AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASINYA DEVELOPER DALAM PERJANJIAN KERJASAMA DALAM BIDANG PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN, PEMASARAN DAN PENJUALAN TOWN HOUSE YANG BERTEMPAT DI KABUPATEN BADUNG.

(1)

SKRIPSI

AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASINYA

DEVELOPER DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

DALAM BIDANG PEMBANGUNAN,

PENGEMBANGAN, PEMASARAN DAN PENJUALAN

TOWN HOUSE YANG BERTEMPAT DI KABUPATEN

BADUNG

I PUTU DONNY LAKSMANA PUTRA NIM. 1116051076

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASINYA DEVELOPER

DALAM PERJANJIAN KERJASAMA DALAM BIDANG

PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN, PEMASARAN DAN

PENJUALAN TOWN HOUSE YANG BERTEMPAT DI

KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I PUTU DONNY LAKSMANA PUTRA NIM.1116051076

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PEMBIMBING

PADA TANGGAL 20 Januari 2016

Pembimbing I

I Nyoman Darmadha, SH.,MH NIP. 195412311981031033

Pembimbing II

I Nyoman Bagiastra, SH., MH NIP. 197810022006041003


(4)

(5)

Om Swastiastu

Puji astungkara kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala Asung Kerta dan

Wara Nugrahanya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Akibat Hukum Dari Wanprestasinya Developer Dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Pembangunan, Pengembangan, Pemasaran dan Penjualan Town House Yang

Bertempat Di Kabupaten Badung”.

Mengingat kemampuan penulis yang terbatas, sehingga penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.Atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun guna penyempurnaan dari penulisan skripsi ini.

Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan pengarahan serta bimbingan guna

penyelesaian skripsi ini kepada :

1. Bapak I Nyoman Darmadha S.H., M.H., Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi.

2. Bapak I Nyoman Bagiastra S.H., M.H., Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan serta arahan dalam penulisan skripsi.

3. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, beserta Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Hukum Universitas Udayana, atas dukungan dan kepercayaan yang diberikan untuk dapat menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

4. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak I Gde Putra Ariana, S.H., M.Kn, Dosen Pembimbing Akademik di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak/Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak I Nyoman Suada, yang telah memberikan keterangan-keterangan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Putu Sasmita Darma Putrakusuma, yang telah memberikan informasi dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak I Gusti Kardinal Made Maswibawa, S.H., M.Kn, yang telah mendukung dan memberikan keterangan-keterangan dalam penulisan skripsi ini.

10.Seluruh staff Kantor Notaris/PPAT I Gusti Kardinal Made Maswibawa, S.H., M.Kn.

11.Bapak, Ibu, Adik, Kakek saya yang telah banyak mendukung dan memberikan semangat serta doa kepada saya baik dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universita Udayana maupun di dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Keluarga besar di Kaje Kangin, Belong Gede Denpasar dan seluruh kerabat, sahabat keluarga dan orang tercinta yang telah mendukung saya dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13.Teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam skripsi ini yang telah membantu penulis dalam bentuk pikiran, tenaga maupun informasi dalam penulisan skripsi.


(7)

Akhirnya pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa penulis selalu berdoa untuk beliau-beliau tersebut agar mendapatkan imbalan-imbalan dan pahala serta selalu mendapatkan kasih dan berkat dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Denpasar, 20 Januari 2016


(8)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 20 Januari 2016 Yang menyatakan,

I Putu Donny Laksmana Putra NIM. 1116051076


(9)

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN ABSTRAK ... xi

HALAMAN ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 9

1.5 Tujuan Penelitian ... 11

1.5.1 Tujuan Umum ... 11

1.5.2 Tujuan Khusus ... 12

1.6 Manfaat Penelitian ... 12

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 12

1.6.2 Manfaat Praktis ... 13

1.7 Hipotesis ... 13


(10)

1.8.1 Jenis Penelitian ... 15

1.8.2 JenisPendekatan ... 16

1.8.3 Data dan Sumber Data ... 16

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 17

1.8.5 Teknik Analisis Data ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, PERJANJIAN KERJASAMA, dan DEVELOPER 2.1Wanprestasi ... 20

2.1.1 Pengertian Wanpretasi ... 20

2.1.2 Bentuk-Bentuk dan Syarat Terjadinya Wanprestasi ... 23

2.2Perjanjian Kerjasama ... 26

2.2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama ... 26

2.2.2 Asas-Asas dan Ketentuan Umum Perjanjian Kerjasama ... 30

2.3Developer ... 37

2.3.1 Pengertian Developer ... 37

2.3.2 Hak dan Kewajiban Developer ... 38

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI WANPRESTASI 3.1Perjanjian Kerjasama I Nyoman Suada dengan Putu Sasmita Darma Putrakusuma ...40

3.2Akibat Hukum Yang Timbul Dari Wanprestasi Perjanjian Kerjasama ... 44

BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PEMBATALAN PERJANJIAN KERJASAMA SETELAH TERJADI WANPRESTASI


(11)

52

4.2Akibat Hukum Atas Pembatalan Perjanjian Kerjasama ... 57

BAB V PENUTUP

5.1Simpulan ... 68 5.2Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi mendorong seseorang untuk lebih kreatif dalam mengembangkan sebuah bisnis, dalam hal tesebut perjanjian dapat digunakan untuk menunjang sebuah bisnis agar makin maju.Memberikan pemahaman mengenai peranan Perjanjian Kerjasama dan akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko.

Digunakan metode penelitian empiris yang bertujuan untuk melihat langsung fakta-fakta di lapangan mengenai akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran dan penjualan town house.Mempergunakan analisis deskriptif kualitatif apabila keseluruhan data telah didapatkan.

Salah satu bentuk hukum perjanjian adalah perjanjian kerjasama dalam bidang pembangunan town house yang melibatkan antara I Nyoman Suada dengan Putu Sasmita Darma Putrakusuma, yang mana ada wanprestasi yang dilakukan sehingga menimbulkan akibat hukum.Akibat hukum yang harus ditanggung bisa dikenakan biaya ganti rugi dan pembatalan perjanjian. Semua proses perjanjian maupun penyelesaian sengketa tersebut memerlukan itikat baik dalam penyelesaiannya.


(13)

ABSTRACT

Economic growth encourage people to be more creative in developing a business, in terms of proficiency level agreements can be used to support a business in order to become more advanced. Providing an understanding of the role of the Partnership Agreement and the legal consequences in case of cancellation of the agreement of cooperation in the construction, development, sales marketing town house and shop.

Used methods of empirical research aimed to see first hand the facts on the ground regarding the legal consequences of default developer in the field of development cooperation agreements, development, marketing and sale town house. Using descriptive qualitative analysis when all the data has been obtained.

One of the legal form of agreement is a cooperation agreement in the field of construction of town houses involving between I Nyoman Suada with Putu Sasmita Darma Putrakusuma, where there tort committed giving rise to legal consequences. The legal consequences to be borne could be charged damages and cancellation of the agreement. All agreements and dispute resolution processes that require goodwill in its completion.


(14)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang tidak akan terlepas dari sebuah hubungan dalam suatu interaksi sosial yang mana sebuah interaksi tersebut dapat menimbuklan satu kesepakatan antara orang yang satu dengan orang lainnya. Kesepakatan yang timbul tersebut didasari oleh beberapa kepentingan yang mereka miliki satu sama lain, didalam suatu kesepakatan memiliki sebuah tujuan yang sama, yang mana hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah mencapai tujuan yang diinginkan. Suatu Perikatan, lahir karena suatu persetujuan, kesepakatan atau karena undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III KUHPerdata, ialah : Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.1 Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu, terdapat berbagai macam perikatan lain, yaitu :

a. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk).

1


(15)

b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling). c. Perikatan yang membolehkan memilih (alternatief).

d. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair). e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. f. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding).2

Persetujuan merupakan bagian penting yang menjadi dasar dari terjadinya perjanjian. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Sebagaimanaa ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, agar dapat terjadi persetujuan yang sah harus memenuhi 4 syarat:

2


(16)

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu, dan

4. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal.3

Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.

Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.

Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak

3

Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.


(17)

ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termasuk dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu perjanjian jual beli.

Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat


(18)

dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.

Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akta baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akta autentik telah memenuhi persyaratan formil.

Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.

Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan


(19)

sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.

Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, selain itu kontrak merupaakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.4

4


(20)

Namun belakangan ini masih banyak orang yang belum memahami tentang arti suatu perjanjian akan tetapi melakukan perjanjian, yang mana hal tersebut dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Karena akibat dari belum memahami arti sebuah perjanjian dengan benar maka orang lain yang memiliki kelebihan tentang perjanjian dapat dengan mudah memanfaatkan dan melakukan kecurang-kecurangan dengan iming-iming uang yang akan diberikan lebih banyak atau berlipat ganda. Salah satu contoh hukum perjanjian adalah perjanjian kerjasama dalam bidang pembangunan town house yang melibatkan antara I Nyoman Suada dengan Putu Sasmita Darma Putrakusuma, Sarjana Sience Terapan Pariwisata, kerjasama tersebut bergerak pada bidang pengaplingan, pembangunan, pengembangan, pemasaran dan penjualan 14 unit town house dan 1 unit toko diatas tanah tersebut yang bertempat di Jalan Siligita, Benoa, Badung, Bali. Perjanjian ini dilakukan untuk mengikatkan diri antara satu dengan yang lain dengan memiliki tujuan yang sama. Dalam penjanjian ini bertujuan untuk mengembangkan lahan atau tanah, yang mana lahan tersebut akan dikelola dan dibangun beberapa town house dan toko dan setelah jadi akan dijual atau dipasarkan, tetapi pada kenyataannya itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada dalam perjanjian yang dibuat. Karena salah satu pihak yang melakukan perjanjian tersebut melakukan wanprestasi yang mengakibatkan salah satu pihak mengajukan pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Dengan adanya pembatalan perjanjian penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Akibat Hukum Dari Wanprestasinya Developer Dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Pembangunan, Pengembangan,


(21)

Pemasaran dan Penjualan Town House Yang Bertempat Di Kabupaten Badung”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skipsi ini adalah:

1. Apa akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko ?

2. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama tersebut ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka kiranya perlu terlebih dahulu dikemukakan mengenai ruang lingkup masalah mengenai akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko yang bertempat Di Kabupaten Badung. Dalam penyusunan skripsi maka perlu ditetapkan secara tegas tentang isi pokok yang dibahas agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang ada, maka fokus pembahasan akan menitikberatkan pada hal-hal sebagai berikut :


(22)

Pertama akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama, dilanjutkan pembahasan kedua mengenai akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul Akibat Hukum Dari Wanprestasinya Develover Dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Pembangunan, Pengembangan, Pemasaran dan Penjualaan Town House Yang Bertempat Di Kabupaten Badung adalah sepenuhnya hasil pemikiran dan tulisan yang ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan 3 (tiga) skripsi sebagai refrensi. Beberapa peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1 Tanggung Jawab

Perusahaan EMKL Terhadap Kerusakan

Dan Kehilangan

Barang Muatan

Komang Dharmana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2010

1. Bagaimana tanggung

jawab perusahaan

Ekspedisi Muatan Kapal Laut terhadap kerusakan dan kehilangan barang muatan dalam perjanjian pengangkutan niaga ? 2. Bagaimanakah cara


(23)

menentukan besarnya ganti kerugian yang

diberikan oleh

perusahaan EMKL

terhadap barang muatan

yang hulang dan

mengalami kerusakan ? 2 Kedudukan Kreditor

Pemegang Hak

Tanggungan dan

Akibat Hukumnya Dalam Kepailitan Berdasarkan Uandang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Anak Agung Ayu Pradnyani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2013

1. Bagaimana kedudukan kreditor pemegang Hak

Tanggungan dalam

Kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

2. Bagaimana Akibat

Hukum dari

ditetapkannya putusan pernyataan pailit bagi

debitor terhadap

kreditor pemegang Hak Tanggungan ?


(24)

3 Faktor-Faktor Yang Menjadi Penghambat Dalam Pemberian Remisi Terhadap

Narapidana Di

Lembaga

Pemasyarakatan Klass IIA Denpasar

I Kadek Satrya Budhi Prabawa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2013

1. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pemberian remisi terhadap narapidana? 2. Bagaimanakah upaya

untuk meminimalisir faktor penghambat dalam pemberian remisi tersebut?

1.5 Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi bagi seorang mahasiswa merupakan syarat akhir untuk berhak menyandang gelar kesarjanaan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Dalam penulisan skripsi ini ada dua tujuan pokok yaitu :

1.5.1 Tujuan umum

a. Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

b. Untuk mendalami teori dan menambah ilmu pengetahuan dalam hukum terutama dalam hukum perjanjian.


(25)

d. Untuki meyumbangkan pikiran kepada yang membutuhkan pengetahuan lebih mengenai perjanjian.

e. Mengembangkan diri mahasiswa untuk kedalam kehidupan masyarakat. f. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dari jumlah

beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum. 1.5.2 Tujuan Khusus

a. Untuk memahami akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko.

b. Untuk memahami akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Bahwa melalui penelitian yang dilakukan maka dapat bermanfaat untuk memberi masukan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perjanjian dan sebagai pemicu dalam mendewasakan cara berfikir, meningkatkan daya nalar, memahami lebih mendalam menganai wanprestasi, perjanjian kerjasama dan kepekaan terhadap masalah-masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat sehingga pada akhirnya menjadi insan yang mampu memecahkan masalah-masalah hukum yang dihadapi.


(26)

1.6.2 Manfaat Praktis

Untuk dapat mengetahui perwujudan secara nyata dalam bentuk serangkaian proses perilaku pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian, yang diharapkan dapat memberi pengetahuan yang lebih dalam mengenai akibat hukum dari wanprestasi dalam perjanjian kerjasama, pembatalan perjanjian, dan ganti rugi akibat dari terjadinya wanprestasi developer.

1.7 Hipotesis

Perjanjian merupakan “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut”.5

Yang dimaksud dengan perjanjian atau persetujuan menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Adapun untuk sahnya suatu perjanjian-perjanjian yang akan dilakukan harus memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Hak dan kewajiban yang timbul didasarkan pada sebab tertentu yang membuat terjadinya kesepakatan kedua belah pihak atas semua syarat perjanjian. Hal ini terikat pada Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Suatu sebab terlarang,

5

Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumut, Bandung,


(27)

apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.

Pasal 1340 KUHPerdata menjelaskan bahwa : “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Yang mana terdapat keterikatan yang tidak dapat dilepas karena dalam melakukan perjanjian dibutuhkan hukum untuk mengatur jalannya suatu perjanjian dengan baik.

Berdasarkan uraian dan rumusan masalah tersebut diatas, maka dapat dikemukakan dua jawaban yang bersifat sementara yang masih perlu diteliti dan diuji kebenarannya dengan penelitian yang obyektif sesuai dengan fakta-fakta yang ada, kemudian dianalisa sehingga dari analisa tersebut dapat diyakini kebenarannya. Hipotesis yang dapat ditarik adalah :

1. Akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko dapat dijelaskan pada Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tapi jika kedua belah pihak sepakat untuk menarik perjanjian itu maka perjanjian tersebut dapat ditarik kembali, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu.

2. Akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama adalah salah satu pihak wajib membayar ganti rugi atas wanprestasi yang


(28)

dilakukannya. Tujuan dari pembatalan perjanjian adalah membatalkan perjanjian yang terdahulu dan akibat-akibat yang timbul di masa yang akan datang telah ditiadakan. konskwensi kelanjutaan adalah apabila pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakaan kewajibannya maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan revindikasi, sesuai yang terdapat pada Pasal 574 KUHPerdata.

1.8 Metode Penelitian

Robert Bogdan dan Steven J. Taylor mengatakan bahwa Metode adalah proses, prinsip, dan prosedur dengan kita mendekati masalah-masalah dan mencari jawaban. Dalam ilmu-ilmu sosial istilah ini berlaku untuk bagaimana seseorang untuk melakukan penelitian.6

Metode Penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk dapat memahami obyek dari skripsi ini maka digunakan pendekatan dan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian empiris, yaitu pendekatan berdasarkan peraturan hukum yang memiliki kaitan dengan permasalahan ini. Pendekatan emperis yaitu dilakukan dengan cara

6


(29)

melihat dan meneliti fakta-fakta di lapangan tentang akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran dan penjualaan town house yang bertempat di Kabupaten Badung.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Adapun mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Pendekatan Kasus ( The Case Approach )

Merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menganalisis kasus yang terjadi dengan melihat berkas-berkas yang berkaitan dengan kasus tersebut dan melakukan sesi tanya jawab untuk menemukan solusi untuk kasus tersebut.

2. Pendekatan Fakta ( The Fact Approach )

Pendekatan fakta digunakan bertujuan untuk mendapatkan informasi dari I Gusti Kardinal Made Maswibawa, SH,.MKn, I Nyoman Suada, Putu Sasmita Darma Putrakusuma yang merupakan narasumber dalam permasalahan ini dan untuk menemukan jawaban permasalahan yang dirumuskan dalam rumusan masalah.

1.8.3 Data dan Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini ada 2 sumber data, yaitu :


(30)

1. Data Primer

yaitu data yang bersumber dari responden yang terlibat langsung dalam kasus yang menjadi obyek penelitian yang diperoleh dari lapangan dengan jalan mengadakan penelitian langsung ke lapangan yakni di Kantor Notaris I Gusti Kardinal Made Maswibawa.SH,.MKn serta mendengarkan dan menanyakan kepada para pihak tentang permasalahan ini.

2. Data Sekunder

Bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer yang antara lain berupa rancangan undang-undang, hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum.7 Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, buku-buku hukum dan pendapat pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,8 seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dipakai dalam penelitian ini terkait pengumpulan data yakni :

7

Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 182.

8

Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.


(31)

1. Teknik Studi Dokumen

Teknik Studi Dokumen digunakan agar data yang diperoleh dari data yang bersumber dari data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian dikumpulkan dengan cara membaca dan mencatat kembali data yang dikumpulkan kemudian dikelompokkan secara sistematis.

2. Teknik Wawancara

Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan secara lisan melalui bercakap-cakap yang bermuatan tanya jawab antara peneliti dan orang yang diteliti.9 Teknik Wawancara digunakan agar data diperoleh melalui proses wawancara kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di lapangan yaitu I Nyoman Suada, Putu Sasmita Darma Putrakusuma, I Gusti Kardinal Made Maswibawa, SH,.MKn, untuk memperoleh kebenaran informasi dan data yang pasti.

1.8.5 Teknik Analisis

Data-data yang dikumpulkan berdasarkan data primer dan data sekunder diolah dan dianalisa secara kualitatif. artinya data-data yang diperoleh dari beberapa sumber yang dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan dari masalah yang diangkat, kemudian dianalisis secara deskriptif analisis, Yaitu dengan

9

Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif,


(32)

menggambarkan secara lengakap tentang aspek-aspek tertentu yang bersangkutan dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya.10

10


(33)

(34)

TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, PERJANJIAN KERJASAMA, dan DEVELOPER

2.1 Wanprestasi

2.1.1Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.


(35)

“pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.

Untuk mengetahui wanprestasi lebih mendalam ada baiknya dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debidur dalam setiap perikatan.1 Pada Pasal 1234 KUHPerdata menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Dalam literature, hal tersebut lazim disebut prestasi. Jadi, prestasi bukanlah objek perjanjian, akan tetapi cara pelaksanaan perjanjian.

Seperti dijelaskan diatas, objek perjanjian adalah barang, maka cara pelaksanaanya adalah dengan menyerahkan barang. Apabila objek perjanjian adalah jasa, maka cara pelaksanaanya adalah dengan memberikan jasa.

Disamping cara pelaksanaan perjanjian berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan juga bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik”. Etikad

1

Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,


(36)

memperoleh suatu kebendaan dengan cara memperoleh hak milik”.2

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suaru perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :

1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan 2. Harus mungkin

3. Harus diperbolehkan (halal)

4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur

5. Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.3

Namun apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya yang merupakan suatu kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian yang dibuat. Wanprestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan.

Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau demi perikatannya sendiri,

2

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Puta, Implementasi Ketentuan-Ketentuan

Hukum Perjanjian dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali, h. 34. 3


(37)

seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.

b. Karena keadaan memaksa (overmarcht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.4

2.1.2Bentuk-Bentuk dan Syarat Terjadinya Wanprestasi Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi, yaitu:

1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang melaksanakan prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

4


(38)

debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan perstasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.5

Dalam hal bentuk prestasi para pihak dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan pihak tersebut melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat salah satu pihak berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi para pihak yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUHPerdata para pihak dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis.

5


(39)

1. Syarat meteriil, yaitu adanya kesengajaan berupa:

a) Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain

b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib berprestasi seharusnya tabu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.

2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitor harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitor, bahwa kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitor, supaya debitor melakukan prestasi dengan mencantumkan tanggal terakhir debitor harus berprestasi dan disertai dengan sanki atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitor wanprestasi atau lalai.

Beberapa kemungkinan yang dapat dipilih oleh seorang debitor yang melakukan wanprestasi;

1. Kreditor dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun perjanjian pelaksanaan ini sudah terlambat


(40)

dideritanya. karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya

3. Kreditor dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang disertai olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian

Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian saru pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan pengganti kerugian.

2.2 Perjanjian Kerjasama

2.2.1Pengertian Perjanjian Kerjasama

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata “ovreenkomst” dalam bahasa belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa inggris. Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam KUHPerdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian.6

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan.

6


(41)

antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perikatan lahir dari perjanjian. Pasal 1233 KUHPerdata mengatur bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”.

Perjanjian secara umum diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Dalam KUHPerdata buku III perjanjian bersifat terbuka dalam arti perjanjian boleh dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam buku III asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 1313 KUHPerdata mencoba untuk memberikan pengertian tentang perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu “arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata”.


(42)

ketentuan tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa : Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan Itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang di berikan Pasal 1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain :

Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.7

Perjanjian adalah suatu kesepakatan di antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum (Hendry Campbell Black, 1968 : 394).8

7


(43)

sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.9

Abdul Kadir Muhammad menyatakan “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.10

Sedangkan Setiawan, mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri terhadeap satu orang atau lebih.11

Hampir seperti perjanjian biasanya, Perjanjian kerjasama secara umum diatur dan dasarnya adalah buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Pengertian perjanjian kerjasama tidak dijelaskan dalam buku III KUHPerdata, akan tetapi secara umum perjanjian kerjasama merupakan suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus. Yang mana dalam perjanjian tersebut kedua pihak atau lebih memiliki tujuan yang sama dan tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.

8

Munir Fuandy, op.cit. h. 181.

9

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, h. 9.

10

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 225.

11

Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka


(44)

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai diuraikan berikut ini :

Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan.12

Asas kebebasan berkontrak (feedom of contract) ini mengajarkan bahwa ketika hendak membuat kontrak/perjanjian, para pihak secara hukum berada keadaan bebas untuk melakukan hal-hal apa saja yang mereka ingin uraikan dalam kontrak atau perjanjian tersebut. Akan tetapi sekali mereka sudah membuat/menandatangani kontrak atau perjanjian tersebut, maka para pihak sudah terikat (tidak lagi bebas ) keadaa apa-apa saja yang telah mereka telah sebutkan dalam kontrak atau perjanjian tersebut.

Suatu kontrak merupakan tindakan sukarela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu akan menerimanya.13 Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai konsekuensi dari “system terbuka” (open system) dari hukum kontrak atau hukum perjanjian tersebut. Jadi siapapun bebas

12

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 225.

13

Sultan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi


(45)

1320 KUHPerdata.

b. Tidak dilanggar oleh undang-undang c. Tidak melanggar kebiasaan yang berlaku d. Dilaksanakan sesuai dengan unsur itikad baik.14

Asas kebebasan berkontrak tidak disebutkan secara khusus dalam KUHPerdata, namun hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak yang merupakan pilar hukum perjanjian dalam sejarahnya merupakan produk individualism, liberalisme dan kolonialisme. Dalam system hukum nasional Indonesia sekarang, asas hukum perjanjian secara umum dan kebebasan berkontrak secara khususnya berakar pada Pancasila, UUD 1945, maka asas kebebasan berkontrak tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Palsafah Pancasila mengatur keseimbangan antara pelaksanaan hak asasi dan kewajiban asasi. Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan asas hukum khususnya hukum perdata yang menyatakan bahwa pada asasnya orang bebas untuk

14


(46)

pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang -undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Selanjutnya Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

Asas konsensual dalam suatu perjanjian adalah bahwa suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat sah perjanjian sudah dipenuhi.15 Asas konsensual ini mengadung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.16 Dalam hal ini, dengan tercapainya kata sepakat, maka pada prinsipnya (dengan beberapa kekecualian), perjanjian tersebut sudah sah, mengikat dan sudah

15

Munir Fuandy, op.cit. h. 182.

16


(47)

perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis. Jadi pada prinsipnya suatu perjanjian lisanpun sebenarnya sudah sah secara hukum dan sudah mengikat secara penuh.17

Asas konsensualisme disimpulkan dan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.18

Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak menyebutkan formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai, artinya dengan adanya kesepakatan maka perjanjian telah lahir. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya perjanjian bersifat konsensuil, sehinggga apabila undang-undang mengatur formalitas tertentu maka hal tersebut merupakan pengecualian.

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Secara harfiah pacta sunt servanda berarti bahwa “perjanjian itu mengikat”. Dalam hal ini, kalau sebelum

17

Munir Fuandy, op.cit. h. 183.

18

I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan,


(48)

pihak bebas untuk mengatur sendiri apa-apa yang ingin mereka masukan dalam perjanjian maka setelah perjanjian ditandatangani atau setelah berlakunya suatu perjanjian, maka para pihak sudah tidak lagi bebas, tetati sudah terikat terhadap apa-apa yang mereka telah tentukan dalam perjanjian tersebut.19

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.

Asas itikad baik. Dalam hal ini undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan” (bukan “perbuatan”) dari suatu perjanjian harus beritikad baik.20 Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:

1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang

19

Munir Fuandy, op.cit. h. 182.

20


(49)

didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Asas Kepribadian (personality) merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain

untuk dirinya sendiri.”

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.


(50)

Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan:

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,

mengandung suatu syarat semacam itu.”

Dari semua pengertian perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian harus ada para pihak yang berjanji dan kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah :

1. Ada pihak yang saling berjanji; 2. Ada Persetujuan;

3. Ada tujuan yang hendak di capai;

4. Ada Prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk melaksanakan objek perjanjian;

5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis);

6. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap.


(51)

antara pihak-pihak yang membuat perjanjian

2.3 Developer

2.3.1Pengertian Developer

Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa inggris artinya adalah pembangun/pengembang. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer, yaitu : “Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya”

Selain itu pengertian developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan. Developer juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku


(52)

a. Hak Hak Developer

Seperti yang telah disebutkan bahwa developer dapat disebut sebagai pelaku usaha. Maka berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak-hak pelaku usaha antara lain:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan niali tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban Developer

Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat pada Pasal 7 Undang- Undang Perlindungan Konsumen, yakni:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;


(53)

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.


(1)

berlakunya perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak, dalam arti bahwa para pihak bebas untuk mengatur sendiri apa-apa yang ingin mereka masukan dalam perjanjian maka setelah perjanjian ditandatangani atau setelah berlakunya suatu perjanjian, maka para pihak sudah tidak lagi bebas, tetati sudah terikat terhadap apa-apa yang mereka telah tentukan dalam perjanjian tersebut.19

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.

Asas itikad baik. Dalam hal ini undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan” (bukan “perbuatan”) dari suatu perjanjian harus beritikad baik.20

Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:

1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang

19

Munir Fuandy, op.cit. h. 182. 20


(2)

pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

2. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Asas Kepribadian (personality) merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain

untuk dirinya sendiri.”

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.


(3)

“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”

Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan:

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,

mengandung suatu syarat semacam itu.”

Dari semua pengertian perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian harus ada para pihak yang berjanji dan kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah :

1. Ada pihak yang saling berjanji; 2. Ada Persetujuan;

3. Ada tujuan yang hendak di capai;

4. Ada Prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk melaksanakan objek perjanjian;

5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis);

6. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap.


(4)

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis, ketentuan ini dapat dibuat lisan atau tertulis lebih kepada bersifat sebagai alat bukti semata apabila dikemudian hari terjadi perselisihan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian

2.3 Developer

2.3.1Pengertian Developer

Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa inggris artinya adalah pembangun/pengembang. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer, yaitu : “Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya”

Selain itu pengertian developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan. Developer juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada


(5)

2.3.2Hak dan Kewajiban Developer a. Hak Hak Developer

Seperti yang telah disebutkan bahwa developer dapat disebut sebagai pelaku usaha. Maka berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak-hak pelaku usaha antara lain:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan niali tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban Developer

Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat pada Pasal 7 Undang- Undang Perlindungan Konsumen, yakni:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;


(6)

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.