial berupa kampanye himbauan, nasihat, petunjuk, maupun ajakan untuk melakukan suatu perilaku tertentu, keadaan tersebut kemudian dianggap bahwa pasar telah mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang dikampanyekan. Target pemasar dalam pemasaran sosial bukanlah keuntungan atau profit materi, melainkan pasar yang dituju telah menjalankan perilaku yang dipasarkan.

9 Ricardi S. Adnan, dkk, Pemasaran Sosial, Edisi kedua, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka,


(42)

31

Pasar dalam pemasaran sosial cenderung difokuskan kepada sekelompok orang yang dijadikan target sasaran10. Dikarenakan produk yang dijual pada konsumen pemasaran sosial adalah berupa pesan-pesan yang diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku orang lain, maka targetnya adalah pasar mengadopsi inti pesan yang dipasarkan dengan adanya indikasi perubahan perilaku dalam diri mereka. Oleh sebab itu, pasar sasaran bukan dianggap sebagai konsumen yang hanya membeli satu atau beberapa kali, melainkan pasar sasaran dalam pemasaran sosial diharapkan mengadopsi seterusnya perilaku yang dikampanyekan.

Pemasaran sosial mengelompokkan pasar menjadi dua macam, yaitu pasar eksisting dan pasar potensial. Pasar eksisting adalah pasar yang telah ada saat ini, yaitu yang telah terbiasa dan pernah membeli produk sosial sebelumnya. Pasar eksisting dibagi menjadi dua kategori, yakni pasar primer dan pasar sekunder. Pasar primer adalah pasar sasaran utama yang hendak dibidik dan yang memiliki kebutuhan mendesak kepada produk sosial. Sedangkan pasar sekunder adalah pasar yang tidak terlalu memiliki kebutuhan yang mendesak pada produk. Contoh ilustrasi akan dua kategori pasar eksisting diatas misalnya terdapat produk sosial kampanye anti merokok, pasar primernya adalah para perokok, sedangkan pasar sekundernya adalah semua orang yang tidak merokok. Orang-orang yang tidak merokok dikatakan pasar dikarenakan mereka adalah pasar yang

10 Ricardi S. Adnan, Target Adopter: Transformasi Pemasaran Sosial yang mengubah wajah Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2013), 69.


(43)

32

mempunyai peran dalam mensukseskan kampanye anti merokok untuk para perokok aktif.

Pasar potensial merupakan semua target adopter atau audience yang memiliki kebutuhan atau keinginan tertentu yang sesuai dengan program pemasaran sosial. Mereka adalah orang-orang yang berpotensi untuk menjadi target adopter atau audience namun belum memiliki sikap atau perilaku yang sesuai dengan pesan atau konsep dari pemasaran sosial11. Sebagai contoh pada produk sosial anti merokok, maka pasar potensialnya adalah semua remaja atau orang yang belum pernah merokok, namun berpotensi untuk merokok.

2. Waria sebagai Target Adopter dalam Pemasaran Sosial

Waria merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat yang memiliki karakteristik tertentu. Pengertian tentang waria dapat ditemui pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni akronim dari wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita, atau pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam12. Menurut Kemala Atmojo, secara umum waria adalah seorang laki-laki yang berdandan dan berlaku sebagai wanita13. Hal ini sebagaimana juga dikemukakan oleh Koeswinarno, bahwa akibat dari sifat waria seperti itu, perilaku yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari cenderung mengarah

11 Ricardi S. Adnan, Target Adopter, 72.

12 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/waria (diakses pada 4 Mei 2017, pukul 13.48).

13 Kemala Atmojo, Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria, (Jakarta: PT.


(44)

33

kepada perempuan, baik dari cara berjalan, berbicara maupun berdandan (make up)14.

Menurut pandangan agama, atribut sebagai waria adalah sesuatu yang dilarang dan dianggap tidak sesuai dengan norma keagamaan yang ada. Berdasarkan fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) tertanggal 31 Desember 2014 yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang hukumnya haram, merupakan suatu bentuk kejahatan dan pelakunya dijatuhi hukuman mati. Sehingga dapat dikatakan bahwa pilihan menjadi waria adalah tindakan yang konsekuensinya berupa dosa. Waria menurut terminologi fiqih disebut sebagai kaum khuntsa yang dirumuskan ulama sebagai seseorang yang mempunyai organ kelamin pria dan organ kelamin wanita. Dari rumusan diatas waria terbagi atas dua jenis waria: Pertama, waria dengan indikasi yang lebih cenderung kearah jenis kelamin kelaki-lakian atau sebaliknya, disebut khuntsa ghaira musykil. Kedua, waria yang tidak tampak indikasi yang menunjukan kearah jenis kelamin tertentu, disebut khuntsa musykil. Waria dianggap sebagai penyimpangan atau orang yang abnormal, merupakan dosa besar serta sebagai sumber maksiat dan kejahatan15. Transeksual dari sudut pandang kitab suci dan sejarah agama dianggap telah menyalahi ketentuan Tuhan (scipione, 1997)

14 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2004), 1. 15 Novi M. S. Dan Indriyanti Eko P., Hubungan Kebermaknaan Hidup Dengan Penerimaan Diri pada Kaum Waria di Yogyakarta, Jurnal SPIRITS, vol. 3, No. 1, November 2012, 3.


(45)

34

Walaupun dapat dikaitkan dengan kondisi fisik seseorang, namun gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Dalam wacana psikologi, waria termasuk penderita transeksualisme, yakni seseorang yang secara fisik memiliki jenis kelamin yang jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenisnya16. Beberapa contoh dari para waria dapat ditemui di kalangan masyarakat yakni jika terdapat laki-laki yang mengubah dadanya dengan operasi plastik atau suntik, membuang penis serta testisnya dan membentuk lubang vagina17.

Pada kalangan masyarakat, terdapat kebingungan dalam menempatkan gender waria karena para waria selalu menempatkan dirinya pada posisi perempuan padahal secara fisik merupakan laki-laki. Apabila ditempatkan pada kalangan gender laki-laki, gaya dan perilaku mereka sangat jauh dari maskulinitas. Seorang waria memakai pakaian atau atribut perempuan karena dirinya secara psikis merasa sebagai wanita18. Mereka

tidak memandang hal itu sebagai suatu penyimpangan karena mereka telah mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, dan bukan laki-laki. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat dikaitkan dengan keadaan biologisnya, orientasi seksual homoseksualitas maupun akibat pendonsisian lingkungan. Masyarakat juga masih menganggap waria

16 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, 12.

17 James Danadjaja, Homoseksual atau heteroseksual, dalam Srintil (ed.), Menggugat Maskulinitas dan Feminitas, (Jakarta: Kajian Perempuan Desantara, 2003), 35.


(46)

35

identik dengan pelacuran, seks bebas, penyakit kotor, atau pelaku seksual menyimpang19.

Masalah yang dihadapi seorang waria tidak hanya menyangkut moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, tapi juga dorongan seksual yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran20. Psikologis waria mendorong memiliki orientasi seksual yang sama seperti perempuan, yang ingin memiliki pasangan laki-laki dan bahagia bersama pasangannya. Sebagai seorang manusia, kebutuhan dasar seksualitas menjadi tuntutan bagi mereka untuk dipenuhi, namun objek pemenuhan seksual mereka justru berasal dari kaum laki-laki.

Sebab terjadinya transeksual yang dilakukan oleh para waria menurut Hesti dan Sugeng antara lain: pertama, faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon dan genetik seseorang. Kedua, faktor psikologi dan sosial budaya termasuk pula pola asuh lingkungan yang membesarkannya. Ketiga, memiliki pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis21.

Dalam posisi waria sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan mampu berpikir, mereka juga memiliki potensi untuk memikirkan agama sebagai salah satu jalan hidup. Bagi waria yang memiliki kesadaran

19 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, 12.

20 Kartini Kartono, Psikologi Abormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: CV Mandar Maju,

1998), 257.

21 Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan Sosial, (Malang: UMM Press,


(47)

36

relegiusitas, agama berfungsi sebagai pengingat tentang dosa, juga menjadi suatu pedoman dan pertimbangan bagi subyek dalam bertindak. Manusia tidak mampu menolak keberadaan religious instink, yaitu naluri untuk meyakini dan mengadakan penyembahan kepada suatu kekuatan diluar dirinya (Spinks, 1963). Didalam hati manusia, walaupun mereka memiliki gender apapun, terdapat naluri untuk percaya kepada Tuhan. Kepercayaan terhadap Tuhan adalah hal yang dapat dikatakan taken for granted pada manusia (Muthaharri, 2007).

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, waria seringkali memilih untuk bergabung pada organisasi tertentu, khususnya organisasi yang merupakan kumpulan sesama waria. Motif terbesar bagi para waria untuk bergabung pada suatu organisasi adalah untuk memperjuangkan nasib sebagai waria. Alasan berikutnya biasanya adalah ingin mengetahui kegiatan organisasi, menunjukkan jati diri dan memperoleh kesempatan berkenalan dengan waria lain. Ada juga yang ingin memperoleh ketenangan hidup22.

Gaya hidup waria ditunjukkan dengan cara mengekspresikan perilaku yang nampak seperti gender perempuan, yakni dengan berpakaian dan berdandan seperti perempuan. Dalam hal opini seksualitas, mereka meyakini bahwa keadaan mereka seperti itu adalah merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan pada mereka. Sebagaimana salah

22 Ignatius Praptoraharjo, L. Navendorff dan Irwanto, Laporan Penelitian: Survey Kualitas Hidup Waria, Universitas Atma Jaya Jakarta, Desember 2015, 37.


(48)

37

satu pendapat Waria di Yogyakarta pendiri pesantren khusus waria Senin-Kamis, sebenarnya waria bukan merupakan penyakit ataupun pilihan. Jika ini merupakan penyakit, dari sejak kecil hingga dewasa tidak ada dokter yang bisa menemukan obatnya. Jika itu merupakan pilihan, waria tidak akan bisa merubah keputusan Tuhan yang menjadikan mereka laki-laki ketika mereka menginginkan menjadi perempuan23.

B. Teori Bauran Pemasaran Sosial

Sebagai bagian dari konsep pemasaran, dalam aplikasinya social marketing juga bergantung pada empat variable penting pada pemasaran komersial yang sering disebut dengan bauran pemasaran atau marketing mix yang meliputi Product, Price (harga), Place/Distribution (distribusi) dan Promotion (promosi)24. Pada setiap bauran pemasaran tersebut, memiliki konsep masing-masing yang kemudian akan dipadukan satu sama lain untuk membentuk satu kesatuan strategi pemasaran sosial yang utuh. a. Konsep Produk Sosial (Social Product)

Dalam konsep pemasaran, produk diartikan sebagai segala sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan dan yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan25. Maka Social product adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar

23 Fazlul Rahman, Hermeneutics of the Waria: Waria’s Hermeneutical Tafsir of Al-Fatihah, dalam Journal Proceding: Tinjauan Terhadap Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) dari Perspektif Hukum, Pendidikan dan Psikologi, Metro Lampung: Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo, Desember 2016, 11.

24 Philip Kotler and Zaltman, Sosial Marketing: An Approach to planned sosial change, Journal of

Marketing, August 1971.

25 Philip Kotler and Gary Armstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,


(49)

38

untuk diperhatikan, diperoleh, digunakan atau dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat dalam mengatasi masalah sosialnya26.

Jenis-jenis produk social berdasarkan situasinya, dipisahkan oleh Kotler menjadi tiga macam27. Pertama yaitu “They may offer a social product that satisfies a need that no other product is satisfying”, contohnya adalah program pemerintah tentang Pekan Imunisasi Nasional, dimana tidak ada program sejenis yang pernah dilaksanakan sehingga program ini adalah program satu-satunya yang memuaskan target adopter. Kedua, “they may offer a social product that satisfies a need that other social products are addressing but that satisfies it better”, contohnya adalah program Keluarga Berencana, dimana program ini selalu dievaluasi dan dikembangkan menjadi program baru

yang lebih efektif menekan ledakan jumlah kelahiran. Ketiga, “they may offer a social product that cannot satisfy a need that target adopters currently perceive or have but that nevertheless addresses a real underlying need of people”, contohnya adalah program rehabilitasi bagi para pengguna narkoba, dimana mereka tidak ingin direhabilitasi namun sebenarnya hal itu sangat mereka butuhkan ketika mereka sadari.

26 Wahyuni P., Social Marketing: Strategi Jitu Mengatasi Masalah Sosial di Indonesia, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2016), 10.


(50)

39

Jenis produk sosial dapat juga dilihat berdasarkan dari wujudnya. Jika dalam komersial marketing, segala sesuatu yang ditawarkan tersebut merupakan barang dan jasa, pada sosial marketing yang ditawarkan adalah ide, gagasan dan perubahan perilaku28. Seperti halnya pada konsep pemasaran komersial, produk pada social marketing juga terdiri dari tiga tingkatan yaitu core product atau keuntungan dari perilaku yang ditawarkan, actual product perilaku itu sendiri dan augmented product - produk dan jasa pendukung dari perilaku yang ditawarkan29. Sedangkan Kotler dan Roberto mengelompokkan jenis produk sosial sebagai berikut:

Gambar 2.1. Social Marketing Products30

Produk sosial berupa ide dapat dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu belief, attitude dan value. Belief adalah keyakinan tentang suatu

28R. C. Lefebvre & Flora, J. A.. “Social marketing and public health intervention. Health Education & Behavior”, (1988), 15

29 P. Kotler &Lee,N.R.,“Up and Out of Proverty: The Social Marketing Solution”,(New

Jersey:
Pearson Education Inc, 2009), 197-198.

30 Philip Kotler and Eduardo L. Roberto, Social Marketing, 25 Social Product

Idea

Practice

Tangible Object

Belief Attitude Value

Act


(51)

40

hal yang tidak mengandung penilaian atau evaluasi, contohnya keyakinan terhadap adanya Tuhan, atau keyakinan tentang kanker akan terdeteksi jika ada pemeriksaan sejak dini. Attitude adalah penilaian positif atau negatif tentang sesuatu (ide, gagasan, orang atau peristiwa),

contohnya adalah anggapan tentang “memiliki anak melalui

perencanaan akan lebih disayangi dibandingkan dari peristiwa hamil

kecelakaan”. Values adalah keseluruhan pemikiran mengenai apa yang salah dan apa yang benar mengenai sesuatu, contohnya membunuh adalah berdosa, berbohong itu tidak baik, dan lain-lain.

Produk sosial berupa praktek atau kegiatan, dikelompokkan menjadi dua, yaitu act dan behavior. Act atau aksi merupakan penawaran berupa tindakan dalam waktu tertentu, misalnya mengajak untuk mencoblos dalam pemilihan umum, atau mengajak untuk sesekali liburan ke suatu tempat. Sedangkan product behavior, merupakan penawaran berupa perilaku yang berkelanjutan, misalnya ajakan untuk berhenti merokok selamanya, atau memakai alat kontrasepsi seterusnya untuk menekan angka kelahiran.

Produk sosial berupa tangible object merupakan barang atau alat yang digunakan untuk melakukan praktik sosial atau produk fisik yang menyertai produk-produk sosial yang berupa ide atau kegiatan. Sebagai contoh, misalnya untuk mengajak orang secara terus menerus terbiasa membuang sampah pada tempatnya, maka dibuatkan produk


(52)

41

nya berupa tempat sampah, atau pembuatan sabuk pengaman untuk mengajak para pengendara terjaga dari kecelakaan.

Mendesain produk social merupakan kewajiban kepada setiap pemasar sosial yang hendak merubah perilaku target adopters. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kotler dan Roberto, untuk mendesain suatu produk sosial, maka pertama-tama memerlukan pemetaan terhadap kebutuhan target adopter. Terdapat berbagai macam kebutuhan target adopter dan kecocokan atas tipe produk yang ditawarkan. Berikut tabel tentang kombinasi kebutuhan target adopter dan pilihan tipe produk menurut Kotler dan Roberto31

Tabel 2.1. Tipe Produk, Kebutuhan dan Tugas Pemasaran

Type of Product Condition of

Demand

Marketing Task

By Difficulty of Market Penetration

New social marketing product Latent demand

Develop the demand Superior social marketing

product

Underfilled demand

Fill a subsatisfied demand

Substitute social marketing product

Unwholesome demand

Destroy the demand By Complication of

Marketing Task

With a tangible-product base Dual demand Satisfy both demands Without a tangible-product

base

Single demand

Satisfy the single need By the Object of

Adoption

Idea Abstract

demand

Evidence the demand; evidential marketing

Practice: single act Irregular

demand

Synchronize the demand

Practice: sustained act Faltering demand

Revitalize the demand


(53)

42

Upaya menetapkan produk sosial yang akan ditawarkan kepada target adopter perlu memperhatikan tabel diatas, yaitu terdapat tiga sudut pandang dalam menetapkan produk sosial, diantaranya adalah pertama, berdasarkan tingkat kesulitan penetrasi kepada target adopter. Kedua berdasarkan tingkat kompleksitas pekerjaan pemasar sosial. Dan ketiga, berdasarkan obyek yang diadopsi oleh target adopter.

Pertama, berdasarkan tingkat kesulitan penetrasi kepada target adopter, terdapat tiga situasi yang dihadapi oleh pemasar, yaitu menghadapi latent demand, underfilled demand dan unwholesome demand. Latent demand adalah kebutuhan yang akan terjadi namun untuk saat ini masih belum dirasakan oleh target adopter. Misalnya kebutuhan bagi para remaja untuk merencanakan karir mereka, hal ini merupakan kebutuhan yang nantinya akan dirasakan oleh setiap remaja. Untuk itu produk yang dipilih adalah tawaran produk baru yang belum pernah mereka rasakan selama ini. Underfilled demand adalah kebutuhan untuk merasakan produk sosial yang lebih memuaskan target adopter. Situasi seperti ini terjadi manakala target adopter sudah pernah merasakan produk sejenis, namun masih belum terpuaskan kebutuhannya. Maka tugas pemasar adalah menciptakan produk sosial yang lebih baik dan lebih memuaskan target adopter. Contohnya adalah ketika terdapat masyarakat terpencil yang butuh pendidikan namun guru yang ada disana tidak mampu mengajarkan pendidikan yang baik, maka dibutuhkan guru baru yang mampu memberikan pendidikan yang lebih


(54)

43

baik dan lebih diterima oleh kalangan masyarakat terpencil. Kondisi ketiga, adalah saat menghadapi situasi unwholesome demand, yakni kebutuhan target adopter yang cenderung memiliki keyakinan yang berbahaya, misalnya adanya perilaku rasis dan itu dianggap baik oleh kelompok tertentu. Maka tugas pemasar adalah menghancurkan kebutuhan itu dengan menciptakan produk sosial yang mampu memenuhi kebutuhan target adopter yang lain. Misalnya untuk menghadapi masyarakat rasis, maka ditawarkan kegiatan pengganti yakni hidup damai, rukun dan keberagaman.

Kedua, berdasarkan tingkat kompleksitas pekerjaan pemasar. Terdapat dua situasi yang dihadapi pada konteks ini, yakni menghadapi dual demand dan single demand. Dual demand adalah keadaan dimana target adopter memerlukan tidak hanya penawaran ide saja, melainkan juga butuh wujud yang nyata yang dapat memudahkan dipahami dan dikonsumsi oleh target adopter. Maka tugas pemasar disini adalah mampu menciptakan product with a tangible-product base, yakni produk sosial yang juga diiringi dengan tangible product. Single demand adalah keadaan dimana pemasar hanya perlu memilih antara mengadakan produk sosial yang tangible saja atau hanya yang intangible (konsep), ini disebut sebagai without a tangible-product base.

Ketiga, berdasarkan obyek yang diadopsi oleh target adopter. Terdapat tiga situasi yang dihadapi dalam menetapkan produk sosial, yakni adanya abstract demand, irregular demand dan faltering demand.


(55)

44

Abstract demand terjadi pada target adopter manakala mereka cukup mampu memahami dan membutuhkan ide atau gagasan baru untuk melawan masalah sosial yang terjadi. Irregular demand terjadi manakala target adopter membutuhkan kegiatan yang bersifat temporer atau sesekali saja, misalnya adalah ajakan untuk demontrasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Sedangkan Faltering demand terjadi manakala target adopter membutuhkan peringatan dan ajakan yang terus menerus untuk suatu perilaku tertentu dikarenakan kebutuhan terhadap produknya dapat melemah seiring dengan berjalannya waktu. Misalnya adanya ajakan untuk gaya hidup hemat, namun seiring dengan waktu kebutuhan gaya hidup hemat terkikis dengan budaya berbelanja, maka ini diperlukan produk sosial yang terus menerus.

b. Konsep Harga (Price)

Pengertian pengertian price atau harga dalam konsep sosial marketing adalah biaya atau pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh individu untuk mengadopsi perilaku yang ditawarkan.

Jenis-jenis harga, Kotler menjelaskan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengadopsi suatu perilaku melingkupi monetary cost dan nonmonetary cost. Monetary cost berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membeli produk-produk pendukung yang bersifat tangible. Sedangkan nonmonetary cost merupakan biaya-biaya seperti halnya waktu, risiko, usaha, energi dan perasaan tidak nyaman ketika mengadopsi perilaku yang baru.


(56)

45

Penetapan adoption cost dalam pemasaran sosial memiliki beberapa fungsi, yaitu the accessibility function untuk para adopter, the product-positioning function dan the demarketing function. Accessibility function bermakna bahwa penetapan adoption cost mempengaruhi keminatan target adopter untuk mengkonsumsi produk sosial. Misalnya harga obat generik dibuat murah agar bisa dijangkau oleh masyarakat ekonomi bawah. Fungsi kedua adalah untuk product-positioning function, yakni untuk menanamkan citra produk. Hal ini mempengaruhi keminatan target adopter yang sensitif terhadap citra produk. Misalnya harga obat generik yang murah, akan dikesankan oleh para ekonomi atas sebagai obat yang tidak berkualitas, sehingga para kalangan atas tidak mau membeli produk generik. Fungsi ketiga, adalah untuk demarketing function, yakni sebagai kontrol terhadap permintaan target adopter. Penetapan harga akan secara otomatis membatasi jumlah penjualan, misalnya harga vaksin yang awalnya mahal dibuat murah, agar kuantitas permintaan meningkat, begitu juga sebaliknya.

Untuk menetapkan adoption cost perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu keadaan target adopter, perbandingan harga dengan benefit, tujuan pemasaran sosial dan tangible object. Pertama, keadaan target adopter adalah karakteristik yang dimiliki oleh mereka, seperti status ekonomi, profesi, latar belakang budaya dan lain-lain. Dengan memetakan keadaan para target adopter, maka akan mampu mengidentifikasi apakah mereka mampu memenuhi tuntutan adoption


(1)

136

Untuk kegiatan yang bersifat perilaku berkelanjutan, pengurus pengajian mengajak untuk terus menerus menjalankan perilaku sesuai syariat Islam. Tangible product yang ditawarkan oleh pengurus

pengajian al-Ikhlas berupa pakaian gamis seragam pengajian, kotak amal jariyah dan berbagai jamuan makanan untuk anggota yang hadir dalam acara pengajian.

Pengurus juga diindikasikan menawarkan produk yang

menyesuaikan dengan jenis kebutuhan para waria, yakni kebutuhan untuk mengkonsumsi ide dan kegiatan konkrit (dual demand),

kebutuhan dasar namun belum disadari (unwholesome demand) dan

kebutuhan yang dapat terkikis seiring berjalannya waktu (faltering

demand).

b. Strategi penetapan adoption cost lembaga pengajian al-Ikhlas

Penetapan adoption cost dari pengurus pengajian al-Ikhlas berupa

monetary cost memiliki indikasi yakni penarikan dana kas, infaq

sukarela dan biaya tur religi. Sedangkan nonmonetary cost yang

ditetapkan berupa waktu malam kamis jumat wage harus diagendakan untuk target adopter, dan resiko kenyamanan gaya hidup waria mereka

akan terusik seiring dengan nilai-nilai yang diajarkan pada pengajian. Fungsi penetapan adoption cost diatas adalah untuk tidak memberatkan para waria yang tertarik ikut pengajian, serta untuk fungsi citra produk sosial lembaga al-ikhlas yakni sifat keikhlasan.


(2)

137

c. Strategi penetapan distribution channel lembaga pengajian al-Ikhlas

Desain saluran distribusi yang ditetapkan oleh pengurus pengajian adalah menggunakan distribusi langsung (zero level channel) kepada

target adopter dan menggunakan perantara koordinator waria pada

masing-masing wilayah domisili waria.

d. Strategi promosi produk sosial lembaga pengajian al-Ikhlas

Indikasi strategi promosi yang dijalankan oleh pengurus pengajian al-Ikhlas dalam memasarkan produk sosialnya adalah difokuskan kepada komunikasi promosi kelompok, yakni menggunakan media grup sosial media dan pertemuan langsung. Pembinaan perilaku juga dilakukan secara getok tular karena memiliki karakteristik kelompok sosial waria berdasarkan koordinatornya.

B. Keterbatasan Penelitian

Dari adanya temuan penelitian diatas, peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini, yakni terkait dengan kedalaman penelitian. Bahwa penelitian deskriptif hanya memotret fakta yang ada dilapangan namun belum sampai kepada memberikan desain pemecahan kepada pengurus lembaga.

C. Saran

Saran peneliti bagi penelitian pemasaran sosial adalah melakukan pengembangan konsep pemasaran sosial dalam lingkungan dakwah untuk organisasi dakwah secara luas. Disadari bahwa penelitian ini masih merupakan penelitian deksriptif yang hanya berorientasi mengeksplore fakta dilapangan.


(3)

138

Namun potensi penelitian untuk membantu penerapan konsep pemasaran sosial pada lembaga dakwah masih sangat terbuka lebar.

Saran peneliti bagi pengurus pengajian al-Ikhlas adalah mencoba untuk mengembangkan cara-cara pemasarannya berdasarkan diskusi dengan kalangan akademisi yang memahami konsep-konsep dakwah berdasarkan teori pemasaran sosial. Karena disadari bahwa pengelolaan organisasi akan menghadapi masalah-masalah yang lebih kompleks seiring dengan semakin besarnya organisasi. Sedangkan pendekatan ilmu pengetahuan saat ini sangat bervariasi untuk dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat kompleks.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Ricardi S., Target Adopter: Transformasi Pemasaran Sosial yang

mengubah wajah Indonesia, Jakarta, UI-Press, 2013.

Adnan, Ricardi S, dkk, Pemasaran Sosial, edisi kedua, Tangerang Selatan, Universitas Terbuka, 2014.

Afif ,Lutfi UIN, Strategi Bauran Pemasaran Majelis Taklim Nurul Musthofa

Ciganjur Jakarta Selatan, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Atmojo, Kemala, Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria, Jakarta, PT. Pustaka Grafiti Pers, 1996.

Bungin,Burhan,. Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta, PT RajaGrafindo

Persada, 2007.

Danadjaja, James, Homoseksual atau heteroseksual, dalam Srintil (ed.),

Menggugat Maskulinitas dan Feminitas, Jakarta, Kajian Perempuan

Desantara, 2003.

Drucker, Peter. F., Managing The Non-Profit Organization, New York, Routledge, 2011.

Endi, Lastiko Rahmantyo, WARIA dan Upayanya dalam meraih kapital simbolik:

study kasus pengajian al-Ikhlas dan persekutuan doa hati damai dan kudus,

Jurnal kajian sastra dan budaya vol. 1 no. 2, Univ Airlangga, 2013.

Faidah,Mutimmatul, Husni Abdullah, Religiusitas dan Konsep diri Kaum Waria, JSGI, Vol. 04, No. 01, Surabaya, UIN Sunan Ampel, Agustus 2013.

Hadinoto, RM Danardono, “Kelompok Pengajian Jumat Manis yang Anggotanya

Para Waria Surabaya”, dalam

http://ppiindia.yahoogroups.narkive.com/EWxQ3LYK/kelompok-pengajian-jumat-manis.

Herdiansyah, Haris, Wawancara Observasi dan Focus Groups: Sebagai

Instrument Penggalian Data Kualitatif, Jakarta, Rajawali Pers, 2015.

Kartono, Kartini, Psikologi Abormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung, CV Mandar Maju, 1998.

Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, Yogyakarta, PT. LKIS Pelangi Aksara, 2004.


(5)

140

Kotler, Philip and Eduardo L. Roberto, Social Marketing: Strategies for Changing

Public Behavior, New York, Free Press, 1989.

Kotler, Philip and Gary Armstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, Jilid 2, Jakarta, Erlangga, 2008.

Kotler, Philip and Gary Armstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, Jilid 1, Jakarta, Erlangga, 2008.

Kotler, Philip and Zaltman, Sosial Marketing: An Approach to planned sosial

change, Journal of Marketing, August 1971.

Kotler, Philip &
Lee,
N.
R..
SosialMarketing:InfluencingBehaviorsforGood
(3rd
ed.).
Thousan Oaks:
Sage
Publications, 2008.

Kotler, Philip &
Lee,
N.
R.,“Up and Out of Proverty: The Social Marketing

Solution”,
New Jersey,
Pearson Education Inc, 2009.

Lefebvre,R. C. & Flora, J. A, Sosial marketing and public health intervention.

Health Education & Behavior, 1988.

Lovelock, Christopher, et al, Pemasaran Jasa: Manusia, Teknologi, Strategi

Perspektif Indonesia, Jakarta, Erlangga, 2011.

Lupiyoadi, Rambat, Manajemen Pemasaran Jasa: Berbasis Kompetensi, Jakarta, Salemba Empat, 2013.

M. S. Novi dan Indriyanti Eko P., Hubungan Kebermaknaan Hidup Dengan

Penerimaan Diri pada Kaum Waria di Yogyakarta, Jurnal SPIRITS, vol.

3, No. 1, November 2012.

Miles, Matthew B & A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif, Jakarta, UI Press, 1992.

Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003

Pascasrajana UIN Sunan Ampel, Buku Pedoman Penulisan Makalah, Proposal,

Tesis dan Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya, UIN

Sunan Ampel, 2014.

Praptoraharjo, Ignatius, L. Navendorff dan Irwanto, Laporan Penelitian: Survey

Kualitas Hidup Waria, Universitas Atma Jaya Jakarta, Desember 2015.


(6)

141

Rahman, Fazlul, Hermeneutics of the Waria: Waria’s Hermeneutical Tafsir of Al

-Fatihah, dalam Journal Proceding: Tinjauan Terhadap Lesbian Gay

Biseksual dan Transgender (LGBT) dari Perspektif Hukum, Pendidikan

dan Psikologi, Metro Lampung, Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo,

2016.

Smith, Huston, Agama-agama Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985. Tjiptono, Fandi, Pemasaran Jasa: Prinsip, Penerapan, Penelitian, Yogyakarta,

CV Andi Offset, 2014.

Wahyuni Pudjiastuti., Social Marketing: Strategi Jitu Mengatasi Masalah Sosial

di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2016.

Yin, Robert K., Studi kasus: Desain dan Metode, Jakarta, Rajawali Pers, 2015. https://kbbi.kemdikbud.go.id