MODEL BIMBINGAN BEHAVIORAL UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TUNAGRAHITA : Studi Pengembangan Bimbingan Behavioral untuk Mengembangkan Keterampilan Sosaial Anak Tunagrahitra di SLB-C.

(1)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan Konseling

Promovendus Idris Ahmad

0807927

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014


(2)

ANAK TUNAGRAHITA

Oleh Idris Ahmad

Drs UNS Sebelas Maret Surakarta, 1981 M. Pd UPI Bandung, 2002

Dr UPI Bandung, 2014

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Fakultas Ilmu Pendidikan

©Idris Ahmad 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Oktober 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

(4)

i Idris Ahmad, 2014

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

RIWAYAT HIDUP ... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 14

BAB II KONSEP BIMBINGAN BEHAVIORAL BAGI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TUNAGRAHITA A. Ketunagrahitaan ………. 15

B. Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita ……… 18

C. Bimbingan Behavioral untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial di SLB-C ... 25

D. Penelitian Terdahulu ... 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 32


(5)

ii Idris Ahmad, 2014

A. Hasil Penelitian ... 53

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 98

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan ... 113

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(6)

iii Idris Ahmad, 2014

3.2. Pedoman Wawancara tentang Pelaksanaan Program Bimbingan ………... 40 3.3. Subyek Penelitian Eksperimen ……… 49 4.1. Profil Aspek Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita ... 55 4.2. Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita Kelas Dasar I yang Diteliti ... 57 4.3. Penyebaran Muatan Sub-Sub Aspek Keterampilan Sosial (Indikator)

dalam Kurikulum yang Diteliti ... 59 4.4. Keterampilan Sosial Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen Model

Bimbingan BehavioralAspek Bina diri ... 86 4.5. Keterampilan Sosial Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen Model

Bimbingan Pengembangan BehavioralAspek Komunikasi ... 89 4.6. Keterampilan Sosial Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen Model

Bimbingan BehavioralAspek Sosialisasi ... 91 4.7. Keterampilan Sosial Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen Model

Bimbingan BehavioralAspek Okupasi ... 94 4.8. Keterampilan Sosial Pretest dan Postest Kelompok Eksperimen Model


(7)

iv Idris Ahmad, 2014

3.2. Rancangan Penelitian ... 37 4.1. Profil Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita ... 54 4.2. Kerangka Model Bimbingan Behavioral untuk Mengembangkan

Keterampilan Sosial Anak Tunagrhahita ……… .... 62 4.3. Contoh Alur Rincian Tugas ... 67

4.4. Pola Hubungan One-Group Pretest-Posttest Design ... 84 4.5. Perbandingan Nilai Persentase anatara Pretest dan Posttest Aspek Bina

Diri ... 87 4.6. Perbandingan Nilai Persentase anatara Pretest dan Posttest Aspek

Komunikasi ... 90 4.7. Perbandingan Nilai Persentase anatara Pretest dan Posttest Aspek

Sosialisasi ... 92 4.8. Perbandingan Nilai Persentase anatara Pretest dan Posttest Aspek

Okupasi ... 95 4.9. Perbandingan Nilai Persentase anatara Pretest dan Posttest Seluruh

Aspek ... 97 4.10. Struktur Umum Definisi Anak Tunagrahita diadopsi dari AAMR 1992 ... 101 4.11. Gambar Model Bimbingan Behavioral untuk Mengembangkan


(8)

v Idris Ahmad, 2014

2. Instrument Penelitian Pendahuluan ... 132

3. Hasil Pengolahan Data (Validitas, Reliabilitas, dll.) ………. ... 139

a. Data Penelitian Mengungkap Profil Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita ... 139

b. Hasil Uji Try Out ... 139

c. Ungkap Keterampilan Sosial Bermasalah... 147

4. Instrumen Rincian Tugas untuk Mengungkap Keterampilan Sosial Aktual/Potensial Anak Tunagrahita ….. ... 153

5. Data Pretest dan Posttest Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita ... 172

6. Pengolahan data uji perbandingan ... 174

7. Dokumentasi visual Pelaksanaan Implementasi Model ... 177


(9)

Idris Ahmad, 2014

Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ahman, M.Pd (promotor), Prof. Dr. Syamsu Yusuf, L. N., M. Pd. (ko-promotor), Juang Sunanto, Ph. D.(anggota). Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita, dengan menggunakan model penelitian dan pegembangan. Subyek penelitian untuk mengungkap profil keterampilan sosial anak tunagrahita berjumlah 79 anak dari Kelas D1 - D6 dari SLB Negeri Gedangan Sidoarjo, SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo, dan SLB-C AKW II Surabaya. Adapun subyek untuk menemukan efektivitas model berjumlah 14 anak dari Kelas D1 di sekolah yang sama. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan pedoman observasi untuk mengungkap profil keterampilan sosial. Di samping itu, juga digunakan wawancara untuk mengungkap pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial di sekolah. Adapun untuk mengungkap efektivitas model menggunakan instrumen rincian tugas yang dikembangkan dari kuesioner dari penelitian pendahuluan. Penelitian dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu studi pendahuluan, pengembangan model, dan uji efektivitas model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial anak tunagrahita berada pada kategori dapat melakukan 50,4%, pada kategori dapat melakukan dengan bantuan 39,6%, dan pada kategori tidak dapat melakukan 9,9%. Bimbingan keterampilan sosial di tiga SLB-C di atas belum dilakukan secara khusus. Model bimbingan behavioral terbukti efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita.


(10)

Idris Ahmad, 2014

of Intellectually Disabled Children’s Social Skills) Supervised by Prof. Dr. Ahman, M.Pd. (promoter), Prof. Dr. Syamsu Yusuf, L. N., M. Pd. (co-promoter), Juang Sunanto, Ph. D. (member). Guidance and Counseling Program Study. School of Postgraduate Studies of Indonesia University of Education, Bandung.

The research aimed to develop a model of behavioral guidance to develop the social skills of intellectually disabled children by employing research and development model. The research subjects to reveal profiles of intellectually disabled

children’s social skills consisted of 79 children from D1-D6 classes of State Special Needs School (SLB) Gedangan Sidoarjo, SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo, and SLB-C AKW II Surabaya. Meanwhile, the subjects to find model’s effectiveness consisted of 14 children from D1 class of the same school. The instruments used were questionnaires and observation guidelines to disclose the profiles of social skills referencing Gunzburg (in Beiley, R., 1982). In addition, interview was also deployed to reveal the implementation of social skill guidance in the schools. Furthermore, to

reveal model’s effectiveness, instrument of task details was developed from the

questionnaires used in preliminary research. The research was conducted through

three stages, namely preliminary study, model development, and model’s

effectiveness test. The results of preliminary research in general show that the social skills of intellectually disabled children were at the category of being able to perform for as many as 50.4%, at the category of being able to perform with help for 39.6%, and at the category of being unable to perform for 9.9%. Nevertheless, for the aspects of communication and socialization, the intellectually disabled children had not been independent. The guidance of social skills in the three SLB-C (Special Needs School for mentally disabled children) had not been specifically conducted. Results of the

test of behavioral guidance model’s effectiveness proved the model to be effective.

Keywords: Behavioral guidance, social skills, intellectually disabled children.


(11)

Anak tunagrahita di Propinsi Jawa Timur yang tertampung di SLB-C tahun 2013/2014 berjumlah 6.633 orang atau 61.21% dari seluruh anak berkebutuhan khusus di Jawa Timur yang jumlahnya 10.836 orang anak tunagrahita, yang terdiri dari tunagrahita-ringan 3.994 orang (36,86%) dan tunagrahita-sedang 2639 orang (24.35%) (Kasi PK Dinas Pendidikan Prop. Jatim, 2013/2014).

Bagi mereka yang dikelompokkan sebagai tunagrahita, selain memiliki hambatan intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata juga mengalami keterbatasan perilaku adaptif dua atau lebih berikut ini:

Komunikasi, merawat diri, keterampilan berrumah tangga, keterampilan sosial, hidup bermasyarakat, pengendalian diri, kesehatan dan keamanan, keterampilan fungsi akademik, pemanfaatan waktu luang dan pekerjaan. Hambatan intelektual dan keterbatasn perilaku adaptif itu ditunjukkan sebelum usia 18 tahun (Beirne-Smith, Ittenbach, dan Patton. 2002, hlm. 56).

„Kecerdasan yang rendah mengakibatkan perilaku adaptif menyimpang selama periode perkembangan‟ (Grosman, dalam Beirne-Smith, Ittenbach, dan Patton. 2002, hlm. 93). Selanjutnya Grosman, memberikan definisi tentang perilaku adaptif sebagai berikut: "Defined as significant limitations in an individuals effectiveness in meeting

the standards of maturation, learning, personal independence, or social responsibility that are expected for his or her age level and cultural group”. Perilaku

adaptif didefinisikan sebagai keterbatasan yang signifikan dalam keefektifan individu dalam memenuhi standard kematangan, pembelajaran, kemandirian pribadi, atau tanggung jawab sosial yang diharapkan pada tingkat usia dan kelompok budayanya.

Sebagaimana dikemukakan oleh diagnosis defisiensi mental, telah nampak bahwa adanya hubungan antara jenis cacat dengan perilaku adaftif (Grossman, dalam Sadrossadat, Moghaddami, dan Sadrossadat. (2010). Merujuk kepada konsep “perilaku adaptif”, semenjak awal tahun 1900-an, para profesional hanya memandang


(12)

kepada rendahnya skor intelektual sebagai salah satu kriteria untuk mendiagnosis keterbelakangan mental. Kenyataannya, skor intelektual dan nilai perilaku secara bertahap berubah menjadi kriteria menonjol dari cacat mental. Sekarang prestasi sosial merupakan bagian integral dari perilaku, dan sejak tahun 1959, American

Association of Mental Deficiency (AAMD), memiliki pandangan bahwa “perilaku

adaptif” berada dekat dengan nilai intelektual, dalam kaitan definisi keterbelakangan mental (Doll, dalam Sadrossadat dkk. 2010).

Keterbatasan kecerdasan dan perilaku adaptif menyebabkan tingkat kemampuan anak tunagrahita cenderung lemah dalam proses kognitif, penguasaan bahasa dan penggunaannya, kemampuan motorik dan fisik, serta ciri-ciri kepribadian dan sosialnya (Kirk, 1989).

Kuantifikasi dan evaluasi perilaku adaptif tidak semudah mengukur "kecerdasan" yang dihitung melalui beberapa tes biasa “intelligence quotient” (IQ). Hal ini untuk sebagian besar karena perilaku adaptif adalah sifat-sifat multidimensi dan siapa saja yang berniat untuk mengevaluasi dan/atau menilainya, harus mempertimbangkan dan memperoleh informasi yang cukup mengenai aktivitas individu hidup sehari-hari (ADL), kegiatan di situasi sosial yang berbeda dan juga hubungan internal dan perilaku (Lambert & Nicoll, dalam Sadrossadat dkk. 2010), menyebutkan bahwa:

Sebagai subyek kekurangan mental melakukan lebih buruk dalam banyak hal pada domain perilaku adaptif daripada yang normal, itu berarti bahwa masalah perilaku adaptif pada orang tersebut mungkin perlu banyak perhatian dan intervensi. Bagi orang-orang terbelakang berfungsi lebih baik dalam lingkungan sosial dan perumahan mereka, apabila dilakukan mengembangkan perilaku adaptif mereka. Studi ini dapat menjelaskan pentingnya perhatian pada domain perilaku adaptif penyandang keterbelakangan mental dan juga menunjukkan perlunya tindakan pencegahan, bahkan untuk individu normal.

Berdasarkan sisi ini maka fokus intervensi pendidikan anak tunagrahita terletak pada pengembangan perilaku adaptif. Pengembangan perilaku adaptif antara lain dapat dikembangkan melalui layanan bimbingan yang terpadu dalam pembelajaran individual dengan fokus pengembangan terhadap empat aspek proses kognitif,


(13)

penguasaan bahasa dan penggunaannya, kemampuan motorik dan fisik, serta interaksi sosialnya.

Fokus intervensi pendidikan anak tunagrahita meliputi: “(a) kesiapan dan keterampilan akademik, (b) perkembangan komunikasi dan bahasa, (c) sosialisasi, (d) dan keterampilan prakejuruan dan kejuruan” (Kirk, 1989, hlm. 163). Pengembangan perilaku adaptif melalui bimbingan yang terpadu dalam pembelajaran individual agar dapat membantu perkembangan kemandirian sesuai lingkungan hidupnya menuntut guru untuk membuat program berdasarkan tingkat perkembangan umur mental. „Umur mental anak tunagrahita-ringan memiliki IQ 52-67 dan tunagrahita-sedang memiliki IQ 36-51‟ (Grossman 1973 dan Heber 1959, 1961 dalam Payne. 1981, hlm. 38), “mereka sama dengan anak normal usia 11-12 tahun dan 2-7 tahun, sehingga mereka diprediksikan hanya mampu melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan sebagian dengan bantuan” (Kirk, 1989, hlm. 136). Sedangkan dalam bidang akademis, mereka hanya mampu mencapai puncak pendidikan Kelas 5 atau 6 dan Kelas 1 atau 2 jenjang pendidikan dasar sekolah anak normal.

Perilaku adaptif anak tunagrahita yang terbatas menunjukkan bahwa mereka belum memiliki keterampilan sosial yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat pada umumnya. Anak yang tidak memiliki keterampilan sosial dan dinilai oleh sebaya sebagai anak yang tidak memiliki kompetensi sosial, akan kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif dengan lingkungannya, bahkan boleh jadi akan ditolak atau diabaikan oleh lingkungannya. Menurut Hersen & Bellack (dalam Cartledge & Milburn, 1992), „keefektifan suatu perilaku tergantung pada konteks dan parameter situasi, maka individu yang memiliki keterampilan sosial akan lebih efektif karena ia mampu memilih dan melakukan perilaku yang tepat sesuai dengan tuntutan lingkungan‟. Dengan demikian, upaya pengembangan perilaku adaptif melalui layanan bimbingan yang terpadu dalam pembelajaran individual sekaligus akan meningkatkan keterampilan sosial anak tunagrahita.


(14)

Keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain (Combs & Slaby dalam Cartledge & Milburn, 1992).

Libet & Lewinsohn (dalam Cartledge & Milburn, 1992) menjelaskan bahwa „keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang kompleks untuk melakukan perbuatan yang akan diterima dan menghindari perilaku yang akan ditolak oleh lingkungan‟. Salah satu yang paling penting tantangan individu dengan keterbelakangan mental saat berinteraksi dengan rekan-rekan mereka dan orang lain adalah kekurangan dalam keterampilan sosial (Heiman & Margalit; Merrell & Gimpel; Sargent, dalam Tekinarslan dkk. 2012). Keterbatasan kognitif dianggap faktor yang paling penting untuk keterampilan sosial yang tidak memadai dari siswa dengan keterbelakangan mental (Gumpel, dalam Tekinarslan dkk. 2012). Proses kognitif melibatkan perubahan-perubahan dalam kemampuan dan pola berfikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghafal sajak atau do‟a, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman, merefleksikan peran merupakan proses kognitif dalam perkembangan individu. Greenspan dan Shoultz dalam Tekinarslan dkk. (2012), menyatakan bahwa keterbatasan kognitif individu dengan retardasi mental sangat mempengaruhi keputusan mereka tentang bagaimana berperilaku dalam beberapa situasi tertentu (dikutip dalam Huang & Cuvo, 1997). Ada berbagai cara yang efektif untuk mengajarkan keterampilan sosial kepada individu terbelakang mental. Beberapa di antaranya adalah pendekatan pembelajaran langsung, pendekatan pemecahan masalah, metode pengajaran kolaboratif, dan intervensi bimbingan rekan (Alptekin; Avcıoğlu; Chadsey–Rusch; Çifci; Klingenberg & Rusch; O‟ Reilly & ChadseyRusch; Park & Gaylord-Ross; Sazak; Wolery, Ault, & Doyle, dalam Emecen, 2011).


(15)

“Dalam kaitan ini bekal yang yang diperkirakan tepat diberikan kepada anak tuangrahita adalah keterampilan sosial yang mencakup bina diri, komunikasi, sosialisasi, dan okupasi (Gunzburg dalam Bailey, 1982, hlm. 25). Binadiri mencakup; makan, mobilitas, toileting dan membasuh, serta berpakaian. Komunikasi mencakup; berbahasa, membedakan suatu benda dan waktu, kegiatan yang berkaitan dengan jumlah dan hitungan. Sosialisasi mencakup; kegiatan bermain, bergaul/sosialisasi, dan kegiatan rumah. Serta kegiatan okupasi yang mencakup; kecekatan motorik halus dan kecekatan motorik kasar. Dari sisi ini maka layanan bimbingan terpadu dalam pembelajaran yang diperkirakan tepat adalah bimbingan behavioral. Konsep pokok konselor behavioral adalah membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling.

Menurut bimbingan behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya proses konseling merupakan penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya (Surya, 2003).

Thoresen (dalam Surya, 2003) memberi ciri bimbingan behavioral sebagai berikut:

(1) Kebanyakan perilaku manusia dipelajari dan karena itu dapat diubah. (2) Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu mengubah perilaku-perilaku yang relevan. Prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku konseli dengan mengubah lingkungan. (3) Prinsip-prinsip belajar spesial seperti “reinforcement” dan “social modelling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling. (4) Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan dalam perilaku-perilaku khusus di luar wawancara prosedur konseling. (5) Prosedur-prosedur konseling tidak statis, tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi secara khusus disain untuk membantu konseli dalam memecahkan masalah khusus.

Berdasarkan uraian tersebut, maka bimbingan behavioral salah satu alternatif pilihan yang tepat untuk mengembangkan perilaku adaptif anak tunagrahita. Hasil kunjungan awal data di lapangan tentang kondisi anak tunagrahita menunjukkan


(16)

bahwa: anak tunagrahita umumnya mengalami hambatan dalam kegiatan hidup sehari-hari seperti dalam aspek: binadiri, komunikasi, sosialisasi, dan okupasi. Pada aspek binadiri anak tunagrahita umumnya mengalami hambatan dalam seting makan, mobilitas, toileting, dan berpakaian.

Pada aspek komunikasi, anak mengalami hambatan dalam penguasaan bahasa, kesulitan membedakan ruang dan waktu, hambatan dalam menjumlah dan berhitung; mengenal mata uang atau koin berbagai satuan. Pada aspek sosialisasi, hambatan perilaku adaptif kegiatan bermain dalam memerankan cerita, kerjasama permainan tim, merespon terhadap orang lain, mengklaim sebagai miliknya, menunggu giliran, dan mengambil dan membawa sesuai perintah. Dalam kegiatan rumah, perilaku adaptif menyimpang yang nampak adalah kepercayaan mengenai keuangan atas pesanan atas diri mereka, pergi ke toko untuk mengambil suatu barang, mengambil tanggung jawab kecil, membawa tugas-tugas rutin tanpa pengawasan.

Pada aspek okupasi, perilaku adaptif dalam kecekatan motorik halus yang bermasalah adalah memotong kertas dengan gunting, mencoret secara spontan dengan pensil dan krayon, menali manik-manik besar, menggunakan indek jari untuk menunjuk benda, melepas tutup dengan gerakan memutar atau memutar tombol pintu, menuangkan air dari satu cangkir ke dalam cangkir yang lain. Sedangkan perilaku adaptif yang masih terhambat yang berkaitan dengan pengendalian motorik kasar adalah memanipulasi objek, mencari beberapa objek yang jatuh dengan mata tertutup, melempar bola dengan terarah tanpa terjatuh, melompat dengan kedua kaki, menyusun kubus/bata dalam dua tumpukan atau lebih, dan menangkap bola tanpa terjatuh (hasil wawancara dengan kepala sekolah, wakasek kurikulum, wakasek keanakan, dan guru-guru di SLB AKW II Surabaya, SLB Negeri Gedangan dan SLB Darma Wanita Sidoarjo Jawa Timur pada tanggal 2 - 7 Januari 2012).

Data di lapangan mengenai pelaksanaan program bimbingan keterampilan sosial aktual (1) Bahwa bina diri sebagai salah satu aspek keterampilan sosial sudah tersusun dalam kurikulum dalam bentuk mata pelajaran dan pelaksanaannya menyatu dengan mata pelajaran dan dilaksanakan oleh guru Kelas. Sedangkan aspek sosial,


(17)

komunikasi, dan okupasi sudah terkandung dalam berbagai pelajaran. (2) Penyusunan program didasarkan atas kurikulum dengan memodifikasi materi disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak. Kegiatan modifikasi ini diawali dengan melakukan asesmen pada awal semester, upaya ini ternyata belum dilakukan terarsip secara administratif, cenderung klasikal, dan dilakukan atas tanggung jawab guru Kelas masing-masing. (3) Program bimbingan keterampilan sosial dilaksanakan dengan melibatkan dukungan sistem; dengan sesama guru, kerjasama dengan orang tua, kerjasama dengan staf ahli. Kerjasama sesama guru melalui cara mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi masing-masing guru, sharing pengetahuan, dan saling meminjamkan/memanfaatkan sarana yang ada bila pelajaran membutuhkannya.

Kerjasama dengan orang tua melalui kunjungan rumah dengan misi utama menyampaikan program-program yang dilakukan di sekolah supaya ditindaklanjuti di rumah. Kerjasama dengan orang tua ini kurang dilakukan kontrol secara periodik terhadap program kerjasama yang diajukannya. Kerjasama dengan staf ahli dengan mengadakan pengukuran angka kecerdasan oleh psikolog atau mengirimkan anak yang sakit ke dokter. Dukungan kerjasama belum dilakukan dengan konselor dan ortopedagog dalam memodifikasi kurikulum untuk diaplkikasikan dalam pengajaran. Materi kurikulum menunjukkan bidang keterampilan yang lengkap dan cukup waktu bagi anak untuk belajar keterampilan sosial, karena pelajaran lain pun memuatnya, tetapi pelaksanaannya perlu pengembangan dan modifikasi disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak. Kemampuan guru dalam memahami kurikulum sekolah yang merupakan paket dari Depdiknas yang harus dijabarkan dalam program pengajaran dengan mempelajari secara menyeluruh baik materi, alokasi waktu, dan sarana yang tersedia. Kegiatan yang dilakukan guru di sekolah adalah berusaha belajar dan mempelajari dengan kreatifitas memadukan kemampuan anak dan studi banding ke sekolah lain.

Mengungkap kebutuhan khusus keterampilan sosial anak melalui asesmen secara terprogram dan kontinyu setiap awal semester sekali agar terlihat proses dan kemajuannya. Dalam pengungkapan kebutuhan khusus ini instrumen yang digunakan


(18)

ternyata masih umum belum menunjuk spesifikasi tingkat perkembangan anak. Untuk mengantisipasi keterbatasan guru dalam mengimplementasikan kurikulum dalam kebutuhan anak dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua.

Kenyataan masalah yang dihadapi guru adalah menghadapi sebagian sikap orang tua sering malakukan perlindungan yang berlebihan terhadap layanan anak di rumah. Keterbatasan guru juga sering dialami dalam momodifikasi perilaku anak, hal ini dapat terjadi manakala pola asuh orang tua tidak sejalan dengan program guru, misalnya dalam program binadiri atau kemandirian anak. Dalam pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial sering mengalami keterbatasan dalam penggunaan alat bantu dan sumber belajar, maka guru melakukan bekerja sama dengan orang tua dan keluarga agar pembelajaran di sekolah sejalan dengan pendidikan di rumah serta sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak.

Hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru Kelas D1-D6, wakasek kurikulum tentang pengungkapan sebab-sebab anak belum berhasil dalam keterampilan sosial dapat dilihat melalui hal-hal berikut.

1. Karakteristik Anak, salah satu penyebab prestasi keterampilan sosial anak belum optimal karena anak mempunyai mental yang tertutup, keluarga kurang melibatkan anak dalam berbagai aspek atau sebaliknya keluarga berlebihan memperlakukan perlindungan terhadap anak. Sesuai data bahwa karakteristik sosial menjadi penyebab prestasi keterampilan sosial anak belum optimal, dikarenakan pembiasaan atau pola asuh yang tidak sejalan dengan pembelajaran di sekolah. Karakteristik lain juga salah satu penyebab anak belum optimal karena anak tidak mandiri, pemarah, malas, kurang perhatian orang tua dan keluarga (pola asuh orang tua yang tidak sejalan dengan program yang dilakukan di sekolah).

2. Aspek Kurikulum, materi dari kurikulum secara administratif disusun seideal mungkin dan kurang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan anak Anak selalu mempunyai masalah sehubungan dengan keterbatasan angka kecerdasan juga masalah sosial, sarana di sekolah kurang mendapat dukungan sarana yang


(19)

ada di rumah, juga dengan kemampuan anak itu sendiri. Waktu belajar anak tunagrahita disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak dengan target untuk mengembangkan kemampuan dan potensi anak tunagrahita semaksimal mungkin, misalnya anak sedang tertarik dengan gambar orang maka guru lalu menanyakan bagian-bagiannya.

3. Program bimbingan, program disusun sering disusun berpusat pada kurikulum pada saat penyusunan program pembelajaran (RPP) secara administratif kadang tidak sesuai dengan kemampuan anak. Pada keterampilan anak mempunyai masalah dan kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Kadang program sudah disusun ideal tetapi pencapaian anak tidak singkron dengan program yang telah ada/tersusun.

4. Kemampuan guru, keterbatas kemampuan guru dalam pemahaman materi kurikulum dengan kondisi nyata anak sering menjadi penghalang dalam penyusunan program. Oleh karena itu, guru berusaha memodifikasi antara kurikulum dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Keterbatasan guru juga dialami dalam menghadapi pola asuh orang tua yang tidak sejalan dengan program sekolah. Hal ini sering menimbulkan masalah sehingga anak menjadi pemarah dan pembangkang. Keterbatasan guru sering mengalami keterbatasan dalam mengimplementasikan materi kurikulum kedalam kebutuhan anak karena kemampuan anak jauh di bawah target kurikulum, ternyata kemampuan anak berbeda-beda satu sama lainnya.

Dalam memodifikasi perilaku anak, kadang-kadang anak sulit diarahkan, kemampuan yang kurang dalam pembelajaran. Dalam hal penyediaan alat bantu, keterbatasan muncul saat melayani kebutuhan anak yang berbeda-beda, sehingga kadang-kadang masing-masing anak sulit terpenuhi.

5. Sarana prasarana, pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial yang dialami guru mengalami keterbatasan dalam penggunaan alat bantu dan sumber belajar, guru memberi masukan kepada orang tua agar apa yang diajarkan di sekolah menjadi pembiasaan anak di rumah dalam kehidupan sehari-hari.


(20)

6. Dukungan sistem, pelaksanaan bimbingan dalam kaitannya dengan dukungan sistem adalah dengan bekerjasama dengan semua pihak (guru Kelas, guru mata pelajaran lain, guru pembina, tim ahli, komite sekolah, dan orang tua/wali murid) untuk mendukung terhadap program mengarahkan tujuan yang sama sehingga dapat dicapai hasil semaksimal mungkin.

Upaya membantu anak tunagrahita yang mengalami perilaku adaptif menyimpang perlu segera mendapat perhatian yang serius untuk segera diberikan intervensi yang tepat dalam menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri, dan kemampuan diri untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungannya agar mampu mandiri. Salah satu upaya bantuan tersebut dengan membimbing keterampilan sosial untuk mengembangkan perilaku adaptif agar kehidupannya di masyarakat kelak dapat diterima secara layak sebagaimana anak normal pada umumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut salah satu upaya bantuan yang diberikan didasarkan pada kebutuhan khusus keterampilan sosial anak.

Dalam pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial diperlukan keterlibatan orang tua sehingga kegiatan ini akan bekerja lebih efektif. Orang tua diperlukan karena hampir seluruh waktunya dalam kehidupan sehari-hari berhadapan dengan anak sehingga mereka berperan penting dalam keberhasilan kegiatan ini. Bimbingan keterampilan sosial dilaksanakan dengan sistem terbuka sehingga membuka peluang perbaikan dan penyempurnaan setiap saat selama diperlukan dan mengintegrasikan berbagai pendekatan dan berorientasi multi budaya di mana anak bertempat tinggal.

Para peneliti percaya bahwa evaluasi keterampilan di sekolah dan di rumah akan memberikan pemahaman yang berharga dan keterampilan sosial sesuai penilaian anak-anak dengan mengumpulkan data dari kedua orang tua dan guru. Temuan menunjukkan bahwa orang tua dan guru menilai keterampilan sosial dengan cara yang berbeda dan ada hubungan tingkat rendah dan menengah antara orang tua dan penilaian guru (Fagan & Fantuzzo; Macintosh & Dissanayake, Manz, Fantuzzo, & McDermott; Merrell & Popinga dalam Tekinarslan dkk. 2012).


(21)

Berbagai hambatan tersebut dan ditambah dengan internalisasi nilai yang rendah membuat anak yang mengalami gangguan perilaku kurang mampu menjalin hubungan interpersonal yang efektif seperti bekerja sama atau berkomunikasi dengan orang lain. Kondisi ini juga membuat mereka kurang mampu menunjukkan perilaku yang dapat mendukung keberhasilan akademis, seperti mematuhi peraturan sekolah, memperhatikan guru dengan tenang atau belajar bersama dengan teman sehingga tak jarang mereka memiliki prestasi akademis yang rendah.

Sejalan dengan hal tersebut, maka kegiatan bimbingan yang dilakukan guru dalam proses belajar mengajar secara umum dapat dikelompokkan menjadi:

(1) mengenal dan memahami anak secara mendalam, (2) memperlakukan anak-anak berdasarkan perbedaan individual, (3) memperlakukan anak-anak secara manusiawi, (4) memberi kemudahan kepada anak-anak untuk mengembangkan diri secara optimal, (5) memelihara suasana Kelas supaya tetap menyenangkan bagi anak (Natawidjaja, 1984, hlm. 123).

Keterampilan sosial bagi anak tunagrahita sebagai salah satu perilaku adaptif dapat dilatihkan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengembangkan perilaku adaptif terhadap keterampilan sosial anak di sekolah. Salah satu upaya dalam pendidikan yang dapat dilakukan adalah dengan layanan bimbingan, melalui bimbingan dianggap mampu melatih anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Layanan bimbingan sekolah yang berdaya guna sangat penting bukan hanya dapat memperbaiki prestasi akademik anak akan tetapi layanan bimbingan dapat memberikan pengaruh positif bagi anak di Kelas dan secara efektif dapat mengurangi perilaku maladaptif anak menjadi lebih adaptif.

Kajian bimbingan tentang pengembangan keterampilan sosial dalam perspektif perilaku adaptif, diharapkan akan menghasilkan model bimbingan behavioral yang dapat diaplikasikan untuk membantu upaya memandirikan individu tunagrahita dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosialnya. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian untuk menemukan model bimbingan behavioral yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita perlu segera dilakukan.


(22)

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian

Mencermati latar belakang masalah maka ada beberapa persoalan yang merupakan masalah mendasar. Dalam kenyataan banyak sekali permasalahan yang sangat komplek yang bersumber dari anak didik yang memiliki karakteristik khusus sebagai anak tunagrahita yang terangkum dalam keterbatasan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara signifikan dan keterbatasan perilaku adaptif dua atau lebih sebagaimana telah diuraikan terdahulu, yaitu: komunikasi, merawat diri, keterampilan berrumah tangga, keterampilan sosial, hidup bermasyarakat, pengendalian diri, kesehatan dan keamanan, keterampilan fungsi akademik, pemanfaatan waktu luang dan pekerjaan.

Salah satu keterbatasan yang sangat fenomenal adalah keterampilan sosial. Menurut Gunzburg (dalam Bailey, 1982) „keterampilan sosial bagi anak tunagrahita meliputi aspek bina-diri, komunikasi, sosialisasi, dan okupasi‟. Bina diri meliputi: makan, berpakaian, mobilitas, dan menggunakan toilet. Komunikasi meliputi berbahasa ekspresif dan reseptif, kegiatan yang berhubungan dengan jumlah, dan menggunakan kertas dan pensil. Sosialisasi meliputi: bermain, adaptasi, dan kegiatan rumah. Okupasi meliputi: kecekatan motorik halus dan kecekatan motorik kasar.

Keterbatasan keterampilan sosial anak tunagrahita ini akan tetap menjadi beban masyarakat lingkungannya bila tidak ditangani sesegera mungkin dan dengan sungguh-sungguh. Keterampilan sosial bukanlah kemampuan individu yang dibawa sejak lahir melainkan perilaku adaptif yang bisa dilatihkan. Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan bimbingan terhadap tunagrahita dalam mengatasi keterbatasan keterampilan sosial untuk memenuhi kebutuhan individu maupun untuk berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya.

Oleh karena itu, mereka memerlukan intervensi untuk mendorong dan menemukan suasana baru yang memiliki nilai tambah bagi perkembangan penyesuaian sosialnya. Salah satu upaya intervensi tersebut dengan memberikan bimbingan perilaku (behavioral) dalam mengembangkan keterampilan sosial mereka. Bimbingan behavioral yang efektif diharapkan dapat menjadi suatu pedoman bagi


(23)

konselor untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita agar setelah selesai sekolah nanti diharapkan lebih dapat diterima sebagai anggota masyarakat sebagaimana anak pada umumnya. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Efektivitas Model Bimbingan Behavioral untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita di SLB-C”. Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Seperti apa profil keterampilan sosial anak tunagrahita ?

2. Seperti apa pelaksanaan bimbingan untuk mengembangkan keterampilan sosial di SLB-C ?

3. Seperti apa rumusan model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita ?

4. Apakah bimbingan behavioral efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita yang efektif. Tujuan utama tersebut dapat dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:

1. Menggambarkan profil keterampilan sosial aktual anak tunagrahita di SLB-C. 2. Memperoleh gambaran aktual pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial anak

tunagrahita di SLB-C.

3. Menghasilkan rumusan model bimbingan behavioral hipotetik untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C.

4. Menguji efektivitas model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C.


(24)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bermakna bagi kajian bimbingan di SLB-C pada kawasan berikut.

1. Secara teoretis

a. Memberikan wawasan dan khasanah bimbingan dan konseling di Indonesia, khususnya berkenaan dengan pengembangan model bimbingan behavioral bagi upaya meningtkatkan kemandirian anak tunagrahita melalui keterampilan sosial.

b. Memberikan wawasan pengembangan model intervensi bimbingan behavioral yang bertolak dari karakteristik anak, potensi lingkungan, dan kondisi aktual keterampilan sosial anak yang membutuhkan layanan bimbingan di lapangan.

2. Secara praktis

a. Penelitian ini menyumbangkan panduan model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C. Dengan membaca panduan ini konselor khususnya dan praktisi pendidikan di SLB-C diharapkan dapat memperoleh wawasan tentang bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita.

b. Penelitian ini menyumbangkan manual pelaksanaan bimbingan dan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C. Dengan membaca manual ini konselor khususnya dan praktisi pendidikan di SLB-C dapat memiliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program bimbingan behavioral di sekolah.

c. Penelitian ini membekali konselor dengan informasi tentang strategi, kerangka kerja, dan sekaligus untuk dilatih melaksanakan bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita di sekolah.


(25)

32 Idris Ahmad, 2014

Tujuan akhir penelitian ini adalah terumuskannya model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial untuk anak tunagrahita di SLB-C. Penelitian ini menggunakan model Research and Development (R&D). Untuk melaksanakan R&D digunakan model yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2011:167) bahwa pelaksanaan penelitian dan pengembangan ada beberapa metode yang digunakan, yaitu metode deskriptif, evaluatif, dan eksperimental.

Metode deskriptif digunakan dalam penelitian pendahuluan, yakni menghimpun

data dan mengkaji kondisi objektif di lapangan tentang pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial dan penguasaan keterampilan sosial anak tunagrahita. Data penelitian pada tahap ini digunakan sebagai bahan dasar untuk perumusan model bimbingan behavioral yang bersifat hipotetik.

Metode evaluatif, digunakan untuk mengevaluasi proses pengembangan model

bimbingan behavioral dalam mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita dengan bantuan para ahli bidang konseling (validator isi) serta para konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (validator empiris). Berdasarkan temuan-temuan hasil validasi model yang bersifat hipotetik tersebut kemudian diadakan penyempurnaan model tersebut.

Metode eksperimen, digunakan untuk menguji dan mengevaluasi kebermanfaatan atau efektivitas model. Adapun desain eksperimen yang digunakan

One-Group Pretest-Posttest Design dengan formula sebagai berikut.

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest


(26)

Idris Ahmad, 2014

B. Definisi Operasional

Variabel utama dalam penelitian ini Bimbingan Behavioral dan Keterampilan Sosial anak tunagrahita. Oleh karena itu, definisi operasional variabel tersebut didefinisikan secara operasional sebagai berikut:

1. Bimbingan Behavioral

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh Corey (2007) bahwa bimbingan behavioral adalah penatalaksanaan pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya, maka dalam penelitian ini didefinisikan secara operasional bahwa bimbingan behavioral adalah suatu proses bantuan penatalaksanaan pengalaman belajar yang diberikan kepada anak tunagrahita dalam mengembangkan keterampilan sosial aktual menuju keterampilan sosial potensial sebagai salah satu perwujudan keterbatasan yang disandangnya.

2. Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita

Berdasarkan definisi konseptual dari beberapa ahli, maka definsi operasional dari keterampilan sosial dalam penelitian ini adalah suatu media yang digunakan dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh anak tunagrahita untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling menguntungkan melalui penilaian dengan melihat kepada empat aspek, yaitu bina diri, kemonukasi, sosialisasi, dan okupasi. Sehingga dapat memberikan gambaran dari tingkat perkembangan kemampuan keterampilan sosial tersebut guna menguatkan hipotesis penelitian yang diajukan.


(27)

Idris Ahmad, 2014

penelitian menggunakan penelitian pengembangan atau research and development (R & D) menurut Gall dan Borg dalam Sugiyono, (2006, hlm. 409), adalah:

model pengembangan berdasarkan industri dimana temuan-temuan penelitian digunakan untuk merancang produk-produk dan prosedur baru, kemudian secara sistematis diuji di area dan dievaluasi sesuai dengan kualitas dan evektivitasnya. Penelitian dan pengembangan dilaksanakan melalui tahap-tahap yang saling terkait.

Tahapan dalam penelitian yang dimaksaud diuraikan sebagai berikut. 1. Tahap I (Studi Pendahuluan)

Studi pendahuluan untuk memperoleh berbagai informasi awal untuk mengetahui gambaran kebutuhan nyata calon subyek sasaran produk yang dikembangkan dalam penelitian ini termasuk kemampuan keterampilan sosial anak tunagrahita SLB C AKW II Surabaya, SLB Negeri Gedangan dan SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo.

Informasi inilah dijadikan dasar untuk menyusun model bimbingan behavioral untuk meningkatkan keterampilan sosial anak tunagrahita yang merupakan produk hipotetik. Studi pendahuluan ini terdiri dua kegiatan utama: studi lapangan berupa asesmen kebutuhan dan perancangan produk hipotetik. Tahap asesmen dilakukan untuk menemukan berbagai informasi yang berguna untuk menyusun model bimbingan behavioral untuk meningkatkan keterampilan sosial anak tunagrahita di sekolah tersebut.

Pada kegiatan asesmen kebutuhan perilaku adaptif keterampilan sosial dilakukan melalui survey lapangan dengan menerapkan seperangkat instrument, observasi, inventory dan wawancara bebas untuk mengetahui kesulitan dan kekurangan yang selama ini dialami baik oleh anak, guru, maupun sekolah. Instrument asesmen tersebut dapat dilihat di bagian lampiran.


(28)

Idris Ahmad, 2014

ini.Dari studi dan kajian tersebut untuk selanjutnya disusunlah model hipotetik bimbingan behavioral untuk meningkatkan keterampilan sosial anak tunagrahita. Penyusunan model hipotetik dilakukan dengan merumuskan pedoman bimbingan behavioral untuk guru Kelas sebagai pembimbing langsung subyek penelitian dan menyusun rincian tugas sub aspek keterampilan sosial.

Rincian tugas ini menjadi instrument yang digunakan sebagai pretest dan posttest. Pretest dilakukan secara individual untuk memperoleh informasi awal kemampuan keterampilan sosial setiap anak. Hasil pretest ini sebagai dasar dimulainya layanan bimbingan keterampilan sosial.

3. Tahap III (Pengembangan Model)

Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan produk hipotetik yang berpotensi menjadi produk operasional yang layak secara konseptual teoritik dan empirik maka diperlukan uji rasional dengan memperhatikan masukan dan pendapat para ahli.

Uji kepraktisan model dengan melakukan diskusi dengan teman sejawat dosen dan guru bimbingan dalam rangka pengembangan model. Produk ini memiliki kriteria tertentu yaitu: (a) sesuai dengan karakteristik calon subyek; (b) tujuan yang jelas dan realistis; (c) isi bahan ajar atau modul sesuai dengan kebutuhan calon subyek; (d) metode dan strategi yang cocok; dan (e) pengajar dan pembimbing yang berkualitas serta memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas tersebut.

4. Tahap IV (Uji Rasional Kelayakan Model)

Setelah dilakukan penyusunan model bimbingan behavioral hipotetik dan uji rasional kepraktisan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak tunagrahita. Selanjutnya hasil tersebut didiskusikan dengan praktisi di lapangan dalam rangka memperbaiki hal-hal yang kemungkinan sesuatu yang kurang jelas.

Dari beberapa pendapat tersebut kemudian dijadikan masukan yang berarti untuk kesempurnaan model hipotetik. Kemudian dilakukan perumusan pedoman


(29)

Idris Ahmad, 2014

instrument penilaian yang digunakan oleh validator ahli dalam melakukan validasi isi, kelayakan isi program, kelayakan panduan, kelayakan operasional masing-masing materi.

5. Tahap V (Revisi Model)

Pada tahap ini dilakukan evaluasi dan menginventarisasi beberapa hasil yang ditemukan setelah uji model. Tahap ini harus ada kegiatan pokok yang harus dilakukan yaitu melakukan validasi isi, validasi empirik, dan revisi produk hipotetik untuk menjadi rumusan produk operasional.

Tujuan yang hendak dicapai melalui tahap ini adalah dapat dirumuskannya model yang sudah direvisi untuk dijadikan model bimbingan behavioral untuk meningkatkan kemampuan keterampilan sosial anak tunagrahita secara individual yang merupakan operasional beserta panduan implementasinya yang baik dan layak. 6. Tahap VI (Uji Coba Terbatas)

Kegiatan yang dilakukan adalah menyusun rencana dalam rangka melakukan uji coba terbatas. Menyiapkan konselor dan fasilitator dalam rangka membantu tercapainya pelaksanaan uji coba terbatas. Kemudian dilakukan refleksi sebagai masukan untuk memperbaiki model.

Pada tahap ini akan diketahui tingkat kelayakan isi atau konsep dan kelayakan operasional terkait dengan model bimbingan behavioral beserta panduan operasional model bagi subyek sasaran.

7. Tahap VII (Uji Efektivitas)

Kegiatan tahap ini adalah menguji efektivitas model behavioral untuk meningkatkan kemampuan keterampilan sosial anak tunagrahita. Untuk menguji efektivitas digunakan dengan membandingkan rerata skor pada tes awal dengan skor pada tes akhir. Dalam hal ini menggunakan pola one-group pretest-posttest design. Pola one-group pretest-posttest design ini dapat diketahui akurasinya karena


(30)

Idris Ahmad, 2014

rekomendasi model yang sudah teruji validitasnya.

Rancangan eksperimen kelompok tunggal dengan menerapkan pretest dan posttest merupakan rancangan ekperimen yang hanya diterapkan pada satu kelompok dengan memberi perlakuan pretest kemudian mengamati efeknya/posttest pada variabel terikat. Dalam rancangan ini hanya ada kelompok eksperimen, dimana pada awalnya dilakukan pretest/observasi kemudian diberikan perlakuan kemudian diobservasi efeknya terhadap variabel yang diteliti, (Suharsaputra, 2012, hlm. 160).

8. Tahap VIII (Deseminasi)

Deseminasi dan distribusi berisi pelaporan dan publikasi ilmiah. Pelaporan pertama berbentuk disertasi yang proses pembuatannya dilakukan selama penelitian ini. Pelaporan kedua melalui publikasi ilmiah dalam kontek seminar. Publikasi ilmiah dalam bentuk seminar nasional yang diselenggarakan di Universitas Negeri Yogyakarta pada tanggal 8-9 September 2012.

Proses dan tahapan-tahapan penelitian tersebut dapat digambarkan seperti diagram sebagai berikut:

Tahap I 1. Kondisi Obyektif di lapangan 2. Kajian teoritik

Tahap II Merancang Model

Tahap III Pengembangan Model

Tahap IV Uji Kelayakan Model

Tahap V Revisi Tahap VI Uji Coba Terbatas

Tahap VII Uji Efektivitas

Tahap VIII Diseminasi Model


(31)

Idris Ahmad, 2014

Secara garis besar prosedur penelitian di atas dapat dilakukan dengan tiga tahap penelitian, yaitu (1) penelitian deskriptif, (2) penelitian evaluatif, dan (3) penelitian eksperimen. Oleh karena itu, penjelasan masing-masing tahap penelitian dijelaskan sebagai berikut.

1. Penelitian Deskriptif (Tahap I)

Penelitian Deskriptif dilakukan pada penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk menghimpun data mengenai kondisi objektif tentang pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial dan penguasaan keterampilan sosial anak tunagrahita.

Subyek penelitian pendahuluan untuk mengungkap profil keterampilan sosial sejumlah 79 anak tunagrahita Kelas D1 sampai dengan Kelas D6, selengkapnya dipaparkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.1.

Daftar Subyek Penelitian Pendahuluan

SLB Kelas

SLBN Gedangan

Sidoarjo

SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo

SLB-C AKW II

Surabaya Jumlah

D1 8 6 4 18

D2 4 7 2 13

D3 2 4 7 13

D4 4 6 5 15

D5 4 5 7 16

D6 - - 4 4

Jumlah 19 34 26 79

Instrumen yang digunakan dalam peneilitian deskriptis ini meliputi (1) Kuesioner yang ditujukan kepada guru Kelas I sampai Kelas VI yang digunakan untuk memperoleh data tentang keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C; (2)


(32)

Idris Ahmad, 2014

Kisi-kisi kuesioner keterampilan sosial anak tunagrahita ini dikembangkan dengan merujuk dari Gunzburg (dalam Bailey, 1982) yang terdiri empat aspek, yaitu: bina diri, komunikasi, sosialisasi, dan okupasi yang kemudian diuraikan dalam 13 subaspek yang pada awalnya berjumlah 122 item. Setelah diuji keterbacaan dan uji lapangan akhirnya tinggal 107 item. Kisi-kisi instrumen akhir terdapat pada lampiran. Penimbangan ahli dilakukan untuk mendapatkan suatu item instrumen yang handal dan valid serta layak dipakai dalam penelitian ini. Instrumen untuk mengungkap profil keterampilan sosial ditimbang secara khusus oleh tiga penimbang ahli yaitu dari dua penimbang ahli dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, satu orang penimbang ahli dari Universitas Pendidilkan Indonesia, dan tiga orang praktisi dari SLB Pembina Citeureup Cimahi. Penimbangan dilakukan dengan melihat kepada aspek dan indikator mengenai keterampilan sosial yang disesuaikan dengan dasar-dasar konsep atau teori yang digunakan dalam model bimbingan behavioral ini. Setiap item yang dikembangkan kemudian dikoreksi oleh pakar dari akademisi maupun praktisi, apakah sudah dapat mewakili atas hipotesis yang diajukan atau tidak, sehingga pada akhirnya instrumen ini dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Setiap masukan yang diberikan dijadikan bahan untuk perbaikan dan pengembangan instrumen yang akan diuji cobakan.

Perhitungan uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS. Dalam uji coba instrumen ini melibatan 79 anak yang sekolah di SLB Negeri Gedangan Sidoarjo, SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo, dan SLB-C AKW II Surabaya.

Hasil uji coba validitas instrumen keterampilan sosial dari 113 item soal yang tidak valid sebanyak enam item, yaitu no. 9, 10, 71, 76, 79, dan 110, yang lainnya dinyatakan valid sebanyak 107 item soal. Sedangkan validitas instrumen diujikan secara rasional dan secara empirik diujikan dari kebahasaannya, isi, aspek dan


(33)

Idris Ahmad, 2014

mencerminkan data dan permasalahan yang ada di lapangan. Berdasarkan hasil uji coba tersebut maka disimpulkan bahwa instrumen ini dapat digunakan sebagai instrumen penelitian. Data hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen selengkapnya disajikan pada lampiran (Hasil Uji Validasi Tray Out).

Untuk mengumpulakan data tentang pelaksanaan bimbingan keterampilan sosial anak tunagrahita yang telah dilakukan oleh sekolah digunakan pedoman wawancara dan observasi berikut ini.

Tabel 3. 2.

Pedoman Wawancara tentang Pelaksanaan

Program Bimbingan Keterampilan Sosial Anak Tunagrahita

Topik Pertanyaan Informan

A. Potret sekolah 1. Jumlah murid seluruhnya= …..terdiri:….. 2. Berapakah siswa tunagrahita di sekolah

ini?

ATG ringan : …… siswa ATG sedang : ...…...siswa. ATG = …..…siswa

3. Berapakah jumlah siswa tunagrahita masing-masing Kelas di sekolah ini 5 tahun terakhir ini?

4. Menurut data yang ada dan pengamatan guru-guru, bagaimanakah pelaksanaan program bimbingan keterampilan sosial anak tunagrahita di sekolah?

1 = program sudah tersusun dan pelaksanaannya terpisah dari mata pelajaran dan dilaksanakan oleh petugas khusus (pembimbing). 2 = program sudah tersusun dan

Guru, Kepala Sekolah.


(34)

Idris Ahmad, 2014

pelaksanaannya menyatu dengan mata pelajaran dan dilaksanakan oleh guru Kelas.

3 = program menyatu dengan mata pelajaran yang disusun dan dilaksanakan oleh guru.

5. Menurut pengamatan saudara, apakah penyusunan program bimbingan keterampilan sosial didasarkan atas kurikulum yang ada? Bila ya/tidak, sebutkan dan mengapa demikian? 6. Menurut pengamatan saudara, apakah

pelaksanaan program bimbingan

keterampilan sosial melibatkan dukungan sistem (kepala sekolah, pengawas, orang tua, sesama guru, sarana dan prasarana yang ada, ahli lain) dalam bentuk apa dan bagaimana realisasinya?

B. Aspek kurikulum 7. Apakah materi bimbingan keterampilan sosial sudah sesuai dengan kebutuhan anak? Aspek yang mana? menyangkut karakteristik apa? Aspek keterampilan yang mana? apa yang diharapkan? 8. Apakah materi pada kurikulum

menunjukkan bidang keterampilan sosial yang lengkap? Bila Ya/Tidak, aspek apa? Apa hubungannya dengan sarana dan prasarana yang ada? Adakah

hubungannya dengan karakteristik anak? 9. Apakah cukup waktu bagi anak untuk

belajar keterampilan sosial? Bila

Ya/Tidak pada aspek keterampilan sosial apa? Terjadi kasus individual atau menyeluruh?

Guru, Kepala Sekolah.

C. Program bimbingan 10. Apakah penyusunan program bimbingan keterampilan sosial disusun berpusat pada kurikulum sebagaimana mata pelajaran lain? Saat-saat apa?

Guru, Kepala Sekolah.


(35)

Idris Ahmad, 2014

Mengapa demikian?

11. Kebutuhan khusus anak sering menjadi pendukung utama keberhasilan, seberapa jauh aspek ini dipertimbangkan dalam penyusunan program bimbingan keterampilan sosial?

12. Pengajaran keterampilan sosial khususnya terhadap anak tunagrahita perlu menyusun rincian tugas, bagaimana dengan pengajaran keterampilan sosial yang saudara lakukan (adakah kesulitan)? Mengapa demikian? Dalam hal apa (materi, waktu, administratif, dukungan sistem, kemampuan dan pengetahuan, sarana dan prasarana?

D. Kemampuan guru 13. Kurikulum SLB merupakan paket dari Depdiknas yang harus dijabarkan dalam program pengajaran perlu dipahami secara menyeluruh (materi, alokasi waktu, dan sarana yang tersedia), bagaimana dengan kemampuan yang anda miliki?

14. Mengungkap kebutuhan khusus keterampilan sosial anak melalui asesmen memerlukan waktu dan cara tersendiri, kapan dan bagaimana saudara melakukan kegiatan tsb. ?

15. Kemampuan guru sering mengalami keterbatasan dalam

mengimplementasikan kurikulum dalam kebutuhan anak. Dalam hal apa? Saat-saat apa? Mengapa hal itu terjadi? 16. Guru sering mengalami keterbatasan

dalam memodifikasi perilaku anak. Kapan hal itu terjadi? Dalam hal apa? 17. Guru sering mengalami keterbatasan

dalam penyediaan alat bantu. Kapan muncul keterbatasan tersebut? Aspek keterampilan sosial apa? Untuk

Guru, Kepala Sekolah, Orang tua murid, Komite


(36)

Idris Ahmad, 2014

individual atau kelompok? E. Sarana-prasarana 18. Dalam pelaksanaan bimbingan

keterampilan sosial, sering mengalami keterbatasan dalam penggunaan alat bantu dan sumber belajar, tepatnya kapan hal itu terjadi? Dalam aspek keterampilan sosial apa? Upaya apa untuk mengatasi masalah tersebut?

Guru, Kepala Sekolah, Orang tua murid, Komite

F. Dukungan sistem (guru, kepala sekolah, pengawas, tim ahli, orang tua/wali murid)

19. Bentuk kerjasama, hambatan yang dijumpai, dan dalam aspek keterampilan sosial apa dengan dukungan sistem berikut ini? - Guru mata pelajaran lain. - Guru pembina.

- Tim ahli/instansi lain. - Komite

- Orang tua/wali murid.

Guru, Kepala Sekolah, Orang tua murid, Komite

Wawancara dilakukan pada awal penelitian dan bila muncul pertanyaan serupa bisa terjadi kapanpun selama penelitian berlangsung.

Adapaun pedoman observasi dilakukan untuk mengungkap kebutuhan khusus anak berdasarkan hasil kuesioner mengenai aspek dan atau sub aspek perilaku keterampilan sosial yang belum dapat dilakukan oleh anak.

Berikut contoh format pedoman observasi untuk mengungkap kebutuhan khusus anak tunagrahita.


(37)

Idris Ahmad, 2014 Contoh :

PEDOMAN OBSERVASI

1. Identitas siswa Nama :

Kelas :

Usia : IQ : Jenis kelamin :

A. ………….. (Aspek Keterampilan Sosial/KS)

1. ……… (Sub Aspek KS)

Asesmen ini dilaksanakan pada saat ……… di sekolah hari ……….. tanggal ………. (acara …………..),.

No. Perangkat

Asesmen

Kegiatan Pelaksanaan

Hasil

(Ya/Tdk) Analisis

Kebutuhan

Khusus Program

1. Mengumpulkan

makanan yang tersisa di piring dan memasukkan makanan kedalam mulut. Anak disuruh mengumpulkan makan yang tersisa di piring dan memasuk- kannya ke mulut.

Tidak Anak

diperkirakan mengalami gangguan koordinasi gerak, karena di sisi lain anak dapat memasuk kan- makanan kedalam mulut. Latihan koordinasi gerak 2 Dst.


(38)

Idris Ahmad, 2014

model operasional yang siap untuk diujicobakan.

Untuk menghasilkan model bimbingan behavioral yang teruji secara efektif, maka dilaksanakan uji kelayakan melalui penilaian dari pakar dan praktisi Pendidikan Luar Biasa (PLB) khususnya tunagrahita (expert judgment). Selanjutnya, hal tersebut di seminarkan/diskusi yang diikuti oleh guru-guru SLB-C, guru pembimbing, guru Kelas, kepala sekolah, orang tua, akademisi. Dengan adanya seminar/diskusi ini diharapkan mendapatkan masukan dari para pakar dan praktisi pendidikan luar biasa khususnya tunagrahita, model yang dirancang untuk diimplementasikan memenuhi kriteria atau tidak, dan efektif atau tidak untuk diterapkan kepada anak tunagrahita di SLB-C.

Bagian-bagian model bimbingan behavioral hipotetik yang diimplementasikan tersebut, mendapat saran dan penimbangan oleh ahli dengan rumusan sistematika model sebagai berikut: rasional, visi dan misi bimbingan behavioral, kebutuhan anak tunagrahita, tujuan bimbingan bimbingan behavioral, asumsi, lingkup model, dan evaluasi. Adapun tujuan uji kelayakan ini adalah:

1. Menyamakan persepsi tentang model bimbingan behavioral yang akan dilaksanakan baik dari aspek substansi model, maupun aspek teknik penulisan model.

2. Kelayakan proses penyusunan suatu model bimbingan behavioral mencakup, antara lain: rasional, tujuan bimbingan, target, asusmsi, langkah-langkah model, kompetensi konselor untuk implementasi model, struktur dan intervensi, serta evaluasi dan kriteria keberhasilan.

Uji kelayakan dilakukan dengan kegiatan seminar dan diskusi dimulai dengan pemaparan yang dilakukan oleh peneliti mengenai hasil-hasil temuan penelitian dan rancangan tentang mengembangkan model bimbingan behavioral untuk


(39)

Idris Ahmad, 2014

Dalam rangka menghasilkan model bimbingan behavior yang teruji secara efektif, maka langkah awal yang dilakukan adalah menguji kelayakan model secara rasional. Uji kelayakan model untuk validasi dilakukan melalui penilaian pakar

(expert judgment). Validasai rasional dilakukan melalui konsultasi dengan pakar

bimbingan dan konseling.

Pakar yang terlibat dalam penilaian model berjumlah empat orang pakar yang memiliki latar belakang pendidikan Doktor (S-3) masing-masing satu orang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling, dua orang pakar bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus dan pengajar anak tunagrahita.

Uji keterbacaan dan kepraktisan melibatkan praktisi unsur guru-guru SLB-C yang berlatar belakang pendidikan S1 pendidikan anak berkebutuhan khusus. Validasi rasional dilakukan dengan menggunakan teknik respon terinci. Peneliti menyampaikan model bimbingan behavioral yang disertai dengan instrumen penilaian berbentuk sarana atau masukan (data kualitatif).

Secara garis besar, terdapat dua aspek yang dinilai oleh pakar yaitu; (a) aspek substansi model, dan (b) aspek teknis penulisan model.

Aspek substansi model

Aspek substansi model berkenaan dengan rasional, tujuan, target, asumsi, komponen model, langkah-langkah pelaksanaan model (matrik model, rincian tugas, dan satuan layanan), kompetensi konselor, struktur dan intervensi, dan evaluasi keberhasilan. Penilaian para ahli terhadap aspek substansi model berada pada katagori mudah dipahami. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur model telah memenuhi standar kelayakan teoritis sebagai modus intervensi. Walau demikian, ada saran dari ahli untuk menghilangkan anak judul, karena sudah jelas dalam judul, perlu penyempurnaan bahasa dan penjelasan istilah.


(40)

Idris Ahmad, 2014

Masukan dari pakar terhadap rasional model menunjukkan bahwa rasional model mudah dipahami. Namun untuk kesempurnaan rasional model, pakar menyarankan supaya penyajian hasil studi pendahuluan dapat lebih disingkat, tanpa

membedakan sekolah. Selain itu, kata yang berbunyi “perilaku menuju standar

kematangan ... sosial” diganti “...perilaku menuju keterampilan sosial”. perlu penyempurnaan bahasa dan penjelasan istilah.

Tujuan Model

Masukan pakar terhadap rumusan tujuan pengembangan model berada pada katagori mudah dipahami, namun untuk melakukan penajaman pada setiap aspek yang menunjukkan perbedaan perilaku yang dijalankan setiap sesi intervensi. Redaksi

dapat lebih disederhanakan, bahasa tujuan “mampu” adalah “dapat”. Target Intervensi

Target utama intervensi model bimbingan ini adalah perilaku adaptif keterampilan sosial anak tunagrahita. Pandangan pakar terhadap rumusan target intervensi untuk pengembangan model ini sudah berada dijalur tepat/mudah dipahami.

Asumsi Model

Asumsi model terkait dengan “Anak tunagrahita mampu untuk mengkonsepsikan

dan mengendalikan perilakunya dengan latihan yang edukatif dari konselor” diganti

“… untuk meningkatkan keterampilan sosial dengan latihan yang edukatif dari

konselor”. Kalimat “Dengan latihan anak tunagrahita mampu mendapatkan perikau baru” diganti “Dengan latihan anak tunagrahita dapat meningkatkan keterampilan

sosial”. Pakar memandang bahwa asumsi yang melandasi model ini sudah cukup


(41)

Idris Ahmad, 2014

Matrik Model Bimbingan. Para pakar memandang bahwa matrik model ini sudah tepat dan mudah dipahami, namun ada masukan antara lain redaksi pada judul

“Matrik Program Layanan …” diganti “Action plan Model Layanan …”. Pada judul

kolom tabel “Komponen Layanan” diganti “Indikator”, “Kegiatan” diganti “Sub

Indikator”. Posisi penulisan matrik model bimbingan (Action Plan) diletakkan setelah layanan sesi 13.

Rincian Tugas. Para pakar memberi masukan agar masing-masing rincian tugas jumlahnya disamakan menjadi 10 poin. Kemudian kata-kata dalam kalimat lebih

dioperasionalkan, kata “menyebutkan” diganti “menunjukkan”. Pada kolom jawaban

semula terdapat satu kolom untuk jawaban “ya” atau “tidak” dirubah menjadi tiga kolom; kolom satu “Tidak dapat melakukan”, kolom dua “Dapat melakukan dengan bantuan”, kolom tiga “Dapat melakukan sendiri”.

Satuan layanan. Para pakar memandang bahwa satuan layanan ini sudah tepat/mudah dipahami, namun ada masukan pada sub layanan; “Tahap Layanan” tidak dipakai. Strukturnya terlalu komplek, oleh karena itu supaya lebih disederhanakan dan dioperasionalkan.

Struktur dan Isi Intervensi

Para pakar menyatakan bahwa struktur dan isi intervensi sudah tepat/mudah dipahami. Pertimbangan yang mendasar adalah setiap sesi intervensi sudah menjembatani tercapainya setiap tujuan, pilihan isi dan bentuk kegiatan yang merupakan penjabaran dari tujuan, pakar memandang bahwa rumusan setiap sesi intervensi sudah spesifik dan operasional. Pakar memberikan saran untuk menegaskan mengapa dua sesi per minggu dan durasinya 30 menit per sesi.


(42)

Idris Ahmad, 2014

hasil, dan penegasan waktu evaluasi serta alat atau instrument yang dipakai.

Aspek Teknik Penulisan Model

Aspek teknik penulisan model berkenaan dengan rumusan judul, kejelasan penggunaan istilah, sistematika model, kesesuaian antar komponen model, kejelasan dan struktur dan intervensi model, keterbacaan model, dan teknik pemilihan evaluasi model. Model dipandang cukup mewadahi hanya ada masukan: kata “menyebutkan”

diganti “menunjukkan”. Rincian tugas masing-masing indikator pencapaian tugas jumlahnya supaya disamakan menjadi 10 poin masing-masing sub aspek/indikator. Adapun jumlah seluruh rincian tugas dari 26 sub indikator terdapat 260 poin indikator pencapaian tugas.

3. Penelitian Eksperimen (Tahap III)

Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk menguji efektivitas model operasional bimbingan yang telah diperoleh dari penelitian pengembangan dengan menggunakan One-Group Pretest-Posttest Design.

Subyek penelitian eksperimen ini dibatasi pada anak tunagrahita jenjang SDLB Kelas 1 dari ketiga SLB, yaitu SLBN Gedangan Sidoarjo 7 (tujuh) anak tunagrahita, SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo 4 (empat) anak tunagrahita, dan SLB-C AKW II Surabaya 3 (tiga) anak sehingga jumlah keseluruhan 14 anak tunagrahita. Pemilihan subyek pada Kelas tersebut dengan pertimbangan bahwa Kelas I merupakan Kelas awal masuk sekolah dengan kondisi perilaku apa adanya yang diperoleh dari hasil pengaruh dari rumah orang tua/keluarga dan belum banyak dipengaruhi oleh sikap perilaku dari teman sebayanya di masyarakat yang umumnya memandang anak tunagrahita dari segi kekurangannya. Subyek penelitian dimaksud selengkapnya disajikan dalam tabel 3.3 berikut.


(43)

Idris Ahmad, 2014

No Nama I.Q. Tpt./Tgl.lahir Kelamin

1 Ws 70 Malang, 13-9-2003 L

2 Dn 60 Surabaya, 16-8-2000 P

3 Af 70 Surabaya, 5-5-2003 L

4 Mh 70 Sidoarjo, 26-3-2003 L

5 Rk 70 Sidoarjo, 20-3-2002 L

6 Kk 70 Madiun, 28-2-2003 L

7 Fd 69 Sidoarjo, 23-9-2006 L

8 Ss 70 Sidoarjo, 19-1-2001 P

9 Ra 60 Garut, 1-10-2005 L

10 Sr 49 Lumajang, 28-10-2001 P

11 Hi 35 Sidoarjo, 28-5-2003 L

12 Bi 55 Sidoarjo, 13-4-2004 L

13 Am 40 Surabaya, 23-5-2004 P

14 Na 65 Sidoarjo, 28-7-2002 L

Rincian tugas menjadi instrumen utama dalam implementasi model, pada awal pertemuan layanan bimbingan berfungsi sebagai pretest untuk menemukan keterampilan sosial aktual masing-masing anak, sedangkan pada akhir pertemuan layanan berfungsi untuk menemukan keterampilan sosial potensial. Jumlah data perolehan pretest maupun postest dari masing-masing sub indikator pencapaian tugas dihitung persentasenya dengan rumus:

Persentase nilai =

atau =

Nlai ideal adalah 30

Efektivitas model dapat diketahui dengan membandingkan rerata skor pretest dan posttest. Model dikatakan efektif bila nilai posttest lebih besar dari nilai pretest. Untuk menemukan keefektifan model dalam penelitian ini menggunakan One-Group


(44)

Idris Ahmad, 2014

Teknik analisis data statistik yang digunakan adalah statistik non parametrik. Statistik non parametrik adalah prosedur pengujian hipotesis tidak terpenuhi atau sering disebut dengan metode bebas distribusi (Furqon, 2008, hlm. 235). Subyek penelitian (14 orang) ini tidak besar atau kurang dari 30 orang, maka statistik nonparametrik menjadi alasan digunakan untuk analisis data.

Pengujian dilakukan dengan uji statistik Wilcoxon matched pairs karena bentukan data yang diperoleh adalah ordinal yaitu termasuk ke dalam statistik non parametris, sehingga tidak memerlukan adanya pengujian statistik klasik atau syarat statistik parametris (uji normalitas dan homogenitas). Penerapan model bimbingan pengembangan behavioral dengan motode ini mengikuti pola One-Group

Pretest-Posttest Design, diberikan kepada anak tunagrahita berjumlah 14 orang anak SLB C

AKW II Surabaya, SLB Negeri Gedangan dan SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo. Nilai persentase masing-masing sub aspek tersebut kemudian dijumlahkan menjadi jumlah persentase aspek indikator (Aspek bina diri, komunikasi, sosialisasi, dan okupasi), dan menjadi jumlah persentase nilai keterampilan sosial secara umum baik pretest maupun posttest.

Analisis data dalam penelitian disesuaikan dengan rancangan atau model instrumen penelitian yang digunakan, sehingga dapat diketahui jenis data yang terkumpul. Menurut Moleong (2000) dalam Hasan (2002, hlm. 97), “analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis

kerja seperti yang disarankan oleh data”.

Bentuk analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan alat analisis metode statistik dalam bentuk analisis komparatif.

Analisis komparasi atau perbedaan merupakan prosedur statistik untuk menguji

perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih”. Analisis


(45)

Idris Ahmad, 2014

Analisis komparasi dibedakan atas komparasi antara dua sampel yang saling berhubungan atau tidak berhubungan dan komparasi antara lebih dari dua sampel yang saling berhubungan atau tidak berhubungan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini jenis data yang diperoleh termasuk ke dalam data ordinal dengan analisis komparasi antara dua sampel yang saling berhubungan, karena subyek yang diteliti adalah kelompok awal atau sebelum dilakukan treatment dan dipakai kembali dalam mengumpulkan data setelah dilakukan treatment, sehingga sampel masih saling berhubungan.

Analsis statistik yang dipergunakan untuk keperluan hipotesis dari penelitian ini adalah analisis Wilcoxon matched pairs. Menurut Sugiyono (2009, hlm. 134) “teknik ini merupakan penyempurnaan dari uji tanda”. Karena dalam uji tanda besarnya selisih nilai angka antara positif dan negatif tidak diperhitungkan, sedangkan dalam Wilcoxon diperhitungkan.

Adapun rumus dari Wilcoxon matched pairs adalah:

T =

T = √ Z =

Di mana T adalah jumlah jenjang/rangking yang kecil Hipotesisnya adalah:

(Ho) : tidak terdapat perbedaan keterampilan anak tunagrahita sebelum dan sesudah mengikuti treatment.

(Ha) : terdapat perbedaan keterampilan anak tunagrahita sebelum dan sesudah mengikuti treatment.


(46)

113 Idris Ahmad, 2014

Setelah melalui proses penelitian dan pengembangan yang terdiri atas penelitian pendahuluan, pengembangan model, validasi rasional model, dan validasi empirik. simpulan hasil penelitian adalah sebagai berikut.

1. Profil keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB Negeri Gedangan Sidoarjo, SLB A/C Dharma Wanita Sidoarjo, dan SLB-C AKW II Surabaya tahun akademik 2012 secara umum berada pada katagori “dapat melakukan” pada aspek binadiri dan aspek okupasi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak tunagrahita lebih mengenal dan menghayati dalam kehidupan sehari-hari seperti sub aspek makan, berpakaian, mobilitas, dan toileting dari aspek binadiri. Begitu juga sub aspek kecekatan motorik halus dan kecekatan motorik kasar dari aspek okupasi. Dalam kehidupan sehari-hari kedua aspek tersebut lebih mendekati dalam memenuhi kebutuhan dasar biologis yang menuntut anak untuk melakukan sejak awal kehidupannya. Adapun kategori “dapat melakukan dengan bantuan” pada aspek komunikasi dan aspek sosialisasi. Kategori ini dapat diartikan bahwa anak tunagrahita dapat melakukan bila dibantu dan bila tidak ada bantuan tidakakan dapat melakukannya. Kondisi ini menunjukkan belum nampak kemandirian dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Komunikasi memiliki sub aspek bahasa ekspresif dan reseptif, kegiatan yang berkaitan dengan jumlah, dan kegiatan yang menggunakan kertas dan pensil. Sedangkan sub aspek dari sosialisasi meliputi bermain, adaptasi, dan keterampilan berumah tangga. Kedua aspek ini mengalami hambatan bagi anak dalam perilaku sehari-hari sehingga lebih banyak membutuhkan bimbingan menuju keterampilan potensial.


(47)

Idris Ahmad, 2014

menjadi program tersendiri. Program layanan bimbingan didasarkan pada kurikulum SLB-C 2006, mengacu pada hasil test kecerdasan dari psikolog, dan hasil asesmen guru hingga saat ini masih manual serta belum terarsip dalam koordinasi layanan bimbingan. Sarana dan prasarana untuk keperluan layanan bimbingan keterampilan sosial berbentuk perangkat pengumpul data seperti kuesioner dalam penelitian pendahuluan ini, alat untuk mengungkap kemampuan keterampilan sosial aktual, pedoman pelaksanaan asesmen, dan perangkat untuk melakukan kegiatan evaluasi proses seperti rincian tugas belum tersedia.

3. Rumusan model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C terdiri komponen: rasional, tujuan, target intervensi, asumsi model, langkah-langkah model, pelaksanaan, kompetensi pembimbing, struktur dan intervensi, serta evaluasi.

4. Menghasilkan model bimbingan behavioral yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita di SLB-C.

Hasil penelitian menunjukkan pretest dan posttest terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan hasil uji coba ini maka model bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita layak untuk digunakan sebagai salah satu bentuk strategi penunjang kegiatan pelaksanaan layanan bimbingan pengembangan keterampilan sosial di SLB-C.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan hasil dan simpulan penelitian, saran utama penelitian ini adalah mengimplementasi temuan penelitian tentang bimbingan behavioral untuk mengembangkan keterampilan sosial anak tunagrahita. Saran ditujukan kepada berbagai pihak terkait, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya konselor sekolah, kepala sekolah, guru Kelas dan peneliti selanjutnya. Saran untuk masing-masing pihak dipaparkan berikut ini.


(48)

Idris Ahmad, 2014

memfasilitasi berbagai keperluan dalam upaya tercapainya tujuan pendidikan melalui keterampilan sosial, (b) mewujudkan kelengkapan sarana dan prasarana untuk keperluan layanan bimbingan yang berbentuk perangkat lunak seperti alat pengumpul data, alat untuk mengungkap kemampuan keterampilan sosial aktual, pedoman pelaksanaan dan perangkat asesmen, dan perangkat untuk melakukan kegiatan evaluasi proses seperti rincian tugas, (c) dan kegiatan layanan bimbingan behavior ini lebih teradministrasi sehingga akan lebih bermanfaat bagi sekolah khususnya untuk waktu sekarang dan yang akan datang.

2. Konselor sekolah (pembantu kepala sekolah bidang bimbingan) yang berfungsi membantu kepala sekolah salah satunya layanan bimbingan keterampilan sosial. Disarankan hendaknya lebih fokus terhadap upaya keberhasilan program bimbingan sekolah dan lebih aktif melakukan koordinasi dengan kepala sekolah, antara lain dalam hal: (a) mengupayakan program layanan bimbingan yang efektif di sekolah, (b) membangun interaksi aktif dengan orang tua atau wali murid dengan mengadakan pertemuan secara rutin dan berkala untuk mensosialisasikan dan mengkoordinasilkan program bimbingan dan layanan bimbingan anaknya, dan (c) membangun hubungan keluar baik dengan instansi maupun pakar, dan pada saat tertentu menghadirkan sebagai nara sumber dalam pertemuan dengan orang tua/wali muridterkait bimbingan keterampilan sosial.

3. Guru Kelas sebagai mitra kerja konselor sekolah, disarankan untuk mendukung dan bekerja sama dengan konselor untuk mulai melaksanakan bimbingan behavioral dalam kegiatan belajar mengajar, baik di Kelas maupun di luar Kelas di mana perilaku maladaptif anak dijumpai yang berhubungan dengan masalah keterampilan sosial.

4. Orangtua. Melalui pertemuan orangtua murid secara berkala dan terencana di bawah koordinasi kepala sekolah agar program bimbingan yang telah dicapai di


(1)

116

sekolah ditindaklanjuti di rumah dapat dijadikan salah satu alternatif upaya memandirikan anak. Melalui kegiatan sekolah dan rumah tersebut upaya pencapaian menuju kemandirian anak diharapkan akan lebih cepat terwujud secara efektif.

5. Peneliti selanjutnya. Penelitian ini merupakan salah satu upaya mencari solusi melalui keterampilan sosial agar anak tunagrahita dapat menyesuikan diri dan dapat diterima di masyarakat. Adapun keterampilan sosial merupakan salah satu dari keterbatasan sepuluh perilaku adaptif yang dirumuskan dalam batasan anak tunagrahita, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dilakukan masih dalam setting yang terbatas. Upaya untuk memandirikan anak tunagrahita masih membuka peluang yang lebih luas, baik dari segi wilayah, data, teoritis, model, metodologi maupun analisisnya. Oleh karena itu diharapkan kepada peneliti lainnya yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut hendaknya membuat setting yang lebih luas dari hal-hal yang telah disebutkan terdahulu.


(2)

Amti, E. dan Marjohan.(1991/1992). Bimbingandan Konseling. Jakata: Depdikbud-Ditjen Dikti. Proyek Pemberian Tenaga Kependidikan.

Arias, B., dkk. (2012). Factor Structure of the Construct of Adaptive Behavior in Children with and Without Intellectual Disability. International Journal of Clinical and Health Psychology (2013). No. 13.

Ashman, A., dan Elkins, J. (1994). Educating Children with Special Needs. Prentice Hall of Australia Pty Ltd.

Asrori, M. (2007). Psikologi Pembelajaran (Cetakan pertama). Bandung: Wacana Prima.

Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., dan Hilgard, E. R. (2008). Pengantar psikologi (Edisi kedelapan, Jilid 2. Alih bahasa Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.

Bailey, R. D. (1982). Therapeutic Nursing For The Mentally Handicapped. New York Toronto: Oxford University Press.

Beirne-Smith, M., Ittenbach, R.F., dan Patton, J.R. (2002). Mental Retardation (Sixth Edition). New Jersey Columbus, Ohio:Merrill Prentice Hall Upper Saddle River.

Cartledge, G. dan Milburn, J. F. (1992). Teaching Social Skills to Children & Youth: Innovative Approaches. Edisi kedua. Massachussetts : Allyn and Bacon. Corey, G. (2007). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terjemahan E.

Koswara). Bandung: PT Refika Adititama.

Corey, G. (2008). Theory & Practice of Group Counceling, Australia: Thomson Brooks/Cole.

Cresswell, J.W. (2008). Educational Research, Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative Reasearch. Edisi ketiga. University of Nebraska-Lincoln.


(3)

118

Crites, S., A. dan Dunn, C. (2004). Teaching Social Problem Solving to Individuals with Mental Retardation. Education and Training in Devvelompental Disabilities, 2004, 39 (4), 301-309 © Division on Developmental Disabilities. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (1984). Pedoman Bimbingan Anak Luar

Biasa. Jakarta: Depdikbud.

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Kurikulum Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud.

Dinas Pendidikan Nasional (2006/2007). Rekapitulasi Data Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB Seluruh Indonesia Tahun 2006/2007. Jakarta: Depdiknas. Dirjen Manajemen PDM, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Departemen Pendidikan Nasional (2007). Bimbingan Konseling–Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Dirjen Manajemen PDM, Direktorat Pembinaan SLB.

Dinas Pendidikan (2013/2014). Data dan Informasi Sekolah dan Siswa Sekolah Pendidikan Khusus Tahun 2013/2014. Pemerintah Propinsi Jawa Timur Bidang PK-PLK.

Emecen, D., D. (2011). Comparison of Direct Instruction and Problem Solving Approach in Teaching Social Skills to Children with Mental Retardation. Kuram ve Uygulamada Eğitim Bilimleri, Educational Sciences: Theory & Practice 11(3). Summer. 1414-1420 ©2011 Egitim Danismantigi ve Aristirmalari Iletisim Hizmetleri Tic. Ltd Sti

Gall, M. D., Gall, J. P., dan Borg, W. R. (2003). Educational Research & Development. Boston: Pearson Education, Inc.

Hasan, Iqbal, M. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.

Hurlock, E., B. (1995). Perkembangan Anak (Jilid 1). Alih Bahasa: Tjandrasa & Zarkasih. Jakarta:Erlangga.

Hurlock, E., B. (1978). Assessment, Teaching-Learning Process etc and Decipline [On Line] . Tersedia: www.ncte-india.org/MED (26 Juli 2010)


(4)

Karra, A. (2013). Social Skills of Children with Intellectual Disability Attending Home Based Program and Children Attending Regular Special Schools-A Comparative Study. International Journal of Humanities and Social Science Invention ISSN (Online): 2319–7722, ISSN (Print): 2319–7714 www.ijhssi.org Volume 2 Issue 8 I Agustus 2013I PP.59 – 63

Kartadinata, S. (1998/1999). Bimbingan di Sekolah Dasar. Jakarta: Dirjen Dikti. Kirk, S. A. dan Gallagher, J. J. (1986). Educating Exceptional Children. Boston:

Houghton Mifflin Company.

Kirk, S. A. dan Gallagher, J. J. (1989). Educating Exceptional Children. Boston: Houghton Mifflin Company.

Liando, Y. (2003). Kesesuaian antara Pelaksanaan Bimbingan oleh Guru dengan Harapan Orang Tua. PPs UPI Bandung. tidak diterbitkan (Tesis).

Mahmud, M. (2004). Layanan Bimbingan bagi Anak Tunagrahita di SD. Jurnal Ilmu Pendidikan “Pedagogia”, Vol. 2 No. 1 Tahun 2004. ISSN: 1693-5276. Hal. 33-45.

Moore, D. R. (1982). Childhood Behavior Problems: A Social Learning Perspective dalam Lachenmeyer, J. R. & Gibbs. M. S. Psychopathology in childhood (hal. 211 – 243). USA: Gardner Press, Inc.

Mukminan. (1997). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.

Natawidjaja, R., (1984). Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar Mengajar dihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa Terhadap Bimbingan (Studi Deskriptif Analisis Mengenai Penerapan Bimbingan oleh Guru SPG Negeri di Jawa Barat). Disertasi pada FPS IKIP Bandung, tidak diterbitkan.

Natawidjaja, R. (1987). Pendekatan-pendekatan dalam Penyuluhan Kelompok I. Bandung: CV. Diponegoro.

Payne, J. S., dan Patton, J. R. (1981). Mental Retardation, Charles E. Merrill Publishing Company A Bell & Howell Company.

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 129 ayat (2)


(5)

120

Rusmana, N. (2009). Bimbingandan Konseling Kelompok di Sekolah. Bandung: Rizki Press.

Sadrossadat, L., Moghaddami, A., dan Sadrossadat, S., J. (2010). A Comparison Of Adaptive Behaviors among Mentally Retarded And Normal Individuals: A guide To Prevention And Treatment. International Journal of Preventive Medicine, Vol 1, No 1, Winter. Int J Prev Med 2010, 1(1): 34-38

Snell, M. E., (1983). Systematic Insteruction of the Mederately and Severely Handicapped. Charles E. Merrill Publishing Co. A Bell Howell Company. Soendari, T. (2002). Pemahaman dan Penerapan Konsep-Konsep Dasar Bimbingan

dalam Proses Belajar Mengajar di SLB-C, PPs UPI: tidak diterbitkan (Tesis).

Soendari, T. (2011). Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Pengembangan Perilaku Adaptif Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Dasar. SPs UPI: tidak diterbitkan (Disertasi).

Sugiyono (2006). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta.

Suharsaputra, U. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan (Cetakan Kesatu). Band ung: PT. Refika Aditama.

Sujiono, B. (2008). Hakekeat Perkembangan Motorik Halus Anak Usia Dini. [Online]. Tersedia di:

http://melyloelhablogspot.com/2013/05/hakekat-perkembangan [Diakses 2 September 2014].

Sukmadinata, N. S., (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandug: PT Remaja Rosdakarya

Sunanto, J., Takeuchi, K., dan Nakata, H. (2005). Pengantar Penelitian dengan Subyek Tunggal. Japan: Criced University of Tsukuba.

Surya, M. (2003). Teori-Teori Konseling. Bandung: C. V. Pustaka Bani Quraisy, Jl. Sukanegara No. 7 Antapani 40291

Surya, M. (2008). Mewujudkan Bimbingan Konseling Profesional. Bandung: Jurusan PPB, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indosesia.


(6)

Tekinarslan, İ. Ç., Pinar, E. S., dan Sucuoğlu, B. (2012). Teacher’s and Mother’s Assessment of Social Skills of Students with Mental Retardation, Educational Sciences: Theory & Practice 12(4). Autumn. 2783-2788.2012 Educational Consultancy and Research Center.www.edam.com.tr/estp.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Pasal 32 ayat 1

Willis, S., S. (2004). Konseling Individual. Bandung: Alfabeta

Yusuf, S., dan Nurihsan, A., J. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zimbardo, P., G. (1985). Psychology and Life – Elevent Edition. United States of America: Scott, Foresman and Company All Righ Reserved.