Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard : studi kasus koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya.
TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP
PELUNASAN BARANG GADAI YANG TIDAK DIJADIKAN
JAMINAN DALAM AKAD AL-QARD}
(STUDI KASUS KOPERASI STF SYARIAH AR-RAHMAN
SURABAYA)
SKRIPSI Oleh :
Siti Nur Ainiatuz Zuhriyah
. NIM. C92213191UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH) SURABAYA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pelunasan Barang Gadai Dalam Akad Al-Qard} di Koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya . Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan; Bagaimana praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard}} di koperasi STF syariah ar-rahman Surabaya? Dan Bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan hutang barang gadai dalam akad al-qard}?
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dalam manganalisis data dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan observasi, dokumentasi, dan wawancara, sedangkan pola pikir yang digunakan adalah induktif yaitu mengemukakan fakta-fakta atau kenyataan dari hasil penelitian yang ada di koperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya, untuk kemudian data tersebut diteliti dengan metode penelitian kualitatif. sehingga ditemukan pemahaman terhadap praktik dan tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} di koperasi STF syariah ar-rahman Surabaya.
Hasil penelitian yang diperoleh Dalam pelaksanaanya pihak koperasi STF Ar-Rahman Surabaya selaku pihak pemberi piutang tidak menerima adanya barang jaminan, hal ini di didasarkan dari pertimbangan pelaksanaan, pengelolaan, perawatan, penjaminan kondisi atas barang jaminan yang tentunya memerlukan biaya dan tenaga lebih. Dari itu peneliti dapat menyimpulkan bahwa secara kaidah dan hukum islam pemberi piutang tidak selamanya perlu mewajibkan para nasabah untuk memberikan barang jaminan untuk sebagai salah satu syarat wajib dalam pengajuan hutang. Sedangkan menurut DSN MUI no 19/IV/2001 LKS boleh meminta jaminan bila dipandang perlu akan tetapi bukan berarti hal tersebut bukan tanpa masalah tentunya akan sangat beresiko bagi keberlangsungan keuangan pihak koperasi apabila terjadi pelanggaran perjanjian dalam akad al-qard}.
Bagi koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya dalam pelunasan barang gadai tidak meminta jaminan itu bisa merugikan koperasi dikarenakan nasabah/ anggota bisa kabur, yang kedua nasabah bisa saja menjual barang tersebut tanpa sepengetahuan dari pihak koperasi, sebaiknya koperasi meminta jaminan meskipun akad ini menggunakan akad al-qard. Dan sebaiknya di koperasi memberikan tempat keamanan untuk menyimpan barang-barang berharga agar dapat berjalan efektif. Mengingat banyaknya PM (penerima manfaat).
(7)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Kajian Pustaka ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 13
I.Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II TEORI GADAI DAN AL-QARD MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH ... 21
A. Pengertian Gadai ... 21
(8)
C. Dasar Hukum Gadai ... 25
D. Syarat dan Rukun Gadai ... 28
E. Fatwa MUI tentang Gadai... 31
F. Pengertian Al-Qard... 36
G. Dasar Hukum Al-Qard... 38
H. Rukun dan Syarat Al-Qard ... 42
I. Berakhirnya Al-Qard ... 46
J. Fatwa MUI tentang Al-Qard}………... 51
BAB III GAMBARAN UMUM PRAKTIK PELUNASAN BARANG GADAI YANG TIDAK DIJADIKAN JAMINAN DI KOPERASI STF SYARIAH AR-RAHMAN SURABAYA ... 52
A. Gambaran Umum Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya ... 52
1. Sejarah Berdirinya Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya ... 52
2. Visi,Misi dan Tujuan Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya ... 55
3. Struktur Organisasi Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya ... 56
4. Legalitas Hukum Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya ... 56
5. Job Description dan kualifikasi masing-masing jabatan di Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya... 57
6. Penerapan Program sosial Koperasi STF Ar-Rahman Surabaya. 60
7. Simpanan /Tabungan ... 61
8. Pembiayaan Murabahah Modal Kerja/ usaha ... 62
9. Pembiayaan Murabahah Kredit Barang ... 63
10. Ijarah ... 64
11. Ijarah Multi Jasa ... 65
12. Al-Qard ... 69
B. Sistematika Pelunasan Barang Gadai yang Tidak dijadikan Jaminan Dalam Akad Al-Qard di Koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya ... 69
(9)
BAB IV ANALISIS HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP PELUNASAN BARANG GADAI YANG TIDAK DI JADIKAN JAMINAN DALAM AKAD AL-QARD DI KOPERASI STF
SYARIAH AR-RAHMAN SURABAYA ... 72
A. Analisis akad Al-qard utang-piutang tanpa barang jaminan di koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya ... 72
B. Analisis hukum Islam terhadap kasus hutang-piutang pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan di koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya ... 76
BAB V PENUTUP ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSATAKA ... 85 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, di mana setiap orang bisa merasakan indahnya ajaran yang terdapat dalam Islam. Di dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan tuhan saja, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia.
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat memerlukan manusia lain untuk dapat saling tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mardani. Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur aspek kehidupan manusia, baik akidah, ibadah, akhlaq maupun muamalah.1
Sedangkan muamalah yang berarti perlakuan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dengan kehidupannya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.2
Salah satu ajaran yang sangat penting adalah muamalah (ekonomi syariah). Sebagaimana termaktub dalam surat Al-maidah ayat 2 Allah berfirman:
1
Mardani, fiqh ekonomi syariah. (Jakarta:kencana prenanda media grup,2012),77.
2 Minhajuddin, fiqh tentang muamalah masa kini (Ujung pandang: fakultas syariah IAIN
(11)
2
....
Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan menolonglah dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Qs. Al-maidah:2)3
Ayat ini merupakan salah satu perintah bagi umat Islam untuk saling tolong menolong. Salah satunya adalah diperintahkan umat muslim untuk saling tolong-menolong dalam bentuk pinjaman atau menghutangi kepada orang yang membutuhkan dengan memberikan dana seperti modal usaha. Seiring dengan perkembangannya, perbankan atau lembaga keuangan merupakan salah satu dari sistem keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary, yaitu suatu lembaga yang mempunyai peran untuk mempertemukan antara pemilik dan pengguna dana,oleh karena itu kegiatan bank atau koperasi harus berjalan secara efisien baik pada sekala makro maupun pada sekala mikro. Untuk meningkatkan dana masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh sistem perbankan konvensional dan untuk mengakomodasi kebutuhan terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah, maka tahun 1992 bank syariah secara resmi diperkenalkan kepada masyarakat.4
3Departemen RI, Al-qur’an dan terjemahnya (surabaya:mahkota,2001),107.
(12)
3
Kehadiran lembaga keuangan syariah yang belakangan ini mulai tumbuh dan berkembang memberikan pilihan baru bagi calon nasabah dalam memilih lembaga pembiayaan. Salah satu lembaga dikeuangan syariah yang memberikan layanan pembiayaan adalah lembaga koperasi syariah.
Koperasi STF (solusi terpercaya finansial 5) syariah Ar-Rahman
merupakan salah satu Koperasi syariah yang berkembang di wilayah Surabaya. Unit usaha ini bergerak dalam bidang jasa keuangan syariah yang membantu masyarakat miskin yang memiliki usaha, baik yang baru memulai dan yang sudah berjalan. Praktek program koperasi STF ini sendiri salah satunya menggunakan akad Al-qard}.
Hutang-piutang yang dalam fiqih muamalah berarti qard}, yang artinya perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh orang kepada orang lain, pihak yang menerima kepemilikan diperbolehkan memanfaatkan harta, dan dalam kurun waktu tertentu penerima harta tersebut wajib mengembalikan harta yang diterimanya kepada pihak pemberi dengan nilai yang sama.6 Dalam utang piutang dibolehkan dalam pembayarannya melebihi jumlah yang dihutangkan, asalkan kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berhutang.7
dalam surat al-baqarah ayat 245 menjelaskan:
5Nurul Ilmiyah, Wawancara, Surabaya 25 november 2016.
6 Karim Helmi, fiqih muamalah (Jakarta : Raja grafindo persada,1993), 37
(13)
4
Artinya : “barang siapa meminjami (menginfakkan hartanya dijalan Allah) Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadamu dengan banyak. Dan Allah menahan dan melapangkan (rezki) dan kepadanyalah kamu dikembalikan. (Qs. Al-baqarah:245).8
Perlu diketahui koperasi memiliki berbagai macam produk pembiayaan diantaranya produk qard} (hutang piutang). Adapun dalam praktiknya dikoperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya nasabah meminjam jasa koperasi tersebut untuk membayarkan hutangnya kepada Pegadaian cabang wonokusumo kecamatan semampir surabaya, yang sebelumnya nasabah tersebut menggadaikan emas. Kemudian pihak koperasi dan anggota menandatangani untuk pelunasan barang tersebut dengan akad qard}. Akan tetapi, pihak koperasi hanya meminta surat pembelian emas yang dijadikan jaminan atau tidak menahan emas sebagai barang jaminan. Dalam pandangan peneliti hal ini sangat dimungkinkan terjadinya pelanggaran perjanjian hukum.9
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk lebih jauh memahami, mengkaji dan menganalisis praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya, dan menyusunnya dalam skripsi yang berjudul Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak
8 Departemen RI,”Al-qur’an dan terjemahnya”,(surabaya:mahkota,2001),209
(14)
5
dijadikan jaminan dalam akad al-qard} dikoperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya.
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, perlu kiranya penulis paparkan beberapa masalah yang teridentifikasi, antara lain:
1. Praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
2. Langkah-langkah yang diambil oleh koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya ketika terjadi pelanggaran perjanjian.
3. Praktik hutang piutang dikoperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya. 4. Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktik pelunasan barang
gadai yang tidak dijadiakn jaminan dalam akad al-qard} dikoperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
5. Dampak praktik Pelunasan barang gadai di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
Mengingat adanya keterbatasan waktu untuk melakukan penelitian, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
2. Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
(15)
6
C. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas yang sudah diidentifikasi dan dibatasi permasalahan yang akan diteliti, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
2. Bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada.10
Penulis telah melakukan kajian kepustakaan terlebih dahulu. Apakah yang akan diteliti sudah pernah ada yang membahas sebelumnya tentang pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard}. Namun ada beberapa skripsi yang didalamnya terdapat kesamaan pembahasan setara seperti:
1. Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Akad Pembiayaan Mura>bahah ke Akad Pembiayaan Mud}ara>bah di BMT muda surabaya” oleh Hana ekawati tgl 25 agustus 2016
10Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam,Petunjuk Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel
(16)
7
Jurusan hukum ekonomi syariah Fakultas Syariah dan hukum UIN Sunan Ampel. Dalam penelitian ini diketahui bahwa dalam mengatasi pembiayaan mura>bahah bermasalah pada nasabah yang macet pembayarannya, dilakukan dengan cara pengalihan akad pembiayaan mura>bahah menjadi akad pembiayaan mud}ara>bah BMT MUDA memanggil nasabah bermasalah yang telah habis jatuh temponya.11
2. Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Pinjam-Meminjam Uang di Desa Nglorog, Kec. Sragen, Kab. Sragen” oleh Adi Wibowo tahun 2013 Prodi Muamalat Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa praktik utang piutang/pinjam-meminjam uang yang dilakukan oleh masyarakat Desa Nglorog adalah hutang piutang dengan tambahan/bunga atau yang lebih dikenal dengan anakan. Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan hutang piutang di Desa Nglorog ini rukun dan syarat al-qard}} telah dipenuhi, maka praktik hutang piutang ini sudah sah menurut hukum Islam. Sedangkan faktor-faktor yang melatar belakangi adanya praktik tersebut dikarenakan adanya kemudahan dalam menutupi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Ditambah dengan minimnya
11Hana ekawati,”
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Akad Pembiayaan Murabahah ke Akad Pembiayaan Mudharabah di BMT MUDA surabaya”(skripsi--UIN sunan
(17)
8
pengetahuan tentang hukum transaksi tersebut dalam Islam. Bahwa tidak setiap tambahan yang terdapat dalam hutang piutang itu riba, tetapi lebih tergantung pada latar belakang serta akibat yang ditimbulkan, dengan demikian tambahan dalam transaksi di Desa tersebut tidak terlarang untuk diambil karena dalam hal ini para pihak tidak ada yang dirugikan dan juga tidak mengakibatkan para pihak terpuruk dan susah dalam kehidupan ekonominya.12
3. Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Utang-piutang Dengan Sistem Mengelola Sawah (study kasus di dukuh rejomulyo desa jatisari kec. Subah kab. Bateng” oleh Nurul Aini tahun 2015 fak. Syariah dan hukum Univesitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Dalam penelitian tersebut disimpulkan hutang piutang yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat dukuh rejomulyo desa jatisari belum sesuai dengan ketentuan hukum Islam, karena jumlah antara uang yang dipinjam dan yang dikembalikan tidak sesuai, dan menyulitkan orang yang sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Mereka melakukan praktek hutang piutang tersebut sesuai adat kebiasaan dari dulu, tidak berpedoman dengan hukum islam.13
12 Adi Wibowo, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Pinjam-Meminjam Uang di Desa
Nglorog, Kec. Sragen, Kab. Sragen” (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013).
13 Nurul Aini, “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik hutang piutang dengan sistem mengelola
sawah(study kasus didukuh rejomulyo desa jatisari kec. Subah kab. Bateng)” (Skripsi--UIN Walisongo, Semarang, 2015).
(18)
9
Dari penelitian di atas terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini hanya sama-sama membahas tentang adanya sesuatu yang disyaratkan dalam praktik utang piutang. Sedangkan yang membedakan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah:
1. Penelitian pertama, membahas tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Akad Pembiayaan Mura>bahah Ke Akad Pembiayaan Mud}ara>bah di BMT muda surabaya dan lebih fokus pada nasabah yang macet pembayarannya dalam pembiayaan murabahah, sehingga atas dasar ingin membantu nasabah, BMT memberikan kebijakan untuk mengalihkan akad nasabah bermasalah tersebut dari mura>bahah menjadi mud{ara>bah. Sedangkan dalam penelitian penulisan ini nasabah yang tidak menebus hutangnya di pegadaian akhirnya mengalihkan hutangnya tersebut ke pihak koperasi STF Ar-Rahman surabaya.
2. Penelitian kedua, dalam penelitian tersebut debitur (penerima pinjaman) tidak mendapatkan uang yang dipinjamkannya secara utuh atau tidak sesuai dengan pinjaman, melainkan dari uang yang dipinjamkannya. Selain itu, debitur (penerima pinjaman) dalam peminjaman ini, juga masih dibebankan adanya tambahan dalam pengembalian setiap bulannya, dengan besaran 3%. Sedangkan, dalam penelitian penulis ini syarat berupa pemberian jumlah uang secara cuma-cuma kepada pemberi utang dengan menggunakan
(19)
10
akad Al-Qard}. Dan jumlah uang tersebut tidak berupa presentase namun terserah pemberi utang.
3. Penelitian ketiga, dalam penelitian tersebut fokus pada sistem pembayarannya yang mengutangi pengelola sawah orang yang berutang dan harga patokan sekali panennya hanya dikira-kira sesuai dengan adat kebiasaan dari dulu yaitu dengan taksiran harga beras waktu meminjam. Setelah dijumlah semuanya hasil bersihnya lebih besar dari harga yang ditetapkan, sehingga hal seperti itu akan sangat merugikan orang yang meminjam karena dihitung dengan sekali panennya. Sedangkan dalam penelitan penulis ini bahwa setiap nasabah meminjam uang sebesar yang dipinjam itu maka membayarnya uang sebesar itu juga dan mengembalikan hutangnya sesuai dengan kesepakatan dari awal.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, fokus kajian serta rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} di koperasi STF Ar-Rahman surabaya.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} dikoperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
(20)
11
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari permasalahan di atas, penelitian ini diharapkan mempunyai nilai tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca, paling tidak untuk dua aspek yaitu:
1. Secara teoritis
a. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemahaman studi hukum Islam mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam pada umumnya dan mahasiswa prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) pada khususnya.
2. Secara praktis
a. Dapat memberikan informasi tambahan maupun pembanding bagi peneliti berikutnya untuk membuat karya tulis ilmiah yang lebih sempurna.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan masukan serta pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait khususnya di koperasi STF Ar-Rahman surabaya.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan pembaca dalam memahami terhadap istilah yang dimaksud dalam judul Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qa>rd dikoperasi STF syariah ar-rahman surabaya maka perlu dijelaskan istilah
(21)
12
pokok yang menjadi pokok bahasan yang terdapat dalam judul penelitian ini, sebagai berikut:
Hukum Ekonomi Syariah : Peraturan yang mengatur sistem ekonomi khususnya tentang Al-qard}, jaminan dan gadai. Dalam hal ini penulis menganalisis permasalahan yang dibahas dari hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, pendapat ulama’ dan KHES (kompilasi hukum ekonomi syariah).
Pelunasan Barang Gadai : Praktik pelunasan dimana nasabah sebelumnya menggadaikan emas di pegadaian cabang wonokusumo kecamatan semampir surabaya yang kemudian dilunasi oleh pihak koperasi dengan menggunakan akad al-qard}, akan tetapi pihak koperasi tersebut tidak menahan emas sebagai barang jaminan.
(22)
13
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya14 terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} dengan Tinjauan hukum ekonomi syariah. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian terhadap Praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} ini metode yang digunakan dalam penyusunan adalah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data yang perlu dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah yakni data tentang langkah-langkah yang akan diambil oleh koperasi STF Ar-Rahman surabaya ketika terjadi pelanggaran perjanjian dan data yang ada kaitannya dengan Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap Praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} dikoperasi STF Ar-Rahman surabaya.
2.Sumber data
Sumber data yang akan dijadikan pegangan dalam penelitian ini agar mendapat data yang konkrit serta ada kaitanya dengan masalah di atas meliputi:
a. Sumber primer
(23)
14
Sumber data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan oleh nasabah, pegadaian dan pihak koperasi dalam pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard}. Data primer disebut juga data asli atau data baru.15
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah subjek penelitian yang dijadikan sebagai sumber informasi penelitian dengan interview atau wawancara. Dalam hal ini subjek dari penelitian adalah nasabah dan koperasi melakukan praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} dikoperasi STF syariah ar-rahman surabaya.
b. Sumber sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.16
Sumber data sekunder adalah literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain:
1) Al-Qur’an dan Al-Hadith 2) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah 3) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah 4) Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah
15 Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka 2013), 93.
(24)
15
5) Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu. 6) Dan sumber-sumber pendukung lainnya. 1. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data secara langsung dari lapangan yang berkaitan dengan permasalahan di atas. Dalam pengumpulan data tersebut penulis menggunakan metode yaitu:
a. Observasi
Observasi (pengamatan) adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematika atas fenomena-fenomena yang diteliti17 dalam hal ini peneliti memperoleh data yang diperlukan dengan cara datang dan melihat di lapangan sekitar terjadinya praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} itu berlangsung, yaitu di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya. b. Wawancara ( Intervew)
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.18 Teknik ini digunakan untuk menggali data atau informasi dari nasabah dikoperasi STF syariah ar-rahman surabaya yang berkaitan langung
17 Sutrisno Hadi, Metodologi Research II (Yogyakarta: Andi Offset, 1989),217.
(25)
16
dengan pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} yaitu penghutang dan pemberi utang.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen.19 Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode Observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.20
Pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang didukung dari data sekunder yang berkaitan dengan Praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman surabaya.
2. Teknik pengolahan data
Teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah :21 a. Editing
Editing yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna, keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan penelitian.
19 M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya , (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
20 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet. XIV, (Bandung: Alfa
Beta, 2011), 240.
(26)
17
Teknik ini digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan data-data yang sudah dikumpulkan dan akan digunakan sebagai sumber-sumber studi dokumentasi.
b. Organizing
Organizing yaitu menyusun kembali data yang telah didapat dalam penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis. c. Penemuan Hasil
Penemuan hasil yaitu dengan menganalisis data yang telah diperoleh dari penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta yang ditemukan, yang akhirnya merupakan sebuah jawaban dari rumusan masalah.
3. Teknik analisis data
Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.22
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif kualitatif yaitu cara analisis yang cenderung
(27)
18
menggunakan kata-kata untuk menjelaskan fenomena atau data yang diperoleh.23
Data kualitatif digunakan untuk menganalisis data yang tidak berbentuk angka dan digunakan untuk analisa data deskriptif kualitatif dengan menggunakan pola pikir induktif. Pola pikir Induktif adalah berfikir yang didasarkan pada rumusan-rumusan yang khusus.24
I. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan dalam penelitian ini tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan dan lebih mudah untuk dipahami serta lebih sistematis dalam penyusunannya, maka penulis membagi lima bab dalam penulisan pada penelitian ini yang sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitaian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, kajian pustaka, metode penelitian (meliputi data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik analisis data) serta sistematika pembahasan.25
Bab kedua, membahas landasan teori tentang qard}, dan gadai memuat uraian menurut KHES (kompilasi Hukum ekonomi syariah), sub bab baik
23 Drajat Suharjo, Metode Penelitian dan Penulisan Laporan Ilmiah (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993), 178.
24 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), 42.
25
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam,Petunjuk Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel
(28)
19
pengertian dan dasar hukum, syarat, rukun, akad berdasarkan pada KHES (kompilasi Hukum ekonomi syariah) .
Bab ketiga, praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} dikoperasi STF Ar-Rahman syariah Surabaya. Bab ini memuat deskripsi tempat praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} yaitu profil sejarah, legalitas, produk dan akad, aplikasi pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya.
Bab keempat, analisis hukum ekonomi syariah terhadap praktik pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} dikoperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya. Analisis data berisi tentang tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad Al-qard} di koperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya.
Bab kelima merupakan bab akhir dari hasil penelitian yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
(29)
BAB II
GADAI DAN AL-QARD}
MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH
A. Gadai
1. Pengertian Gadai
Secara etimologi, gadai (rahn) merupakan bentu masdar dari: نهر –
نهري –
نهر yang artinya menggadaikan atau menungguhkan. Pengertian gadai (rahn) secara bahasa mempunyai dua makna yaitu اودلا و تْوبثلا (tetap dan lama), yakni tetap atau berarti ْوز لا و سْبحْلا (pengekangan dan keharusan).1 Gadai (Rahn) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa gadai adalah jaminan utang.2
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan gadai (rahn): a. Menurut Nasrun Haroen, Gadai (rahn) adalah menjadikan
suatu(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik keseluruhannya ataupun ataupun sebagainya.3
b. Menurut Sayyid Sabiq, Gadai (rahn) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syarak sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil seluruh atau sebagian hutang tersebut karena adany barang.4
1 Rachmat Syafi’i,
Fiqih Muamalah,III (Bandung: CV Pustaka Setia,2006),159. 2
Muha ad Syafi’i A to io,Ba k Syariah dari Teori ke Praktik Jakarta: Ge a I sa i, , 8.
3
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah(Jakarta: Gaya Media Pratama,2000),252. 4
(30)
21
c. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah:5
ِِئ في يِ ي ِ ي ِي ف س ي ِيً ِثي ي يُ ج
Artinya: “ Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”. d. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugni:6يْ ِايِِ ثي ِي ف س ِيِ ِيً ِثي يُ ي ِ ايُ ْا
ي
ي ي ِي فِسِا
Artinya: Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.
B. Objek Gadai
Selama barang gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.7 Marhu>n merupakan barang jaminan, penyerahan marhu>n merupakan wasilah untuk orang yang diberikan marhu>n dengan tujuan supaya orang yang marhu>n memberikan keamanan kepada marhu>n dan supaya murtahin merasa ketika utangnya diberikan jaminan.
Di antara syarat-syarat memegang marhu>n adalah: 1. Atas seijin Ra>hin
Ulama sepakat bahwa murtahin diperbolehkan memegang jaminan atas seijin ra>hin , baik secara sarih (jelas) maupun dilalah (petunjuk).
5
Muhammad Al-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj,II (t.p:t,t),121. 6
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-mugni LI Ibni Qudamah.., 361.
7
(31)
22
2. Ra>hin dan murtahin harus ahli akad 3. Murtahin harus tetap memegang ra>hin
Posisi objek gadai (Marhun) dalam keadaan berikut: 1. Menggadaikan barang milik orang lain
Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain atas seizinnya, seperti barang yang dipinjam dan barang yang disewa. Jika seseorang tidak memiliki kewenangan atas barang yang digadaikan dan ia menyerahkannya kepada murtahin, maka dengan penyerahan ini berarti ia telah melakukan tindakan pelanggaran. Jika pemilik barang mengijinkan dan mengesahkannya maka akad rahn (gadai) itu sah, namun jika tidak maka tidak sah.8
a. Menggadaikan barang pinjaman
Seseorang boleh meminjam harta milik orang lain untuk ia gadaikan dengan izin pemilik hal ini berartu harta adalah mutabarri’ (orang yang berderma). Namun jika pemilik harta yang meminjamkan membatasinya dengan suatu syarat atau batasan tertentu ketika meminjamkan, maka pihak yang meminjam harus memenuhi syarat tersebut dan jika orang yang meminjam menyalahi batasan dan syarat yang ditetapkan maka ia menanggung denda nilai barang yang ia pinjam dan gadaikan itu jika mengalami kerusakan.9
8
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu,Abdul Hayyi al Kattani(Jakarta: Gema Insani,2011), 168.
9
(32)
23
Karena dengan pelanggaran tersebut, berarti ia berubah sebagai orang yang menggashab dan akad rahn yang ada batal dan tidak sah sebab rahn tersebut dilakukan terhadap barang ghasaban sebagai objek gadai (marhun).10
b. Menggadaikan barang yang telah digadaikan.
Akad rahn ada kalanya barang yang digadaikan didalamnya hanyalah sebagiannya atau keseluruhan. Jika barang yang digadaikan hanya sebagian, dan sebagiannya lalu digadaikan lagi, maka hukum yang berlaku di dalam kasus ini sama dengan hukum yang berlaku didalam masalah menggadaikan harta al-musha’a (umum dan global).11
Jika seorang menggadaikan barang secara keseluruhan, lalu ia ingin menggadaikannya lagi dengan orang lain maka akad rahn yang kedua ini tidak boleh menurut sebagian besar ulama’ karena bersinggungan dengan hak murtahin, karena harta pada barang yang digadaikan adalah untuknya. Akan tetapi jika murtahin pertama memperbolehkan akad rahn yang kedua, maka akad rahn yang kedua sah, namun pergadaian pihak murtahin yang pertama batal.
Begitu juga pergadaian murtahin batal jika barang yang ia terima sebagai pegadaian justru ia gadaikan sendiri sebagai jaminan utang pribadinya atas seijin pemilik barang tersebut. Hukumnya sama dengan menggadaikan barang pinjaman untuk digadaikan. 12
10 Ibid, 165.
11 Ibid, 170.
(33)
24
C. Dasar Hukum Gadai
Hukum islam tentang gadai adalah boleh (jaiz) berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Dalil Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah: 283
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saks) Menyembunyikan persaksian, dan Barang siapa yang menyembunyikanya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS; Al Baqarah, ayat 283)13
Dalil Sunnah,
ي
ِئ
ي
ِض
ي
ُها
ي
يا
ي
ِ ا
ي
ص
ي
ُها
ي
ِي
س
ي
شِا
يط
ي
يِ
ي
ِ
ي
ِا
ي
جا
ي
ٍي
ِ
ي
يِ
ي
ِ ِ
يُ
يا
ي
ي
س
َ
“Dari ‘Aisyah ra. berkata, bahwasannya Nabi Saw. pernah memberi makanan dari orang yahudi sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan beliau mengadaikannya dengan suatu baju besi”.14
Hadis yang sama juga diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik r.a.,
13 Departemen Agama RI, Al Quran dan ..., 67.
14
(34)
25
صيِهايُ س ي
س يِ يَهاي
ي
يا ِشي ِي خ فيِ ِ ْ ِيِ ِ ي ِ ي ي ِ
َِل
ِِ
“Rasulullah SAW menggadaikan perisai beliau kepada seorang Yahudi di Madinah untuk mendapatkan gandum yang beliau gunakan untuk memberi nafkah istri beliau”.15Para ulama sepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa syariat tersebut diberlakukan bagi orang yang bepergian dan tidak bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah SAW.16
Hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi:
ِ ي ي ِ ايِ ي ِ ي خ يٍ ي يِهاي ي خ ي ِ ي ي
ي ث
ي
ي يا ِايِِ ْف ِي
ي اي س يِ يُهاي صيِهايُ س ي قي, قي
ي ي
ي ا ُي ف اي
ي ي
ي ِ اي
ي
ي يا ِاي ف اي
يِا اي
َ
ا
Telah meriwayatkan kepada Nabi Muhammad bin muqatil mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwasannya beliau bersabda :Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggadai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfaatnya.(HR. Al-Bukhari)17
15
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu..., 109.
16 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,IV (Darul Fath,2004), 188.
17 Al-Bukhari Al-Ju’fiy, S
(35)
26
Jumhur ulama menyepakati kebolehan hukum gadai. Hal ini berdasarkanpada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw, tersebut ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw, yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan Nabi Muhammad saw, kepada mereka.18
Ijtihad berkaitan dengan praktik hutang piutang dengan jaminan (gadai) seperti timbulnya persoalan tentang adanya siapa yang menanggung biaya pemeliharaan barang jaminan (marhun) selama berada pada pihak yang memberi piutang (murtahin). Oleh karea itu, para fuqaha’ berusaha merumuskan ketentuan-ketentuan dalam hutang piutang dengan jaminan (gadai) tanpa keluar aturan hukum Islam. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak yang melibatkan dirinya pada perjanjian hutang piutang dengan jaminan (gadai) tidak saling merugikan atau terdapat unsur-unsur yang menimbulkan kemudharatan. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian utang-piutang itu merupakan hasil ijtihad para fuqoha’, antara lain tentang rukun dan syarat-syarat dalam perjanjian hutang piutang dengan jaminan (gadai).19 Jumhur ulama’
18 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu,...,4210.
(36)
27
berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.20
D. Syarat Dan Rukum Gadai
Transaksi rahn antara nasabah dengan lembaga keuangan syariah akan sah apabila memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan sesuai syariah Islam. Adapun syarat Rahn (gadai) menurut jumhur ulama’, ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu berakal(dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.21 Di samping itu
syarat-syarat lain dari rahn (gadai) yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, diantaranya adalah :
1. Persyaratan aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn (gadai).
Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah dalan rahn seperti dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika
20
M. Sholekul Hadi, pegadaian Syariah.(Jakarta: Selemba Diniyah.2003). hlm.52. 21
(37)
28
dalam keadaan mudarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.22
2. Syarat sighat (lafal atau ucapan)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentu tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
3. Adanya barang yang digadaikan
4. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan (marhu>n) oleh ra>hin (pemberi gadai) adalah:
a. Dapat di serahterimakan. b. Bermanfaat.
c. Milik ra>hin (orang yang menggadaikan). d. Jelas.
e. Tidak bersatu dengan harta lain dikuasai oleh ra>hin. f. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
5. Marhu>n bih (utang)
Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang yang memberi utang. Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu dan utang itu jelas dan tertentu.23 Sedangkan rukun-rukun yang harus di penuhi saat melakukan rahn (gadai) adalah :
a. Ra>hin (nasabah): Nasabah harus cakap bertindakhukum, baligh dan berakal.
22
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu..., 111. 23
(38)
29
b. Murtahin (bank atau lembaga syariah): Bank atau lembaga syariah yang menawarkan produk rahn sesuai prinsip syariah.
c. Dan spesifik, wajib dikembalikan oleh rahn. Dalam hal ra>hin tidak mampu mengembalikan pembiayaan yang telah diterima dalam waktu yang telah diperjanjikan, maka barang jaminan dapat dijual (lelang) sebagai sumber pembayaran.
d. Marhu>n (barang jaminan) merupakan barang yang digunakan sebagai agunan atau jaminan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Aggunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan pembiayaan.
b) Aggunan harus bernilai dan bermanfaat menurut ketentuan syariah.
c) Agunan harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
d) Agunan itu harus milik sendiri dan tidak terkait dengan pihak lain. e) Agunan merupakan harta yang utuh tidak bertebaran dibeberapa
tempat.
f) Agunan harus dapat diserahterimakan baik fisik maupun manfaatnya.
Rukun gadai menurut ulama Hanafiyah adalah: Ijab dari Rahin dan qabul dari murtahin, seperti akad-akad yang lain. Tetapi akad gadai belum mengikat kecuali setelah adanya serah terima barang yang digadaikan. Seperti pihak Rahin berkata “saya menggadaikan barang ini kepadamu
(39)
30
dengan utang saya kepadamu”, lalu pihak murtahin berkata “saya terima”, atau “saya setuju”.24
Sementara itu selain Ulama Hanafiyyah semuanya setuju bahwa rukun Rahn (gadai) terdiri atas shighah (ijab qabul), aqid (pihak yang mengadakan akad), marhun (barang yang digadaikan),dan marhun bih (tanggungan utang yang dijamin dengan barang gadaian).
E. Fatwa MUI Tentang Rahn (Gadai).
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN -MUI/III/2002 Tentang Rahn sebagai beriku:
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam untuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seijin rahin, dengan tidak mengurangi nilai.
3. Marhun dan manfaatnya itu hanya sekedar mengganti biaya pemeliharaan dan perwatannya
(40)
31
4. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
5. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumblah pinjaman.
6. Penjualan Marhun.
a. Apabila jatuh tempo, Marhun. Harus, memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetpa tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.25
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang berupa emas sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn emas dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas sebagai berikut :
1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn).
25 DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, (Jakarta: CV. Gaung Persada, 2006),
(41)
32
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarka pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlakukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.26
Pertimbangan DSN menetapkan fatwa tentang rahn adalah: Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syaiah.27
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya sebagai berikut:
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002, Tentang Rahn.
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-MUI/III/2002, Tentang Rahn Emas.
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.09/DSN-MUI/III/2000, Tentang Pembiayaan Ijarah.
26 Ibid., 155-156.
27 Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Dewan Syari’ah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional Di
(42)
33
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.10/DSN-MUI/III/2000, Tentang Wakalah.
5. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.43/DSN-MUI/III/2004, Tentang Ganti Rugi.28
Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) merupakan hukum positif yang mengikat. Sebab keberadaanya sering dilegitimsi lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga pemerintah,sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi syariah. Terlebih, adanya keterikatan antara Dewan Pengawas Syariah dan DSN karena anggota Dewan Pengawas Syariah direkomendasikan oleh DSN. “keterikatan itu juga ketika melakukan tugas pengawasan, DPS harus merujuk pada fatwa DSN”. Adapun kedudukannya adalah: 1. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari majelis ulama
Indonesia.
2. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti departemen keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan atau ketentuan untuk lembaga keuangan syariah.
3. Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah. 4. Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI
untuk masa bakti 4 (empat) tahun.29
28
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 8. 29
(43)
34
Sementara itu ulama madzhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: 1. Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki rahn adalah harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat, harta tersebut bukan saja berupa materi namun juga berupa manfaat. Harta yang diserahkan tersebut tidak secara aktual, tetapi bisa secara hukum. Misalnya menyerahkan sawah sebagai jaminan. Maka yang diserahkan dari jaminan sawah adalah sertifikatnya30.
2. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi Rahn adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruh maupun sebagainya.
3. Madzab Syafi’i dan Hambali
Menurut madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali rahn adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila pembayar utang teresebut tidak bisa membayar hutangnya. Harta yang dimaksud oleh madzhab ini hanya sebatas berupa materi, bukan termasuk manfaat.
4. Menurut Al - Bujairami
30
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu,Abdul Hayyi al Kattani(Jakarta: Gema Insani,2011), 168.
(44)
35
Adalah penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai jaminan atas hutang yang diterima sebagai tanda kepercayaan saat hutang sulit dibayar.
5. Menurut wahbah Az-Zuhaili
Rahn adalah menehan sesuatu dengan hak yang memungkinkan untuk mengambil manfaat darinya.
F. QARD
1. Pengertian Qard
Al-qard dalam bahasa indonesia dikenal dengan utang-piutang.
Secara bahasa al-qard berarti عْطقْلا (potongan), dikatakan demikian karena
al-qard} merupakan potongan dari harta muqrid (orang yang membayar) yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qard}).31
Sedangkan menurut istilah, para ulama dan para pakar berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-qard.
a. Menurut Hanafiyyah, definisi qard adalah sebagai berikut.
ْا
ِط ي ي ي
ِيٍ ِِْي ي ِيِ
ْ
ي ي
ي ْ ي ي خُايٍ ِِي اي، ض
يِ ْف ي
ِْي ِي خ ِيٍ ِِْي
ي
Qard adalah harta yang diberikan kepada orang lain untuk
kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain.
Qard adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta
(45)
36
kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.32
b. Menurut Hanabillah, definisi qard adalah sebagai berikut.
ْا
ِ ي ْف ي
ي
ِف ي ِ
ي
ي يِِ
Qard adalah memberikan harta kepada orang memanfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantinya.33
c. Menurut Malikiyyah, definisi qard adalah pembayaran seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang memiliki nilai materi dengan tanpa kelebihan syarat pengembalian hendaknya tidak berbeda dengan pembayaran.34
d. Menurut Syafi’iyyah, definisi qard} adalah sebagai berikut.
ْط ي
ْا
ِء اي ِي شيق
ي
ْ ْا
ي
Qard} dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).35
e. Menurut sayyid sabiq, definisi qard} adalah sebagai berikut.
ُ ْاي ي
ْا
ي
ِْ ْايِ ِط ي ِ ا
ي
ي ِيِ ِ ْ ِْ
ِ يِِ ُقي ِ يِ ِاي ِْ
ي
Al-qard} adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan
32 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat…, 273.
33 Ibid., 273.
34 Habib Nazir, Muhammad Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankkan Syariah (t.tp:Kaki
Langit, 2004), 479
(46)
37
kepadanya (muqrid) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.36
Selain definisi diatas, terdapat definisi lain yang mengartikan qard
sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seorang kepada orang lain, pihak yang menerima kepemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan tanpa harus membayar imbalan, dan dalam waktu tertentu penerima utang wajib mengembalikan harta yang diterimanya kepada pemberi utang dengan barang sepadan yang dipinjamkannya.37
Dari definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa qard} (utang-piutang) adalah pemberian pinjaman oleh muqrid (pemberi pinjaman) kepada (muqtarid) (penerima pinjaman), dimana muqtarid akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan.
1. Dasar Hukum Al-Qard (utang-piutang).
Al-qard merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah
dan rosulnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an..38 Dari sisi
muqrid} (orang yang memberikan utang), Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dengan memberikan utang. Dari sisi muqtarid} (orang yang berutang), utang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan
36 Ibid., 273.
37 Helmi Karim, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 37.
(47)
38
dibolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang diutangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia akan mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.39
Dasar hukum dari hutang piutang dapat kita temukan dalam
Al-Qur’an, hadits dan ijma’.
a. Al-Qur’an
Firman Allah dalam suratal-hadid ayat 11 :
ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman ini untuknya, dan diaakan memperoleh pahala yang banyak.40 (QS. al-Hadi>d [57]: 11).
Firman Allah dalam surah at- Tagha>bun 17:
ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ييي ي
Jika kau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah akan melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah maha pembalas jasa lagi maha penyantun.41 (QS. at-Tagha>bun
[64]: 17)
b. Hadits
Islam menempatkan hadits sebagai dasar hukum kedua setelah al-quran. Ia juga menjadi penjelas atas ayat-ayat al-Quran yang pembahasannya masih bersifat global.
39 Ibid., 275.
40 Ibid., 902.
(48)
39
Dalam hal hukum utang-piutang, ada beberapa hadist yang menjadi dasar hukum qard antara lain, Nabi Saw.. bersabda:
ث
ٍف خ
ِ س ْا
ث
ث
ُ س
رِس
ِس ق
ِ
ِ
ٍ
ُ س
ٍ ُُ
ِْ
ْ
فْ
ِ
ِإ
ِِئ ط
ف
خ
ط
ض
ِ
شا
ِ
ض ف
ف
ْ
ِضغ
ث ف
ا ش
ُث
ف
ِضِْق
فْ
ِ
ِإ
ِئ ط
ق
ً ا
ُ
ِ ُ
ِْ
ط ِ ْا
ْا
ِ ا
ِ
ِ
َء ف
ِ
ف
ِ ا
ِإ
ِ ا
ِ ا
ِ ضق
ْ
ِ
ِ
ِ ا
ف قا
ِ ِ
ِ ْ ف
ق
ِ س
ِ
ق
ِ س
ِ ِ
ِ س
ُ ْ
ِ ا
ٍ س
ِ ا
ص
ا
ِ
س
ق
ِ
ِس
ِْ
ِس
ض ق
ِ
ِإ
ِق
ً
ق
ِ
ِ
ا
ٍ س
.
ي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Khalaf Al Asqalani berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’la berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Bin Yasir dari Qais Bin Rumi ia
berkata, Sulaiman Bin Udzunan meminjami Alqamah seribu dirham
sampai waktu yang telah ditentukan, ketika waktu telah yang ditentukan habis, Sulaiman meminta dan memaksa agar ia melunasinya, Alqamah pun membayarnya. Namun seakan-akan Alqamah marah hingga ia berdiam diri selama beberapa bulan. Kemudian Alqamah datang kembali
kepadanya dan berkata, Pinjami aku seribu dirham sampai batas waktu
yang telah engkau berikan kepadaku dulu. Sulaiman menjawab, Baiklah, dan dengan rasa hormat wahai Ummu Utbah, berikanlah kantung milikmu yang tertutup itu. Ia pun datang dengan membawa kantung tersebut kemudian Sulaiman berkata. Demi Allah, sesungguhnya itu adalah dirham-dirham milikmu yang pernah engkau bayarkan kepadaku, aku tidak merubah dirham itu sedikitpun. Alqamah berkata, Demi Allah, apa yang mendorongmu melakukan ini kepadaku? ia menjawab, Karena sesuatu yang aku dengar darimu. Ia bertanya, apa yang
kamu dengar dariku?”ia menjawab, Aku mendengarmu menyebutkan
dari Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim member pinjaman kepada orang lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama." Ia berkata,
(49)
40
"Seperti itu pula yang di beritakan Ibnu Mas'ud kepadaku". (Ibnu Majah - 2421).42
c. Ijma’
Hukum utang-piutang juga berdasarkan ijma’ ulama’, yaitu para ulama’ telah menyepakati bahwa utang-piutang boleh dilakukan. Kesepakatan ulama’ ini didasari tabiat manusia yang tidak bias hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan manusia.
Hokum ini telah diperkuat juga oleh hadist:
ّف ي ي:. . يِهايُ س ي قي: قي. . ي
ي ِ ي
يِ ُ ي ِيً ُ ي ِس ي يس
ِ يُهاي س ي ِس ي ي س ي يِ ِْايِ يِ ُ ي ِيً ي يُهايسف ي ا
ي
ي ِف
ْا ي ا
ي ي يِ ْايِ ي ِفيُها يُ ِخ ْا ي اي ِفيُهاي سي ِس ي سي يِ ِخ
َ س ي ج خاُي.ِ ِخ يِ ي ِفي ْا
.
Artinya: “abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah Saw.. Telah bersabda, ‘barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan member kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aib)nya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya. (HR. Muslim).
42
(50)
41
Meskipun demikian, para ulama Hanabillah berpendapat bahwa sedekah lebih utama dari pada qard}, dan tidak ada dosa bagi orang yang dimintai pinjaman kemudian tidak meminjamkannya.43
2. Rukun dan Syarat Qard}
a. Rukun Utang Piutang (Qard})
Dalam rukun qard} diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hana>fiyah, rukun qard} adalah ija>b dan qa>bul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, adapun rukun qard} adalah:
1) ‘a>qid ( ﺎ ), yaitu muqrid} (nasabah) dan muqtarid (lembaga keuangan syariah.
2)Ma’qu>d ‘alaih ( ﻠﻴﻪﻣ ﻮ), yaitu uang atau barang, dan
3)S}ighat (ﺻﻴﻐﺔ), yaitu ija>b dan qa>bul.
Menurut Ismail Nawawi dalam bukunya Fikih Muamalah (Klasik dan Kontemporer ). Rukun qard ada empat yaitu:
1)Pemilik barang (muqrid}).
2)Yang mendapat barang atau peminjam (muqtarid}). 3)Serah terima (ija>b qa>bul).
4)Barang yang dipinjamkan (qard}).44
b. Syarat Qard}
43 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, jilid 4,… 375.
44 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
(51)
42
Dari rukun utang-piutang di atas, terdapat beberapa syarat sah utang piutang, yaitu:
1) a>qid ( Subjek Hukum)
Dalam transaksi utang-piutang, ada dua belah pihak yang terlibat langsung sebagai ‘a>qid atau subyek hukum, yaitu pemberi utang (muqrid}) dan orang yang berutang (muqtarid}).
Menurut Sayyid Sabiq, syarat orang yang melakukan akad (utang-piutang) seperti syarat orang berakad dalam jual beli, yaitu orang yang berakal dan orang yang dapat membedakan (memilih). Orang gila, orang mabuk dan anak kecil yang tidak dapat membedakan (memilih) melakukan akad utang piutang adalah tidak sah hukumnya.45
Sedangkan menurut Sha>fi’iyah, syarat untuk muqrid} antara lain:46
a) Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’ b) Mukhtar (memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtarid} disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahju>r ‘alaih.47
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat ‘a>qid (subyek hukum) dalam transaksi utang piutang adalah:
a) Berakal, yaitu orang yang dianggap mampu menggunakan akalnya secara sempurna.
45 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 12, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), 131.
46 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat…, 278.
(52)
43
b) Cakap (tabarru’), yaitu orang yang mampu melepaskan hartanya dan mempertimbangkan manfaatnya.
c) Kebebasan memilih (mukhta>r), yaitu orang yang terlepas dari unsur paksaan dan tekanan dari orang lain.
Ketiga syarat tersebut berdasarkan hadith Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Aisyah:
ث ثي ي ْاي ِف ي قي س يِ ي اي صيِ اي س ي ا ي اي ِض ي ِئ ي
يٍ
يُظِ س ي يِ ِئ اي
ا ي ي
ْاي
ي
اي
ْ ي يِ ِ
ي
Artinya: “dari Aisyah r.a sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: bahwasannya Allah mengangkat penanya dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai dia bangun, dari orang gila sampai dia sembuh, dari anak kecil sampai baligh”.48
2) Ma’qu>d ‘alaih (obyek hukum)
Dalam hal ini ma’qu>d ‘alaih adalah benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya membekas dan tampak. Barang tersebut bisa berbentuk harta benda seperti barang dagangan, atupun manfaat dari barang tersebut seperti halnya dalam akad sewa-menyewa.49
Syarat-syarat obyek utang piutang atau Ma’qu>d ‘alaih adalah: a) Besarnya pinjaman harus diketahui dengan timbangan, takaran atau
jumlahnya.
b) Sifat pinjaman dan uraiannya harus diketahui jika dalam bentuk
48 Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz 2, 43.
(53)
44
hewan.
c) Pinjaman (al-qard}) tidak sah dari orang-orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.50
Dalam penelitian ini, yang menjadi obyek utang-piutang adalah uang. Untuk itu, obyek utang-piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan, penggunaannya mengakibatkan musnahnya benda utang.
b) Dapat dimiliki.
c) Dapat diserahkan kepada pihak yang beruang. d) Telah ada pada waktu perjanjian.51
3) S}ighat (Ija>b Qa>bul)
Qard{ adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ija>b dan qa>bul.52Ija>b qa>bul
merupakan unsur-unsur perjanjian utang-piutang yang keduanya dinamakan s}ighat, ija>b adalah pernyataan dari pihak yang memberi utang dan qa>bul adalah penerimaan dari pihak berutang.
Terkait dengan ija>b dan qabu>l, para ulama menetapkan tiga syarat didalamnya, yaitu:53
50 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer…, 179.
51 Ahmad Azhar Basyir, Azas-Azas Hukum Muamalah, (Yogyakarta: 2000), 38 .
52 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat..., 278.
(54)
45
a) I<ja>b dan qabu>l harus jelas maksudnya, sehingga di pahami oleh pihak yang melakukan akad.
b) Antara ija>b dan qabu>l harus sesuai
c) Antara i>ja>b dan qabu>l harus bersambung dan berada di tempat yang sama jika kedua belah pihak hadir, atau berada di tempat yang sudah diketahui oleh keduanya.
S}ighat ija>b bisa dengan menggunakan lafaz} qard} (utang atau pinjam) dan salaf (utang), atau dengan lafaz} yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan cuma-cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.54 Ija>b qabu>l juga tidak harus dengan lisan tetapi dapat juga dengan tulisan bahkan dapat pula dengan isyarat bagi orang bisu.
Disamping syarat-syarat di atas, al-qard} dianggap sempurna apabila harta sudah ada ditangan atau diserahterimakan kepada penerima utang. Syarat ini disebut qard}.55
3. Berakhirnya utang piutang
Berakhirnya utang-piutang ini disyari'atkan supaya mereka mudah dalam meminta dan menurut pihak yang berutang untuk melunasi utangnya apabila sudah jatuh temponya. Di samping disyari'atkannya secara tertulis dalam utang-piutang itu, diperlukan juga dua saksi. Untuk
54 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat…, 279.
(55)
46
menjaga agar jangan sampai terjadi perselisihan di kemudian hari. Tanpa adanya saksi mungkin yang satu akan mengingkari perjanjian yang telah disepakati bersama. Saksi dalam utang-piutang itu hendaknya terdiri atas dua orang pria baligh, muslim, dan bukan budak belian. Sekiranya tidak didapatkan dua orang saksi pria yang memenuhi syarat, hendaknya mengangkat seorang laki-laki dan dua orang perempuan yang dapat saling mengingatkan diantara keduanya sehingga tidak terjadi kealpaan.56
Hal ini sesuai al-Quran surah al-baqarah ayat 283 yang berbunyi:
ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ي ييي
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian.dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.57 (QS. al-Baqarah [2]: 283)
Ayat ini menerangkan bahwa apabila orang yang melakukan utang-piutang saling percaya karena sangka baik, pemberian dengan ketentuan akan dibayarkan kembali gantinya pada waktu yang telah
56 Shaleh, Ayat-Ayat Hukum, (Bandung,: CV. Diponegoro, 1993), 106.
(56)
47
ditentukan. Oleh karenanya, jika utang terbayarkan, maka berakhirlah perjanjian utang-piutang itu.
4. Utang Piutang dengan Syarat
Pada dasarnya segala bentuk persyaratan dalam bermuamalah diperbolehkan menurut hukum Islam, sebagaimana kaidah:
َلا
ِإْايِء شَلْاي ِفيُ ص
ِ ِ اي يُ ِ ْاي ي ي ي
Asal sesuatu (muamalah) adalah boleh, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.58
Pihak-pihak yang berhubungan dengan suatu akad diperbolehkan untuk menambahkan suatu persyaratan guna tercapainya suatu akad sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan semua pihak.59 Akan tetapi syarat-syarat yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut tidak boleh jika bertentangan dengan al-Qur’an dan h}adi>th.60
Syarat yang berkaitan dengan fiqh muamalah sendiri dinamakan syarat ja'li, yakni syarat-syarat yang dibuat oleh orang yang mengadakan perikatan dan dijadikan tempat tergantung dan terwujudnya perikatan. Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa dia mau membeli sesuatu barang dari penjual dengan syarat boleh mengangsur. Jika syarat ini diterima oleh penjual, maka jual beli tersebut dapat dilaksanakan. Syarat ja'li bisa diadakan untuk menambah kesempurnaan suatu perikatan, yakni ketiadaan syarat tidak menyebabkan gagalnya perikatan
58
Fatwa, Achmad Fajriddin, dkk., Usul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013)
59 Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Ja>mi’u al-Fiqh, juz 4, (Riya>d} : Da>r al-Wafa>’, 2005), 108.
(57)
48
tersebut akan tetapi hanya menjadikan kurang sempurna. Dan syarat ja'li itu bisa juga diadakan untuk menetapkan sahnya sebuah perikatan, yakni bila tidak ada syarat tidak akan terwujud suatu perjanjian.61 Sehingga yang diharapkan dalam berlansungnya suatu akad sampai berahirnya akad tersebut tidak ditemukan adanya pihak yang dirugikan ataupun secara sederhana adalah tetapnya suatu unsur kerid}oan dari semua pihak dan terwujudnya keadilan dalam bermuamalah bagi semua pihak.
Utang piutang dibolehkan dalam pembayarannya melebihi jumlah yang dihutangkan, asalkan kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berhutang, hal ini menjadi kebaikan bagi yang membayar utang. Jika pembayaran tersebut dikehendaki oleh pemberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad utang maka tambahan itu tidak halal bagi pemberi utang untuk mengambilnya.62
Sebagaimana dalam sebuah hadith:
ث
ٍ
ث
ث
ِ
س
ِ
ِ
س
ِء ط
ِ
س
ِ
ِفا
ِ س
ِ ا
ص
ا
ِ
س
ق
ف س سا
ُ س
ِ ا
ص
ا
ِ
س
ا ْ
َء ف
ِِإ
ِ
ِق ا
ق
ِفا
ِ ف
ُ س
ِ ا
ص
ا
ِ
س
ْ
ِضْق
ج ا
ْ
ُْف
ِج
ِف
ِ ِِإْا
ِإ
ً ج
ا ِخ
ِ
ف
ُ س
ِ ا
ص
ا
ِ
س
ِِط
ِإ
ِإف
ِخ
ِس ا
س
ًء ضق
ق
س ِ
ا
ث ِ
س
ِ ص
.
ي
Telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah telah menceritakan
61 Miftahul Arifin, Faishal Haq, Ushul Fiqh, (Surabaya : Citra Media, 1997), 53.
(58)
49
kepada kami Malik bin Anas dari Zaid bin Aslam dari 'Atha` bin Yasar dari Abu Rafi' mantan budak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghutang unta muda kepada seseorang, kemudian orang tersebut dating kepada beliau menuntut unta mudanya, lalu dibawakan unta dari sedekah. Abu Rafi' berkata; Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhku untuk membayar unta muda kepada orang itu. Aku berkata; Aku tidak mendapati untanya kecuali unta muda berumur empat tahun. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: "Berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar (hutang atau pinjaman)." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (Tirmidzi - 1239).63
Dalam utang piutang dibolehkan dalam pembayarannya melebihi jumlah yang dihutangkan, asalkan kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berhutang.64 Ini juga sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
ِي في ْف ي جي قي ُ
Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.”65Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau
mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman
63
Aplikasi Hadith Lidwah Pustaka, Dalam Kitab Tirmidzi No.1239.
64 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, 96.
65 Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya Fiqh Muamalat dijelaskan, kaidah ini menurut Sayyid
Sabiq adalah kaidah yang shahih, meskipun tidak ada hadis yang kuat sebagai dasarnya. Hadis yang berkaitan dengan masalah ini adalah hadis dari Ali yang sanadnya gugur, memang ada syahid (penguat) tetapi lemah, yaitu dari Fudhalah bin ‘Ubaid dalam riwayat Baihaqi. Sebagian syahid (penguat) lain mauquf dari Abdullah bin Salam dalam riwayat al-Bukhari. Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat hlm. 281, lihat juga: Sayyid Sabiq juz 3 hlm. 184.
(59)
50
adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.66
5. Fatwa DSN MUI Tentang Al-Qard}
Dalam fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qard} dalam ketentuan umum salah satunya \yaitu LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. Maka dari itu pula pihak koperasi tidak menerima adanya barang jaminan untuk utang piutang. Akan tetapi bukan berarti hal tersebut bukan tanpa masalah, tentunya akan sangat beresiko bagi keberlangsungan keuangan pihak koperasi apabila terjadi pelanggaran perjanjian utang-piutang (al-qard}).
66 Muhammad Washito,Lc, “يماسإا هقفلا يف ضرقلا اكحأ / Keutamaan Dan Bahaya Hutang Piutang
(1)
82 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil serangkaian pengamatan, pencarian dan pengolahan data dalam penelitian ini, pada akhirnya dalam bab ini peneliti dapat memaparkan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian. Adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di koperasi Sosial Terpercaya Financial Ar-Rahman Surabaya Ialah sebagai berikut:
1. Pelunasan barang gadai pada koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya dilakukan sebagaimana dengan akad al-qard}, dalam kasus ini koperasi STF syariah Ar-Rahman Surabaya ialah selaku pemberi piutang kepada nasabah, dimana dalam praktiknya piutang yang diberikan oleh pihak koperasi STF Ar-Rahman Surabaya dalam bentuk pelunasan hutang gadai nasabah di pegadaian, tepatnya di pegadaian kantor cabang wonokusumo kecamatan semampir surabaya yang telah jatuh tempo. Kemudian pihak koperasi dan anggota menandatangani untuk pelunasan barang tersebut dalam akad al-qard} dengan cara diangsur dengan jangka waktu 10-25 minggu atau 5 bulan. Akan tetapi pihak koperasi hanya meminta surat pembelian emas yang dijadikan
(2)
83
jaminan atau tidak menahan emas sebagai barang jaminan, . Kajian atas kasus dan tinjauan hukum dalam penelitian ini pada akhirnya dapat menyimpulkan bahwasanya ada atau tiadanya barang jaminan bukan merupakan hal yang bersifat mutlak. Dalam pelaksanaanya pihak koperasi STF Ar-Rahman Surabaya selaku pihak pemberi piutang tidak menerima adanya barang jaminan, hal ini di didasarkan dari pertimbangan pelaksanaan, pengelolaan, perawatan, penjaminan kondisi atas barang jaminan yang tentunya memerlukan biaya dan tenaga lebih.
2. Pelunasan barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad
al-qard} sesuai dengan syariat Islam dan fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qard} dalam ketentuan umum salah satunya \yaitu LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu, sehingga koperasi diperbolehkan meminta jaminan kepada pihak nasabah, dan sebaliknya, pihak koperasi juga diperbolehkan atau bisa saja tidak menerima jaminan sebagai syarat untuk hutang piutang.
(3)
84
B. Saran
1. Bagi koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya
Bagi koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya dalam pelunasan barang gadai tidak meminta jaminan itu bisa merugikan koperasi dikarenakan nasabah/ anggota bisa kabur, yang kedua nasabah bisa saja menjual barang tersebut tanpa sepengetahuan dari pihak koperasi, sebaiknya koperasi meminta jaminan meskipun akad ini menggunakan akad al-qard. Dan sebaiknya di koperasi memberikan tempat keamanan untuk menyimpan barang-barang berharga agar dapat berjalan efektif. Mengingat banyaknya PM (penerima manfaat).
2. Bagi peneliti selanjutnya
Pembahasan mengenai tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap pelunasan hutang barang gadai yang tidak dijadikan jaminan dalam akad al-qard} di koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya masih jauh dari kesempurnaan, maka diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar kekurangan tersebut dapat memperbaikinya, sehingga penelitian selanjutnya dapat menjadi karya tulis ilmiah yang lebih baik lagi.
(4)
DAFTAR PUSTAKA Al-Syarbini, Muhammad, Mugni Al-Muhtaj.
Aplikasi Hadith Lidwah Pustaka, Dalam Kitab Sunan Ibnu Majah Azhar Basyir, Ahmad , Riba Utang Piutang Dan Gadai.
Dewi, Wawancara, Surabaya, 18 maret 2017.
Fatwa, Achmad Fajriddin, dkk., Usul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013.
Habib, Nazir, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankkan Syariah , Kaki Langit, 2004. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2001.
Hadi, M. Sholekul , pegadaian Syariah, Jakarta: Selemba Diniyah.2003. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama,2000. Ilmiyah, Nurul, Wawancara, Surabaya, 17 maret 2017.
Karim, Helmi. Fiqih Mu’amalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993. Kholaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Darul Kitab Islami, 1956. Mardalis, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenanda Media Grup, 2012. Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, Surabaya: Hilal Pustaka 2013.
(5)
86
Rodani, lembaga keuangan syariah , jakarta: zikrul hakim, 2008. Sabiq,Sayyid, Al-Wajiz fi fiqh As-Sunnah, solo: Aqwam, 2013.
Salma Barlinti, Yeni, Kedudukan Dewan Syari’ah Nasional Dalam Sistem
Hukum Nasional Di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Syaamil Al Quran, ushul fiqh, surabaya:mahkota,2001
Syafi’i Antonio, Muhammad , Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani,2001.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfa Beta, 2008.
Suharjo, Drajat. Metode Penelitian dan Penulisan Laporan Ilmiah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo, 2002.
Syafi’i, Rachmat , Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia,2006. Zainudin, Ali, Hukum Gadai Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Zuhaili, Wahbah , Fiqih Islam wa adillatuhu,Abdul Hayyi al Kattani, Jakarta: Gema Insani,2011.
DSN-MUI No.58/DSN-MUI/V/2007
Aini,Nurul. “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik hutang piutang dengan sistem mengelola sawah(study kasus didukuh rejomulyo desa jatisari kec. Subah kab. Bateng)” (Skripsi--UIN Walisongo, Semarang, 2015).
(6)
87
Ekawati,Hana.”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Akad Pembiayaan Murabahah ke Akad Pembiayaan Mudharabah di BMT MUDA surabaya”(skripsi--UIN sunan ampel,surabaya,2016).
Wibowo,Adi. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Pinjam-Meminjam Uang di Desa Nglorog, Kec. Sragen, Kab. Sragen” (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013)