STRATIFIKASI SOSIAL DALAM KOMUNITAS GAY DI KELURAHAN GUBENG KECAMATAN GUBENG KOTA SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana ilmu sosial

(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

Mochammad Dimas Y.E

NIM: B75213056

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

JANUARI 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Mochammad Dimas Y.E, 2017, Stratifikasi Sosial Dalam Komunitas Gay Di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya. Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Stratifikasi sosial, komunitas, dan gay

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah pembentukan kelas di komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya? 2. Bagaimana pola gaya hidup komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya?. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hal-hal yang menjadi kriteria pembentukan kelas dan mengetahui gaya hidup dalam komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

Untuk menjawab permasalahan diatas menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara. Teori yang digunakan dalam melihat fenomena yang terjadi pada komunitas gay di Kelurahan Gubeng adalah teori stratifikasi sosial atau kelas Max Weber.

Maka dari itu, penelitian tersebut dapat diperolah beberapa kesimpulan bahwa; (1) Memang benar jika dalam komunitas gay terdapat stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial di komunitas gay ada beberapa macam. Seperti dari segi tipe / peran gay terdapat istilah Top dan Bottom. Selanjutnya adalah dari segi sifat ada beberapa tingkatan, yang pertama manly, berarti gay yang bersifat gagah perkasa, yang kedua adalah yang biasa-biasa saja dan yang ketiga adalah gay kecimpringan yang lebih diartikan ngondek, gemulai seperti perempuan.Sedangkan berdasarkan strata/kelas komunitas gay terbagi menjadi tiga yaitu kelas atas, menengah, bawah. (2) gaya hidup komunitas gay berbeda-beda tergantung dari strata/kelas atau latar belakangnya. gay kelas atas mempunyai gaya hidup yang cenderung disiplin seperti rajin angkat beban, merawat wajah. Gaya hidup mereka yang lain adalah ketika mereka berkumpul biasanya di cafe yang terkenal di pusat perbelanjaan. Yang kedua menengah, gaya hidupnya hampir sama dengan kelas atas namun mereka lebih fleksibel ketika berkumpul dengan temannya. Gay kelas bawah lebih nekat, terbuka dan tidak terkontrol. Seperti melakukan oral sex di di semak-semak sekitar pattaya yang di pinggir sungai. Faktor ekonomi juga mempengaruhi dalam pembentukan stratifikasi sosial, karena dengan uang, kaum gay dapat merawat dan memperindah fisik mereka sehingga mereka bisa menjadi gay kelas atas.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Definisi Konseptual ... 8

F. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II : KAJIAN TEORETIK: STRATIFIKASI SOSIAL TINJAUAN MAX WEBER A. Penelitian Terdahulu ... 13

B. Kajian Pustaka ... 16

C. Kerangka Teoretik ... 37

BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 55

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 57


(8)

D. Tahap – Tahap Penelitian ... 60

E. Teknik Pengumpulan Data ... 61

F. Teknik Analisa Data ... 64

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 66

BAB IV : STRATIFIKASI SOSIAL DALAM KOMUNITAS GAY DI KELURAHAN GUBENG KECAMATAN GUBENG KOTA SURABAYA A. Masyarakat di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya ....67

B. Pembentukan Kelas di Komunitas Gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya ... 87

C. Gaya Hidup Komunitas Gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya ... 106

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 123

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 126 LAMPIRAN – LAMPIRAN ...

1. Pedoman Wawancara 2. Jadwal Penelitian

3. Surat Keterangan dari BAKESBANGPOL Surabaya 4. Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan

5. Berita Acara Ujian Skripsi Program Studi Sosiologi 6. Biodata Peneliti


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Kelurahan Gubeng ... 70

Gambar 1.2 Foto Saat Proses Wawancara Dengan Ken ... 90

Gambar 1.3 Foto Saat Proses Wawancara Dengan Dani ... 92

Gambar 1.4 Foto Saat Proses Wawancara Dengan Ibu Mega ... 93

Gambar 1.5 Foto Saat Proses Wawancara Dengan Dani dan Faisal ... 99

Gambar 1.6 Foto Pattaya Pinggiran Sungai Kalimas ... 110

Gambar 1.7 Foto Pattaya di Jalan Sumatera ... 110


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Geografis Kelurahan Gubeng ... 68

Tabel 4.2 Batas Wilayah Kelurahan Gubeng ... 69

Tabel 4.3 Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 71

Tabel 4.4 Penduduk Menurut Agama ... 71

Tabel 4.5 Penduduk Menurut Usia Kategori Kelompok Pendidikan ... 72

Tabel 4.6 Penduduk Menurut Usia Kategori Kelompok Tenaga Kerja ... 72

Tabel 4.7 Pergerakan Penduduk ... 73

Tabel 4.8 Mata Pencaharian Penduduk ... 74

Tabel 4.9 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Formal ... 75

Tabel 4.10 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Non-Formal ... 75

Tabel 4.11 Data Tempat Ibadah ( Masjid ) Agama Islam di Kelurahan Gubeng..79

Tabel 4.12 Data Tempat Ibadah ( Musholla ) Agama Islam di Kelurahan Gubeng... 79

Tabel 4.13 Data Tempat Ibadah ( Gereja ) Agama Kristen Protestan di Kelurahan Gubeng... 80

Tabel 4.14 Data Lembaga Keagamaan di Kelurahan Gubeng ... 81

Tabel 4.15 Data Lembaga Pemuda Keagamaan ... 81

Tabel 4.16 Data Minimarket di Kelurahan Gubeng ... 82

Tabel 4.17 Data Bank di Kelurahan Gubeng ... 82

Tabel 4.18 Data Koperasi di Kelurahan Gubeng ... 82

Tabel 4.19 Data Bengkel di Kelurahan Gubeng ... 83


(11)

Tabel 4.21 Data Warung atau Kedai di Kelurahan Gubeng ... 83

Tabel 4.22 Data UMKM di Kelurahan Gubeng ... 84

Tabel 4.23 Data PAUD di Kelurahan Gubeng ... 85

Tabel 4.24 Data TK di Kelurahan Gubeng ... 85

Tabel 4.25 Data SD di Kelurahan Gubeng ... 86

Tabel 4.26 Data SMP di Kelurahan Gubeng ... 86

Tabel 4.27 Data SMA di Kelurahan Gubeng ... 86

Tabel 4.28 Data Pendidikan Informal di Kelurahan Gubeng ... 87

Tabel 4.29 Klasifikasi Gay Berdasarkan Type Peran ... 105

Tabel 4.30 Klasisfikasi Gay Berdasarkan Sifat ... 106


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gay adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang laki-laki yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang, yakni menyukai sejenisnya (suka sesama laki-laki). Istilah Gay sebenarnya sudah cukup lama terdengar, istilah itu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, terutama saat akhir 2015 hingga awal 2016 istilah Gay lebih sering kita dengar, namun istilah Gay kali ini digabungkan dengan singkatan LGBT yang kepanjangan dari Lesbian Gay Biseksual dan Transgender. Penjelasan dari LGBT sendiri ialah, pertama di mulai dari huruf L yang merujuk pada Lesbian, yaitu istilah yang di berikan untuk perempuan yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang atau suka sesama jenis (perempuan menyukai perempuan). Yang kedua adalah huruf G yang merujuk pada Gay, yaitu laki-laki yang mempunyai orientasi seksual menyimpang atau suka sesama jenis (laki-laki menyukai laki-laki). Ketiga yaitu huruf B yang merujuk pada Biseksual, yaitu istilah yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang memiliki orientasi seksual ganda, maksudnya adalah seorang biseksual bisa menyukai lawan jenis dan sesama jenis. Yang terakhir adalah huruf T yang merujuk pada Transgender atau berganti kelamin, berdandan seperti lawan jenisnya, yaitu laki-laki menjadi perempuan dan perempuan menjadi laki-laki-laki-laki, atau masyarakat umum biasa menyebutnya dengan istilah Waria yang kepanjangan dari Wanita Pria.


(13)

Kelompok LGBT mendapat sorotan tajam akhir-akhir ini karena negara adi daya Amerika Serikat telah melegalkan pernikahan sejenis, hal ini tentu membuat kaum LGBT senang karena hak yang mereka inginkan terkabul.

Mahkama Agung Amerika Serikat (AS), pada Sabtu (27/6/2015), secara resmi melegalkan perkawinan sejenis (perkawinan homoseksual) di seluruh negara bagian AS. Dengan keputusan ini, maka AS merupakan negara ke-21 yang mengesahkan perkawinan sesama jenis (same-sex marriage). Pasangan homo dan lesbi pun kini mendapatkan hak yang sama sebagaimana keluarga heteroseksual, seperti mendapatkan surat-surat kelahiran dan kematian.1Keputusan ini, dinilai banyak pihak akan berpengaruh terhadap perkembangan legalisasi perkawinan sejenis di berbagai negara. Kontroversi pun marak di berbagai belahan dunia.

Namun dari sedikit penjelasan diatas yang menjadi fokus peneliti adalah dari kelompok gay. Peneliti tertarik mengamati kaum gay karena mereka secara penampilan fisik dan dandanan tidak ada bedanya dengan lelaki normal lainnya, meskipun ada beberapa dari mereka yang kelihatan dari gaya dan perilaku sehari-hari. Kaum gay juga tidak lepas dari istilah waria. Kaum waria terutama yang semua laki-laki berubah menjadi perempuan juga dapat dipastikan suka dengan laki-laki, namun kaum gay tidak terlalu ekstrim seperti waria. Kaum gay sama seperti laki-laki lain, bahkan banyak diantara mereka yang berwajah tampan, berbadan tegap dan gagah.

Sepanjang sejarah ilmu pengetahuan, masalah homosesksualitas selalu menjadi kajian yang menarik dan penting. Apalagi melihat fenomena sosial yang


(14)

berkembang saat ini. Di negara Indonesia sendiri homoseksual atau gay selalu menjadi perdebatan, ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi kaum yang

“mengagungkan” HAM, jelas kelompok gay atau homoseksual adalah kelompok

minoritas yang harus dilindungi bahkan jika perlu hak untuk menikah sesama jenis harus dilegalkan untuk tujuan penyamarataan hak asasi manusia di Indonesia, ada pula masyarakat Indonesia yang netral dalam menanggapi fenomena gay atau homoseksual, biasanya masyarakat yang netral beranggapan gay atau homoseksual adalah perilaku yang salah dan menyimpang, sebagian masyarakat juga menolak keras apabila terjadi praktek pernikahan sesama jenis, namun biasanya masyarakat Indonesia masih menerima dan bersedia berbaur seperti biasa dengan kelompok gay dengan catatan kelompok gay tidak mengganggu keamanan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat ketika mengunjungi salon potong rambut, tidak sedikit beberapa salon yang menggunakan tenaga jasa dari seorang laki-laki yang gemulai. Beberapa salon yang cukup ramai atau bahkan salon ternama juga menggunakan jasa seorang laki-laki yang bersifat gemulai, ini menunjukkan bahwa kelompok gay masih diterima oleh masyarakat Indonesia, masyarakat masih menerima keberadaan kelompok gay dalam batas wajar, seperti bekerja di bidang jasa potong rambut, kecantikan dan lain sebagainya. Masyarakat yang netral tidak terlalu mempermasalahkan orientasi seksual dalam dunia kerja atau jasa selama tidak mengganggu. Dari masyarakat sendiri menilai dunia salon memang identik dengan laki gemulai yang merupakan salah satu ciri-ciri laki-laki gay. selanjutnya adalah masyarakat yang kontra akan keberadaan kaum gay. Masyarakat yang kontra sangat melarang adanya kelompok gay, bahkan dengan


(15)

terang-terangan melarang bahkan memusuhi kelompok gay, karena menganggap gay atau homoseksual adalah perbuatan yang keji dan menjijikan.

Kredibilitas kelompok gay di Indonesia pernah mendapat sorotan tajam ketika terjadinya kasus pembunuhan berantai yang di lakukan oleh Rian yang berasal dari Jombang. Kejadian itu berlangsung sekitar tahun 2008, Rian terbukti

membunuh beberapa “teman” prianya, motifnya bermacam-macam, ada motif cemburu dan dendam. Jenazah dari beberapa korban Rian juga di bunuh secara sadis seperti dimutilasi, beberapa korban ada yang di kubur di belakang pekarangan rumahnya, ada juga yang di buang di pinggir jalan. Kasus lain yang sering menyudutkan kaum gay adalah kasus pencabulan terhadap anak remaja atau di bawah umur. Kasus seperti ini juga terjadi di kalangan selebriti, yaitu kasus yang menimpa penyanyi Saipul Jamil yang di laporkan mencabuli anak remaja laki-laki yang menginap di rumahnya. Dari kasus-kasus diatas, sebagian masyarakat memberikan penilaian yang negatif terhadap kelompok gay, meskipun tidak semua kelompok gay berbuat seperti itu.

Pandangan masyarakat tentang kelompok gay juga tidak semuanya negatif, ada beberapa yang menganggap berprestasi seperti manusia normal lain pada umumnya. Seperti di dunia desain pakaian. Dalam dunia desain pakaian masyarakat sudah tidak asing dengan desainer-desainer pria yang memiliki sikap gemulai (meski belum di temukan fakta bahwa dia gay dan yang bersangkutan bersikeras mengaku heterosesksual), namun masyarakat pada umumnya menilai mereka adalah bagian dari kelompok gay.


(16)

Masyarakat menilai bahwa gay atau homoseksual adalah penyakit kejiwaan, namun ada juga yang berpendapat bahwa gay atau homoseksual adalah penyimpangan masalah orientasi seksual. Sebenarnya kajian tentang kelompok gay di Indonesia sudah cukup banyak. Kelompok gay memiliki daya tarik tersendiri untuk diteliti. Karena kelompok gay memiliki berbagai macam karakter, ada yang gemulai hingga maskulin atau gagah.

Beberapa bulan sebelum peneliti menulis latar belakang ini, tepatnya pada bulan Januari 2016, peneliti pernah berbicara langsung dengan pemuda yang bekerja di salah satu salon di Kota Surabaya. Gaya pemuda tersebut sedikit gemulai, dari gerak-gerik peneliti yakin bahwa dia adalah termasuk kelompok gay. Singkat cerita dengan pendekatan, penyampaian yang benar dan menjaga privasi, sang pemuda tersebut bersedia berbicara sekilas tentang dunia kelompok gay. Dari beberapa penjelasan yang disampaikan oleh pemuda tersebut, ada hal yang menarik dari dunia gay, yaitu adanya kelas sosial atau stratifikasi sosial dalam dunia mereka. Stratifikasi sosial adalah pemeringkatan status seseorang dari atas ke bawah atau secara vertikal dengan beberapa indikator seperti harta kekayaan, jabatan dan lain-lain. Dalam dunia gay ada stratifikasi sosial pula, artinya ada perbedaan di golongan mereka. Untuk kelompok gay yang kelas bawah biasanya memiliki fisik yang tidak terlalu tampan dan mereka biasanya mengelompok atau bercengkrama di daerah yang cenderung gelap bahkan kumuh. Dari segi profesi seharai-hari mereka hanya bekerja apa adanya, misalkan pegawai salon, tukang rias panggilan dan lainnya. selanjutnya kelas menengah, dari segi fisik mereka lebih tampan dan tidak terlalu kelihatan gerak-gerik yang mengarah pada ciri-ciri


(17)

gay., dan dari segi profesi cukup beragam, ada yang karyawan swasta, bekerja di salon. Yang terakhir adalah gay kelas atas, secara fisik dan tampilan mereka berwajah tampan, berbadan tegap dan gagah. Dari segi profesi mereka mempunyai pekerjaan yang mapan seperti karyawan perusahaan besar, wirausaha dan lain-lain. Dari gaya hidup mereka lebih suka berbaur di cafe yang berada dalam pusat perbelanjaan dan biasanya mereka juga suka mengunjungi sport center untuk menjaga penampilan, bentuk badan. Hal itu dilakukan untuk membentuk badan yang atletis dan ideal, karena bagi kelompok gay badan atletis dan tegap merupakan hal mutlak untuk menarik laki-laki lainnya.

Maka dari penjelasan diatas peneliti bermaksud untuk meneliti lebih jauh tentang kehidupan kaum gay terutama dari segi kelas sosialnya. Peneliti menggunakan judul “Stratifikasi Sosial Dalam Kelompok Gay di Kelurahan

Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya”. Dalam penelitian ini, peneliti ingin

agar masyarakat lebih peka mengenali laki-laki gay atau normal, dan lebih mengenal kaum gay lebih dekat dalam arti untuk studi atau pembelajaran , atau bahakan untuk sekadar mengetahui saja secara mendalam.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pembentukan strata sosial dalam komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya?


(18)

2. Bagaimana gaya hidup komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hal-hal yang menjadi pembentukan kelas dalam komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota surabaya.

2. Mengetahui gaya hidup komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini di harapkan berdaya guna sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Diharapkan mampu memperluas keilmuan dalam bidang Sosiologi dan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan program studi Ilmu Sosiologi.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi mahasiswa dan peneliti.

2. Secara Praktis

Ada beberapa pihak yang dapat memperoleh manfaat dari penelitian ini, yaitu:


(19)

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang fenomena yang ada dalam masyarakat, serta mampu mengkaji fenomena tersebut dengan perspektif teori sosiologi

b. Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang stratifikasi sosial dalam kelompok gay.

E. Definisi Konseptual

Peneliti perlu kiranya membatasi sejumlah konsep yang diajukan dalam

penelitian dalam judul “Stratifikasi Sosial Dalam Kelompok Gay di Kelurahan

Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya”, adalah yang mempunyai

konsep-konsep sebagai berikut:

1. Stratifikasi Sosial

Pengertian stratifikasi sosial sangat banyak dikemukakan para ahli, ada banyak definisi-definisi yang telah dijabarkan oleh para ahli:

a. Piritim A. Sorikin

Stratifikasi sosial menurut Piritim adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan


(20)

tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.2

b. Max Weber

Max weber berpendapat bahwa stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllage dan prestise.

c. Cuber

Menurut Cuber, stratifikasi sosial adalah sebagai suatu pola yang ditempatkan diatas kategori dari hak-hak yang berbeda.

Stratifikasi sosial atau kelas sosial yang akan dibahas pada penelitian ini adalah stratifikasi sosial pada komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya berdasarkan beberapa indikator yang menunjang untuk pemeringkatan atau mengklasifikasikan kelas sosial.

2. Komunitas / Masyarakat Setempat (community)

Istilah komunitas atau community dapat di terjemahkan

sebagai ”masyarakat setempat”, yang menunjuk pada warga sebuah desa, kota,

suku, atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok itu besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasa bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, kelompok tadi disebut masyarakat setempat. Sebagai suatu perumpamaan,

2 Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, (Jakarta: Prenada Media Group,


(21)

kebutuhan, seseorang tidak mungkin secara keseluruhan terpenuhi apabila dia hidup bersama rekan lainnya yang sesuku. Dengan demikian, kriteria yang utama bagi adanya suatu kelompok. Dengan mengambil pokok-pokok uraian diatas, dapat dikatakan bahwa masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu di mana faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya, dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar-dasar masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat tersebut.3 Komunitas yang dibahas di penelitian adalah komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

3. Gay / Homoseksual

Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis.4

Gay atau homoseksual adalah penyimpangan sosial yang terjadi karena seorang lelaki menyukai sesama jenisnya laki-laki. Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama jenis, meski hanya baru-baru

3 Selo Soemardjan, Social Changes in Yogyakarta, (New York: Coernel University Press, 1962),

hlm. 20.


(22)

initerdapat sensus dan status hukum/politik yang mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Hubungan dan tindakan homoseksual telah dikagumi, serta dikutuk sepanjang sejarah, tergantung pada bentuknya dan budaya tempat mereka didapati.5 Gay yang dijadikan subyek penelitian adalah gay yang memiliki rutinitas berkumpul dan belum tentu adalah penduduk yang beridentitas di wilayah Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

F. Sistematika Pembahasan

1. Bab I Pendahuluan

Peneliti memberikan gambaran tentang latar belakang masalah yang di teliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konseptual dan sistematika pembahasan.

2. Bab II Kajian Teoritik

Meliputi kajian pustaka (beberapa referensi yang di gunakan untuk menelaah obyek kajian), kajian teori (teori yang digunakan untuk menganalisis masalah penelitian), dan peneliti terdahulu yang relevan (referensi hasil penelitian oleh peneliti terdahulu yang mirip dengan kajian peneliti).

3. Bab III Metode Penelitian

Peneliti memberikan penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian. Bab ini berisi tentang jenis metode yang digunakan,

5 Nurul Musthafa, Pola Interaksi Kelompok Gay di Tengah Masyarakat di Kelurahan Gubeng


(23)

lokasi dan waktu penelitian, pemilihan subyek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data teknik analisa data, teknik pemeriksaa keabsahan data.

4. Bab IV Penyajian Dan Analisis Data

Berisi tentang stratifikasi sosial dalam komunitas gay di Kelurahan Gubeng, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya, yang ditinjau dari stratifikasi sosial atau kelas dalam pandangan Max Weber, yang terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama tentang masyarakat yang tinggal di wilayah obyek penelitian. Sub bab kedua tentang pembentukan kelas di komunitas gay, dan sub bab ketiga mengenai pola gaya hidup komunitas gay di Kelurahan Gubeng, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya.

5. Bab V

Yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan yang ditutup dengan saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(24)

BAB II

KAJIAN TEORETIK: STRATIFIKASI SOSIAL TINJAUAN MAX WEBER

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang kelompok gay, sebenarnya sudah cukup banyak di lakukan oleh pakar-pakar kebudayaan dengan sudut yang berbeda-beda. Dari masing-masing peneliti terdahulu mempunyai keunikan tersendiri. Kehidupan kelompok gay memang menarik untuk di teliti. Banyak aspek-aspek yang bisa dikombinasikan dengan tema penelitian kelompok gay, misalkan meneliti kelompok gay dan interaksi sosial di masyarakat, religiusitas kelompok gay dan lain-lainnya. Berkaitan dengan penelitian terdahulu, peneliti mengambil beberapa skripsi diantaranya sebagai berikut.

1. Nurul Musthafa, mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, ditulis pada tahun 2012 dalam skripsinya yang berjudul Pola Interaksi Kelompok Gay di Tengah Masyarakat di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dalam skripsi ini berisi tentang pola interaksi kaum gay, dalam hal ini interaksi di dalam kelompok mereka sendiri yakni berupa bahasa atau istilah khusus dalam komunikasi mereka, lambang atau simbol yang mereka gunakan dalam keseharian mereka dan interaksi kelompok gay dengan masyarakat dalam arti bagaimana kelompok gay dapat berbaur di tengah-tengah masyarakat. Teori yang digunakan adalah teori interaksionisme


(25)

simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. Rumusan masalah dari skripsi ini adalah bagaimana pola interaksi kelompok gay di tengah masyarakat di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya?. 1Dalam hal persamaan antara skripsi dan judul yang akan dit eliti adalah sama-sama membahas mengenai kelompok gay, dengan wilayah yang sama yaitu di wilayah Kecamatan Gubeng Kota Surabaya dan pendekatan yang digunakan adalah kualitatif. Dari segi perbedaan, skripsi ini lebih fokus kepada pola interaksi sosial baik interaksi di dalam kelompok mereka sendiri dan interaksi dengan masyarakat sek itar. Di sini juga membahas bagaimana kelompok gay berbaur dengan masyarakat dan timbal balik antara kelompok masyarakat dan kelompok gay, sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan, peneliti memfokuskan pada stratifikasi sosial dalam kelompok gay. perbedaan selanjutnya yaitu dari sudut pandang teori. Skripsi yang ditulis oleh saudara Nurul Musthafa menggunakan teori interaksionisme simbolik sedangkan penelitian ini menggunakan teori kelas atau stratifikasi sosial Max Weber.

2. Okdinata, mahasiswa program studi psikologi, fakultas ilmu sosial dan humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, ditulis pada tahun 2009, skripsi yang berjudul Religiusitas Kaum Homoseks (Studi Kasus Tentang Dinamika Ppsikologis Keberagamaan Gay Muslim Di Yogyakarta). Skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dalam skripsi ini lebih mengarah ke aspek psikologi. Inti dari skripsi ini adalah membahas dinamika psikologis dalam keagamaan yang dialami oleh subyek dalam penelitian ini

1 Nurul Musthafa, Pola Interaksi Kelompok Gay di Tengah Masyarakat di Kelurahan Gubeng


(26)

adalah pertentangan nilai-nilai agama yang sudah menjadi hati nurani dalam diri mereka sebagai gay atau homoseks. Subyek dalam skripsi ini mengalami konflik psikologis baik sadar maupun tidak disadari. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari sudut psikologi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika psikologis homoseks atau gay dalam kehidupan keberagamaannya?, bagaimana penerimaan diri homoseks atau gay dalam keberagamaan dengan pilihannya menjadi homoseks atau gay?.2 Dalam hal persamaan dengan penelitian terdahulu adalah menjadikan kaum gay sebagai subjek penelitian, metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Perbedaan terletak pada teori dan judul dimana yang di bahas adalah aspek psiokologi dan religiusitas.

3. Penelitian terdahulu yang terakhir adalah ditulis oleh Rosihan Janu Istijab, pada tahun 2016 yang berjudul Perilaku Homoseksual Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika psikologis homoseks atau gay dalam kehidupan keberagamaannya?, bagaimana penerimaan diri homoseks atau gay dalam keberagamaan dengan pilihannya menjadi homoseks atau gay?. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian bersifat deskriptif analitik komparatif yaitu penyusun berusaha mendeskripsikan perilaku homoseksual dalam pandangan hukum Islam dan perilaku homoseksual dalam pandangan hukum positif Indonesia, kemudian menganalisis dan mengkomparasikan antara

2 Oktadinata , Religiusitas Kaum Homoseks (Studi Kasus Tentang Dinamika Psikologis

Keberagamaan Gay Muslim Di Yogyakarta), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 5.


(27)

kedua pandangan hukum tersebut.3 Di dalam penelitian ini dijelskan bahwa perbuatan homoseksual adalah perbuatan terlarang dan telah melanggar fitrah sebagai manusia, dan HAM di Indonesia tidak boleh digunakan asal-asalan dan tetap harus memperhatikan hukum dan agama. Karena sesungguhnya pernikahan sejenis sangat dilarang baik dari segi hukum dan agama. Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama menjadikan kelompok gay menjadi subyek penelitian dan metode yang digunakan juga kualitatif. Perbedaannya adalah pembahasannya. Dalam penelitian yang ditulis oleh saudara Rosihan membahas homoseksual dalam pandangan hukum dan agama sedangkan peneliti membahas homoseksual dan stratifikasi sosial.

Dengan demikian, penelitian terdahulu diatas sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti yang berjudul Stratifikasi Sosial Dalam Komunitas Gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya. Penelitian terkait judul tersebut ini belum pernah diteliti oleh orang lain, sehingga penulis memiliki kesempatan untuk meneilit hal tersebut.

B. Kajian Pustaka

1. Stratifikasi Sosial

a. Pengertian Stratifikasi Sosial

Cara yang paling mudah untuk memahami pengertian konsep stratifikasi sosial adalah dengan berpikir membanding-bandingkan kemampuan dan apa yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat lainnya.

3 Rosihan, Perilaku Homoseksual Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia,


(28)

Menurut Soerjono Soekanto (1982), di dalam setiap masyarakat di mana pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di

masyarakat bisa berupa kekayaan , ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apapun yang bernilai ekonomis. Di berbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu sama. Di lingkungan masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu sama. Di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak sering kali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis, misalnya. Sementara itu , di lingkungan masyarakat kota yang modern, yang sering terjadi sering kali sebaliknya.

Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama. Dalam masyarakat yang masih sederhana, lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya di dasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, perbedaan umur, bahkan perbedaan yang berdasar pada kekayaan. Pada masyarakat yang demikian perbedaan kedudukan dan peran bersifat sederhana, mengingat warganya masih sedikit dan mereka yang mempunyai kedudukan tinggi pun tidak banyak jumlahnya. Sebaliknya, semakin kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks pula lapisan-lapisan dalam masyarakat.

Stratifikasi sosial menurut Piritim adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah


(29)

adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.

b. Dasar Lapisan Masyarakat

Di antara lapisan atasan dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan atasan tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanda kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut.

1). Ukuran kekayaan

Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.

2). Ukuran kekuasaan

Barangsiapa yang memiliki kekuasaan yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atasan.


(30)

Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

4). Ukuran ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal4.

2. Komunitas / Masyarakat Setempat (community)

a. Pengertian Komunitas / Masyarakat Setempat (community)

Berkaitan dengan kehidupan sosial, ada banyak penjelasan tentang arti komunitas. Tetapi setidaknya definisi komunitas dapat didekati melalui; pertama, terbentuk dari sekelompok orang; kedua, saling berinteraksi secara sosial diantara anggota kelompok itu; ketiga, berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau diantara anggota kelompok lain; keempat, adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk para anggota kelompok yang lain, misalnya waktu. Pada dasarnya setiap komunitas yang ada itu terbentuk dengan


(31)

sendirinya, tidak ada paksaan dari pihak manapun, karena komunitas terbangun memiliki tujuan untuk memnuhi kebutuhan setiap individu dalm kelompok tersebut. Suatu komunitas biasanya terbentuk karena pada beberapa individu memiliki hobi yang sama, tempat tinggal yang sama dan memiliki ketertarikan yang sama dalam beberapa hal.5

Suatu masyarakat setempat pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal (wilayah) tertentu. Walaupun sekelompok manusia merupakan masyarakat pengembara, pada saat-saat tertentu anggota-anggotanya pasti berkumpul pada suatu tempat tertentu, misalnya bila mengadakan upacara-upacara tradisional. Masyarakat-masyarakat setempat yang mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Memang dalam masyarakat modern, karena perkembangan teknologi alat-alat perhubungan, ikatan pada tempat tinggal agak berkurang, tetapi sebaliknya hal itu bahkan memperluas wilayah pengaruh masyarakat setempat yang bersangkutan. Secara garis besar, masyarakat setempat berfungsi sebagai ukuran untuk menggaris bawahi hubungan antara hubungan-hubungan sosial dengan suatu wilayah geografis tertentu. Sebagai contoh, betapa pun kuatnya pengaruh luar, misalnya di bidang pertanian mengenai soal cara-cara penanaman yang lebih efisien, penggunaan pupuk dan sebagainya, masyarakat desa masih mempertahankan tradisi, yaitu ada hubungan erat dengan tanah karena tanah itulah yang memberikan kehidupan kepadanya. Akan tetapi, tempat tinggal tertentu saja, walaupun merupakan suatu dasar pokok, tidak cukup untuk

5 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, (Jakarta: kencana, 2012), hlm.


(32)

membentuk masyarakat setempat. Di samping itu, harus ada suatu perasaan di antara anggota bahwa mereka saling memerlukan dan tanah yang mereka tinggali memberikan kehidupan kepada semuanya. Perasaan demikian, yang pada hakikatnya merupakan identifikasi dengan tempat tinggal, dinamakan perasaan komuniti (community sentiment).

Secara psikologis komunitas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1). Seperasaan

Unsur seperasaan timbul akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok

tersebut sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai “kelompok kami”, “perasaan kami” dan lain sebagainya. Perasaan demikian terutama timbul apabila orang-orang tersebut mempunyai kepentingan yang sama di dalam memenuhi kebutuhan hidup. Unsur seperasaan harus memenuhi

kebutuhan-kebutuhan kehidupan dengan “ altruism”, yang lebiih menekankan pada perasaan

solider dengan orang lain. Pada unsur seperasaan kepentingan-kepentingan individu diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan kelompok sehingga dia merasakan kelompoknya sebagai struktur sosial masyarakatnya.

2). Sepenanggungan

Setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya; dalam kelompok dijalankan sehingga mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya sendiri.


(33)

3). Saling Memerlukan

Individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya

tergantung pada “komuniti”-nya yang meliputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan-kebutuhan psikologis. Kelompok yang tergabung dalam masyarakat setempat tadi memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik seseorang, misalnya atas makanan dan perumahan. Secara psikologis, individu akan mencari perlindungan pada kelompoknya apabila dia berada dalam ketakutan, dan lain sebagainya. Perwujudan yang nyata dari individu terhadap kelompoknya (masyarakat setempat) adalah berbagai kebiasaan masyarakat, perilaku-perilaku tertentu yang secara khas merupakan ciri masyarakat itu. Contoh yang mungkin dapat memberikan penjelasan lebih terang adalah aneka macam logat bahasa masyarakat setempat.

Melalui logat bahasa yang khas akan dapat diketahui darimana asal seseorang. Walaupun perkembangan komunikasi agak mengurangi fungsi ciri tersebut, setiap masyarakat setempat, baik yang berupa desa maupun kota, pasti mempunyai logat bahasa tersendiri. Selain itu, masing-masing masyarakat setempat mempunyai juga cerita-cerita rakyat dengan variasi tersendiri.6

b. Unsur-unsur Masyarakat

Dalam mengadakan klasifikasi masyarakat setempat, dapat digunakan empat kriteria yang saling berpautan, yaitu:

6 Soleman B. Toneko, Struktur Dan Proses Sosial; Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan,


(34)

1). jumlah penduduk;

2). luas, kekayaan dan kepadatan penduduk daerah pedalaman;

3). fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat; dan

4). organisasi masyarakat setempat yang bersangkutan.

Kriteria tersebut di atas dapat digunakan untuk membedakan antara bermacam-macam jenis masyarakat setempat yang sederhana dan modern, serta antara masyarakat pedesaan dan perkotaan. Masyarakat yang sederhana, apabila dibandingkan dengan masyarakat, yang sudah kompleks, terlihat kecil, organisasinya sederhana, sedangkan penduduknya tersebar. Kecilnya masyarakat dan belum berkembangnya masyarakat-masyarakat tadi disebabkan karena perkembangan teknologinyayang lambat. Pengangkutan dan hubungan yang lambat memperkecil ruang lingkup hubungan dengan masyarakat lain. Teknik berburu serta mengerjakan tanah yang sederhana memperkecil kecilnya eksploitasi. Kepadatan penduduk sangat tipis dan berpindah-pindahnya masyarakat menyebabkan mereka mendiami wilayah yang relatif sangat luas, walau teknik komunikasi masih bersahaja. Pengaruh tempat kediaman sangat besar; paling banyak seseorang pindah ke masyarakatsetempat yang berlainan melalui ikatan perkawinan. Sosialisasi individu lebih mudah karena hubungan yang erat antarwarga masyarakat setempat yang masih sederhana. Kesetiaan dan pengabdian terhadap kelompok sangat kuat karena hidupnya tergantung dari kelompok. Bahkan mereka merasa masih ada ikatan keluarga sehingga sering kali


(35)

dijumpai larangan untuk kawin dengan anggota-anggota masyarakat setempat yang sama. Dengan adanya pengaruh-pengaruh yang datang dari luar, masyarakat setempat yang masih sederhana tadi mulai mengenal hukum, ilmu pengetahuan , sistem pendidikan modern, dan lain-lain. Lembaga-lembaga kemasyarakatan baru timbul, sehingga lama-lama dikenal pembagian kerja yang tegas. Semula organisasi lembaga-lembaga kemasyarakatan sangat sederhana dan tradisional sehingga agak mudah mempelajarinya karena pola-polanya yang tetap atau paling banyak hanya sedikit mengalami perubahan. Masyarakat yang sederhana tersebut meruapakn suatu unit yang fungsional, yang dalam batas-batas tertentu belum mengenal spesialisasi dan kelompok ini dianggap sebagai suatu kelompok primer.7

3. Gay / Homoseksual

a. Pengertian Gay / Homoseksual

Gay merupakan kata ganti untuk menyebut perilaku homoseksual. Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Ketertarikan seksual ini yang dimaksud orientasi seksual, yaitu kecenderungan seorang untuk melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan. Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki


(36)

kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama.8

Penyebab homoseksual ada beberapa hal. Beberapa pendekatan biologi menyatakan bahwa faktor genetik atau hormon mempengaruhi perkembangan homoseksualitas. Psikoanalisis lain menyatakan bahwa kondisi atau pengaruh ibu yang dominan dan terlalu melindungi sedangkan ayah cenderung pasif. Penyebab lain dari homoseksualitas seseorang dipelajari sebagai akibat adanya reward dan punishment yang diterima.

Beberapa peneliti yakin bahwa homoseksualitas adalah akibat dari pengalaman masa kanak-kanak, khususnya interaksi antara anak dan orang tua. Fakta yang ditemukan menunjukkan bahwa homoseksual diakibatkan oleh pengaruh ibu yang dominan daripada ayah.9

b. Sejarah Gay / Homoseksual di Dunia

Praktik homoseksual sudah ada sejak zaman dulu, sama tuanya dengan heteroseksualitas. Saat Yunani kuno, dikenal dengan adanya pederasti, di mana lelaki tua mengayomi dan berhubungan seks dengan lelaki muda. Dalam kebudayaan Athena kuno, lelaki tua biasanya disebut erastes berhubungan seksual dengan yang lelaki yang lebih muda berusia 12-18 tahun.

Menurut sejarawan Charles Huppert, tradisi pederasti ini dianggap sebagai bentuk alternatif seksualitas. Meskipun tidak umum, seorang lelaki yang telah

8 Feldmen, R.S, Understanding Psychology, (New York: Mc Graw-Hill Publishing Company,

1990), hlm. 359.


(37)

menikahi heteroseksual bisa memiliki kekasih yang lebih muda, bahkan membawa kekasih mudanya ke dalam lingkaran keluarga. Erastes sering memberi hadiah kepada lelaki yang lebih muda, misalnya kantung uang atau barang-barang berharga lainnya yang menyimbolkan maskulinitas dan kekuasaan sang erastes.

Sejak abad pertengahan setidaknya kaum homoseksual menghadapi tiga hal kekuasaan yang di produksikan bagi mereka. Pertama, homoseksualitas dianggap bukan lagi menjadi permasalahan privat individu, namun bertransformasi ke arah publik. Ia dipermasalahkan dan di wacanakan, khususnya oleh agama sebagai aktor utama. Pengakuan dosa sebagaimana diuraikan di atas subur pada masa sebelum abad 18. Gereja menjadi lokus utama dalam melakukan infiltrasi terhadap perilaku kaum homoseksual, untuk diajak kembali ke jalan

yang “lurus” dan “benar”. Agama menjadi wasit yang mempunyai otoritas tinggi dalam menuntut, menghakimi, memaafkan, menentramkan, hingga merekonsiliasi melalui bentuk ritus pengakuan.

Kedua, memasuki abad 18 homoseksualitas tidak saja memasuki wilayah

moralitas agama dan doasa, namun di tambah dengan transformasi ke arah administratif. Dalam wilayah ini terjadi pengontrolan ketat terhadap tingkah laku kolektif manusia demi peningkatan kualitas sumber daya individu. Pada abad ini seksualitas menjadi sebuah barometer bagi pengembangan ekonomi politik suatu negara (utamanya adalag Inggris), di mana permasalahan teknis seperti produltivitas populasi, analisa rata-rata kelahiran dan kematian, dan cara membuat seks menjadi subur atau steril.


(38)

Ketiga, homoseksualitas telah masuk menjadi sebuah permasalahan yang kompleks di mana terjadi berbagai kelindan wacana di dalamnya, bik itu biologi, kedokteran, psikologi, hingga politik. Hal ketiga ini sebenarnya merupakan bagian perpanjangan tangan dari hal pertama, di mana produksi pengakuan kebenaran mengenai homoseksualitas yang salah, berdosa dan menyimpang meluas tidak melalui pengakuan gereja (agama) namun di perluas melalui berbagai kebenaran yang di produksi oleh keluarga, sekolah, klinik psikiater hingga rumah sakit. Penciptaan seksualitas merupakan bagian dari berbagai proses rumit dalam pembentukan dan pengkonsolidasian berbagai institusi modern yang dianggap legal dan formal oleh negara. Pada kelanjutannya tubuh menjadi alat kontrol bagi negara. Tubuh dijadikan semacam konsumsi politik anatomi yang pada gilirannya merupakan fokus dari wilayah biopower di mana kekuatan-kekuatan tersebut akan memunculkan Apparatus of Sexuality yang cenderung memandang seks tataran hitam putih, moralitas (baik-buruk, halal-haram).10

c. Sejarah perkembangan LGBT di Indonesia

Bagaimana dengan perkembangan gay di Indonesia? hampir sama dengan catatan sejarah LGBT internasional, komunitas LGBT juga mulai menggeliat dan berkembang cukup pesat di negara ini. Berikut beberapa catatan perkembangannya.

1). Tahun 1920-1980

10 Hatib Abdul Kadir, Tangan-Tangan Kuasa Dalam Kelamin, (Yogyakarta: INSISTS, 2007), hlm.


(39)

Komunitas kaum homoseksual mulai bermunculan di kota-kota besar pada zaman Hindia Belanda. Hal ini terkait dengan meluasnya pergerakan komunitas LGBT di daratan eropa.

Di Indonesia sendiri sebenarnya terdapat komunitas kecil LGBT walau masih berakar kepada kebudayaan dan belum muncul sebagai pergerakan sosial. Salah satu contohnya adalah adanya gemblak di Ponorogo. Gemblak adalah

laki-laki muda yang dijadikan semacam “istri” oleh para warok di Pponorogo. Para

warok tersebut mempunyai ilmu kesaktian dengan syarat tidak boleh berhubungan badan (hubungan seks) dengan lawan jenis. Jika syarat dilanggar, kesaktian mereka akan lemah atau hilang.

Sekitar tahun 1968 istilah wadam (wanita adam) digunakan sebagai pengganti kata banci atau bencong yang dianggap bercitra negatif. Pada tahun berikutnya didirikan organisasi wadam yang pertama, dibantu serta difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya waktu itu, Bapak Ali Sadikin. Organisasi wadam itu bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).

Kurang lebih tahun 1980-an istilah wadam diganti waria (wanita-pria) karena keberatan sebagian besar pimpinan dan tokoh Islam berkenaan dengan nama Adam. Adam adalah nabi pertama bagi umat Islam (begitu juga bagi umat-umat agama samawi lainnya).


(40)

Tanggal 1 Maret 1982 adalah salah satu hari bersejarah bagi kaum LGBT Indonesia karena pada tanggal tersebut organisasi terbuka menaungi kaum gay berdiri untuk pertama kalinya di Imdonesia. Organisasi dengan nama Lambda Indonesia itu mempunyai sekretariat di Solo. Cabang-cabang Lambda kemudian berdiri di kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Mereka menerbitkan buletin dengan nama G: Gaya Hidup Ceria (tahun 1982-1984).

Pada tahun 1985 komunitas gay di Yogyakarta mendirikan organisasi dengan nama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) dan menerbitkan buletin Jaka. Tahun 1988 PGY berubah nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS).

Tanggal 1 Agustus 1987 merupakan salah satu titik waktu terpenting bagi komunitas gay di Indonesia, yaitu dengan berdirinya Kelompok Kerja Lesbian dan GAYa Nusantara (KKLGN) yang kemudian disingkat menjadi GAYa Nusantara (GN). GN didirikan di Pasuruan, Surabaya sebagai penerus Lambda Indonesia. GN menerbitkan majalah GAYa Nusantara.

GN menjadi barometer perkembangan komunitas LGBT di Indonesia. hal tersebut dapat terjadi karena peran penting salah satu tokohnya, Bapak Dede Ooetomo, yang berprofesi sebagai dosen. Dede Oetomo banyak melakukan pengenalan, sosialisasi, dan kampanye tentang LGBT sehingga sering diliput media massa. Dede Oetomo juga menjadi rujukan utama setiap orang yang ingin mengetahui dunia LGBT di Indonesia. berbicara tentang kaum LGBT, ingatan kita akan tertuju kepadanya.


(41)

Tahun ’90-an, muncul organisasi gay di hampir semua kota besar di Iindonesia seperti Pekanbaru, Bandung, Jakarta, Denpasar, dan Malang.

3). Tahun 1993-1998

Pada akhir tahun 1993 diadakan pertemuan pertama antarkomunitas LGBT di Indonesia pertemuan itu diselenggarakan di daerah Kaliurang, Yogyakarta dan diberi nama Kongres Lesbian dan Gay Indonesia I (KLGI I). Jumlah peserta yang hadir kurang lebih 40-an mewakili daerah masing-masing dari seluruh Indonesia.

Kongres tersebut menghasilkan enam butir ideologi pergerakan kaum gay dan lesbian di Indonesia. adalah GAYa Nusantara yang mendapat mandat untuk mengatur dan memantau perkembangan jaringan Lesbian dan Gay Indonesia (JLGI).

KLGI II dilakukan pada bulan Desember 1995 di Lembang, Jawa Barat. Peserta yang hadir semakin banyak, datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Tanggal 22 Juli 1996, salah satu partai politik di Indonesia yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD), mencatatkan diri sebagai partai pertama di Indonesia yang mengakomodasi hak-hak kaum homoseksual dan transeksual dalam manifestonya.

Bulan November 1997, KLGI III diselenggarakan di Denpasar, Bali. Inilah kali pertama para wartawan diperbolehkan meliput kongres di luar sidang-sidang. Salah satu hasil kongres sehingga untuk sementara akan diadakan rapat kerja nasional sebagai gantinya.


(42)

4). Tahun 1999-sekarang

Bulan Juni tahun 1999 untuk pertama kali Gay Pride dirayakan secara terbuka di kota Surabaya. Acara tersebut merupakan kerja sama antara GN dan Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS). Pada tahun ini juga rakernas JLGI yang rencananya akan diselenggarakan di kota Solo, batal dilaksanakan karena mendapat ancaman dari Front Pembela Islam Surakarta (FPIS).

Tanggal 7 November 1999, pasangan gay Dr. Mamoto Gultom (41) dan Hendy M. Sahertian (30) melakukan pertunangan dan dilanjutkan dengan mendirikan Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN). Yayasan ini bergerak dalam bidang pencegahan dan penyuluhan tentang penyakit HIV/AIDS di kalangan komunitas gay di Indonesia.

November tahun 2000, Gerakan Anti Maksiat (GAM) membubarkan acara Kerlap-Kerlip Warna Kkedaton yang diadakan oleh komunitas LGBT di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Kedua belah pihak mempunyai argumentasi masing-masing tentang keributan yang terjadi. Komunitas LGBT menyatakan acara itu bersifat penyuluhan tentang HIV/AIDS. Namun, GAM mengatakan kegiatan tersebut mempunyai tujuan maksiat yang dikemas acara berselubung dalam model penyuluhan.

Tanggal 6 September 2003 berlangsung pernikahan gay antara warga negara Belanda bernama Johanes dan warga Indonesia Philip Iswardonodi Planet Pyramid, Parangtritis, Yogyakarta. Walaupun sekadar pesta karena pernikahan


(43)

secara hukum dilakukan di Belanda, acara ini menjadi salah satu titik waktu yang penting bagi komunitas LGBT untuk semakin terbuka kepada masyarakat.

Pada tahun 2004 digelar pemilihan Miss Waria Indonesia untuk pertama kali. Pada tahun yang sama sebuah jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang (edisi 25/Th XI) memaut tulisan yang cukup kontroversial tentang pernikahan sesama jenis. Jurnal tersebut kemudian dibuat menjadi buku dengan judul Indahnya Kawan Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual dan diterbitkan oleh eLSA pada tahun 2005. Isi buku tersebut memuat banyak langkah, gerakan, dan strategi agar pernikahan sesama jenis di Indonesia dapat menjadi legal serta sah di mata Hukum.

Pemenang kontes Miss Waria pada periode-periode selanjutnya dikirim untuk mewakili acara yang hampir sama di tingkat internasional. Walaupun mendapat tentangan dari beberapa pihak, sampai saat ini acara tersebut masih berjalan.

Tanggal 15 Januari 2006 didirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk membela hak asasi kaum LGBT di Indonesia dengan nama Arus Pelangi. Organisasi masyarakat ini termasuk salah satu yang sangat aktif membela hak-hak komunitas LGBT.

Sekarang banyak ditemukan situs serta forum komunitas LGBT dari Indonesia di internet yang membawa misi dan visi masing-masing pemiliknya


(44)

(entah itu organisasi atau perorangan). Intinya, mereka mewakili keberadaan komunitas LGBT di Indonesia.11

d. Kategori Homoseksual

Homoseksual adalah salah satu bentuk perilaku seks yang menyimpang, ditandai dengan rasa tertarik secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional dan atau secara erotik) terhadap jenis kelamin yang sama, dengan atau tanpa hubungan seks dengan mulut (oral seks) atau dubur (sodomi, anal seks). Lawan dari homoseksualitas adalah heteroseksual (lelaki dengan perempuan). Para ahli membagi tingkatan ketertarikan jenis kelamin ini dalam lima tingkatan, yaitu :

1). heteroseksual murni (100%);

2). terdapat ketertarikan baik heteroseksual maupun homoseksual, namun heteroseksual lebih menonjol daripada homoseksualnya (misalnya 75% heteroseksual, 25% homoseksual);

3). ketertarikan terhadap heteroseksual dan homoseksual lebih kurang sama (50%-50%);

4). ketertarikan terhadap homoseksual lebih menonjol daripada heteroseksual (75% homoseksual, 25% heteroseksual);

5). homoseksual murni (100%).12

11 Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), hlm.


(45)

e. Istilah-Istilah Dalam Komunitas LGBT

Sebelum membahas lebih jauh tentang hasil penelitian yang di dapat dari narasumber komunitas gay, ada beberapa istilah-istilah yang perlu diketahui untuk membedakan maksud kata-kata yang ada dalam komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Meskipun yang menjadi fokus peneliti adalah komunitas gay, namun perlu kiranya ada penjabaran karena tidak jarang ada istilah-istilah yang salah di terima oleh masyarakat umum tentang dunia LGBT, karena terkadang masyarakat umum memaknai istilah yang dianggap sama namun sebenarnya maknanya berbeda. Peneliti menambahkan penjelasan tentang istilah dalam dunia LGBT dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan dan mengklasifikasikan hal-hal yang berkaitan dengan LGBT. Berikut adalah penjelasannya:

1). Gay Dan Lesbian

Pada mulanya, kata “gay” digunakan untuk menunjukkan arti “bahagia

atau senang”. Namun, di negara Inggris kata ini juga mempunyai makna “homoseksual” (sekitar tahun 1800). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah gay lebih banyak digunakan untuk mengacu pada makna “homoseksual”.

Sekarang istilah gay lebih spesifik digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang mempunyai SSA, kemudian menjadikannya sebagai identitas diri dalam kehidupan sosial. Jadi, istilah ini bukan semata-mata menunjukkan rasa

12 Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi Pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas


(46)

ketertarikan seks sesama jenis, namun juga pencitraan dan penerimaan secara keseluruhan tentang kehidupan dirinya sebagai seseorang yang mempunyai orientasi seks sesama jenis. Istilah ini menjadi sebuah pilihan identitas seksual dalam kehidupan sosial seperti heteroseksual dan biseksual.

Kesimpulannya, apabila ada seseorang yang mempunyai SSA namun tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai gay, maka kita tidak dapat menyebut dia sebagai seorang gay. sebaliknya, seorang gay sudah pasti mempunyai SSA.

Kata “gay” sebenarnya berlaku untuk semua jenis kelamin, laki-laki dan wanita. Akan tetapi, akhir-akhir ini wanita yang mengidentifikasi dirinya sebagai

gay lebih menyukai istilah “lesbian”. Dengan kata lain, lesbian adalah gay

berjenis kelamin wanita.

Berikut contoh penggunaan istilah tersebut agar pembaca lebih jelas. Jika anda tertarik secara seksual kepada sesama jenis, anda belum dapat dikatakan sebagai gay sampai dapat menerima orientasi seksual tersebut dengan senang hati tanpa perlawanan sedikit pun atau tidak ada kegundahan ingin menjadi heteroseksual. Entah ini diberitahukan secara luas kepada orang lain atau hanya dipendam dalam diri sendiri. Jika masih ada penolakan terhadap SSA yang Anda miliki, Anda tidak dapat disebut gay. salah satu seorang gay sejati di Indonesia adalah Bapak Dede Oetomo yang aktif di organisasi Gaya Nusantara.


(47)

Istilah biseks atau biseksual digunakan kepada orang yang mempunyai bisexual orientation, yaitu ketertarikan seks kepada sesama jenis dan lain jenis secara bersamaan. Biseksual juga mewakili identitas seksual dalam kehidupan masyarakat selain heteroseksual dan gay.

3). Transeksual Dan Transgender

Sepintas pemakaian kedua istilah ini hampir sama, namun ternyata berbeda. Pemakaian kedua istilah inisering tumpang tindih, bahkan oleh para individu yang terlibat langsung dengannya.

Transeksual mengacu kepada orang yang ingin mengubah kebiasaan hidup dan orientasi seksnya secara biologis, berlawanan dengan yang dimilikinya sejak lahir.

Misalnya seseorang yang terlahir sebagai laki-laki, kemudian memutuskan untuk menjadi wanita (secara biologis, kebiasaan, identitas diri, dan sebagainya), maka dia disebut transeksual. Orang tersebut sudah mengganti organ-organ vital yang berkenan dengan seks menjadi lawan sejenisnya, berpenampilan wanita, bertingkah laku wanita, dan mengganti identitas dirinya secara resmi sebagai orang berjenis kelamin wanita. Bunda Dorce Gamalama adalah salah satu contoh nyata transeksual.

Transgender adalah istilah untuk menunjukkan keinginan tampil berlawanan dengan jenis kelamin yang dimiliki. Seorang transgender bisa saja mempunyai identitas sosial heteroseksual, biseksual, gay, atau bahkan aseksual.


(48)

Kaum transgender tidak mempermasalahkan jenis kelamin yang dimiliki dan tidak mau mengubah alat kelamin lewat operasi. Jadi, seseorang yang berjenis kelamin laki-laki, mempunyai orientasi heteroseksual, tetapi ingin selalu berdandan atau tampil sebagai wanita, maka dia dapatkita sebut sebagai seorang transgender.13

C. Kerangka Teoretik

Max Weber menyatakan pembedaan antara dasar-dasar ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis di baginya lagi dalam kelas yang bersandarkan atas pemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakannya stand.14

Di antara lapisan atasan dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan atasan tidak hanya memilikisatu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi, kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut.

1. Ukuran kekayaan

13 Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), hlm. 5-9. 14 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm.


(49)

Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.

2. Ukuran kekuasaan

Barangsiapa yang memiliki kekuasaan yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atasan.

3. Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

4. Ukuran ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah


(50)

tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.15

Aspek penting analisis ini ialah bahwa Weber menolak mereduksi stratifikasi menjadi faktor-faktor ekonomi (atau kelas, di dalam terminologi Weber) namun melihatnya bersifat multidimensional. Oleh karena itu, masyarakat distratifikasi berdasarkan ekonomi, status, dan kekuasaan. Implikasi yang dihasilkan ialah bahwa orang dapat menempati jenjang yang tinggi pada satu atau dua dimensi stratifikasi tersebut dan berada di jenjang yang rendah pada satu dimensi lainnya (atau beberapa dimensi lainnya). hal itu memungkinkan analisis yang jauh lebih canggih atas stratiufikasi sosial daripada yang dimungkinkan oleh stratifikasi yang direduksi (seperti yang dilakukan oleh beberapa Marxis). Hanya kepada berbagai variasi di dalam situasi ekonomi seseorang.16

Memulai dengan kelas, Weber setia kepada orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa suatu kelas bukanlah suatu komunitas. Lebih tepatnya, suatu kelas adalah sekelompok orang, yang mungkin dan terkadang kerap, bertindak berdasarkan situasi yang dialami bersama. Weber berpendapat bahwa suatu

“situasi kelas” ada ketika terpenuhi tiga kondisi. Pertama, sejumlah orang mempunyai komponen penyebab spesifik yang sama untuk peluang-peluang kehidupan mereka. Kedua, komponen itu digambarkan secara eksklusif oleh kepentingan-kepentingan ekonomi untuk pemilikan barang-barang dan peluang-peluang untuk penghasilan. Ketiga, digambarkan dibawah kondisi-kondisi

15 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm.

207-208.

16 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,


(51)

komoditas atau pasar-pasar tenaga kerja. Konsep “kelas” mengacu pada setiap kelompok orang yang ditemukan di dalam situasi kelas yang sama. Oleh karena itu, suatu kelas bukan suatu komunitas tetapi hanyalah sekelompok orang di dalam situasi ekonomi, atau pasar yang sama.17

Berbeda dengan kelas, status benar-benar secara normal mengacu kepada komunitas; kelompok-kelompok status adalah komunitas-komunitas keseharian, meskipun agak tidak terbentuk. “situasi status” didefinisikan oleh Weber sebagai

“setiap komponen khas kehidupan manusia yang ditentukan oleh penaksiran

sosial yang spesifik, positif atau negatif, atas kehormatan”. Sebagaimana lazimnya,

status dikaitkan dengan suatu gaya hidup. (status terkait dengan konsumsi barang-barang yang dihasilakn, sementara kelas terkait dengan produksi ekonomi). Orang-orang yang berada di puncak hierarki status mempunyai gaya hidup yang berbeda dibanding orang-orang yang berada di bawah. Di dalam kasus ini, gaya hidup, atau status ,dihubungkan dengan situasi kelas. Akan tetapi, kelas dan status

tidak berhubngan satu sama lain: “Uang dan posisi pengusaha itusendiri bukan

kualifikasi status, meskipun hal itu dapat menghasilkannya; dan kurangnya harta itu sendiri bukan diskualifikasi status, meskipun hal itu mungkin menjadi suatu alasan baginya.

Weber secara tegas dalam analisisnya tentang pernyataan Karl Marx tentang kelas sosial bahwa di dalam kelas itu sering terjadi konflik dan bahkan sedikit sekali kelompok kelas itu mendapatkan status kehormatan dari kelompok

17 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,


(52)

lain, karena dipengaruhi oleh adanya sistem ekonomi yang bersifat kompetetif (persaingan kelas) dan sedikit banyak semua kelas ini pasti terlibat dalam perjuangan kelas sosial antara satu dengan yang lain dan satu perjuangan yang melampaui batas-batas ekonomi akhirnya masuk kedalam sistem politik dengan kepentingan individu.18

Ada kaitannya antara kelas dan status karena anggota-anggota suatu kelompok status yang sama kerapkali adalah juga anggota kelas-kelas yang sama kedudukannya, tetapi kedudukan kelas yang sama tidak memberikan peluang guna mendapatkan status yang sama, tidak dengan sendirinya memberi prestise (kehormatan) malah bisa saja menjadi anggota satu kelompok status yang sama. Ciri penting suatu kelompok status adalah bahwa anggota-anggotanya mempunyai persamaan cara hidup tertentu yang jauh berbeda dari cara hidup kelompok-kelompok status yang lain.

Dalam kaitannya antara ekonomi dan stratifikasi Weber berpendapat bahwa pasar berikut prosesnya tidak mengenal pembedaan personal, kepentingan-kepentingan fungsional mendominasinya, ia sama sekali tidak mengenal kehormatan, tatanan status justru sebaliknya, jika perolehan ekonomi semata dan kekuasaan ekonomi belaka yang masih membawa stigma asal-usul ekstra statusnya bisa saja diberikan kepada siapa saja yang meraih kehormatan yang sama dengan mereka yang berkepentingan dengan status berkat gaya hidup yang mereka klaim, tatanan status akan terancam keakar-akarnya, hal demikian akan semakin terasa ketika dengan adanya kesetaraan kehormatan status.


(53)

Dalam pandangan tatanan ekonomi, masyarakat terbentuk oleh adanya pasar yang menyediakan barang-barang sehingga dikuasai oleh kelas sosial berdasarkan kekayaannya, oleh karena itu kelas-kelas sosial di stratifikasikan menurut hubungan mereka dengan produksi dan perolehan barang, sedangkan kelompok-kelompok status distratifikasi menurut prinsip-prinsip konsumsi mereka seperti direpresentasikan oleh gaya hidup khusus. Adalah komunitas-komunitas status yang paling terpisah secara ketat sehubungan dengan kehormatan menunjukkan bahwa meski dalam batas yang tegas, ketidak pedulian yang relatif tinggi derajatnya pada kekayaannya. Pada waktunya akan menuju sebuah pertumbuhan struktur status memunculkan suatu penyadaran tentang peran penting kehormatan sosial di lingkungan masyarakat. 19

Ada sekumpulan hubungan yang rumit di antara kelas dan status, dan itu diperumit lagi ketika menambahkan dimensi partai. Sementara kelas ada di dalam tatanan ekonomi dan kelompok-kelompok status di dalam tatanan sosial, partai-partai dapat ditemukan di dalam tatanan politis. Bagi Weber, partai-partai-partai-partai selalu merupakan struktur-struktur yang berjuang untuk mendapatkan dominasi. Oleh karena itu, partai-partai unsur-unsur yang paling terorganisir dari sistem stratifikasi Weber. Weber memikirkan partai-partai sangat luas tidak hanya mencakup partai-partai yang ada di dalam negara, tetapi juga yang mungkin ada di dalam suatu klub sosial. Partai-partai biasanya, tidak selalu, menggambarkan


(54)

kelas atau kelompok status. Apapun yang mereka gambarkan, partai-partai di orientasikan kepada pencapaian kekuasaan.20

Sementara Weber tetap dekat dengan pendekatan tindakannya di dalam ide-idenya mengenai stratifikasi sosial, ide-ide itu sudah menunjukkan suatu pergerakan di dalam arah komunitas-komunitas dan struktur-struktur tingkat makro. Di dalam sebagian besar karyanya, Weber berfokus pada unit-unit analisis berskala besar tersebut. Weber tidak kehilangan pandangan terhadap tindakan; sang aktor hanya bergeser dari sebagai fokus perhatiannya terutama menjadi suatu variabel dependen yang ditentukan oleh varietas kekuatan-kekuatan berskala besar. Contohnya, seperti yang akan kita lihat, Weber percaya bahwa para Calvanis individual di dorong oleh norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan agamanya untuk bertindak dalam berbagai cara, tetapi fokusnya bukan pada individu, tetapi kepada kekuatan-kekuatan kolektif yang mendorong sang aktor.

Pitirim A. Sorikin menyebutkan bahwa lapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagaian hak-hak dan kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab, nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan-lapisan dalam masyarakat ini Alex Inkeles berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut

20 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,


(55)

tetap ada, sekalipun dalam masyarakat yang kapitalis, demkratis, komunistis, dan lain sebagainya. Lapisan-lapisan masyarakat mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang taraf kehidupannya bersama di dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang taraf kebudayaan masih sederhana, lapisan-lapisan masyarakat mula-mula di dasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dengan yang dipimpin, golongan buangan/budak dan bukan buangan/budak, pembagian kerja dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam suatu masyarakat.

Pada masyarakat-masyarakat yang kecil serta sederhana, biasanya pembedaan kedudukan dan peranan bersifat minim, karena warganya sedikit dan orang-orang yang dianggap tinggi kedudukannya juga tidak banyak macam serta jumlahnya. Di dalam masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks, pembedaan kedudukan dan peranan juga bersifat kompleks karena banyaknya orang dan aneka warnanya ukuran dapat diterapkan terhadapnya.

Sistem lapisan sosial ini sudah lama dikenal sejak dahulu kala, waktu zaman kuno pun Aristoteles telah mengatakan bahwa dalam setiap negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya.


(56)

Selama di dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai olehnya, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai dalam suatu masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, atau berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama, dapat juga berupa keturunan dari keluarga yang terhormat seperti India misalnya, masyarakat dibagi ke dalam empat kasta, yaitu Brahmana, yang paling tinggi, Ksatria, Waisya, dan Sudra (rakyat jelata), sedang mereka yang tidak berkasta adalah golongan Paria.21

Dengan demikian barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap oleh masyarakat berkedudukan pada lapisan atas, mereka yang hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Di antara lapisan yang atas dan yang rendah tersebut ada lapisan-lapisan dalam masyarakat bersangkutan. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat, tetapi kedudukannya yang tinggi tersebut bersifat kumulatif, yaitu mereka yang memiliki uang banyak misalnya, akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan, dan mungkin juga kehormatan, sedang mereka yang mempunyai kekuasaan besar mudah menjadi kaya dan mengusahakan ilmu pengetahuan.


(57)

Adanya sistem berlapis-lapis pada suatu masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat tersebut, tetapi ada juga yang terjadi dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang terakhir ini biasanya dilakukan terhadap organisasi-organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, atau perkumpulan-perkumpulan masyarakat. Kekuasaan dan wewenang merupakan unsur yang khusus dalam pelapisan masyarakat, unsur yang mempunyai sifat lain di samping uang, tanah, benda-benda ekonomis, ilmu pengetahuan atau kehormatan. Uang tanah dan sebagainya dapat terbagi secara bebas di antara para anggota suatu masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat bersangkutan. Akan tetapi apabila suatu masyarakat hendak hidup dengan teratur maka kekuasaan dan wewenang yang ada padanya harus dibagi-bagi dengan teratur pula sehinghga jelas bagi setiap orang di tempat-tempatterletaknya kekuasaan dan wewenang dalam suatu organisasi vertikal dan horzontal. Apabila kekuasaan dan wewenang itu tidak dibagi-bagi secara teratur, maka kemungkinan besar akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat membayakan keutuhan masyarakat. Dengan demikian dapatlah disebutkan bahwa sistem lapisan sosial merupakan gejala umum yang dapat ditemukan pada setiap masyarakat.22

Konsep-Konsep Stratifikasi Sosial

1. Penggolongan


(58)

Penggolongan disini harus dilihat sebagai suatu proses dan sebagai hasil dari proses kegiatan itu. Sebagai proses berarti setiap orang (individu) menggolongkan dirinya sebagai orang yang termasuk dalam suatu lapisan tertentu atau menganggap dirinya berada pada lapisan atas, karena merasa mempunyai sesuatu yang banyak, entah itu kekayaan, entah itu kekuasaan, atau kehormatan, ataupun ilmu pengetahuan, atau pula menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain karena merasa bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu yang berharga misalnya seperti yang disebut diatas. Oleh sebab itu stratifikasi sosial harus dilihat sebagai proses menempatkan diri dalam suatu lapisan tertentu.

2. Sistem Sosial

Sistem sosial dalam hubungannya dengan sistem stratifikasi haru dilihat sebagai sesuatu yang membatasi dimana penggolongan itu berlaku. Dalam keluarga, sang suami secara objektif maupun secara subjektif digolongkan atau menggolongkan dirinya sebagai yang lebih tinggi dari pada istri dan anak-anak. Tetapi dalam kampung sebagai kesatuan sistem yang lebih luas, sang suami bisa saja lebih rendah dari yang lain.

3. Lapisan Hierarkis

Kata hierarkis berarti lapisan yang lebih tinggi itu lebih bernilai atau lebih besar dari pada yang dibawahnya. Dalam studi sosiologi ada beberapa istilah yang sudah baku yang menggambarkan perbedaan lapisan ini yakni :


(59)

b. Lapisan menengah (Middle)

c. Lapisan bawah (Lower)

4. Kekuasaan

Menurut Max Weber kekuasaan adalah kesempatan yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu.

Kesempatan merupakan suatu konsep yang sangat inti dalam sosiologi. Definisi diatas, kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi, dengan kehormatan, partai politik atau apa saja yang merupakan sumber kekuasaan bagi seseorang.

Seorang gubernur contohnya, beliau memiliki kesempatan untuk melaksanakan kemauannya pada orang lain. Kesempatan yang ada pada seorang Gubernur jauh lebih besar dari pada yang dimiliki oleh seorang lurah misalnya. Kesempatan yang dimiliki oleh seorang Gubernur dapat kita lihat antara lain bahwa beliau adalah orang yang dihormati dalm masyarakat, disegani, punya uang yang lebih banyak dari pada petani di desa.

Kalaupun seseorang itu memiliki kesempatan untuk melaksanakan kemauan pada orang lain, maka itu tidak berarti bahwa orang lain tidak memberikan perlawanan terhadapnya.


(60)

Seseorang yang ingin dikuasai tidak selamanya tunduk begitu saja. kalau kemauan orang yang menguasai itu tidak sesuai dengan penilaiannya, maka dia akan memberi perlawanan atau tantangan juga. Perlawanan atau tantangan itupun merupakan cerminan kekuasaan yang ada pada seseorang. Kekuasaan merupakan gejala sosial yang biasa. Dan kekuasaan itu tampak dalam setiap hubungan atau interkasi sosial. Begitu kita mulai berinteraksi dengan orang lain, maka gejala kekuasaan dapat kita lihat.

Ada beberapa tokoh sosiologi modern, antara lain : Marvin E. Olsen, Robert Biesterd, Robert Dubin, Rralf Dahrendorf dan Amitai Etzioni. Mereke mulai mengembangkan dan membahas kekuasaan itu dalam satu bentuk yang lebih khusus lagi.

Amitai Etzioni, beliau adalah seorang sosiolog modern yang banyak mengetahui masalah organisasi, mengemukakan definisi kekuasaan demikian:

“kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi sebagian atau semua perlawanan, untuk mengadakan perubahan-perubahan pada pihak yang memberi oposisi.”

Pada definisi ini Amitai Etzioni lebih mempersempit arti kekuasaan. Menurut beliau kalau ada perlawanan, maka orang yang berkuasa itu berusaha untuk mematahkan perlawanan tersebut dan mengadakan perubahan pada kemauan pihak lawan.

Menurut Max Weber, kekuasaan itu nampaknya lebih netral. Tetapi kalau memperhatikan definisi Amitai Etzioni, nampaknya kekuasaan itu memperlihatkan hubungan yang agaknya lebih negatif dan kurang diingini karena


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa :

1. Bahwa memang benar jika dalam komunitas gay terdapat stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial di komunitas gay ada beberapa macam. Seperti dari segi tipe / peran gay terdapat istilah Top dan Bottom. top adalah istilah yang di gunakan untuk menyebut gay yang berperan sebagai laki-laki dan bottom untuk menyebut gay yang berperan perempuan. Memang itu hanya sebagai pembeda dalam komunitas gay dalam menjalin hubungan. Tetapi perlu diketahui bahwa gay tipe top lebih dominan dan menguasai dari pada gay tipe bottom. komunitas gay lebih mengutamakan yang berperan laki-laki mengingat gay pada hakikat dasarnya memang menyukai laki-laki.

Selanjutnya adalah dari segi sifat ada beberapa tingkatan, yang pertama manly, berarti gay yang bersifat gagah perkasa, yang kedua adalah yang biasa-biasa saja dan yang ketiga adalah gay kecimpringan yang lebih diartikan ngondek, gemulai seperti perempuan. Dan yang paling diminati adalah gay yang bersifat manly, karena manly adalah hal yang tidak terpisahkan dari laki-laki.

Yang terakhir adalah berdasarkan kelas, ada gay kelas atas, yang mempunyai ciri lebih tertutup, lebih pilih-pilih dalam bergaul sesama komunitas gay dan biasanya sangat memperhatikan fisiknya. Yang kedua, gay kelas menengah, mempunyai


(2)

terlalu kelihatan kalau dia gay, dan cenderung masih terkontrol. Yang terakhir gay kelas bawah yang cenderung kecimpring, nekat dan terbuka dalam hal orientasi seksualnya.

2. Gaya hidup komunitas gay berbeda-beda tergantung dari strata/kelas atau latar belakangnya. gay kelas atas mempunyai gaya hidup yang cenderung disiplin seperti rajin angkat beban, merawat wajah. Gaya hidup mereka yang lain adalah ketika mereka berkumpul biasanya di cafe yang terkenal di pusat perbelanjaan. Yang kedua menengah, gaya hidupnya hampir sama dengan kelas atas namun mereka lebih fleksibel ketika berkumpul dengan temannya. Gay kelas bawah lebih nekat, terbuka dan tidak terkontrol. Seperti melakukan oral sex di di semak-semak sekitar pattaya yang di pinggir sungai.

Faktor ekonomi juga mempengaruhi dalam pembentukan stratifikasi sosial, karena dengan uang, kaum gay dapat merawat dan memperindah fisik mereka sehingga mereka bisa menjadi gay kelas.

B. Saran

Dari data penelitian terhadap stratifikasi sosial dalam komunitas gay di Kelurahan gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya, maka saran yang sebaiknya diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi komunitas gay di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya. Peneliti menyarankan untuk tidak terlalu terbuka berlebihan atas orientasi seksual yang anda miliki. Pada dasarnya semua masyarakat mempunyai hak yang sama


(3)

125

dalam berbangsa dan bernegara, namun tetap harus menghormati norma-norma yang berlaku di Indonesia.

2. Bagi pemerintah, tetap harus memantau komunitas gay dimanapun mereka berada. Meskipun mereka memiliki penyimpangan, mereka juga berhak untuk dilindugi dalam hal berbangsa dan bernegara agar mereka tidak mengalami diskriminasi. Mengingat mayoritas masyarakat indonesia menolak LGBT.

3. Bagi tokoh agama, terutama para ulama setelah melihat fenomena ini diharapkan mampu memberikan bimbingan dan teguran terhadap komunitas gay, agar dapat mengarahkan komunitas gay ke arah yang lebih baik lagi bahkan individu yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatannya. Namun dalam proses bimbingan atau peneguran diharapkan pihak tokoh agama tetap memperhatikan hak-hak komunitas gay, agar saat proses membimbing diharapkan dapat berjalan dengan damai dan tentram diantara kedua belah pihak. Bimbingan dan teguran harus lebih sering dilaksanakan, mengingat bahwa dalam agama apapun perbuatan menyukai sesama jenis sangat dilarang oleh agama.

4. Untuk peneliti lainnya, dapat dijadikan rujukan maupun kajian lanjutan yang berkaitan dengan permasalahan yang sama sehingga dapat menyempurnakan hasil penelitian yang sudah peneliti lakukan tentang stratifikasi sosial dalam komunitas gay.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir, Hatib. Tangan-Tangan Kuasa Dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTS, 2007.

Ameenah Philips, Abu. Islam dan Homoseksual. Jakarta: Zahra, 2003.

Atmojo, Kemala. Kami Bukan Lelaki. Jakarta: Pustaka Utama. 1986.

Davis, Kingsley. Human Society. New York: The Macmillan Company, 1960.

F, Thomas. Sosiologi Agama. Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Fianto, farinia. “Muslim Homosexuals In The Netherland”. Jurnal Studi Agama

dan Masyarakat 2, no. 1 (2005): 1-21

Husaini Adian. LGBT Di Indonesia. Jakarta: INSISTS, 2015.

Hawari, Dadang. Pendekatan Psikoreligi Pada Homoseksual. Jakarta: FKUI, 2009.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.

Musthafa, Nurul. Pola Interaksi Kelompok Gay di Tengah Masyarakat di Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.Surabaya: IAIN Sunan Ampel. 2012.

N.R, Carlson. Physiology Of Behavior Fifth Edition. Boston: Allyn and Bacon, 1994.


(5)

127

Nasrullah, Rulli. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta: kencana, 2012.

Oetomo, Dede. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta: GalangPress. 2001.

Oktadinata. Religiusitas Kaum Homoseks (Studi Kasus Tentang Dinamika Psikologis Keberagamaan Gay Muslim Di Yogyakarta). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

R.M, Ary. Gay: Dunia Ganjil Kaum Homofil. Jakarta: Pustaka Utama. 1987.

R.S, Feldmen. Understanding Psychology. New York: Mc Graw-Hill Publishing Company, 1990.

Ritzer, George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Rosihan. Perilaku Homoseksual Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016.

Sinyo. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014.

Setiadi, Rianti. Bukan Pilihanku (Jeritan Hati Kaum LGBT). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

Soebagio, Rita. “Homoseksual (LGBT) Dan Problem Psikologi Sekuler”. Jurnal Pemikiran Dan Peradaban Islam 10, no. 1 (2016): 9-21

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.


(6)

Soemardjan, Selo. Social Changes in Yogyakarta. New York: Coernel University Press. 1962.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alfabeta. 2011.

Suyanto, Bagong. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011.

Toneko, Soleman B. Struktur Dan Proses Sosial; Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali. 1984.

Weber, Max. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. .

Worsley, Peter. Pengantar Sosiologi Sebuah Pembanding. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1992.

Wulandari, Dewi. Sosiologi Konsep Dan Teori. Bandung: Refika Aditama. 2009.

Yulius, Hendri. Coming Out. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.