Jejaring Sosial Kaum Waria Dalam CyberSo (1)

Proposal Penelitian

JEJARING SOSIAL KAUM WARIA DALAM CYBER SOCIETY
(Studi Kasus Pada Waria Yogyakarta Dalam Menggunakan Facebook Sebagai
Media Pencari Partner Seksual)

Disusun Oleh :

Avina Citra D.
D0310013

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.


LatarBelakang
Beberapa tahun belakangan ini, teknologi berkembang semakin pesat di

kehidupan masyarakat masa kini. Masyarakat di berbagai daerah, baik perkotaan
maupun pedesaan sudah dapat menikmati dampak dari kemajuan teknologi
tersebut, karena teknologi telah mempermudah kehidupan masyarakat pada era
globalisasi ini. Bahkan dengan adanya internet, dunia maya, maupun cyber space,
jelas telah mengubah pola kehidupan masyarakat. Hampir sebagian besar sisi
kehidupan manusia telah tersentuh oleh teknologi yang satu ini, mulai dari urusan
pribadi, urusan bisnis, sampai hal-hal yang sangat pribadi. Seluruh aktivitas
tersebut memang tidak membutuhkan kontak fisik secara langsung dan tampaknya
dilakukan hanya melalui perangkat komputer. Menurut Bangkit Wicaksono dalam
tulisannya, interaksi yang terjadi antar individu yaitu antar sesama pengguna
ruang publik yang mana interaksi tersebut telah menciptakan satu lingkungan
masyarakat, maka itulah yang dinamakan dengan cyber society (Wicaksono,
2011).
Perkembangan teknologi internet dengan jejaring sosialnya telah
membentuk suatu masyarakat baru dalam wujud virtual. Masyarakat ini
merupakan wajah lain dari masyarakat nyata yang disebut cyber society. Bentuk

masyarakat ini berada pada ruang virtual, di mana tidak dibutuhkan kehadiran

fisik dari anggota masyarakatnya. Suatu ruang yang tidak lagi mempersoalkan
sekat-sekat antar bangsa, yang menjadikanya sebagai desa global (Laksono,
2012:2). Berbagai proses sosial terjadi seperti bercinta, menyapa, bergaul,
berbisnis, dan belajar. Perkembangan cyber society ini menjadi simbol kemajuan
peradaban manusia. Dengan teknologi ini, segala aktivitas manusia dimudahkan.
Masyarakat dapat dengan mudah berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai
daerah, bahkan berbagai negara dan penyebaran informasi dapat dilakukan dengan
cepat ke berbagai penjuru dunia. Beberapa media sosial yang sangat fenomenal di
dunia adalah friendster, facebook, twitter, dan lain sebagainya. Ada beberapa
manfaat yang dapat diperoleh dari adanya cyber society, misalnya saja manfaat
paling utama adalah mempermudah antar individu dalam berkomunikasi. Dengan
menggunakan komputer yang tersambung dengan koneksi internet, individu dapat
berkomunikasi secara langsung dengan individu yang di inginkannya, baik itu
yang berlokasi dekat atau pun yang jauh. Dengan memanfaatkan situs-situs media
sosial yang saat ini banyak menyebar di masyarakat seperti: GoogleTalk, AIM,
Yahoo, Multiply, Live Missager, mIRC, Bbm, My Space, Friendster, Path,
Whatsapp, Facebook, dan twitter sangatlah membantu dalam melakukan interaksi
antar individu dalam dunia maya. Selain itu, memudahkan dalam memperoleh

informasi yang diinginkan. Dengan menggunakan internet individu dapat mencari
informasi yang diinginkannya dengan mudah. Selain itu, cyber society juga
mempermudah dalam bertransaksi dan dapat dimanfaatkan sebagai lahan bisnis.
Saat ini juga banyak tersedia fasilitas-fasilitas umum yang menggunakan sistem
layanan online yang dipergunakan untuk mempermudah dalam transaksi

pembayarannya. Sehingga dengan memanfaatkan internet masyarakat mempunyai
kesempatan yang besar dalam bidang kewirausahaan.
Dari data yang di peroleh dari CheckFacebook diketahui audiens
Facebook di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 31,7 juta, tepatnya 31.784.080.
Dengan populasi online 100 persen, Indonesia menguasai 5,56 persen dari total
pengguna Facebook di dunia. Berdasarkan gender, pengguna lelaki lebih
mendominasi di Indonesia, yakni sekitar 18,7 juta (59,1 persen), dibandingkan
dengan wanita jumlahnya diestimasi sekitar 12,9 juta (40,9 persen).Sedangkan,
berdasarkan usia, 18-24 tahun merupakan rentang usia terbesar, yakni 13,1 juta
pengguna (41,5 persen). Disusul rentang usia remaja 14-17 tahun sebesar 8 juta
pengguna (25,4 persen), lalu rentang usia 25-34 tahun sebesar 6,8 juta pengguna
(21,6 persen). Sisanya, tidak lebih dari 20 persen. Untuk rentang usia 35-44 tahun,
penggunanya sekitar 2 jutapengguna (6,2 persen). Sementara rentang usia 44-54
tahun, adasekitar 525 ribu pengguna (1,7 persen), setara dengan rentang usia 55

tahun ke atas, sekitar 500 ribu (1,7 persen). Porsi pengguna anak-anak, atau 13
tahun ke bawah, terhitung 615 ribu (1,9 persen). Sedangkan, dari data terakhir di
dapatkan pada tahun 2013 jumlah pengguna Facebook di Indonesia telah
mencapai 47.165.080 yang mana Indonesia menempati peringkat dunia ke 4
(Saputra, 2013).
Terkait

dengan

maraknya

teknologi

canggih

yang

berkembang

belakangan ini, keberadaan waria di kota-kota besar bukan menjadi suatu hal

yang jarang ditemui dan merupakan masalah yang jarang diperhatikan. Fenomena
keberadaan waria dalam masyarakat juga merupakan realitas yang tidak bisa

ditolak oleh masyarakat dan bukan merupakan hal yang baru lagi. Hal tersebut
sangat berkaitan dengan ambivalensi sikap masyarakat terhadap waria. Di satu sisi
mereka menolak kehadirannya, namun di sisi yang lain tidak sedikit kaum lakilaki yang memanfaatkannya sebagai media penyaluran hasrat seksual. Ini terlihat
dari gambaran kehidupan malam waria di berbagai kota besar di Indonesia
(Koeswinarno, 1998:iii).
Menurut Sarah, waria merupakan salah satu transgender dari sikap dan
perilaku maskulin berubah atau merubah diri ke sikap dan perilaku feminim
(Sarah, 2007 dalam Putri, 2007).

Keputusan atau dorongan individu untuk

menjadi seorang waria dengan melalui proses yang

panjang. Waria juga

merupakan entitas yang berdiri di antara tarikan oposisi biner, laki-laki dan
perempuan. Pindahnya waria ke jenis kelamin yang diinginkan yakni merupakan

bagian dari reproduksi kekuasaan yang diinginkan oleh desakan sekitar yang
menginginkan bentuk penegasan jenis kelamin (Kadir, 2007: 90).
Waria sebagai kaum transgender merupakan realitas sosial yang perlu
diperhatikan berbagai permasalahan ketidaksetaraannya. Waria sebenarnya
merupakan korban stigmatisasi negatif dari beberapa kalangan. Sebenarnya
tidak ada yang salah dalam waria, ia hanya menjalankan apa yang
sebenarnya ia rasakan sebagai pribadi yang berada, tidak memunafikkan diri
dan tidak berusaha membohongi perasaan. Dalam seksualitas waria
misalnya, tidak menjadi persoalan dengan alat kelamin bahkan orientasi
seksnya, mereka cukup nyaman dengan itu. Terkadang yang justru tidak
menerima mereka adalah orang-orang yang berada di sekitar mereka.

Dalam bermasyarakat waria banyak menghadapi masalah dari dalam
maupun dari luar sebagai konsekuensi pemilihan hidup sebagai seorang waria.
Penampilan mereka yang merasa sebagai seorang wanita tetapi memiliki jenis
kelamin laki-laki membuat waria cenderung mengalami kebingungan identitas
diri. Selain itu, masih adanya penolakan dari lingkungan atas penentangan
konstruksi gender yang di alami waria. Sebagai manusia waria juga ingin agar jati
dirinya diakui, butuh pekerjaan untuk menopang hidupnya, butuh berinteraksi
dengan sesamanya dalam suatu aktivitas sosial budaya, agama, dan kebutuhankebutuhan manusia pada umumnya. Mereka juga menghadapi rumitnya legalitas,

hukum norma tertulis maupun tidak tertulis yang menempatkan pada hak dan
kewajibannya, serta mereka juga mempunyai

dorongan seksual yang sama

dengan manusia lainnya. Oleh karena itu minimnya ruang lingkup waria dalam
menunjukan eksistensi diri mereka membuat mereka mengambil jalan lain.
Misalnya saja, dalam memenuhi kebutuhan ekonominya saja waria cenderung
bekerja menjadi pekerja seks.Hal itu dikarenakan kurang adanya keahlian tertentu
yang di miliki mereka dan masih kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia
untuk mereka. Sehingga kaum waria ini tergolong kaum yang termarginalkan
karena masih kurangnya fasilitas-fasilitas umum yang tersedia untuk mereka.
Menurut Sosiolog Argyo yang tertulis dalam Kompas.com, komunitas waria
hingga saat ini belum memiliki ruang gerak yang cukup leluasa untuk mencari
kesempatan bekerja secara normal sesuai dengan jati diri mereka sebagai seorang
waria. Hal ini mengakibatkan mereka lebih banyak turun ke jalan pada malam hari

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melakukan praktek prostitusi
(Anonim, 2009).
Berdasarkan data base jamkesos kelompok waria di Yogyakarta terdapat

386 waria yang ada di Yogyakarta. Berikut data-data waria yang ada di
Yogyakarta yang diperoleh peneliti menurut latar belakang pendidikannya, usia,
dan pekerjaannya (Data Informasi Strategis LSM KEBAYA 2012).

(Tabel 1.1 Data Waria Di DIY Menurut Jenjang Pendidikan)

(Tabel 1.2 Data Waria Di DIY Menurut Pekerjaan)

(Tabel 1.3 Data Waria Di DIY Menurut Usia)
Menurut Koeswinarno, Identitas gender merupakan dasar kaum waria yang
menyebabkan mereka mengalami dua konflik, yakni konflik psikologis dan
konflik sosial. Konflik psikologis banyak berkaitan dengan keinginan yang

berlawanan dengan keadaan fisiknya. Konflik sosial dialami karena dua hal, yakni
tersingkir dari keluarga dan terisolasi dari pergaulan sosial. Akibatnya rata-rata
pendidikan mereka tidak begitu tinggi. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka
hidup tergantung pada dunia pelacuran. Disisi lain adanya mitos bahwa para
pendahulu mereka lebih eksis dalam dunia pelacuran dan di sanalah mereka
mendapatkan pengakuan mereka bahwa pelacuran adalah dunia yang lebih
menjanjikan bagi seorang waria (Koeswinarno, 1998:iii).

Saat ini seiring berkembangnya teknologi seperti cyber society, waria
cenderung memanfaatkan hal ini sebagai ruang publik mereka dalam
menunjukkan eksistensi diri di media sosial seperti facebook. Facebook
merupakan salah satu bentuk dari media sosial yang banyak diminati oleh banyak
kalangan termasuk waria. Tanpa memandang latar belakang pendidikan,
pekerjaan, maupun usia individu dapat menggunakannya. Waria menggunakan
facebook ini sebagai ruang publik mereka, karena di ruang virtual inilah waria
sudah mulai berani menunjukkan identitas dirinya disana. Melalui representasi
diri dalam

facebook, waria dengan bebas menunjukkan siapa dirinya atau

menunjukkan citra dirinya atau profil dan karakteristik dirinya untuk memberikan
kesan pada orang lain agar tertarik. Kemudahan mengakses facebook sangat
mempermudah mereka dalam mencari partner seksual karena dengan hanya duduk
di depan computer atau menggunakan aplikasi facebook di telepom genggam dan
memasang foto yang menarik sebagai tampilan profil pada facebook mereka
membuat banyak laki-laki yang tertarik. Kemungkinan besar dengan adanya ruang

publik


virtual seperti facebook inilah semakin mempermudah mereka dalam

menentukan partner seksualnya.
Masalah kaum waria agaknya merupakan masalah yang jarang
diperhatikan. Terbukti jarang sekali penelitian ataupun artikel-artikel yang
mengupas secara tuntas dunia waria. Sehingga dengan adanya fenomena ini
peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Jejaring Sosial Kaum Waria Dalam
Cyber Society (Studi Kasus Pada Waria YogyakartaDalam Menggunakan
Facebook Sebagai Media Pencari Partner Seksual)”.
B. RumusanMasalah
Dengan melihat latar belakang permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana jejaring sosial kaum waria dalam cyber society?
2. Bagaimana waria memanfaatkan media sosial facebook dalam mencari
partner seksual?
C.

TujuanPenelitian


Sejalan dengan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk menggali,
menganalisis serta mengkaji sejauh mana :
1. Bentuk-bentuk jejaring sosial dalam cyber society pada kaum waria.
2. Waria memanfaatkan media sosial facebook dalam mencari partner
seksual.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kaum waria dalam menggunakan media
sosial facebook.

D.

Manfaat Penelitian
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan yaitu mengenai jejaring sosial
kaum waria dalam cyber society.
2. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kaum
waria dalam menggunakan jejaring sosial facebook.
3. Mengetahui dan memahami dampak yang terjadi pada kaum waria
dalam menggunakan jejaring sosial facebook dalam mencari partner
seksual mereka.
4. Menambah referensi tentang jejaring sosial kaum waria bagi calon
peneliti lain yang tertarik dengan penelitian ini dan mereka dapat
meneliti dengan topik dan masalah yang berbeda.
5. Memperkaya pengalaman dan peningkatan kualitas dan kemampuan
peneliti dalam penelitian.
6. Sebagai syarat menyelesaikan S1 Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Batasan Konsep
Dalam sebuah penelitian konsep sangat penting agar dapat
membangun teori. Sebuah teori dapat dibangun apabila telah ada
pemahaman dengan baik tentang konsep-konsep analitis serta diketahui cara
penerapannya dalam penelitian (Ahimsa, 2001:6).
Dalam penelitian ini akan dikemukakan empat konsep yang
mendukung peneltian, yaitu konsep konsep jejaring sosial, konsep cyber
society, konsep facebook dan konsep waria.
a. Jejaring Sosial
Jejaring sosial merupakan salah satu bentuk dari cyber society.
Jejaring sosial adalah kumpulan orang terorganisasi yang memiliki dua
unsur; orang dan hubungan antar-orang (Christakis, 2010:15).
Jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri dari elemenelemen individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana
mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang
dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini diperkenalkan
oleh profesor J.A. Barnes di tahun 1954. Jejaring sosial adalah suatu
struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah
individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi
spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dll (Al-aydrus, 2012).

Menurut Dennis et al, 2010 jejaring sosial didefinisikan sebagai
suatu layanan berbasis web yang memungkinkan setiap individu untuk
membangun hubungan sosial melalui dunia maya seperti membangun
suatu profil tentang dirinya sendiri, menunjukkan koneksi seseorang dan
memperlihatkan hubungan apa saja yang ada antara satu member dengan
member lainnya dalam sistem yang disediakan, dimana masing-masing
social networking site memiliki ciri khas dan sistem yang berbeda-beda.
(Boyd dan Ellison, 2007 dalam Riyantoro, 2013).
Intinya jejaring sosial merupakan suatu hubungan antar individu
dengan individu lainnya yang saling berhubungan. Biasanya jejaring
sosial diibaratkan seperti pohon yang memiliki banyak cabang-cabang/
ranting. Pohon tersebutlah yang dianggap sebagai media sosialnya
sehingga jejaring sosial tersebut biasanya terbentuk pada sebuah media
sosial. Manfaat jejaring sosial adalah membantu individu terhubung
dengan orang-orang yang terkait dalam kehidupannya.
b. Cyber society
Cyber society atau masyarakat maya adalah sebuah fantasi
manusia. Fantasi tersebut adalah sebuah hiperrealitas manusia tentang
nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai lambang dari
pembebasan manusia terhadap kekuasaan materi dan alam semesta.
Sebagai ciptaan manusia, maka cyber society

menggunakan seluruh

metode kehidupan masyarakat nyata sebagai model yang dikembangkan
di dalam segi-segi kehidupan maya. Seperti membangun interaksi sosial

dan kehidupan kelompok, membangun stratifikasi sosial, membangun
kebudayaan, membangun pranata sosial, membangun kekuasaan,
wewenang dan kepemimpinan membangun sistem kejahatan juga control
sosial. Masyarakat maya membangun dirinya dengan sepenuhnya
mengandalkan interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan
kelompok (jaringan) intra dan antar sesama anggota masyarakat maya
(Bungin, 2006:164-167).
Cyber society adalah sebuah istilah yang biasa dipakai dalam
berbagai perbincangan baik formal, informal maupun akademis
khususnya dalam bidang ilmu komunikasi. Yang mana istilah cyber
society lebih ditekankan dari sudut pandang sosial budaya. Ditinjau dari
segi ilmu sosiologi dan antropologi, dimana cyber society telah
melahirkan sebuah generasi baru yaitu masyarakat informasi multimedia.
Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dalam bidang informasi,
dimana salah satunya yaitu internet, yang mana telah membuat sebagian
orang menjadi tergantung oleh fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh
internet. Dalam perkembangan teknologi komunikasi, realitas media
melahirkan bentuk kehidupan baru, dikenal sebagai realitas virtual atau
cyber. Secara kategoris kemudian dibedakan 3 macam masyarakat, yaitu
masyarakat real, masyarakat simbolik, dan masyarakat cyber. Dengan
begitu manusia masa kini pada dasarnya berada dalam 3 macam
fenomena masyarakat, real, simbolik dan cyber (Wicaksono, 2011).

Cyber society merupakan sisi lain dari kehidupan masyarakat
manusia. Jean Baudrillard, menyebut realitas dalam cyber society ini
sebagai simulasi, yaitu penciptaan model-model nyata yang tanpa usul
atau realitas yang hiper-realitas. Melalui model simulasi, manusia dijebak
dalam

satu

ruang,

yang

disadarinya

sebagai

nyata,

meskipun

sesungguhnya semu atau khayalan belaka. Manusia mendiami suatu
ruang realitas, yang di dalamnya perbedaan antara yang nyata dan yang
fantasia tau yang benar dan yang palsu menjadi beda tipis (Yasraf Amir
Piliang, 2011: 161 dalam Laksono, 2012: 11).
Masyarakat maya atau cyber society adalah revolusi terhadap
sebuah perubahan masyarakat nyata. Bahwa manusia tak pernah puas
hidup dalam dunia yang terbatas dan dalam ruang sempit. Sifat
membebaskan diri pada manusia terbukti dari gagasannya menciptakan
bagian kehidupan baru untuk manusia, yaitu masyarakat maya. Dengan
demikian perubahan sosial dalam masyarakat maya adalah sebuah hukum
masyarakat yang terjadi setiap saat (Sumadiria, 2014:242).
Jadi, cyber society berasal dari kata cyber yang berarti maya dan
society berarti masyarakat. Sehingga cyber society merupakan suatu
masyarakat maya yang menggunakan seluruh metode kehidupan
masyarakat nyata sebagai model yang dikembangkan di dalam segi-segi
kehidupan maya, seperti membangun interaksi sosial dan kehidupan
kelompok, membangun stratifikasi sosial, membangun kebudayaan,
membangun pranata sosial, membangun kekuasaan, wewenang dan

kepemimpinan membangun system kejahatan juga kontrol sosial.
Masyarakat maya ini mendiami suatu space atau ruang yang biasanya di
sebut dengan dunia maya. Masyarakat maya ini juga merupakan
masyarakat di dunia nyata.
c. Facebook
Facebook adalah jejaring sosial yang sedang membumi saat ini,
apapun status sosialnya, status pendidikan, status agamanya, berbaur
menjadi satu melalui jejaring sosial besutan Mark Zuckerberg. Walau
keberadaannya menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat,
tetapi tetap saja banyak pengguna yang enggan untuk meninggalkannya.
Facebook memang seperti dua sisi mata pisau, ada sisi positif dan
negatif. Facebook atau situs jejaring sosial ini lahir di Cambridge,
Massachusetts 14 Februari 2004 oleh Mahasiswa Harvard bernama Mark
Zuckerberg. Menurut data di Alexa, Facebook adalah mesin jejaring
sosial nomor satu. Dalam urutan keseluruhan situs di dunia, Facebook
menempati rangking ke-5 setelah Yahoo, Google, YouTube, dan
Windows Live. Kepopuleran Facebook di Indonesia, mulai tahun 2008
dengan jumlah spektakuler pengguna Facebook yakni sebesar 618%.
Berdasarkan informasi dari checkfacebook.com, pengguna Facebook
mencapai 300 juta orang dan pertambahannya akan terus meningkat di
setiap minggunya. Indonesia tergolong negara ke tujuh terbesar pengguna
facebook, hampir mencapai 12 juta orang dan jumlah ini terus mengalami
pertumbuhan rata-rata 6% per minggu (Juju, 2010:7).

Menurut Madcoms, facebook adalah suatu jejaring sosial yang
dapat dijadikan sebagai tempat untuk menjalin hubungan pertemanan
dengan seluruh orang yang ada di belahan dunia untuk dapat
berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Facebook merupakan situs
pertemanan yang dapat digunakan oleh manusia untuk bertukar
informasi, berbagi foto, video, dan lainnya (Madcoms, 2010:1). Ciri-ciri
dari sebuah akun facebook, yaitu memiliki pages dan groups; dapat
melakukan update status lebih dari 140 karakter sesuai dengan
kebutuhan; dapat langsung memberi komentar atau memberikan apresiasi
dari update status orang-orang yang sudah menjadi teman di facebook;
memiliki fasilitas chatting yang memungkinkan pemilik facebook untuk
dapat melakukan chat secara langsung dengan orang-orang yang sudah
berteman di facebook. Dapat berbagi foto dengan cara tagging; dapat
membuat album foto yang berisikan nama album, lokasi tempat
pengambilan foto, dan jika diperlukan dapat berisikan penjelasan singkat
mengenai foto tersebut; dapat membuat album video yang berdurasi
maksimal 2 menit dan berukuran kurang dari 100 MB (Madcoms, 2010:
20-60).
Facebook merupakan salah satu media sosial besutan Mark
Zuckerberg yang membantu individu terhubung dengan orang-orang
yang berada di sekitarnya. Pengguna Facebook seringkali disebut
Facebooker. Mayoritas Facebooker menggunakan Facebook untuk
terkoneksi dengan keluarga, relasi, dan teman-teman. Facebook

menyebabkan jaringan relasi semakin luas karena penemuan-penemuan
baru relasi senantiasa tercipta. Tidak hanya itu, Facebook mampu
membuka gerbang komunikasi sehingga kontak dapat terus dilakukan.
Selain itu, Facebook memiliki fasilitas newsfeed yang memudahkan
Facebooker mengakses informasi dengan terorganisasi dan pengingatnya
seperti pemberitahuan aktivitas teman Facebooker lain serta pesan-pesan
layaknya e-mail cukup digemari banyak Facebooker.
d. Waria
Waria adalah seorang laki-laki yang berdandan dan berlaku sebagai
wanita atau seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan
jiwanya (Atmojo, 1986: 2).
Waria merupakan transgender, yaitu sikap dan perilaku maskulin
berubah atau merubah diri ke sikap dan perilaku feminim (Sarah, 2007
dalam Putri, 2007).
Waria juga merupakan entitas yang berdiri di antara tarikan oposisi
biner, laki-laki dan perempuan. Pindahnya waria ke jenis kelamin yang
diinginkan yakni merupakan bagian dari reproduksi kekuasaan yang
diinginkan oleh desakan sekitar yang menginginkan bentuk penegasan
jenis kelamin (Kadir, 2007: 90).
Dalam

buku

“Hidup

sebagai

waria”,

yang

ditulis

oleh

Koeswinarno menyatakan waria dalam kontek psikologi termasuk
sebagai penderita transeksualisme, yakni seseorang yang secara jasmani

jenis kelaminnya jelas sempurna. Namun secara psikis cenderung untuk
menampilkan diri sebagai lawan jenis (Koeswinarno, 2004:74).
Dari penjabaran diatas mengenai waria, waria merupakan singkatan
dari wanita pria. Artinya mereka secara fisik berkelamin sebagai laki-laki
karena memiliki penis, tetapi pikiran mereka, perasaan mereka, orientasi
seksual mereka cenderung bahkan lebih condong sebagai perempuan.
Seorang penderita transeksualisme (waria) secara psikis merasa
dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya, sehingga mereka sering
kali memakai pakaian dari jenis kelamin yang lain. Namun istilah waria
terbagi menjadi beberapa kategori dimana pria yang terbalut dengan
karakteristik wanita bukan semata-mata bawaan dari lahiriah dan
penyakit dari psikogenik. Banyak dari kaum waria hanya sebagai
tuntutan pekerjaan semata akibat dari krisis ekonomi sehingga pria yang
berpenampilan layaknya wanita menjadi topeng dalam diri individu.
B.

Hasil Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian tentang “Jejaring Sosial Kaum Waria Dalam Cyber

society” ini, peneliti memakai referensi dari penelitian-penelitian terdahulu yaitu
berupa disertasi dan jurnal. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan ada
beberapa pustaka yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Diantaranya
peneliti kutip dibawah ini:
1. Artikel Erwin Sigit (2012) berjudul “Pola Komunikasi Waria Sebagai
Bentuk Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Waria
Sebagai Bentuk Eksistensi Diri Di Lingkungan Masyarakat Kota

Bandung)”. Penelitian dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan
menjelaskan mengenai Pola Komunikasi Waria Sebagai Bentuk
Eksistensi Diri. Sehingga peneliti mencoba untuk menganalisa dari
kebiasaan, cara berinteraksi, pertukaran informasi, pengetahuan, dan
simbol yang digunakan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
kebiasaan yang dilakukan waria tidak selalu berkaitan dengan hal
negatif, cara berinteraksi mereka dengan masyarakat menggunakan dua
pola komunikasi formal dan non-formal, pertukaran informasi yang
dilakukan waria di Kota Bandung pada umumnya menggunakan media
perantara jejaring sosial, pengetahuan yang dimiliki waria didapat di
lingkungan dan dunia pendidikan, simbol yang digunakan waria yaitu
gesture serta aksesoris. Saran dari peneliti bagi waria di lingkungan
masyarakat Kota Bandung yaitu agar waria dapat berperan penting dan
memberikan sumbangsih yang positif bagi diri sendiri dan untuk
masyarakat, seperti aktif dalam organisasi sosial, berkarya di berbagai
bidang yang dapat berguna bagi orang banyak dan berperilaku positif
dalam masyarakat.
Relevansi penelitian dalam jurnal ini dengan penelitian peneliti ialah
sama-sama mengangkat pola komunikasi waria. Dijelaskan pula dalam
jurnal tersebut bahwa pertukaran informasi yang dilakukan waria di
Kota Bandung pada umumnya menggunakan media perantara jejaring
sosial. Sedangkan fokus penelitian peneliti ialah pada penggunaan media

sosial facebook sebagai pencari partner seksual kaum waria yang ada di
Yogyakarta.
2. Artikel Puji Laksono (2012) berjudul“Cyber Prostitution : Bergesernya
Masalah Sosial Ke Dalam Ruang Virtual”.Dalam jurnal yang ditulis
dijelaskan mengenai perkembangan teknologi internet dengan jejaring
sosial yang telah membentuk sebuah masyarakat baru dalam bentuk
virtual yang biasa disebut dengan cyber masyarakat atau cyber society.
Selain menyediakan kebaikan bagi kehidupan manusia, dampak dari
penemuan ini juga mempengaruhi sisi gelap kehidupan manusia. Selain
itu, jurnal ini menjelaskan mengenai masalah-masalah sosial di dunia
nyata yang juga merambah ke dunia virtual ini. Salah satu masalah
sosial di dunia nyata yang muncul di cyber-masyarakat adalah prostitusi
(cyber prostitusi). Masalah prostitusi ke sisi gelap nyata masyarakat,
sekarang mulai bergeser ke masyarakat cyber. Prostitusi itu sendiri di
dunia nyata dikategorikan sebagai tindakan tidak bermoral. Praktek
prostitusi di dunia nyata, diblokir oleh sistem nilai-nilai dan normanorma dalam masyarakat. Tapi dalam balutan maya yang anarkis
masyarakat tanpa kontrol sosial, prostitusi dapat berlangsung dengan
bebas. Di jelaskan pula mengenai Facebook sendiri yang merupakan
bentuk dari cyber society, merupakan ruang tanpa kendali. Aktivitas
transaksi ini akan sulit untuk diawasi oleh polisi karena berada pada
ruang virtual. Dan tidak ada ketentuan social values dan norms yang
bisa mengikat untuk melarang aktivitas ini dalam dunia virtual.

Relevansi penelitian Puji Laksono dengan penelitian ini ialah samasama mengkaji mengenai cyber society yang mana dapat dimanfaatkan
sebagai media prostitusi. Hal ini menambah wawasan peneliti tentang
fenomena cyber prostitution yang sedang marak saat ini. Meskipun
penelitian Puji Laksono ini sama-sama mengenai cyber society tetapi
fokus kajiannya berbeda. Penelitian Puji Laksono tersebut fokus pada
prostitusi yang dilakukan oleh pekerja seks komersial (PSK) sedangkan
penelitian peneliti adalah tentang pemanfaatan media sosial oleh kaum
waria di Yogyakarta, sehingga lokasi penelitian peneliti ialah di Kota
Yogyakarta.
3. Artikel Christiani Juditha (2011) berjudul “Hubungan Penggunaan Situs
Jejaring Sosial Facebook Terhadap Perilaku Remaja Di Kota Makasar”.
Penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode penelitian kuantitatif
yang berisikan mengenai meningkatnya pengguna situs jejaring sosial
yang sebagian besar diantaranya adalah remaja, merupakan fenomena
yang berkembang saat ini. Akibatnya dampak positif maupun negatif
yang ditimbulkan media sosial ini juga berimbas bagi pengguna. Karena
itu penelitian ini bertujuan mencari jawaban ada tidaknya hubungan
penggunaan Facebook (FB) terhadap perilaku remaja di kota Makassar.
Hasil penelitian dengan jumlah sampel sebanyak 204 responden ini
menyebutkan bahwa ada hubungan antara penggunaan FB dengan
perilaku remaja baik itu secara positif maupun negatif. Dari hasil
pembahasan sebelumnya maka dapat diambil suatu simpulan bahwa

terdapat hubungan antara penggunaan situs jejaring sosial dengan
perilaku remaja di kota Makassar. Perilaku remaja tersebut dalam
bentuk teman mereka bertambah, memperoleh informasi, menambah
pengetahuan dan juga menghibur. Namun melalui FB juga, waktu
remaja banyak terbuang karena tanpa mereka sadari FB cenderung
membuat kecanduan serta lupa waktu meski mayoritas dari mereka
menggunakan FB di waktu senggang.
Relevansi penelitian dalam jurnal ini dengan penelitian peneliti ialah
sama-sama mengkaji mengenai penggunaan jejaring sosial facebook.
Yang membedakannya adalah fokus penelitiannya, dalam jurnal ini
fokus penelitiannya pada perilaku remaja yang ada di Kota Makasar
sedangkan fokus penelitian peneliti adalah waria dalam mencari partner
seksualnya dengan menggunakan jejaring sosial facebook.
4. Artikel dari Jurnal Internasional yang berjudul “Media Roles in Male-toFemale Transsexual Identity Formation among University Students in
Malaysia”ditulis oleh Suriati Ghazali & Azilah Mohamad Nor.
Penelitian dalam jurnal ini membahas peran media dalam produksi
identitas sosial laki-laki menjadi perempuan atau biasa disebut dengan
transseksual
bagaimana

di

Malaysia.

media

Tujuannya

memainkan

peran

adalah
dalam

untuk

mengamati

membentuk

dan

menyebarluaskan identitas baru ini untuk pemuda. Sedangkan hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa media termasuk majalah, televisi,
drama, film dan internet merupakan fasilitas yang menjadikan

identifikasi responden transeksual dari proses sebagai laki-laki menjadi
perempuan dalam berbagai cara yang signifikan.Media juga berfungsi
sebagai agen' actualizing' selama pengembangan identitas responden
transeksual. Sehingga kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
media yang mempengaruhi penyebaran informasi mengenai identitas
transeksual, danmembantu produksi transsexualisme sebagai salah satu
identitas sosial baru di ruang sosial. Hasilnya adalah reworking ruang
sosial dan lansekap sementara 'memungkinkan' identitas sosial baru ini
untuk menyelidiki ke dalam ruang,tempat dan budaya yang sudah
mapan. Pengerjaan ulang ruang, tempat dan budaya adalah sesuatuyang
harus

berpengalaman

dengan

konflik

dan

pertikaian

yang

berkepanjangan, terutama dalam budaya yang melarang diadakannya
aliran transsexualisme. Dalam banyak masyarakat termasuk Malaysia,
peran media dalam mempromosikan ide-ide baru adalah persuasif dan
selalu tidak dapat dihindari, dan dengan demikian media adalah agen
actualizing yang mempromosikan ide-ide baru tersebutdan identitas
sosial. Oleh karena itu, studi ini memberikan kontribusi pengetahuan
akan pentingnya media pada konstruksi identitas sosial transeksual di
Malaysia.
Jurnal ini memiliki keterkaitan dengan penelitian peneliti, meskipun
penelitian dalam jurnal ini memiliki fokus kajian yang berbeda dengan
penelitian peneliti, tetapi penelitian ini membahas mengenai pentingnya
media pada konstruksi identitas sosial transeksual di Malaysia. Sehingga

jurnal ini memiliki relevansi dengan penelitian peneliti, penelitian dalam
jurnal ini menambah wawasan peneliti tentang bentuk dan pengalaman
lain mengenai pentingnya peran media pada konstruksi identitas sosial
transeksual.
5. Artikel dari Jurnal Internasional yang berjudul “Gender Patterns on
Facebook: A Sociolinguistic Perspective” ditulis oleh Barirah Nazir.
Penelitian ini bertujuan untuk melacak perbedaan dan kesamaan antara
kedua jenis kelamin dalam menggunakan internet terutama situs
jaringan sosial, Facebook. Perbedaan-perbedaan yang ada di beberapa
tingkatan, dalam penelitian menunjukkan perbedaan pria dan wanita
dalam menggunakan internet. Semua ini telah ditunjukkan melalui
bahasa dan pilihan yang mereka buat. Temuan menunjukkan bahwa
perempuan menggunakan facebook untuk menjaga hubungan yang ada
dengan

bersikap

sopan.

Sementara

pria

lebih

cenderung

menggunakannya untuk menjalin hubungan baru. Perempuan lebih
mungkin menggunakan Facebook untuk mempertahankan maupun
menjalin relasi yang ada, mengisi waktu dan sebagai media hiburan. Di
sisi lain, orang-orang yang lebih mungkin untuk pergi ke Facebook
untuk mengembangkan hubungan baru atau beretemu orang baru.
Pilihan ini sebagai budaya tertentu dan melekat pada orang-orang yang
mencerminkan Spair & Whorf's hipotesis berisikan bahwa bahasa
mencerminkan kebudayaan masyarakat, sementara bagian kedua dari
penelitiannya yaitu Perubahan bahasa berfokus pada bagaimana orang

sedang berusaha untuk mengubah jenis kelamin, menjaga identitas dan
batas-batas kabur. Untuk mengatakan bahwa di dunia maya gender tidak
ada masalah ini merupakan suatu yang tidak benar tetapi dengan gender
yang membentuk identitas ini juga tidak memadai.
Jurnal ini memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena sama-sama
membahas mengenai penggunaan facebook. Yang membedakannya
ialah dalam penelitian ini menjelaskan perbedaan serta kesamaan antara
kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam menggunakan
internet terutama situs jaringan sosial Facebook. Sehingga penelitian
dalam jurnal ini memberikan wawasan bagi peneliti.
C. Landasan Teori
Ruang Publik Jurgen Habermas(Public Sphere)
Term “publik sphere” atau ruang publik lahir dari karya Jurgen Habermas
pada tahun 1989 melalui buku yang berjudul The Structural Transformation of the
Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Gourgeois Society. Ruang publik
tersebut pada dasarnya merupakan ruang yang tercipta dari kumpulan orang-orang
tertentu (private people) dalam konteks sebagai kalangan borjuis yang diciptakan
seolah-oleh sebagai bentuk penyikapan terhadap otoritas publik.
Ruang publik borjuis dapat dimengerti, di atas segalanya, sebagai ruang
masyarakat privat (sphere of privat people) yang berkumpul bersama menjadi
sebuah publik. Mereka mengklaim bahwa ruang publik ini diregulasi dari atas
guna melawan otoritas publik. Inilah yang lantas menyeret mereka masuk ke
dalam perdebatan seputar kaidah-kaidah umum yang mengatur hubungan-

hubungan di dalam ruang pertukaran komoditas dan ruang kerja sosial yang secara
mendasar telah terprivatisasi meski secara publik masih relevan (Habermas,
2012:41).
Ruang publik yang dibentuk kaum borjuis adalah dunia orang-orang privat
yang berserikat untuk membentuk publik. Media massa (surat kabar, misalnya)
tidak terbatas sebagai sarana keuntungan ekonomis, melainkan dalam fungsi
editorialnya menjadi medium bagi ruang publik itu (Hardiman, 2009: 154).
Sehingga dapat dikatakan bahwa ruang publik Habermas merupakan ruang
yang bekerja dengan memakai landasan wacana moral praktis yang melibatkan
interaksi secara rasional maupun kritis dibangun dengan tujuan untuk mencari
pemecahan masalah-masalah politik. Walau karya Habermas memfokuskan diri
pada ruang publik dari masyarakat borjuis, namun melalui batu loncatan itulah
ruang publik dapat dipahami sebagai ruang yang menyediakan dan melibatkan
publik secara lebih luas dalam mendiskusikan realitas yang ada.
Semua wilayah kehidupan sosial masyarakat yang memungkinkan mereka
untuk membentuk opini publik dapat disebut ruang publik. Semua warga
masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki ruang macam itu. Warga tersebut
sebenarnya merupakan orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan
bisnis atau professional, bukan pejabat atau politisi, tetapi percakapan mereka
membentuk suatu publik, karena yang dipercakapkan disana bukanlah soal-soal
pribadi, melainkan soal-soal kepentingan umum. Barulah dalam situasi
demikianlah orang-orang privat ini menjadi publik, karena mereka memiliki

jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta
mengumumkan opini-opini mereka juga secara bebas (Hardiman, 2009:151).
Kebebasan untuk memperoleh akses informasi (keterbukaan akses
informasi) dalam pemanfaatan media sosial, berkaitan erat dengan konsep publik
sphere. Konsepsi ruang publik dalam dunia informasi menurut Habermas (1996)
adalah ruang publik paling tepat digambarkan sebagai jaringan untuk
mengkomunikasikan informasi dan beberapa cara pandang arus informasi dalam
prosesnya disaring dan dipadatkan sedemikian rupa sehingga menggumpal
menjadi opini-opini publik yang spesifik menurut topiknya. Konsep ruang publik
tersebut mendambakan kebebasan untuk mengakses informasi adalah hak setiap
masyarakat, sehingga setiap lapisan masyarakat memiliki hak yang sama untuk
mengakses bahkan menyebarluaskan informasi (Yoga, 2012).
Media sosial telah menjadi ruang publik yang baru bagi masyarakat,
karena dianggap mampu mengentaskan hasrat setiap lapisan masyarakat utuk
dapat menyalurkan dan mengimplementasikan ide, pendapat, dan ego melalui
media sosial. Di saat masyarakat semakin membutuhkan ruang publik untuk
menunjukan eksistensinya, ruang publik maya disediakan oleh media sosial yang
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan layaknya sebuah ruang publik yang
nyata.
Media sosial dapat digolongkan sebagai ruang publik yang digunakan
manusia untuk melakukan berbagai interaksi komunikatif. Ruang publik ini bisa
dikatakan ruang yang demokratis dalam membangun interaksi dan juga bisa
menyaring berbagai macam pandangan baik yang berlawanan maupun

mendukung. Di dalam ruang publik ini masyarakat bisa mengungkapkan opini,
gagasan, bahkan kritik terhadap suatu hal dengan bebas. Pendekatan tersebut saat
ini benar-benar bisa terlihat pada penggunaan media sosial di internet. Media
sosial menjadi ruang publik yang popular yang digunakan masyarakat dalam
melakukan berbagai aktivitas komunikasi. Komunikasi yang terbangun di media
sosial sangat beragam tergantung dengan bentuk maksud dan tujuannya.
Media sosial dapat digunakan untuk kepentingan silahturahmi, sebagai
arena mencari pasangan, arena diskusi menarik, arena perdebatan yang berakhir
permusuhan, dan media sosial juga dapat dipakai sebagai aksi perlawanan, protes,
kritik maupun menjadi gerakan revolusi. Media sosial dapat menggantikan mediamedia terdahulu yang dipakai sebagai wadah ruang interaksi. Ruang publik yang
dibangun lewat media sosial merupakan kemajuan teknologi yang patut disukuri,
tidak saja ruang ini akan mempermudah interaksi sosial masyarakat tapi juga
mendorong berbagai macam perubahan sosial lewat partisipasi aktif warganya.
Memang ada sejumlah kritik bahwa penggunaan tekhnologi informasi yang
berlebihan bisa mengurangi kualitas interaksi fisik antar manusia. Tentu hal itu
juga penting untuk diperhatikan, pemanfaatan teknologi informasi khususnya
media sosial secara proporsional sesuai kebutuhan penting untuk dilakukan agar
tidak mengurangi kualitas relasi antar manusia. Sehingga manusia tidak terjebak
sebagai objek teknologi tapi tetap memposisikan sebagai subjek yang punya
otoritas mengendalikan teknologi.
Facebook merupakan salah satu media sosial yang marak digunakan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Facebook merupakan ruang publik maya yang di

dalamnya banyak sekali masyarakat menggunakannya sebagai arena menunjukkan
eksistensi diri mereka. Pada waria, media sosial facebook paling sering digunakan
sebagai ruang publik mereka untuk saling berkomunikasi antar sesama
komunitasnya baik itu dalam satu wilayah maupun antar wilayah. Seperti yang
dikatakan Habermas, bahwa dalam ruang publik masyarakat bebas menyalurkan
opini, ide, pendapat, gagasannya sehingga di dalam ruang publik maya ini waria
bebas mengekspresikan diri mereka termasuk mereka menggunakannya sebagai
arena mencari partner seksual. Karena melalui representasi diri mereka di dalam
facebook, waria dengan bebas menunjukkan siapa dirinya atau menunjukkan citra
dirinya atau profil dan karakteristik dirinya untuk memberikan kesan pada orang
lain agar tertarik.
Kebanyakan waria menggunakan facebook karena penggunaanya yang
mudah di akses oleh publik sehingga dengan media sosial ini waria memiliki
jejaring sosial yang banyak. Kebebasan ruang publik yang dimiliki facebook
inilah yang menyebabkan tidak sedikit waria senantiasa memanfaatkannya
sebagai arena menjajakan diri.
Di dalam facebook, waria juga dengan mudah berinteraksi dengan
jejaringnya.Terbukti dengan adanya beberapa grup waria yang di dalamnya waria
juga memosting berbagai informasi yang berkaitan dengan kegiatan komunitas
mereka. Selain itu, antusiasme mereka pada facebook terlihat dengan setiap
harinya waria aktif memposting tulisan mereka pada dinding facebook. Mereka
dengan bebas memposting tulisan pada ruang tersebut, terkadang ada beberapa
waria yang memposting tulisan pada dinding facebook bertujuan untuk

mempromosikan dirinya agar mereka memperoleh partner. Interaksi yang mereka
lakukan pada ruang publik tersebut kebanyakan pada akhirnya mereka juga
terealisasikan pada ruang nyata. Biasanya cara mereka merealisasikan interaksi
tersebut mula-mula mereka bertukar nomor handphone, dan di lanjutkan bertemu
di suatu tempat. Sehingga bagi waria, facebook tidak hanya digunakan sebagai
ruang publik virtual yang bertujuan untuk kepentingan kelompok saja, melainkan
dapat di manfaatkan mereka untuk memenuhi kepentingan pribadi.
D.

Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah konsep ruang

publik Jurgen Habermas. Dimana cyber society khususnya pada kaum waria dan
partner seksualnya (pria) yang di lihat berdasarkan karakteristiknya seperti, usia,
tingkat pendidikan, maupun tempat tinggalnya yang aktif menggunakan media
sosial facebook dalam mencari partner seksual mereka. Berlandaskan pada konsep
ruang publik bahwa masyarakat memiliki kebebasan dalam beropini di ranah ini
maka waria juga memiliki kebebasan dalam merepresentasi dirinya termasuk
kebebasan dalam mencari partner seksualnya. Waria menggunakan media sosial
Facebook, karena Facebook menawarkan privasi, kemudahan akses, serta adanya
nilai kebebasan yang tinggi di ranah ini. Selain itu faktor eksternalnya waria
maupun partner seksual lebih mudah membuka diri melalui fasilitas GROUP
member (komunitas) yang dapat dibuat di Facebook. Sehingga dengan adanya
GROUP member (komunitas) tersebut, para pria yang akan menjadi partner
seksual mereka lebih mudah berkomunikasi dengan masuknya para pria di grup
member mereka. Para waria dan laki-laki yang bergabung di dalam grup

komunitas maupun yang tidak bergabung dalam bergabung membentuk suatu
jejaring sosial para facebooker. Sehingga dengan adanya jejaring sosial tersebut
kemungkinan semakin mempermudah akses mereka untuk melakukan interaksi
seksual pada ruang nyata (realspace).
Dari uraian kerangka pikir di atas, apabila disajikan dalam bentuk skema
dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Skema Kerangka Pemikiran
Karakteristik CyberSociety
(Waria) Dalam Menentukan
Partner
Usia
Tingkat Pendidikan
Tempat Tinggal

Media sosial Facebook
(Ruang Publik)
Virtual)

Dimensi Internal :
Privasi individu
Akses mudah
Bebas beropini

Jejaring Sosial Facebooker

Interaksi seksual Waria+Partner
(Ruang Nyata)

Dimensi Eksternal :
Grup Facebook

BAB III
METODE PENELITIAN

Suatu

metode

ilmiah

dapat

dipercaya

apabila

disusun

dengan

mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata
kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan
yang bersangkutan. Metode merupakan pedoman–pedoman, cara seorang peneliti
dalam mempelajari dan memahami lingkungan–lingkungan yang dihadapi.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode–metode sebagai berikut:
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang
bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
(Moloeng, 2011: 6). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan
dalam situasi yang wajar atau dalam natural setting. Penelitian kualitatif
pada

hakekatnya

mengamati

orang dalam

lingkungan

hidupnya,

berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran
mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 1988:5).

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang
menyeluruh dan tuntas mengenai jejaring sosial pada kaum waria dalam
cyber society.
B. Strategi Penelitian
Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
studi kasus, yaitu bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek
lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Studi kasus merupakan
strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan
dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk
mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus
penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks
kehidupan nyata (Robert K. Yin, 2013:1). Studi kasus bertujuan untuk
mempelajari gejala-gejala sosial melalui analisis yang terus menerus
tentang kasus yang dipilih. Studi kasus memberikan ciri tunggal terhadap
data yang sedang dipelajari dan menghubungkan keanekaragaman faktafakta terhadap kasus yang tunggal itu (Slamet, 2006: 10). Dalam penelitian
ini peneliti mengambil Studi Kasus Pada Waria Yogyakarta Dalam
Menggunakan Facebook Sebagai Media Pencari Partner Seksual.
C. Lokasi Penelitian
Salah satu aktivitas yang tidak bisa dihindari oleh peneliti adalah
kehadirannya di lapangan pada saat penelitian dilaksanakan. Hal ini
terjadi, karena dalam penelitian kualitatif aspek-aspek penelitian belum
mempunyai bentuk yang pasti sebelum penelitian dilaksanakan. Fokus

penelitian misalnya ada kemungkinan akan berubah sesuai dengan
keadaan di lapangan. Dalam konteks ini, dalam keadaan yang serba tak
pasti dan tak jelas tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri satusatunya alat yang dapat menghadapinya (Nasution, 1988:55).
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta yaitu pada komunitas
waria yang ada di Yogyakarta.Waria-waria yang ada di Yogyakarta
terbagi dalam banyak komunitas-komunitas serta lembaga waria seperti
IWAYO, Lsm Kebaya, EbenEzer, dan komunitas-komunitas kecil lainnya.
D. Jenis Data
Data yang diperlukan:
a. Data primer
Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari narasumber /
responden (Darmawan, 2013:13). Data primer dalam penelitian ini didapat
dari wawancara mendalam dengan waria yang termasuk dalam komunitas
waria yang ada di Yogyakarta, terutama pada waria pengguna facebook
selain itu data primer juga di peroleh dari wawancara dengan seseorang
yang menjadi partner facebook mereka. Data ini juga dilengkapi dengan
data foto / gambar untuk melengkapi data primer.
b. Data sekunder
Merupakan data yang diperoleh dari dokumen / publikasi / laporan
penelitian dari dinas / instansi maupun sumber data lainnya yang
menunjang (Darmawan, 2013:13). Data sekunder inipun peneliti dapat dari
buku-buku beserta literatur yang mendukung penelitian ini.

E. Teknik pengumpulan data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara
observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Data yang terkumpul
berupa data primer dan data sekunder.
a. Observasi
Sesuai dengan karakter penelitian kualitatif, maka teknik observasi atau
pengamatan sangat penting karena merupakan cara untuk mengamati
perilaku dan benda-benda yang digunakan atau dihasilkan masyarkat yang
hendak dipahami melalui penelitian. Dalam penelitian ini peneliti
melakukan observasi partisipan, observasi partisipan merupakan suatu
bentuk observasi khusus di mana peneliti tidak hanya menjadi pengamat
yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi
tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti
(Robert K. Yin, 2013:114). Peneliti melakukan observasi partisipan
dengan cara bergabung dengan komunitas grup facebook waria
Yogyakarta guna memperoleh informasi mengenai waria-waria yang aktif
berinteraksi dengan memanfaatkan media sosial facebook.
b. Wawancara mendalam (indepth interview)
Wawancara merupakan salah satu sumber informasi studi kasus yang
sangat penting. Wawancara atau interview sebagai teknik pengumpulan
data mempunyai fungsi sangat banyak. Pokok-pokok wawancara biasanya
berkenaan dengan tiga tema sentral, yakni tingkah laku, sistem nilai, dan
perasaan subjek penelitian. Pertanyaan juga perlu didesain agar bisa

mendapatkan jawaban yang valid. Pertanyaan sebaiknya didesain dalam
bentuk terbuka, bersifat netral, tidak diwarnai oleh nilai-nilai tertentu atau
bersifat mengarahkan. Disamping itu, istilah-istilah teknis sedapat
mungkin dihindari (Salim, 2006: 18). Melakukan wawancara mendalam
berarti menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari responden
atau informan. Agar informasi yang detail diperoleh, peneliti hendaknya
berusaha mengetahui, menguasai sebelumnya tentang topik penelitiannya.
Mengenal budaya, agama, adat istiadat, bahasa informan sangat penting
sebagai bekal peneliti memahami dan mendalami permasalahan penelitian.
Dalam melakukan wawancara mendalam peneliti dituntut untuk mampu
bertanya sebanyak-banyaknya agar memperoleh data atau informasi yang
rinci. Hubungan antara peneliti dengan informan harus sudah dibuat akrab,
sehingga subyek penelitian bersifat terbuka dalam menjawab setiap
pertanyaan (Susanto, 2006: 131).
Dalam metode ini peneliti mengadakan tanya jawab langsung dengan
responden dan informan yang terdiri dari waria yang ada di Yogyakarta
khususnya waria pengguna jejaring sosial facebook serta partner mereka di
facebook.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yang didapat adalah berupa gambar / foto, video dan
rekaman suara. Dokumentasi berupa foto dan video diambil ketika waria
saat online facebook, sementara rekaman suara didapat ketika melakukan
wawancara. Selain itu dokumentasi juga berupa tulisan dari bahan-bahan

referensi baik berupa buku, hasil publika