SALAT JAMA‘AH DALAM KITAB NAẒAM SAFINATU AL NAJAH KARYA SYEKH HASAN GENGGONG PROBOLINGGO.

(1)

SALAT JAMA‘AH DALAM KITAB NAAM SAFINATU Al-NAJAH

KARYA SYEKH HASAN GENGGONG PROBOLINGGO SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh

Moh Hasan Afini Maulana NIM: A8.22.12.150

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

tjama‘ahdalam kitab Naẓam Safinatu Al-Najah? 3) Bagaimana fungsi perubahan natsar menjadi Naẓam?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan pendekatan kebudayaan sebagai system kognitif yaitu kebudayaan dianggap sebagai “sesuatu” yang standar untuk menentukan sesuatu, menentukan apa yang dapat diperbuat, apa pendapat tentang itu, dan apa yang dapat diperbuat terhadapnya. Adapun langkah-langkah dalam penelitian adalah survey, deskripsi naskah, dan analisa.

Adapun hasil penelitian menyimpulkan bahwa: Pertama, Syekh Hasan adalah pengarang dari manuskrip tersebut dan pengasuh dari pada Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Kedua, Teks daripada Salat Jamaah Dalam Kitab Nazam Safinatu Al-Najah memiliki 49 bait dari jumlah bait keseluruhan sebanyak 233 bait kecuali 2 bait terakhir dalam 20 halaman.Ketiga, Fungsi kitab menjadi Nazam Safinatu al-Najah untuk memudahkan pembaca dalam belajar dan memahami isi dari kitab tersebut.


(6)

the biography of Mr. HasanGenggong is? 2) How about the text of praying together in the book of NaẓamSafinatu Al-Najahis?3) How is the function of book being a

naẓam?

To answer the formulation problem, the writer use the science of the culture as cognitive system that is a culture regarded as “something” standard to determine something, to determine what to do, what is the opinion about it, and what to do about it?. The steps in the research are survey, description of manuscript, and analysis.

Therefore the result of research, the writer concluded that: first, Mr. Hasan is a writer of that manuscript and the leader of Islamic boarding school of zainulhasangenggong. Second, the text of Praying Together in the book of NaẓamSafinatu Al-Najah has 49 verses of all verses in that book around 233 verses except 2 last verses in 20 pages. Third, the function is to facilitate the reader in studying the contents of that book.


(7)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TABEL TRANSLITERASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ...viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian... 11

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 12

F. Penelitian Terdahulu ... 15

G. Metode Penelitian... 17

H. Sistematika Bahasan... 21

BAB II BIOGRAFI SYEKH HASAN GENGGONG ... 23

A. Profil Syekh Hasan Genggong ... 23


(8)

C. Profil Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong ... 32

1. Keadaan Umum Pesantren ... 32

2. Kepemimpinan Dan Kepengurusan ... 40

3. Azaz Dan Aqidah ... 42

4. Satlogi Santri ... 43

5. Sembilan Budi Utama Santri ... 47

D. Karya-Karya Besar Syekh Hasan Genggong ... 47

BAB III SALAT JAMA‘AH DALAM KITAB NAAM SAFINATU AL-NAJAH KARYA SYEKH HASAN GENGGONG ... 49

A. Manuskrip Salat Jama‘ah ... 49

1. Salat Jama‘ah dalam Naẓam ... 49

2. Salat Jama‘ah dalam Matan ... 56

B. Salinan/Alih Tulisan ... 61

C. Terjemahan ... 67

BAB IV FUNGSI KITAB MENJADI NAẒAM ... 73

A. Pengertian Naẓam ... 73

B. Unsur-unsur Naẓam ... 77

C. Isi Kitab ... 93

BAB V PENUTUP ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masuknya Islam ke Indonesia ini terlihat jelas dengan pola adaptasinya melalui media seni sebagai alat efektif dalam penyampaian dakwah Islam. Kemudian muncul istilah kejawen yang banyak versi mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (walisongo) ke tanah jawa dalam menyebarkan agama Islam.1

Dalam penyebaran agama Islam ini menggunakan media seni yang menjadi jurus jitu untuk mendekatkan masyarakat kepada Islam. Hal ini bisa kita lihat dengan dakwah yang dimulai dari pertunjukan wayang kulit oleh Wali Songo.2

Nampak sekali disini bahwa pada umumnya masyarakat Jawa memiliki sikap dan karakter yang terbuka. Meski animisme dan dinamisme telah mengakar kuat sepanjang peradaban Nusantara, namun hal itu tidak membuat masyarakat Jawa enggan terhadap datangnya keyakinan baru (Islam). Poin penting ini menjadi peluang besar bagi penyebar agama Islam untuk menyebarluaskan Islam keseluruh penduduk Indonesia dengan berbagai cara.

1

Petir Abimanyu, Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: PALAPA, 2014), 121.

22


(10)

Media dakwah yang dilakukan sebagai salah satu islamisasi ini sangat kental dengan suatu pendekatan akulturasi budaya. Melihat peran para Walisongo yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran Islam seperti yang dilakukan sunan kalijaga. ketika itu para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukkan unsur budaya dan tradisi jawa agar mudah diterima serta dipahami masyarakat kala itu.3 Unsur-unsur dalam Islam yang berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa seperti: Wayang kulit dengan lagu-lagu jawa, Ular-ular (petuah-petuah filsafat), Cerita-cerita kuno dan lain sebagainya.

Seiring berkembang pesatnya penyebaran Islam dengan berbagai cara yang ditempuh khususnya dalam akulturasi budaya yang ditempuh oleh para walisongo dan para cendekiawan muslim lainnya perlu diapresiasi. Sebab jika bukan para cendekiawan tersebut tidak akan ada akulturasi budaya dalam ranah kebudayaan Indonesia.

Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau yang sampai kepada kita sebagai warisan kebudayaan para leluhur antara lain terdapat didalam berbagai cerita rakyat yang masih diturunkan dari mulut ke mulut yang kini telah banyak direkam di dalam berbagai tulisan. Cerita-cerita rakyat tersebut bukanlah asal Cerita-cerita sastra saja, tetapi khazanah sastra Nusantara di samping diwarnai oleh pengaruh agama Hindu, Budha,

3


(11)

dan Islam. Memperlihatkan juga adanya pengaruh sastra klasik India, Arab, dan Persi. 4

Disamping itu, ada pula warisan budaya yang lain berupa naskah yang bermacam-macam bentuk dan ragamnya, yang tersebar diseluruh indonesia dan yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah dan huruf sesuai dengan bahasanya masing-masing.5

Kebiasaan tulis menulis di kalangan masyarakat Indonesia telah berlangsung sejak kedatangan orang india yang membawa kebudayaan Hindu/Budha ke wilayah ini sekitar tahun 400 M. Hal ini di buktikan dengan adanya prasasti di Kutai, Kalimantan yang terserat pada batu.

Sebagai bangsa Indonesia kita wajib mensyukuri rahmat yang diberikan Allah berupa khazanah kebudayaan dengan beragam naskah atau manuskrip yang dijadikan proses akulturasi dari masa ke masa oleh para leluhur kita.

Tradisi penulisan berbagai dokumen dan informasi dalam bentuk manuskrip tampaknya pernah terjadi secara besar-besaran di Indonesia pada masa lalu, terutama jika dilihat dari melimpahnya jumlah naskah yang dijumpai sekarang, baik yang ditulis dalam bahasa asing seperti Arab dan Belanda, atau dalam bahasa-bahasa daerah seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Batak dan lain-lain. Hal tersebut tampaknya mudah dipahami, terutama jika dikaitkan dengan belum dikenalnya alat

4

Siti Bararah Baried et al, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF), 1994), 26.

5


(12)

pencetakan secara luas hingga abad ke-19, khususnya di wilayah Melayu-Nusantara.6

Di dalam suatu naskah atau manuskrip biasanya terdapat informasi dari pada manuskrip tersebut. Informasi yang berisi tentang pengarang, dan keterangan lain mengenai manuskrip tersebut. Dalam suatu naskah tidak selalu terdapat nama penulis, penyalin atau keterangan-keterangan lain. Jika informasi itu ada, antara lain dapat ditemukan, pada halaman judul, pada awal teks, atau pada akhir teks. Keterangan lain yang kita peroleh dapat terdiri atas tempat penulisan, tanggal dan tempat penulisan. Tanggal biasanya lengkap tetapi sering juga tidak. Kadang-kadang terdapat juga penyebutan nama orang yang meminta penulisan maupun penyalinan naskah tertentu. Ada juga yang mencantumkan nama pemilik naskah. Bagian yang member bermacam-macam informasi inilah yang disebut kolofon (dari bahasa Yunani, kolophon).7

Istilah naskah yang sering kita dengar bukan tidak meliliki arti, setiap nama sudah tentu memiliki arti. Istilah naskah ialah istilah

manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin codicesmanu scripti (artinya, buku-buku yang ditulis dengan tangan). Kata manu berasal dari manus yang berarti tangan dan

scriptus berasal dari scriber yang berarti menuslis. Di dalam kodikologi atau ilmu penaskahan juga di dalam ilmu filologi, kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang

6

Koes Adiwidjajanto et al, Filologi Dan Manuskrip Menelusuri Jejak Warisan Islam Nusantara

(Surabaya: LP2FA, 2008), v.

7


(13)

dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya.8

Naskah yang banyak ditemukan diberbagai tempat di Indonesia, tentulah sangat berangam, baik dari segi bentuk naskah maupun isi dari pada naskah tersebut termasuk bahasa-bahasa yang digunakan pada naskah tersebut. Bahasa yang memengaruhi bahasa-bahasa naskah Nusantara yaitu bahasa sanskerta, Tamil, Arab, Persi dan bahasa-bahasa daerah yang serumpun dengan bahasa naskah.9 Namun dari beberapa bahasa tersebut, hanya bahasa sanskerta dan Arab yang besar pengaruhnya terhadap bahasa naskah Nusantara.

Naskah kuno adalah sebuah warisan yang tidak bisa kita pungkiri bahwa di masa lampu benar-benar terjadi sebuah proses islamisasi melalui naskah-naskah tersebut. Namun naskah juga terdapat sebagai dokumen dari kejadian masa lampau yang membuktikan suatu peristiwa itu terjadi pada masanya. Oleh karenanya naskah harus kita simpan sebaik mungkin dan kita lestarikan.

Dalam pelestarian naskah yang dikenal sebagai preservasi yang merupakan pelestarian mencakup semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka dan arsip. Termasuk didalamnya kebijakan pengolaan, keuangan,

8

Ibid.,3.

9


(14)

sumber daya manusia, metode dan teknik penyimpanannya. Badan pustaka yang dimaksud, termasuk didalamnya manuskrip atau naskah kuno.10

Pelestarian budaya atau kesenian itulah yang digunakan sebagai sarana proses Islamisasi di Nusantara yang merupakan sebagian bukti kemampuan mereka dalam melestarikan budaya setempat. Dalam kesenian tersebut dapat berupa; seni bangunan, yaitu: bangunan masjid, seni ukir atau ragam hias, seni sastra, baik tulisan maupun lisan yang menjadi salah satu bentuk kesenian yang digunakan dalam proses Islamisasi.11

Namun jika kita menelusuri daerah mana saja yang memiliki data dan meninggalkan warisan budaya berupa naskah kepada kita, dapat kita lihat bahwa semua kawasan yang memiliki huruf daerah merupakan daerah sumber naskah. Disamping itu, ada daerah-daerah yang menulis bahasanya dengan huruf Arab (yang sudah disesuaikan dengan keperluan penulisan bahasa di daerah tertentu). Daerah-daerah ini juga merupakan daerah sumber naskah terutama pada masa lampau.12

Kekayaan Indonesia akan naskah yang ditulis dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa daerah, baik yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu maupun dalam Huruf daerah dan Latin. Sampai sekarang belum diketahui jumlahnya secara pasti. Mungkin juga, sampai kapan pun jumlah naskah di tanah air kita tidak akan dapat diketahui dengan pasti. Misalnya, disamping naskah-naskah yang disimpan di berbagai perpustakaan,

10Endang Purwaningsih, “Preservasi Dan Konservasi Cagar Budaya Berbahan Kertas (Naskah

Kuno)”, (Makalah, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Prov. Jatim UPT. Museum Negeri Mpu

Tantular, Sidoarjo, 2010), 1.

11

Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam (Jakarta:Al-Husna, 1989), 2.

12


(15)

museum, yayasan, dan universitas, masyarakat masih banyak memilikinya sebagai harta warisan nenek moyangyang sering tidak dapat kita jangkau untuk pendataan. Berbagai usaha telah dilaksanakan untuk mendaftar naskah-naskah Indonesia yang disimpan di bermacam-macam lembaga di Indonesia dan di berbagai negara dalam bentuk daftar maupun katalogus.13 Lebih-lebih lagi, dalam konteks Melayu-Nusantara, naskah-naskah yang dijumpai tersebut sangat kental nuansa keagamaannya, baik yang berkaitan dengan fiqh (jurisprudence), tafsir (exegesis), tauhid (theologi), dan terutama tasawuf (Islamic mysticism). Melimpahnya teks-teks keagamaan terutama dengan unsure tasawuf ini memang tidak terlalu mengherankan, terutama jika mengingat bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia indonesia dengan peradaban islam.14

Dari seluruh kira-kira 129 juta manusia yang ada sekarang ini dapat diperkirakan menduduki kepulauan Indonesia, lebih dari 75% masih hidup dalam daerah pedesaan. Di dalam lingkungan masyarakat pedesaan, aneka warna bentuk masyarakat dan kebudayaan di Indonesia sudah tentu akan tetap terpelihara, sehingga perbedaan-perbedaan antara kebudayaan dari berpuluh-puluh suku bangsa yang ada sekarang ini, tetap menyolok.15

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya akan berbagai kebudayaan selain kaya akan keragaman

13

Ibid., 13.

14

Nabila Lubis, Naskah, Teks, Dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat, 2007), 2.

15


(16)

suku dan rasa atau hasil bumi asli Indonesia. Semua itu adalah rahmat Allah yang harus kita jaga dan lestarikan.

Kab. Probolinggo adalah sebuah daerah yang kompleks dengan berbagai bidang di dalamnya. Khususnya dalam bidang pendidikan, dimana banyak pondok pesantren didirikan. Hal ini merupakan bentuk bahwa Islam tersebar merata dengan berdirinya pesantren tersebut. Salah satu pesantren yang banyak dikenal masyarakat adalah Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.

Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah salah satu pondok yang memiliki karya berupa kitab-kitab untuk di kaji oleh para santri. Dari beberapa karya kitabnya, salah satu kitab yang fenomenal adalah kitab yang mengupas tentang dasar-dasar hukum Islam (fiqh) yaitu

Naẓam Safinatu Al-Najah.

Sebuah naskah klasik berupa kitab tersebut dilahirkan oleh seorang „ulama besar pada zamannya. Seorang yang dermawan, penolong umat dengan komunikasinya yang terjalin dengan masyarakat, sehingga dapat menampung aspirasi masyarakat menjadi kesatuan dalam memajukan bangsa. Selain itu kyai Hasan juga terlibat dalam perjuangan melawan penjajah belanda dan jepang.

Naẓam Safinatu Al-Najah ditulis dalam bentuk naẓam dimana terdiri dari beberapa bait, memiliki makna yang mudah dipahami atau maknanya langsung bisa diterima, tidak bersayap atau memiliki makna ganda yang membutuhkan penafsiran-penafsiran. Naẓam Safinatu


(17)

Al-Najah merupakan karangan ulang dari kitab sebelumnya yakni Matan Safinatu Al-Najah karya Al-Allamah Asy-Syaikh Salim bin Abdulloh bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’I, sekilas tentang Syekh Salim karena beliau merupakan pengarang dari kitab matan safinatu al-najah.

Syekh salim dikenal sebagai seorang ulama’ ahli fiqih (al-faqih), pengajar (al-mu’allim), hakim agama (al-qodhi), ahli politik (as-siyasi) dan juga ahli dalam urusan kemiliteran (al-khobir bisy-syu’unil „askariyah). Beliau dilahirkan didesa “Dzi Ashbuh” salah satu desa dikawasan Hadhromaut, Yaman.

Memulai pendidikannya dalam bidang agama dengan belajar Al-Qur'an di bawah pengawasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Al-Allamah Abdullah bin Sa'ad bin Sumair, hingga beliau mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Lalu beliau ikut mengajarkan Al-qur’an sehingga beliau mendapat gelar “Al-Mu’allim”. Al Mu’allim adalah sebutan yang biasa diberikan oleh orang – orang Hadhromaut kepada seorang pengajar Al-Qur’an.

Kedatangannya di tanah Jawa ini disebabkan adanya konflik antara Sultan Abdullah bin Muhsin dengan Syekh Salim yang meremehkan pendapat Syekh Salim sebagai penasehat Sultan Abdullah. Sehingga


(18)

Syekh Salim memutuskan untuk hijrah ke India dan kemudian hijrah ke Jawa, lebih tepatnya di Batavia (Jakarta sekarang).16

Di Batavia inilah kemungkinan kitab safinatu al- najah tersebut mulai dikenalkan kepada masyarakat sampai ke masyarakat Madura yang sudah mulai menggunakan makna dengan bahasa Madura. Adapun penyusun dari pada kitab yang sudah menggunakan makna Madura tersebut adalah Abdul Halim Farhan Bangkala, Madura.

Perubahan bentuk dari natsar menjadi naẓam karya Syekh Hasan adalah salah satu bentuk untuk memudahkan pembacanya dalam memahaminya. Karena dalam naẓam ini menggunakan lagu atau nada sesuai yang diinginkan pembaca. Sehingga kitab matan itu baik akan tetapi lebih baik dari pada naẓamnya. Lebih mudah dipahami.

Kedua pengarang tersebut berada dalam satu pendidikan yang sama yakni sama-sama nyatri ke Syeikhona Holil Bangkalan. Asal pengarang kedua pengarang kitab juga berbeda, maka hal inilah yang memicu dikarangnya kitab berbentuk naẓam, dengan adanya perbedaan pola kebiasaan dan kesukaan masyarakat dalam belajar antara masyarakat yang didiami oleh Syekh Salim dan Syekh Hasan Probolinggo.

Bentuk makna pada kitab tersebut juga berbeda. Matan Safinatu Al-Najah menggunakan makna Madura sedangkan Naẓam Safinatu

16

Siroj Munir, “Biografi Syekh Salim Bin Sumair Al-Hadhromi, Pengarang Kitab Safinatun Naja” dalam http://www.fikihkontemporer.com/2013/04/biografi-syeh-salim-bin-sumair-al.html (1 februari 2016)


(19)

Najah menggunakan bahasa jawa. Namun pada hakikat isinya sama tidak ada perbedaan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi Syeikh Hasan Genggong?

2. Bagaimana teks Salat jamaah dalam kitab Naẓam Safinatu Al-Najah? 3. Bagaimana fungsi kitab menjadi Naẓam Safinatu Al-Najah?

C. Tujuan Masalah

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui profil Syaikh Hasan Genggong Probolinggo.

2. Untuk mengetahui teks Salat jamaah dalam kitab Naẓam Safinatu Al-Najah.

3. Untuk memahami fungsi kitab menjadi Naẓam Safinatu Al-Najah.

D. Kegunaan Penelitian

Setelah mengadakan kegiatan penelitian sampai dengan disusunnya penelitian ini, maka penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi:

1. Akademik

Adanya penelitian ini diharapkan membantu dalam menambah wawasan dan pengetahuan dalam penelitian ilmu sejarah kebudayaan Islam bidang sastra. Khususnya terkait dengan manuskrip sesuai


(20)

dengan Metodologi yang sudah dipelajari dalam bangku kuliah sehinga dapat dijadikan pengalaman yang berharga dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting dalam memahami beberapa permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Mengetahui profil pengarang Kitab Naẓam Safinatu Al-Najah

yakni Syekh Hasan Genggong,

b. Mengetahui teks Salat Jamaah dalam Kitab Naẓam Safinatu Al-Najah karya Syekh Hasan Genggong, dan

c. Memahami fungsi kitab menjadi Naẓam Safinatu Al-Najah.

Sehingga hasil dari apa yang telah diteliti oleh penulis dapat dipahami dengan baik.

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Manuskrip karya KH. Moh Hasan genggong tentang dasar-dasar hukum Islam (fiqh) di sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat itu, baik dalam isi kitabnya yang menggunakan makna jawa sehingga lebih mudah difahami, juga singkat dan padat. Untuk mengungkap makna dan isi yang terdapat dalam manuskrip Islam koleksi perpustakaan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, maka peneliti membutuhkan sebuah pendekatan dan kerangka teori.


(21)

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kebudayaan. Sebagaimana kita tahu bahwa kebudayaan adalah sebuah pedoman hidup atau hasil cipta rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan disini dipandang sebagai sebuah sistem, dimana terdapat sistem adaptasi, sistem kognitif, sistem struktural dan sistem symbol.

Yang menjadi perhatian dari beberapa sistem tersebut adalah sistem kognitif atau sistem pengetahuan dari masyarakat. Kebudayaan di sini dianggap sebagai “sesuatu” yang standar untuk menentukan sesuatu, menentukan apa yang dapat diperbuat, apa pendapat tentang itu, dan apa yang dapat diperbuat terhadapnya.17

Kitab Naẓam Safinatu al-Najah menekankan pembacanya dalam mengaktualisasikan apa dan bagaimana menjalankan syariat Islam yang terdapat dalam kitab tersebut. Khususnya tentang Salat Jamaah dalam kitab tersebut.

Dalam pendekatan lain ada pendekatan Filologi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah filologi diartikan sebagai studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastranya (atau sumber-sumber tertulis lainnya); kecintaan belajar.18

Dalam pengertian lain, Filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra-sastra dan kebudayaan. Dalam perkembangan lebih lanjut, filologi ternyata hanya memperhatikan

17

Ali Abdul Halim et al, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2001), 218.

18


(22)

makna kata dan berusaha untuk memurnikan teks dari kesalahan yang terjadi dalam proses penyalinan. 19

Lebih dalam lagi mengenai sastra itu sendiri dapat dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri dan menaruh minat pada sesama manusia, baik pada dunia realitas maupun sebagai dunia imajinasi.20

Karena sebuah sastra yang dilahirkan dalam bentuk naẓam yang disyairkan ketika mempelajarinya, tidak lain bertujuan mengatasi atau memberi jawaban atas masalah yang mendasar. Dalam hal ini berkaitan dengan syariat Islam, khususnya dalam Salat agar pembaca dapat memahami dan menghafal dengan mudah.

Masuk pada analisis penelitian, penulis menggunakan teori struktural fungsionalme. Dalam pandangan ini, kebudayaan merupakan proses keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya.21 Keterkaitan antara subsistem satu dengan yang lainnya itu sangat kuat. Unit analisisnya adalah kasus di dalam suatu lokus terbatas (desa, komunitas, etnis dan sebagainya).

Dengan teori struktural fungsionalme ini, dapat diklasifikasikan bahwa sastra itu terdapat dua bagian yaitu bentuk dan isi. Dalam kitab

Naẓam Safinatu Al-Najah bentuknya tersebut berupa naẓam (salat jamaah) pada kitab tersebut, sedangkan bagian isinya berupa aturan daripada salat

19

Lubis, Naskah, Teks, 17.

20

Ibid., 10.

21

Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Askara Yogyakarta, 2007), 29.


(23)

jamaah, aturan tersebut dapat dikatakan juga sebagai cara dan ketentuan dalam salat.

Hal tersebut menunjukkan keterkaitan antara subsistem satu dengan subsistem lain yang kuat. Antara naẓam dan aturan itu memiliki keterkaitan yang kuat. Karena naẓam itu mengandung unsur ilmu pengetahuan dan khususnya dalam bahasan ini ilmu pengetahuannya tentang fiqh (salat jama‘ah), maka dalam bahasan tentang salat tentunya memiliki aturan-aturan tertentu dalam pelaksanaannya. Dengan demikian jelaslah bahwa antara subsistem satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan yang kuat.

Dalam pembahasan lebih lanjut, penulis juga menggunakan metode fenomenologi sebagai penguat dalam penelitian ini. Fenomenologi ini berusaha mengungkapkan makna sebagaimana yang ditunjukkan gejala itu.22 Sehingga langkah-langkah dalam penelitian dapat sesuai harapan dengan memakai metode ini.

F. Penelitian Terdahulu

Sebelum penulis menulis tentang penulisan manuskrip ini, penulis menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang skripsi manuskrip yang diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Skripsi Aliran-Aliran Kaligrafi Dalam Manuskrip Kitab Sulam Safinah An Najaat. Yang diteliti oleh Wahib Chasbullah 2010. Penelitian

22


(24)

tersebut lebih memfokuskan pembahasannya mengenai aliran-aliran kaligrafi dalam kitab tersebut.

2. Skripsi Edisi Diplomatik Kitab ‘Aqidat Al-Usul Dalam Manuskrip Islam Koleksi Kyai Frusa. Yang diteliti oleh Abdurrahman. Penelitian tersebut lebih memfokuskan pembahasannya pada transkripsi (alih aksara) atau transliterasi dari naskah katab tersebut.

3. Skripsi Ajaran Tasawuf Dalam Manuskrip Asma’ Al-Arbain Abad Xix Dari Tegalsari Jetis Ponorogo. Yang diteliti oleh Bakhtiar Rokhman. Penelitian tersebut lebih memfokuskan pembahasannya tentang ajaran-ajaran tasawuf.

4. Skripsi Catatan Pinggir Dalam Manuskrip Bahjatul ‘Ulum Di Pondok

Pesantren Miftahul ‘Ula Di Desa Nglawak Kecamatan Kertosono

Kabupaten Nganjuk. Yang diteliti oleh Siti Salamah. Penelitian tersebut lebih memfokuskan pembahasannya dalam mengetahui catatan pinggir yang terdapat dalam manuskrip tersebut.

Dari beberapa penelitian manuskrip terdahulu yang disebutkan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa Salat Jama‘ah yang tertulis dalam koleksi pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong belum pernah difaham dengan benar oleh pembaca. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Salat Jama‘ah yang terdapat dalam manuskrip Islam koleksi perpustakaan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.


(25)

G. Metode Penelitian

Mengetahui dan menerangkan atau meramalkan sebuah naskah dapat dilakukan dalam beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mengawali proses penelitian filologi,23 dengan melalui survey naskah, deskripsi naskah, analisa,24 transliterasi, terjemahan, dan historiografi.

Hal tersebut ditujukan agar penyusunan laporan dapat tersusun secara sistematis dan dapat dipahami dengan baik. Berdasarkan metode sejarah yang merupakan cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau.25

Sehingga langkah-langkah yang penulis tempuh antara lain adalah sebagai berikut:

1. Survey

Survey ini merupakan langkah awal dalam sebuah penelitian yang harus ditempuh untuk mendapatkan data yang diinginkan. Dalam penelitian ini, survey dilakukan dengan pengamatan, wawancara dan dokumen terhadap naskah dengan menghubungi tempat penyimpanan naskah dan meminta copiannya serta informasi tentang naskah tersebut.

Dalam memperoleh manuskrip yang dikakukan oleh penulis adalah menghubungi bagian perpustakaan pondok pesantren dan percetakan pondok pesantren yang menyimpan manuskrip dari

23

Lubis, Naskah, Teks, 77-88.

24

Abdur Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), 43.

25


(26)

beberapa karya pengasuh pondok pensantren terdahulu. Kemudian penulis menemukan kitab Naẓam Safinatu Al-Najah dalam bentuk copian dari tulisan asli yang disalin langsung oleh salah satu santri dari pengarang kitab tersebut. Kitab Naẓam Safinatu Al-Najah ini sudah memiliki beberapa cetakan. Teknologi penulisannya tidak berubah atau disamakan dengan cetakan yang lama.

2. Mendeskripsi naskah

Menyusun deskripsi naskah yang dipilih untuk diteliti. Dalam hal ini kitab Naẓam Safinatu Al-Najah menjadi objek penelusuran manuskrip dipandang dari dua bagian yaitu:

a. Bentuk Manuskrip

Dalam pengamatan ini penulis akan meneliti bentuk daripada manuskrip kitab Naẓam Safinatu Al-Najah untuk mengetahui dan memahami kondisi dan umur manuskrip.

b. Isi Manuskrip

Setelah menelusuri bentuk dari pada manuskrip kitab Naẓam Safinatu Al-Najah, penulis akan menelusuri isi daripada kitab tersebut jumlah teks (bait) dan catatan-catatan yang terdapat dalam kitab Naẓam Safinatu Al-Najah.

3. Analisa

Dari beberapa tahap diatas dalam pendeskripsian terhadap manuskrip/naskah, kemudian penulis langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah menginterpretasi atau menganalisis terhadap kitab


(27)

Naẓam Safinatu Al-Najah. Dari penjelasan sebelumnya, penulis akan melakukan analisis ini dengan menggunakan teori struktural fungsionalisme. Sehingga proses penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik.

4. Transliterasi/transkripsi

Transliterasi ialah penggantian huruf atau pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain. Misalnya dari huruf Arab ke huruf Latin atau lebih singkatnya menyalin teks tersebut.

Alih tulisan yang akan dilakukan ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam penelitian. Dalam proses ini penulis hanya menyalin tanpa mengurangi dan menambahi dari apa yang terdapat dalam manuskrip kitab Naẓam Safinatu Al-Najah.

5. Terjemahan

Menerjemahkan teks, dimana pekerjaan ini dapat dikategorikan sebagai pekerja seni. Terdapat beberapa cara untuk menerjemahkan teks, antara lain:

a. Terjemahan Harfiyah, ialah menerjemahkan dengan menuruti teks sedapat mungkin, meliputi kata demi kata.

b. Terjemahan agak bebas, ialah seorang penerjemah diberi kebebasan dalam proses penerjemahannya, namun kebebasannya itu masih dalam batas kewajaran.


(28)

c. Terjemahan yang sangat bebas, yakni penerjemah bebas melakukan perubahan, baik menghilangkan bagian, menambah atau meringkas teks.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan cara penerjemahan yang kedua yakni dengan menggunakan terjemahan agak bebas. Karena cara ini dianggap bisa menyampaikan isi teks sesuai dengan apa yang diharapkan oleh suatu terjemahan yang baik dan mencerminkan kemampuan penerjemah.

6. Historiografi.

Historiografi adalah proses penulisan sejarah terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Para peneliti bebas dalam merealisasikan peristiwa-peristiwa sejarah sesuai dengan prinsipnya. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan hasil temuan yang telah didapatkan oleh seorang peneliti dalam sebuah penelitian.

Dengan demikian dalam meneliti manuskrip kitab Naẓam Safinatu Al-Najah, penulis dituntut untuk melakukan sebuah eksplanasi secara kritis dan mendalam tentang “bagaimana” dan “mengapa” kitab tersebut mengalami suatu perubahan dari natsar

menjadi nazam dalam sebuah laporan tertulis, yang berbentuk skripsi sebagai hasil akhir dari penelitian.


(29)

H. Sistematika Bahasan

Untuk mempermudah pembahasan masalah dalam penelitian ini, penulis membagi dalam beberapa bab, dan beberapa sub bab yang terdapat pada setiap babnya. Untuk lebih jelasnya, sistematika dalam pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Pada bab pertama yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang masalah yang mengantarkan sekilas tentang sesuatu yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, rumusan masalah yang berisi beberapa pertanyaan untuk membatasi pembahasan dalam penulisan skripsi ini, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jawaban dari beberapa pertanyaan pada rumusan masalah, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori ini akan digunakan penulis dalam menghubungkan suatu penelitian dengan sebuah teori, penelitian terdahulu menjelaskan bahwa adanya beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu tersebut, metode penelitian yang akan memeberi kemudahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan langkah-langkah yang sistematis dan sisitematika bahasan, penulis akan memberi gambaran mengenai alur bahasan.

Pada bab kedua adalah Biografi Syekh Hasan Genggong. Pembahasan disini meliputi profil dari pada Syaikh Hasan Genggong, genealogi dari Syekh Hasan Genggong, profil Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong sebagai pendiri kedua, dan karya-karya Syekh Hasan Genggong yang digunakan sebagai pembelajaran dalam pondok pesantren.


(30)

Bab ketiga, Teks Salat Jama‘ah Dalam Kitab Naẓam Safinatu Al-Najah Karya Syekh Hasan Genggong Probolinggo. Bab ini menjelaskan tentang pemikiran Syekh Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo dengan sub bab yang berisi wujud manuskrip naẓam dan matan safinatu al-najah, Salinan dan alih tulisan dari pada salat jama‘ah ke dalam tulisan biasa, dan terjemah dari salat jama‘ah ke dalam bahasa indonesia.

Bab keempat, fungsi kitab menjadi naẓam. Bab ini menjelaskan mengenai fungsi kitab menjadi naẓam.Disini akan menjelaskan pengertian

naẓam, unsur-unsur naẓam, dan isi kitab secara lebih rinci sehingga akan terpecahkan alasan kitab tersebut dikarang ulang menjadi sebuah naẓam.

Kemudian pada bab kelima yaitu penutup. Bab ini menjadi bab terakhir yang di dalamnya berisi tantang kesimpulan dari semua uraian pada bab pertama sampai keempat dan saran.


(31)

BAB II

BIOGRAFI SYEKH HASAN GENGGONG

A. Profil Syaikh Hasan Genggong

Kabupaten Probolinggo tampaknya memiliki cendekiawan muslim sejak puluhan tahun lamanya. Berdirinya beberapa pondok pesantren sebagai pusat kajian keagamaan merupakan manifestasi penyebaran Islam oleh para cendekiawan tersebut. Hal ini adalah sebagai tindak lanjut dari tradisi sebelumnya yang di populerkan oleh wali songo, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, sunan kalijaga, dan yang lainnya. Tidak heran apabila wilayah Kabupaten Probolinggo termasuk salah satu wilayah yang populer dengan adanya kontribusi dari para cendikiawan muslim.

Salah satunya adalah Syekh Hasan Genggong. Seorang yang sederhana, cerdas, ramah, suka menolong, tokoh agama dan pengarang kitab-kitab untuk pembelajaran bagi masyarakat dalam memperdalam agama Islam saat itu. Beliau lahir di Probolinggo 27 Rajab 1259 H / 1860 M. Nama asli beliau adalah KH. Moh Hasan, namun kalangan masyarakat akrab memanggilnya dengan sebutan Hasan saja.1 Panggilan Hasan tersebut sangat populer sampai masyarakat nyaris tidak mengetahui nama lengkapnya. Nama Hasan tersebut sudah akrab dipanggil dari masa kecilnya sampai masa tuanya hingga muncul sebutan Syekh dari para ulama’/kiai lainnya. Namun ketika

1


(32)

masa tuanya, masyarakat memberi julukan baru terhadapnya dengan sebutan kiai sepuh.2 Julukan ini sering digunakan sampai sekarang bila mengisahkan cerita masa hidupnya. Nama Mohammad Hasan sudah dicantumkan lengkap pada kitab karangannya yang dicetak saat ini, tidak menggunakan nama panggilan lagi.

Pada masa kecil dan remajanya, Syekh Hasan menempuh beberapa pendidikan diantaranya adalah ketika masih kecil beliau berada di Pondok Pesantren Sentong, di bawah asuhan ayahnya KH. Syamsuddin. Beliau belajar dari kecil sampai berumur 14 tahun. Hubungan dengan keluarga juga baru di mulai di umur 14 tahun tersebut. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Sukonsari, Pojontrek Pasuruan, di bawah asuhan KH. Mohammad Tamim. Tidak cukup lama dalam pesantren Sukonsari, kemudian beliau mengabdikan dirinya di Pondok Pesantren Bangkalan, di bawah asuhan KH Mohammad Cholil. Di pesantren inilah beliau menggembleng dirinya serta memperdalam semua ilmu agama selama 32 tahun.3

Ketika pengalaman terlama di pesantren Bangkalan sudah beliau selesaikan, namun kewajiban dalam menuntut ilmu rasanya tidak ada akhir baginya sampai kapanpun. Kemudian Syekh Hasan menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan belajar dan memperdalam ilmu agama selama 3 tahun.

2

Sugianto, Wawancara, Probolinggo, 11 September 2015.

3

Arief Umar et al, Pesantren Zainul Hasan Dari Masa ke Masa (Probolinggo: PT Rakhmad Abadi, 1989), 43.


(33)

Nampaknya beliau tidak mau menyia-nyiakan dirinya di kota Mekkah tersebut.

Ketika Syekh Hasan dipercaya untuk meneruskan perjuangan ayah mertuanya KH. Zainul Abidin dalam mengembangkan Pesantren Zainul Hasan genggong pada 1890 M, namanya mulai semakin banyak dikenal oleh masyarakat. Kegiatannya dalam mengembangkan ajaran agama Islam sangat membawa berkah baginya dan pesantren yang mulai diasuhnya.

Syakh Hasan adalah orang yang benar-benar khusyuk dalam melakukan amaliyah sehari- hari. Bangun malam untuk beribadah dan tidak luput dalam bersilaturrahmi kepada masyarakat untuk mengembangkan ajaran Islam sehingga hubungan kekeluargaan terjalin dengan baik antara keluarga Syekh Hasan, masyarakat dan santri didiknya, serta kebiasaannya dalam bersedekah kepada fakir miskin.4

Komunikasi yang terjalin tersebut kemudian berkelanjutan menjadi sebuah realisasi dari usaha penyatuan pesantren dengan masyarakat, sehingga dapat mengahasilkan aspirasi dari para orang tua santri, masyarakat dan Syekh Hasan pribadi sebagai landasan dalam mengembangkan pesantren kearah yang lebih baik. Dengan demikian, kegiatan demi kegiatan di jalankan tanpa mengenal lelah, kapanpun dan dimanapun, demi meneruskan dakwah Nabi Muhammad SAW.

4


(34)

Kehidupan Syakh Hasan berjalan pada saat masa penjajahan Belanda dan Jepang berkuasa di seluruh wilayah Hindia-Belanda (Indonesia sekarang) ini. Sehingga hal tersebut mengakibatkan Syekh Hasan bersikap non cooperation (uzlah) terhadap pemerintahan Hindia-Belanda pada saat penjajahan Belanda. Oleh karenanya, segala unsur yang berbau penjajah ditolak dan dilarang olehnya.

Lemahnya kondisi beliau bukanlah beban atau masalah, namun beliau terus bersemangat mengadakan pertemuan dengan masyarakat di berbagai pelosok desa untuk memberi semangat masyarakat dalam mengusir penjajah. Beliau menanamkan rasa kebangsaan yang kuat serta menanamkan keyakinan Iman, Islam dan Ikhsan kepada masyarakat. Sebagai rakyat yang setia dari suatu negara, berkewajiban penuh dalam membela agama dan negaranya.

Ketika penjajahan berada ditangan Jepang, terjadi musim paceklik yang melanda masyarakat, ditambah keganasan serdadu Jepang merampas paksa harta kekayaan masyarakat. Peristiwa ini menyebabkan penderitaan yang amat meresahkan terhadap masyarakat, namun Tuhan lagi-lagi maha pengasih dan penyayang. Kasih sayangnya disalurkan lewat Syekh Hasan, karena tidak jauh dari kediamannya ditemukan sejenis tumbuhan berbetuk bulat di sawah yang dinamakan Anggur Bumi. Buah anggur bumi inilah yang akhirnya menjadi pelepas haus serta makanan untuk masyarakat.

Kisah ini hanya terjadi pada kekasih/wali Allah semata yang dinamakan karamah. Jika terjadi pada nabi adalah mu‘jizat. Akan tetapi


(35)

tentulah bukan kisah itu saja, juga banyak kisah-kisah lain di luar akal manusia. Hanya iman lah yang bisa menjangkau karamah-karamah tersebut.

(Wallahu a‘lam).

Saat detik-detik kemerdekaan bangsa Indonesia, Syekh Hasan memerintahkan putranya K Asnawi, untuk membentuk barisan pejuang yang dinamakan “ANSHORUDDINILLAH” sebuah barisan untuk mempertahankan Negara dan Agama. Ketika pemberontakan di Surabaya meletus, gerakan Anshoruddinillah diganti nama menjadi “BARISAN SABILILLAH” yang kemudian dikirim ke Tulangan Sidoarjo untuk melawan para penjajah.

Sementara gagasannya yang dijalankan oleh putranya, Syekh Hasan tidak nampak seperti pejuang-pejuang lain yang terjun langsung ke medan perang pertempuran, beliau juga keliling ke daerah-daerah bahkan ke pelosok-pelosok desa dengan memberikan siraman rohani (melalui tabligh atau pidato) yang berisi penanaman rasa kebangsaan, keimanan dan keislaman.5

Hal tersebut adalah bentuk ide dan gagasan Syekh Hasan dalam menerjunkan dirinya membela tanah air sampai merdeka dan bebas dari para penjajah. Sehingga keadaan Indonesia kembali menjadi damai dan tentram, khususnya daerah Genggong dan sekitarnya kembali normal dalam menjalankan berbagai aktifitasnya. Meskipun tidak terjun langsung dalam

5

Abdul Aziz, Filsafat Pesantren Genggong (Probolinggo: STAI Zainul Hasan Genggong, 2013), 9.


(36)

aksinya, akan tetapi beliau hanya berperan dibalik layar dengan menyumbangkan gagasannya.

Keberhasilannya dalam segala bidang khususnya dalam memajukan Pondok Pesantren Genggong yang berada dalam asuhannya tidak lepas dari pribadinya yang sangat disegani oleh masyarakat dan kedekatannya kepada Allah SWT sehingga beliau disebut oleh masyarakat dengan waliullah

(kekasih Allah), bahkan pada masyarakat tertentu (santri, alumni dan simpatisan Pondok Genggong) memberikan gelar kepadanya dengan sebutan

“Al-‘Arif Billah Waliyullah”, hal itu dapat dilihat diberbagai dokumen pesantren dan tulisan-tulisan yang mengiringi foto-fotonya.6

Diumur Syekh Hasan yang ke 155 nampak sangat sepuh, tepatnya tahun 1374 H/ 1955 M beliau jatuh sakit. Pada tanggal 10 Syawal 1374 H sakit beliau bertambah parah dan tepat pada keesokan harinya tanggal 11 Syawal 1374 H/ 11 Juni 1955 M Syekh Hasan telah wafat dalam usia 115 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.7

Syekh Hasan wafat mewariskan 3 hal (amanat), yaitu: pesantren, santri serta keluarganya. Dengan harapan amanat ini tetap dilanjutkan dan diperjuangkan dalam mendidik dan mengayomi keutuhan pesantren, santri dan keluarga (sahibul bait). Warisan tersebut adalah sebuah amanah dan tanggung jawab besar yang diberikan kepada Kiai Hasan Saifourridzall (pengasuh ketiga) untuk dijaga, dijalankan dan diperjuangkan.

6

Ibid., 9.

7


(37)

Segala perjuangan, kebaikan dan kegigihannya dalam menebar ilmu di jalan Allah sungguh pekerjaan mulia. Hal tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan santri, baik dalam perkembangan masyarakat dan santri maupun bagi keluarga sendiri. Sebagaimana kita tahu sabda nabi, sebaik-baiknya seseorang ialah yang bermanfaat bagi orang lain.

Begitulah sedikit gambaran sosok Syekh Hasan semasa hidupnya. Tingkah laku dan kesehariannya mengandung ajaran yang patut kita teladani. Sebagai ulama’, kiai dan tokoh agama bagi masyarakat, yang sopan santun, ajeg (istiqomah), nasehat dan nasehati, taqwa pada tuhannya, selalu berharap ridho tuhannya serta ikhlas terhadap segala kekuasaannya adalah sosok public figure yang patut kita contoh demi menjadi pribadi yang lebih baik, bertanggung jawab dan alhamdulilah dapat bermanfaat bagi sesama.

B. Genealogi Syekh Hasan Genggong

Syekh Hasan adalah keturunan dari ulama’ besar yang sangat fenomenal di Indonesia bahkan di dunia, dengan kata lain Syekh Hasan adalah keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Berikut adalah silsilah dari Syekh Hasan Genggong.


(38)

8

8

Damar Shashangka, Wali Sanga (Jakarta: Dolphin, 2012), 267.

MUHAMMAD SAW

FATIMAH ALI BIN ABI THALIB

Sayyid Al-Husain

Sayyid Ali Al-„Uraidhi

Sayyid Ali Zainal Abidin Sayyid Muhammad Baqir

Sayyid Ja’far Ash-Shadiq Sayyid Muhammad Naqib

Sayyid Ubaidillah Sayyid Ahmad Muhajirullah

Sayyid Alawi Sayyid Isa Al-Rumi

Sayyid Muhammad

Syekh Ibrahim Al-Akbar (Syekh Ibrahim Samarkondi)

Sayyid Alawi Amal Al-Faqih

Sayyid Ahmad Shah Jalal Sayyid Amir Abdullah Khan Sayyid Abdul Malik Sayyid Ali Khali’ Qasam

Sayyid Muhammad Shahib Mirbath

Putri Pasai

Syekh Maulana Ishaq (Syekh Wali Lanang)

Jaka Samudra

(Raden Paku/ Prabu Satmata/ Maulana Ainul Yaqin/ Sunan Giri) Syekh Jamaludin Shah Jalal (Syekh Jumadil Kubro)


(39)

9

9

Umar et al, Pesantren Zainul Hasan, 269.

Maus Pati Panji Pulang Jiwo

Lambu Patang

Tumenggung Gendoro Pangeran Wetan Sumenep Raden Arjoso

KH. MOH HASAN (SYEKH HASAN) Syamsuddin (Kiai Meri)

Kiai Abdul Qidam Kiai Abdur Rahman (Panembahan Sumenep)

Bintoro Sa’ud

Abdullah „Alawi

Abdur Rahim (Buju’ Toket)

Kiai Tudung Batu Ampar Barat Nyai Busro Poteran Sumenep

Nyai Berima

Nyai Hj. Khodijah (Nyai Meri) Nyai Qamariz Zaman

Nyai Rima

„Alawi


(40)

C. Profil Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong

1. Keadaan Umum Pesantren

Salah satu pesantren salaf tua di Indonesia adalah Pesantren Genggong. Genggong adalah nama sejenis bunga. Bunga ini banyak tumbuh di sebuah desa bernama Karangbong. Desa ini terletak di Kecamatan Pajarakan, ± 25 km arah timur Kabupaten Probolinggo. Sebelum berada di Kecamatan Pajarakan, dulu Pesantren Genggong berada di wilayah Kawedanan Kraksaan. Menurut cerita, dulu bunga ini sering digunakan oleh masyarakat untuk riasan penganten, khitan (sunat), dan beberapa keperluan-keperluan lain.10

Seiring dengan berjalannya waktu, perhatian masyarakat pada bunga ini berkurang hingga bunga Genggong tidak pernah lagi terlihat di desa tersebut. Tidak ada masyarakat yang pernah lagi melihat bunga ini tumbuh. Masyarakat pun menganggap bunga ini telah punah.Adalah KH. Zainul Abidin, seorang ulama keturunan Maghrabi, Maroko Afrika, pada tahun 1259 H/1839 M mendirikan sebuah pesantren di desa tersebut. Pesantren yang didirikan beliau dinamakan Genggong, sesuai dengan nama bunga yang dimaksud, pemberian nama ini berasal dari masyarakat sekitar yang mendiami komplek tumbuhnya bunga tersebut. Nama Genggong ini khusus untuk menyebut nama komplek pondok saja yang hanya dibatasi pagar keliling.

10Geplaas deur sabilul hasan, “Sejarah Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Dari Masa Ke

Masa”, dalam http://sabilulhasan08.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-pondok-pesantren-zainul-hasan.html (25 November 2015)


(41)

Beliau pernah menuntut ilmu di Pesantren Sidoresmo Surabaya. sayang sekali tidak ada sumber yang menyebutkan silsilah KH. Zainul Abidin dengan jelas dan terperinci. Penyebaran agama Islam yang lakukan beliau berupa jalinan hubungan dengan masyarakat secara intensip dengan melaksanakan pendidikan informal sebagai modus dakwah serta melaksanakan pengajian.11

Nama Pondok Genggong di abadikan sejak kepemimpinan KH. Zainul Abidin tahun 1839 M sampai kepemimpinan KH. Moh Hasan (Syaikh Hasan) tahun 1952 M. Pada tahun 1952 kepemimpinan beralih kepada salah satu putra Syaikh Hasan yaitu KH. Hasan Saifouridzall.

Pada 19 Juli 1959 M timbul gagasan untuk merubah nama Asrama Pelajar Islam Genggong (APIG) menjadi Pesantren Zainul Hasan Genggong. Nama Pondok Genggong diganti dengan Asrama Pelajar Islam Genggong (APIG). Nama ini dipakai dari tahun 1952 M – 1959 M.12

Untuk nama yang disebutkan terakhir ini, Zainul Hasan Genggong, diambil dari dua nama tokoh teladan masyarakat pendiri Pondok Genggong.13 Kata “ZAINUL” diambil dari pengasuh pertama, almarhum KH. Zainul Abidin dan kata “HASAN” diambil dari nama almarhum KH. Moh Hasan (Syaikh Hasan) sebagai pengasuh kedua.

Seperti yang kita ketahui, Pondok pesantren merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga pendidikan dan sosial. Secara historis,

11

Umar et al, Pesantren Zainul Hasan, 39.

12

Aziz, Filsafat Pesantren, 18.

13

Ainul Yaqin et al, Biografi Kiai Hasan Saifourridzall (Probolinggo: Genggong Press YPPZH Genggong, 2005), 3.


(42)

pesantren telah mampu memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan terutama dalam sektor pendidikan yang tertumpu kepada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Seperti yang dicanangkan oleh pemerintah.14

a. Keadaan Santri

Keadaan awal perintisan pesantren, santri yang menetap sekitar 50 sampai 100 orang yang datang dari penjuru desa dan luar desa. Namun Pesantren Zainul Hasan Genggong kini memiliki sekitar 20.000 santri dan berlokasi di Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.15

Santri genggong yang bermukin di pesantren sejak tahun 1839 sampai 1953, hanya terdiri dari santri putra saja. Para santri masih diberi kebebasan mengikuti pendidikan baik pendidikan non formal yang mana para santri dapat memperdalam ilmu agama kepada almarhum KH Zainul Abidin pada waktu yang telah ditentukan, serta para santri diizinkan memperdalam ilmu kepada Guru-guru lainya yang juga ikut serta membangun mengajar ilmu agama melalu sorogan baik pelajaran tafsir alqura dan kitab-kitab klasik lainnya dari karangan para ulama’ atau kitab-kitab karangan almarhum Syekh Hasan sendiri.

Mulai tahun 1933 di Pondok Pesantren Zainul Hasan telah dibuka program pendidikan formal melalui Madrasah Ibtidaiyah

14

Ibid., 114.

15Wikipedia Bahasa Indonesia, “Pesantren Zainul Hasan”, dalam


(43)

Kholafiyah Syafiiyah Nuroniyah dan kurikulum madrasah ini masih menggunakan kurikulum yang ditetapkan pesantren, dengan tujuan agar para santri nantinya setelah meninggalkan pondok dapat menjadi muslim yang intelek.16

Jumlah santri pada masa itu masih tidak memadai artinya jumlahnya masih di bawah 500 orang, mengingat masyarakat masih banyak belum menyadari akan pentingnya pendidikan, sehingga banyak putra-putra Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan baik agama maupun umum, yang mengakibatkan bangsa kita harus bekerja keras untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan ini untuk masa yang akan datang.

Jumlah santri yang berkembang pesat menunjukkan perkembangan pondok pesantren Zainul hasan genggong yang makin banyak dikenal oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan pula bahwa adanya pergantian khalifah/pengasuh pesantren semakin meningkatkan kemajuan pesantren dalam berbagai aspek, baik fasilitas pendidikan, pondok dan fasilitas lainnya.

b. Bangunan Pesantren

Bangunan pesantren sudah cukup memadai setelah periode pertama, pengasuh/khalifah kedua mulai melengkapi berbagai sarana yang diperlukan sampai khalifah ketiga pesantren Zainul Hasan semakin banyak dikenal orang sampai sekarang.

16


(44)

Dengan dibukanya lembaga pendidikan formal umum di lingkungan pesantren, maka Pesantren Zainul Hasan Genggong semakin terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tanpa meninggalkan tradisi belajar kitab kuning sebagai cirri khas kehidupan pesantren.17

Lembaga pendidikan (formal/non-formal) dan fasilitas penunjang untuk para santri, antara lain:

1) Pembangunan Sarana Pondok Putra dan Putri

Meliputi 9 lokal/daerah untuk putra dan 9 lokal/daerah untuk putrid. Daerah A, B, C, D, E, F, G, H dan Daerah Roudlatul Quran. Ditambah lagi dengan Yayasan Haftsawati yang terletak di bagian utara pesantren.

2) Pembangunan Majlis Ta’lim al-Ahadi dan Aula Pesantren 3) Pembangunan Guest House untuk para dosen di lokasi kampus 4) Pembangunan peribadatan Masjid Jami’ al-Barokah dan Wisma

Tamu

5) Sarana pendidikan dalam pesantren, meliputi: a) Pendidikan Formal:

(1).TK Zainul Hasan (2).SD Zainul Hasan

(3).MI Kholafiyah Syafi’iyah Zainul Hasan (4).SMP Zainul Hasan

17


(45)

(5).MTs Zainul Hasan

(6).Pendidikan Diniyah Pertama (PDMP) Zainul Hasan (7).SMA Zainul Hasan

(8).SMA Unggulan Hafshawaty Zainul Hasan BPPT (9).MA Zainul Hasan

(10). MA Model (Unggulan) Hafshawaty Zainul Hasan (11). SMK Zainul Hasan

(12). STIH Zainul Hasan (13). STAI Zainul Hasan

(14). AKPER Hafshawaty Zainul Hasan (15). STIKES Hafshawaty Zainul Hasan (16). AKBID Hafshawaty Zainul Hasan b) Pendidikan Non Formal:

(1).Madrasah Raudlatul Qur’an (2).Madrasah Diniyah

(3).Dirosah Khossoh

(4).Madrasah Salafiyah Tingkat Wustho (5).Lembaga Keterampilan Komputer (6).Lembaga Dakwah

(7).Lembaga Bahtsul Masa’il (8).Lembaga Perpustakaan

(9).Lembaga Pengajian Mingguan


(46)

(11). Lembaga IPSNU Pagar Nusa

(12). Lembaga Pengembangan Bahasa Arab (13). Development Education English Program (14). Balai Latihan Kerja

(15). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) (16). Yayasan Panti Asuhan Anak yatim

(17). Kursus Amtsilati

(18). Kursus Menghafal Cepat Asmaul Khusna (19). Kursus Menghafal Cepat Al-Qur’an (20). Training English Conversation (21). Pramuka

(22). PMI (23). Jurnalistik18

Berkat sikap moderat pengasuh ketiga, KH Hasan Saifourridzall, Pesantren Zainul Hasan Genggong semakin harum namanya. Keharuman itu tercium ke berbagai penjuru tanah air. Bahkan tercium hingga ke luar negeri. Santri dan siswanya tidak hanya berasal dari Jawa Timur, melainkan dari Bali, NTB DKI Jakarta, Kalimantan Sumatera dan dari luar negeri.

Pesantren Zainul Hasan mengarahkan semua perubahan yang akan dilakukan kepada tujuan mengintegrasikan pesantren sebagai sistem pendidikan kedalam pola umum pendidikan nasional yang

18


(47)

membangun dan kreatif, sehingga output Pesantren Zainul Hasan relavan untuk pengembangan pesantren itu sendiri.

Dengan pengembangan pendidikan ini, para santri yang bermukim didalam maupun diluar komplek Pesantren Zainul Hasan dapat mengikuti berbagai kegitan pendidikan baik dalam pendidikan non-formal, seperti kajian kitab-kitab karya „ulama salaf serta dapat belajar pula dalam lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Yayasan Pesantren Zainul Hasan Genggong.

Pembangunan fisik pesantren yang dilakukan secara berkelanjutan dari periode pengasuh kedua ketiga sampai sekarang. Hal tersebut dilakukan untuk melanjutkan misi yang telah dirintis oleh pendiri pesantren serta sebagai hasil perwujudan dari pembinaan alumni yang berdomisili di dalam daerah maupun luar daerah, terutama dengan pemerintah daerah dan pusat serta misi muhibahnya keluar negeri.

Perkembangan madrasah-madrasah dan semua sarana di Pesantren Zainul Hasan Genggong berjalan seiring cita-cita pengasuh/khalifaf yang ingin memajukan pesantren dengan beberapa lembaganya tersebut sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan umum. Begitu pula pendidikan agama yang menjadi ciri khas sebuah pesantren.


(48)

Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan pengembangan pendidikan adalah untuk mengadakan integrasi antara pengetahuan agama dan umum sehingga output yang dihasilkan akan memiliki kepribadian yang utuh yang menggabungkan dalam dirinya unsur keimanan yang kuat dan menguasai pengetahuan secara seimbang, terutama dalam memecahkan segala persoalan yang akan dihadapi.

2. Kepemimpinan dan Kepengurusan

Kepemimpinan suatu pondok pesantren berfungsi sebagai penggerak berbagai aktifitas untuk mencapai sebuah tujuan. Maka dari itu seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat yang terpuji, seperti: adil, bias melindungi, penuh inisiatif, berwibawa, ramah, cerdas, sabar, ulet, mudah mengambil keputusan dan jujur. Sehingga mendapat perhatian yang positif dari bawahannya.

Kepemimpinan dan kepengurusan yang ada di Pesantren Zainul Hasan Genggong masih dalam bentuk tunggal, dimana pemimpin tertinggi sebagai pemegang tongkat kendali terletak ditangan pengasuh (kiai). Dengan demikian keseluruhan tanggungjawab perbuatan bawahannya kembali kepadanya. Namun untuk meringankan beban tugas, dibentuklah pengurus beserta seksi-seksinya yang berfungsi membantu pengasuh (kiai).


(49)

Kepemimpinan dalam pesantren Zainul Hasan Genggong berjalan dalam empat periode:

Periode pertama : KH. Zainul Abidin, berjalan dari tahun 1839-1890 M.

Periode kedua : KH. Moh Hasan (Syekh Hasan), berjalan dari tahun 1890 – 1952 M.19

Periode ketiga : KH. Hasan Saifouridzall dari tahun 1952 – 1991 M.

Periode keempat : KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah, dari tahun 1991 – sekarang.20

Adapun struktur kepengurusan Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah sebagai berikut:

Pelindung/Penasehat/Musytasyar

Pembina

Shohibul bait

Wakil shohibul bait

Rois am/Roisium

Sekretaris

Biro-biro

19

Umar et al, Pesantren Zainul Hasan, 31.

20


(50)

Bagian-bagian

3. Azaz dan Aqidah

Sebagaimana pondok pesantren umumnya bahwa aliran/faham yang dianut biasanya ditekankan pada suatu faham tertentu dalam arti tidak meninggalkan faham yang lain. Dalam Pesantren Zainul Hasan Genggong semua faham dipelajari, hanya saja pengalamannya diutamakan pada faham tertentu yaitu faham “AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH” yang berarti: AHLUSUNNAH adalah penganut sunah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan WAL JAMAAH adalah penganut i’tiqod jamaah sahabat Nabi.

Dengan demikian kaum Ahlusunnah Wal Jamaah adalah kaum yang menganut I’tiqod yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Termasuk juga keluarga besar Pesantren Zainul Hasan Genggong.21

Dengan kepemimpinan dan pembinaan dari pembina periode generasi pertama, periode generasi kedua, ketiga sampai sekarang, Pesantren Zainul Hasan Genggong telah mengalami perkembangan dan kemajuan, khususnya dalam pembinaan kader-kader agama Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah, yang cinta kepada bangsa dan tanah air berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

21


(51)

4. Satlogi Santri

Keberadaan Pesantren Genggong di tengah-tengah kehidupan masyarakat mendatangkan banyak manfaat bagi daerah sekitarnya. Sektor-sektor kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya perlahan mulai terangkat dan terbenahi. Mentalitas masyarakat yang masih terpaku pada sistem adat-istiadat lama yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai agama perlahan diperbaiki.22 Dunia berputar, kadang kita di atas kadang dibawah, ada buruk ada pula waktunya keburukan itu berubah menjadi baik dan lebih baik. Seperti itulah keadaan sebelum dan sesudah Pesantren Zainul Hasan didirikan.

Upaya perubahan yang dilakukan Pesantren Genggong mendapatkan simpati masyarakat dengan mendukung perkembangan pesantren.Kelak ketika santri telah pulang ke masyarakat, mereka diharapkan mampu mewarnai kehidupan masyarakat dengan tetap berpegang pada satu prinsip yang disebut “Satlogi Santri” yang digagas oleh KH. Hasan Saifouridzall berdasarkan alquran dan hadist. Satlogi santri ini merupakan kependekan dari:

S : Sopan Santun

س ْ اا

:

لح ق اا قا

.

ر ا ك اا اا ح م إاا وا ر ,

اا ح وا ر

ضر ع

22

Geplaas deur sabilul hasan, Sejarah Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Dari Masa Ke Masa, dalam http://sabilulhasan08.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-pondok-pesantren-zainul-hasan.html (25 November 2015)


(52)

Artinya: Nabi SAW bersabda, perlakukan orang dengan akhlak yang baik.

A : Ajeg (Istiqamah)

ا ع

:

غ ءٓ سأ ة لا ْاو س وا

Artinya: Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak). QS. al-jin: 16.

س ْ اا

:

ْ ْسا ث ْ ا ْ

.

ل و س حا اا ن س .

اا , ا ل اا , ج ا

Artinya: Nabi SAW bersabda; katakanlah, saya beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah.

N : Nasehat

ا ع

:

ن ا ن ي ر سر غ

Artinya: Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu. QS. Al-a„raf: 68.

س ْ اا

:

ة ْ اا ْ اا

.

اا

ا ا اا ن وث خ اا Artinya: Nabi SAW bersabda; Adapun agama adalah nasehat.


(53)

T : Taqwallah

ا ع

:

ۦ قح ْاو ْاو اء ا ٓ

نو ل ن و

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

س ْ اا

:

ْ ك ْ ح ق ا

.

اا و س حا وا ر ,

ك اا , اا

Artinya: Nabi SAW bersabda; bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada.

R : Ridhallah

ا ع

:

ي ج ؤ ا ؤ ا

نأ

ن ج ي ة ل

لعا و ا وا ا ك نوضر

Artinya: Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ´Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. QS. At-Taubat: 72.

س ْ اا

:


(54)

ْ ْ ح لْ ْ ح ْو ْ

:

م ْس ْ ر ْ ضر

ة ْاا مْو ضْ ْنا ٓ ح ن ك ا ٓ ن ْ ا

.

ث ا جر وا سا ,

ج ا

Artinya: Nabi SAW bersabda; tidaklah seorang muslim atau manusia atau seorang hamba berkata ketika menjelang sore dan pagi hari; aku ridha kepada Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Nabi kecuali Allah berhak untuk meridhainya pada hari kiamat.

I : Ikhlas lillahi ta„ala

ا ع

:

ا ْا ع ا ْآ ٓ

ة ا ا ا ةوك ا ْاو ؤ ةو ا ْاو ءٓ ح ا

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. QS. Al-Bayyinah: 5.

ْوح ْ ْ إْا ا ْ ا

ْ لعْاا عْاا ا ةو

.

ا ك ف عاا موح اا ةا

حر ضر نو لح ح

23

23


(55)

Perbaikilah perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah ikhlasmu dengan tiada daya dan kekuatan kecuali milik Allah SWT.

5. Sembilan Budi Utama Santri

Sembilan Budi Utama Santri ini dirumuskan oleh pengasuh keempat, yaitu KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah, SH. MM.24 dengan penjabarannya sebagai berikut:

a) Taqwallah b) Sopan Santun c) Jujur

d) Amanah e) Disiplin

f) Tanggung Jawab g) Cinta Ilmu dan Ibadah

h) Menghormati Guru Dan Orang Tua i) Visioner

D. Karya-Karya Besar Syekh Hasan Genggong.

Syekh Hasan sebagai pengarang beberapa karya berupa kitab-kitab dan Naẓam Safinatu al-Najah ini adalah salah satu karyanya. Selain itu, Syekh Hasan adalah pengasuh kedua Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Pengabdian sebagai thalib ‘ilm (pencari ilmu) sungguh luar biasa.

24


(56)

Patut diguguh dan ditiru. Adapun hasil karyanya berupa karangan kitab-kitab diantaranya:

1. Naẓam Safinatu Al-Najah

2. Aqidatu Al-Tauhid Fi ‘Ilmi Tauhid 3. Al-Hadist ‘Ala Tartibil Akhrufi Hijaiyah 4. Khutbatu Al-Nikah

5. Khutbatu Al-Jum’at

6. Al-Syi’ru Bi Al-Lughati Al-Maduriyah

Dalam pembahasan ini, penulis hanya fokus pada satu kitab saja yaitu pada Kitab Nazam Safinatu Al-Najah. Informasi tentang kitab yang berada pada 2 bait di akhir halaman menjelaskan bahwa Kitab Naẓam Safinatu Al-Najah dikarang pada tahun 1344 H sekitar tahun 1925 M. Dengan jumlah bait yang terbilang sebanyak 233 bait kecuali dua bait terakhir. Dan salat jama‘ah

dalam kitab tersebut terdapat 49 bait.

Mengingat lahirnya pada 1259 H/1840 M, ketika pada tahun 1344 H bertepatan pada tahun 1925 M pengarang sedang berumur sekitar 85 tahun dan wafat pada 1374 H/1955 M di umur yang ke 115 tahun. Seorang tokoh yang diberi karunia umur panjang serta kecerdasan dalam mengarang beberapa karya berupa kitab. Semoga kita senantiasa mendapat barokahnya. Amin.


(57)

BAB III

SALAT JAMA‘AH DALAM KITAB NA AM SAFINATU AL-NAJAH

KARYA SYEKH HASAN GENGGONG A. Manuskrip Salat Jamaah.

1. Salat Jamaah Dalam Na am

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang rukunnya salat.1

1 Manuskrip salat jama‘ah pada kitab

Naẓam Safinatu Al-Najah yang berjumlah 49 bait dari 233 bait. (lihat halaman 14).


(58)

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang waktu salat fardhu lima waktu


(59)

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang sunnahnya berdiam sejenak dalam salat.


(60)

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang wajibnya niat menjadi imam dan syarat sahnya menjadi makmum.


(61)

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang salat jama„ takhir dan syarat salat qashar.


(62)

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang syarat sahnya salat jum„at dan rukunnya khutbah dua.


(63)

Gambar manuskrip di bawah ini menerangkan tentang syarat-syarat khutbah dua.


(64)

2. Salat Jamaah Dalam Matan

Gambar manuskrip di bawah ini salat jama‘ah pada kitab Matan Safinatu Al-Najah.2

2 Manuskrip salat jama‘ah ini yang terletak pada kitab

Matan Safinatu Al-Najah. Dimana kitab inilah yang di karang ulang oleh Syekh Hasan Genggong menjadi Naẓam Safinatu Al-Najah (lihat halaman 8-9).


(65)

(66)

(67)

(68)

(69)

B. Salinan/Alih Tulisan

ْة ضْ ْاا

ْ ْع ْاا

ْ ْاا

ْة اا

ْش ث ث

ن كْرا

ْ ا ٓ ا ْةْو ْ ْناوضْ ٓك

ا ْ ٓكاْو ْ ٓن ْ ا ْ

ْة نارا

ا ٓن

ْة ْ ا جوٓس ْة ن ْو ْ ا

ْ ٓ ْو ٓ ْو ْ ا ْ كا ْيو ا ْة نْوكْ ر

ما ْح ْ ا ة ْ

ا ث

م ْاا را

م ن ث

ْما ْح ْ ا ة ْ ْو ْ ا نْو ٓ ْ ي ٓ ْ و ا ْ ي ساوك ْ ْ كاا ْ ٓاا

ٓ ْ و ا ن ْن

ة ْ لا عْوك اا

ل

ة ْاا ةءا

ع ار

ٓ ْنا ْناو ٓك ْعوكْ ر ْو ْ ا ْ

ي ْنا

ٓ ْ و ا ي ْ ن ْ ا

ْ ٓ ْو ٓ

م ْو ْ ا

ْة ا ْ ي ٓ ْ و ا ْ ٓ ْو ٓ ا

ْ ْ لاا ْ ْو ْاا

ث

ْ

اْو لاا

ا ْ ْ ا

ْوا ْو ْ ا ْ ْاو س نر ْنا ْوك

ْ رْوا

ٓ ْ و ا ي ْ ْ ٓ ْو ٓ نْوا

ر ن ا

ْاو س ْ ا ْ ا ْ ا ا

ش عْاا وا

ْ اْوع ْاا ث

ْ ْ ا ش اا

عس

ٓ ْو ْ ا ا ْ و ا ي ْ ٓ ْووا ر ك وا ْ ْووك ا ْ ْة ْ ٓااا

ْو ْ ا ْة ا ْ

ْ ا ْ ي ٓ ْ و ا ْ ٓ ْو ٓ نْوا

ْم ْ ْ

ا ْش ن اا

ْم لاا ة اا

ا ْش ا ْاا

ْو ْ ا ْ ْ ْ ٓ و ا ْ ا ٓ ن س كا

ْة نوكْ ر ْ و ا ي ْ ْ ٓ ْو ٓ س ْ ر

م ْو ْ ا ْة ْء ا ا

ْم س ْ ا ْو ْ ا ْ ا

ْ و ا ي ْ ْو ٓ س ٓوٓس

ْ ٓ

ْ ن كْرا

ن كْر ْ ا ةع ْر

ْ

ة ْ نْ لاا

ْ ْع

ا ْ ا ْ ْنوكر ْ ْ ٓس ٓ ا نْر

ْ ا ْ ْن نْوك ا ْ ْنوك ر ا ْ

ْ ٓااا ْ ا ْ ْ ا ْو ْ ا ْة ْ نْ

ٓ ٓس و ا اا

ْء

ْ ْسا ْ ْ ا

رْوكْ ْاا ا عْا ك

ْ ش ةعْ س

ن كْر ْ ا ة ْ

ا ْ ْب ك ْ ا ْ ٓااا ْ

ٓ ٓ ٓ ا

ْ ا ك ا ح

ْنا ْ

ْ و ٓس ْ ْ ا

ْو ْ ا

ْ ٓ ْو ْ ا ْ ا ْ ك و ا ْنوك ر


(70)

ْة ْ نْ ْناو ٓك ْ ا ْو ْ ا ا نارا

اْؤ ْ ٓس ْناو ٓك ْ ْ ا سٓ ْ س وااڲڠ ا ا ْ س

ٓ ٓ ْيو ا

ْ شاا ا

ْ لاا

ْاا ة اا ْ ا

ةلْ

يا و ْ ا ْ ْ ٓس س

ْي

ا ا و ْ و ْ

ْة نْو ْ ْ ٓكا يو ا ْ

ْ ا ْ ا ْو ْ ا

ءاو ْس ْ ا ْ غ

ْ

ءْيشاا ْ

و

ا ن ٓس

ْ ٓ و ْ نا ا ن ْم ا ْ ا نا ا ْ ااا و ْ ا جوٓس

ْ ْ ا و ا

ْ ْ شاا بْ غ

و

ْ ا ْ عْاا

ْا ْنا

ا ْ ْ روس ْ ٓس ْي ْن ْ

ا ْ ا و ا و ْ ن ْ ك و ْن ْو ْ ا ْ ْ

ا

ْ ْنو ا ْ ا ا ْو

ا نا

ْنا ْ

ْح ْ ا ق شاا

ْغ ْنا اا

ب ْغ ا

ا ْ ْ و ْ ٓااا ْ

ْ ا

ْ ْ ْ با ْ ا ي ا ا

ي ٓ ْو ْ

رْوس ْ

ْ ْو ْ ن ْ ك ا ا ْب ْغ

اا

ْ ْ س

ا ء شعْاا ْ

ث

ي ٓ ْو

ْ ْ ا ْ ٓكا ْ ا ا ا ْ ٓك س ْ ا ْ ا ْء ش ْة

ْء ش و ْ و ا ْن ي ْ ْء ش ْو ْ

ْ ر ك ا

ع

ْ ْقا

و

ع ض ْ ْ ا

ْ ْ ا ْ غ

ْ او ٓ ْقا ْ

ْو ْ ا ْرا ْن ْ ر

ْ

ْ ا و ا ْء ش ا

ْ ا ْ ر ا ح ْ رْوس ي ا ْ با ْ

ْ اا ا

ْ ش عْو اا

ْ اا ْ ْ

ث

ْؤسا ْ ْ ْ ا نو ٓ ْ ي ٓ ْو ْ ٓس ْي

ْن ْقا ْ نو ٓ ْناو ٓك

ي ْ

ْو ْ


(71)

ةعْ ج ةا ع

م ْ

ة أا م ْ ا ة ن

ا ْ ا ْ ا ْ ا ْ ا ْة ْ ٓااا ْ

ْةعْ ج ْة ْ ٓااا ا ْ جا ْو ْ ا ْم ا ااا ْ ي ْم ا ن و ا

ل ْاا ْ ح

ة ْاا

ر ا

ة ج

ةرْ ْ

ْنااْ ا ن ا ن ْع ج ْ ا ْ ْة ْ ٓااا ْ ا ْ ا ْ ْ ك ْ ْ ْر ن

ْةع جْ ٓ ا ح ْ ْة ْ ا ْ ر ن ْ ا

ْ ك

ة س

ة اا

ْ لاا ب ْ

ا ن ٓ ٓس و ا ْ ا ك ا ٓ ْ ك ْو ْ ا

ا ْ ْ ٓ ن ْ ٓااا

ا ْڠ ْن نْ

ا ْ

ْة ْ ٓااا ا ْ ا ا ْ ٓك س ْ ا ْ ا ٓ ٓ ْ

ح

وع ع

ْ ْا ك

ح ْ ْ ا

م ْ

ْ ك ا ا

ا ْ ْنوس

اْو ا ْ ٓس

نر ْنا ك ْح ْ ا

ْح ْ ا ْء ا ْ ا ة ْ نر ْنا ْو ْ ا جوٓس ْما ْح ْ ا

ْسا ْ ْ

ْ

ة ْاا ا

ْ

ٓ ٓ ْ نر ْنا ْ ا

ا

ا ْ س ا ْة نر ْنا ْ ا ْة ن ْ ك ْ ا ْاوع نر ْنا ْ ا

ْثا عْوك اا ع

ْ

ةرْولاا ْ

ْ ا ك

ٓ ٓ ْعوكر ن ْ ٓس


(1)

Tentang wajibnya imam niat menjadi imam pada kitab Naẓam Safinatu Al-Najah:

ة أا م ْ ا ة ن

#

ةعْ ج ةا ع م ْ

ر ا ة ج ةرْ ْ

#

ل ْاا ْ ح ة ْاا

Artinya:

Niat imam menjadi imam wajib: 1). Didalam salat mu’adah (salat yang diulang-ulang). 2). salat jumat. 3). salat yang dinadzari dengan berjamaah bagi orang yang bernadzar. 4). salat yang dijama’ taqdim ketika hujan.

Dari kedua contoh tersebut terlihat jelas bahwa isi dari pada keduanya memiliki kesamaan. Bentuknya lah yang menjadi perbedaan antara keduanya. Perbedaan lain yang juga nampak antara keduanya adalah bahasa yang terdapat pada makna (jenggotan) dalam kedua kitab tersebut.

Kitab Matan Safinatu Al-Najah pada makna (jenggotan) nya memakai bahasa Madura, karena pengarang daripada kitab matan ini berasal dari Bangkalan Madura sehingga maknanya menggunakan bahasa Madura, dan juga kitab ini dikaji di wilayah Bangkalan Madura dan sekitarnya.


(2)

Sedangkan kitab Naẓam Safinatu Al-Najah menggunakan bahasa Jawa dalam pemaknaannya. Hal ini dikarenakan penggunaan bahasa Jawa dalam memaknai kitab itu lebih mudah dari pada menggunakan bahasa Madura atau pun Indonesia. Hal ini juga memudahkan pembaca dalam belajar memaknai kitab tersebut bila dikaji oleh pemula yang baru belajar memaknai kitab.

Disamping itu juga pengarang kitab Naẓam Safinatu Al-Najah ini berasal dari pulau Jawa yakni Probolinggo Jawa Timur. Masyarakat Probolinggo menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan Madura, sebagian berbahasa Jawa dan sebagian berbahasa Madura, adapula menggunakan dua-duanya dalam satu wilayah desa seperti salah satu desa yang didiami oleh pengarang kitab Naẓam Safinatu Al-Najah.


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil dari bab pertama sampai keempat dalam skripsi ini penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Syekh Hasan adalah nama panggilan bagi masyarakat, beliau memiliki nama asli Mohammad Hasan. Nama Mohammad Hasan sudah dicantumkan pada kitab karangannya yang dicetak saat ini, tidak menggunakan nama panggilan lagi. Lahir pada tanggal 27 rajab 1259 H di Probolinggo. Syaikh Hasan telah menyelesaikan beberapa pendidikan di berbagai pondok pesantren, antara lain yaitu di pesantren Sukonsari pasuruan, Pondok Pesantren Bangkalan dan di Makkah al-Mukarromah. Dari pengabdiannya di berbagai pesantren, beliau mengahasilkan beberapa karya berupa kitab-kitab dan Naẓam Safinatu al-Najah adalah salah satu karyanya. Syekh Hasan adalah pengasuh kedua Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong menggantikan ayahnya KH Zainal Abidin melanjutkan pengembangan dan kelangsungan pondok pesantren.

2. Teks daripada Salat Jama‘ah Dalam Kitab Naẓam Safinatu Al-Najah memiliki 49 bait dari jumlah bait keseluruhan sebanyak 233 bait kecuali 2 bait terakhir dalam 20 halaman. Isi daripada manuskrip

Naẓam safinatu al-najah adalah bahasa arab dengan menggunakan makna jawi (pegon) yang membahas tentang dasar-dasar fiqh khususnya mengenai salat.

3. Fungsi kitab menjadi Naẓam Safinatu al-Najah untuk memudahkan pembaca dalam belajar dan memahami isi dari kitab tersebut. Karena dalam naẓam memiliki kandungan kaidah rima dan qafiyah dalam pelafalannya. Sehingga kalimat demi kalimat yang di ucapkan dengan menggunakan nada sesuai dengan nada lagu pembacanya.


(4)

B. Saran

Pemaparan dalam skripsi ini adalah salah satu bagian dari berbagai keragaman kebudayaan yang terdapat di Indonesia. Khususnya dalam berbagai ragam naskah yang tertulis dan tersimpan dengan baik diberbagai tempat. Semua itu adalah hasil dari peradaban yang belum bisa kita manfaatkan. Maka sebagai seorang sejarawan muda, merasa tertarik dan perlu untuk membahas salah satu hasil dari kebudayaan dan peradaban dalam sebuah karya ilmiah.

Dengan demikian penulis mengharap adanya kritik dan saran dari berbagai pihak sebagai sebuah koreksi dalam perbaikan dari kesalahan yang ada dalam karya ilmiah ini. Sehingga skripsi ini dapat disempurnakan secara keseluruhan dan skripsi ini akan menjadi sebuah karya ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.


(5)

digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id digilib.uinsa.ac.id DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Ali. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. 2001.

Abimanyu, Petir. Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa.

Yogyakarta: PALAPA. 2014.

Adiwidjajanto, Koes. Filologi Dan Manuskrip: Menelusuri Jejak Warisan Islam Nusantara. Surabaya: LP2FA. 2008.

Aziz, Abdul. Filsafat Pesantren Genggong. Probolinggo: STAI Zainul Hasan Genggong. 2013.

Baried, Siti Bararah. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF). 1994.

Budiono. Kamus Ilmiah Popular Internasional. Surabaya: Alumni. 2005.

Hamid, Abdur Rahman dan Muhammad Saleh Madjid (Ed). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2014.

Hamid, Ismail. Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam. Jakarta:Al-Husna. 1989.

Hamid, Mas’an.Ilmu Arudl Dan Qawafi. Surabaya: Alpha. 2006.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002.

Lubis, Nabila. Naskah, Teks, Dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat. 2007.

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. Kodikologi Melayu Di Indonesia. Jakarta: Lembar Sastra. 1994.

Muzakki, Ahmad. Pengantar Teori Sastra Arab. Malang: UIN-MALIKI PRESS. 2011.

Partanto, Pius dan M Dahlan Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Aloka. 2001.

Purwaningsih, Endang. Preservasi Dan Konservasi Cagar Budaya Berbahan Kertas (Naskah Kuno). Sidoarjo: Makalah Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Prov. Jatim UPT. Museum Negeri Mpu Tantular. 2010.


(6)

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. 2005.

Syam, Nur. Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Askara Yogyakarta. 2007.

Umar, Arief et al. Pesantren Zainul Hasan Dari Masa ke Masa. Probolinggo: PT Rakhmad Abadi. 1989.

Yaqin, Ainul et al. Biografi Kiai Hasan Saifourridzall. Probolinggo: Genggong Press YPPZH Genggong. 2005.

Wawancara

Sugianto. Wawancara. Probolinggo. 19 September 2015. Perc. Syamris Wawancara. Probolinggo. 20 September 2015. Sutopo. Wawancara. Probolinggo. 20 September 2015.

Internet

Fahmi Basyaiban, “Mengenalkan Islam Dengan Nadhom” dalam

http://fahmibasyaiban.blogspot.co.id/2013/01/mengenalkan-islam-dengan-nadhom.html?m=1 (25 November 2015)

Geplaas deur sabilul hasan, “Sejarah Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Dari Masa Ke Masa”, dalam http://sabilulhasan08.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-pondok-pesantren-zainul-hasan.html (25 November 2015).

Merry Choironi, “Arudh Walqawafi” dalam

http://merrychoironi.wordpress.com/2012/04/19/arudh-walqawafy/ (21 November 2015)

Wikipedia Bahasa Indonesia, “Pesantren Zainul Hasan”, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren_Zainul_Hasan_Genggong (25 November 2015)

Siroj Munir, “Biografi Syekh Salim Bin Sumair Al-Hadhromi, Pengarang Kitab Safinatun Naja” dalam http://www.fikihkontemporer.com/2013/04/biografi-syeh-salim-bin-sumair-al.html (1 februari 2016)