Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Kebijakan Perluasan Akses Pendidikan di Kabupaten Sumba Timur Tahun 2010 s/d 2012 T2 942011036 BAB II
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1
Implementasi Kebijakan
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan
pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka
berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam
Syafaruddin, 2008). Abidin (2006) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Sumaryadi (2005) menjelaskan bahwa kebijakan publik pada hakekatnya merupakan suatu keputusan yang sudah mantap yang menyangkut kepentingan umum, oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi pemerintah dalam proses penyelenggaraan Negara. Selanjutnya Sumaryadi mengatakan bahwa keputusan didasarkan pada pilihan-pilihan atau pertimbangan dalam rangka mewujudkan suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana-sarana yang sesuai.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Wahab (2004) memberikan definisi kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana
(2)
atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya yang seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu program,
mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu
rencana.
Anderson dalam Winarno (2012) memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho, 2008). Fattah (2012) menjelaskan bahwa kebijakan publik merujuk pada semua wilayah tindakan pemerintah yang membentang dari kebijakan ekonomi hingga kebijakan yang biasanya merujuk pada rubrik kebijakan sosial
termasuk pendidikan, kesehatan dan wilayah
kesejahteraan lainnya.
Dunn (2000) menjelaskan analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya memperbaiki
(3)
proses pembuatan kebijakan. Sebelum informasi yang relevan dengan kebijakan digunakan oleh pengguna yang dituju, informasi itu harus dirakit kedalam
dokumen yang relevan dengan kebijakan dan
dikomunikasikan dalam berbagai bentuk presentasi. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan financial untuk melakukannya. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan konkrit yang berkembang dimasyarakat. Kebijakan publik juga bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan demi kepentingan orang banyak menurut Young dan Quin dalam Suharto (2010).
Fattah (2012) mengatakan kebijakan terkait
dengan kebijakan publik (public policies) dan dibuat
atas nama Negara (state) yang dibuat oleh
instrument/alat-alat Negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas. Sehingga kebijakan dalam pendidikan memiliki fungsi yaitu:
1.3.1.Menyediakan akuntabilitas norma budaya
yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan,
(4)
1.3.2.Melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru. Carl Friedrich dalam Winarno (2012) mengatakan kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.
Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah untuk
melakukan intervensi. Oleh karena itu implementasi
kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action)
intervensi itu sendiri (Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
atau suatu jenis keluaran (benefit), atau suatu jenis
keluaran yang nyata (tangible output). Selanjutnya, van
Meter dan van Horn membatasi implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu (atau kelompok-kelompok)
(5)
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012). Menurut Anderson (1979), ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan yaitu: 1. Siapa yang mengimplementasikan; 2. Hakekat dari proses administrasi; 3. Kepatuhan; dan 4.Dampak dari pelaksanaan kebijakan.
Menurut Edwards dalam Winarno (2012)
implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan public, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. George Edwards mempertegas bahwa salah satu dampak dari implementasi kebijakan publik bisa menjadi rangkaian kesalahpahaman dan
penyimpangan terhadap tujuan para pengambil
kebijakan, karena orang-orang yang menentukan kebijakan-kebijakan publik tidak sama dengan orang-orang yang mengimplementasikan kebijakan publik tersebut. Jika kebijakan yang baik diimplementasikan dengan buruk maka kebijakan tersebut akan gagal
untuk mencapai tujuan para pembuatnya.
Permasalahan yang ada dalam implementasi kebijakan publik adalah disebabkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya. Dalam mengkaji
(6)
implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni:
1. What is the precondition for successful policy implementation? (prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi
kebijakan berhasil?)
2. What are the primary obstacles to successful policy implementation? (hambatan-hambatan utama
utama apa yang mengakibatkan suatu
implementasi gagal?)
Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel penting dari kebijakan public. Factor-faktor atau variable
tersebut yaitu komunikasi, sumber-sumber,
kecenderungan-kecenderungan (disposisi), struktur
birokrasi.
1.1.1.Komunikasi
Menurut Edwards komunikasi adalah
penyampaian pesan atau informasi tentang kebijakan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan.
Sedangkan Agustino (2006) menyatakan bahwa
komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik,
komunikasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang
(7)
akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu:
1. Transmisi.
Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum
pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung
sebagaimana nampaknya. Banyak sekali
ditemukan keputusan-keputusan tersebut
diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap
keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Penyaluran
komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Ada
beberapa hambatan yang timbul dalam
mentransmisikan perintah-perintah
implementasi. Pertama, pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang
dikeluarkan oleh pengambil kebijakan.
Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini akan menimbulkan hambatan-hambatan atau
(8)
distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan.
Hal ini terjadi karena para pelaksana
menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah-perintah umum. Kedua,
informasi melewati berlapis-lapis hierarki
birokrasi. Seperti kita ketahui birokrasi
mempunyai struktur yang ketat dan cenderung
sangat hierarkhis. Kondisi ini sangat
mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi yang dijalankan. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung dan tidak adanya saluran-saluran komunikasi yang ditentukan mungkin juga mendistorsi perintah-perintah pelaksana.
Ketiga, penangkapan komunikasi-komunikasi
mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif
dan ketidakmauan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan suatu
kebijakan. Kadang-kadang para pelaksana
mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba-coba menduga makna komunikasi-komunikasi yang “sebenarnya”.
2. Kejelasan.
Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus
(9)
kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan
tersebut harus jelas. Seringkali
instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang
disampaiakan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Namun demikian ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran
tertentu, para pelaksana membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Ada
enam faktor yang mendorong terjadinya
ketidakjelasan komunikasi menurut Edwards.
Factor-faktor tersebut adalah kompleksitas
kebijakan publik, keinginan untuk tidak
mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai
kebijakan baru, menghindari
pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat
pembentukan kebijakan pengadilan. 3. Konsistensi.
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan
(10)
suatu komunikasi harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan
memudahkan para pelaksana menjalankan
tugasnya dengan baik. Disisi lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam
menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada keetidakefektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanak tujuan-tujuan kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian Edwards yang dirangkum dalam Winarno (2005) Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu: Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua, informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat
(11)
mengakibatkan bias informasi. Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi
dan ketidakmampuan para pelaksana dalam
memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Menurut Winarno (2005) Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan
publik biasanya karena kompleksitas kebijakan,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam
memulai kebijakan yang baru serta adanya
kecenderungan menghindari pertanggungjawaban
kebijakan. Lalu bagaimana menjabarkan distori atau hambatan komunikasi? Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor yang terlibat mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari pelaksana,
maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan
terdistorsi. Untuk itu, Winarno (2005) menyimpulkan semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin besar kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi. Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi
(12)
probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan secara benar.
Edwards (Winarno, 2005) berpendapat bahwa
faktor kejelasan menjadi penting dalam proses
implementasi kebijakan dan tidak adanya pemaknaan yang membingungkan atau ambigu. Kejelasan tidak identik dengan informasi yang berlebihan yang dapat menghilangkan fleksibiltas dan akan berujung pada kebijakan menjadi kaku.
Konsistensi menjadi faktor dalam proses
implementasi kebijakan. Faktor ini mengandung makna bahwa implementasi kebijakan yang berupa perintah-perintah harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah-perintah yang dijalankan meskipun memiliki unsure kejelasan, namun jika tidak dilakukan secara konsisten, maka
perintah tersebut akan menyulitkan pelaksana
kebijakan dalam menjalankan perintah kebijakan itu sendiri.
1.1.2.Sumber Daya
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumberdaya atau dengan kata lain efektifitas kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan tidak akan berjalan secara baik ketika tidak didukung oleh potensi-potensi sumber daya yang tidak tersedia. Menurut Edwards dalam Agustino (2006), sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Sumber-sumber yang penting tersebut
(13)
meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menerjemahkan usul-usul diatas kertas guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik (Winarno, 2012).
1. Staf.
Sumber daya utama dalam implementasi
kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level
bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan
implementor saja tidak cukup menyelesaikan
persoalan implementasi kebijakan, tetapi
diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan atau keterampilan yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan. Jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan dapat menghambat pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang menjangkau banyak pembaruan. 2. Informasi.
Informasi merupakan sumber penting yang kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi
(14)
mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan
kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu
mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Pelaksana-pelaksana harus
mengetahui apakah orang-orang lain yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati
undang-undang ataukah tidak. Informasi
mengenai program-program adalah penting
terutama bagi kebijakan-kebijakan baru atau kebijakan-kebijakan yang melibatkan persoalan-persoalan teknis seperti misalnya kebijakan mengenai otonomi daerah dan rumah sakit
swadana. Kegiatan-kegiatan rutin seperti
membagi dana, membangun jalan-jalan,
mempekerjakan pengetik, atau membeli barang-barang relative langsung dalam pelaksanaannya, dan informasi tentang bagaimana melaksanakan
kegiatan-kegiatan tersebut. Kurangnya
pengetahuan tentang bagaimana
mengimplementasikan kebijakan beberapa
konsekuensi secara langsung. Pertama, beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhiatau tidak dapat dipenuhi
(15)
tepat pada waktunya. Kedua, ketidakefisien. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintahan lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir, atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan. Selain itu, implementasi kebijakan membutuhkan informasi tentang ketaatan dari organisasi-organisasi atau individu-individu dengan hukum. Akan tetapi data tentang ketaatan sulit diperoleh disebabkan
kurangnya staf yang mampu memberikan
informasi mengenai ketidaktaatan hukum yang mungkin dilakukan.
3. Wewenang.
Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak
dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
(16)
implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang
diselewengkan oleh para pelaksana demi
kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda seperti misalnya hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk datang ke pengadilan, mengajukan masalah-masalah ke pengadalin, mengeluarkan perintah kepada para pejabat lain, menarik dana dari suatu program, menyediakan dana, staf dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah,
membeli barang-barang dan jasa, atau
memungut pajak. Linblom dalam Winarno (2012) menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami dengan sebaik-baiknya kalau kita mengenal dua jalur dimana berbagai orang menggunakan metode kontrol. Pada jalur pertama, setiap kali bila seseorang ingin menggunakan berbagai metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode kontrol (antara lain persuasi, ancaman, dan tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang dikontrolnya. Pada jalur kedua, pihak pengontrol
hanya kadang-kadang saja menggunakan
metode-metode itu untuk membujuk orang-orang yang dikontrolnya agar mentaati peraturan yang
(17)
ada bahwa mereka harus tunduk terhadapnya. Untuk jalur kedua ini Linblom menegaskan bahwa hanya jalur kedua yang menetapkan kewenangan. Jika saya mentaati peraturan untuk tunduk kepada anda, maka anda mempunyai kewenangan terhadap saya. Dengan demikian merujuk pada jalur kedua maka kontrol tidak berarti kewenangan, sebab kewenangan ada hanya jika satu pihak bersepakat terhadap dirinya sendiri untuk mentaati aturan yang dikemukan oleh pihak lain. Dari sini lantas Linblom mengemukakan ciri-ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus, kewenangan, baik sukarela maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang bersedia tunduk; kewenangan itu rapuh dan yang terakhir kewenangan diakui karena berbagai sebab.
Menurut Linblom, sebab-sebab kewenangan
terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kedua, kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, terror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.
4. Fasilitas.
Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi kebijakan.
(18)
Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang mencukupi, memahami apa yang dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melaksanak tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) atau kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa pembekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncakan
tidak akan berhasil. Sebagai contoh,
implementasi kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekolah dasar tidak akan berhasil, jika tidak dilengkapi dengan gedung sekolah yang memadai, buku-buku sebagai bahan pelajaran, kurangnya tenaga pendidikan dan lain sebagainya. Dengan demikian fasilitas sangat diperlukan untuk implementasi kebijakan yang efektif. Namun penyedian fasilitas bagi implementasi kebijakan yang efektif tidaklah selalu mudah.
1.1.3.Kecenderungan-kecenderungan
Menurut Edwards dalam Winarno (2005)
mengemukakan kecenderungan-kecenderungan atau
disposisi merupakan salah-satu faktor yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai
kecenderungan atau sikap positif atau adanya
(19)
terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi
kebijakan karena konflik kepentingan maka
implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edwards tentang
”zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang
dilaksanakan secara efektif karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan berttentangan
secara langsung dengan pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006) menyatakan sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan.
Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down
yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak
(20)
kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edwards dalam Winarno (2012) mengenai kecenderungan-kecenderungan dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Pengangkatan birokrasi.
Kecenderungan-kecenderunga (disposisi) atau
sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan, bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
2. Insentif
Menurut Edwards salah-satu teknik yang
disarankan untuk mengatasi masalah sikap para
pelaksana kebijakan dengan memanipulasi
insentif. Pada dasarnya orang bergerak
berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka
memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para
(21)
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
1.1.4.Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah social dalam kehidupan modern. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan kadangkala suatu
system birokrasi sengaja diciptakan untuk
menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument social yang ditujukan untuk
menangani masalah-masalahh yang
didefenisikan sebagai urusan politik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
(22)
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda.
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang
kompleks dan luas.
5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang
tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.
6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dalam
pilihan-pilihan kebijakan mereka, tidak juga dalam kendali penuh dari pihak luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan-pilihan yang mereka ambil. Menurut Edwars ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar
atau sering disebut sebagai standart operating
procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama berkembang sebagai tanggapan internal dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Yang kedua,berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat
(23)
kebijakan yang memengaruhi organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.
1. Pengaruh struktur organisasi bagi implementas
(SOP)
Struktur organisasi-organisasi yang
melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah
prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (standard
operating procedures, SOP). Prosedur-prosedur biasa digunakan dalam menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan dalam organisasi-organisasi publik
dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang komplek dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ketempat yang lain) dan kesamaan besar dalam penerapan peraturan-peraturan.
SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi,
(24)
semakin besar pula probablitis SOP menghambat implementasi. Birokrasi-birokrasi dimana SOP tidak sangat melekat-apakah karena badan yang baru atau tingkat pergantian personil yang tinggi mungkin lebih tanggap terhadap kebutuhan bagi cara-cara yang lazim untuk implementasi. Sementara itu waktu yang lama dan perilaku yang ditentukan dengan jelas dalam undang-undang mungkin membantu dalam mengatasi cara-cara lazim birokrasi yang tidak semestinya.
Namun demikian, disamping menghambat
implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat.
Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur
perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru ketimbang birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.
2. Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang
berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa
organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi
kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena
(25)
alsan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari
koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal,
penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil.
Fragmentasi mengakibatkan
pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Disamping itu karena masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terdampar antara reak-retak struktur organisasi. Kedua, pandangan-pandangan
yang sempit dari badan mungkin juga akan
menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya
(26)
dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.
Komunikasi
Sumberr-sumber
Implementasi Kecenderungan-kecenderungan
Struktur Birokrasi
Gambar 2.1. Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi
2.2
Kebijakan Pemerintah dalam Bidang
Pendanaan
bagi
Perluasan
Akses
Pendidikan
Pembangunan sistem pendidikan nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri,
dan modern (Fattah, 2012). Pendidikan pada
hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar
sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh
karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah (Gunawan,
(27)
1991). Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan adalah usaha pemerintah untuk memecahkan suatu masalah dalam bidang pendidikan sehingga bisa mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan visi, misi pendidikan dalam
rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan
pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu (Tilaar dan Nugroho, 2008). Sebagaimana di kemukakan oleh Mark Olsen & Anne-Maie O’Neil kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi.
Salah satu argument utamanya adalah bahwa
globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan (Nugroho, 2008). Marget E. Goertz
mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan
berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan (Nugroho, 2008).
Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan terlihat ketika pendidikan berada pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat
(28)
dengan pembangunan Sumber Daya Manusia masa depan. Pemerintah juga melalui Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ayat (4) menugaskan negara untuk
memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan
daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam upaya
meningkatan aksesibilitas dan mutu pendidikan
nasional, sejak beberapa tahun lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan dan telah mengucurkan bantuan dana pembangunan pendidikan dalam bentuk
Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan. DAK
Bidang Pendidikan Dasar juga merupakan salah satu
sumber dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas Nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang belum
mencapai standar tertentu atau percepatan
pembangunan daerah di bidang pendidikan dasar. Kebijakan DAK Bidang Pendidikan Dasar tahun 2013 ada untuk:
1. DAK Bidang Pendidikan Dasar dialokasikan
(29)
belajar pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun yang bermutu dan merata dalam rangka memenuhi
Standar Pelayanan Minimum dan secara
bertahap memenuhi Standar Nasional
Pendidikan.
2. Sasaran program DAK Bidang Pendidikan Dasar
untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB baik negeri maupun swasta.
3. Alokasi DAK Bidang Pendidikan Dasar per daerah
dan pedoman umum DAK ditetapkan oleh Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2013.
4. Kegiatan DAK bidang pendidikan Dasar Jenjang
SD/SDLB diarahkan untuk:
a. rehabilitasi ruang kelas rusak sedang
b. pembangunan perpustakaan
c. pengadaan peralatan pendidikan
1. peralatan pendidikan Matematika;
2. peralatan pendidikan Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA);
3. peralatan pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS);
4. peralatan pendidikan Bahasa;
5. peralatan Pendidikan Jasmani, Olahraga,
(30)
6. peralatan pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan
5. Kegiatan DAK bidang pendidikan Dasar jenjang
SMP/SMPLB diarahkan untuk:
a. Penggandaan dan distribusi buku teks
pelajaran sesuai kurikulum 2013 sehingga seluruh peserta didik kelas VII terpenuhi kebutuhan bukunya.
b. Rehabilitasi ruang beajar dengan tingkat
kerusakan paling rendah rusak sedang,
pembangunan ruang kelas baru,
pembangunan perpustakaan,
pembangunan ruang belajar lainnya.
c. Pengadaan peralatan pendidikan yang
terdiri dari peralatan IPS , Matematika,
peralatan laboratorium IPA, peralatan
laboratorium Bahasa, dan peralatan olah
raga. (Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan)
6. Target yang akan dicapai dalam kegiatan DAK
Bidang Pendidikan Dasar untuk SD/SDLB adalah:
1. Tercapainya kebutuhan ruang kelas yang layak;
2. Tersedianya ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
(31)
3. Tersedianya peralatan pendidikan yang memadai.
7. Target yang akan dicapai dalam kegiatan DAK
Bidang Pendidikan Dasar untuk SMP/SMPLB adalah:
1. Tersedianya buku teks pelajaran sesuai kurikulum 2013 sehingga seluruh peserta
didik kelas VII terpenuhi kebutuhan
bukunya;
2. Bertambahnya ruang belajar dalam kondisi
layak sebagai tempat terselenggaranya
proses belajar mengajar;
3. Bertambahnya ruang kelas baru (RKB) beserta perabotnya; dan
4. Bertambahnya sarana pendidikan
penunjang peningkatan mutu pendidikan.
Selain itu pemerintah juga mengeluarkan
kebijakan melalui program dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) sebagai upaya untuk memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia. Menurut peraturan
mendiknas nomor 69 tahun 2009, standar biaya operasi nonpersonalia adalah standar biaya yang
diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi
nonpersonalia selama satu tahun sebagai bagian dari keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukan kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai standar nasional pendidikan.
(32)
Program BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar
sebagai pelaksana program wajib belajar, dan
meningkatkan fasilitas pendidikan seperti
pembangunan gedung sekolah dan beberapa sarana prasarana pendukung lainnya. Menurut PP 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, biaya non personalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak dll. Namun demikian, ada beberapa jenis
pembiayaan investasi dan personalia yang
diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS.
Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Secara khusus memiliki tujuan untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SLB negeri dan SMP/SMPT negeri terhadap biaya operasi sekolah, membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun baik disekolah negeri maupun swasta, meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa disekolah swasta. Hal ini merupakan kebijakan yang sudah diberikan oleh
(33)
pemerintah bagi kemajuan tingkat pendidikan dan akses pendidikan di Negara Indonesia.
Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD/SDLB dan SMP/SMPLB/SMPT, termasuk SD-SMP Satu Atap (SATAP) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKB Mandiri) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
2.3
Perluasan Akses Pendidikan
Sejak tujuan Negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara
Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial,ras,
agama,dan gender maka pemerintah telah menetapkan Misi Departemen Pendidikan Nasional yaitu sebagai berikut:
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Misi Pendidikan Nasional adalah
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia
2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan
(34)
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas
proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas
lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Untuk mewujudkan misi tersebut, Depdiknas menetapkan beberapa strategi dan program yang disusun berdasarkan suatu skala prioritas. Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana
APBN/APBD dan dana masyarakat yang lebih
ditekankan pada tiga pilar kebijakan pendidikan yaitu:
1. Upaya pemerataan dan perluasan akses
pendidikan;
2. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing
keluaran pendidikan; dan
3. Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra
publik pengelolaan pendidikan. (RENSTRA
(35)
Pilar pertama yaitu mengenai upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan adalah hal yang akan diteliti. Deklarasi dunia tentang Pendidikan Untuk
Semua (PUS) atau Education For All (EFA) yang
diselenggarakan di Dakar, Senegal pada tanggal 26-28 april 2000 menyebutkan bahwa menjelang tahun 2015 setiap Negara akan menjamin semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik (Fattah, 2012). Perluasan akses pendidikan sangat diperlukan untuk membangun mutu pendidikan yang lebih baik, membangun pemahaman manusia mengenai pentingnya pendidikan. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara social, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat indek pembangunan daya saing bangsa era global serta meningkatkan peringkat indeks pembangunan manusia hingga mencapai posisi
(36)
sama dengan atau lebih baik dari IPM sebelum krisis (Renstra Depdiknas).
Pendidikan adalah alat dan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang siap untuk terjun langsung dalam dunia kerja sebagai pribadi yang handal dan terampil. Karena begitu pentingnya pendidikan maka diamanatkan dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa serta bercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan,
dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang. Pendidikan disediakan dan
dikeluarkan oleh pemerintah agar supaya seluruh lapisan masyarakat di negeri ini tanpa terkecuali bisa
membangun kapasitas diri menjadi lebih baik.
Masyarakat Indonesia diberikan hak sepenuhnya untuk dapat mengenyam pendidikan. Hal tersebut tertuang pada batang tubuh UUD pasal 31 tahun 1945 yang dengan tegas lagi menyatakan (1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pasal (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dengan adanya
(37)
kebijkan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, bukan menjadi alasan biaya pendidikan yang mahal sebagai penghambat masyarakat tidak mengambil bagian untuk bersekolah dan memperoleh pendidikan, karena UUD sudah menegaskan bahwa pemerintah
membiayai masyarakat untuk bersekolah dan
mengenyam pendidikan. Namun yang terjadi dinegeri ini adalah 1,08 juta siswa (2,05%) putus sekolah dan 3,03 juta lulusan SD sampai SMP tidak bisa melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan faktor ekonomi, disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh kepada Kompas, Rabu (27/7/2011) di Jakarta.
Akses pendidikan yang kurang baik adalah salah satu penyebab pemerataan pendidikan masih rendah. Akses pendidikan dalam hal ini meliputi sarana prasarana yang kurang memadai, jarak tempuh antara rumah-sekolah, pembagian guru tidak merata antara desa dan kota, akses terhadap layanan pendidikan masih terbatas dan tidak merata, kesenjangan gender yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan faktor ekonomi, kesadaran orang tua untuk mendorong anak-anak mereka bersekolah, masih meningkatnya angka melek aksara yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu 1) masih terjadinya anak putus sekolah, khususnya pada kelas-kelas rendah di SD dan yang kemudian sebagian besar akan menjadi buta aksara, 2)
(38)
sebagian dari aksarawan baru akan kembali menjadi
buta aksara (relapse illiteracy) karena kemampuan
literasi yang dimiliki tidak digunakan lagi, 3)
menurunnya perhatian pemerintah daerah dan
masyarakat terhadap upaya pemberantasan buta aksara (Renstra Depdiknas).
Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Memperluas akses bagi anak usia 0-6 tahun,
baik laki-laki maupun perempuan untuk
memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barries )
melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang
besarnya dihitung berdasarkan per siswa
dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap
(39)
BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan
formula (formula based funding) yang
memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
c. Membentuk “SD-SMP satu atap ”bagi daerah
terpencil yang berpenduduk jarang dan
terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program
pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk
mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam
kebijakan ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7-15
tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal
untuk memiliki kesempatan mendapatkan
(40)
program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara
usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun
perempuan untuk memiliki kesempatan
mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan
kesempatan bagi penduduk buta aksara
dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama
dengan pendidikan, seperti organisasi
keagamaan, organisasi perempuan, dan
organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam
memperluas akses sekolah menengah (SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi
(41)
siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK
sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal.
Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui
penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar
kerja yang berkembang. Disamping itu,
dilakukan upaya penambahan muatan
pendidikan keterampilan di SMA bagisiswa yang akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan
memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan
atau menutup sementara secara fleksibel
program-program yang lulusannya sudah jenuh.
i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan
tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat
bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan
(42)
hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal.
k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan
gender, pendidikan untuk layanan khusus didaerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah
konflik, perbatasan, dan lain-lain serta
mengimplementasikannya dalam berbagai
program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya
pendidikan serta mau mengirimkan
anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah.
m.Melaksanakan advokasi bagi pengambil
keputusan, baik di eksekutif maupun legislative dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio,
televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran
(43)
dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta
jarang penduduk. (RENSTRA Departemen
(1)
sebagian dari aksarawan baru akan kembali menjadi buta aksara (relapse illiteracy) karena kemampuan literasi yang dimiliki tidak digunakan lagi, 3) menurunnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap upaya pemberantasan buta aksara (Renstra Depdiknas).
Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Memperluas akses bagi anak usia 0-6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barries ) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap
(2)
BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat. c. Membentuk “SD-SMP satu atap ”bagi daerah
terpencil yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7-15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun
(3)
program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses sekolah menengah (SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi
(4)
siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang. Disamping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagisiswa yang akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh. i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan
tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan
(5)
hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal. k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan
gender, pendidikan untuk layanan khusus didaerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik, perbatasan, dan lain-lain serta mengimplementasikannya dalam berbagai program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah.
m.Melaksanakan advokasi bagi pengambil keputusan, baik di eksekutif maupun legislative dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran
(6)
dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk. (RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009)