PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC).
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC)
TESIS
Diajukan untuk Memeuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh : Sofwan Hidayat
1308093
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITSS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
(2)
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC)
Oleh :
Sofwan Hidayat, M.Pd
Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) pada Program Studi Pendidikan Matematika
C Sofwan Hidayat 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotocopi atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC)
Oleh : Sofwan Hidayat
1308093
Disetujui dan Disahkan Oleh : Pembimbing
Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D.
Mengetahui:
Ketua Depatemen Program S2/S3 Pendidikan Matematika
(4)
ABSTRACT
SofwanHidayat. (1308093). The Improvement of Students’ Communication Skill and Mathematical Disposition of junior High School Through Learning Model of Deeper Learning Cycle (DELC)
This study aims to assess the improvement of communication skill and
students’ mathematical disposition through learning model of Deeper Learning
Cycle (DELC). The study design used in the study is a quasi-experiment. The population in the study is all students in grade 8 at one junior high school in Bandung district, by taking two classes as the sample using purposive sampling technique of the 10 classes. As for the sample as many as 35 students of experimental class and 35 students of control class. Experimental class deserve the learning by following the model of Deeper Learning Cycle, and control class following the model of expository. The instrument used in the study is pre-test and post-test for students’ communication skill and mathematical disposition. To see
the improvement of students’ communication skill and mathematical disposition
among experimental class and control class, it is used independent sample t-test and Mann Whitney with significance level 0.05, after testing pre-Requisite are met. The result of the study is analyzed using Microsoft Excel 2007, and SPSS 22 version, meanwhile qualitative data analysis is conducted descriptively. The result
of the study shows that the Achievement and the improvement of students’
communication of mathematical skill and the achievement of student’s mathematical disposition that follow the learning model of Deeper Learning Cycle (DELC) is better than control class. There is a moderate association between
students’ achievement of the post-test communication skill and students’ mathematical disposition. Analysis of scale data for students who has Deeper Learning Cycle (DELC) has a positive response.
The key word : learning model of Deeper Learning Cycle (DELC), communication skill and mathematical disposition.
(5)
ABSTRAK
Sofwan Hidayat. (1308093). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa SMP melalui model pembelajaran
Deeper Learning Cycle (DELC). Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung, dengan mengambil dua kelas sebagai sampel menggunakan teknik purposive sampling dari 10 kelas yang tersedia. Adapun sampelnya, yaitu sebanyak 35 siswa kelas eksperimen dan 35 siswa kelas kontrol. Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan mengikuti model
Deeper Learning Cycle (DELC) dan kelas kontrol mengikuti model ekspositori. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretes dan postes untuk kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa. Untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, digunakan independent sample t-test, dan Mann-Whitney dengan taraf signifikansi 0,05, setelah prasyarat pengujian terpenuhi. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 22,sedangkan analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis serta pencapaian disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari kelas kontrol. Terdapat asosiasi yang sedang antara pencapaian postes kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa. Analisis data skala sikap disposisi matematis menunjukkan bahwa secara umum siswa memiliki respon positif dengan mengikuti model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC).
Kata kunci : Model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC), kemampuan komunikasi dan disposisi matematis.
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN... i
ABSTRAK... ii
KATA PENGANTAR... iv
UCAPAN TERIMAKASIH... v
DATAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Definisi Operasional... 1 12 12 13 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA... 15
A. Kemampuan Kominikasi Matematis... B. Disposisi Matematis... C. Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)... D. Model Ekspositori... E. Penelitian yang Relevan... F.Hipotesis Penelitian...
15 21 24 32 33 35
(7)
BAB III METODE PENELITIAN... 36 A. Desain Penelitian... B. Populasi dan Sampel... C.Variabel Penelitian... D. Instrumen Penelitian... 1. Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis... 2. Instrumen Non Tes... E. Prosedur Penelitian... F. Analisis Data...
36 37 37 38 38 46 48 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 63
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Statistik Deskriptif Data Kemampuan Komunikasi Matematis... 2. Disposisi Matematis... B. Pembahasan Hasil Penelitian... 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa... 2. Disposisi Matematis...
63 63 70 90 90 105
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... A. Kesimpulan... B. Saran...
112 112 112
DAFTAR PUSTAKA... 114 LAMPIRAN-LAMPIRAN... 121
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 Tahapan-Tahapan DELC... Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis... Klasifikasi Koefisien validitas... Hasil Uji Validitas soal Kemampuan Komunikasi Matematis... Koefisien Reliabilitas... Klasifikasi Daya Pembeda... Hasil Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi... Kriteria Indeks Kesukaran... Hasil Uji Tingkat Kesukaran... Skor Skala Sikap... Klasifikasi Gain Ternormalisasi... Penafsiran Terhadap Koefisien Korelasi... Analisis Pendapat Siswa... Kategori Disposisi Matematis... Rencana Kerja Penelitian Tahun 2015... Statistik Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis... Hasil Uji Normalitas Data Kemampuan Komunikasi Matematis... Hasil Uji Perbedaan Skor Pretes Kemampuan Komunikasi
Matematis... Hasil Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Komunikasi
Matematis... Hasil Uji Perbedaan Skor N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis... Rangkuman Deskripsi Skor Disposisi Matematis Siswa... Data Hasil Uji Normalitas N-Gain...
DataHasil Uji Homogenitas Varians Nilai N-Gain...
Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor Postes Disposisi...
Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kelas Eksperimen...
Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kelas Kontrol... Rangkuman Rata-Rata Hasil Pengujian Hipotesis Pada Taraf Signifikansi 5%... Hasil Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2... Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2 Kelas Eksperimen... Hasil Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2 Kelas Kontrol... Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2 Kelas Kontrol... Hasil Analisis Pendapat Siswa... Hasil Analisis Persentase Skor Postes Disposisi Tiap Indikator...
10 39 41 41 42 43 44 45 45 47 51 60 62 62 62 64 66 67 68 69 70 72 73 74 75 76 77 79 79 81 81 83 85
(9)
4.19 4.20 4.21
Data Hasil Pengamatan Aktivitas Guru Selama Pembelajaran dengan Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)...... Data Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran
Dengan Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)...
Profil Keadaan Siswa Kelas Esperimen dan Kelas Kontrol... 86 88 110
(10)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
3.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
Prosedur Penelitian... Perbandingan Rata-Rata Skor Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi Matematis... Perbandingan Rata-Rata Nilai N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis...
Perbandingan Rata-Rata Skor Skala Disposisi Matematis
Pretes dan Postes... Persentase Skor Postes Disposisi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol... Grafik Perkembangan Aktivitas Siswa... Siswa Mempresentasikan Hasil Kerja Kelompok 1... Siswa Mempresentasikan Hasil Kerja Kelompok 2... Aktivitas Diskusi Kelompok untuk menyelesaikan LAS 1... Aktivitas Diskusi Kelompok untuk menyelesaikan LAS 2...
50 64 65 71 84 89 102 102 103 103
(11)
DAFTAR LAMPIRAN Halaman LAMPIRAN A A.1 A.2 A.3 A.4 A.5
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... Lembar Aktivitas Siswa... Kisi-kisi dan Soal Tes Kemampuan Komunikasi matematis... Kisi-kisi dan Skala Sikap... Pedoman Observasi Aktivitas Guru dan Siswa...
121 157 189 196 200 LAMPIRAN B B.1 B.2 B.3 B.4 B.5
Data Hasil Uji Coba Soal kemampuan Komunikasi Matematis... Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis... Hasil Uji Reliabilitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis... Daya Pembeda Soal Kemampuan Komunikasi Matematis... Indeks Kesukaran Kemampuan Komunikasi Matematis...
202 204 227 230 232 LAMPIRAN C C.1 C.2 C.3 C.4 C.5 C.6
Data Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen ...
Skala Sikap Disposisi... Data Pengolahan Angket Disposisi Postes Kelas Eksperimen Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis...
Analisis Data Disposisi Matematis... Data Nilai Disposisi Matematis Siswa Setelah Ditransfer Menggunakan MSI... 234 240 256 262 269 279
(12)
LAMPIRAN A
Lampiran A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Lampiran A.2 Lembar Aktivitas Siswa
Lampiran A.3 Kisi-kisi dan Soal Tes Kemampuan Komunikasi matematis Lampiran A.4 Kisi-kisi dan Skala Sikap
(13)
LAMPIRAN B
Lampiran B.1 Data Hasil Uji Coba Soal kemampuan Komunikasi Matematis
Lampiran B.2 Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis
Lampiran B.3 Hasil Uji Reliabilitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis
Lampiran B.4 Daya Pembeda Soal Kemampuan Komunikasi Matematis Lampiran B.5 Indeks Kesukaran Kemampuan Komunikasi Matematis
(14)
LAMPIRAN C
Lampiran C.1 Data Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen
Lampiran C.2 Skala Sikap Disposisi
Lampiran C.3 Data Pengolahan Angket Disposisi Postes Kelas Eksperimen
Lampiran C.4 Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis
Lampiran C.5 Analisis Data Disposisi Matematis
(15)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Inti dari proses pendidikan secara formal adalah proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas. Untuk membentuk siswa yang unggul perlu dilakukan proses pembelajaran yang terus menerus dan berkesinambungan. Upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran perlu dilakukan oleh semua guru agar tercipta suatu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Seorang siswa harus mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang didapat di sekolah untuk membantu mempermudah menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Potensi siswa harus dikembangkan sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Guru akan selalu mengarahkan siswanya dan membantu memecahkan masalahnya. Guru akan menjadikan siswanya sebagai subjek pembelajaran di dalam kelas sehingga proses pembelajaran akan berpusat pada siswa (students oriented) bukan pada guru (teachers oriented).
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang membutuhkan keterampilan yang khusus. Begitu mendengar kata matematika yang terbayang di benak siswa adalah sekumpulan angka-angka yang harus dihitung dengan menggunakan algoritma yang rumit. Memberikan motivasi kepada siswa mutlak harus dilakukan terus menerus agar siswa selalu bersemangat dalam mempelajari matematika
Pelajaran matematika merupakan pelajaran yang dipandang cukup menyulitkan siswa oleh sebab itu perlu adanya kerjasama dari semua kalangan baik guru, siswa, pimpinan sekolah maupun orang tua siswa, semua harus mempunyai pandangan yang sama. Wahyudin (2008), mengatakan bahwa semua pihak yang berkepentingan mesti bekerja sama untuk menciptakan ruang-ruang kelas matematika dimana para siswa dengan latar belakang dan kemampuan yang berlainan bekerja bersama para guru yang terampil, mempelajari gagasan-gagasan matematis dengan lingkungan yang baik.
(16)
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif dan mampu bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk hidup lebih baik pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan sangat kompetitif.
Matematika merupakan pelajaran yang dapat menumbuhkembangkan berbagai kemampuan siswa. Kemampuan siswa untuk menemukan suatu srtuktur, pola, atau konsep matematika pada suatu materi pelajaran dapat meningkatkan kemampuan yang lain. Kemampuan mengkomunikasikan suatu ide atau gagasan dengan baik akan mempengaruhi ketercapaian suatu proses pembelajaran.
Ada berbagai alasan tentang pentingnya penekanan kemampuan komunikasi matematis menurut Mudrikah (2013), antara lain : a) adanya interaksi dengan siswa lain yang menjadikan kesempatan bagi para siswa untuk saling menukarkan dan merefleksikan berbagai gagasan: b) adanya materi tentang mengubah pengukuran untuk beragam statistika dan berbagai jenis contoh geometri.
Kemampuan komunikasi dan disposisi matematis merupakan suatu kemampuan yang cukup esensial pada pembelajaran matematika yang harus dikembangkan pada siswa sekolah menengah. Pentingnya kemampuan komunikasi dan disposisi matematis termuat dalam tujuan pembelajaran matematika.
Tujuan umum pembelajaran matematika dalam Permendiknas No.22 Tahun 2006 agar peserta didik dapat :
1. Mengkomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
2. Memilki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
(17)
3. Memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan), kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki kemauan berbagi rasa dengan orang lain.
Hal yang sama dikemukakan juga oleh Sumarmo (2004), secara garis besar, kemampuan dasar matematika dapat diklasifikasikan dalam lima jenis kemampuan : 1) mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika; 2) menyelesaikan masalah matematik (mathematical problem solving); 3) bernalar matematik (mathematical reasoning); 4) melakukan koneksi matematik (mathematical connection); dan 5) komunikasi matematik (mathemmatical communication).
Banyak siswa yang cerdas tetapi prestasi belajarnya kurang memuaskan. Keadaan sepereti ini harus menjadi perhatian semua kalangan, sehingga diperoleh cara terbaik untuk mengoptimalkan kemampuan siswa. Salah satu cara untuk mencari penyebab kurang optimalnya kemampuan siswa dengan cara melakukan investigasi mengapa perestasi belajar siswanya kurang memuaskan.
Dalam mengajarkan matematika seorang guru perlu memahami taraf perkembangan kognitif anak. Piaget (Solso,Maclin, 2008), mengatakan bahwa perkembangan mental anak menempuh empat tahapan yang berbeda secara kualitatif yaitu 1) periode sensorimotor (sejak kelahiran hingga usia 2 tahun); 2)
periode pra-operasional (usia 2-7 tahun); 3) periode operasional konkret (usia 7-11 tahun); dan 4) periode operasional- formal (masa remaja dan dewasa). Penelitian Piaget mengungkapkan bahwa meski urutan tahap-tahap tersebut tetap, tetapi kecepatan perkembangan anak menempuh tahap-tahap ini ternyata berlainan untuk tiap individu.
Dalam memberikan materi pelajaran proses pembelajaran harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Anak merupakan sebuah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik yang berbeda dimana perlakuannya harus disesuakan dengan karakteristik dan pribadi anak. Guru akan senantiasa memantau
(18)
perkembangan anak dari waktu ke waktu di sekolah sehingga tercipta suatu komunikasi yang baik antara siswa dengan guru. Seorang siswa akan merasa nyaman melakukan proses pembelajaran di dalam kelas apabila seorang guru melakukan komunikasi dan pendekatan yang baik dengan siswa.
Komunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan dalam proses pembelajaran baik itu antara sesama guru, antara sesama siswa atau guru dengan siswa. Guru yang bisa berkomunikasi dengan baik akan menciptakan suasana yang menyenangkan di dalam kelas sehingga peran guru sebagai seorang fasilitator benar-benar dapat diwujudkan. Proses komunikasi membantu membangun kebermaknaan pada pembelajaran. Ketika siswa ditantang untuk mengkomunkasikan hasil pikiran secara lisan atau tulisan, pada dasarnya mereka sedang belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan mengenai konsep matematika.
Komunikasi matematis merupakan suatu kemampuan yang harus digali oleh guru agar siswa mampu memberikan suatu informasi yang padat, singkat dan akurat melalui nilai-nilai yang dibahasakan. Matematika merupakan suatu ilmu yang banyak diterapkan dalam bidang ilmu yang lain, oleh sebab itu siswa perlu dihadapkan pada berbagai situasi nyata untuk memberikan kesempatan mengkomunikasikan gagasannya.
Menurut Greenes dan Schulman (1996), bahwa komunikasi matematis itu penting untuk dikembangkan, karena komunikasi matematis itu merupakan : 1) kekuatan yang sentral bagi siswa dalam merumuskan suatu konsep dan strategi matematik, 2) merupakan modal keberhasilan bagi siswa terhadap penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik; 3) tempat bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk mendapatkan informasi, berbagi pikiran dan meyakinkan orang lain.
Kemampuan komunikasi matematis merupakan suatu syarat yang harus dimiliki oleh para siswa. Hal ini menjadikan siswa mengalami kesulitan dalam memahami bahasa matematika. Siswa tidak bisa membuat model matematika yang tersaji dalam berbagai permasalahan matematika. Biasanya siswa sangat takut dengan soal yang berhubungan dengan pemecahan masalah, karena siswa
(19)
kurang memahami untuk melakukan pemodelan dalam memecahkan masalah matematika.
Betapa pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika seperti dipaparkan oleh Qohar (2013), bahwa pada dasarnya matematika merupakan bahasa simbol yang penting yang seharusnya dipelajari oleh setiap sekolah. Siwa yang belajar matematika harus mempunyai kemampuan komunikasi dengan menggunakan simbol matematika.
Kemampuan komunikasi matematis siswa harus lebih ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Rohmat (2014), tentang kemampuan komunikasi matematis siswa dikemukakan bahwa dengan ketuntasan belajar 70% maka untuk kualifikasi sekolah dengan akreditasi sangat baik, pada kelas eksperimen 17 orang (46%) dinyatakan tuntas dan sisanya 20 orang (54%) tidak tuntas sedangkan pada kelas kontrol semua siswa (100%) tidak tuntas. Nilai siswa yang sangat kurang terdapat pada indikator menjelaskan persoalan dengan bahasa sendiri dimana dari skor maksimal 4 hanya 4 orang (11%) siswa yang mendapat skor lebih dari 2 dan sisanya 33 (89%) skornya di bawah 2. Selanjutnya dalam penelitian Haryanto (2013) tentang kemampuan komunikasi matematis untuk indikator menyatakan situasi dengan gambar atau grafik dan menggunakan informasi dari gambar untuk menyelesaikan masalah sebanyak 8 orang (40%) belum tuntas dan 12 orang (60%) tuntas. Indikator yang masih belum maksimal adalah mengubah soal cerita kedalam model matematika. Dengan melihat penelitian yang dilakukan oleh Rohmat dan Haryanto bahwa terdapat indikator-indikator dimana siswa belum mampu untuk menyelesaikannya oleh sebab itu maka penelitian yang akan dilakukan difokuskan kepada indikator dimana siswa belum mampu memahaminya dengan baik.
Disamping kemampuan komunikasi matematika yang harus dimiliki siswa, peran seorang guru sangat menentukan bagi tercapainya hasil pembelajaran, hal ini sesuai dengan pendapat Anne (2009), bahwa sikap guru terhadap murid adalah faktor utama untuk mencapai keberhasilan. Guru harus meyakinkan siswa bahwa keberhasilan merupakan sesuatu yang mungkin. Ketika murid yakin bahwa mereka akan berhasil, mereka akan berupaya dan belajar. Tapi bila mereka tidak
(20)
yakin bahwa keberhasilan itu mungkin, maka tidak peduli seberapa cerdasnya murid atau seberapa mudahnya bahan ajaran, murid-murid tidak akan berupaya. Kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan. Kebiasaan-kebiasaan positif yang dilakukan secara konsisten berpotensi dapat membentuk kemampuan-kemampuan positif.
Belajar matematika tidak hanya mengembangkan ranah kognitif. Untuk menyelesaikan masalah matematika diperlukan keuletan, rasa percaya diri, tidak mudah menyerah, rasa ingin tahu yang tinggi dan bisa berbagi pendapat dengan orang lain. Dalam matematika hal tersebut dinamakan disposisi matematis.
Disposisi matematis merupakan kelanjutan dari kemandirian belajar, karena berawal dari kemandirian belajar terbentuklah kecenderungan kuat untuk belajar yang diistilahkan dengan disposisi (Sumarno,2011). Disposisi matematis juga merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil belajar dan kemampuan yang dimiliki siswa dalam matematika. Alghadari (2013), mengatakan bahwa disposisi matematis berkaitan dengan sikap siswa dalam belajar matematika dan menyelesaikan masalah. Disposisi ditujukan kepada kebiasaan siswa untuk bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah.
Untuk mengetahui disposisi matematis siswa menurut Mudrikah (2013), seorang guru harus memfokuskan perhatian pada performa siswa ketika berada pada kondisi menantang yang menuntut penalaran, pemahaman secara mendalam, ketekunan, kreativitas, dan keahlian untuk memecahkan suatu permasalahan yang kompleks. Hal yang menarik perhatian ketika kita melihat bahwa bukan seberapa banyak siswa mengetahui jawaban yang benar tetapi usaha apa yang harus dilakukan apabila mereka tidak mengetahui jawaban dari permasalahan. Dalam hal ini kemampuan untuk memecahkan suatu permasalahan menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan.
Dalam disertasinya Permana (2010), mengemukakan bahwa disposisi matematis merupakan salah satu faktor yang ikut dipandang menentukan keberhasilan belajar siswa. Siswa memerlukan disposisi yang akan menjadikan mereka gigih menghadapi masalah yang lebih menantang, untuk bertanggung
(21)
jawab terhadap belajar mereka sendiri, dan untuk mengembangkan kebiasaan matematika.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2014), pada indikator rasa percaya diri dan tekun mengerjakan tugas matematika hanya 19 orang (50%) yang menunjukkan disposisi yang positif sedangkan sisanya 19 orang (50%) menunjukkan disposisi yang negatif. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Sugilar (2012), diperoleh data untuk indikator merefleksikan hasil kerja dengan pikirannya sendiri dan berusaha mengaplikasikan matematika pada situasi lain terdapat 11 orang (31%) yang menunjukkan disposisi negatif sedangkan 24 orang (69%) menunjukkan disposisi positif. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang harus dicari penyelesaiannya karena kemampuan disposisi matematis yang baik akan menciptakan suasana yang gembira, menyenangkan dan penuh suka cita dalam proses pembelajarannya. Dengan melihat hasil penelitian tersebut maka untuk penelitian yang dilakukan akan difokuskan kepada indikator yang pencapaiannya masih kurang.
Dengan melihat hasil penelitian tersebut maka untuk penelitian yang dilakukan akan difokuskan kepada indikator yang masih belum dikuasai oleh siswa. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang harus dicari penyelesaiannya karena kemampuan disposisi matematis yang baik akan menciptakan suasana yang gembira, menyenangkan dan penuh suka cita dalam proses pembelajarannya. Maxwell (2001), mengatakan bahwa disposisi dapat dikembangkan kepada siswa dengan memberikan pengalaman belajar matematika yang kaya dan bermanfaat. Apabila guru menikmati proses pembelajaran hal ini akan menumbuhkan disposisi belajar yang positif terhadap pembelajaran matematika karena disposisi erat kaitannya dengan kepercayaan, sikap dan nilai-nilai.
Menurut NCTM (1989), disposisi matematik adalah 1) percaya diri dalam menggunakan matematika untuk memecahkan masalah, mengkomunikasikan ide-ide, dan gagasan; 2) fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematik dan mencari alternatif dalam pemecahan masalah; 3) tekun dalam mengerjakan tugas matematika; 4) mempunyai rasa ingin tahu; 5) merefleksikan cara berfikir; 6)
(22)
menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari; 7) mengapresiasi matematika.
Komponen-komponen disposisi matematis di atas termuat dalam kompetensi ranah afektif. Kompetensi dasar ranah afektif dalam kurikulum 2013 adalah : 1) menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten, dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah; 2) memiliki rasa ingin tahu, percaya diri dan ketertarikan pada matematika serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar; 3) memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari.
Siswa kurang percaya diri dalam mengemukakan gagasan atau pendapat. Rasa takut dan malu apabila pendapatnya dibantah orang menjadikan seorang siswa tidak kreatif. Rasa senang dan kecintaan terhadap pelajaran matematika dengan sendirinya akan hilang. Apabila pandangan siswa kurang baik terhadap matematika tentu saja akan menurunkan gairah belajar sehingga proses pembelajaran berlangsung kurang maksimal.
Agar proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas berjalan sesuai dengan harapan maka peranan guru cukup menentukan. Menurut Anne (2009), guru terbagi dalam tiga rasa dasar yaitu super, excellent, dan good . Guru yang
super membutuhkan energi fisik, emosi dan mental yang tinggi. Dia datang paling awal dan pulang paling akhir dan mencurahkan seluruh kehidupannya untuk murid-muridnya. Guru excellent menikmati pekerjaan mereka, tetapi membatasi jumlah waktu dan energi yang mereka baktikan untuk mengajar. Mereka melakukan yang terbaik bagi siswa tetapi tidak mengorbankan kebutuhan keluarga mereka. Guru yang good mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik, tetapi memahami batasan mereka sendiri. Mereka membuat batasan yang sangat jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi.
Kita tidak harus menjadi guru yang super tetapi menjadi guru yang
excellent dan good sudah cukup karena mengajar yang buruk tidak akan pernah diterima. Disamping memperhatikan kondisi siswa kita juga harus memperhatikan
(23)
kepentingan diri kita sendiri. Dengan begitu akan ada keseimbangan antara dunia kerja dengan keluarga, karena melakukan proses pembelajaran akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun sehingga energi yang kita gunakan perlu dipelihara untuk waktu yang cukup lama. Dikhawatirkan kalau menjadi guru yang super energi kita akan habis dalam waktu yang cukup singkat.
Seorang guru harus mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap siswanya. Rasa humor, sikap peduli, dan kasih sayang yang tulus akan membangkitkan semangat yang tulus dari siswa. Anak-anak saat ini menghadapi tekanan yang sangat tinggi yang mencakup emosi, mental dan fisik yang sangat mempengaruhi proses pembelajaran sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir mereka oleh sebab itu guru harus juga menjadi tempat untuk melakukan konseling.
Menurut Jensen (2008), ekspresi wajah yang mengundang bagi siswa adalah wajah yang terbuka yang menunjukkan kegembiraan dan keterbukaan terhadap komentar dan pertanyaan pertanyaan siswa. Senyum juga dapat membantu siswa lebih menikmati pembelajaran. Seorang guru harus meninggalkan kesan yang cukup dalam kepada siswa dalam setiap proses pembelajaran. Setiap proses pembelajaran harus dilakukan berulang sehingga siswa menjadi familiar dengan model, soal-soal dan aturan yang diberikan. Pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus membuat siswa belajar lebih dalam. Model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok digunakan untuk membuat siswa belajar dengan nyaman.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas maka untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa SMP dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) yaitu suatu proses pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar lebih dalam dimana proses pembelajaran ini memadukan antara aspek kognitif yang dimiliki siswa dengan kemampuan afektifnya. Proses pembelajaran dimulai dengan prapenilaian yaitu siswa harus menguasai materi prasyarat. Bukti bahwa siswa menguasai materi prasyarat siswa dapat mengerjakan soal-soal yang dibuat
(24)
sebelum proses pembelajaran dimulai. Ada tujuh tahapan yang dilalui dalam pembelajaran ini yaitu :
Tabel 1.1
Tahapan-Tahapan DELC
Fase-fase Perilaku guru Perilaku siswa Fase 1
Merencanakan program pengajaran
Menyiapkan RPP
Mengidentifikasi konsep, keterampilan yang saling berkorelasi antar materi Mempersiapkan soal prates Fase 2
Prapenilaian
Merangkum materi prasyarat
Mengenali pengetahuan latar belakang siswa pada unit pelajaran yang diajarkan
Melakukan prapembelajaran
Menghubungkan materi sebelumnya dengan materi yang baru
Mengerjakan soal prates Memberikan saran terhadap
proses pembelajaran yang akan ditempuh
Fase 3 Membangun budaya belajar yang positif
Menciptakan susana yang nyaman
Memberikan motivasi Memahami karakter siswa Membuat relasi yang positif
antar siswa dengan guru, siswa dengan siswa
Mengorganisasikan diri dalam kelompok
Memberikan saran dalam pembentukan kelompok Membangun kelompok tim Fase 4
Priming
(menggali) dan mengaktivasikan pengetahuan sebelumnya
Memaparkan konsep pembelajaran
Mengaktivasikan
pengetahuan sebelumnya Mengamati materi
pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan
Fase 5 Memperoleh pengetahuan baru
Melakukan pembelajaran yang padat kilat tentang konsep yang bermutu
Melakukan pembelajaran dalam kelompok
Menganalisis suatu masalah
Fase 6 Pengolahan
Melakukan bimbingan secara menyeluruh
Terlibat aktif dalam proses pembelajaran
Menentukan pola umum pemecahan masalah
Membuat kesimpulan Presentasi tiap kelompok Fase 7
Mengevaluasi pembelajaran siswa
Memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa
Mengikuti kegiatan evaluasi
(25)
Kemampuan komunikasi dan disposisi matematis sangat penting dimiliki oleh siswa hal ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan sesuai dengan standar isi bahwa siswa diharapkan untuk mempunyai kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Selain itu siswa diharapkan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram dan media lain.
Landasan filosofi pembelajaran matematika menurut Turmudi (2009), bahwa lebih dari 2000 tahun matematika didominasi oleh paradigma absolut yang memandang matematika sebagai sesuatu ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang objektif. Guru senantiasa menjadi pusat perhatian siswa karena ia harus mendemonstrasikan matematika yang sudah siap saji dan dipandang sebagai suatu ilmu yang ketat. Siwa diharapkan mampu menirukan prilaku guru terhadap matematika yang diberikan. Disisi lain terdapat pandangan dalam pembelajaran matematika bahwa siswa sebagai subjek yang melakukan proses pembelajaran. Bagaimana mula-mula siswa memahami bahan yang disajikan guru, pengetahuan awal (pre-knowledge) apa yang dimiliki siswa untuk mengikuti proses pembelajaran berikutnya. Guru bertindak sebagai moderator sampai siswa mencapai kepada strategi formal yang disarankan dalam matematika.
Pandangan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran telah menggeser paham bahwa matematika sebagai kumpulan konsep dan keterampilan ke suatu cara sedemikian sehingga perolehan matematika hendaknya diorganisir, keterlibatan siswa lebih aktif dalam belajar. Pergeseran dari closed ke open menghendaki agar pembelajaran yang didomonasi guru diusahakan agar siswa diberi kesempatan secara terbuka.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui “ Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)”.
Model pembelajaran ini sesuai dengan pandangan bahwa pembelajaran matematika harus lebih terpusat pada siswa yang merupakan subjek pembelajaran.
(26)
Siswa dituntut untuk mengetahui pengetahuan awal dan membangun pondasi yang kuat untuk mengikuti materi berikutnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Turmudi pada 2003 bahwa dengan penemberian kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan gagasan, ternyata memunculkan gagasan-gagasan emas yang menunjukkan bahwa siswa sebenarnya mempunyai potensi untuk menjadi penemu asalkan diberikan kesempatan untuk menemukan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dan penelitian ini dirumuskan dan dibatasi sebagai berikut :
1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori ?
2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori ?
3. Apakah pencapaian disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori ?
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model
Deeper Learning Cycle (DELC) dan model pembelajaran ekspositori?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
1. Kemampuan komunikasi siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori.
(27)
2. Peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori.
3. Pencapaian disposisi matematika siswa yang mengikuti model pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori.
4. Asosiasi antara pencapaian kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan model pembelajaran ekspositori
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang berarti bagi kemajuan pendidikan matematika secara umum dan secara khusus yaitu :
1. Bagi siswa, memberikan pengalaman baru melalui pembelajaran yang lebih bervariasi sehingga memungkinkan dapat mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran matematika sehingga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis.
2. Bagi guru atau pengajar, pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dapat dijadikan suatu alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan peningkatan komunikasi dan disposisi matematik siswa.
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC).
E. DEFINISI OPERASIONAL
Adapun definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut :
1. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa untuk menyatakan ide atau gagasan yang diketahuinya. Kemampuan tersebut meliputi : 1) menyatakan suatu situasi atau ide-ide matematik ke dalam bentuk
(28)
gambar, diagram atau grafik; 2) mengungkapkan kembali suatu konsep matematika ke dalam bahasa sendiri; 3) menyatakan situasi atau ide-ide matematis ke dalam model matematika; 4) untuk menganalisa dan mengevaluasi pemikiran matematika ke dalam suatu strategi yang khusus; 5) menganalisis, mengevaluasi, dan mengajukan pertanyaan terhadap suatu informasi yang diberikan.
2. Disposisi matematis adalah sikap siswa untuk mampu memecahkan masalah dan berusaha untuk memecahkan masalah itu dengan percaya diri, ulet dan pantang menyerah. Sikap tersebut meliputi : 1) rasa percaya diri dalam menggunakan matematika; 2) fleksibel dalam menyelidiki gagasan matematika; 3) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; 4) tekun mengerjakan tugas matematika; 5) antusias dalam belajar matematika; 6) gigih dalam menghadapi permasalahan; 7) mau berbagi dengan orang lain; 8) berpikir positif, reflektif dalam kegiatan matematika.
3. Model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) adalah proses pembelajaran yang mengaitkan antara aspek kognitif dan pengalaman yang telah dimiliki siswa diawali melakukan prapenilaian, menghubungkan suatu konsep dengan konsep lainnya, menganalisis suatu masalah, menentukan pola umum pemecahan masalah, membuat kesimpulan berdasarkan fakta yang ada. 4. Pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang hampir sama
dengan ceramah dimana pusat kegiatan lebih terpusat kepada guru sebagai pemberi informasi (bahan ajar), tetapi pada pembelajaran ekspositori dominasi guru banyak berkurang.
5. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis dalam penelitian adalah peningkatan kemampuan komunikasi matematis yang ditinjau berdasarkan gain ternormalkan dari perolehan skor pretes dan postes siswa. Rumus gain ternormaisasai yang digunakan adalah :
Gain ternormalisasi (g) =
6. Pencapaian disposisi matematis adalah pencapaian disposisi yang ditinjau dari pencapaian postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diuiji dengan uji perbedaan rata-rata nilai postes disposisi matematis
(29)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematika metoda penelitian yang digunakan adalah metoda kuasi eksperimen. Menurut Creswell (2009), dalam metoda quasi-eksperiment, peneliti menggunakan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, namun tidak secara acak memasukkan (nonrandom assigment) para partisipan ke dalam dua kelompok tersebut. Menggunakan kuasi eksperimen dengan pertimbangan bahwa kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya sehingga dalam penentuan kelas kontrol dan kelas eksperiman tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak.
Penelitian yang akan dilakukan berupa penelitian eksperimen karena akan memberikan perlakuan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sampel yang akan digunakan terdiri dari dua kelompok yang setara. Kedua kelompok akan diberi perlakuan yang berbeda. Kelompok eksperimen akan diberi perlakuan dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle (DELC) sedangkan kelompok kontrol akan diberikan pembelajaran ekspositori.
Menurut Ruseffendi (2005) desain rencana penelitian untuk eksperimen ini adalah disain kelompok kontrol pretes-postes yang diilustrasikan sebagai berikut :
O X O
---
O O
Keterangan :
O = Pretest dan postes pada kemampuan komunikasi dan disposisi matematis X : Pembelajaran model Deeper Learning Cycle (DELC)
(30)
Variabel-variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas, variabel terikat. Variabel bebasnya adalah model Deeper Learning Cycle (DELC), variabel terikat adalah kemampuan komunikasi dan disposisi matematis.
Pada desain ini setiap kelompok diberi tes awal (O) kemudian setelah diberi perlakuan diadakan tes akhir untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematika siswa sebelum dan sesudah dilakukan proses pembelajaran.
B. POPULASI DAN SAMPEL
Dalam setiap penelitian ilmiah selalu berhadapan dengan sumber data yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. Untuk menentukan sumber data ini diperlukan pertimbangan agar data yang diperoleh relefan dengan masalah yang diteliti.
Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII yang berada di SMP Negeri 1 Ciparay pada semester II, karena pokok bahasan penelitian yang akan dilakukan untuk meneliti peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa melalui model pembelajaran Deeper Learning Cycle adalah pokok bahasan lingkaran yang terdapat di kelas VIII semester II.
Penentuan sampel untuk penelitian ini tidak dilakukan secara acak murni oleh karena itu sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Kemampuan siswa yang akan diteliti pada kelas eksperimen relatif sama karena pada proses pembagian kelas sebelumnya tidak ada kelas unggulan. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa SMP melalui model pembelajaran Deeper learning Cycle (DELC).
C. VARIABEL PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan meliputi dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain sedangkan variabel terikat adalah variabel yang memperoleh pengaruh dari variabel bebas. Pembelajaran matematika dengan menggunakan
(31)
model Deeper Learning Cycle (DELC) sebagai variabel bebas sedangkan peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi merupakan variabel terikat.
D. INSTRUMEN PENELITIAN
1. Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan komunikasi siswa sebelum diberi perlakuan. Tes yang digunakan berbentuk soal uraian yang berisi lima buah soal.Dalam penyusunan tes awal dimulai dengan penyusunan kisi-kisi yang memuat kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, aspek yang akan diukur serta pedoman penilaiannya. Setelah menyusun kisi-kisi dilanjutkan dengan menyusun soal serta membuat kunci jawaban dan pemberian skor untuk masing-masing jawaban.
Bahan tes yang akan digunakan dalam penelitian ini diambil dari materi pelajaran Matematika SMP kelas VIII semester genap kurikulum 2006 mengenai pokok bahasan lingkaran. Tes yang akan digunakan berbentuk soal uraian. Dalam penyusunan soal tes memperhatikan standar kompetensi aspek komunikasi matematis dalam materi lingkaran.
Sebelum soal diujicobakan terlebih dahulu, peneliti meminta saran dan pertimbangan dari guru matematika SMP lulusan sarjana pendidikan matematika S1 dan S2, dosen matematika lulusan pendidikan matematika S3 dan dosen pembimbing untuk memberikan penilaian terhadap soal tes tersebut. Kriteria pemberian skor untuk soal komunikasi matematis siswa berpedoman pada
Holostic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Lane, Jakabcsin dan Cai (1996) yang kemudian diadaptasi. Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel berikut :
(32)
Tabel 3.1
Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis
Agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan diperlukan alat ukur yang baik yang memenuhi kaidah penulisan soal. Untuk mendapatkan instrumen yang baik tentu diperlukan alat evaluasi yang baik pula. Alat evaluasi yang baik dapat ditinjau dari validitas, reliabilitas, obyektivitas, derajat kesukaran dan daya pembeda. Alat ukur tersebut kemudian dikonsultasikan dahulu dengan dosen pembimbing kemudian diujicobakan terlebih dahulu kepada siswa yang telah memperoleh materi tersebut kemudian dilakukan analisis sampai mendapatkan hasil yang paling baik.
Tes akhir yang akan digunakan adalah tes uraian hal ini dilakukan untuk memperoleh data tentang kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa yang diberikan perlakuan. Tes ini mengacu kepada materi-materi yang diberikan selama proses pembelajaran dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle
(DELC).
a. Analisis validitas butir soal
Suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Menurut Suherman dan Sukjaya (1990), suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi, sedangkan menurut Ruseffendi (2005), suatu instrumen dikatakan valid bila untuk maksud dan kelompok tertentu,
Respon Siswa Terhadap Soal Skor Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan 0 Hanya sedikit jawaban yang benar dari penjelasan konsep, ide atau
persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik matematik masuk akal dan melukiskan gambar
1 Hanya sebagian aspek yang dijawab benar dari penerapan konsep, ide
atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dari kata-kata sendiri dalam penulisan kalimat secara matematis masuk akal dan melikiskan gambar.
2 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan
dalam menyelesaikan soal hampir semua aspek dijawab dengan benar tetapi kurang lengkap.
3 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan
(33)
instrumen itu mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian soal tes sebelum diujicobakan kepada siswa yang sedang diberikan perlakuan hendaknya soal tes ini diujicobakan terlebih dahulu agar mampu mengevaluasi sesuai dengan fungsinya.
Untuk mengukur validitas hasil belajar menggunakan teknik korelasi (produk moment) dari Pearson, Ruseffendi (2005). Rumus ini dapat digunakan untuk menghitung validitas butir soal. Rumus validitas butir soal adalah :
rxy = ∑ ∑ ∑
√ ∑ (∑ ) ∑ ∑ Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y = nilai rata-rata soal–soal tes pertama perorangan = jumlah nila-nilai X
= jumlah kuadrat nilai-nilai X
= nilai rata-rata soal-soal tes kedua perorangan = jumlah nilai-nilai Y
= jumlah kuadrat nilai-nilai Y
= perkalian nilai-nilai X dan Y perorangan = jumlah perkalian nilai X dan Y
= banyaknya pasangan nilai
Selanjutnya, untuk mengetahui apakah butir soal itu valid atau tidak, maka digunakan uji-t, rumusnya adalah :
T = √
√
Keterangan :
t : Daya pembeda dari uji-t n : Jumlah subjek
(34)
Setelah koefisien korelasi diketahui selanjutnya nilai ini diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien validitas dari Guilford dalam Suherman dan Sukjaya (1990:147) sebagai berikut :
Tabel 3.2
Klasifikasi Koefisien Validitas Koefisien validitas keterangan
0,80 < rxy ≤ 1,00 Validitas sangat tinggi 0,60 < rxy ≤ 0,80 Validitas tinggi 0,40 < rxy ≤ 0,60 Validitas sedang 0,20 < rxy ≤ 0,40 Validitas rendah
.rxy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis Nomor
Soal Koefisien rxy rtab Kriteria thit ttab Kriteria
1a 0,689
0,304
Valid 6,014
2,021
Valid
1b 0,576 Valid 5,425 Valid
1c 0,642 Valid 5,295 Valid
2a 0,371 Valid 2,572 Valid
2b 0,768 Valid 7,586 Valid
2c 0,648 Valid 5,381 Valid
3a 0,611 Valid 4,881 Valid
3b 0,601 Valid 4,755 Valid
4 0,797 Valid 8,377 Valid
5a 0,741 Valid 7,003 Valid
5b 0,777 Valid 7,809 Valid
Dari tabel 3.3 terlihat bahwa semua soal yang diujikan mempunyai validitas tinggi yaitu soal nomor 1a, nomor 1c, nomor 2b, nomor 2c, nomor 3a, nomor 3b, nomor 4, nomor 5a dan nomor 5b. Soal yang mempunyai validitas sedang yaitu soal nomor 1b, dan soal yang mempunyai validitas rendah yaitu soal nomor 2a. Seluruh instrumen digunakan dalam penelitian ini termasuk yang validitasnya rendah.
(35)
b. Analisis Reliabilitas
Menurut Suherman dan Sukjaya (1990), suatu alat evaluasi disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subyek yang sama sedangkan menurut Ruseffendi (2011), reliabilitas instrumen atau alat evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi. Reliabilitas soal merupakan tingkat keajegan suatu soal.
Rumus yang digunakan adalah :
∑
Keterangan :
= reliabilitas instrumen
= banyak butir soal
Σ = jumlah varians butir soal = varians soal
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba didasarkan pada klasifikasi Guilford menurut Suherman (2003) adalah sebagai berikut :
Tabel 3.4 Koefisien Reliabilitas
Koefisien reliabilitas Keterangan 0,00 ≤ r < 0,20 kecil 0,20 ≤ r < 0,40 rendah 0,40 ≤ r < 0,70 sedang 0,70 ≤ r < 0,90 Tinggi 0,90 ≤ r < 1,00 sangat tinggi
Hasil perhitungan reliabilitas r11 kemampuan komunikasi matematis hasil uji coba soal diperoleh sebesar 0,91, dengan interpretasi bahwa soal tes kemampuan komunikasi matematis tersebut secara keseluruhan memiliki derajat reliabilitas sangat tinggi.
(36)
c. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda butir soal suatu tes adalah kemampuan butir soal untuk membedakan atau memisahkan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Sebuah soal dianggap baik apabila siswa yang pandai mampu mengerjakan soal dengan baik sedangkan siswa yang berkemampuan rendah tidak mampu menyelesaikan soal dengan baik. Daya pembeda dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok atas yang terdiri dari siwa pandai dan kelompok bawah yang terdiri dari siswa kurang pandai. Hasil analisis daya pembeda digunakan untuk membedakan siswa yang termasuk kedalam kategori yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah.
Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda menurut Suherman dan Sukjaya (1990) adalah :
DP =
atau DP =
Keterangan :
= jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar = jumlah kelompok bawah yang menjawab benar = jumlah siswa kelompok atas
= jumlah siswa kelompok bawah
Kriteria yang digunakan menurut Suherman (2003) hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasikan dengan klasifikasi sebagai berikut :
Tabel 3.5
Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda Daya Pembeda Kriteria
0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,00 < DP ≤ 0,20 Kurang/jelek DP ≤ 0,00 Sangat jelek
(37)
Adapun hasil analisis daya pembeda instrumen kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 3.6
Hasil Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi No Soal Daya Pembeda Interpretasi
1a 0,341 Cukup
1b 0,341 Cukup
1c 0,455 Baik
2a 0,341 Cukup
2b 0,568 Baik
2c 0,455 Baik
3a 0,591 Baik
3b 0,477 Baik
4 0,523 Baik
5a 0,636 Baik
5b 0,705 Sangat Baik
Dari tabel 3.6 dapat dilihat bahwa daya pembeda setiap butir soal memiliki kriteria cukup, baik dan sangat baik. Daya pembeda butir soal nomor 1a, nomor 1b, dan nomor 2a daya pembeda butir soal berada pada kategori cukup. Soal nomor1c, nomor 2b, nomor 2c, nomor 3a, nomor 3b, nomor 4 dan soal nomor 5a daya pembeda butir soalnya berada pada kategori baik, sedangkan soal nomor 5b daya pembeda butir soal berada pada kategori sangan baik.
d. Analisis Tingkat Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang memuat kriteria mudah, sedang dan sukar. Apabila soal tersebut diujicobakan kepada siswa maka hasilnya akan berdistribusi normal. Derajat kesukaran suatu soal disebut indeks kesukaran (difficulty index). Bilangan tersebut berada pada bilangan real pada interval 0,00 sampai 1,00. Derajat kesukaran dapat dicari dengan menggunakan rumus
DK =
= = 27 % dari jumlah subyek populasi
(38)
= jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar = jumlah siswa kelompok atas
= jumlah siswa kelompok bawah
Menurut Suherman (2003) hasil perhitungan tingkat kesukaran butir soal diinterpretasikan dengan menggunakan indeks kesukaran. Kriteria IK yang digunakan untuk menentukan mudah sukarnya suatu butir soal adalah sebagai berikut :
Tabel 3.7
Kriteria Indeks Kesukaran
Hasil perhitungan uji tingkat kesukaran data hasil uji coba disajikan sebagai berikut :
Tabel 3.8
Hasil Uji Tingkat Kesukaran Kemampuan Komunikasi No Soal Indeks
Kesukaran
Interpretasi
1a 0,642 Sedang
1b 0,739 Mudah
1c 0,636 Sedang
2a 0,398 Sedang
2b 0,307 Sedang
2c 0,296 Sukar
3a 0,568 Sedang
3b 0,488 Sedang
4 0,523 Sedang
5a 0,409 Sedang
5b 0,375 Sedang
Dari tabel 3.8 indeks kesukaran dari setiap butir soal tergolong kedalam kategori mudah, sedang dan sukar. Soal nomor1b, berada dalam kategori mudah. Soal nomor1a, nomor 1c, nomor 2a, nomor 2b, nomor 3a, nomor 3b, nomor 4, nomor 5a dan nomor 5b berada dalam kategori sedang dan soal nomor 2c berada
Derajat Kesukaran Keterangan 0,70 < DK ≤ 1,00 mudah 0,30 < DK ≤ 0,70 sedang 0,00 ≤ DK ≤ 0,30 sukar
(39)
dalam kategori sukar. Seluruh soal bisa digunakan untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi matematis siswa.
2. Instrumen Non Tes
a. Angket Disposisi Matematis
Angket skala sikap disposisi matematis diberikan kepada siswa kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol sebelum dan sesudah proses pembelajaran dilaksanakan. Pemberian angket skala sikap bertujuan untuk mengetahui peningkatan disposisi matematis siswa terhadap penerapan pembelajaran dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle (DELC) pada kelompok eksperimen dan peningkatan disposisi matematis siswa dengan menggunakan model ekspositori pada kelompok kontrol.
Skala yang digunakan untuk menggambarkan disposisi matematis tersebut adalah dengan menggunakan skala Likert yang sudah dimodifikasi seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2014), bahwa skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam skala Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan dalam bentuk variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang berupa pernyataan atau pertanyaan. Skala disposisi matematis terdiri dari 30 butir pernyataan yang harus direspon oleh siswa untuk mengetahui disposisi matematis siswa. Derajat penilaian terhadap suatu pernyataan dibagi kedalam 4 kategori, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Pemberian nilai dibedakan antara pernyataan yang bersifat positif dan pernyataan yang bersifat negatif. Untuk pernyataan positif pemberian skornya adalah SS (sangat setuju) diberi skor 4, S (setuju) diberi skor 3, TS (tidak setuju) diberi skor 2, dan STS (sangat tidak setuju) diberi skor 1. Untuk pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS (sangat setuju) diberi skor 1, S (setuju) diberi skor 2, TS (tidak setuju) diberi skor 3, dan STS (sangat tidak setuju) diberi skor 4. Menurut Sugiyono (2014), jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif yang dapat berupa kata-kata, lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut :
(40)
Tabel 3.9 Skor Skala Sikap
Pernyataan Positif Negatif SS (sangat setuju) 4 1
S (setuju) 3 2
TS (tidak setuju) 2 3 STS (sangat tidak setuju) 1 4
Untuk melakukan analisis terhadap respon siswa pada angket skala sikap ini digunakan dua jenis skor respon yang dibandingkan yaitu, skor respon siswa per aspek (item) soal yang diberikan melalui skala sikap. Jika skor aspek yang dinilai lebih besar dari skor netral maka subjek atau siswa tersebut mempunyai sikap positif. Sedangkan kalau skor aspek yang dinilai lebih kecil dari skor netral maka subjek atau siswa mempunyai sikap negatif.
Contoh pernyataan : No Indikator
yang diukur Pernyataan
No Item
Jenis Pernyataan A Kepecayaan
diri
1. Saya mempunyai keyakinan bahwa saya bisa mengerjakan tugas matematika
2. Saya selalu ragu-ragu apabila menemukan jawaban dengan teman berbeda
3. Saya sering mengangkat tangan ketika guru bertanya siapa yang mau mengerjakan soal matematika di papan tulis
4. Saya measa takut ketika guru
menyuruh saya untuk
mengerjakan soal di papan tulis
1 2 3 4 + - + -
Pernyataan nomor 1 merupakan pernyataan yang sangat positif sehingga siswa yang menceklis sangat setuju mendapat skor 4 dan sangat tidak setuju mendapat skor 1. Pernyataan nomor 2 merupakan pernyataan yang sangat negatif sehingga siswa yang menceklis sangat setuju mendapat skor 1 dan menceklis sangat tidak setuju mendapat skor 4. Begitu pula untuk soal nomor 3 dan nomor 4.
(41)
b. Lembar Observasi
Untuk memperoleh hasil penelitian yang optimal, dilakukan kegiatan observasi selama proses pembelajaran dilaksanakan. Observer adalah guru mata pelajaran yang mengajar di kelas eksperimen. Lembar observasi digunakan untuk mengamati suasana kelas terutama aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas dengan menggunakan model pembelajaran
Deeper Learning Cycle (DELC). Lembar observasi aktivitas siswa disusun berdasarkan karakteristik aktivitas yang seharusnya terjadi di dalam kelas.
E. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian untuk mengetahui pengaruh pembelajaran dengan
Deeper Learning Cycle (DELC), terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis ini, dirancang untuk memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian. Prosedur dalam penelitian ini adalah:
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan studi kepustakaan untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah serta mencari teori-teori yang berhubungan dengan model pembelajaran Deeper learning Cycle (DELC), kemampuan komunikasi dan disposisi matematis.
b. Menyusun proposal penelitian yang selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Setelah mendapat persetujuan dosen pembimbing kemudian diseminarkan. Proposal yang telah diseminarkan kemudian diperbaiki jika terdapat kesalahan, selanjutnya diserahkan kepada dosen pembimbing untuk memperoleh persetujuan.
c. Menyusun instrumen penelitian dan bahan ajar , setelah disetujui dosen pembimbing kemudian melakukan uji instrumen. Uji coba instrumen dilakukan di kelas IX yang pernah mendapat materi tentang lingkaran. d. Memvalidasi instrumen, menganalisis dan memperbaikinya sebelum
(42)
e. Merancang rencana pembelajaran dan lember kerja siswa untuk kelas eksperimen.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Melakukan pemilihan sampel yaitu dengan memilih dua kelas yang paralel untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan beberapa pertimbangan.
b. Memberikan pretes kepada kelas ekperimen dan kelas kontrol
c. Melaksanakan pembelajaran pendahuluan untuk lebih mengenal kelas eksperimen karena model pembelajaran yang akan diujicobakan sangat menekankan komunikasi yang mendalam antara guru dengan siswa.
d. Melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle (DELC) kepada kelas eksperimen dan menggunakan model ekspositori kepada kelas kontrol.
e. Mengadakan postes kepada kedua kelas diakhir proses pembelajaran. 3. Tahap akhir
a. Mengolah dan menganalisis hasil pretes dan postes.
b. Membuat kesimpulan dari hasil analisis data dan mengkaji temuan-temuan dilapangan baik hambatan maupun dukungan selama melakukan penelitian c. Menyusun laporan
(43)
Perumusan penelitian dan Tujuan penelitian
Penyusunan instrumen dan bahan ajar
Ujicoba instrumen
Analisis hasil ujicoba
Pemilihan sampel Penelitian
Ekspositori pada kelas kontrol
Perlakuan pada kelas eksperimen (Pembelajaran DELC)
Postes
Analisis data
Penyimpulan
Gambar 3.1 Prosedur Penelitian
(44)
F. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil postes kemampuan komunikasi matematik, sedangkan data kualitatif diperoleh dari angket siswa.
1. Analisis Statistik Deskriftif Kemampuan Komunikasi Matematis
Data yang diperoleh berupa hasil tes kemampuan komunikasi matematis dianalisis secara kuantitatif menggunakan uji statistik. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap data skor postest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa, dilakukan dengan menganalisis data skor n-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa diolah melalui beberapa tahapan berikut :
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman pemberian skor yang digunakan.
b. Membuat tabel skor pretes dan postes untuk tes kemampuan komunikasi matematis siswa.
c. Menentukan skor peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi (normalized gain) sebagai berikut :
Gain ternormalisasi =
Klasifikasi N-gain menggunakan kategori indeks gain dari Hake (Meltzer,2002) dalam Gumanti (2014) sebagai berikut :
Tabel 3.10
Klasifikasi Gain Ternormalisasi Skor Gain (g) Klasifikasi
g>0,7 Tinggi
0,3<g≤0,7 Sedang
(45)
Untuk melakukan pengujian data statistik langkah yang pertama kali dilakukan adalah menguji kenormalan distribusi, apabila telah dilakukan dilanjutkan dengan menguji kehomogenan variansi, dan langkah terakhir adalah uji perbedaan dua rata-rata. Pemilihan uji statistik yang dilakukan tergantung dari kenormalan distribusinya.
Pengolahan dan analisis data dari hasil tes kemampuan komunikasi matematika menggunakan uji statistik dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data yang diperoleh dari kedua kelas berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan terhadap nilai pretes, postes atau gain ternormalisasi ( N-gain) dengan menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk karena data yang digunakan menggunakan sampel yang kecil. Adapun rumusan hipotesis uji normalitas sebagai berikut :
H0 : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : Data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal Berdasarkan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai Sig.(p-value) < (=0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig.(p-value) ≥ (=0,05), maka H0 diterima
Apabila data tidak berdistribusi normal maka pengujian data dilanjutkan dengan menggunakan statistik nonparametrik Mann-Whitney.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas varians skor pretes, postes dan gain kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan uji Homogenitas of Varians (Levene Statistic). Adapun kriteria uji homogenitas sebagai berikut :
H0 : = Varians skor kelas eksperimen dan kelas kontrol homogen H1 : ≠ Varians skor kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak
(46)
Keterangan :
: varians siwa kelas eksperimen : varians siswa kelas kontrol Dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai Sig. (p-value) < ( = 0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig. (p-value) ≥ ( = 0,05), maka H0 diterima
c. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Skor Pretes Kemampuan Komunikasi Apabila hasil uji normalitas dan uji homogenitas yang dilakukan dari hasil pretes diperoleh bahwa kedua data berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian perbedaan dua rata-rata untuk data pretes menggunakan uji t-indepndent sample test sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal dan homogen menggunakan statistik non-parametrik Mann-Whitney.
Data pretes dianalisis dengan menggunakan uji perbedaan dua rata-rata untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis yang berada pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol pada awal penelitian.
Rumusan hipotesisnya adalah :
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori
H1 : Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori
Rumusan hipotesisnya sebagai berikut : H0 : =
(47)
Keterangan :
: rata-rata skor pretes kemampuan matematis kelas eksperimen : rata-rata skor pretes kemampuan matematis kelas kontrol
Kriteria pengujian hipotesis berdasarkan P-value (significance atau sig) sebagai berikut :
Jika sig (2 –tailed) ≤ (=0,05) maka H0 ditolak Jika sig (2 –tailed) > (=0,05) maka H0 diterima Atau dengan melihat kriteria uji :
Jika nilai thitung > tkritis, maka H0 ditolak Jika nilai thitung ≤ tkritis, maka H0 diterima
Jika hasil perhitungan uji perbedaan dua rata-rata data pretes menunjukkan kemampuan komunikasi matematika yang sama maka untuk melihat peningkatannya dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terhadap data postes. Akan tetapi jika hasil analisis data untuk uji perbedaan dua rata-rata kemampuan komunikasi matematis hasilnya menunjukkan kemampuan yang berbeda maka untuk melihat peningkatannya dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terhadap gain ternormalisasi (N-gain).
d. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Postes.
Untuk menguji apakah terdapat perbedaan dua rata-rata postes komunikasi dan disposisi matematika antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)
dibanding siswa yang tidak mendapatkan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terhadap data postes.
Adapun rumusan hipotesisnya adalah :
H0 : Kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC)
sama dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori H1 : Kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran
matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori.
(48)
Secara statistik, rumusan hipotesis tadi dapat ditulis sebagai berikut : H0 : =
H1 : > Keterangan :
1 = rata-rata gain kelas pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran
Deeper Learning Cycle (DELC).
2 = rata-rata gain kelas pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori.
Kriteria pengujiian hipotesis berdasarkan P-value (significance atau sig) sebagai berikut :
Jika sig (t-tailed) ≤ ( = 0,05) maka H0 ditolak Jika sig (t-tailed) > ( = 0,05) maka H1 diterima
Apabila persyaratan uji perbedaan dua rata-rata tidak terpenuhi maka uji statistika yang digunakan adalah uji nonparametrik Mann-whitney.
e. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Gain Ternormalisasai
Untuk menguji apakah terdapat perbedaan dua rata-rata n-gain
komunikasi matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)
dibanding siswa yang tidak mendapatkan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terhadap data n-gain.
Adapun rumusan hipotesisnya adalah :
H0 : Peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran matemetika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) sama dengan dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori.
H1 : Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori.
(1)
Cho,S & Cho, C (2012). A Case Study : Differences in Mathematical Disposition and Possible Impacts of Parental Involvement. Asia-Paciffic Journal of Giffed and Talented education. Volume 4, issue 2012. USA: St. John‟s Universit
Cholik,M.S. (2013).Matematika untuk SMP/MTS kelas VII Semester 2. Jakarta:Erlangga.
Creswell,J.W. (2009). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Empson,S.B, & Junk,D.L. (2004). Teachers‟ Knowledge Of Children‟s Mathematics After Implementing A Student-Centered Curriculum. Journal of Mathemtics Teacher Education 7: 121-144, 2004. Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Faizi, M. (2013). Ragam Metode Mengajarkan Eksakta Pada Murid. Yoyakarta:DIVA Press.
Fitri,A. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Model Missouri Mathematics Project (MMP) untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Berpikir Kritis Matematis Siswa. Tesis SPs UPI : tidak diterbitkan.
Folkson,S . (1996). “Meaningful Communication Among Children : Data
Collection” dalam Communication in Mathematics, K-12 and Beyond 1996 Year Book. National Council of Teachers of Mathematics.
Greenes,C & Shulman, L. (1996). Communication Processes in Mathematical Explorations and Investigation. Dalam Portia C. Elliot (Eds). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM. Gumanti,S. (2014). Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Geogebra Terhadap
Peningatan Kemampuan Pemahaman dan Visual Thinking Siswa SMP. Tesis SPs UPI : tidak diterbitkan.
Haryanto,D. (2013). Penerapan Model Search, Solve, Create, and Share dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs : tidak diterbitkan. Hidayat. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika dan
Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Peretama dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
(2)
Huang,J & Normandia, B. (2009). Students‟ Perception on Communicating Mathematically : A Case Study of a Secondary Mathematics Classroom. Journal of Mathematics Educations. USA : Monmouth University.
Jensen Eric & Nickelsen L. (2012 ). Deeper Learning 7 Strategi Luar Biasa untuk Pembelajaran yang mendalam dan Tak Terlupakan. Indeks : Jakarta. Joyce, Weil, & Calhoun. (2008). Models of Teaching Model-Model pengajaran.
Yogyakrta : Pustaka Pelajar.
Karlimah. (2010). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Serta Disposisi Matematis Mahasiswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi SPs UPI : tidak diterbitkan.
Khaerunnisa,E. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Adversity Quetient Matematis Siswa Mts Melalui Pendekatan Pembelajaran Eksploratif. Tesis SPs UPI : tidak diterbitkan.
Kilpatrick, J.,Swafford, J., & Findell, B (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. Wasington, DC: National Academy Press.
Kosko,K.W & Wilkins,J.L.M. (---). Mathematical Communication and Its Relation to The Frequenci of Manipulative Use. Journal of Mathematics Education. Vol.5,No.2. Virginia : Virginia Polytechninc Institute & State University.
Lane, Jakabcsin, Cai. (1996). The Role of Open-Ended Task and Holistic Scoring Rubrics: Assesing Students‟ Mathematical Communication. Journal School Science and Mathematics. Vol 96(5), May 1996. University of Pitsburgh.
Lestari,E & Maliki. (2006). Komunikasi yang Efektif. Jakarta : Lembaga Administrasi Negara.
Mahmudi, A,(2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis serta Persepsi terhadap Kreatifitas. Disertasi, SPs UPI : tidak diterbitkan.
Marina, L. (2013). Pengaruh Concept Attainment Model Terhadap Kemampuan Komunikasi dan Berpikir Kritis Sera Disposisi Berpikir Kritis Matematika Mahasiswa PGMII. Tesis, Bandung: UPI.
Maxwell,K . (2001). Positive Learning Dispositions in Mathematics. [online]. Tersedia:http//www.google.co.id/search?q=
(3)
+in+mathematics&hl=id&gbv=2&oq=possitive+learning+dispositions&gs _l=heirloon.
Minium.E.W.&King,B.M. (1993). Statistical Reasoning in Psychology and Educations. New York : JOHN WILEY & SONS, INC.
Mudrikah,A. (2013). Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Munawir, Y. (2013). Pendidikan Bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo:Tiga Serangkai.
Narode,R. (1996). “Communicating Mathematics Through Literature” dalam Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. National Council of Teachers of Mathematics.
National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standar for School Mathematics. Restin, VA: NCTM.
Novitasari, D. (2014). Penerapan Pendekatan Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematematis Siswa. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Nurhayati,N (2014). Pengaruh Pembelajaran dengan Pendekatan Reciprocal Teaching Terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Permana,Y.(2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman Komunikasi, dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model-Eliciting Activities. Disertasi SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Qohar,A & Sumarmo. (2013). Improving Mathematical Communication Ability and self Regulation Learning of Yunior High Students by Using Reciprocal Teaching. Journal IndoMS. . Vol. 4 No. 1 Januari 2013, pp.59-74: J.M.E
Riduwan,Rusyana,Enas . (2011). Cara Mudah Belajar Aplikasu Statistik Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Rohmat, I . (2014). Penerapan Pembelajaran Eksploratif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahanan dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
(4)
Ruseffendi. (2005 ). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung:Tarsito.
Sabilulungan. (2008). Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS) untuk meningkatkan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Sigit,M.W. (2013). Pembelajaran Konstruktivisme. Bandung:Alfabeta.
Sitiava,R. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta: DIVA Press.
Solso,Maclain. (2008). Psikologi Kognitif. Jakarta : Erlangga.
Sugilar,H (2012). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Disposisi Matematik Siswa Madrasah Tsanawiyah Melalui Pembelajaran Generatif. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Afabeta
Suhena,E. (2009). Pengaruh Strategi REACT Dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Penalaran, dan Komunikasi Matematis Siswa. Disertasi SPs UPI : tidak diterbitkan
Suhendar ,D. (2008). Persiapan Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Bandung : Indah Mulya Grafika.
Suherman & Kusumah. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Wijayakusumah.
Suherman dkk . (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan FPMIPA UPI.
Suherman. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung : Jurusan FPMIPA UPI.
Sulhan , (2010). Pembangunan Karakter pada Anak Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif. Surabaya:SIC.
Sumarmo (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada pertemuan MGMP Matematika di SMP Negeri Tasikmalaya. Bandung : Jurusan FPMIPA UPI.
(5)
Sumarmo. (2007). Pembelajaran Matematika. Makalah dimuat dalam buku. Bandung : UPI Pers.
Sumarmo. (2011). Pendidikan Karakter dan Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Makalah disajikan dalam kuliah matrikulasi SPs UPI dan Seminar Pendidikan Matematika di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang NTT. Bandung : Jurusan FPMIPA UPI.
Sumarmo. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Bandung : Jurusan FPMIPA UPI.
Sumaryati. (2012). Kemampuan Pemahaman Berfikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa SMA melalui Strategi Pembelajaran Think-Pair-Square-Share dengan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Suparlan. (2005). Menjadi Guru Efektif. Yoyakarta : Hikayat Publishing.
Suriasumantri,J.S. (2013). Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Suryaningrat, E.K. (2014). Peningkatan Kemampuan Penalaran, Representasi, dan Disposisi Matematis Siswa SMP Negeri Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Tim Matematika. (2014). Matematika untu SMP/MTs Kelas VIII Semester 2. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Tim Pengembang Kurikulum. (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 tahun 2014 Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Guru. Jakarta : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2014.
Trihendradi,C. (2013). Step by Step IBM SPSS 21: Analisis data Statistik. Yoyakarta : Andi.
Turmudi. (2009). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta : Leuser Cita Pustaka. UU SISDIKNAS. (2010). Undang-Undang SISDIKNAS Sistem Pendidikan
(6)
Wahidin, N. (2012). Pengaruh Penggunaan Strategi Reciprocal Teaching trerhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Wahyudin. ( 2013). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelengkap Untuk Meningkatkan kompetensi pedagogis Para Guru dan Calon-guru Profesional) seri 6. Jakarta: IPA Abong.
Wahyudin. (2012). Modul Statistik Terapan. Bandung:Mandiri.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelenkap Untuk Meningkatkan kompetensi pedagogis Para Guru dan Calon-guru Profesional) seri 4. Jakarta:IPA Abong.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelenkap Untuk Meningkatkan kompetensi pedagogis Para Guru dan Calon-guru Profesional) seri 1. Jakarta : IPA Abong.
Wardani, S. (2002). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis SPs UPI : tidak diterbitkan
Wardoyo,S.M. (2013). Pembelajaran Konstruktivisme Teori dan Aplikasi Pembelajaran dalam Pembentukan Karakter. Bandung : Alfabeta.
Widyasari,N. (2013). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Metaphorical Thinking. Tesis SPs UPI : tidak diterbitkan.
Winataputra,U.S. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : UT.
Yahya,D.K. (2000). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogjakarta : Pelangi Publising.
Yuniar,T. (2014). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung : Agung Media Mulia.
Yusuf,M. (2003). Pendidikan bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Zakiah,N. (2014). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognitif dan Mathematical Habits of Mind Siswa SMP. Tesis SPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.