Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transaksi Elektronik Via Electronic Data Capture (EDC) dalam Perspektif Hukum Mayantara T1 312008058 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagaimana Penulis telah kemukakan dalam Bab I bahwa penelitian dan penulisan karya tulis ini setidak-tidaknya akan menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan1 yang berhimpun dalam kata tanya “bagaimana” pada sub judul rumusan masalah yaitu; 1) Apa hakekat dari transaksi elektronik via EDC sebagaimana diatur dalam UU ITE dan prinsip konvergensi dari UU Telekomunikasi? 2) Kapan suatu transaksi elektronik via EDC dimulai atau dinyatakan berlaku. 3) Siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik Via EDC yang menggunakan sarana telekomunikasi? 4) Apa sajakah yang bisa atau dapat menjadi objek dalam sebuah transaksi Via EDC? 5) Apakah hak-hak dan kewajiban dari para pihak yang terlibat dalam sebuah Via EDC? 6) Kapan suatu transakasi elektronik Via EDC dinyatakan telah berakhir dan 7) Bagaimana penyelesaian sengketa dalam suatu transaksi elektronik Via EDC? ? plus bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak pula aspek hukum yang dapat diteliti dari kegiatan transaksi elektronik.

Oleh sebab itu dalam Bab ini, sesuai dengan judul “Tinjauan Pustaka”, maka Penulis akan menggambarkan (mendiskripsikan) jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, yang diambil dari kepustakan yang Penulis teliti (baca). Pustaka-pustaka mana telah Penulis pandang sebagai pustaka dalam

1


(2)

bidang hukum yang menyimpan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan sebagaimana dikemukakan di atas, meskipun hanya tersirat sekalipun.

Pustaka-pustaka itu telah Penulis pandang sebagai pustaka “dalam bidang hukum” dan oleh sebab itu Penulis rujuk sebagai bahan tinjauan kepustakaan yang berkaitan dengan topik penelitian dan penulisan karya tulis ini, sebab memang harus diakui bahwa sangat sulit menemukan kepustakaan yang secara spesifik dan sistematik (kontraktual) membicarakan aspek hukum dari transaksi yang menggunakan EDC.

2.1. Hakekat Dari Suatu Transaksi Elektronik

Electronic commerce (e-commerce) umum dipahami sebagai suatu cara

perdagangan. Cara perdagangan atau transaksi tersebut relatif baru keberadaannya, dibandingkan dengan cara perdagangan lainnya. Sehingga bagi sebagian kalangan pengertian transaksi elektronik masih belum jelas. Ketidakjelasan dalam mengartikan suatu istilah berdampak pada kesukaran dalam mengerti seluruh permasalahan yang muncul. Hal itu seharusnya tidak demikian berlaku dalam bidang hukum. Sebab, menurut pendapat Penulis, bukankah hukum itu harus serba jelas, pasti dan mudah dimengerti?

Dalam pada itu secara umum, e-commerce dapat didefinisikan sebagai bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade goods and

service) dengan menggunakan media elektronik.2

2

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek


(3)

Menggunakan definisi e-commerce seperti itu, menurut pendapat Penulis, apabila EDC dapat disamakan dengan media elektronik, maka pada titik ini, dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya EDC itu hanyalah sarana yang dapat dipergunakan oleh para pihak (the parties) dalam transaksi perdagangan (to

contracts) atau perniagaan barang dan jasa sebagai suatu kontrak (a contract).

Berkaitan dengan hakikat kontraktual EDC tersebut, maka berikut ini pengertian kontrak sebagai nama ilmu hukum:

”segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat, atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.”3

Dalam operasionalnya, kontrak e-commerce ini dapat berbentuk transaksi yang dilakukan oleh para pihak dalam Business to Bussiness (B to B) atau pihak dalam Business to Consummers (B to C) atau pihak dalam transaksi yang dilakukan oleh konsumen ke pihak konsumen (customer to customer).4

Meskipun dalam perspektif hukum yang terlihat adalah transaksi oleh para pihak dalam Business to Bussiness namun pada umumnya dipandang hanya sebatas sistem komunikasi bisnis on-line antar pelaku bisnis.

3

Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum., Fakultas Hukum UKSW Salatiga., hal. 2.

4

Abdul Halim Barkatullah & Teguh Prasetyo, SH, M.Si., Op.Cit ., hal. 22. Menurut pendapat Penulis, dalam perpektif Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, entah itu bentuk transaksi B to B, to C, C to C, konsep baku yang dipakai tetap pihak (the partis to contract).


(4)

Dilihat dari karakteristiknya, transaksi e-commerce para pihak dalam

Business to Business mempunyai karakteristik sebagai berikut transaksi terjadi

antara para pihak sebagai trending partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan hukum yang berlangsung cukup lama.

Pertukaran informasi atau dalam bahasa hukum dapat dikatakan sebagai suatu consensus in idem hanya berlangsung di antara mereka dan karena sudah sangat mengenal. Dapat dikatakan karakteristik pertukaran informasi tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan. Di samping itu, dalam

e-commerce business to business, ada pertukaran data (consensus in idem)

dilakukan secara berulang-ulang dan berskala serta format yang telah disepakati

(standard contract). Jadi service yang digunakan antara kedua sistem tersebut

sama dan menggunakan standar yang sama. Ciri selanjutnya dari e-commerce ini adalah salah satu pelaku tidak harus menunggu partner mereka lainnya untuk mengirim data. Akhirnya dalam ciri e-commerce ini adalah model yang umum digunakan adalah pear to pear, dimana processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.5

Sedangkan hubungan hukum oleh para pihak dalam business to consumers merupakan transaksi melalui internet antara penjual barang dan konsumen (end

user). Hubungan hukum para pihak dalam Business to Consummers (B to C) pada e-commerce jenis ini relatif banyak ditemui dibandingkan dengan Business to Business. Dalam transaksi e-commerce jenis B to C, hampir semua orang dapat

5

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek


(5)

melakukan transaksi baik dengan nilai transaksi kecil maupun besar dan tidak dibutuhkan persyaratan yang rumit. Dalam transaksi B to C, sementara pihak memandang bahwa konsumen memiliki bargaining position yang lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional. Hal itu dikarenakan, konsumen memperoleh informasi yang beragam dan mendetail. Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi para pihak dalam hubungan kontraktual, dalam hal ini adalah pihak konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan bagi pihak konsumen untuk memilih jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finasial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.6

Karateristik dari transaksi e-commerce Business to Consumer adalah sebagai berikut : 1) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula; 2) Service dapat dilakukan juga bersifat umum sehingga mekanismenya dapat digunakan oleh banyak orang. Contohnya, karena sistem

web sudah umum di kalangan masyarakat, maka sistem yang digunakan adalah

sistem web pula; 3) Service yang diberikan berdasarkan permintaan dimana konsumen berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon terhadap inisiatif konsumen; 4) Sering dilakukan pendekatan client-server, yang mana konsumen di pihak klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web)

6


(6)

dan pihak penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada pihak

server.7

Konsumen ke konsumen merupakan jenis transaksi bisnis yang tidak hanya dilakukan secara konvensional tetapi juga secara elektronik. Jenis transaksi demikian dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu pada saat tertentu pula. Segmentasi transaksi elektronik antara pihak konsumen ke konsumen sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Dalam kaitan dengan itu terlihat dari kepustakaan yang ada, internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya.

Selain itu antar consumer juga dapat membentuk komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan customer dalam mengonsumsi suatu produk dapat segera tersebar luas melalui komunitas-komunitas tersebut. Seperti telah dikemukakan, itulah alasan mengapa internet telah menjadikan customer memiliki posisi tawar yang tinggi, dan dengan demikian menuntut pelayanan suatu perusahaan yang terlibat dalam transaksi elektronik untuk menjadi lebih baik.8

Uraian di atas tidak secara eksplisit dan lugas menjawab pertanyaan nomor satu sebagaimana telah Penulis kemukakan dalam rincian di bagian introduksi pada Bab ini. Namun dapat Penulis kemukakan, bahwa begitulah kenyataan yang

7

Ibid., hal. 152.

8


(7)

saat ini ada, khususnya kenyataan kepustakaan hukum yang membicarakan tentang transaksi e-commerce. Ada ketidakjelasan dalam mengungkapkan makna yang hakiki dari suatu transaksi elektronik. Khusus mengenai hakikat dari EDC, bahkan terlihat dari uraian di atas bahwa tidak satu pun kepustakaan yang membicarakan mengenai hal itu. Namun, seperti telah Penulis kemukakan di atas, bahwa pada hakikatnyya transaksi elektronik dimana EDC menjadi alat yang membantu melancarkan transaksi yang bersangkutan sebagai suatu kontrak.

Untuk lebih memerjelas hakikat kontraktual seperti itu, maka berikut ini tinjauan kepustakaan yang lebih rinci, yang akan dimulai dari pihak-pihak dalam setiap transaksi elektronik, termasuk pihak-pihak dalam transaksi yang menggunakan EDC sebagai sarana yang membantu transaksi.

2.2. Pihak-Pihak Dalam Transaksi Elektronik

Transaksi e-commerce termasuk yang menggunakan EDC sebagai sarana, melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Perlu dikemukakan dalam kaitan dengan itu, bahwa tidak semua proses transaksi dilakukan secara

on-line, hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara on-line.

Apabila seluruh transaksi e-commerce dilakukan secara on-line9, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari: Pihak Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen

9Dalam konteks tinjauan kepustakaan dalam Bab ini, sudah barang tentu yang dimaksud juga EDC.


(8)

yang menawarkan produknya melalui internet.10 Untuk menjadi merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada pihak bank, tentunya ini dimaksudkan agar Pihak merchant dapat menerima pembayaran dari pihak customer dalam bentuk credit card, maupun debit card.11 Di samping Pihak

Penjual, transaksi on-line dengan menggunakan EDC melibatkan pihak konsumen/card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh hak atas produk (barang atau jasa) melalui pembelian (pembayaran) atau transaksi/kontrak secara

on-line. Pihak Konsumen yang akan berbelanja atau membayar menggunakan

EDC yang terhubung dengan jaringan telekomunikasi (internet), dapat berstatus perorangan atau perusahaan. Apabila Pihak konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana metode pembayaran yang dipergunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan menggunakan credit card (kartu kredit) atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak semua Pihak konsumen yang berbelanja/membayar melalui EDC on-line

(internet) adalah pemegang kartu kredit/card holder. Pemegang kartu kredit (card holder) adalah seseorang yang namanya tercetak pada kartu kredit yang

dikeluarkan oleh pihak penerbit berdasarkan perjanjian yang telah dibuat dengan pihak Bank Penerbit. Pihak selanjutnya dalam transaksi e-commerce adalah

10

Di Indonesia, Hukum positif yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mengenal istilah Penjual, tetapi Pengirim. Istilah Penjual barangkali lebih tepat dipergunakan dalam transaksi konvensional saja.

11

Perlu dikemukakan bahwa pihak-pihak dalam transaksi on-line yang dimaksudkan disini adalah transaksi , misalnya pembayaran barang dengan menggunakan EDC.


(9)

Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan

perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).12

Perantara dan penagih adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan data yang masuk kepadanya atau yang dikoleksi oleh mesin EDC yang diberikan oleh pihak penjual barang/jasa. Pihak perantara penagihan inilah yang melakukan transaksi elektronik dengan pihak penjual. Pihak perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit) adalah pihak bank dimana pembayaran kredit dilakukan oleh pihak pemilik kartu kredit/card holder. Selanjutnya pihak yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang pembayaran tersebut ke pihak Bank penerbit kartu kredit (issuer).

Pihak selanjutnya dalam transaksi e-commerce adalah Issuer. Yang dimaksud dengan issuer adalah perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu : a) Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak setiap bank dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang memperoleh ijin dari Card

International, dapat menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa Card; b)

Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional yang membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri; c) Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American Express.

12

Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa setiap kali konsep penerbit digunakan dalam pembayaran, dalam hukum, asumsinya adalah bahwa penerbit itu adalah suatu Bank.


(10)

Pihak berikutnya dalam transaksi e-commerce adalah Certification

Authorities; Pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan

sertifikat kepada pihak merchant, kepada issuer, dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada pihak card holder. Certification Authorities dapat merupakan suatu lembaga pemerintah atau lembaga swasta.

Di Italia, dengan alasan kebijakan publik, menempatkan pemerintahan Italia sebagai organ yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pusat

certification authorities. Sebaliknya di Jerman, jasa sertifikasi terbuka untuk

dikelola oleh sektor swasta untuk menciptakan iklim kompetisi yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas pelayanan jasa dalam bidang teknologi informasi

(information technology) tersebut.13

Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara on-line, maka hanya sebagian proses transaksi saja yang on-line. Sementara pembayaran, tetap dilakukan secara manual/cash. Maka dalam hal ini pihak acquirer, issuer, dan certification authorities tidak terlibat.

Di samping pihak-pihak tersebut, seperti telah dikemukakan di atas, pihak lain yang terlibat tidak secara langsung dalam transaksi electronic commerce yaitu pihak yang menyelesaikan transaksi berupa jasa pengiriman (ekspedisi), dan pengangkutan dan penyerahan barang.14

13

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek

Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 152-153.

14

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Op.Cit., hal. 152 - 154.


(11)

2.3. Saat Terjadinya Transaksi Elektronik

Ada beberapa pendapat dalam kepustakaan yang Penulis teliti, yang menjelaskan saat terjadinya transaksi dalam perjanjian e-commerce. Diantaranya, ada yang menyatakan bahwa saat terjadinya kontrak termasuk kontrak elektronik adalah ketika pihak konsumen menyatakan pemesanan (order) barang dengan menulis e-mail.15

Selanjutnya terjadinya kontrak adalah pada saat pelaku usaha mengirim

e-mail yang isinya menyatakan bahwa barang yang dipesan pihak konsumen sudah

diterima.16

Pada bagian lain, ada juga pendapat bahwa terjadinya kontrak elektronik adalah sejak diketahuinya e-mail dari pihak pelaku usaha oleh konsumen yang isinya menyatakan mengenai sejumlah nominal dari total pemesanan konsumen, cara pembayaran, dan metode pengiriman barang.17

Akhirnya, ada pula pendapat bahwa kontrak elektronik terjadi pada saat pernyataan pemesanan barang tersebut selayaknya diterima oleh pihak konsumen.18

15

Ada yang menyebut hal tersebut dengan teori kehendak. 16

Ada yang menyebut hal tersebut dengan teori pengiriman. 17

Sementara pihak menyebut hal ini dengan teori pengetahuan. 18


(12)

2.4. Objek dari Transaksi Elektronik

Secara umum telah memberikan definisi e-commerce sebagai bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade of goods and

service) dengan menggunakan media elektronik.19

Dari pengertian e-commerce tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi objek20 dari transaksi elektronik adalah berupa hak atas barang, jasa dan informasi. Yang dimaksud dengan hak atas barang dalam transaksi elektronik adalah hak-hak atas produk-produk yang berupa perangkat keras dan perangkat lunak.21 Menurut pendapat Penulis, hal seperti ini dituntun oleh kaedah hukum dalam bidang hukum kehendak.

Mekanisme transaksi on-line dengan produk perangkat keras adalah dengan mengirim atau penyerahan barang sampai ke rumah konsumen, dan untuk perangkat lunak pembeli diizinkan untuk men-download-nya.

Mekanisme untuk pembelian oleh pihak dalam suatu transaksi elektronik, subyek berupa hak atas jasa adalah pihak suplier akan melayani pihak konsumen sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian atau kontrak elektronik.

19

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek

Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 170.

20

Objek adalah terminologi hukum perdata Indonesia. Seharusnya subyek. Sedangkan subyek, seharusnya menjadi pihak. Pandangan ini dipioniri oleh Jeferson Kameo, S.H., LLM., Ph. D. 21

Assafa Endeshaw., Hukum E-Commerce dan Internet dengan Fokus di Asia Pasifik (judul asli :

Internet and E-Commerce Law : With a Focus on Asia-Pasific., diterjemahkan oleh Siwi Purwandari dan Mursyid Wahyu Hananto)., Yogyakarta., Pustaka Pelajar., 2007., hal. 246.


(13)

Berikut Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,

teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat Dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.22

Dalam transaksi elektronik, informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.23 Hal tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.24

Selanjutnya, informasi elektronik atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.25

Akan tetapi ketentuan mengenai informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta

22

Pasal 1 Angka (1) UU ITE. 23

Pasal 5 Ayat (1) UU ITE. 24

Pasal 5 Ayat (2) UU ITE. 25


(14)

dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.26

2.4.1. Kategori Metode Pembayaran Elektronik

Sistem pembayaran elektronik pada saat ini dapat dikategorikan menjadi 3. Di bawah ini uraian/analisinya.

Pertama kategori sistem debit. Dalam kategori ini, pihak konsumen

diharuskan terlebih dahulu mempunyai rekening di suatu bank. Apabila pihak konsumen akan melakukan suatu pembayaran maka pembayaran itu akan diambil dari rekening pihak konsumen yang ada di Bank tersebut dengan cara debit. Contoh dari sistem ini adalah: Bank Internet Payment System (BIPS), FSTC

Electronic Check (Echeck), Open Financial Exchange (OFX).27

Kategori kedua adalah sistem kredit. Sistem ini mengalihkan kewajiban

pembayaran kepada pihak ke-3 yang akan menagih kepada orang yang bersangkutan. Pedagang akan melakukan proses capture yaitu meminta pembayaran dari pihak ke-3 yang menjadi perantara.

Sistem ini terdiri dari Credit Card Over HTTP/SSL dan SET. Metode yang menggunakan SSL banyak digunakan oleh internet merchant pada saat ini.

Internet merchant akan menggunakan SSL dalam meng-encrypt proses capture

dari nomor kartu kredit yang digunakan.

26

Pasal 5 Ayat (4) UU ITE. 27

Menurut pendapat Penulis, semua pembayaran atau transaksi dengan menggunakan EDC termasuk dalam kategori ini.


(15)

Kategori metode pembayaran elektronik yang ketiga adalah uang digital (e-money) “tunai” atau electronic “cash”/digital cash. Dalam uang digital, pembayaran baru seperti halnya uang digital hanya berhasil apabila keberadaannya diterima banyak orang. Dengan meraih penerimaan ini semua pihak yang terlibat memetik cukup banyak keuntungan melebihi dari “biaya” yang harus ditanggungnya.

Kategori metode pembayaran dengan uang digital itu dipengaruhi oleh minat customer membawa alat pembelian ini senyaman mungkin. Pembayaran dapat dilakukan dari rumah dengan cara yang mudah dan efisien. Dealer

(merchant) bisa saja memetik fee dari transaksi (namun sebaiknya tidak). Di lain

pihak, keuntungan yang diraihnya adalah memperbaiki citra sebagai merchant yang inovatif dan mungkin meningkatkan penjualan.

Arsitek sistem bertanggung jawab terhadap pengembangan sistem pembayaran. Keuntungan mereka adalah royalti dan fee dari layanan. Prasyaratnya adalah penerimaan yang luas dari sistem mereka dan penggunaannya. Penyedia sistem (system provider) menjadi pihak penengah. Penjualan dealer diteruskan ke institusi keuangan.

Penyedia sistem bertanggung jawab terhadap clereance transaksi. Ia menyediakan pula layanan (manajamen problem, pelatihan pengguna). Pendapatan berasal dari fee dan tarikan (charge) atas layanan yang ia sediakan. Institusi keuangan dapat mempromosikan sistem tertentu. Kepercayaan terhadap


(16)

sistem pembayaran elektronik merupakan kunci keberhasilan. Hambatannya barangkali adalah masalah know how.

Dalam metode pembayaran dengan uang digital Trust Center mengontrol kunci signature digital. Trust Center bertanggung jawab terhadap integritas data yang ditransmisikan dan otentikasi. Trust Center juga memberikan pengamanan pada sistem pembayaran tertentu. Penerimaan mereka berasal dari royalti dan fee layanan-layanan lain. Pendorong lainnya adalah pembayaran mikro (micro

payment) dengan satuan yang lebih kecil dalam rupiah.

Dalam kategoti pembayaran elektronik dengan uang digital28 ini ada beberapa prasyarat. Pertama, sistem yang terbuka membutuhkan fasilitas

security29 untuk menangani pembayaran elektronik. Security dapat diwujudkan

dengan metode kriptografi yang berhubungan dengan nomor transaksi.

Kedua, sejumlah besar costumer harus dapat melakukan transaksi

pembayaran secara serentak. Sistem harus dapat melayani banyak pengguna dan mudah untuk dikembangkan. Scalability merupakan kriteria yang penting.

Ketiga, pembayaran skala kecil (micro dan pico payment) semestinya

dimungkinkan. Sistem akuntansi yang berkaitan denganya mesti efektif dan efisien. Oleh karenanya, biaya per transaksi harus rendah.

28

Apabila dicermati secara kritis (Ilmu Hukum), sebetulnya menurut Penulis tidak ada uang digital, namun transaksi yang digital atau seperti dikenal oleh UU ITE sebagai Transaksi Elektronik. Namun, begitulah yang dikatakan dalam kepustakaan.

29


(17)

Keempat, sistem harus transparan. Costumer mesti tahu kalau telah terjadi

pembayaran. Penggunaan sistem mesti sederhana dan gampang dimengerti.

Kelima, rumah tangga semestinya bisa menerima uang digital ini (sebagai micro merchant misalnya).

Sedangkan syarat keenam adalah uang digital terdiri atas susunan bit. Adalah mungkin untuk membuat duplikasi koin dan kemudian meletakkannanya ke dalam sirkulasi uang digital. Fenomena ini dikenal dengan “pembelanjaan ganda” atau “menggandakan uang digital”. Sistem pembayaran harus menyediakan mekanisme untuk mengetahui atau mencegah adanya pembelanjaan ganda.

Ketujuh, uang digital harus dapat dikonversi kembali menjadi uang nyata,

jika dibutuhkan.

Kedelapan untuk menjamin tingkat kepercayaan, nilai tukar antara uang

digital dan uang nyata harus stabil (demikian pula antar uang digital itu sendiri).

Dan syarat yang terakhir adalah uang digital disimpan di hard disk lokal atau media lain. Pada kasus disk crash atau media yang rusak, harus tersedia suatu cara untuk memulihkan kembali.

Sistem tersebut merupakan salah satu perkembangan yang paling akhir dalam internet payment. Sistem dimaksud dalam penggunaannya mirip dengan pemakaian uang tunai dalam kegiatan sehari-hari. Kemiripan ini adalah dalam hal konsumen akan membayar koin atau uang kertas kepada penjual dalam proses


(18)

pembayaran sehari-hari. Dalam sistem itu uang tunai akan digantikan oleh digital

token atau suatu nilai digital (digital value) kepada penjual. Beberapa sistem

memungkinkan penjual untuk langsung membelanjakan “uang” yang didapatnya untuk membayar suatu barang atau jasa.30

Sistem yang lain mengharuskan “uang” tersebut disetorkan terlebih dahulu dalam suatu rekening baru setelah itu bank akan menerbitkan token yang baru yang dapat dipakai untuk berbelanja. Beberapa contoh dari model ini adalah

Mondex, Proton, VisaCash, Ecash, Millicent CyberCoin, WorldPay.

2.5. Hak dan Kewajiban dalam Transaksi Elektronik

Seperti apa yang telah dikemukakan Penulis pada bagian latar belakang,31 mengenai hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam sebuah transaksi elektronik adalah sebagai berikut32:

Pihak Penjual.33 Hak dari pihak Penjual adalah menerima sejumlah uang sesuai harga yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak Pembeli. Mengenai saat tercapainya kata sepakat, atau consensus in idem, UU ITE menganut prinsip bahwa:

30

Digital coin/token ini di Indonsia, belakangan mulai digunakan dalam pembayaran listrik (PLN) dengan system pra bayar. Skotlandia sudah menerapkan system demikian pada tahun 1997. 31

Bab I, hal. 10-11. 32

Edmon Makarim., Kompilasi Hukum Telematika., Jakarta ., PT RajaGrafindo Persada., 2000., hal. 65.

33


(19)

Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.34

Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.35

Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password).36

Selain itu, pihak Penjual juga berhak mendapat perlindungan dari pihak Pembeli yang tidak beritikad baik. UU ITE mengenal hai ini (iktikad baik) sebagai satu prinsip pelaksanaan suatu transaksi elektronik. Dalam Pasal 3 UU ITE diatur:

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.

Sedangkan kewajiban dari pihak Penjual adalah memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, benar dan jujur kepada calon Pembeli dikarenakan dalam transaksi elektronik pihak Penjual dan Pembeli tidak harus bertemu secara langsung sehingga calon Pembeli tidak dapat mengecek secara langsung barang yang akan dibeli.

Pihak berikutnya adalah pihak Pembeli. Hak dari pihak Pembeli adalah mengetahui informasi yang sejelas-jelasnya dari pihak Penjual dari barang yang akan dibeli. Kewajiban pihak Pembeli adalah menyerahkan sejumlah uang dari

34

Pasal 20 Ayat (1) UU ITE. 35

Pasal 20 Ayat (2) UU ITE. 36


(20)

harga yang telah disepakati bersama dengan pihak Penjual, melalui sistem elektronik. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.37

Pihak Bank. Pihak bank berkewajiban untuk memfasilitasi penyerahan sejumlah uang dari harga yang telah disepakati pihak Penjual dengan pihak Pembeli untuk barang yang menjadi obyek transaksi. Pihak Bank mencatat seluruh transaksi elektronik antara para pihak di atas, sebab para pihak itu sesungguhnya adalah meupakan nasabah dari pihak Bank

Penyedia jasa pengangkutan. Penyedia jasa pengangkutan berkewajiban mengirim dan mengantar barang yang menjadi obyek transaksi dari pihak Penjual sampai pada tangan pihak Pembeli dengan selamat. Jasa pengangkutan dimaksud, pembayarannya juga merupakan suatu kontrak elektronik atau transaksi elektronik yang melibatkan pengguna jasa pengangkutan, pengangkut dan pihak bank yang menjadi pihak penyelesai transaksi elektronik dimaksud.

Provider. Provider berkewajiban untuk menyediakan jasa layanan internet

kepada pihak Pembeli dan pihak Penjual dengan akses 24 jam penuh agar transaksi elektronik tersebut dapat berjalan.

37


(21)

2.6.Saat Berakhirnya Suatu Transaksi Elektronik

Dalam transaksi jual-beli biasa (konvensional), perjanjian berakhir pada saat masing-masing pihak melakukan kewajibannya. Pihak Pembeli menyerahkan uang dan pihak Penjual menyerahkan barang.

Berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara on-line, tidak seperti transaksi biasa. Dalam transaksi on-line, tanggung jawab tersebut antara lain berada pada perusahaan penyedia barang (penjual), pihak pembeli, pihak perusahaan penyedia jasa pengiriman, dan pihak yang menyelenggarakan jasa pembayaran.

Dalam transaksi on-line terdapat bagian-bagian tanggung jawab pekerjaan yaitu untuk penawaran, pembayaran, pengiriman. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli, maka transaksi antara Penjual dan Pembeli berakhir dengan pihak menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan Pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh Penjual.

Dapat dikatakan bahwa transaksi elektronik antara Penjual dan pihak Pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang yang telah dipesan tiba atau diantar ke alamat pihak Pembeli. Dalam transaksi yang melibatkan pihak bank, maka bank baru akan mengabulkan permohonan dari Pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari bank yang ditunjuk Penjual dalam transaksi on-line tersebut. Setelah Penjual menerima konfirmasi bahwa Pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya Penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada


(22)

perusahan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat Pembeli.

Setelah semua proses tersebut dilakukan, di mana ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir. Maka perjanjian tersebut sah setelah masing-masing pihak telah melakukan proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang.

Perlu Penulis kemukakan di sini, bahwa mekanisme transaksi sebagaimana diuraikan di atas tersebut sesungguhnya dapat “dianalogikan” dengan transaksi dengan menggunakan EDC.

2.7.Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Elektronik

Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi perdagangan. Penelitian itu menyatakan bahwa satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen. Contohnya: dua orang pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang sudah dibeli. Ada juga yang menerima barang tidak sesuai pemesanan bahkan sampai barang tidak dikirim. Selain itu


(23)

banyak juga pihak Penjual (suppliers atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi atau bukti transaksi dan sebagainya.38

Menurut pustaka yang dirujuk di atas, kondisi-kondisi di atas telah merugikan baik bagi produsen terlebih bagi konsumen yang relatif memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih rendah dibandingkan dengan produsen/pelaku usaha.

Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera memperoleh penyelesaian yang memadai tidak menutup kemungkinan kepercayaan masyarakat terhadap sistem e-commerce akan memudar. Oleh karena itu salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut adalah dengan dipergunakannya mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (alternative

dispute resolution) dalam setiap sengketa yang muncul.39

Kompleksitas transaksi perdagangan dengan mempergunakan internet disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain seperti telah Penulis singgung dalam beberapa kesempatan penguraian di atas yaitu, tidak dipertemukannya pihak Penjual dan Pembeli secara fisik. Tempat kediaman para pihak saling berjauhan, sistem hukum yang berbeda antara para pihak.

38

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek

Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 167.

39

Ibid. Menurut penulis,hukum positif Indonesia, mengambil jalan penyelesaian teknologi meskipun terbuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui litigasi jalur keperdataan maupun pidana. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam penjelasan atas UU ITE, I Umum, Paragraf 8.


(24)

Kondisi ini tentunya berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang memerlukan penyelesaian secara tepat. Oleh karena itu, masalah penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien dalam transaksi e-commerce merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya menciptakan iklim perdagangan yang kondusif.

Secara umum, ada beberapa bentuk mekanisme yang dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa, yaitu : melalui proses ajudikasi (adjudicative process), yang meliputi peradilan dan arbitrase serta proses konsensus (consensus process), seperti Negosiasi, Mediasi, kosiliasi.40 Di samping mekanisme penyelesaian sengketa sebagaimana rinciannya telah Penulis paparkan di atas, UU ITE juga mengatur secara rinci tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi melalui litigasi dan juga proses pidana. Mengenai penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan perdata, dapat dilihat dalam Pasal 26 Ayat (2) UU ITE. Sedangkan proses pidana diatur mulai Pasal 42 UU ITE.

40


(1)

Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.34

Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.35

Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password).36

Selain itu, pihak Penjual juga berhak mendapat perlindungan dari pihak Pembeli yang tidak beritikad baik. UU ITE mengenal hai ini (iktikad baik) sebagai satu prinsip pelaksanaan suatu transaksi elektronik. Dalam Pasal 3 UU ITE diatur:

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.

Sedangkan kewajiban dari pihak Penjual adalah memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, benar dan jujur kepada calon Pembeli dikarenakan dalam transaksi elektronik pihak Penjual dan Pembeli tidak harus bertemu secara langsung sehingga calon Pembeli tidak dapat mengecek secara langsung barang yang akan dibeli.

Pihak berikutnya adalah pihak Pembeli. Hak dari pihak Pembeli adalah mengetahui informasi yang sejelas-jelasnya dari pihak Penjual dari barang yang akan dibeli. Kewajiban pihak Pembeli adalah menyerahkan sejumlah uang dari

34

Pasal 20 Ayat (1) UU ITE. 35

Pasal 20 Ayat (2) UU ITE. 36


(2)

harga yang telah disepakati bersama dengan pihak Penjual, melalui sistem elektronik. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur

elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,

menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau

menyebarkan Informasi Elektronik.37

Pihak Bank. Pihak bank berkewajiban untuk memfasilitasi penyerahan sejumlah uang dari harga yang telah disepakati pihak Penjual dengan pihak Pembeli untuk barang yang menjadi obyek transaksi. Pihak Bank mencatat seluruh transaksi elektronik antara para pihak di atas, sebab para pihak itu sesungguhnya adalah meupakan nasabah dari pihak Bank

Penyedia jasa pengangkutan. Penyedia jasa pengangkutan berkewajiban mengirim dan mengantar barang yang menjadi obyek transaksi dari pihak Penjual sampai pada tangan pihak Pembeli dengan selamat. Jasa pengangkutan dimaksud, pembayarannya juga merupakan suatu kontrak elektronik atau transaksi elektronik yang melibatkan pengguna jasa pengangkutan, pengangkut dan pihak bank yang menjadi pihak penyelesai transaksi elektronik dimaksud.

Provider. Provider berkewajiban untuk menyediakan jasa layanan internet

kepada pihak Pembeli dan pihak Penjual dengan akses 24 jam penuh agar transaksi elektronik tersebut dapat berjalan.

37


(3)

2.6.Saat Berakhirnya Suatu Transaksi Elektronik

Dalam transaksi jual-beli biasa (konvensional), perjanjian berakhir pada saat masing-masing pihak melakukan kewajibannya. Pihak Pembeli menyerahkan uang dan pihak Penjual menyerahkan barang.

Berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara on-line, tidak seperti transaksi biasa. Dalam transaksi on-line, tanggung jawab tersebut antara lain berada pada perusahaan penyedia barang (penjual), pihak pembeli, pihak perusahaan penyedia jasa pengiriman, dan pihak yang menyelenggarakan jasa pembayaran.

Dalam transaksi on-line terdapat bagian-bagian tanggung jawab pekerjaan yaitu untuk penawaran, pembayaran, pengiriman. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli, maka transaksi antara Penjual dan Pembeli berakhir dengan pihak menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan Pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh Penjual.

Dapat dikatakan bahwa transaksi elektronik antara Penjual dan pihak Pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang yang telah dipesan tiba atau diantar ke alamat pihak Pembeli. Dalam transaksi yang melibatkan pihak bank, maka bank baru akan mengabulkan permohonan dari Pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari bank yang ditunjuk Penjual dalam transaksi on-line tersebut. Setelah Penjual menerima konfirmasi bahwa Pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya Penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada


(4)

perusahan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat Pembeli.

Setelah semua proses tersebut dilakukan, di mana ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir. Maka perjanjian tersebut sah setelah masing-masing pihak telah melakukan proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang.

Perlu Penulis kemukakan di sini, bahwa mekanisme transaksi sebagaimana diuraikan di atas tersebut sesungguhnya dapat “dianalogikan” dengan transaksi dengan menggunakan EDC.

2.7.Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Elektronik

Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi perdagangan. Penelitian itu menyatakan bahwa satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen. Contohnya: dua orang pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang sudah dibeli. Ada juga yang menerima barang tidak sesuai pemesanan bahkan sampai barang tidak dikirim. Selain itu


(5)

banyak juga pihak Penjual (suppliers atau sellers) yang tidak mampu memberikan

kuitansi atau bukti transaksi dan sebagainya.38

Menurut pustaka yang dirujuk di atas, kondisi-kondisi di atas telah merugikan baik bagi produsen terlebih bagi konsumen yang relatif memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih rendah dibandingkan dengan produsen/pelaku usaha.

Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera memperoleh penyelesaian yang memadai tidak menutup kemungkinan kepercayaan masyarakat terhadap sistem e-commerce akan memudar. Oleh karena itu salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut adalah dengan dipergunakannya mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (alternative

dispute resolution) dalam setiap sengketa yang muncul.39

Kompleksitas transaksi perdagangan dengan mempergunakan internet disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain seperti telah Penulis singgung dalam beberapa kesempatan penguraian di atas yaitu, tidak dipertemukannya pihak Penjual dan Pembeli secara fisik. Tempat kediaman para pihak saling berjauhan, sistem hukum yang berbeda antara para pihak.

38

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek

Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 167.

39

Ibid. Menurut penulis,hukum positif Indonesia, mengambil jalan penyelesaian teknologi meskipun terbuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui litigasi jalur keperdataan maupun pidana. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam penjelasan atas UU ITE, I Umum, Paragraf 8.


(6)

Kondisi ini tentunya berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang memerlukan penyelesaian secara tepat. Oleh karena itu, masalah penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien dalam transaksi e-commerce merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya menciptakan iklim perdagangan yang kondusif.

Secara umum, ada beberapa bentuk mekanisme yang dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa, yaitu : melalui proses ajudikasi (adjudicative process), yang meliputi peradilan dan arbitrase serta proses konsensus (consensus process),

seperti Negosiasi, Mediasi, kosiliasi.40 Di samping mekanisme penyelesaian

sengketa sebagaimana rinciannya telah Penulis paparkan di atas, UU ITE juga mengatur secara rinci tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi melalui litigasi dan juga proses pidana. Mengenai penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan perdata, dapat dilihat dalam Pasal 26 Ayat (2) UU ITE. Sedangkan proses pidana diatur mulai Pasal 42 UU ITE.

40


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Uang Elektronik (E-Money) dalam Transaksi Elektronik T1 312012063 BAB II

5 58 73

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transaksi Elektronik Via Electronic Data Capture (EDC) dalam Perspektif Hukum Mayantara T1 312008058 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transaksi Elektronik Via Electronic Data Capture (EDC) dalam Perspektif Hukum Mayantara T1 312008058 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transaksi Elektronik Via Electronic Data Capture (EDC) dalam Perspektif Hukum Mayantara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Electronic Tones (Komposisi Musik Elektronik untuk Resital Drum) T1 852009022 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Electronic Tones (Komposisi Musik Elektronik untuk Resital Drum) T1 852009022 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Electronic Tones (Komposisi Musik Elektronik untuk Resital Drum) T1 852009022 BAB I

0 0 6

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Stop Kontak Terkendali oleh Android Application Via Bluetooth T1 BAB II

0 1 9

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan dan Informasi serta Transaksi Elektronik T1 BAB II

0 1 52

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menguak Identitas Lesbian di Salatiga dalam Perspektif Erving Goffman T1 BAB II

0 0 9