Sikap remaja terhadap kaum waria.
ABSTRAK
Sikap Remaja terhadap Kaum waria
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap remaja terhadap kaum waria, dalam arti respon remaja terhadap keberadaan kaum waria. Subyek dalam penelitian ini terdiri dari 4 orang remaja akhir, 2 pria dan 2 wanita, yaitu umur 18 tahun 1 orang, 19 tahun 1 orang, 20 tahun 1 orang, dan 21 tahun 1 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan pedoman umum. Analisa data dilakaukan dengan cara membuat verbatim dan melakukan kategorisasi terhadap tema-tema yang muncul dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja bersikap positif dan menerima kaum waria. Akan tetapi, tidak semua kaum waria bisa diterima keberadaannya oleh remaja. Kaum waria yang suka mangkal dan menjajakan diri atau yang menjadi PSK belum bisa diterima oleh remaja. Hal ini dikarenakan remaja merasa jijik dan takut terhadap kaum waria yang menjadi PSK.
(2)
ABSTRACT
Adolescences’ Attitude toward Transvestite Community
This research aimed to know about how adolescences attitude toward transvestite community. The subject in this research consisted of 4 late adolescences both 2 boys and 2 girls, the meaning is how adolescences’ response to clan transvestite existence. Those were a 18 year-old person, a 19 year-old person, a 20 year-old person, and a 21 year-old person. The method of data gathering was done by making verbatim and doing categorization toward the themes that appeared with the codes made before.
The result of the research showed that adolescences had positive attitude and accepted the transvestite community. However, not all the existence of transvestite community could be accepted by adolescences. Transvestite community who liked to stand-by and peddle themselves or who worked as prostitutes could not be accepted by adolescences. This was caused adolescences felt disgusted and afraid of the transvestite community who worked as prostitutes.
(3)
SIKAP REMAJA TERHADAP KAUM WARIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Stepanus Budi Setiyawan
NIM : 019114075
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(4)
(5)
(6)
Kupersembahkan kepada:
(7)
LEMBAR MOTTO
”Bila anda tak mungkin menjadi pohon pinus di puncak bukit, jadilah sebatang perdu di lembah,
tetapi perdu terbaik di tepi sungai. Jadilah pohon semak belukar,
jika anda tak mungkin menjadi pohon yang tinggi.
Bila anda tak mungkin menjadi pohon kecil di tengah taman, jadilah sekedar rumput di tepi jalan,
yang bisa menyegarkan pandangan mata orang. Jadilah rumput yang paling membahagiakan dua sejoli yang sedang pacaran.
Tak mungkin semua menjadi nahkoda, sebagian pasti menjadi anak buah. Pekerjaannya mungkin berbeda, tetapi setiap tugas itu sama mulia.
Bila anda tak mungkin menjadi jalan raya, jadilah jalan setapak saja.
Bila anda tak mungkin menjadi sang surya, jadilah bintang yang bercahaya.
Bukan ukuran dan takaran anda, yang menentukan keberhasilan anda, melainkan manfaat yang sebenarnya, yang sempat anda garap dengan daya upaya, demi kepribadian anda !“
(8)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 Februari 2007
Penulis
(9)
ABSTRAK
Sikap Remaja terhadap Kaum waria
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap remaja terhadap kaum waria, dalam arti respon remaja terhadap keberadaan kaum waria. Subyek dalam penelitian ini terdiri dari 4 orang remaja akhir, 2 pria dan 2 wanita, yaitu umur 18 tahun 1 orang, 19 tahun 1 orang, 20 tahun 1 orang, dan 21 tahun 1 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan pedoman umum. Analisa data dilakaukan dengan cara membuat verbatim dan melakukan kategorisasi terhadap tema-tema yang muncul dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja bersikap positif dan menerima kaum waria. Akan tetapi, tidak semua kaum waria bisa diterima keberadaannya oleh remaja. Kaum waria yang suka mangkal dan menjajakan diri atau yang menjadi PSK belum bisa diterima oleh remaja. Hal ini dikarenakan remaja merasa jijik dan takut terhadap kaum waria yang menjadi PSK.
(10)
ABSTRACT
Adolescences’ Attitude toward Transvestite Community
This research aimed to know about how adolescences attitude toward transvestite community. The subject in this research consisted of 4 late adolescences both 2 boys and 2 girls, the meaning is how adolescences’ response to clan transvestite existence. Those were a 18 year-old person, a 19 year-old person, a 20 year-old person, and a 21 year-old person. The method of data gathering was done by making verbatim and doing categorization toward the themes that appeared with the codes made before.
The result of the research showed that adolescences had positive attitude and accepted the transvestite community. However, not all the existence of transvestite community could be accepted by adolescences. Transvestite community who liked to stand-by and peddle themselves or who worked as prostitutes could not be accepted by adolescences. This was caused adolescences felt disgusted and afraid of the transvestite community who worked as prostitutes.
(11)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas perlindungan, dan
petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi denga judul “Sikap Remaja
terhadap Kaum Waria”. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucakan
terima kasih kepada:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanat Dharma dan mengajar untuk beberapa mata kuliah yang saya ambil;
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
sekaligus selaku dosen pembimbing akademik;
3. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
sabar memberikan petunjuk selama proses penulisan skripsi ini;
4. Ibu Ch. Siwi Handayani, S.Psi., M.Si., Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi., dan Ibu
P. Henrietta PDADS., S.Psi., yang pernah menjadi dosen pembimbing
akademik dan juga mengajar untuk beberapa mata kuliah yang saya ambil;
5. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
yang banyak membantu selam penulis menempuh kuliah hingga penulisan
skripsi ini;
6. Bapak, Ibu, dan adikku yang selalu mendukung setiap pilihan hidupku, dan
menunjukkan kenyataan hidup serta memberikan kasih sayang dan
(12)
7. Kekasihku Tami yang dengan setia dan tak henti-hentinya memberikanku
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini serta selalu menatih saat aku
terjatuh dan memberikan warna dalam kehidupanku;
8. Ibu Sujarmi, Mas Krisna, Mbak Niken, Detha, yang menerimaku dengan baik
dan memberikanku pengalaman hidup yang sangat berarti;
9. Shiro, terima kasih sudah menjadi sahabatku dan banyak membimbingku
untuk bisa menerima kenyataan hidup dan selalu menatih aku saat aku
terjatuh. Memang Setiap orang harus memanggul salibnya sendiri dan
kebahagiaan atau kesedihan itu akan selalu datang, dan kita harus siap
menerimanya;
10.Teman-teman di Fakultas Psikologi, Bayu, Gibon, Cethol, Seto, Aris,
Tumbur, tetap semangat choi…, Dini, Indri, Reni, Ninik, Dian, Kucrut, dan
teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih
telah mendukungku dan memberikan warna di Fakultas Psikologi;
11.Teman-teman yang telah menjadi subyek dalam penelitianku, terima kasih
atas bantuannya;
12.Teman-teman KKN yang menjadi keluargaku selama satu bulan di
Tegaltapen, teima kasih atas pengalaman hidup bersama;
13.Teman-teman FRENZ band dan manajemen, mami, mari kita wujudkan
cita-cita kita bersama, tetap semangat FRENZ;
14.Dan pihak-pihk lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv
LEMBAR MOTTO ………... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi
ABSTRAK ………. vii
ABSTRACT ……….. viii
KATA PENGANTAR ……….. ix
DAFTAR ISI ……… xi
DAFTAR TABEL ……… xii
BAB I. PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Rumusan Masalah ………... 4
C. Tujuan Penelitian ……… 5
D. Manfaat Penelitian ……….. 5
BAB II. LANDASAN TEORI ………. 6
A. Pengertian Sikap ………. 6
B. Komponen Sikap ……… 8
C. Ciri-ciri Sikap ……….. 9
(14)
E. Definisi dan Batasan Remaja ………... 13
F. Ciri-ciri Massa Remaja ……… 13
G. Heteroseksual Remaja ………. 15
H. Pengertian Waria ………. 17
I. Faktor-faktor Penyebab ……… 19
J. Perbedaan Waria dan Homoseksualitas ……… 21
K. Dinamika Sikap Remaja terhadap Kaum Waria ……… 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……….. 27
A. Jenis Penelitian ………. 27
B. Definisi Operasional ………. 27
1. Sikap ………. 27
2. Remaja ……….. 28
3. Waria ……… 28
C. Subyek Penelitian ………. 28
D. Metode Pengumpulan Data ……….. 30
E. Analisis Data Kualitatif ……… 31
1. Kredibilitas ………... 32
2. Dependabilitas ……….. 34
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ……… 36
A. Pelaksanaan Penelitian ………. 36
1. Penentuan Subyek Penelitian ……… 36
2. Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 37
(15)
a. Deskripsi Tiap-tiap Subyek ……….. 40
b. Kategorisasi Subyek ………. 49
c. Rangkuman Hasil Wawancara Keempat Subyek ………. 59
C. Gambaran Sikap Remaja terhadap Kaum Waria ……….. 62
BAB V. PENUTUP ……… 66
A. Kesimpulan ………... 66
B. Saran ………. 66
DAFTAR PUSTAKA ………. 69
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Wawancara ……….. 31
Tabel 2. Kode Analisis Data ……….….. 34
Tabel 3. Demografi Subyek ……….… 38
(17)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Jangan ganggu banci! / jangan ganggu banci! / jangan ganggu banci! /
jangan, ganggu...”. Penggalan lirik lagu dari Project Pop tersebut kian mengakrabkan kosakata “banci” atau yang lebih kita kenal dengan sebutan
“waria” di telinga kita. Sebenarnya, bukan kosakatanya saja yang dekat dengan
kita, tapi juga wujud aslinya. Kita dapat mengetahui beritanya baik di media cetak
maupun media elektronik. Kita juga bisa melihat mereka sedang bekerja di
butik-butik, di salon, bahkan di pinggir-pinggir jalan saat mereka mengamen atau pun
berkumpul dengan komunitasnya dan menjajakkan diri.
Kaum waria, pada pertenggahan tahun 2005 yang lalu mengadakan hajatan
besar. Tepatnya hari Minggu 26 Juni 2005 yang lalu, di Gedung Sarinah lantai 4
Jakarta diadakan pemilihan Miss Waria Indonesia. Sebanyak 30 waria dari
berbagai daerah di Indonesia mengikuti kontes ini. Mereka menunjukkan
kebolehan masing-masing seperti bernyanyi, menari, dan tentunya berperilaku
serta berdandan seperti wanita. Akhirnya, kontestan dari Jakarta bernama Olivia
terpilih menjadi Miss Waria Indonesia 2005. Penyematan mahkota langsung
dilakukan Miss Waria Indonesia 2004, Megi Megawati. Ria Irawan, sebagai ketua
dewan juri mengatakan bahwa salah satu penilaiannya adalah kesempurnaan fisik
peserta yang menyerupai wanita (Liputan 6, 27 Juni 2005; dan
(18)
Waria adalah seorang laki-laki yang secara jasmani sempurna dan jelas,
namun secara psikis cenderung bertingkah laku sebagai orang dari jenis kelamin
yang berlainan (Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Dari sudut
psikologi-ilmiah, waria digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender
identity disoders). Gangguan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin sehingga ia berperilaku seperti lawan jenisnya
(http://rudi.landak.com; Agustus 2005).
Kaum waria tidak begitu saja diterima di masyarakat. Sari (2003)
mengungkapkan bahwa pandangan waria adalah “penyakit kejiwaan”, “aib”,
“abnormal”, “dosa”, “menyalahi kodrat”, dan sebutan lainnya masih diyakini oleh
sebagian besar masyarakat. Hak-hak biologis mereka juga dianggap patologis,
anomali, atau abnormal oleh masyarakat. Oleh karena itu, tempat-tempat
pertemuan mereka selalu diidentifikasikan sebagai tempat maksiat. Hal ini juga
terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan
Sugoto, 1998) dan Elisabeth (1996) yang menyatakan bahwa banyak orang yang
memandang bahwa waria menentang kodratnya, dan tingkah laku seksualnya
tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Akibatnya,
masyarakat tidak menyenangi mereka dan sering tidak menerima serta menolak
mereka, bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak keberadaan mereka.
Kaum waria dalam kehidupan sehari-hari sering didiskriminasi,
dimarjinalkan, serta kurang mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial,
maupun budayanya, tidak hanya oleh masyarakat luas, aparat keamanan, aparat
(19)
mendapat cercaan, dipandang sinis, dilecehkan, ditertawakan, dan menjadi bahan
gunjingan. Sebagai contoh, Andrea menuturkan pengalamannya ketika ia sakit
dan datang ke dokter. Dokter yang seharusnya memeriksa justru sama sekali tidak
mau memeriksa dan hanya memberinya obat serta mengolok-oloknya. Kisah
waria yang lain adalah Tiara dari Makasar menceritakan bahwa saat dirazia polisi
mereka ditangkap dan diceburkan ke laut dahulu sebelum dibawa ke kantor polisi.
Lalu ia diperintahkan membuka “bra” dan menunjukkan alat kelaminnya di depan
polisi (http://www.kompas.com; Agustus 2005).
Uraian di atas, jika kita cermati maka akan menimbulkan pertanyaan:
Masyarakat mana yang bersikap negatif terhadap kaum waria? masyarakat yang
memandang negatif waria, mendiskriminasikan, dan memarjinalkan kaum waria
yang terungkap dalam penelitian dan uraian di atas kiranya belum jelas. Kalau kita
cermati lebih lanjut, ternyata ada juga kelompok masyarakat yang bisa menerima
kaum waria. Sebagai contoh adalah Avi dan Dorce. Mereka diterima sebagai
penghibur multitalent, bahkan Avi justru pernah mendapatkan penghargaan
sebagai pemeran video klip terbaik bersama group band naïf. Di perkampungan
Kricak Yogyakarta misalnya, banyak waria yang tinggal di sana. Namun
masyarakat sekitar tidak mengucilkan kaum waria di sana. Kaum waria yang
tinggal di Kricak ternyata bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar
dengan baik (Hariyanti, 2004).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui sikap remaja terhadap
kaum waria. Hal ini juga menarik digali karena walaupun banyak penolakan,
(20)
menyebutkan bahwa jumlah male-to-female transseksual atau waria adalah 1 dari
setiap 18.000 sampai dengan 33.000 laki-laki. Sedangkan data yang masuk di
Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri
tahun 2005 menyebutkan bahwa jumlah waria di Indonesia tercatat sebanyak 400
ribu. Jumlah itu tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan terbanyak di Pulau
Jawa. Diyakini estimasi jumlah tersebut hampir selalu merupakan fenomena
“gunung es” (http://www.tempointeraktif.com; Agustus 2005).
Sikap remaja terhadap kaum waria penting digali karena pada masa
remaja, mereka mulai menentukan sikap tanpa bergantung pada orang lain yang
lebih dewasa dari mereka (Mappiare, 1982). Mereka juga mempunyai sikap dan
pandangan yang lebih realistis. Pada masa ini pula mereka mulai mencapai peran
sosial sebagai pria atau wanita dan mencapai hubungan baru yang lebih matang
(Havinghurst, dalam Hurlock, 1996). Lebih lanjut, pada masa ini identitas seksual
seseorang mulai terbentuk dan menetap. Oleh karena itu, pada masa ini seseorang
akan menentukan identitas seksual dan identitas gendernya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan di atas, maka penelitian
ini berusaha menjawab pertanyaan : Bagaimana sikap remaja terhadap kaum
waria ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap remaja terhadap kaum
(21)
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi sosial
khususnya mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.
b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan
masukan khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai
kaum waria.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat
dan pembaca mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
bagi kaum waria mengenai sikap kelompok masyarakat terhadap
keberadaan mereka sehingga mereka dapat membangun strategi
(22)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Sikap
Sikap, seperti halnya dengan pengertian-pengertian lain, terdapat beberapa
pendapat diantara para ahli. Tentunya ahli yang satu dengan ahli yang lainnya
memberikan definisi dengan batasan-batasan yang berbeda. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini adalah beberapa penertian sikap menurut beberapa ahli.
Louis Thurstone (dalam Edwards, 1957) mengatakan bahwa sikap adalah
suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam
hubungannya dengan obyek-obyek psikologis. Afeksi positif yang dimaksud
adalah afeksi senang, sedangkan afeksi negatif yang dimaksud adalah afeksi yang
tidak menyenangkan. Thurstone melihat sikap hanya mengandung komponen
afeksi saja.
G.W. Allport (dalam Marie, Jahoda, and Neil Warren, 1966; White, 1982 ;
Mar’at, 1982; Sears, dkk., 1988) mengatakan bahwa sikap adalah keadaan mental
dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan
pengaruh dinamis atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan
situasi yang berkaitan dengannya.
Allport (dalam Hall dan Lindzey, 1993) mengatakan bahwa sikap adalah predisposisi, yang mungkin juga bersifat khas yang bisa memulai atau
(23)
mengarahkan tingkah laku dan merupakan hasil dari faktor-faktor genetik dan
belajar.
Newcomb (dalam walgito, 1990; Mar’at, 1981) mengatakan bahwa sikap
merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya
berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas.
Krech dan Crutchfield (dalam Jahoda, Marie, and Neil Warren, 1966)
mengatakan bahwa sikap adalah organisasi yang bersifat menetap dari proses
motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia
individu.
Rokeach (dalam Walgito, 1990) juga memberikan pendapatnya mengenai
sikap. Ia mendefinisikan sikap sebagai predisposing untuk merespon, untuk
berperilaku. Ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan
predisposisi untuk berbuat atau berperilaku.
Myers (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa sikap adalah suatu
kecenderungan ke arah beberapa obyek; meliputi kepercayaan seseorang,
perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek.
Gerungan (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa, pengertian
mengenai attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap obyek
tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, yang
disertai dengan kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap obyek tadi.
Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi
(24)
Saifuddin Azwar (2005) mengatakan bahwa sikap adalah suatu respon
evaluatif. Sedangkan Mar’at (1981) mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap obyek tersebut.
Banyak sekali pengertian sikap menurut beberapa ahli yang ada. Hal ini
dimungkinkan karena sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam
lapangan psikologi khususnya psikologi sosial. Bahkan ada ahli yang berpendapat
bahwa psikologi sosial menempatkan sikap sebagai problem sentralnya
(Crutchfield, dalam Walgito, 1990).
Dari bermacam-macam pendapat tersebut, dapat ditarik suatu pengertian
bahwa sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang mengenai
obyek yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan
dasar untuk membuat kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut
dengan cara tertentu.
B. Komponen Sikap
Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling
menunjang, yaitu :
1. Komponen Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan, keyakinan tentang obyek.
2. Komponen Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa
(25)
senang merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal
yang negatif.
3. Komponen Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan bertindak terhadap obyek. Komponen ini menunjukkan
intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan
bertindak seseorang terhadap obyek sikap (Shaver, Kelly, G., 1977;
Zanden, and James W. Vander, 1977; Mar’at, 1981; Sears, dkk., 1988;
Walgito, 1990; Azwar, 2005).
C. Ciri-ciri Sikap
Sherif dan Sherif (dalam Walgito, 1984) mengungkapkan bahwa sikap
merupakan suatu pendorong yang menimbulkan tingkah laku tertentu yang
memiliki ciri-ciri, yaitu :
1. Sikap bukan merupakan suatu yang dibawa sejak lahir. Sikap terbentuk
dalam perkembangan individu. Oleh karena itu, sikap dapat dipelajari dan
dapat berubah walau mempunyai kecenderungan agak tetap. Dalam hal ini
faktor pengalaman penting dalam pembentukan dan perubahan sikap.
2. Dapat berlangsung lama maupun sebentar. Jika sikap sudah tertanam
menjadi salah satu nilai dalam kehidupan seseorang, maka akan
memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengalami perubahan.
3. Selalu ada hubungan yang positif atau negatif antara subyek dengan
obyek, melalui proses pengenalan atau persepsi terhadap obyek. Proses ini
(26)
4. Dapat meliputi satu obyek dan meliputi sekumpulan obyek
(kecenderungan untuk menggeneralisasikan obyek sikap).
5. Mengandung faktor perasaan dan faktor motif. Jadi sikap terhadap obyek
tertentu selalu ada perasaan yang menyertai dan mempunyai motivasi
untuk bertindak tertentu terhadap obyek yang dihadapi individu.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap
tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Azwar (2005)
mengatakan ada enam faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu:
1. Pengalaman pribadi
Apa yang kita alami akan membentuk dan mempengaruhi
penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah
satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan
penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan
dengan obyek psikologis. Pengalaman pribadi tersebut akan menjadi dasar
pembentukan sikap apabila mempunyai kesan yang kuat. Oleh karena itu,
sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Seseorang yang kita anggap penting bagi kita, seseorang yang kita
harapkan persetujuannya bagi gerak-tindak dan pendapat kita, seseorang
(27)
kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap
sesuatu. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini
antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan telah
menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah.
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena
kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu
yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya
kepribadian individu yang kuat yang dapat memudarkan dominasi
kebudayaan dalam pembentukan sikap individu.
4. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, media massa mempunyai pengaruh
dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian
informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan
(28)
memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah
arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh
dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat
keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Sikap demikian merupakan sikap yang sementara dan
segera berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula bertahan
lama. Suatu contoh bentuk sikap yang didasari emosi adalah prasangka.
Misalnya prasangka rasialis dalam bentuk perusakan toko-toko milik Cina,
dan penjarahan yang pernah terjadi. Hal ini terjadi karena didasari oleh
faktor emosi yang berawal dari frustasi ketidakberdayaan menyamai atau
(29)
E. Definisi dan Batasan Remaja
Remaja atau adolescence berasal dari kata kerja latin adolescere yang
berarti tumbuh menjadi dewasa. Piaget (dalam Hurlock, 1996) mengatakan bahwa
istilah adolescence ini mempunyai arti luas, mencakup kematangan mental,
emosional dan sosial.
Gunarsa (1986) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa
peralihan antara masa anak dan masa dewasa, yaitu antara 12 tahun sampai 21
tahun. Masa ini lebih menunjuk pada masa peralihan dengan semua perubahan
psikis yang dialami seseorang.
Sedangkan Monks (1991) membagi usia remaja menjadi tiga bagian, yaitu
masa remaja awal (12 – 15 tahun), masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), dan
masa remaja akhir (18 – 21 tahun). Dalam hal ini, penulis lebih mengarahkan
kepada Subyek usia remaja akhir.
Jadi, yang dimaksud remaja dalam penelitian ini adalah seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.
F. Ciri-ciri Masa Remaja
Mappiare (1982) mengatakan bahwa ada perubahan yang terjadi dalam diri
seorang remaja. Perubahan itu antara lain adalah mulainya remaja memiliki
stabilitas dalam hal sikap atau pandangan yang menjadi relatif menetap, dan tidak
mudah digoyahkan oleh orang lain. Perasaan senang atau tidak senang terhadap
suatu objek didasarkan pada hasil pemikirannya sendiri. Keinginan mereka dalam
(30)
mempunyai citra diri dan sikap atau pandangan yang lebih realistis. Mereka mulai
menilai dirinya sebagaimana adanya, dan menghargai orang lain seperti keadaan
yang sesungguhnya.
Petro Blos (dalam Sarwono, 1989) mengatakan bahwa pada masa remaja
akhir, remaja mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan
memperoleh pengalaman baru. Diungkapkan pula bahwa pada masa ini identitas
seksual sudah terbentuk dan tidak berubah lagi.
Sementara itu, Hurlock (1996) mengungkapkan bahwa pada masa remaja,
seseorang mulai mencapai kematangan emosi dengan menilai situasi secara kritis
terlebih dahulu. Selain itu, dalam hal pemilihan teman, remaja mulai berkeras
untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa.
Havighurst (dalam Hurlock, 1996) mengatakan bahwa seseorang dalam
sepanjang rentang kehidupannya mempunyai tugas perkembangan, termasuk pada
usia remaja. Sebagian dari tugas perkembangan usia remaja adalah menjalin
hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita dan
dimulainya kemandirian emosional dari mereka. Dalam menjalin hubungan ini,
remaja bebas menentukan pilihannya untuk bergaul dengan siapa saja tanpa harus
memperoleh persetujuan dari orang lain. Remaja juga mulai dapat menghargai
orang lain sesuai dengan keadaan yang sesunguhnya. Sedangkan tercapainya
kemandirian emosional pada masa remaja ini berkaitan dengan pambentukan
sikap mereka terhadap suatu obyek sesuai dengan pemikiran mereka sendiri yang
(31)
Penulis menggunakan kelompok remaja sebagai Subyek dalam penelitian
ini karena pada usia ini seseorang memulai kemandirian dan kestabilan emosi
yang mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi suatu hal sesuai dengan
pemikiran mereka sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain. Selain itu juga
karena masa ini adalah masa mereka mencapai peran jenisnya sebagai laki-laki
atau perempuan dan terbentuknya identitas seksual yang menetap.
G. Heteroseksual Remaja
Pada awalnya, remaja mengelakkan bergaul dengan lawan jenis, dan lebih
ingin ada bersama dengan kawan sejenisnya. Kebersamaan ini memberikan
perasaan kebanggaan, dan kenikmatan tersendiri. Akan tetapi keadaan ini tidak
akan terus demikian. Setelah gejolak sekitar haid dan ejakulasi pertama, mereka
mulai merasa tertarik kepada lawan jenisnya. Inilah tahap perkembangan
heteroseksual (Riberu, 1985).
Ketika mereka secara seksual sudah matang, laki-laki maupun perempuan
mulai mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan mengembangkan
minat pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat
yang baru ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk
memperoleh dukungan dari lawan jenis (Hurlock, 1996).
Tugas perkembangan berikutnya yang harus dikuasai remaja adalah
belajar memerankan peran seksual yang diakui (Hurlock, 1996). Peran seksual
pada hakikatnya adalah bagian dari peran sosial pula. Sama halnya dengan anak
(32)
murid terhadap guru, maka ia pun harus memepelajari perannya sebagai anak
sebagai jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Jadi, peran
seksual ini tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin yang bersangkutan tetapi
juga oleh lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Dengan demikian tidak otomatis
seorang laki-laki harus bermain mobil-mobilan dan robot-robotan sedangkan anak
perempuan bermain boneka dan rumah-rumahan. Kenyataan menunjukkan bahwa
banyak anak laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan anak perempuan pada
robot-robotan dan akhirnya mereka tetap menjadi orang dewasa pria atau wanita
yang normal atau tidak menjadi banci (Sarwono, 1989).
Pada masa remaja, perkembangan kebutuhan seks dan pembentukan
peranan jenis berjalan sejajar dan menentukan akan menjadi wanita atau pria
bagaimanakah kelak. Pada suatu saat tertentu terlihat bahwa para remaja
mengalami keraguan tentang peranan jenisnya masing-masing. Sering timbul
keraguan mengenai bakat kelaki-lakian atau kewaniaannya. Apakah mereka
tertarik pada jenis laki-laki atau wanita. Tambahan pula pengaguman pada
terhadap seorang yang sama jenisnya, akhirnya menyebabkan timbulnya ikatan
dan terbentuknya tingkah laku yang terwujud dalam perilaku seksual yang
menyimpang: wadam, bencong, homoseks dan lesbian (Gunarsa dan Gunarsa,
1984).
Sebagai contoh adalah kasus anak keenam dari enam bersaudara yang
semuanya laki-laki. Pada waktu anak keenam ini lahir ibunya kecewa karena
ibunya sangat menginginkan anak wanita. Sejak masa bayi, ibunya sudah
(33)
agak besar ia masih mengenakan baju perempuan hingga saat SD seakan-akan
terpaksa memakai celana dan kemeja laki-laki. Ternyata pada umur 12 tahun,
kukunya dipelihara dan diberi pewarna kuku. Demikian pula matanya diberi make
up khusus di mana akhirnya ia menjadi “korban” homoseksualitas.
Dari contoh di atas terlihat pada mulanya hanya keinginan untuk memakai
pakaian dari lawan jenis, kemudian terjadi peralihan dari tingkahlaku ini ke
hal-hal yang seksual. Bahkan selanjutnya terjadi peralihan peranan jenis yang
berganti-ganti sebagai akibat lingkungan termasuk lingkungan keluarganya.
Contoh penyimpangan seperti di atas ternyata banyak ditemukan. Sebagai
kesimpulan dapat dikemukakan bahwa pengalaman seseorang dapat menjadi
faktor penyebab timbulnya penyimpangan perkembangan heteroseksual (Gunarsa
dan Gunarsa, 1984).
H. Pengertian Waria
Waria adalah seorang laki-laki namun cenderung bertingkah laku sebagai
wanita (Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Misalnya dalam
penampilannya, ia mengenakan busana dan aksesoris seperti halnya wanita.
Begitu pula dalam perilaku sehari-hari, ia juga merasa dirinya sebagai wanita
yang memilki sifat lemah lembut.
Elisabeth (1996) mengatakan bahwa seorang waria adalah seseorang yang
memiliki fisik laki-laki tetapi psikis wanita yang diperoleh sejak lahir. Mereka
(34)
1. Interseksualita dengan organ seksual laki-laki tetapi juga mempunyai
hormon perempuan, dan;
2. Transseksualisme sebagai seseorang yang mempunyai fisik laki-laki
tetapi psikis wanita.
Istilah waria pada dasarnya memang ditujukan pada penderita transseksual
atau seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya, yaitu secara fisik
laki-laki, namun jiwanya perempuan. Oleh karena itu, mereka mempunyai
keinginan yang kuat untuk mengubah alat-alat seksnya dengan jalan pembedahan
dan penyuntikan hormon agar tercapai bentuk anatomis serta fisiologisnya sesuai
dengan seks yang diinginkannya (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998).
Kartono (1989) juga mengatakan bahwa waria termasuk dalam kelainan
seksual yang disebut dengan transseksual. Ia menyebutkan bahwa seorang waria
mempunyai keinginan untuk menolak sebagai laki-laki dan merasa memiliki
seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Implikasi lebih lanjut
adalah orientasi seksual mereka bukan heteroseksual melainkan homoseksual.
Jadi dapat dijelaskan bahwa waria adalah seseorang yang mempunyai
fisik sempurna sebagai laki-laki, namun bersifat, bertingkah laku, serta
berperasaan seperti wanita sehingga cenderung menampilkan diri sebagai wanita
dan menolak sebagai laki-laki, bahkan mempunyai keinginan untuk mengubah
alat-alat seksnya menjadi wanita dengan cara pembedahan dan penyuntikan
(35)
I. Faktor-faktor Penyebab a. Lingkungan
Freud mengatakan bahwa sebagian besar penyebab menjadi waria
adalah pengaruh dari luar atau sesudah dilahirkan (Yanti dalam P. Esty
dan Sugoto, 1998). Dalam beberapa teori psikologi disebutkan bahwa
kecenderungan orang menjadi waria salah satunya disebabkan oleh
heterophobia, yaitu adanya ketakutan pada hubungan seks dari jenis kelamin yang lain karena pengalaman yang salah (Davidson dan Neale,
1978 dalam Koeswinarno, 1996).
b. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang memberikan cukup pengaruh adalah
pembelajaran pada masa anak-anak yang biasanya melalui identifikasi
terhadap suatu tokoh. Sebagai contoh, anak laki-laki mengidentifikasi
ayah, sedangkan anak perempuan mengidentifikasi dirinya kepada ibu.
Jika terjadi kebalikannya, maka akan terjadi kekacauan (Yanti dalam P.
Esty dan Sugoto, 1998). Pada umumnya para orang tua tidak menyadari
secara lebih dini bahwa anak mereka mengalami kelainan kepribadian.
Mereka kurang menyadari bahwa akibat dari perilaku sehari-hari yang
dianggap wajar, pada akhinya akan menciptakan pribadi-pribadi yang
menyimpang. Meskipun tahap-tahap perkembangan libido ditentukan
secara biologis, harus diakui bahwa perkembangan anak-anak dipengaruhi
oleh reaksi tokoh-tokoh penting, yaitu melalui cara-cara pengasuhan,
(36)
c. Cara Mendidik yang Salah
Stoller mengatakan bahwa waria dapat terjadi karena peran ibu
terlalu dominan dalam diri anak laki-laki (Yanti dalam P. Esty dan
Sugoto, 1998). Kelahiran anak yang “cantik” ini membuat ibu tergugah
untuk membentuk ikatan emosional yang erat dengan anaknya. Selain itu,
adanya keinginan-keinginan terpendam dari orang tua untuk memiliki
anak dari jenis kelamin yang berlawanan mengakibatkan cara mendidik
anak yang keliru, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
terciptanya pribadi waria (Koeswinarno, 1996).
d. Biologis
Tim peneliti JN Zhou, MA Hofman, LJ Gooren, DF Swaab dari
Belanda telah menemukan bukti awal bahwa waria mempunyai struktur
otak yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Paling tidak dalam
satu area kunci yang kira-kira 1 – 8 inchi lebarnya. Mereka meneliti satu
bagian dari hypothalamus yang disebut Central Division of The Bed
Nucleus of The Strim Terminalis (BSTc). Area ini yang diperkirakan dapat meningkatkan perilaku seksual, rata-rata lebih besar 44 % terdapat pada
laki-laki dari pada perempuan. Para ilmuwan dari Institut Penelitian Otak
Belanda melaporkan bukti awal bahwa BSTc pada waria lebih menyerupai
BSTc perempuan dari pada laki-laki. Tapi pada kenyataannya, rata-rata
BSTc pada waria sedikit lebih kecil dari pada BSTc pada perempuan. Para
peneliti menemukan bahwa sedikitnya terdapat satu motif biologis yang
(37)
hal ini bukan satu-satunya alasan (Yanti dalam Hariyanti, 2004; dan
Kompas, 9 Agustus 2004).
Hingga saat ini penyebab seseorang menjadi waria masih terus dipelajari.
Teori yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) teori bawaan; (2)
hasil didikan lingkungan; (3) konsumsi beberapa zat kimia, dan terdapat bukti
tentang sejumlah polutan yang memberikan efek sama. Teori yang semakin sering
dibicarakan dan diyakini kebenarannya saat ini adalah teori pertama, yaitu
sehubungan dengan kondisi hormonal dan otak janin dalam kandungan (Faiz,
2002; dan Kompas, 9 Agustus 2004).
J. Perbedaan Waria dan Homoseksualitas
Waria memang identik dengan homoseksual. Keduanya memang dapat
digolongkan sebagai penyimpangan seksual yang menyukai seseorang dengan
jenis kelamin yang sama. Namun sebenarnya waria dan homoseksual merupakan
dua fenomena yang terpisah.
Homoseksual adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa
tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Homoseksual ini dapat mencakup
segenap jajaran tingkah laku dari seksualitas seperti masturbasi timbal balik,
memasukkan penis dalam mulut orang lain lalu menggesek-gesekkannya dengan
bibir serta lidah untuk membangkitkan orgasme (fellatio), atau persenggamaan
dubur (anal intercousel) sampai pada hasrat terhadap lawan jenis yang ditekan
(38)
Freud menjelaskan bahwa homoseksual adalah individu yang mengalami
ketertarikan hanya dengan mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama dan
timbul hasrat seksual. Sedangkan orang dengan jenis kelamin yang berlawanan
tidak lagi memberikan daya tarik seksual, bahkan dalam beberapa kasus yang
ekstrim dapat menimbulkan kebencian yang mendalam (Freud, 2002).
Kaum waria merupakan laki-laki yang berpenampilan seperti wanita.
Mereka merasa terjebak dalam tubuh yang salah. Mereka memperoleh kesenangan
dan kenikmatan dengan memainkan peran sosial lawan jenisnya, yaitu perempuan
sehingga secara fisik mereka berusaha mengadakan perubahan sesuai dengan
karakteristik khas seorang perempuan seperti bentuk tubuh yang sintal dan suara
yang lembut (Supratiknya, 1995).
Batasan tegas antara waria dengan homoseksual biasanya diungkapkan
lewat pakaian. Seorang homoseksual tidak perlu menyatakan dirinya dengan
berpakaian wanita karena mereka tidak menganggap dirinya sebagai wanita.
Sedangkan waria memiliki dorongan psikis menjadi seorang wanita sehingga
mereka terdorong untuk berpenampilan layaknya seorang wanita (Koeswinarno,
1996; dan Faiz, 2002).
Atmojo (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) mengatakan bahwa ada
perbedaan yang hakiki antara homoseksual dengan waria, yaitu :
a. Homoseksual tidak terganggu dengan keadaan fisiknya;
b. Waria merasa bahwa alat kelaminnya, juga ciri-ciri fisiknya tidak pada
tempatnya dan mereka ingin mengubah ciri-ciri fisiknya sesuai dengan
(39)
Jadi waria berbeda dengan homoseksual, walaupun pada batas-batas
tertentu keduanya masih dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara waria dan homoseksual, yaitu
homoseksual tidak terganggu dengan keadaan fisiknya, sedangkan waria merasa
bahwa alat kelamin dan ciri-ciri fisiknya tidak pada tempatnya sehingga mereka
mempunyai keinginan untuk mengubah ciri-ciri fisiknya sesuai dengan jiwanya.
Selain itu, seorang homoseksual tidak perlu menyatakan dirinya dengan
berpakaian wanita karena mereka tidak menganggap dirinya wanita, sedangkan
waria memiliki dorongan psikis bahwa dirinya adalah seorang wanita sehingga
mereka terdorong untuk berpenampilan layaknya seorang wanita. Seorang
laki-laki yang berpenampilan kewanitaan tidak bisa disebut sebagai waria jika di
dalam dirinya tidak ada dorongan untuk menjadi wanita.
K. Dinamika Sikap Remaja terhadap Kaum Waria
Sikap sosial adalah masalah yang erat hubungannya dengan norma dan
sistem nilai dalam kelompok masyarakat. Dengan masuknya individu dalam suatu
kelompok, maka akan diperoleh suatu sistem nilai atau norma yang akan
menentukan sikap sosialnya sampai juga pada tingkah laku perbuatannya (Wuryo,
dan Saifullah, 1983). Oleh karena itu, dalam masyarakat terjadi pro dan kontra
terhadap kaum waria. Ada masyarakat yang menolak kaum waria dan ada juga
masyarakat yang bisa menerima kaum waria. Namun, masyarakat mana yang
menolak kaum waria dan masyarakat mana yang bisa menerima kaum waria
(40)
Lalu bagaimana dengan sikap remaja? Seperti yang telah diuraikan di atas,
dalam menentukan sikap, remaja tidak bergantung pada orang lain yang lebih
dewasa. Hal ini dikarenakan pada masa remaja seseorang sudah mencapai
kemandirian dan kestabilan emosi. Perasaan senang dan tidak senang terhadap
suatu obyek didasarkan pada hasil pemikirannya sendiri dengan realistis dan
kritis. Remaja juga dapat menghargai orang lain sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya.
Selain itu, pada masa ini remaja mempunyai kecenderungan untuk
mewujudkan dirinya sendiri dan berdiri sendiri dengan membebaskan dirinya dari
lindungan orang tuanya. Hal ini tidak hanya berarti bahwa ia mencoba untuk
membebaskan dirinya dari pengaruh kekuasaan orang tua, baik dalam segi afektif
maupun dalam segi ekonomi seperti halnya remaja yang bekerja, namun hal ini
juga berarti bahwa remaja secara mental tidak suka lagi menurut pada orang
tuanya. Kewibawaan wakil-wakil generasi tua seperti orang tua, guru,
pemimpin-pemimpin agama dan sebagainya tidak lagi begitu saja diterima. Remaja akan
mengkritisi norma-norma dan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat dan tidak
begitu saja menerimanya (Monks, 1991).
Jika demikian yang terjadi pada remaja, maka remaja akan menyikapi
kaum waria berdasarkan pemikirannya sendiri yang realistis dan kritis tanpa
dipengaruhi oleh orang lain. Norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat tidak
begitu saja diterima karena mereka tentu akan mengkritisi norma atau nilai-nilai
yang ada di masyarakat dan akan menyikapi kaum waria secara obyekif dan
(41)
Jadi, remaja sebagai bagian dari masyarakat bisa bersikap menerima atau
menolak terhadap kaum waria. Oleh karena itu, remaja bisa bersikap positif atau
negatif terhadap kaum waria. Sikap positif ditunjukkan remaja dengan menerima
kaum waria dan sikap negatif ditunjukkan remaja dengan menolak kaum waria.
Sikap remaja terhadap kaum waria juga bisa berubah apabila ketiga komponen
sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif tidak selaras atau tidak
konsisten. Ketiga komponen tersebut menjadi tidak selaras atau tidak konsisten
karena berbagai cara seperti yang telah dijabarkan di atas.
Penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998)
dan Elisabeth (1996) yang telah dijabarkan di latar belakang di atas, menyatakan
bahwa banyak orang yang memandang bahwa waria menentang kodratnya, dan
tingkah laku seksualnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak menyenangi mereka,
mendiskriminasikan mereka dan sering tidak menerima serta menolak mereka,
bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak keberadaan mereka.
Remaja adalah bagian dari masyarakat. Oleh karena itu dapat diasumsikan
bahwa remaja juga cenderung akan bersikap negatif terhadap kaum waria. Asumsi
ini juga diperkuat dengan adanya sistem nilai, norma dan agama yang ada di
masyarakat yang juga akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu hal.
Selain itu, jika kita cermati informasi yang sering kita dapat baik melalui media
cetak dan media elektronik mengenai waria lebih cenderung menampilkan
informasi mengenai kaum waria yang negatif, seperti razia kaum waria di jalan,
(42)
dilakukan oleh kaum waria. Informasi yang ada jarang sekali yang menampilkan
informasi mengenai kaum waria yang berprestasi dan kegiatan positif mereka
lainnya. Padahal informasi ini akan mempengaruhi sikap orang yang mendapatkan
(43)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif-deskriptif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989). Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta atau
keadaan tertentu, yaitu sikap remaja terhadap kaum waria. Sedangkan Travers dan
Sevilla (dalam Halida, 2004), mengatakan bahwa data yang diperoleh bertujuan
untuk menggambarkan suatu keadaan yang sementara berlangsung pada saat
penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.
B. Definisi Operasional 1. Sikap
Sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang
mengenai obyek yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan
memberikan dasar untuk membuat kecenderungan berperilaku atau
(44)
2. Remaja
Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.
3. Waria
Waria adalah seseorang yang mempunyai fisik sempurna sebagai
laki-laki, namun bersifat, bertingkah laku, serta berperasaan seperti wanita
sehingga cenderung menampilkan diri sebagai wanita dan menolak
sebagai laki-laki, bahkan mempunyai keinginan untuk mengubah alat-alat
seksnya menjadi wanita dengan cara pembedahan dan penyuntikan
hormon.
C. Subyek Penelitian
Subyek akan diambil dengan teknik pemilihan yang disesuaikan dengan
tujuan penelitian. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah empat orang remaja
yang bertempat tinggal di Yogyakarta dengan kriteria sebagai berikut :
1. Pria atau wanita yang sedang menempuh pendidikan di SLTA atau pun
yang sudah di perguruan tinggi.
2. Berusia 18 – 21 tahun dengan rincian satu orang berusia 18 tahun, satu
orang berusia 19 tahun, satu orang berusia 20 tahun, dan satu orang
berusia 21 tahun.
(45)
4. Jarak tempat tinggal subyek dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul.
Keempat subyek yang diambil bertempat tinggal di Yoyakarta, mulai dari
yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi kaum waria berkumpul hingga
jauh dari lokasi kaum waria biasa berkumpul, yaitu kurang 1 Km, antara 1
Km – 5 Km, antara 5 Km – 10 Km, dan lebih dari 10 Km. Sejauh
penelusuran peneliti, di Yogyakarta ada beberapa tempat yang sering
digunakan untuk mangkal para waria, yaitu di Parangkusumo, di Jalan
Lingkar Selatan, tepatnya di utara pabrik gula Madukismo yang dikenal
dengan sebutan “Krasil”, di sebelah timur perempatan terminal Giwangan,
di taman kota (depan Bank Indonesia), di sekitar stasiun Tugu dan stasiun
Lempuyangan termasuk di perempatan Pengok, perempatan Galeria, dan
Jalan Kaliurang mulai perempatan mirota kampus sampai perempatan
Barek.
Pengambilan subyek didasarkan pada jarak tempat tinggal subyek dengan
lokasi kaum waria biasa berkumpul karena diasumsikan bahwa subyek yang
tempat tinggalnya dekat dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul, akses
pengetahuannya tentang waria lebih banyak karena lebih sering melihat dan
memperhatikan kaum waria dan tentu hal ini akan mempengaruhi sikap mereka.
Sedangkan subyek yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi kaum waria biasa
berkumpul diasumsikan akses pengetahuannya tentang waria lebih sedikit
dibanding yang dekat sehingga mungkin akan terjadi perbedaan sikap antara
subyek yang dekat dengan subyek yang jauh tempat tinggalnya dengan lokasi
(46)
populasi remaja yang ada sehingga subyek bisa representatif dan sesuai dengan
tujuan penelitian.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dalam memperoleh
datanya. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu (Banister dkk, dalam Poerwandari 2005). Wawancara ini
dilakukan untuk memeperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, yaitu sikap remaja
terhadap kaum waria.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi dengan
pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus
diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk
pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek
(checklist) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau
ditanyakan (Poerwandari, 2005).
Secara umum, isi wawancara yang akan ditanyakan kepada subyek ini
mencakup dua hal, yaitu peneliti menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan
proses pemahaman dan interpretasi subyek terhadap obyek yang diteliti.
Sedangkan hal yang kedua adalah pertanyaan mengenai perasaan yang melibatkan
(47)
afektif dalam diri subyek, misalnya tentang respon-respon emosional subyek
terhadap pengalaman dan pemikiran-pemikiran mereka atas sesuatu (Poerwandari,
2005). Untuk komponen konatif, pertanyaan dibuat untuk mengetahui
kecenderungan perilaku subyek terhadap obyek yang diteliti yaitu kaum waria.
Tabel 1.
Blue Print Wawancara
Komponen Sikap Topik Distribusi
Pertanyaan Komponen Kognitif Pengertian waria
Pengetahuan tentang kegiatan kaum waria Pendapat tentang kaum
waria
1, 5, 7 2, 3, 4
8, 11, 14, 16, 18,
Komponen Afektif Perasaan terhadap
kaum waria
6, 10, 13, 17, 19, 21, 28 Komponen Konatif Terhadap keberadaan
kaum waria (menerima / tidak)
9, 12, 15, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27
Dalam proses wawancara terhadap subyek juga akan dilakukan
pengembangan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih beragam.
Dalam hal ini akan dipertanyakan pula tentang pengalaman subyek berkaitan
dengan kaum waria, apakah ada pengaruh dari orang lain, ataupun budaya serta
(48)
E. Analisis Data Kualitatif
Dalam setiap penelitian perlu disertakan standar yang dipakai untuk
mengevaluasi penelitian tersebut. Begitu pula dengan jenis penelitian kualitatif,
untuk dapat menjadi suatu penelitian yang baik harus mampu memenuhi
standar-standar tertentu. Standar-standar-standar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kredibilitas
Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut
kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Kredibilitas studi
kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi
masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola
interaksi yang kompleks.
Istilah kredibilitas ini pada dasarnya merupakan pengganti konsep
validitas. Namun, beberapa peneliti tetap menggunakan istilah validitas.
Stangl (1980) dan Sarantakos (1993) menyampaikan bahwa dalam
penelitian kualitatif, validitas dicapai tidak melalui manipulasi variabel,
melainkan melalui orientasinya, dan upayanya mendalami dunia empiris
dengan menggunakan metode paling cocok untuk pengambilan dan
analisis data (dalam Poerwandari, 2005). Konsep yang digunakan antara
lain validitas kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumentatif dan
validitas ekologis. Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi
lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih
serupa. Validitas komunikatif dilakukan melalui dikonfirmasikannya
(49)
argumentatif dapat tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat
kembali ke data mentah. Sementara itu, validitas ekologis menunjuk pada
sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang
diteliti, sehingga justru kondisi “apa adanya” dan kehidupan sehari-hari
menjadi konteks penting penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari,
2005).
Dalam penelitian ini, langkah-langkah peneliti dalam melakukan
analisis adalah sebagai berikut:
1. Membuat verbatim berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
dengan bantuan tape recorder.
2. Membuat kode-kode atas tema-tema utama yang muncul untuk
diberikan pada proses kategorisasi.
3. Melakukan kategorisasi terhadap tema-tema utama yang muncul dari
verbatim wawancara dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya;
4. Melakukan cross check dengan subyek untuk mendapatkan validitas
atas data yang diperoleh peneliti.
5. Peneliti juga secara terbuka mau mendiskusikan proses penelitian,
hasil temuan dari pengumpulan data tersebut dengan pihak lain, seperti
dengan sesama peneliti yang sedang melakukan penelitian dan juga
dengan dosen pembimbing, sehingga dimungkinkan mendapatkan
saran dan kritik yang bisa meningkatkan kualitas atau kepercayaan dari
(50)
Tabel 2. Kode Analisis Data
Kode Struktur Sikap
a. Komponen kognitif b. Komponen afektif c. Komponen konatif
Pembentukan Sikap a. Pengalaman pribadi b. Pengaruh orang lain c. Pengaruh kebudayaan d. Media massa
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
f. Pengaruh faktor emosional
Waria
a. Pengertian
b. Kegiatan kaum waria
KK KA KO
Pr Po Pk Pm
Pl Pe
Pt Kg
b. Dependabilitas
Dependabilitas menggantikan istilah reliabilitas. Melalui konstruk
dependabilitas, peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan yang
mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan
dalam desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang
setting yang diteliti. Yang dapat dilakukan adalah mengkonsentrasikan diri pada pencatatan rinci fenomena yang diteliti, termasuk interrelasi
aspek-aspek yang berkait. Dengan melakukan pencatatan rinci tersebut, peneliti
mengundang orang lain untuk mempelajari dengan seksama hasil
(51)
lengkap dan diorganisasikan dengan baik, peneliti memungkinkan pihak
lain untuk mempelajari data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis bila
perlu, bahkan melakukan analisis kembali (Marshall dan Rossman, dalam
Poerwandari, 2005).
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti untuk mencapai
dependabilitas penelitian adalah sebagai berikut :
1. Pemberian uraian deskriptif yang konkret, catatan ucapan, dan
percakapan verbatim, kutipan yang cermat sehingga tidak memberi
kemungkinan tafsiran yang beragam.
2. Pencatatan info dengan alat mekanis seperti alat perekam sehingga
respon dari subyek dapat ditangkap dengan cermat dan jelas.
3. Port folio, yaitu mencatat hal-hal penting yang muncul saat wawancara
dilakukan.
4. Penyatuan dependabilitas dan konfirmabilitas.
Konfirmabilitas merupakan suatu bentuk obyektifitas dalam penelitian
kualitatif. Obyektifitas disini dalam pengertian transparansi, yaitu
kesediaan peneliti untuk mengungkapkan secara terbuka proses dan
elemen-elemen penelitiannya sehinga memungkinkan pihak lain
(52)
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Penelitian1. Penentuan Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini terdiri dari empat orang baik laki-laki ataupun
perempuan yang tergolong dalam kriteria remaja akhir, yaitu umunr 18
tahun sampai umur 21 tahun. Pemilihan subyek secara rinci diambil satu
orang yang berumur 18 tahun, satu orang yang berumur 19 tahun, satu orang
yang berumur 20 tahun, dan satu orang lagi yang berumur 21 tanpa
mempertimbangkan jenis kelamin subyek. Pemilihan subyek juga
didasarkan jarak tempat tinggal subyek dengan tempat yang sering
digunakan oleh kaum waria untuk berkumpul, yaitu dari yang jaraknya dekat
sampai yang jaraknya jauh dari tempat kaum waria biasa berkumpul di
Yogyakarta. Selain itu, pemilihan subyek juga didasarkan pendidikannya,
yaitu dari lembaga pendidikan yang favorit di Yogyakarta sampai yang biasa
saja. Jarak tempat tinggal subyek dan pendidikan responden
dipertimbangkan karena diasumsikan ada perbedaan sikap antara subyek
yang bertempat tinggal dekat dengan tempat kaum waria biasa berkumpul
dan subyek yang bertempat tinggal jauh dari tempat kaum waria biasa
berkumpul, serta juga ada perbedaan sikap antara subyek yang sedang
(53)
Hasil penelitian ini bertujuan bukan untuk generalisasi, tetapi untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan tentang bagaimana sikap subyek
terhadap kaum waria.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Proses pengambilan data wawancara dilakukan sebanyak empat kali
sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan subyek penelitian. Berikut
ini waktu dan pelaksanaan penelitian:
Subyek 1
Nama : TYS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun
Sekolah : Universitas Gadjah Mada
Jarak : Sekitar 400 meter dari perempatan Barek Jalan Kaliurang
Wawancara : Hari Senin, 11 September 2006 di rumah subyek.
Subyek 2
Nama : RBY
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Sekolah : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Jarak : Sekitar 1,5 Km meter dari Krasil
(54)
Subyek 3
Nama : WCK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Sekolah : Universitas Pembangunan Nasional
Jarak : Sekitar 14 Km meter dari perempatan Duta Wacana
Wawancara : Hari Kamis, 14 September 2006 di rumah subyek.
Subyek 4
Nama : CAP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Sekolah : SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
Jarak : Sekitar 6 Km meter dari stasiun Lempuyangan
Wawancara : Hari Jumat, 22 September 2006 di rumah peneliti.
Tabel 3. Demografi Subyek
Subyek Jenis kelamin
Umur Sekolah Jarak
TYS Perempuan 21 UGM 400 M
RBY Perempuan 20 UIN 1,5 Km
WCK Laki-laki 19 UPN 13 Km
(55)
B. Laporan Hasil Penelitian a. Deskripsi Tiap-tiap Subyek
1. Subyek 1
Subyek 1 adalah TYS. Ia berumur 21 tahun dan sedang
menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jarak
tempat tinggal responden dengan tempat waria biasa berkumpul sangat
dekat, yaitu sekitar 400 meter. Tempat kaum waria biasa berkumpul
yang dekat dengan tempat tinggal subyek adalah di sekitar jalan
Kaliurang, mulai perempatan Mirota Kampus sampai perempatan
Barek. Kaum waria di daerah itu biasanya mengamen secara
bergerombol di warung-warung makan lesehan sepanjang jalan
tersebut. Di tempat itu pula, di salah satu warung subyek pernah
bertemu dengan waria yang sedang mengamen.
Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa pada komponen
kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah sifat bawaan
seseorang yang tidak wajar, misalnya laki-laki tetapi mempunyai sifat
bawaan wanita (lihat lampiran R1; 3 - 13). Responden juga mengetahui
bahwa kegiatan kaum waria diantaranya adalah menjadi pengamen dan
PSK (lihat lampiran R1; 8 – 23). Selain itu, subyek juga mengetahui
pendapat warga sekitar tempat tinggalnya yang juga menganggap
bahwa waria itu tidak wajar sehingga mereka belum bisa diterima dan
masih mendapat cibiran-cibiran (lihat lampiran R1; 125 – 131). Hal itu
(56)
pengaruh Agama yang pada dasarnya belum bisa menerima
keberadaan waria. Subyek juga menyebutkan bahwa sebenarnya
lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah sudah mulai
terbuka dan bisa memahami kaum waria (lihat lampiran R1; 238 –
249). Begitu juga dengan teman-teman sebayanya, walaupun pendapat
teman sebaya subyek ada yang bisa mengerti, menghargai dan
menerima kaum waria dan ada yang tidak peduli, namun kebanyakan
cenderung menerima kaum waria walaupun terkesan tidak peduli
dalam arti jadi waria itu urusan mereka (lihat lampiran R1; 325 – 332).
Secara pribadi, subyek menganggap bahwa waria itu adalah hal tidak
normal (lihat lampiran R1; 541 – 551). Walaupun begitu, subyek
menganggap hal itu wajar terjadi karena itu adalah sifat bawaan dan
sudah takdir, malah menurutnya akan menambah variasi (lihat
lampiran R1; 359 – 367).
Pada komponen afektif, sehubungan dengan keberadaan kaum
waria, subyek merasa biasa-biasa saja karena ada atau tidak adanya
kaum waria bagi subyek tidak masalah dan tidak mempengaruhinya,
walaupun sebenarnaya ada perasaan takut jika tiba-tiba didatangi oleh
waria atau saat ia bertemu dengan waria yang mengamen (lihat
lampiran R1; 387 – 391). Subyek justru merasa kasihan terhadap kaum
waria yang pada kenyataannya masih sering diperlakukan secara
diskriminatif di masyarakat sehingga mungkin saja mereka harus
(57)
lampiran R1; 103 – 116, 207 – 224, 476 – 484). Subyek juga merasa
kasihan dan prihatin melihat kaum waria diperlakukan semena-mena
saat dirazia (lihat lampiran R1; 291 – 297). Begitu pula subyek akan
merasa kasihan dan sedih apabila ada saudara atau temannya yang
menjadi waria, namun tidak merasa malu karena itu sudah takdir (lihat
lampiran R1; 406 – 425, 441 – 449). Selain itu subyek juga merasa
salut dan bangga terhadap kaum waria yang berprestasi karena mereka
tidak minder bahkan justru mampu memanfaatkan potensi yang ada
walaupun mereka sering mendapatkan penolakan (lihat lampiran R1;
68 – 78). Subyek pernah juga merasa takut akan tanggapan masyarakat
jika bergaul dengan kaum waria, tetapi rasa takut itu bisa dihilangkan
dan tidak dipermasalahkan karena kegiatan tersebut positif (lihat
lampiran R1; 621 – 629).
Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek
masih belum bisa menerima kaum waria (lihat lampiran R1; 120 –
132). Namun, teman-teman sebaya subyek bisa menerima kaum waria.
Begitu pula dengan Lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau
sekolah yang juga mulai terbuka dan memahami kaum waria, (lihat
lampiran R1; 238 – 244, 351 - 352). Secara pribadi, subyek menerima
keberadaan kaum waria dan mau bergaul jika waria tersebut sopan dan
tidak macam-macam (lihat lampiran R1; 488 – 494). Bahkan subyek
(58)
menjadi rekan kerja kaum waria (lihat lampiran R1; 508 – 520, 572 –
582).
2. Subyek 2
Subyek 2 adalah RBY. Ia berumur 20 tahun dan sedang
menempuh pendidikan di Universitas Islam Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Jarak tempat tinggal subyek sekitar 1,5 Km dari tempat
kaum waria biasa berkumpul, yaitu krasil. Krasil terletak di pinggir
Ring Road selatan, tepatnya di sebelah utara Pabrik Gula Madukismo. Di situ, kaum waria biasa berkumpul untuk menjajakan diri.
Dari hasil wawancara dengan subyek dapat diketahui bahwa pada
komponen kognitif, responden mengetahui bahwa waria adalah pria
yang suka memakai pakaian wanita dan bertingkah laku seperti wanita
dan mereka biasanya bekerja di salon dan menjadi PSK (lihat lampiran
R2; 3 – 6, 9 - 15). Warga sekitar tempat tinggal subyek menganggap
bahwa waria itu tidak normal (lihat lampiran R2; 127 - 136). Walaupu
begitu, warga sekitar tempat tinggal subyek memandang waria itu
sama saja seperti masyarakat lainnya tetapi masyarakat juga
berjaga-jaga supaya tidak timbul gosip yang tidak mengenakkan (lihat
lampiran R2; 86 – 90). Sepengetahuan subyek, lembaga pendidikan
hanya mengenal hanya mengenal pria dan wanita dengan segala
perannya masing-masing (lihat lampiran R2; 147 – 154). Teman-teman
sebaya subyek ada yang setuju dan mau berteman dengan kaum waria,
(59)
menjijikan, namun kebanyakan teman-teman sebaya subyek tidak
setuju dan menganggap waria itu menjijikan (lihat lampiran R2; 194 –
196, 201 – 203, dan 223 – 225). Secara pribadi, subyek menganggap
waria itu tidak normal, namun tidak mempermasalahkannya dan tetap
menganggapnya seperti manusia biasa karena sama-sama ciptaan
Tuhan (lihat lampiran R2; 236 – 242, 246, 263 – 268, dan 281 – 285).
Pada komponen afektif, sehubungan dengan keberadaan kaum
waria, subyek merasa biasa saja seperti teman, bahkan saat subyek
potong di salon waria ia tidak takut karena menurut subyek waria juga
manusia (lihat lampiran R2; 72 – 79, 250 – 255). Subyek merasa
kasihan terhadap kaum waria yang sering dijauhi dan diperlakukan
diskriminatif oleh masyarakat serta diperlakukan seperti hewan saat
dirazia (lihat lampiran R2; 188 – 189, 332 – 337). Subyek merasa
bangga terhadap kaum waria yang berprestasi karena walaupun ada
kelemahan tetapi dapat menunjukkan kelebihannya (lihat lampiran R2;
49 – 52). Akan tetapi, subyek merasa malu jika ada temannya yang
menjadi waria, terlebih jika saudaranya menjadi waria subyek akan
malu dengan tetangganya karena itu adalah aib keluarga dan bisa
menimbulkan pembicaraan yang tidak mengenakkan (lihat lampiran
R2; 302 – 305). Subyek juga merasa takut dicap atau dibicarakan di
masyarakat jika bergaul dengan kaum waria tetapi bagi subyek hal itu
tidak masalah karena yang dilakukan adalah hal yang baik (lihat
(60)
Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek bisa
menerima kaum waria bahkan justru diajak berkegiatan bersama
seperti voli dan sepak bola bersama (lihat lampiran R2; 102 – 104).
Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek menerima
keberadaan kaum waria dan mau berdiskusi, bergaul, bekerja dan
melakukan kegiatan bersama kaum waria, namun subyek tidak mau
melakukannya dengan waria yang menjadi PSK (lihat lampiran R2;
292, 359 – 362, 373 – 380, 389 – 391, 398, dan 400 – 405).
Sepengetahuan subyek, lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau
sekolah belum bisa menerima kaum waria sehingga bila ada waria,
maka ia akan dikeluarkan supaya waria tersebut tidak diejek dan
dikucilkan serta supaya ada kesetaraan (lihat lampiran R2; 155 – 158,
162 – 167). Teman-teman sebaya subyek ada yang bisa menerima atau
setuju dengan keberadaan kaum waria sehingga mau bergaul dengan
mereka, tetapi ada juga yang tidak setuju dan menjauhi kaum waria
(lihat lampiran R2; 212 – 216). Namun, kebanyakan teman-teman
sebaya subyek tidak setuju atau tidak menerima kaum waria (lihat
lampiran R2; 223 – 225).
3. Subyek 3
subyek 3 adalah WCK. Ia berumur 19 tahun dan sedang
menempuh pendidikan di Universitas Pembangunan Nasional Veteran
(61)
berkumpul sekitar 13 Km. Tempat kaum waria biasa berkumpul
tersebut adalah daerah Stasiun Lempuyangan sampai sekitar
perempatan Duta Wacana. Kaum waria di tempat tersebut ada yang
menjajakkan diri dan juga mengamen di perempatan Duta Wacana. Di
tempat itu pula, tepatnya di perempatan Duta Wacana subyek pernah
digoda oleh waria.
Dari hasil wawancara dengan subyek diketahui bahwa pada
komponen kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah setengah
laki-laki setengah wanita tetapi aslinya adalah laki-laki (lihat lampiran
R3; 3 – 5). Subyek juga mengetahui bahwa kegiatan waria yang
ecek-ecek atau yang kelas bawah hanya mangkal cari om-om, tetapi yang
kelas atas jadi desainer dan artis (lihat lampiran R3; 9 – 15).
Sepengetahuan subyek, warga sekitar tempat tinggal subyek,
teman-teman sebaya subyek, dan lembaga pendidikan dan kemasyarakatan
atau sekolah berpandangan biasa saja terhadap kaum waria karena
sama-sama manusia (lihat lampiran R3; 74 – 78, 126 – 130, dan 183 -
190). Secara pribadi subyek menganggap bahwa waria itu tidak normal
(lihat lampiran R3; 250 – 259).
Pada komponen afektif, sehubungangan dengan keberadaan
kaum waria subyek merasa kasihan terhadap kaum waria karena
mereka tidak seratus persen wanita dan tidak seratus persen laki-laki
sehingga sebagian orang menjauhi mereka, bahkan diperlakukan
(62)
Subyek juga merasa kasihan terhadap kaum waria yang baik-baik
diperlakukan secara diskriminatif, tetapi tidak merasa kasihan jika
waria yang diperlakukan secara diskriminatif itu adalah waria yang
suka bawa tamu ke kos atau yang neko-neko (lihat lampiran R3; 350 –
358, 365 – 368). Subyek merasa bangga dan minder terhadap kaum
waria yang berprestasi karena waria saja bisa berprestasi kenapa kita
yang normal tidak (lihat lampiran R3; 39 – 44). Saat didatangi oleh
waria seperti pengalamannya di perempatan Duta Wacana, subyek
merasa takut dan panik karena itu pasti waria yang aneh-aneh (lihat
lampiran R3; 62 – 63, 438 – 445). Namun berbeda jika ada saudara
atau teman subyek yang ternyata adalah seorang waria, subyek justru
merasa sedih dan kasihan jika ternyata ada saudara atau temannya
yang menjadi waria (lihat lampiran R3; 321 – 324). Akan tetapai,
subyek tidak merasa malu jika ternyata ada saudara atau temannya
yang menjadi waria (lihat lampiran R3; 279 – 292). Subyek juga
pernah merasa takut dicap dan dibicarakan oleh masyarakat jika
bergaul dengan kaum waria, tetapi itu tergantung bagaimana cara
mengantisipasinya dan subyek akan tetap berteman dengan kaum
waria (lihat lampiran R3; 310 – 312).
Pada komponen kognitif, warga sekitar tempat tinggal subyek
bisa menerima kaum waria, seperti lembaga pendidikan dimana subyek
menempuh pendidikan yang juga memperlakukan waria yang menjadi
(63)
89, 139 – 140). Teman-teman sebaya subyek pun memperlakukan
kaum waria seperti manusia biasa tergantung dari perilaku waria itu
sendiri, kalau waria yang suka mangkal ya akan dijauhi (lihat lampiran
R3; 208 – 214). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek bisa
menerima kaum waria, bergaul, melakukan kegiatan bersama, dan
bekerja dengan mereka kecuali kaum waria yang suka mangkal dan
mencari om-om (lihat lampiran R3; 239 – 245, 372 – 284, 390 – 393,
397 – 400, 410 – 412, dan 419 - 423).
4. Subyek 4
Subyek 4 adalah CAP. Ia berumur 18 tahun dan masih
menempuh pendidikan di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Jarak
tempat tinggal subyek dengan tempat kaum waria biasa berkumpul
sekitar 6 Km. Tempat kaum waria biasa berkumpul tersebut adalah
daerah Stasiun Lempuyangan sampai perempatan Duta Wacana. Kaum
waria di daerah tersebut ada yang menjajakkan diri dan juga ada yang
mengamen di perempatan Duta Wacana. Subyek mempunyai
pengalaman dengan kaum waria, yaitu pernah dikejar waria di Taman
Kota.
Dari hasil wawancara dengan subyek dapat diketahui pada
komponen kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah
transseksual atau wanita jadi-jadian (lihat lampiran R4; 3 – 6). Subyek
(1)
130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175
lewat dan sebagainya.
Tanya: Terus, e… setahu anda baaimana to pendapat teman sebaya anda terhadap kaum waria?
Jawab: Ya semuanya hampir…, pendapatnya hampir sama ya, kaum waria dianggap sesuatu hal yang aneh, dan e… apa ya, ya itu… pokoknya yang, istilahnya jijik, ya itu.
Tanya: Lalu bagaimana juga perlakuan teman-teman anda?
Jawab: O… perlakuannya pasti banyak yang takut atau menjauh, terus apa lagi ya… banyak yang istilahnya, ada yang, ada yang menggoda juga, ada yang… ya istilahnya ditakuti juga, nggilani.
Tanya: E… bagaimana pendapat anda pribadi tentang kaum waria?
Jawab: Ya… kadang-kadang saya juga merasa gilo, soalnya wanita eh opo, waria itu kadang-kadang e… apa ya nggilani gitu, apa… kadang-kadang bikin malu, apa namanya, dan kadang-kadang saya juga kasihan karena, karena mereka dilahirkan di bumi seperti itu, tidak sesuai dengan kodratnya.
Tanya: Bisa anda terangkan nggak sikap nggilani dari waria itu seperti apa?
Jawab: Ya… gitu-itu sukanya mungkin, “grepek-grepek” gitu (sambil menirukan suara waria dan tertawa).
Tanya: E… anda tadi mengatakan bahwa waria tidak sesuai dengan kodratnya ya, e… apakah itu bisa diartikan bahwa anda menganggap bahwa waria itu adalah tidak normal? Jawab: Ya kira-kira seperti itu, namanya juga laura, lanang wedok, wedok yo ora (laki perempuan, perempuan juga tidak.
Tanya: Lalu, e… apa yang anda rasakan terhadap kaum waria?
Pendapat teman sebaya waria dianggap aneh dan menjijikkan.
Perlakuan teman sebaya ya menjauhinya karena takut, dan menggodanya juga.
Pendapat pribadi nggilani (menjijikan) dan memalukan.
Merasa kasihan juga
karena mereka dilahirkan tidak sesuai
kodratnya.
Takut digerayangi waria.
Waria itu tidak normal.
KK
Pe, KA, KO
KK
KA
KA
(2)
176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221
Jawab: Melihat kaum waria seperti itu ya saya kadang hi… gitu (sambil menunjukkan ekspresi gilo atau jijik), kadang-kadang juga wah mesakke, kasihan juga dia seperti itu, na gitu aja.
Tanya: Mengapa anda kasihan?
Jawab: Ya dia seharusnya bisa menjadi seorang ya apa ya… ya itu dah kehendak Tuhan ding, dan atau mungkin, mungkin dia nggak punya kerjaan lalu iseng-iseng jadi banci untuk mencari uang, tapi dengan terpaksa di seperti itu, melakukan hal seperti itu.
Tanya: Apa yang ada dalam e… pikiran anda apabila ada saudara atau teman anda yang ternyata adalah seorang waria?
Jawab: Wah ya kasihan dong, nanti dia bisa dikerjain terus (sambil tertawa), ya kasihan lah dia nanti bisa jadi bahan ejek-ejekan.
Tanya: Ada rasa kecewa, marah atau malu mungkin?
Jawab: Ya semuanya itu pasti ada, campur-campur lah, ada rasa kasihan, ada juga rasa malu, tapi kalau malu ya kasihan orangnya ya, pokoknya sedihlah.
Tanya: Lalu kira-kira apa yang akan anda lakukan bila tadi ternyata saudara atau teman anda ternyata waria? Jawab: Yang saya lakukan opo yo, mungkin saya berdoa pada Tuhan agar diberi jalan yang paling baik, banyak jalan menuju Roma wa… (sambil tertawa).
Tanya: Nggak misalnya mencoba membantu atau justru malah menjauhi gitu?
Jawab: Kalau mau membantu, membantu apa ya… ya kalau bisa saya bantu ya saya bantu sebisa saya, ya apa aja, dan kalau menjauhi… ya kasihan juga kalau dijauhi.
Kadang merasa jijik dan kadang merasa kasihan juga dengan waria.
Kasihan karena mungkin itu sudah takdir dan mungkin saja mereka jadi waria karena terpaksa.
Kasihan jika ada saudara atau teman yang jadi waria karena bisa jadi bahan ejekan.
Ada juga rasa kasihan, sedih, dan kecewa, tapi kalau malu juga ksihan orangnya.
Saya akan berdoa agar waria itu diberi jalan yang terbaik.
Sebisa mungkin membantu teman atau saudara yang jadi waria, tapi tidak dijauhi.
KA
KA
KA
KA
KO, Pl
(3)
222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267
Tanya: Ok, sekarang, e… sehubungan dengan keberadaan kaum waria, apakah anda bisa menerimanya?
Jawab: Ya nggak masalah asalkan tidak mengganggu aja.
Tanya: Terus kalau anda menerima, apakah anda juga mau bergaul dengan mereka?
Jawab: Wah kalau mungkin bergaul saya kurang bisa, karena, karena itu sesuatu hal yang aneh.
Tanya: Kenapa aneh?
Jawab: E… karena… akan, mungkin saya bisa di-grepek-grepek atau digodain atau gimana, kan saya jadi takut di gituin (sambil tertawa).
Tanya: Terus, e… apakah anda mau bekerja dengan kaum waria misalnya di salon, atau dunia entertain?
Jawab: Ya mau, di entertainment mungkin bisa membantu seperti nanti main di komedi-komedi, dia jadi bahan, bahan lelucon begitu.
Tanya: Mengapa anda mau kalau di entertainment?
Jawab: Ya kalau di entertain dia, mungkin masyarakat dapat melihat ini sesuatu hal yang dapat, atau ngejual istilahnya sebagai bahan ketawaan lucu-lucu gitu.
Tanya: Apakah e… anda juga mau berdiskusi atau bertukar pendapat dengan kaum waria?
Jawab: Ya… mungkin kadang-kadang, ya kalau ada waktu saya mau.
Tanya: Mengapa anda mau?
Jawab: Ya mungkin untuk sekali-sekali sharing-lah, tapi harus, jangan, tapi kalau empat mata saya agak takut, mendingan sekelas atau beramai-ramai.
Tanya: Apakah anda mau melakukan kegiatan bersama dengan kaum waria seperti sepak bola atau voli?
Bisa menerima kaum waria asal tidak mengganggu.
Kurang bisa bergaul dengan waria.
Karena takut dengan waria.
Mau bekerja dengan kaum waria di dunia entertaint.
Mau karena kalau di entertaint masyarakat akan melihat ini sebagai bahan tertawaan.
Mau berdiskusi atau bertukar pendapat dengan kaum waria.
Tetapi takut kalau sendirian jadi harus ada temannya.
Mau melakukan KO
KO
KA
KO
KK
KO
KA
(4)
268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304
Jawab: Why not (mengapa tidak), dianggap saja sebagai hiburan.
Tanya: Terus apakah anda mau melakukan kegiatan kepedulian terhadap kaum waria seperti pendampingan atau penyuluhan HIV-AIDS?
Jawab: E… ya mau dan kita ambil hal positifnya aja.
Tanya: E… kenapa anda mau? Jawab: Karena…, ya, ya karena saya suka kepedulian dengan warga masyarakat sekitar.
Tanya: E… pernah nggak ada perasaan malu dengan masyarakat atau takut di bicarakan karena anda mau berkegiatan bersama waria? Jawab: Ya, mungkin ada perasaan e… takut, tapi ya kembali ke kegiatannya positif atau tidak, lagian kalau kegiatannya negatif saya juga tidak mau,
warianya yang suka godain gitu saya juga tidak mau kalau sendirian, kan takut.
Tanya: Ok, pertanyaan terakhir sekarang, e… bagaimana perasaan anda jika e… di suatu tempat anda sendirian dan tiba-tiba anda didatangi waria?
Jawab: Kemrotok, deg-degan, ya mending lari aja, hi… serem.
Tanya: Ok, makasih ya. Jawab: Yoi.
kegiatan bersama kaum waria seperti voli dan sepak bola karena bisa dijadikan hiburan.
Mau melakukan pendampingan atau penyuluhan HIV-AIDS terhadap kaum waria.
Ada perasaan takut dengan masyarakat karena berkegiatan dengan waria, tetapi kalau positif tidak masalah.
Tetapi tidak mau kalau warianya suka godain karena takut.
Takut saat sendirian didekati waria dan lebih baik lari saja.
KO
KA
KO, KA
KA, Pe, KO
(5)
GUIDE WAWANCARA
1. Apa yang anda ketahui tentang waria?
2. Sepengetahuan anda apa saja kegiatan kaum waria?
3. Apakah anda kenal satu atau lebih waria? (siapa, dimana, bagaimana bisa kenal)
4. Apakah anda tahu satu atau lebih kaum waria yang berprestasi dalam pendidikan, artis atau yang lainnya?
5. Dari mana anda mendapatkan informasi mengenai waria?
6. Bagaimana perasaan anda terhadap kaum waria yang berprestasi seperti di pemilihan ratu waria, menjadi artis, dan lain-lain?
7. Apakah anda mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan kaum waria? 8. Setahu anda, bagaimana pendapat atau pandangan warga sekitar tempat
tinggal anda terhadap kaum waria? (mengapa)
9. Setahu anda bagaimana perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda terhadap kaum waria? (menerima / tidak)
10.Bagaimana perasaan anda melihat perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda terhadap kaum waria?
11.Setahu anda bagaimana pendapat lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah terhadap kaum waria? (mengapa)
12.Setahu anda bagaimana perlakuan aparatur pemerintah (Satpol PP, polisi, dll) saat merazia kaum waria?
13.Bagaimana perasaan anda melihat perlakuan aparatur pemerintah saat merazia tersebut?
14.Setahu anda bagaimana pendapat teman sebaya anda terhadap kaum waria? (mengapa)
15.Setahu anda bagaimana perlakuan teman sebayamu terhadap kaum waria? 16.Bagaimana pendapat anda pribadi tentang kaum waria? (mengapa)
17.Dapatkah anda jelaskan apa yang anda rasakan terhadap kaum waria? (mengapa)
(6)
18.Apa yang ada dalam pikiran anda apabila ada saudara atau teman anda yang ternyata adalah seorang waria? (mengapa)
19.Bagaimana perasaan anda apabila ada saudara atau teman anda yang ternyata adalah seorang waria? (mengapa)
20.Apa yang akan anda lakukan apabila ada teman atau saudaramu yang menjadi waria?
21.Bagaimana perasaan anda terhadap kaum waria yang sering dijauhi masyarakat dan diperlakukan secara diskriminatif?
22.Sehubungan dengan keberadaan kaum waria, apakah anda bisa menerimanya? (mengapa)
23.Apakah anda mau bergaul dengan kaum waria? (mengapa)
24.Apakah anda mau bekerja di salon atau di dunia entertain dengan kaum waria? (mengapa)
25.Apakah anda mau berdiskusi atau bertukar pendapat dengan kaum waria? (mengapa)
26.Apakah anda mau melakukan kegiatan bersama dengan kaum waria (seperti sepak bola, voli,dll)?
27.Apakah anda mau melakukan kegiatan kepedulian seperti pendampingan atau penyuluhan HIV-AIDS terhadap kaum waria? (mengapa)
28.Bagaimana perasaan anda jika saat sendirian di suatu tempat, tiba-tiba anda didatangi oleh seorang waria? (apa yang akan anda lakukan)