Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang tidak akan terlepas dari sebuah hubungan dalam suatu interaksi sosial yang mana sebuah interaksi tersebut dapat menimbuklan satu kesepakatan antara orang yang satu dengan orang lainnya. Kesepakatan yang timbul tersebut didasari oleh beberapa kepentingan yang mereka miliki satu sama lain, didalam suatu kesepakatan memiliki sebuah tujuan yang sama, yang mana hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah mencapai tujuan yang diinginkan. Suatu Perikatan, lahir karena suatu persetujuan, kesepakatan atau karena undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III KUHPerdata, ialah : Suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. 1 Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu, terdapat berbagai macam perikatan lain, yaitu : a. Perikatan bersyarat voorwaardelijk. 1 Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, h. 122 b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu tijdsbepaling. c. Perikatan yang membolehkan memilih alternatief. d. Perikatan tanggung-menanggung hoofdelijk atau solidair. e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. f. Perikatan dengan penetapan hukuman strafbeding. 2 Persetujuan merupakan bagian penting yang menjadi dasar dari terjadinya perjanjian. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Sebagaimanaa ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, agar dapat terjadi persetujuan yang sah harus memenuhi 4 syarat: 2 Ibid, h. 130. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu, dan 4. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. 3 Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama kesepakatan dan unsur kedua kecakapan maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga suatu hal tertentu dan unsur keempat suatu sebab yang halal maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak 3 Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo, Jakarta, h. 13. ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran offerte menerima jawaban yang termasuk dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat- singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu perjanjian jual beli. Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akta baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akta autentik telah memenuhi persyaratan formil. Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau walikuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum general principle. Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini. Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, selain itu kontrak merupaakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. 4 4 Ibid, h 3. Namun belakangan ini masih banyak orang yang belum memahami tentang arti suatu perjanjian akan tetapi melakukan perjanjian, yang mana hal tersebut dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Karena akibat dari belum memahami arti sebuah perjanjian dengan benar maka orang lain yang memiliki kelebihan tentang perjanjian dapat dengan mudah memanfaatkan dan melakukan kecurang-kecurangan dengan iming-iming uang yang akan diberikan lebih banyak atau berlipat ganda. Salah satu contoh hukum perjanjian adalah perjanjian kerjasama dalam bidang pembangunan town house yang melibatkan antara I Nyoman Suada dengan Putu Sasmita Darma Putrakusuma, Sarjana Sience Terapan Pariwisata, kerjasama tersebut bergerak pada bidang pengaplingan, pembangunan, pengembangan, pemasaran dan penjualan 14 unit town house dan 1 unit toko diatas tanah tersebut yang bertempat di Jalan Siligita, Benoa, Badung, Bali. Perjanjian ini dilakukan untuk mengikatkan diri antara satu dengan yang lain dengan memiliki tujuan yang sama. Dalam penjanjian ini bertujuan untuk mengembangkan lahan atau tanah, yang mana lahan tersebut akan dikelola dan dibangun beberapa town house dan toko dan setelah jadi akan dijual atau dipasarkan, tetapi pada kenyataannya itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada dalam perjanjian yang dibuat. Karena salah satu pihak yang melakukan perjanjian tersebut melakukan wanprestasi yang mengakibatkan salah satu pihak mengajukan pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Dengan adanya pembatalan perjanjian penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Akibat Hukum Dari Wanprestasinya Developer Dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Pembangunan, Pengembangan, Pemasaran dan Penjualan Town House Yang Bertempat Di Kabupaten Badung”.

1.2 Rumusan Masalah