PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN.
PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA MELALUI
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF
TIPE STAD DI SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN
Oleh :
Asmy Susilawaty Saragih
NIM 4113311002
Program Studi Pendidikan Matematika
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2015
i
iii
PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA
MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI
SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN
ASMY SUSILAWATY SARAGIH (4113311002)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran (1) Kemampuan
koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti model
pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, serta (2) Proses jawaban siswa terkait
kemampuan koneksi matematik yang diajarkan melalui Pembelajaran Kontekstual
dan Kooperatif Tipe STAD.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan populasi
seluruh siswa kelas VII SMPN 1 Silou Kahean T.A. 2014/2015 sebanyak 5 kelas.
Sampel diambil melalui teknik cluster random sampling , diperoleh kelas VII-3
sebagai kelompok eksperimen I yang diajar dengan model pembelajaran
kontekstual dan kelas VII-4 sebagai kelompok eksperimen II yang diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode tes dan metode observasi. Metode tes dilakukan untuk memperoleh data
nilai akhir setelah diberi perlakuan pada kelompok eksperimen I dan kelompok
eksperimen II. Sebelum instrumen diberikan pada siswa terlebih dahulu diujicoba
dengan perhitungan validitas dan reliabilitas. Data dianalisis dengan uji
normalitas, uji kesamaan dua varians, dan uji hipotesis menggunakan uji-t.
Berdasarkan hasil perhitungan data postes siswa diperoleh pada dk 66 dan
α = 0,05 diperoleh t
= 1,669 dan t
= 2,398. Karena t
>
t
( 2,398 > 1,669) maka Ho ditolak dan H diterima. Maka dapat
disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa yang diajar dengan
model pembelajaran kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Berdasarkan hasil penelitian ini, model pembelajaran kontekstual (CTL)
dapat dijadikan sebagai alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan koneksi matematik siswa khususnya pada materi bangun datar
segiempat.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan
Riwayat Hidup
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Lampiran
i
ii
iii
iv
vi
viii
ix
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Identifikasi Masalah
7
1.3 Batasan Masalah
8
1.4 Rumusan Masalah
8
1.5 Tujuan Penelitian
8
1.6 Manfaat Penelitian
9
1.7 Defenisi Operasional
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan Koneksi Matematika
11
2.1 Proses Jawaban Siswa
14
2.2 Model Pembelajaran
15
2.3 Model Pembelajaran Kontekstual
18
2.3.1 Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual
20
2.3.2 CTL Dalam Pembelajaran Matematika
26
2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan CTL
27
2.4 Teori yang Relevan dengan Pembelajaran Kontekstual
28
2.5 Model Pembelajaran Kooperatif
29
2.6 Kooperatif Tipe STAD
32
2.7 Bangun Datar Segiempat
35
2.8 Kerangka Konseptual
38
vii
2.9 Hasil Penelitian yang Relevan
40
2.10 Hipotesis Penelitian
42
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
43
3.2 Lokasi Penelitian
43
3.3 Populasi dan Sampel
43
3.4 Variabel Penelitian
44
3.5 Mekanisme dan Rancangan Penelitian
44
3.6 Prosedur Penelitian
45
3.7 Instrumen Pengumpul Data
48
3.8 Validasi Ahli
51
3.9 Uji Instrumen
51
3.10 Teknik Analisis Data
53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Uji Instrumen Kemampuan Koneksi Matematik
58
4.2 Hasil Penelitian
59
4.2.1. Hasil Tes Kemampuan Awal
60
4.2.2. Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematik
62
4.3 Analisis Data Penelitian
65
4.3.1. Uji Normalitas
65
4.3.2. Uji Homogenitas
66
4.3.3. Uji Hipotesis
67
4.4 Analisis Proses Jawaban
67
4.5 Analisis Hasil Observasi
74
4.6 Pembahasan
76
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
79
5.2 Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
81
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Fase – Fase Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
32
Tabel 2.2 : Perhitungan Skor Perkembangan
33
Tabel 2.3 : Tingkat Penghargaan Kelompok
33
Tabel 3.1 : Two Group Pretest-Postest Design
45
Tabel 3.2 : Kriteria Penskoran Kemampuan Koneksi
48
Tabel 3.3 : Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Koneksi Matematik
49
Tabel 3.4: Kategori Penilaian
50
Tabel 3.5: Kategori Penilaian Observasi Guru
50
Tabel 3.6: Validasi Ahli
51
Tabel 4.1: Validitas
58
Tabel 4.2: Indeks Kesukaran
58
Tabel 4.3: Daya Beda
59
Tabel 4.4: Rekapitulasi Uji Coba KKM
59
Tabel 4.5: Rekapitulasi Pretes Kelas Eksperimen I dan II
60
Tabel 4.6: Predikat KAM Kelas Eksperimen I
61
Tabel 4.7: Predikat KAM Kelas Eksperimen II
61
Tabel 4.8: Rekapitulasi Postes Kelas Eksperimen I dan II
63
Tabel 4.9: Predikat KKM Kelas Eksperimen I
63
Tabel 4.10: Predikat KKM Kelas Eksperimen II
64
Tabel 4.11: Hasil Uji Normalitas
66
Tabel 4.12: Hasil Uji Homogenitas
66
Tabel 4.13: Hasil UJi Hipotesis
67
Tabel 4.14: Skor Butir Soal proses Jawaban KKM
73
Tabel 4.15. Hasil Observasi Guru Kelas Eksperimen I
74
Tabel 4.16: Hasil Observasi Guru Kelas Eksperimen II
75
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Persegi Panjang
35
Gambar 2.2: Persegi
37
Gambar 3.1: Skema Penelitian
47
Gambar 4.1: Histogram KAM Siswa
62
Gambar 4.2: Histogram KKM Siswa
64
Gambar 4.3: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 1
68
Gambar 4.4: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 2
70
Gambar 4.5: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 3
72
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen I
83
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen I
89
Lampiran 3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen II
95
Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen II
102
Lampiran 5. Lembar Aktivitas Siswa 1
108
Lampiran 6. Alternatif Penyelesaian Lembar Aktivitas Siswa 1
111
Lampiran 7. Lembar Aktivitas Siswa 2
112
Lampiran 8. Alternatif Penyelesaian Lembar Aktivitas Siswa 2
115
Lampiran 9. Kuis 1
116
Lampiran 10. Alternatif Penyelesaian Kuis 1
117
Lampiran 11. Kuis 2
118
Lampiran 12. Alternatif Penyelesaian Kuis 2
119
Lampiran 13. Lembar Validasi Pretes
120
Lampiran 14. Instrumen Tes Kemampuan Awal (Pretest)
123
Lampiran 15. Alternatif Penyelesaian Pre Test
124
Lampiran 16. Kisi – Kisi Post Test
125
Lampiran 17. Lembar Validitas Soal Post Test
126
Lampiran 18. Instrumen Koneksi Matematika (Post Test)
129
Lampiran 19. Alternatif Penyelesaian Post Test
130
Lampiran 20. Pedoman Penskoran Kemampuan Koneksi Matematika
132
Lampiran 21. Data Skor Siswa Untuk Uji Instrumen
133
Lampiran 22. Perhitungan Reliabilitas TKKM
134
Lampiran 23. Perhitungan Validitas TKKM
136
Lampiran 24. Perhitungan Tingkat Kesukaran TKKM
139
Lampiran 25. Perhitungan Daya Pembeda TKKM
140
Lampiran 26. Daftar Nilai Kemampuan Awal Kelas Eksperimen I
142
Lampiran 27. Daftar Nilai Kemampuan Awal Kelas Eksperimen II
143
Lampiran 28. Daftar Nilai KKM Kelas Eksperimen I
144
Lampiran 29. Daftar Nilai KKM Kelas Eksperimen I
145
xi
Lampiran 30. Perhitungan Rata-rata, Varians dan Standar Deviasi
146
Lampiran 31. Uji Normalitas
150
Lampiran 32. Uji Homogenitas
153
Lampiran 33. Uji Hipotesis
155
Lampiran 34. Data Skor Proses Jawaban Kelas Eksperimen I
159
Lampiran 35. Data Skor Proses Jawaban Kelas Eksperimen II
160
Lampiran 36. Lembar Observasi Aktivitas Guru 1 Kelas Eksperimen I
161
Lampiran 37. Lembar Observasi Aktivitas Guru 1 Kelas Eksperimen II
163
Lampiran 38. Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Koneksi Matematika
165
Lampiran 39. Dokumentasi
166
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong
memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk masa yang
akan datang yang harus dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam
menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh
karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang
harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam
proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa kalah bersaing dalam menjalani
era globalisasi tersebut.
Pendidikan
merupakan
keseluruhan
proses
dimana
seseorang
mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk – bentuk tingkah laku lainnya
yang bernilai positif dalam masyarakat di tempat hidupnya. Salah satu jalur
pendidikan yang sangat akrab di lingkungan kita adalah pendidikan formal yang
pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Pendidikan formal pada intinya adalah
kegiatan belajar mengajar dimana komponen yang terlibat dalam proses belajar ini
meliputi: guru, siswa, kurikulum dan sarana penunjang pendidikan. Salah satu
mata pelajaran yang diberikan disetiap jenjang pendidikan yang dapat
meningkatkan kualitas SDM adalah matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cockfort (dalam Abdurrahman, 2012:204) mengemukakan bahwa:
“Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan
dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan
keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi
yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan
informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir
logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang”.
Sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan pada setiap jenjang
pendidikan, matematika menuntut siswa kepada pola pikir untuk memecahkan
1
2
masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan diajarkannya mata pelajaran matematika di
SD, SMP, SMA dan SMK (http://p4tkmatematika.org, 2011) yaitu:
1. Agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika tidak hanya menuntut siswa mampu memecahkan masalah
matematika tetapi juga masalah pada kehidupan sehari – hari. Seperti yang
dikemukakan oleh Cornelius (dalam Abdurrrahman, 2012: 204) mengemukakan
alasan perlunya siswa belajar matematika:
“Lima alasan perlunya siswa belajar matematika karena matematika
merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis; (2) sarana untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari – hari; (3) sarana mengenal pola –
pola hubungan dan generalisasi pengalaman; (4) sarana untuk
mengembangkan kreativitas; (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran
terhadap perkembangan budaya”.
Sekalipun demikian, mata pelajaran matematika belum menjadi mata
pelajaran yang diminati oleh banyak siswa. Siswa masih beranggapan matematika
itu sulit.
Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka bahwa matematika
merupakan seperangkat fakta – fakta atau rumus – rumus yang harus dihadapi.
Selain itu objek matematika yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan
prosedur
pengerjaannya yang banyak memanipulasi bentuk – bentuk dan
3
menghubungkan ide – ide matematika ternyata menimbulkan anggapan siswa
bahwa matematika itu sulit.
Hal tersebut mengakibatkan kemampuan berpikir matematis siswa rendah
diantaranya adalah kemampuan pemecahan masalah matematik, komunikasi
matematik, penalaran dan pembuktian matematik, koneksi matematik dan
representase matematik. Dari kelima kemampuan berpikir matematis tersebut,
dengan tidak mengabaikan kemampuan yang lain, kemampuan koneksi matematik
merupakan bagian penting dalam aktivitas dan penggunaan matematika yang
dipelajari siswa. Pentingnya kemampuan ini dijelaskan dalam standar kompetensi
bahan kajian matematika kurikulum yang berlaku saat ini pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Dalam standar ini dijelaskan bahwa siswa dituntut
untuk memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, skema,
tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas suatu keadaan atau masalah,
menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan
model matematika dalam pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan sehari – hari.
Koneksi matematik merupakan bagian yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan,
kemampuan menghubungkan suatu materi yang satu dengan materi yang lain atau
dengan kehidupan sehari – hari berperan penting dalam proses pembelajaran
terutama dalam pembelajaran matematika. Koneksi matematik adalah keterkaitan
antara topik matematika, keterkaitan antara matematika dengan disiplin ilmu lain,
dan keterkaitan matematika dengan dunia nyata atau kehidupan sehari – hari.
Melalui kemampuan koneksi matematik, kemampuan berfikir kritis siswa
terhadap matematika diharapkan dapat menjadi semakin luas. Selain itu, koneksi
matematik dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa seperti mengingat
kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya.
Begitu penting kemampuan koneksi matematik siswa dalam proses
pembelajaran, namun kenyataannya kemampuan koneksi matematik siswa masih
rendah. Terutama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
kehidupan sehari – hari atau soal cerita. Siswa masih kurang bisa menentukan
4
data – data apa saja yang dapat diperoleh dari soal cerita itu, bagaimana
menghubungkannya dengan materi matematika dan melihat keterkaitannya
dengan materi yang lain. Hal ini berarti siswa kurang mampu memahami
keterkaitan antar materi sehingga kemampuan koneksi matematik siswa rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ruspiani (2000) yang menyatakan bahwa
kemampuan koneksi matematik siswa masih tergolong rendah, nilai rata – ratanya
kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2 % untuk koneksi matematika
dengan pokok bahasan lain, 44,9 % untuk koneksi matematika dengan bidang
studi lain, dan 67,3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian.
Sejalan dengan itu, dari hasil observasi di kelas yang dilaksanakan pada
tanggal 15
Januari 2015, penulis menemukan siswa
kesulitan dalam
menyelesaikan soal yang membutuhkan koneksi, baik koneksi antar topik
matematika, koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain maupun dengan
kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh kasus, dalam sebuah kapal laut terdapat
300 orang penumpang. Jumlah penumpang pria adalah 175 orang . Berapakah
persentase penumpang pria dan persentase penumpang wanita? Untuk
menyelesaikan soal tersebut siswa harus mampu menuliskan permasalahan
tersebut dalam konsep bilangan pecahan dimana siswa harus mengetahui mana
pembilang dan mana penyebut dalam soal tersebut, serta dimana untuk
menyelesaikannya membutuhkan koneksi antar topik matematika.
Siswa kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, siswa mengalami
kesulitan dalam menerjemahkan soal tersebut ke dalam bentuk matematis.
Umumnya siswa tidak bisa mengubah pecahan biasa ke pecahan campuran dan
dari pecahan campuran ke bentuk desimal. Dari 36 orang siswa, 12 orang siswa
hanya bisa menuliskan, misalkan
100, namun tidak bisa menyelesaikannya
dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah.
Kemudian ditemukan juga kelemahan siswa dalam melakukan koneksi
matematik dengan disiplin ilmu lain. Sebagai contoh kasus, seorang pedagang
membeli 10 ekor ayam dengan harga seluruhnya Rp 140.000,-. Kemudian ayam
tersebut dijual dengan harga Rp 14.500,- per ekor. Berapa rupiah keuntungan
pedagang tersebut?
5
Siswa juga kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, kesalahan
yang dilakukan siswa dalam menjawab soal tersebut karena siswa tidak tahu
bagaimana mencari harga penjualan ayam seluruhnya. Kemudian harga penjualan
akan dikurang dengan harga pembelian, itulah keuntungan yang diperoleh
pedagang tersebut. Dari 36 orang siswa. 6 orang siswa hanya mampu mengalikan
14.500 x 10 = 145.000 namun tidak bisa menyelesaikannya, 4 orang siswa
menjawab benar dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah. Padahal
mereka telah mempelajari materi tersebut di IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).
Rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa ini bisa terjadi karena
model pembelajaran yang digunakan guru bidang studi matematika kurang
melatih keterampilan atau kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Bapak Saragih salah satu guru matematika SMP Negeri 1
Silou Kahean, ditemukan bahwa sebagian besar guru termasuk Bapak Saragih
masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana pembelajaran masih
berpusat pada guru, karena metode ceramah lebih mudah digunakan dalam
pembelajaran. Selain itu ditemukan juga bahwa aktivitas belajar siswa masih
rendah dan siswa di kelas tersebut masih mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan soal koneksi karena pembelajaran yang berlangsung selama ini
mengabaikan
aspek
keterkaitan
matematika
dengan
topik
matematika
sebelumnya, dengan disiplin ilmu lain dan dengan masalah – masalah nyata di
sekitar kehidupan sehari – hari siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniati
(2010:5) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika di kelas masih
cenderung menggunakan paradigma lama dengan menyajikan pengetahuan
matematika tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari – hari.
Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru adalah model
pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung
teacher oriented sehingga siswa menjadi pasif, jenuh dan bosan yang
menyebabkan pencapaian hasil belajar tidak optimal. Trianto (2011:5)
mengemukakan bahwa:
6
“Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah)
dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini dari
rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat
memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi
pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidka menyentuh
ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana seharusnya belajar
itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses
pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan
tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri
melalui penemuan dalam prose berpikirnya”.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus mampu memilih
dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan
kebutuhan belajar. Ada banyak model pembelajaran yang bisa kita gunakan dalam
menumbuhkembangkan
kreativitas
siswa,
menciptakan
kondisi
yang
menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang
bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar
melalui berbuat. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik
siswa.
Salah satu model pembelajaran yang diduga akan sejalan dengan
karakteristik matematika
dan
harapan
kurikulum
yang berlaku
adalah
pembelajaran kooperatif dan kontekstual. Pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara berkelompok
dan tidak menekankan pada situasi
pengalaman siswa. Pembelajaran ini terdiri dari: presentase kelas (materi
dipresentasikan oleh guru), kelompok kerja, tes (dilakukan setelah presentasi guru
dan kegiatan kelompok), peningkatan skor individu, dan penghargaan kelompok.
Sedangkan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan
pada belajar bermakna, dan lebih mengutamakan proses daripada hasil serta
belajar dikontekskan ke dalam situasi serta pengalaman siswa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Trianto (2011:108) yang mengemukakan bahwa:
“Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
Negara, dan pekerja”.
7
Strategi pembelajaran kontekstual lebih mengaitkan terhadap hubungan
materi yang dipelajari siswa dengan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari –
hari. Kesadaran terhadap adanya kegunaan matematika dalam kehidupan sehari –
hari akan meningkatkan minat siswa dalam belajar matematika dan mengurangi
kebosanan siswa saat mempelajari konsep matematika . Sehingga melalui
pembelajaran kontekstual diharapkan adanya peningkatan kemampuan koneksi
matematik
yang
lebih baik.
Sedangkan pembelajaran
kooperatif
tidak
menekankan pada hubungan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan
sehari – hari dan pengalaman siswa, sehingga diduga kemampuan koneksi
matematik siswa lebih baik melalui pembelajaran kontekstual.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan konten mata pelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari –
hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni:
konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian
autentik (authentic assessment).
Melihat besarnya kontribusi
model pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual
merupakan salah satu alternatif pembelajaran inovatif yang berpeluang dalam
mempengaruhi kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan latar belakang
diatas, maka perlu diadakan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran
kontekstual dan kooperatif tipe STAD dengan judul: “Perbedaan Kemampuan
Koneksi Matematik Siswa Melalui Model Pembelajaran Kontekstual Dengan
Kooperatif Tipe STAD di SMP Negeri 1 Silou Kahean”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit.
2. Hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih rendah.
8
3. Siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang membutuhkan
pengkoneksian antar topik matematika, matematika dengan disiplin ilmu lain
maupun matematika dengan kehidupan nyata.
4. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan
menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional).
5. Aktivitas siswa dalam belajar matematika masih rendah.
1.3. Batasan Masalah
Melihat luasnya
cakupan masalah,
maka
peneliti merasa
perlu
memberikan batasan terhadap masalah yang dikaji. Masalah yang diteliti dalam
penelitian ini adalah :
1. Kemampuan koneksi matematik siswa masih rendah.
2. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan
menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional).
3. Model pembelajaran yang digunakan model kontekstual atau Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan kooperatif tipe STAD.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah yang dikemukakan pada penelitian ini adalah:
1. Apakah kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan Model
Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD?
2. Bagaimana proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik yang
diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dan Kooperatif Tipe STAD?
1.5. Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan
dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.
9
2. Untuk mengetahui proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik
siswa yang diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dengan
Kooperatif Tipe STAD.
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi guru
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan serta menjadi
alternatif yang dapat diterapkan oleh para guru dalam proses belajar mengajar
dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
2. Bagi siswa
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan koneksi
matematik dengan menggunakan pembelajaran kontekstual.
3. Bagi sekolah
Melalui penelitian ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
peningkatan
kualitas
pengajaran
serta
menjadi
pertimbangan
untuk
meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
4. Bagi peneliti
Melalui
penelitian
ini,
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
dalam
pembelajaran serta dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk
penelitian sejenisnya.
1.7. Defenisi Operasional
1. Kemampuan
koneksi
matematika
siswa
adalah
kemampuan
siswa
menghubungkan konsep matematika, memahami antar topik matematika,
menggunakan matematika dalam bidang studi lain ataupun kehidupan sehari –
hari.
2. Model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah strategi yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari, mendorong siswa agar
dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi
10
kehidupan nyata dan mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan. Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus
dikembangkan oleh guru, yaitu :
a. Konstruktivisme (Constructivism)
b. Menemukan (Inquiry)
c. Bertanya (Questioning)
d. Masyarakat belajar (Learning Community)
e. Pemodelan (Modelling)
f. Refleksi (Reflection)
g. Penilaian sebenarnya (Autentic Assesment)
3. Model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melibatkan
kelompok
kecil,
untuk
bekerjasama
dalam
memecahkan
masalah,
menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan bersama dan akhirnya dapat
meningkatkan prestasi hasil belajar bersama – sama pula.
4. Model pembelajaran kontekstual dikatakan berpengaruh terhadap kemampuan
koneksi matematik siswa jika terdapat perbedaan yang signifikan antara
pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran kooperatif.
5. Proses jawaban siswa adalah kesistematisan jawaban siswa dari tes
kemampuan koneksi matematik. Dengan ide – ide yang berbeda, maka proses
jawaban pun akan bervariasi. Proses jawaban siswa diukur dengan kriteria
lengkap ataupun tidak lengkap sesuai dengan rubrik kemampuan koneksi
matematik. Hal ini dapat terlihat dari lembar jawaban siswa dalam
menyelesaikan tes kemampuan koneksi matematik.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2012). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta
Arikunto. (2009). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto. (2012). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Dahar, W. (2010). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Erlangga
Daulay, Leni Agustina. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Koneksi Matematika Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran
Berbasis Masalah. Tesis PPs Unimed: Tidak diterbitkan
Harahap, Ratna Sari. (2013). Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa
Melalui Pendekatan Kontekstual dan Konvensional Pada Pokok Bahasan
Aritmatika Sosial di Kelas VII SMP Kartika I-2 Medan.Skripsi FMIPA
Unimed: Tidak diterbitkan
Harahap, Tua Halomoan. (2013). Penerapan Contextual Teaching and Learning
(CTL) Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representase
Matematika Siswa Kelas VII-2 SMP Nurhasanah Medan Tahun pelajaran
2012/2013. Tesis PPs Unimed: Tidak diterbitkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Kurniati, Dwi Zaenab. (2010). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Jurusan Pendidikan Matematika.
Fakultas Pendidikan Matematika. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta
Made, I Sumadi. (2005). Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap
Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa Kelas II SLTP
Negeri 6 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Volume 38, No 1
Januari 2005
Ngalimun. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Banjarmasin: Aswaja
Presindo
P4TK Matematika. (2011). Peran , Fungsi, Tujuan dan Karakteristik Matematika
Sekolah. Online. Tersedia di http://p4tkmatematika.org/2011/10/peranfungsi-tujuan-dan-karakteristik-matematika-sekolah/ (diakses pada tanggal
22 Februari 2015)
Rachmawati. (2013). Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Pada Materi Bangun Ruang.
84
Jurusan Pendidikan Matematika. Fakultas Pendidikan Matematika.
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo
Ruseffendi.(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung : Tarsito
Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers
Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Rineka Prenada Media
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sukino dan Simangunsong, Wilson. (2006). Matematika untuk SMP Kelas VII.
Jakarta: Erlangga
Trianto. (2011). Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN KOOPERATIF
TIPE STAD DI SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN
Oleh :
Asmy Susilawaty Saragih
NIM 4113311002
Program Studi Pendidikan Matematika
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2015
i
iii
PERBEDAAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA
MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
DENGAN KOOPERATIF TIPE STAD DI
SMP NEGERI 1 SILOU KAHEAN
ASMY SUSILAWATY SARAGIH (4113311002)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran (1) Kemampuan
koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti model
pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, serta (2) Proses jawaban siswa terkait
kemampuan koneksi matematik yang diajarkan melalui Pembelajaran Kontekstual
dan Kooperatif Tipe STAD.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan populasi
seluruh siswa kelas VII SMPN 1 Silou Kahean T.A. 2014/2015 sebanyak 5 kelas.
Sampel diambil melalui teknik cluster random sampling , diperoleh kelas VII-3
sebagai kelompok eksperimen I yang diajar dengan model pembelajaran
kontekstual dan kelas VII-4 sebagai kelompok eksperimen II yang diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode tes dan metode observasi. Metode tes dilakukan untuk memperoleh data
nilai akhir setelah diberi perlakuan pada kelompok eksperimen I dan kelompok
eksperimen II. Sebelum instrumen diberikan pada siswa terlebih dahulu diujicoba
dengan perhitungan validitas dan reliabilitas. Data dianalisis dengan uji
normalitas, uji kesamaan dua varians, dan uji hipotesis menggunakan uji-t.
Berdasarkan hasil perhitungan data postes siswa diperoleh pada dk 66 dan
α = 0,05 diperoleh t
= 1,669 dan t
= 2,398. Karena t
>
t
( 2,398 > 1,669) maka Ho ditolak dan H diterima. Maka dapat
disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa yang diajar dengan
model pembelajaran kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Berdasarkan hasil penelitian ini, model pembelajaran kontekstual (CTL)
dapat dijadikan sebagai alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan koneksi matematik siswa khususnya pada materi bangun datar
segiempat.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan
Riwayat Hidup
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Lampiran
i
ii
iii
iv
vi
viii
ix
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Identifikasi Masalah
7
1.3 Batasan Masalah
8
1.4 Rumusan Masalah
8
1.5 Tujuan Penelitian
8
1.6 Manfaat Penelitian
9
1.7 Defenisi Operasional
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan Koneksi Matematika
11
2.1 Proses Jawaban Siswa
14
2.2 Model Pembelajaran
15
2.3 Model Pembelajaran Kontekstual
18
2.3.1 Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual
20
2.3.2 CTL Dalam Pembelajaran Matematika
26
2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan CTL
27
2.4 Teori yang Relevan dengan Pembelajaran Kontekstual
28
2.5 Model Pembelajaran Kooperatif
29
2.6 Kooperatif Tipe STAD
32
2.7 Bangun Datar Segiempat
35
2.8 Kerangka Konseptual
38
vii
2.9 Hasil Penelitian yang Relevan
40
2.10 Hipotesis Penelitian
42
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
43
3.2 Lokasi Penelitian
43
3.3 Populasi dan Sampel
43
3.4 Variabel Penelitian
44
3.5 Mekanisme dan Rancangan Penelitian
44
3.6 Prosedur Penelitian
45
3.7 Instrumen Pengumpul Data
48
3.8 Validasi Ahli
51
3.9 Uji Instrumen
51
3.10 Teknik Analisis Data
53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Uji Instrumen Kemampuan Koneksi Matematik
58
4.2 Hasil Penelitian
59
4.2.1. Hasil Tes Kemampuan Awal
60
4.2.2. Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematik
62
4.3 Analisis Data Penelitian
65
4.3.1. Uji Normalitas
65
4.3.2. Uji Homogenitas
66
4.3.3. Uji Hipotesis
67
4.4 Analisis Proses Jawaban
67
4.5 Analisis Hasil Observasi
74
4.6 Pembahasan
76
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
79
5.2 Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
81
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Fase – Fase Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
32
Tabel 2.2 : Perhitungan Skor Perkembangan
33
Tabel 2.3 : Tingkat Penghargaan Kelompok
33
Tabel 3.1 : Two Group Pretest-Postest Design
45
Tabel 3.2 : Kriteria Penskoran Kemampuan Koneksi
48
Tabel 3.3 : Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Koneksi Matematik
49
Tabel 3.4: Kategori Penilaian
50
Tabel 3.5: Kategori Penilaian Observasi Guru
50
Tabel 3.6: Validasi Ahli
51
Tabel 4.1: Validitas
58
Tabel 4.2: Indeks Kesukaran
58
Tabel 4.3: Daya Beda
59
Tabel 4.4: Rekapitulasi Uji Coba KKM
59
Tabel 4.5: Rekapitulasi Pretes Kelas Eksperimen I dan II
60
Tabel 4.6: Predikat KAM Kelas Eksperimen I
61
Tabel 4.7: Predikat KAM Kelas Eksperimen II
61
Tabel 4.8: Rekapitulasi Postes Kelas Eksperimen I dan II
63
Tabel 4.9: Predikat KKM Kelas Eksperimen I
63
Tabel 4.10: Predikat KKM Kelas Eksperimen II
64
Tabel 4.11: Hasil Uji Normalitas
66
Tabel 4.12: Hasil Uji Homogenitas
66
Tabel 4.13: Hasil UJi Hipotesis
67
Tabel 4.14: Skor Butir Soal proses Jawaban KKM
73
Tabel 4.15. Hasil Observasi Guru Kelas Eksperimen I
74
Tabel 4.16: Hasil Observasi Guru Kelas Eksperimen II
75
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Persegi Panjang
35
Gambar 2.2: Persegi
37
Gambar 3.1: Skema Penelitian
47
Gambar 4.1: Histogram KAM Siswa
62
Gambar 4.2: Histogram KKM Siswa
64
Gambar 4.3: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 1
68
Gambar 4.4: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 2
70
Gambar 4.5: Proses Jawaban KKM Butir Soal Nomor 3
72
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen I
83
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen I
89
Lampiran 3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen II
95
Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen II
102
Lampiran 5. Lembar Aktivitas Siswa 1
108
Lampiran 6. Alternatif Penyelesaian Lembar Aktivitas Siswa 1
111
Lampiran 7. Lembar Aktivitas Siswa 2
112
Lampiran 8. Alternatif Penyelesaian Lembar Aktivitas Siswa 2
115
Lampiran 9. Kuis 1
116
Lampiran 10. Alternatif Penyelesaian Kuis 1
117
Lampiran 11. Kuis 2
118
Lampiran 12. Alternatif Penyelesaian Kuis 2
119
Lampiran 13. Lembar Validasi Pretes
120
Lampiran 14. Instrumen Tes Kemampuan Awal (Pretest)
123
Lampiran 15. Alternatif Penyelesaian Pre Test
124
Lampiran 16. Kisi – Kisi Post Test
125
Lampiran 17. Lembar Validitas Soal Post Test
126
Lampiran 18. Instrumen Koneksi Matematika (Post Test)
129
Lampiran 19. Alternatif Penyelesaian Post Test
130
Lampiran 20. Pedoman Penskoran Kemampuan Koneksi Matematika
132
Lampiran 21. Data Skor Siswa Untuk Uji Instrumen
133
Lampiran 22. Perhitungan Reliabilitas TKKM
134
Lampiran 23. Perhitungan Validitas TKKM
136
Lampiran 24. Perhitungan Tingkat Kesukaran TKKM
139
Lampiran 25. Perhitungan Daya Pembeda TKKM
140
Lampiran 26. Daftar Nilai Kemampuan Awal Kelas Eksperimen I
142
Lampiran 27. Daftar Nilai Kemampuan Awal Kelas Eksperimen II
143
Lampiran 28. Daftar Nilai KKM Kelas Eksperimen I
144
Lampiran 29. Daftar Nilai KKM Kelas Eksperimen I
145
xi
Lampiran 30. Perhitungan Rata-rata, Varians dan Standar Deviasi
146
Lampiran 31. Uji Normalitas
150
Lampiran 32. Uji Homogenitas
153
Lampiran 33. Uji Hipotesis
155
Lampiran 34. Data Skor Proses Jawaban Kelas Eksperimen I
159
Lampiran 35. Data Skor Proses Jawaban Kelas Eksperimen II
160
Lampiran 36. Lembar Observasi Aktivitas Guru 1 Kelas Eksperimen I
161
Lampiran 37. Lembar Observasi Aktivitas Guru 1 Kelas Eksperimen II
163
Lampiran 38. Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Koneksi Matematika
165
Lampiran 39. Dokumentasi
166
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong
memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk masa yang
akan datang yang harus dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam
menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh
karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang
harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam
proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa kalah bersaing dalam menjalani
era globalisasi tersebut.
Pendidikan
merupakan
keseluruhan
proses
dimana
seseorang
mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk – bentuk tingkah laku lainnya
yang bernilai positif dalam masyarakat di tempat hidupnya. Salah satu jalur
pendidikan yang sangat akrab di lingkungan kita adalah pendidikan formal yang
pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Pendidikan formal pada intinya adalah
kegiatan belajar mengajar dimana komponen yang terlibat dalam proses belajar ini
meliputi: guru, siswa, kurikulum dan sarana penunjang pendidikan. Salah satu
mata pelajaran yang diberikan disetiap jenjang pendidikan yang dapat
meningkatkan kualitas SDM adalah matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cockfort (dalam Abdurrahman, 2012:204) mengemukakan bahwa:
“Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan
dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan
keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi
yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan
informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir
logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang”.
Sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan pada setiap jenjang
pendidikan, matematika menuntut siswa kepada pola pikir untuk memecahkan
1
2
masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan diajarkannya mata pelajaran matematika di
SD, SMP, SMA dan SMK (http://p4tkmatematika.org, 2011) yaitu:
1. Agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika tidak hanya menuntut siswa mampu memecahkan masalah
matematika tetapi juga masalah pada kehidupan sehari – hari. Seperti yang
dikemukakan oleh Cornelius (dalam Abdurrrahman, 2012: 204) mengemukakan
alasan perlunya siswa belajar matematika:
“Lima alasan perlunya siswa belajar matematika karena matematika
merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis; (2) sarana untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari – hari; (3) sarana mengenal pola –
pola hubungan dan generalisasi pengalaman; (4) sarana untuk
mengembangkan kreativitas; (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran
terhadap perkembangan budaya”.
Sekalipun demikian, mata pelajaran matematika belum menjadi mata
pelajaran yang diminati oleh banyak siswa. Siswa masih beranggapan matematika
itu sulit.
Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka bahwa matematika
merupakan seperangkat fakta – fakta atau rumus – rumus yang harus dihadapi.
Selain itu objek matematika yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan
prosedur
pengerjaannya yang banyak memanipulasi bentuk – bentuk dan
3
menghubungkan ide – ide matematika ternyata menimbulkan anggapan siswa
bahwa matematika itu sulit.
Hal tersebut mengakibatkan kemampuan berpikir matematis siswa rendah
diantaranya adalah kemampuan pemecahan masalah matematik, komunikasi
matematik, penalaran dan pembuktian matematik, koneksi matematik dan
representase matematik. Dari kelima kemampuan berpikir matematis tersebut,
dengan tidak mengabaikan kemampuan yang lain, kemampuan koneksi matematik
merupakan bagian penting dalam aktivitas dan penggunaan matematika yang
dipelajari siswa. Pentingnya kemampuan ini dijelaskan dalam standar kompetensi
bahan kajian matematika kurikulum yang berlaku saat ini pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Dalam standar ini dijelaskan bahwa siswa dituntut
untuk memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, skema,
tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas suatu keadaan atau masalah,
menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan
model matematika dalam pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan sehari – hari.
Koneksi matematik merupakan bagian yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan,
kemampuan menghubungkan suatu materi yang satu dengan materi yang lain atau
dengan kehidupan sehari – hari berperan penting dalam proses pembelajaran
terutama dalam pembelajaran matematika. Koneksi matematik adalah keterkaitan
antara topik matematika, keterkaitan antara matematika dengan disiplin ilmu lain,
dan keterkaitan matematika dengan dunia nyata atau kehidupan sehari – hari.
Melalui kemampuan koneksi matematik, kemampuan berfikir kritis siswa
terhadap matematika diharapkan dapat menjadi semakin luas. Selain itu, koneksi
matematik dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa seperti mengingat
kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya.
Begitu penting kemampuan koneksi matematik siswa dalam proses
pembelajaran, namun kenyataannya kemampuan koneksi matematik siswa masih
rendah. Terutama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
kehidupan sehari – hari atau soal cerita. Siswa masih kurang bisa menentukan
4
data – data apa saja yang dapat diperoleh dari soal cerita itu, bagaimana
menghubungkannya dengan materi matematika dan melihat keterkaitannya
dengan materi yang lain. Hal ini berarti siswa kurang mampu memahami
keterkaitan antar materi sehingga kemampuan koneksi matematik siswa rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ruspiani (2000) yang menyatakan bahwa
kemampuan koneksi matematik siswa masih tergolong rendah, nilai rata – ratanya
kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2 % untuk koneksi matematika
dengan pokok bahasan lain, 44,9 % untuk koneksi matematika dengan bidang
studi lain, dan 67,3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian.
Sejalan dengan itu, dari hasil observasi di kelas yang dilaksanakan pada
tanggal 15
Januari 2015, penulis menemukan siswa
kesulitan dalam
menyelesaikan soal yang membutuhkan koneksi, baik koneksi antar topik
matematika, koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain maupun dengan
kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh kasus, dalam sebuah kapal laut terdapat
300 orang penumpang. Jumlah penumpang pria adalah 175 orang . Berapakah
persentase penumpang pria dan persentase penumpang wanita? Untuk
menyelesaikan soal tersebut siswa harus mampu menuliskan permasalahan
tersebut dalam konsep bilangan pecahan dimana siswa harus mengetahui mana
pembilang dan mana penyebut dalam soal tersebut, serta dimana untuk
menyelesaikannya membutuhkan koneksi antar topik matematika.
Siswa kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, siswa mengalami
kesulitan dalam menerjemahkan soal tersebut ke dalam bentuk matematis.
Umumnya siswa tidak bisa mengubah pecahan biasa ke pecahan campuran dan
dari pecahan campuran ke bentuk desimal. Dari 36 orang siswa, 12 orang siswa
hanya bisa menuliskan, misalkan
100, namun tidak bisa menyelesaikannya
dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah.
Kemudian ditemukan juga kelemahan siswa dalam melakukan koneksi
matematik dengan disiplin ilmu lain. Sebagai contoh kasus, seorang pedagang
membeli 10 ekor ayam dengan harga seluruhnya Rp 140.000,-. Kemudian ayam
tersebut dijual dengan harga Rp 14.500,- per ekor. Berapa rupiah keuntungan
pedagang tersebut?
5
Siswa juga kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, kesalahan
yang dilakukan siswa dalam menjawab soal tersebut karena siswa tidak tahu
bagaimana mencari harga penjualan ayam seluruhnya. Kemudian harga penjualan
akan dikurang dengan harga pembelian, itulah keuntungan yang diperoleh
pedagang tersebut. Dari 36 orang siswa. 6 orang siswa hanya mampu mengalikan
14.500 x 10 = 145.000 namun tidak bisa menyelesaikannya, 4 orang siswa
menjawab benar dan sisanya tidak menjawab atau jawabannya salah. Padahal
mereka telah mempelajari materi tersebut di IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).
Rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa ini bisa terjadi karena
model pembelajaran yang digunakan guru bidang studi matematika kurang
melatih keterampilan atau kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Bapak Saragih salah satu guru matematika SMP Negeri 1
Silou Kahean, ditemukan bahwa sebagian besar guru termasuk Bapak Saragih
masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana pembelajaran masih
berpusat pada guru, karena metode ceramah lebih mudah digunakan dalam
pembelajaran. Selain itu ditemukan juga bahwa aktivitas belajar siswa masih
rendah dan siswa di kelas tersebut masih mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan soal koneksi karena pembelajaran yang berlangsung selama ini
mengabaikan
aspek
keterkaitan
matematika
dengan
topik
matematika
sebelumnya, dengan disiplin ilmu lain dan dengan masalah – masalah nyata di
sekitar kehidupan sehari – hari siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniati
(2010:5) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika di kelas masih
cenderung menggunakan paradigma lama dengan menyajikan pengetahuan
matematika tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari – hari.
Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru adalah model
pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung
teacher oriented sehingga siswa menjadi pasif, jenuh dan bosan yang
menyebabkan pencapaian hasil belajar tidak optimal. Trianto (2011:5)
mengemukakan bahwa:
6
“Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah)
dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini dari
rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat
memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi
pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidka menyentuh
ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana seharusnya belajar
itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses
pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan
tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri
melalui penemuan dalam prose berpikirnya”.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus mampu memilih
dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan
kebutuhan belajar. Ada banyak model pembelajaran yang bisa kita gunakan dalam
menumbuhkembangkan
kreativitas
siswa,
menciptakan
kondisi
yang
menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang
bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar
melalui berbuat. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik
siswa.
Salah satu model pembelajaran yang diduga akan sejalan dengan
karakteristik matematika
dan
harapan
kurikulum
yang berlaku
adalah
pembelajaran kooperatif dan kontekstual. Pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara berkelompok
dan tidak menekankan pada situasi
pengalaman siswa. Pembelajaran ini terdiri dari: presentase kelas (materi
dipresentasikan oleh guru), kelompok kerja, tes (dilakukan setelah presentasi guru
dan kegiatan kelompok), peningkatan skor individu, dan penghargaan kelompok.
Sedangkan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan
pada belajar bermakna, dan lebih mengutamakan proses daripada hasil serta
belajar dikontekskan ke dalam situasi serta pengalaman siswa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Trianto (2011:108) yang mengemukakan bahwa:
“Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
Negara, dan pekerja”.
7
Strategi pembelajaran kontekstual lebih mengaitkan terhadap hubungan
materi yang dipelajari siswa dengan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari –
hari. Kesadaran terhadap adanya kegunaan matematika dalam kehidupan sehari –
hari akan meningkatkan minat siswa dalam belajar matematika dan mengurangi
kebosanan siswa saat mempelajari konsep matematika . Sehingga melalui
pembelajaran kontekstual diharapkan adanya peningkatan kemampuan koneksi
matematik
yang
lebih baik.
Sedangkan pembelajaran
kooperatif
tidak
menekankan pada hubungan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan
sehari – hari dan pengalaman siswa, sehingga diduga kemampuan koneksi
matematik siswa lebih baik melalui pembelajaran kontekstual.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan konten mata pelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari –
hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni:
konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian
autentik (authentic assessment).
Melihat besarnya kontribusi
model pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual
merupakan salah satu alternatif pembelajaran inovatif yang berpeluang dalam
mempengaruhi kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan latar belakang
diatas, maka perlu diadakan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran
kontekstual dan kooperatif tipe STAD dengan judul: “Perbedaan Kemampuan
Koneksi Matematik Siswa Melalui Model Pembelajaran Kontekstual Dengan
Kooperatif Tipe STAD di SMP Negeri 1 Silou Kahean”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit.
2. Hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih rendah.
8
3. Siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang membutuhkan
pengkoneksian antar topik matematika, matematika dengan disiplin ilmu lain
maupun matematika dengan kehidupan nyata.
4. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan
menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional).
5. Aktivitas siswa dalam belajar matematika masih rendah.
1.3. Batasan Masalah
Melihat luasnya
cakupan masalah,
maka
peneliti merasa
perlu
memberikan batasan terhadap masalah yang dikaji. Masalah yang diteliti dalam
penelitian ini adalah :
1. Kemampuan koneksi matematik siswa masih rendah.
2. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru dengan
menggunakan metode ceramah (pembelajaran tradisional/konvensional).
3. Model pembelajaran yang digunakan model kontekstual atau Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan kooperatif tipe STAD.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah yang dikemukakan pada penelitian ini adalah:
1. Apakah kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan Model
Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD?
2. Bagaimana proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik yang
diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dan Kooperatif Tipe STAD?
1.5. Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kontekstual lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan
dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.
9
2. Untuk mengetahui proses jawaban siswa terkait kemampuan koneksi matematik
siswa yang diajarkan melalui Model Pembelajaran Kontekstual dengan
Kooperatif Tipe STAD.
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi guru
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan serta menjadi
alternatif yang dapat diterapkan oleh para guru dalam proses belajar mengajar
dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
2. Bagi siswa
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan koneksi
matematik dengan menggunakan pembelajaran kontekstual.
3. Bagi sekolah
Melalui penelitian ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
peningkatan
kualitas
pengajaran
serta
menjadi
pertimbangan
untuk
meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
4. Bagi peneliti
Melalui
penelitian
ini,
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
dalam
pembelajaran serta dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk
penelitian sejenisnya.
1.7. Defenisi Operasional
1. Kemampuan
koneksi
matematika
siswa
adalah
kemampuan
siswa
menghubungkan konsep matematika, memahami antar topik matematika,
menggunakan matematika dalam bidang studi lain ataupun kehidupan sehari –
hari.
2. Model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah strategi yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari, mendorong siswa agar
dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi
10
kehidupan nyata dan mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan. Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus
dikembangkan oleh guru, yaitu :
a. Konstruktivisme (Constructivism)
b. Menemukan (Inquiry)
c. Bertanya (Questioning)
d. Masyarakat belajar (Learning Community)
e. Pemodelan (Modelling)
f. Refleksi (Reflection)
g. Penilaian sebenarnya (Autentic Assesment)
3. Model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melibatkan
kelompok
kecil,
untuk
bekerjasama
dalam
memecahkan
masalah,
menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan bersama dan akhirnya dapat
meningkatkan prestasi hasil belajar bersama – sama pula.
4. Model pembelajaran kontekstual dikatakan berpengaruh terhadap kemampuan
koneksi matematik siswa jika terdapat perbedaan yang signifikan antara
pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran kooperatif.
5. Proses jawaban siswa adalah kesistematisan jawaban siswa dari tes
kemampuan koneksi matematik. Dengan ide – ide yang berbeda, maka proses
jawaban pun akan bervariasi. Proses jawaban siswa diukur dengan kriteria
lengkap ataupun tidak lengkap sesuai dengan rubrik kemampuan koneksi
matematik. Hal ini dapat terlihat dari lembar jawaban siswa dalam
menyelesaikan tes kemampuan koneksi matematik.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2012). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta
Arikunto. (2009). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto. (2012). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Dahar, W. (2010). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Erlangga
Daulay, Leni Agustina. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Koneksi Matematika Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran
Berbasis Masalah. Tesis PPs Unimed: Tidak diterbitkan
Harahap, Ratna Sari. (2013). Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa
Melalui Pendekatan Kontekstual dan Konvensional Pada Pokok Bahasan
Aritmatika Sosial di Kelas VII SMP Kartika I-2 Medan.Skripsi FMIPA
Unimed: Tidak diterbitkan
Harahap, Tua Halomoan. (2013). Penerapan Contextual Teaching and Learning
(CTL) Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representase
Matematika Siswa Kelas VII-2 SMP Nurhasanah Medan Tahun pelajaran
2012/2013. Tesis PPs Unimed: Tidak diterbitkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Kurniati, Dwi Zaenab. (2010). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Jurusan Pendidikan Matematika.
Fakultas Pendidikan Matematika. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta
Made, I Sumadi. (2005). Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap
Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa Kelas II SLTP
Negeri 6 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Volume 38, No 1
Januari 2005
Ngalimun. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Banjarmasin: Aswaja
Presindo
P4TK Matematika. (2011). Peran , Fungsi, Tujuan dan Karakteristik Matematika
Sekolah. Online. Tersedia di http://p4tkmatematika.org/2011/10/peranfungsi-tujuan-dan-karakteristik-matematika-sekolah/ (diakses pada tanggal
22 Februari 2015)
Rachmawati. (2013). Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Pada Materi Bangun Ruang.
84
Jurusan Pendidikan Matematika. Fakultas Pendidikan Matematika.
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo
Ruseffendi.(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung : Tarsito
Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers
Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Rineka Prenada Media
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sukino dan Simangunsong, Wilson. (2006). Matematika untuk SMP Kelas VII.
Jakarta: Erlangga
Trianto. (2011). Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group