PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN.

PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA MELALUI
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF
TIPE STAD DI SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN

Oleh :
Asmy Susilawaty Saragih
NIM 4113311002
Program Studi Pendidikan Matematika

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2015

i


iii

PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA
MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI
SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN
ASMY SUSILAWATY SARAGIH (4113311002)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran (1) Kemampuan
koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti model
pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, serta (2) Proses jawaban siswa terkait
kemampuan koneksi matematik yang diajarkan melalui Pembelajaran Kontekstual
dan Kooperatif Tipe STAD.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan populasi
seluruh siswa kelas VII SMPN 1 Silou Kahean T.A. 2014/2015 sebanyak 5 kelas.
Sampel diambil melalui teknik cluster random sampling , diperoleh kelas VII-3
sebagai kelompok eksperimen I yang diajar dengan model pembelajaran

kontekstual dan kelas VII-4 sebagai kelompok eksperimen II yang diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode tes dan metode observasi. Metode tes dilakukan untuk memperoleh data
nilai akhir setelah diberi perlakuan pada kelompok eksperimen I dan kelompok
eksperimen II. Sebelum instrumen diberikan pada siswa terlebih dahulu diujicoba
dengan perhitungan validitas dan reliabilitas. Data dianalisis dengan uji
normalitas, uji kesamaan dua varians, dan uji hipotesis menggunakan uji-t.
Berdasarkan hasil perhitungan data postes siswa diperoleh pada dk 66 dan
α = 0,05 diperoleh t
= 1,669 dan t
= 2,398. Karena t
>
t
( 2,398 > 1,669) maka Ho ditolak dan H diterima. Maka dapat
disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa yang diajar dengan
model pembelajaran kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Berdasarkan hasil penelitian ini, model pembelajaran kontekstual (CTL)
dapat dijadikan sebagai alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan koneksi matematik siswa khususnya pada materi bangun datar

segiempat.

vi

DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan
Riwayat Hidup
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Lampiran

i
ii
iii
iv
vi

viii
ix
x

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

1

1.2 Identifikasi Masalah

7

1.3 Batasan Masalah

8

1.4 Rumusan Masalah

8


1.5 Tujuan Penelitian

8

1.6 Manfaat Penelitian

9

1.7 Defenisi Operasional

9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan Koneksi Matematika

11

2.1 Proses Jawaban Siswa


14

2.2 Model Pembelajaran

15

2.3 Model Pembelajaran Kontekstual

18

2.3.1 Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual

20

2.3.2 CTL Dalam Pembelajaran Matematika

26

2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan CTL


27

2.4 Teori yang Relevan dengan Pembelajaran Kontekstual

28

2.5 Model Pembelajaran Kooperatif

29

2.6 Kooperatif Tipe STAD

32

2.7 Bangun Datar Segiempat

35

2.8 Kerangka Konseptual


38

vii

2.9 Hasil Penelitian yang Relevan

40

2.10 Hipotesis Penelitian

42

BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian

43

3.2 Lokasi Penelitian

43


3.3 Populasi dan Sampel

43

3.4 Variabel Penelitian

44

3.5 Mekanisme dan Rancangan Penelitian

44

3.6 Prosedur Penelitian

45

3.7 Instrumen Pengumpul Data

48


3.8 Validasi Ahli

51

3.9 Uji Instrumen

51

3.10 Teknik Analisis Data

53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Uji Instrumen Kemampuan Koneksi Matematik

58

4.2 Hasil Penelitian


59

4.2.1. Hasil Tes Kemampuan Awal

60

4.2.2. Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematik

62

4.3 Analisis Data Penelitian

65

4.3.1. Uji Normalitas

65

4.3.2. Uji Homogenitas

66

4.3.3. Uji Hipotesis

67

4.4 Analisis Proses Jawaban

67

4.5 Analisis Hasil Observasi

74

4.6 Pembahasan

76

BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan

79

5.2 Saran

79

DAFTAR PUSTAKA

81

ix

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Fase – Fase Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

32

Tabel 2.2 : Perhitungan Skor Perkembangan

33

Tabel 2.3 : Tingkat Penghargaan Kelompok

33

Tabel 3.1 : Two Group Pretest-Postest Design

45

Tabel 3.2 : Kriteria Penskoran Kemampuan Koneksi

48

Tabel 3.3 : Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Koneksi Matematik

49

Tabel 3.4: Kategori Penilaian

50

Tabel 3.5: Kategori Penilaian Observasi Guru

50

Tabel 3.6: Validasi Ahli

51

Tabel 4.1: Validitas

58

Tabel 4.2: Indeks Kesukaran

58

Tabel 4.3: Daya Beda

59

Tabel 4.4: Rekapitulasi Uji Coba KKM

59

Tabel 4.5: Rekapitulasi Pretes Kelas Eksperimen I dan II

60

Tabel 4.6: Predikat KAM Kelas Eksperimen I

61

Tabel 4.7: Predikat KAM Kelas Eksperimen II

61

Tabel 4.8: Rekapitulasi Postes Kelas Eksperimen I dan II

63

Tabel 4.9: Predikat KKM Kelas Eksperimen I

63

Tabel 4.10: Predikat KKM Kelas Eksperimen II

64

Tabel 4.11: Hasil Uji Normalitas

66

Tabel 4.12: Hasil Uji Homogenitas

66

Tabel 4.13: Hasil UJi Hipotesis

67

Tabel 4.14: Skor Butir Soal proses Jawaban KKM

73

Tabel 4.15. Hasil Observasi Guru Kelas Eksperimen I

74

Tabel 4.16: Hasil Observasi Guru Kelas Eksperimen II

75

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1: Persegi Panjang

35

Gambar 2.2: Persegi

37

Gambar 3.1: Skema Penelitian

47

Gambar 4.1: Histogram KAM Siswa

62

Gambar 4.2: Histogram KKM Siswa

64

Gambar 4.3: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 1

68

Gambar 4.4: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 2

70

Gambar 4.5: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 3

72

x

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen I

83

Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen I

89

Lampiran 3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen II

95

Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen II

102

Lampiran 5. Lembar Aktivitas Siswa 1

108

Lampiran 6. Alternatif Penyelesaian Lembar Aktivitas Siswa 1

111

Lampiran 7. Lembar Aktivitas Siswa 2

112

Lampiran 8. Alternatif Penyelesaian Lembar Aktivitas Siswa 2

115

Lampiran 9. Kuis 1

116

Lampiran 10. Alternatif Penyelesaian Kuis 1

117

Lampiran 11. Kuis 2

118

Lampiran 12. Alternatif Penyelesaian Kuis 2

119

Lampiran 13. Lembar Validasi Pretes

120

Lampiran 14. Instrumen Tes Kemampuan Awal (Pretest)

123

Lampiran 15. Alternatif Penyelesaian Pre Test

124

Lampiran 16. Kisi – Kisi Post Test

125

Lampiran 17. Lembar Validitas Soal Post Test

126

Lampiran 18. Instrumen Koneksi Matematika (Post Test)

129

Lampiran 19. Alternatif Penyelesaian Post Test

130

Lampiran 20. Pedoman Penskoran Kemampuan Koneksi Matematika

132

Lampiran 21. Data Skor Siswa Untuk Uji Instrumen

133

Lampiran 22. Perhitungan Reliabilitas TKKM

134

Lampiran 23. Perhitungan Validitas TKKM

136

Lampiran 24. Perhitungan Tingkat Kesukaran TKKM

139

Lampiran 25. Perhitungan Daya Pembeda TKKM

140

Lampiran 26. Daftar Nilai Kemampuan Awal Kelas Eksperimen I

142

Lampiran 27. Daftar Nilai Kemampuan Awal Kelas Eksperimen II

143

Lampiran 28. Daftar Nilai KKM Kelas Eksperimen I

144

Lampiran 29. Daftar Nilai KKM Kelas Eksperimen I

145

xi

Lampiran 30. Perhitungan Rata-rata, Varians dan Standar Deviasi

146

Lampiran 31. Uji Normalitas

150

Lampiran 32. Uji Homogenitas

153

Lampiran 33. Uji Hipotesis

155

Lampiran 34. Data Skor Proses Jawaban Kelas Eksperimen I

159

Lampiran 35. Data Skor Proses Jawaban Kelas Eksperimen II

160

Lampiran 36. Lembar Observasi Aktivitas Guru 1 Kelas Eksperimen I

161

Lampiran 37. Lembar Observasi Aktivitas Guru 1 Kelas Eksperimen II

163

Lampiran 38. Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Koneksi Matematika

165

Lampiran 39. Dokumentasi

166

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong
memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk masa yang
akan datang yang harus dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam
menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh
karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang
harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam
proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa kalah bersaing dalam menjalani
era globalisasi tersebut.
Pendidikan

merupakan

keseluruhan

proses

dimana

seseorang

mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk – bentuk tingkah laku lainnya
yang bernilai positif dalam masyarakat di tempat hidupnya. Salah satu jalur
pendidikan yang sangat akrab di lingkungan kita adalah pendidikan formal yang
pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Pendidikan formal pada intinya adalah
kegiatan belajar mengajar dimana komponen yang terlibat dalam proses belajar ini
meliputi: guru, siswa, kurikulum dan sarana penunjang pendidikan. Salah satu
mata pelajaran yang diberikan disetiap jenjang pendidikan yang dapat
meningkatkan kualitas SDM adalah matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cockfort (dalam Abdurrahman, 2012:204) mengemukakan bahwa:
“Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan
dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan
keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi
yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan
informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir
logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang”.
Sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan pada setiap jenjang
pendidikan, matematika menuntut siswa kepada pola pikir untuk memecahkan

1

2

masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan diajarkannya mata pelajaran matematika di
SD, SMP, SMA dan SMK (http://p4tkmatematika.org, 2011) yaitu:
1. Agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika tidak hanya menuntut siswa mampu memecahkan masalah
matematika tetapi juga masalah pada kehidupan sehari – hari. Seperti yang
dikemukakan oleh Cornelius (dalam Abdurrrahman, 2012: 204) mengemukakan
alasan perlunya siswa belajar matematika:
“Lima alasan perlunya siswa belajar matematika karena matematika
merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis; (2) sarana untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari – hari; (3) sarana mengenal pola –
pola hubungan dan generalisasi pengalaman; (4) sarana untuk
mengembangkan kreativitas; (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran
terhadap perkembangan budaya”.
Sekalipun demikian, mata pelajaran matematika belum menjadi mata
pelajaran yang diminati oleh banyak siswa. Siswa masih beranggapan matematika
itu sulit.

Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka bahwa matematika

merupakan seperangkat fakta – fakta atau rumus – rumus yang harus dihadapi.
Selain itu objek matematika yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan
prosedur

pengerjaannya yang banyak memanipulasi bentuk – bentuk dan

3

menghubungkan ide – ide matematika ternyata menimbulkan anggapan siswa
bahwa matematika itu sulit.
Hal tersebut mengakibatkan kemampuan berpikir matematis siswa rendah
diantaranya adalah kemampuan pemecahan masalah matematik, komunikasi
matematik, penalaran dan pembuktian matematik, koneksi matematik dan
representase matematik. Dari kelima kemampuan berpikir matematis tersebut,
dengan tidak mengabaikan kemampuan yang lain, kemampuan koneksi matematik
merupakan bagian penting dalam aktivitas dan penggunaan matematika yang
dipelajari siswa. Pentingnya kemampuan ini dijelaskan dalam standar kompetensi
bahan kajian matematika kurikulum yang berlaku saat ini pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Dalam standar ini dijelaskan bahwa siswa dituntut
untuk memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, skema,
tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas suatu keadaan atau masalah,
menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan
model matematika dalam pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan sehari – hari.
Koneksi matematik merupakan bagian yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan,
kemampuan menghubungkan suatu materi yang satu dengan materi yang lain atau
dengan kehidupan sehari – hari berperan penting dalam proses pembelajaran
terutama dalam pembelajaran matematika. Koneksi matematik adalah keterkaitan
antara topik matematika, keterkaitan antara matematika dengan disiplin ilmu lain,
dan keterkaitan matematika dengan dunia nyata atau kehidupan sehari – hari.
Melalui kemampuan koneksi matematik, kemampuan berfikir kritis siswa
terhadap matematika diharapkan dapat menjadi semakin luas. Selain itu, koneksi
matematik dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa seperti mengingat
kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya.
Begitu penting kemampuan koneksi matematik siswa dalam proses
pembelajaran, namun kenyataannya kemampuan koneksi matematik siswa masih
rendah. Terutama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
kehidupan sehari – hari atau soal cerita. Siswa masih kurang bisa menentukan

4

data – data apa saja yang dapat diperoleh dari soal cerita itu, bagaimana
menghubungkannya dengan materi matematika dan melihat keterkaitannya
dengan materi yang lain. Hal ini berarti siswa kurang mampu memahami
keterkaitan antar materi sehingga kemampuan koneksi matematik siswa rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ruspiani (2000) yang menyatakan bahwa
kemampuan koneksi matematik siswa masih tergolong rendah, nilai rata – ratanya
kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2 % untuk koneksi matematika
dengan pokok bahasan lain, 44,9 % untuk koneksi matematika dengan bidang
studi lain, dan 67,3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian.
Sejalan dengan itu, dari hasil observasi di kelas yang dilaksanakan pada
tanggal 15

Januari 2015, penulis menemukan siswa

kesulitan dalam

menyelesaikan soal yang membutuhkan koneksi, baik koneksi antar topik
matematika, koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain maupun dengan
kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh kasus, dalam sebuah kapal laut terdapat
300 orang penumpang. Jumlah penumpang pria adalah 175 orang . Berapakah
persentase penumpang pria dan persentase penumpang wanita? Untuk
menyelesaikan soal tersebut siswa harus mampu menuliskan permasalahan
tersebut dalam konsep bilangan pecahan dimana siswa harus mengetahui mana
pembilang dan mana penyebut dalam soal tersebut, serta dimana untuk
menyelesaikannya membutuhkan koneksi antar topik matematika.
Siswa kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, siswa mengalami
kesulitan dalam menerjemahkan soal tersebut ke dalam bentuk matematis.
Umumnya siswa tidak bisa mengubah pecahan biasa ke pecahan campuran dan
dari pecahan campuran ke bentuk desimal. Dari 36 orang siswa, 12 orang siswa
hanya bisa menuliskan, misalkan

100, namun tidak bisa menyelesaikannya

dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah.
Kemudian ditemukan juga kelemahan siswa dalam melakukan koneksi
matematik dengan disiplin ilmu lain. Sebagai contoh kasus, seorang pedagang
membeli 10 ekor ayam dengan harga seluruhnya Rp 140.000,-. Kemudian ayam
tersebut dijual dengan harga Rp 14.500,- per ekor. Berapa rupiah keuntungan
pedagang tersebut?

5

Siswa juga kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, kesalahan
yang dilakukan siswa dalam menjawab soal tersebut karena siswa tidak tahu
bagaimana mencari harga penjualan ayam seluruhnya. Kemudian harga penjualan
akan dikurang dengan harga pembelian, itulah keuntungan yang diperoleh
pedagang tersebut. Dari 36 orang siswa. 6 orang siswa hanya mampu mengalikan
14.500 x 10 = 145.000 namun tidak bisa menyelesaikannya, 4 orang siswa
menjawab benar dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah. Padahal
mereka telah mempelajari materi tersebut di IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).
Rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa ini bisa terjadi karena
model pembelajaran yang digunakan guru bidang studi matematika kurang
melatih keterampilan atau kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Bapak Saragih salah satu guru matematika SMP Negeri 1
Silou Kahean, ditemukan bahwa sebagian besar guru termasuk Bapak Saragih
masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana pembelajaran masih
berpusat pada guru, karena metode ceramah lebih mudah digunakan dalam
pembelajaran. Selain itu ditemukan juga bahwa aktivitas belajar siswa masih
rendah dan siswa di kelas tersebut masih mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan soal koneksi karena pembelajaran yang berlangsung selama ini
mengabaikan

aspek

keterkaitan

matematika

dengan

topik

matematika

sebelumnya, dengan disiplin ilmu lain dan dengan masalah – masalah nyata di
sekitar kehidupan sehari – hari siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniati
(2010:5) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika di kelas masih
cenderung menggunakan paradigma lama dengan menyajikan pengetahuan
matematika tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari – hari.
Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru adalah model
pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung
teacher oriented sehingga siswa menjadi pasif, jenuh dan bosan yang
menyebabkan pencapaian hasil belajar tidak optimal. Trianto (2011:5)
mengemukakan bahwa:

6

“Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah)
dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini dari
rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat
memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi
pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidka menyentuh
ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana seharusnya belajar
itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses
pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan
tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri
melalui penemuan dalam prose berpikirnya”.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus mampu memilih
dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan
kebutuhan belajar. Ada banyak model pembelajaran yang bisa kita gunakan dalam
menumbuhkembangkan

kreativitas

siswa,

menciptakan

kondisi

yang

menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang
bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar
melalui berbuat. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik
siswa.
Salah satu model pembelajaran yang diduga akan sejalan dengan
karakteristik matematika

dan

harapan

kurikulum

yang berlaku

adalah

pembelajaran kooperatif dan kontekstual. Pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara berkelompok

dan tidak menekankan pada situasi

pengalaman siswa. Pembelajaran ini terdiri dari: presentase kelas (materi
dipresentasikan oleh guru), kelompok kerja, tes (dilakukan setelah presentasi guru
dan kegiatan kelompok), peningkatan skor individu, dan penghargaan kelompok.
Sedangkan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan
pada belajar bermakna, dan lebih mengutamakan proses daripada hasil serta
belajar dikontekskan ke dalam situasi serta pengalaman siswa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Trianto (2011:108) yang mengemukakan bahwa:
“Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
Negara, dan pekerja”.

7

Strategi pembelajaran kontekstual lebih mengaitkan terhadap hubungan
materi yang dipelajari siswa dengan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari –
hari. Kesadaran terhadap adanya kegunaan matematika dalam kehidupan sehari –
hari akan meningkatkan minat siswa dalam belajar matematika dan mengurangi
kebosanan siswa saat mempelajari konsep matematika . Sehingga melalui
pembelajaran kontekstual diharapkan adanya peningkatan kemampuan koneksi
matematik

yang

lebih baik.

Sedangkan pembelajaran

kooperatif

tidak

menekankan pada hubungan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan
sehari – hari dan pengalaman siswa, sehingga diduga kemampuan koneksi
matematik siswa lebih baik melalui pembelajaran kontekstual.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan konten mata pelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari –
hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni:
konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian
autentik (authentic assessment).
Melihat besarnya kontribusi

model pembelajaran kontekstual dalam

pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual
merupakan salah satu alternatif pembelajaran inovatif yang berpeluang dalam
mempengaruhi kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan latar belakang
diatas, maka perlu diadakan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran
kontekstual dan kooperatif tipe STAD dengan judul: “Perbedaan Kemampuan
Koneksi Matematik Siswa Melalui Model Pembelajaran Kontekstual Dengan
Kooperatif Tipe STAD di SMP Negeri 1 Silou Kahean”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit.
2. Hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih rendah.

8

3. Siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang membutuhkan
pengkoneksian antar topik matematika, matematika dengan disiplin ilmu lain
maupun matematika dengan kehidupan nyata.
4. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan
menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional).
5. Aktivitas siswa dalam belajar matematika masih rendah.

1.3. Batasan Masalah
Melihat luasnya

cakupan masalah,

maka

peneliti merasa

perlu

memberikan batasan terhadap masalah yang dikaji. Masalah yang diteliti dalam
penelitian ini adalah :
1. Kemampuan koneksi matematik siswa masih rendah.
2. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan
menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional).
3. Model pembelajaran yang digunakan model kontekstual atau Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan kooperatif tipe STAD.

1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah yang dikemukakan pada penelitian ini adalah:
1. Apakah kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan Model
Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD?

2. Bagaimana proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik yang
diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dan Kooperatif Tipe STAD?

1.5. Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan
dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.

9

2. Untuk mengetahui proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik
siswa yang diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dengan
Kooperatif Tipe STAD.

1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi guru
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan serta menjadi
alternatif yang dapat diterapkan oleh para guru dalam proses belajar mengajar
dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
2. Bagi siswa
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan koneksi
matematik dengan menggunakan pembelajaran kontekstual.
3. Bagi sekolah
Melalui penelitian ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
peningkatan

kualitas

pengajaran

serta

menjadi

pertimbangan

untuk

meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
4. Bagi peneliti
Melalui

penelitian

ini,

diharapkan

dapat

menjadi

masukan

dalam

pembelajaran serta dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk
penelitian sejenisnya.

1.7. Defenisi Operasional
1. Kemampuan

koneksi

matematika

siswa

adalah

kemampuan

siswa

menghubungkan konsep matematika, memahami antar topik matematika,
menggunakan matematika dalam bidang studi lain ataupun kehidupan sehari –
hari.
2. Model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah strategi yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari, mendorong siswa agar
dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi

10

kehidupan nyata dan mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan. Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus
dikembangkan oleh guru, yaitu :
a. Konstruktivisme (Constructivism)
b. Menemukan (Inquiry)
c. Bertanya (Questioning)
d. Masyarakat belajar (Learning Community)
e. Pemodelan (Modelling)
f. Refleksi (Reflection)
g. Penilaian sebenarnya (Autentic Assesment)
3. Model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melibatkan
kelompok

kecil,

untuk

bekerjasama

dalam

memecahkan

masalah,

menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan bersama dan akhirnya dapat
meningkatkan prestasi hasil belajar bersama – sama pula.
4. Model pembelajaran kontekstual dikatakan berpengaruh terhadap kemampuan
koneksi matematik siswa jika terdapat perbedaan yang signifikan antara
pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran kooperatif.
5. Proses jawaban siswa adalah kesistematisan jawaban siswa dari tes
kemampuan koneksi matematik. Dengan ide – ide yang berbeda, maka proses
jawaban pun akan bervariasi. Proses jawaban siswa diukur dengan kriteria
lengkap ataupun tidak lengkap sesuai dengan rubrik kemampuan koneksi
matematik. Hal ini dapat terlihat dari lembar jawaban siswa dalam
menyelesaikan tes kemampuan koneksi matematik.

83

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2012). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta
Arikunto. (2009). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto. (2012). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Dahar, W. (2010). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Erlangga
Daulay, Leni Agustina. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Koneksi Matematika Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran
Berbasis Masalah. Tesis PPs Unimed: Tidak diterbitkan
Harahap, Ratna Sari. (2013). Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa
Melalui Pendekatan Kontekstual dan Konvensional Pada Pokok Bahasan
Aritmatika Sosial di Kelas VII SMP Kartika I-2 Medan.Skripsi FMIPA
Unimed: Tidak diterbitkan
Harahap, Tua Halomoan. (2013). Penerapan Contextual Teaching and Learning
(CTL) Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representase
Matematika Siswa Kelas VII-2 SMP Nurhasanah Medan Tahun pelajaran
2012/2013. Tesis PPs Unimed: Tidak diterbitkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Kurniati, Dwi Zaenab. (2010). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Jurusan Pendidikan Matematika.
Fakultas Pendidikan Matematika. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta
Made, I Sumadi. (2005). Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap
Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa Kelas II SLTP
Negeri 6 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Volume 38, No 1
Januari 2005
Ngalimun. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Banjarmasin: Aswaja
Presindo
P4TK Matematika. (2011). Peran , Fungsi, Tujuan dan Karakteristik Matematika
Sekolah. Online. Tersedia di http://p4tkmatematika.org/2011/10/peranfungsi-tujuan-dan-karakteristik-matematika-sekolah/ (diakses pada tanggal
22 Februari 2015)
Rachmawati. (2013). Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Pada Materi Bangun Ruang.

84

Jurusan Pendidikan Matematika. Fakultas Pendidikan Matematika.
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo
Ruseffendi.(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung : Tarsito
Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers
Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Rineka Prenada Media
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sukino dan Simangunsong, Wilson. (2006). Matematika untuk SMP Kelas VII.
Jakarta: Erlangga
Trianto. (2011). Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Dokumen yang terkait

Perbandingan antara model pembelajaran cooperative learning tipe stad dengan pembelajaran konvensional dalam rangka meningkatkan hasil belajar PAI (eksperimen kelas XI SMA Negeri 3 Tangerang)

2 14 159

Pengaruh strategi pembelajaran react dengan teknik scaffolding terhadap kemampuan koneksi matematik siswa di SMP Negeri 11 Depok

1 9 248

Pengaruh Strategi Pembelajaran Heuristik Vee Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

2 13 297

Pengaruh Strategi Pembelajaran Heuristik VeeTerhadap Kemamprren Koneksi Matematik Siswa

0 7 297

Upaya meningkatkan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Stad (Student Teams Achievement Division) pada pembelajaran IPS kelas IV MI Miftahul Khair Tangerang

0 13 0

PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL.

0 6 41

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMP NEGERI 17 MEDAN ANTARA YANG DIAJAR MELALUI PENDEKATAN QUANTUM LEARNING DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD.

0 4 17

PERBEDAAN PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI SMP AL-WASLIYAH 8 MEDAN.

0 2 45

PERBEDAAN PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI SMP AL-WASHLIYAH 8 MEDAN.

0 3 23

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN GI TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SEKOLAH DASAR.

0 7 51