Akibat Hukum Kelalaian Debitur Untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian Dalam Pkpu ( Study Putusan No.01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/Pn.Niaga.Mdn Jo.03/Pkpu/2013/Pn.Niaga.Mdn )

(1)

NO.01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga.Mdn )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NAOMI TRI YURISTIA 110200072

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU ( STUDY PUTUSAN NO.01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn

Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga.Mdn ) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NAOMI TRI YURISTIA NIM : 110200072

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H., M.Hum NIP. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum Windha, S.H., M.Hum

NIP. 197302202002121001 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

i

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga sampai detik ini Penulis senantiasa menikmati kasihNya dan dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memproleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul yang Penulis kemukakan “AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU ( STUDY PUTUSAN NO.01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn

Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga.Mdn )”.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi Penulis sendiri. Walaupun Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang sebaik-baiknya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

ii

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Alwan, SH., MHum, selaku Dosen Wali Penulis selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang selalu membantu dan membimbing Penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.H, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu, dan memberi petunjuk serta bimbingan sehingga skripsi ini akhirnya dapat selesai.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen sebagai tenaga pendidik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia memberi ilmu dan pandangan hidup kepada Penulis selama Penulis menempuh ilmu di Fakultas Hukum

10.Tak lupa pula kepada seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut membantu dan memberi kemudahan kepada Penulis.

Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka dan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan


(5)

iii

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua Penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Ramses Sitinjak dan Ibunda Serliwaty Butar-butar yang telah memberikan segalanya bagi Penulis baik dari materil maupun moril yang tidak bisa ternilai harganya, untuk saat ini hanya doa tulus yang dapat diberikan dari Penulis untuk Ayah dan Ibu. Semoga kelak Penulis dapat membahagiakan kedua orangtua.

2. Untuk saudara-saudara Penulis kak Yanti, bang Leo, dan adikku Natasya, terimakasih untuk segala bantuan yang kasih sayang kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Untuk Bobby Irawan Sitorus, yang telah menemani Penulis dari awal perkuliahan hingga sampai saat ini. Terimakasih untuk semua doa, nasehat, kasih sayang, dukungan dan perhatian yang diberikan untuk Penulis.

4. Untuk sahabat-sahabat Penulis yang telah menjadi keluarga di kampus: Roland, Daud, Roni, Evelyn, Togar, Ditha, Lydia, Wiwid, Puput, Putri. Terima kasih atas segala kebaikan, persahabatan, dan kehangatan yang telah kita jalani selama ini. Semoga persahabatan kita ini dapat terus terpelihara untuk ke depannya. Salam persahabatan dan penghargaan terdalam bagi ikatan kekeluargaan yang telah kita lalui bersama selama ini. 5. Untuk sahabat baik Penulis sejak SMA sampai sekarang, Arina, Yohana dan Bernadetha, teman berbagi suka duka, dan motivasi. Terimakasih


(6)

iv

sukses dengan karir kita ke depan, dan menjaga persahabatan ini sampai seterusnya.

6. Untuk Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia khususnya Komisariat Fakultas Hukum USU yang telah memberikan pendidikan di luar kampus dan membantu penulis berlatih menjadi seorang pemimpin Kristen yang baik. Terimakasih untuk kebersamaan yang boleh Penulis rasakan selama di kampus. Kepada abangda dan kakanda yang telah mendoakan dan memberikan semangat kepada Penulis, terimakasih untuk semua bantuan dan perhatian yang tak henti-hentinya. Akhir kata Tinggi Ilmu, Tinggi Iman, Tinggi Pengabdian, Ut Omnes Unum Sint, Syalom!

7. Terkhusus kepada sahabat, adik, dan saudara terkasih Fredrik Girsang, Meilinda Theresia, Tessa Aurelia Tampubolon, Frans Wardana, Sara Hasugian, Dimas Saragih, Hans Saragih, Yeremia Ponomban, Sornica, Daniel Alexander, dan yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah mengisi hari-hari Penulis selama ini. Aku sangat mengasihi kalian, tetap semangat dalam menyelesaikan perkuliahan.

8. Untuk saudara/I Penulis di GMI Efrata Kwala Bekala, untuk Pengurus P3MI Efrata Kwala Bekala, terimakasih untuk setiap semangat dan doa yang diberikan kepada Penulis, untuk setiap pelayanan yang kita kerjakan. Semoga kita semakin semangat dalam melayani.

9. Untuk abang dan kakak geng locop, Tulang Ardhy, Kak Ara, Tulang Nando, Kak Dewi, Bang Tjarda, Bang Bujur, Kak Vivi, Grace, Bang


(7)

v

kebahagian dan kegilaan yang tak terhingga yang sudah diberikan untuk membuat Penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Aku menyayangi kalian sepenuh hati.

10.Untuk seluruh teman-teman stambuk 2011 yang terkhusus di grup A, kelompok Klinis, Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI), Tim Pemusik Natal Fakultas Hukum USU 2014. Terima kasih atas waktu yang sempat kita lalui bersama di FH USU.

11.Semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Penulis akan selalu menghargai dan mengingat dukungan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, September 2015


(8)

vi

AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU ( STUDY PUTUSAN

NO.01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga.Mdn )

*Naomi Tri Yuristia **Mahmul Siregar

***Windha

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat dunia usaha suatu perusahaan tidak selalu berjalan baik, dan acap kali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya.1

Mengantisipasi kondisi permasalahan tersebut diperlukan produk hukum nasional yang dapat menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran yang diharapkan akan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian adil dan produktif, budaya sosial politik yang demokratis, serta dapat mengamankan dan mendukung pembangunan nasional yang dapat memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat secara merata dalam lingkungan multi dimensi yang stabil, seimbang, harmonis, aman dan tertib. Produk hukum nasional itu diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.

2

Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, perlu dibentuk Undang- undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Tepat tanggal 18 Oktober 2004, diterbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ) sebagai dasar pengaturan hubungan antara Kreditor dan Debitor dalam dunia usaha.

Kata Kunci : Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang *) Mahasiswa Fakultas Hukum

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II

1

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia

(Jakarta : Rineka Cipta, 1994) hlm. 3 2


(9)

vii

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK...vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 A. Syarat Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Sebagai Debitur ... 24

B. Prosedur Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT sebagai Debitur menurut UU No.37 Tahun 2004 ... 30


(10)

viii

yang Diajukan Oleh PT sebagai Debitur ... 42 1. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status Hukum

Debitor...43 2. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status Sita dan Eksekusi

Jaminan...46 3. Akibat Hukum PKPU Terhadap Kedudukan Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen...47 4. Akibat Hukum PKPU Terhadap Utang Debitor……..………50 5. Akibat Hukum PKPU Terhadap Perjanjian Yang Mengikat

Debitor………..………51 D.Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) . 56

BAB III PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DISAHKAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

A. Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ... 59 1. Pengajuan Rencana Perdamaian ………...51 2. Restrukturisasi Utang ………...……….62 B. Status Perdamaian yang Disahkan Terhadap Para Pihak………...68 C.Perbedaan Perdamaian dalam PKPU dan Perdamaian sesudah


(11)

ix

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) A. Bentuk-bentuk Kelalaian PT Sebagai Debitur Untuk Memenuhi

Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ... 72 B. Akibat Hukum Atas Kelalaian PT Sebagai Debitur Untuk

Memenuhi Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ... 74 C. Penyelesaian Utang Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (PKPU) yang Dibatalkan ... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 92


(12)

vi

AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU ( STUDY PUTUSAN

NO.01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga.Mdn )

*Naomi Tri Yuristia **Mahmul Siregar

***Windha

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat dunia usaha suatu perusahaan tidak selalu berjalan baik, dan acap kali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya.1

Mengantisipasi kondisi permasalahan tersebut diperlukan produk hukum nasional yang dapat menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran yang diharapkan akan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian adil dan produktif, budaya sosial politik yang demokratis, serta dapat mengamankan dan mendukung pembangunan nasional yang dapat memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat secara merata dalam lingkungan multi dimensi yang stabil, seimbang, harmonis, aman dan tertib. Produk hukum nasional itu diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.

2

Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, perlu dibentuk Undang- undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Tepat tanggal 18 Oktober 2004, diterbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ) sebagai dasar pengaturan hubungan antara Kreditor dan Debitor dalam dunia usaha.

Kata Kunci : Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang *) Mahasiswa Fakultas Hukum

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II

1

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia

(Jakarta : Rineka Cipta, 1994) hlm. 3 2


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dunia usaha kesulitan untuk mengembangkan kemampuan usahanya, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usaha tidak mudah. Kesulitan tersebut sangat mempengaruhi kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya kepada Kreditor, sehingga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat dunia usaha suatu perusahaan tidak selalu berjalan baik, dan acap kali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya.3

Mengantisipasi kondisi permasalahan tersebut diperlukan produk hukum nasional yang dapat menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran yang diharapkan akan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian adil dan produktif, budaya sosial politik yang demokratis, serta dapat mengamankan dan mendukung

3

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia


(14)

2

pembangunan nasional yang dapat memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat secara merata dalam lingkungan multi dimensi yang stabil, seimbang, harmonis, aman dan tertib. Produk hukum nasional itu diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.4

Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang 1945) diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional. Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan

(Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348).

Tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-UndangD 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisements

verordenirng, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) yang merupakan

peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah

4


(15)

3

tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang-piutang.5

Perubahan terhadap Undang-Undang tentang Kepailitan tersebut di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari terjadinya hal-hal sebagai berikut:6

1. Perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor.

2. Adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.

3. Adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.

5

Indonesia, Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Undang-Undang No.37 Tahun 2004, LN No.131 Tahun 2004, TLN No.4443, penjelasan umum alinea 3 dan 7.

6


(16)

4

Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, perlu dibentuk Undang- undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Tepat tanggal 18 Oktober 2004, diterbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ) sebagai dasar pengaturan hubungan antara Kreditor dan Debitor dalam dunia usaha.

Perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai Kepailitan dan PKPU memiliki dampak yang sangat besar dalam meningkatkan penyelesaian hutang piutang antara Debitor dan Kreditor. Tujuan akhir dari Kepailitan dan PKPU adalah terciptanya perdamaian antara Debitor dan Kreditor. Perdamaian tersebut dapat diajukan oleh Debitor dalam bentuk Rencana Perdamaian. Pengaturan mengenai Perdamaian dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU diatur dalam Bagian Kedua dari Bab III yaitu dari Pasal 265 sampai Pasal 294.7

Adanya permintaan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh Debitor, maka kepada Debitor diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor konkuren (Kreditor yang tidak memegang agunan dan yang tidak

7

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2010), hal.363.


(17)

5

mempunyai hak istimewa dan yang tagihannya tidak diakui atau diakui secara bersyarat).8

Penundaan kewajiban pembayaran utang adalah untuk mencegah kepailitan seorang Debitor yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat membayar di masa yang akan datang. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan keringanan sementara kepada Debitor dalam menghadapi para Kreditor yang menekan dalam rangka mereorganisasi dan melanjutkan usaha dan akhirnya memenuhi kewajiban Debitor terhadap tagihan-tagihan para Kreditor.9

Debitor boleh mengajukan sebuah permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri. Umumnya Debitor hanya mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai tanggapan atas suatu permohonan kepailitan terhadap Debitor yang diajukan oleh Kreditor, dikarenakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa apabila permohonan-permohonan untuk penundaan kewajiban utang dan kepailitan diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada waktu yang bersamaan, maka permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang akan diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Sehingga penundaan kewajiban pembayaran utang hanya Adanya keringanan sementara tersebut banyak Debitor yang lebih memilih mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih daripada harus dimohonkan untuk dipailitkan oleh para Kreditornya.

8

Kartini Mulyadi, Suara Pembaruan, 20 Oktober 2005.

9

Jeffry Hoff, Undang-undang Kepailitan di Indonesia (Penerjemah Kartini Mulyadi, Cet.1, Jakarta : Tatanusa, 2000) , hal.187.


(18)

6

boleh dikabulkan apabila putusan yang menyatakan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga.10

Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat antara Debitor dan Kreditor tersebut, terdapat klausula untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan antara para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut. Umumnya para pihak memilih menyelesaikan melalui lembaga Arbitrase. Menurut pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya di sebut Undang-undang Arbitrase), Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.11

Seperti kasus dibawah ini merupakan suatu contoh dimana PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (Selanjutnya disebut Pemohon), mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian tertanggal 21 Nopember 2013 yang telah disepakati oleh Pemohon dengan PT. Erakarya Prima, beralamat di Jalan Asrama Amal Luhur III No. 129, Medan (selanjutnya disebut Termohon/ Debitor) dan PT. Bringin Sejahtera Arta Makmur (BSAM), beralamat di Jalan

10

Lontoh, dkk. Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001), hlm: 26.

11


(19)

7

Gatot Subroto Komp. Pertokoan Plaza Medan Fair No. B-21, Medan (selanjutnya disebut Kreditor lain) kepada Pengadilan Negeri Niaga Medan dengan register No. 01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn

Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga/Mdn.

Pengadilan Niaga Medan telah menyatakan Termohon/Debitor berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya disingkat PKPU) dengan waktu yang telah ditentukan oleh pengadilan. Selama proses PKPU tersebut, Termohon/ Debitor telah mengajukan beberapa kali rencana perdamaian di mana dalam rencana perdamaian terakhir tertanggal 14 Nopember 2013, Termohon/Debitor telah menawarkan kepada Pemohon skema penyelesaian utang Termohon/Debitor sebagai berikut :

1. Down Payment sebesar Rp. 92.450.000.000,- wajib dibayar oleh

Termohon/Debitor kepada Pemohon dengan jadwal pembayaran sebagai berikut :

2. Tahap pertama sebesar Rp. 30.000.000.000,- dibayarkan sebelum Perjannjian Perdamaian disahkan (Homologasi) oleh Pengadilan Negeri Medan ;

3. Tahap kedua sebesar Rp. 30.000.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-3 setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Negeri Medan ; 4. Tahap ketiga sebesar Rp. 15.000.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-6

setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Niaga Medan ; dan 5. Tahap keempat sebesar Rp. 17.450.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-13


(20)

8

6. Sisa pokok sebesar Rp. 119.550.000.000,- dibayar dengan cara angsuran sebanyak 35 kali ;

7. Bunga tertunggak sebesar Rp. 40. 203.539.548,- akan dibayar mulai dari bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-48.

Melihat dari skema tersebut masing-masing pihak menyetujui adanya skema penyelesaian utang Termohon kepada Pemohon dan dituangkan pada perjanjian perdamaian pada tanggal 21 Nopember 2013. Namun seiring berjalannya waktu, Termohon telah lalai dalam memenuhi perjanjian perdamaian yang telah masing-masing pihak setujui.

Menurut Pasal 291 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut “(1) Kreditor dapat menurut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut”. Pengadilan Negeri Niaga Medan dengan pertimbangannya kemudian menyatakan bahwa Termohon telah lalai dalam perjanjian perdamaian tersebut yang dituangkan pada putusan pengadilan dengan register No. 01/ Pdt.Khusus/ Pembatalan/ 2014/ PN.Niaga.Mdn Jo. 03/ PKPU/ 2013/ PN.Niaga.Medan bahwa Termohon PT.Erakarya Prima telah lalai dalam melaksanakan isi Perjanjian Perdamaian tertanggal 21 November 2013 yang telah disahkan melalui Putusan pengadilan Niaga Medan No. 03/PKPU/2013/PN.Niaga. Medan. Tertanggal 4 Desember 2013.

Berdasarkan uraian kasus diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian melalui sebuah penelitian (skripsi) dengan judul “Akibat Hukum Kelalaian Debitor untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian dalam PKPU


(21)

9

(Studi Putusan No.01/ Pdt.Khusus/ Pembatalan /2014/ PN.Niaga.Mdn Jo.03/ PKPU/ 2013/ PN.Niaga.Mdn”.

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan PKPU oleh Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT)

sebagai Debitor menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ?

2. Bagaimana pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam PKPU? 3. Bagaimana akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi

perjanjian perdamaian dalam PKPU ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu: 1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan PKPU oleh PT sebagai Debitor menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

b. Untuk mengetahui pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam PKPU.

c. Untuk akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU.


(22)

10

2. Manfaat Penulisan

Mengenai manfaat akan hasil penelitian skripsi ini terhadap rumusan permasalahan yang sudah diuraikan dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat, yaitu:

a. Manfaat teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan teoritis bagi penulis dan pembaca untuk menambah pengetahuan beserta pemahaman mengenai pengaturan PKPU oleh Debitor serta akibat hukumnya dalam kelalaian memenuhi perjanjian perdamaian menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

2) Merupakan bahan untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas.

b. Manfaat praktis

1) Bagi pemerintah, agar menyadari peran tanggung jawab mengenai permasalahan dunia usaha sebagai penunjang pembangunan pertumbuhan ekonomi.

2) Bagi pelaku usaha, agar memahami peran sebagai Debitor maupun Kreditor dalam perjanjian menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(23)

11

maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Akibat Hukum Kelalaian Debitor untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian dalam PKPU (Studi Putusan No.01/ Pdt.Khusus/ Pembatalan /2014/ PN.Niaga.Mdn Jo.03/ PKPU/ 2013/ PN.Niaga.Mdn”. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.

E. Tinjauan Pustaka

Penundaan pembayaran diajukan oleh Debitor kepada pengadilan niaga bilamana Debitor dalam keadaan masih mampu membayar utang-utangnya, akan tetapi memerlukan waktu untuk membayar. Permohonan penundaan pembayaran harus diajukan kepada pengadilan niaga dengan dilampirkan surat bukti yang berkenaan dengan jumlah piutang dan utang harta pailit, yang disertai dengan identitas daripada para pihak.12

Selain penyelesaian dengan permohonan pailit, suatu masalah utang piutang dapat pula diselesaikan melalui mekanisme yang disebut penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Diajukannya PKPU ini biasanya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi seluruh tawaran pembayaran dari seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor konkuren. Mekanisme seperti ini dilakukan oleh Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat

12

Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia: Studi Putusan-Putusan Pengadilan (Yogyakarta:Total Media, 2008), hlm : 82


(24)

12

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang , dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.13

Istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau disebut juga moratorium harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti bahwa seorang Debitor tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok.14

PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada Debitor dan Kreditor untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang Debitor, baik sebagian maupun seluruhnya termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut. Diberikannya kesempatan bagi Debitor untuk menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya, maka berkemungkinan bagi Debitor untuk melanjutkan usahanya, aset-aset dan kekayaan akan tetap dapat dipertahankan Debitor sehingga dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang kepada seluruh Kreditor, dan juga memberi kesempatan kepada Debitor untuk merestrukturisasi utang-utangnya, sedangkan bagi Kreditor, PKPU yang telah diberikan kepada Debitor juga dimaksudkan agar Kreditor memperoleh

13

Kartini Muljadi, Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan Dan PKPU (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 260.

14

Sutan Remmy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2008), hlm. 328.


(25)

13

kepastian mengenai tagihannya, utang piutangnya akan dapat dilunasi oleh Debitor.15

Menurut Munir Fuady, istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of

payment atau Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang

dinerikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak Kreditor dan Debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut.16

Selanjutnya menurut Fred BG Tumbuan pengajuan PKPU ini juga dalam rangka untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara dalam likuidasi harta kekayaan Debitor. Khususnya dalam perusahaan, penundaan kewajiban pembayaran utang bertujuan memperbaiki keadaan ekonomi dan kemampuan Debitor untuk membuat laba, maka dengan cara seperti ini kemungkinan besar Debitor dapat melunasi kewajibannya.17

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pengunduran pembayaran utang yang sudah jatuh tempo. Permohonan PKPU dapat diajukan oleh Debitor maupun Kreditornya. Pengajuan permohonan PKPU harus mempunyai lebih dari satu orang Kreditor dimana salah satu utangnya sudah jatuh tempo. Pembuktian yang dilakukan dalam proses PKPU adalah bersifat sederhana

15

Kartini Muljadi, Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung : Alumni, 2001), hlm. 173

16

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung : Citra Aditya Bakti,

1999), hlm. 15 17

Fred B.G. Tumbuan ,Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung:Alumni,2001), hlm. 50.


(26)

14

baik terhadap para Kreditornya maupun utang-utangnya yang dapat dibuktikan dengan suatu surat perjanjaian yang telah dibuat antara Debitor dengan Kreditornya. Apabila Debitor adalah perseroan terbatas maka permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri (direksi) hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS), dengan quorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit.18

Debitor dalam perseroan terbatas adalah direksi yang merupakan salah satu organ perseroan terbatas disamping RUPS dan komisaris. hal permohonan diajukan oleh Debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga hari) sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan, serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.19

Bila permohonan diajukan oleh Kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara, dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang bersama Debitor mengurus harta Debitor.

20

Segera setelah PKPU Sementara diucapkan, maka pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat

18

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 190

19

Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2 (Jakarta : Sofmedia, 2010), hlm. 203.

20


(27)

15

tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang ditentukan paling lama pada harike 45 (empat puluh lima), terhitung sejak putusan PKPU Sementara diucapkan. Apabila Debitor tidak hadir dan sidang PKPU Sementara berakhir maka pengadilan wajib menyatakan Debitor pailit dalam sidang yang sama (Pasal 225 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU),21

PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan Debitor, dimana selama berlangsungnya PKPU, Debitor tidak dapat dipaksakan untuk membayar utang-utangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan. Selama PKPU berlangsung Debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.

tetapi jika Debitor menghadiri sidang tersebut dan juga mengajukan rencana perdamaian bagi para Kreditornya, maka hakim pengadilan niaga menerima permohonan PKPU Tetap dengan jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak permohonan PKPU sementara diterima.

22

. Proses PKPU tersebut maka dipilihlah pengurus yang berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor itu sendiri.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian

21

Ibid., hlm. 204

22


(28)

16

merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.23

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.24 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

2. Sumber data

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.25

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Pers, 1986), hlm. 250.

24

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.

25

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 30.


(29)

17

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

b. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan

membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahanhukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebutkemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,


(30)

18

pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.26

4. Analisis data

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.27

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

26

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op.Cit, hlm. 24.

27


(31)

19

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PKPU

Bab ini berisi syarat pengajuan PKPU, prosedur pengajuan PKPU oleh PT sebagai Debitor menurut Undang-Undang kepailitan dan PKPU, akibat hukum PKPU yang diajukan oleh PT sebagai Debitor, berakhirnya PKPU.

BAB III PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DISAHKAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU).

Bab ini memberikan penjelasan mengenai perjanjian perdamaian dalam PKPU, alasan pembatalan perjanjian perdamaian dalam PKPU, pembatalan perjanjian perdamaian dalam PKPU.

BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS KELALAIAN PT SEBAGAI DEBITOR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)


(32)

20

Bab ini berisikan tentang bentuk-bentuk kelalaian PT sebagai Debitor dalam memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU, akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU, PKPU yang dibatalkan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari subtansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran penulis berikan dengan masalah yang dibahas.


(33)

21

BAB II

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH

PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. Beberapa upaya dimaksud antara lain sebagai berikut:

1. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para Kreditornya;

2. Mengadakan perdamaian di dalam Pengadilan apabila Debitor tersebut digugat secara perdata;

3. Mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU); 4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU;

5. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh Pengadilan; 6. Mengajukan perdamaian dalam kepailitan.28

Adapun Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memberikan sedikitnya 2 (dua) solusi yang dapat ditempuh Debitor agar dapat terbebas dari likuidasi atas harta kekayaannya dalam hal Debitor berada dalam kesulitan pembayaran utang. Cara pertama adalah dengan mengadakan perdamaian antara Debitor dengan para Kreditornya setelah Debitor dijatuhi putusan pailit. Adapun cara lain yang dapat ditempuh oleh Debitor adalah dengan mengajukan PKPU, sebagaimana telah disebutkan di atas.

28

Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: PT Alumni 2006), hlm. 202


(34)

22

PKPU yang dikenal juga dengan istilah Surseance Van Betaling atau

Suspension of Payment, merupakan suatu konsep dalam ilmu hukum dagang, yang

memungkinkan seorang Debitor yang mempunyai itikad baik untuk mengajukan permohonan yang pada intinya menunda kewajibannya untuk membayar utang yang dimilikinya. Mengenai PKPU tersebut, baik Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan FV, mengaturnya sebagai bagian dari ketentuan tentang kepailitan. Apabila diperhatikan, judul dari peraturan perundangang-undangan mengenai kepailitan sebelum peraturan yang berlaku sekarang, tidak menyebutkan PKPU meskipun ketentuannya diatur di dalam peraturan tersebut. Baru pada tahun 2004 ketika Undang-Undang Kepailitan dan PKPU diundangkan, istilah PKPU dalam judul peraturan perundang-undangan sejatinya sangat berarti karena PKPU merupakan sarana penting dalam menyelesaikan utang piutang oleh Debitor, tidak hanya melalui kepailitan.29

Penundaan kewajiban pembayaran utang, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak Kreditor dan Debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya. PKPU itu sendiri berbeda dengan kepailitan. Walaupun dalam kepailitan ada dikenal perdamaian, namun pada dasarnya kepailitan itu ditujukan pada pemberesan harta pailit yang dilakukan dengan cara menjual seluruh boedel pailit dan membagikan hasil penjualan tersebut kepada para Kreditor yang berhak

29


(35)

23

menurut urutan yang ditentukan dalam undang-undang. 30

Maksud dari PKPU pada umunya adalah untuk mengajukan penawaran rencana perdamaian oleh Debitor. Rencana perdamaian ini sejatinya memberikan kesempatan kepada Debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor konkuren. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKPU mengandung tujuan untuk memungkinkan Debitor meneruskan usahanya meskipun terdapat kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

Terlihat bahwa kepailitan berujung pada tindakan likuidasi harta Debitor. Sedangkan dalam PKPU, Debitor diberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Kreditor untuk membahas kelanjutan utang piutang di antara mereka sehingga pada akhirnya tidak terjadi pemberesan harta pailit. Selama proses PKPU berlangsung pun Debitor tetap menguasai hartanya, tidak seperti halnya yang terjadi dalam perkara permohonan pernyataan pailit.

31

Adapun PKPU memiliki tujuan sebagai berikut:

Sehubungan dengan tujuan dari PKPU, Prof. Dr. Sunarmi menyatakan bahwa:

1. Debitor dalam jangka waktu yang cukup, dapat memperbaiki kesulitannya, dan akhirnya akan dapat melunasi/ membayar utangutangnya di kemudian hari.

2. Bagi pihak Kreditor karena adanya PKPU ini, kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debitor secara penuh, sehingga tidak merugikannya.32

30

Sunarmi, Op.Cit, hlm. 202.

31

Rahayu Hartini, Op.Cit, hlm. 190.

32


(36)

24

Perbedaan antara PKPU dengan kepailitan juga terdapat dalam bidang prosedur yang harus ditempuh. Peraturan prosedur pada PKPU kurang luas dibandingkan dengan peraturan prosedur dalam kepailitan.33Pengaturan mengenai PKPU ini sendiri dalam Hukum Kepailitan Indonesia terdapat pada Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dalam Bab III, yakni mulai dari Pasal 222 hingga Pasal 294. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Bab III tentang PKPU, dapat diketahui bahwa pengajuan PKPU dapat dilakukan sebelum pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor ataupun pada waktu permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa oleh pengadilan niaga.34

PKPU diajukan sebelum pengajuan permohonan pernyataan pailit, maka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit. Adapun apabila PKPU diajukan setelah permohonan pernyataan pailit diajukan, yakni ketika proses pemeriksaan pengadilan niaga terhadap permohonan pernyataan pailit masih berlangsung, maka pemeriksaan permohonan pernyataan pailit itu harus dihentikan.

Hal tersebut disebabkan karena terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.35

A. Persyaratan pengajuan PKPU oleh PT sebagai debitor

33

Ibid., hlm. 202. 34

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm 327.

35

Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No.34 tahun 2007, LN No.131 Tahun 2004, TLN No. 4443 , Ps. 229 ayat (3).


(37)

25

Persyaratan yang paling utama dalam hal pengajuan permohonan PKPU sebagaimana tercantum dalam pasal 222 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah Debitor tersebut memiliki lebih dari 1 (satu) Kreditor. Pengajuan permohonan PKPU itu sendiri dapat dilakukan oleh Debitor maupun Kreditor. Hal ini merupakan perubahan yang terjadi pada peraturan perundang-undangan kepailitan yang baru, di mana pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 21336 dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah Debitor. Syarat bagi Kreditor untuk dapat mengajukan PKPU itu sendiri, menurut Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah apabila Kreditor tersebut memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sedangkan bagi Debitor untuk dapat mengajukan PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, Tetapi juga apabila Debitor memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika nantinya utang-utang itu jatuh waktu dan dapat ditagih seperti yang tertuan Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 37

Adapun terhadap Debitor yang merupakan Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

Maka apabila isi dari Pasal 222 ayat (2) dan ayat (3) disimak dengan baik, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan mengenai syarat dapat diajukannya PKPU oleh Debitor dan oleh Kreditor.

36

Pasal 213 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud Pasal 212 harus diajukan Debitor kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dengan ditandatangani olehnya dan oleh penasihat hukumnya, dan disertai daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, beserta surat-surat bukti selayaknya.”

37


(38)

26

Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik terdapat persyaratan khusus perihal pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU. Dalam hal ini, pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU atas lembaga-lembaga tersebut adalah sama dengan pihak yang mengajukan permohonan pailit terhadap lembaga itu. Pasal 223 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU secara rinci menyatakan bahwa:

“Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).38”

Debitor yang merupakan sebuah bank, pengajuan permohonan PKPU harus dilakukan oleh Bank Indonesia. Adapun dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan PKPU adalah Badan Pengawas Pasar Modal. Sedangkan dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.39

Dasarnya Pasal 224 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memuat ketentuan mengenai persyaratan administratif pengajuan permohonan PKPU, baik

38

Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No.34 tahun 2007, LN No.131 Tahun 2004, TLN No. 4443 , Pasal. 223.

39

Hartono, Sri Rejeki. Kapita Selekta Hukum Perusahaan (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm : 94


(39)

27

bagi pemohon yang merupakan Debitor itu sendiri maupun pemohon yang merupakan Kreditor. Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa dalam hal pengajuan permohonan PKPU yang dilakukan oleh Debitor maupun Kreditor, permohonan tersebut haruslah pula ditandatangani oleh kuasa hukumnya (advokat). Advokat memegang peranan penting dalam membantu pihak-pihak yang hendak mengajukan permohonan PKPU. Adapun ketentuan pasal tersebut berbunyi sebagai berikut ”Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya”.40

Pengajuan permohonan PKPU sebagaimana disebutkan sebelumnya pun harus dilakukan dengan mengindahkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 3 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Dengan demikian maka, selain harus ditandatangani oleh advokat dari pemohon, pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun apabila Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit maupun PKPU adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor, sehingga dengan demikian pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada Pengadian Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat hukum terakhir Debitor (Pasal 3 ayat (2)

40


(40)

28

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Debitor yang merupakan persero suatu firma, maka pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut (Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Namun, apabila Debitor tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, pengajuan permohonan PKPU dapat ditujukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Guna mengetahui kedudukan dari suatu badan hukum itu sendiri dalam hal penentuan Pengadilan Niaga mana yang memiliki kompetensi relatif maka pemohon dapat mengacu pada keterangan yang terdapat dalam anggaran dasar terbaru dari badan hukum tersebut.41

Lebih lanjut diatur bahwa apabila permohonan tersebut diajukan oleh Debitor maka permohonan PKPU itu harus disertai dengan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya (Pasal 224 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun terhadap permohonan

PKPU yang diajukan oleh seorang Kreditor, maka daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya itu diserahkan oleh Debitor pada saat persidangan. Agar Debitor dapat menyerahkan daftar sebagaimana yang telah disebutkan maka dalam hal pemohon PKPU adalah Kreditor, Pengadilan akan memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat

41

Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012, hlm : 102


(41)

29

tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang (Pasal 224 ayat (3) jo. ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Bagi Debitor yang merupakan sebuah Perseroan Terbatas, maka permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham, dengan kuorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan pailit. Hal tersebut dinyatakan dalam bagian Penjelasan dari Pasal 224 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Adapun berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur bahwa permohonan agar suatu PT dinyatakan pailit harus dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS dengan kuorum kehadiran adalah paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. Hal kuorum tersebut tidak terpenuhi maka dapat diadakan RUPS kedua. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir

atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.42

Putusan dari permohonan PKPU itu sendiri memiliki sifat yang didahulukan daripada permohonan pernyataan pailit. Maksud dari hal tersebut

42

Elijana. PKPU dan Akor: Dalam Rangkuman Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya dengan Tema Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hlm : 87


(42)

30

adalah manakala terdapat permohonan pailit dan PKPU terhadap Debitor yang sama dan dalam satu waktu, maka permohonan PKPU haruslah diputus terlebih dahulu. Hal tersebut merupakan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Agar permohonan PKPU dapat diputus terlebih dahulu maka terdapat persyaratan lanjutan mengenai pengajuan permohonan PKPU yang telah didahului dengan pengajuan permohonan pailit kepada Debitor yang bersangkutan, yakni harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 229 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa: Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap Debitor, agar dapat diputus terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.43

Syarat admnistratif dari pengajuan permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit adalah permohonan PKPU tersebut harus diajukan paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan perkara pailit yang sedang berjalan itu.

B. Prosedur PKPU oleh PT sebagai debitor menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

Sebagaimana halnya dengan pelaksanaan perkara kepailitan, prosedur dari pelaksanaan PKPU itu sendiri didahului dengan adanya pengajuan permohonan

43


(43)

31

PKPU. Bedasarkan uraian pada sub-bab sebelumnya telah dipaparkan secara komprehensif mengenai bagaimana persyaratan pengajuan permohonan PKPU dan siapa saja yang dapat mengajukan permohonan PKPU beserta persyaratan lebih lanjut mengenai permohonan yang diajukan oleh masing-masing pihak (Kreditor maupun Debitor). Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang mengatur mengenai permohonan pernyataan pailit juga berlaku terhadap permohonan PKPU. Dengan berlakunya ketentuan pada Pasal Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dapat dikatakan bahwa dalam hal permohonan PKPU:

1. Haruslah diajukan kepada Ketua Pengadilan, yang dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga dengan mengindahkan ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU (Pasal 224 jo. Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU);

2. Panitera kemudian mendaftarkan permohonan PKPU pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran (Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU);

3. Panitera wajib menolak pendaftaran PKPU bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Dalam hal permohonan PKPU terhadap bank yang tidak diajukan oleh Bank Indonesia, permohonan


(44)

32

PKPU terhadap Perusahaan Efek; Bursa Efek; Lembaga Kliring dan Penjaminan; Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang tidak diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal, dan permohonan PKPU terhadap Perusahaan Asuransi; Perusahaan Reasuransi; Dana Pensiun; atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik yang tidak diajukan oleh Menteri Keuangan, maka Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan PKPU tersebut (Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU);

4. Panitera menyampaikan permohonan PKPU kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU);

5. Selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan PKPU didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Setelah permohonan PKPU diterima oleh Panitera dan didaftarkan, selanjutnya berkas permohonan tersebut akan dipelajari oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga. Apabila permohonan PKPU diajukan oleh Debitor, dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan PKPU, Pengadilan harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor (Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh Kreditor, pernyataan dikabulkannya permohonan PKPU


(45)

33

Sementara harus dikeluarkan oleh Pengadilan paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan. Dikabulkannya PKPU Sementara tersebut maka Pengadilan pun akan menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor (Pasal 225 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Dalam proses PKPU, disamping adanya Hakim Pengawas dan Pengurus yang diangkat, dapatlah pula dilakukan pengangkatan terhadap Panitia Kreditor dalam hal permohonan PKPU meliputi utang yang bersifat rumit atau meliputi sekian banyak Kreditor; ataupun manakala pengangkatan tersebut dikehendaki oleh Kreditor yang mewakili paling sedikit ½ (satu perdua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui (Pasal 231 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Dengan adanya Panitia Kreditor yang diangkat, maka dalam menjalankan tugasnya Pengurus harus meminta dan mempertimbangkan saran Panitia Kreditor, mengingat Panitia Kreditor itu sendiri mewakili kepentingan dari Kreditor yang memiliki piutang atas harta Debitor yang diurusnya (Pasal 231 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Apabila Pengadilan telah menyatakan adanya PKPU Sementara, hal selanjutnya yang dilakukan adalah memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir oleh Pengadilan. Pemanggilan tersebut dilakukan agar Debitor dan Kreditor menghadap dalam sidang, yang merupakan rapat permusyawaratan hakim, yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan PKPU Sementara diucapkan (Pasal 225 ayat (4) jo. Pasal 226 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).


(46)

34

Pemanggilan ini pun pada dasarnya juga dilakukan secara bersamaan melalui pengumuman PKPU Sementara yang dilakukan oleh Pengurus. Namun, jika setelah dilakukan pemanggilan, Debitor tidak hadir pada waktu sidang yang ditentukan, maka Pengadilan akan menyatakan bahwa PKPU Sementara berakhir

dan seketika Debitor akan dijatuhi putusan pailit (Pasal 225 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). PKPU Sementara itu sendiri berlaku

sejak tanggal putusan PKPU Sementara itu diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang tersebut (Pasal 227 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, setelah PKPU Sementara ditetapkan oleh Pengadilan maka akan diangkat seorang Hakim Pengawas dan minimal seorang Pengurus. Pengurus bertugas untuk mengurus harta Debitor bersama dengan Debitor itu sendiri. Pengurus tersebut pun harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor (Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Pengurus yang dapat diangkat haruslah memenuhi persyaratan bahwa ia merupakan orang perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta Debitor; dan terdaftar pada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Pasal 234 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Pengurus bertanggung jawab atas tindakan hukum yang dilakukannya selama mengurus harta Debitor. Dengan demikian maka Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian


(47)

35

terhadap harta Debitor (Pasal 234 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Diangkatnya lebih dari satu Pengurus, maka untuk melakukan tindakan yang sah dan mengikat, Pengurus harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Pengurus (Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Namun, apabila suara setuju dan tidak setuju sama banyaknya, tindakan pengurusan yang akan dilakukan harus memperoleh persetujuan Hakim Pengawas (Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Hakim Pengawas yang telah diangkat juga memiliki hak untuk dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta Debitor, jika PKPU telah dikabulkan (Pasal 238 ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Laporan ahli itu harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor (Pasal 238 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Adapun setelah ia diangkat maka tugas pertama yang harus dilakukannya sebagai Pengurus adalah segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama


(48)

36

Hakim Pengawas dan nama serta alamat pengurus (Pasal 226 ayat (1) Undang- Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun apabila pada waktu putusan PKPU Sementara diucapkan, Debitor sudah mengajukan rencana perdamaian, maka hal ini haruslah disebutkan dalam pengumuman PKPU Sementara tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan (Pasal 226 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Pengumuman putusan dalam setiap perkara kepailitan maupun PKPU menjadi hal yang essensial, mengingat kepailitan dan PKPU akan berdampak secara luas kepada seluruh Kreditor. Dengan demikian, putusan dari perkara ini pun harus memenuhi asas publisitas.

Sidang atau rapat permusyawaratan hakim yang digelar setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, Pengadilan akan mendengar Debitor, Hakim Pengawas, Pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa (Pasal 228 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun setiap Kreditor berhak untuk hadir pada sidang tersebut walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan atau undangan untuk menghadiri sidang itu (Pasal 228 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Agenda dalam sidang tersebut juga dapat meliputi pemungutan suara atau voting atas rencana perdamaian, apabila memang rencana perdamaian telah diajukan oleh Debitor (Pasal 228 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Namun jika Kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan Debitor, Kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU Tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, Pengurus, dan


(49)

37

Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya (Pasal 228 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Lebih lanjut dalam sidang tersebut, Debitor dapat dijatuhi putusan pailit apabila PKPU Tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan karena Kreditor, dalam jangka waktu tidak memberikan persetujuan atas pemberian PKPU Tetap (Pasal 228 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya PKPU Sementara hanya berlaku sampai dengan hari siding tersebut, sehingga apabila PKPU Tetap tidak diberikan maka Debitor dapatlah dijatuhi putusan pailit karena berakhirnya masa PKPU yang diberikan kepadanya itu. Debitor juga dapat dijatuhi putusan pailit apabila setelah PKPU Tetap diberikan dan telah dilakukan perpanjangan masa PKPU, tidak tercapai kesepakatan atas rencana perdamaian (Pasal 230 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Putusan atas pailitnya Debitor tersebut haruslah pula diumumkan oleh Pengurus dalam surat kabar harian di mana putusan PKPU Sementara diumumkan (Pasal 230 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Apabila PKPU Tetap disetujui oleh Kreditor, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU Sementara diucapkan (Pasal 228 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Mengenai jangka waktu PKPU dan perpanjangannya, Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan dalam bukunya bahwa:

“Haruslah dicermati bahwa PKPU Tetap itu berbeda dengan pengertian jangka waktu rescheduling utang sebagaimana isitlah itu dikenal dalamindustri perbankan. Jangka waktu 270 hari itu adalah jangka waktu bagi Debitor dan para Kreditornya untuk merundingkan perdamaian di


(50)

38

antara mereka. Sebagai hasil perdamaian, yang harus dicapai dalam jangka waktu itu, mungkin saja dihasilkan perdamaian untuk memberikan

rescheduling bagi utang Debitor untuk jangka waktu yang panjang, misalnya

sampai lima atau delapan tahun. Dengan demikian, masa PKPU yang tidak lebih dari 270 hari itu adalah jangka waktu bagi tercapainya perdamaian antara Debitor dan para Kreditor atas rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor. Apabila dalam jangka waktu PKPU tersebut, ternyata dicapai perdamaian antara Debitor dan para Kreditor konkuren untuk memberikan masa rescheduling misalnya selama delapan tahun, maka artinya masa pelunasan utang-utang Debitor kepada para Kreditor adalah delapan tahun, bukan 270 hari.”44

Adapun dalam hal ini yang memiliki hak untuk menentukan apakah PKPU Tetap dapat diberikan kepada Debitor adalah Kreditor Konkuren, sedangkan Pengadilan hanya memiliki wewenang sebatas memberikan penetapan PKPU Tetap atas persetujuan Kreditor Konkuren itu. Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 228 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemberian PKPU Tetap berikut perpanjangannya itu sendiri ditetapkan oleh Pengadilan dengan adanya:45

1. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua

pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari Kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan 2. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya

dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua

pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

44

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,, hlm 352.

45

Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik (Bandung: Penerbit Alumni, 2010), hlm: 126


(51)

39

Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 229 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Dalam ketentuan tersebut terlihat bahwa pemberian PKPU Tetap dan perpanjangannya dapat terjadi mana kala kedua jenis Kreditor, yakni Kreditor Konkuren dan Kreditor Separatis, secara kumulatif memberikan persetujuan yang harus memenuhi proporsi tertentu sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Namun dalam hal ini terlihat bahwa ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian persetujuan PKPU tetap berikut perpanjangannya merupakan hak dari Kreditor Konkuren saja. Prasyarat pemberian PKPU Tetap dan perpanjangannya menjadi tidak jelas dengan adanya perbedaan pengaturan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia saat ini memiliki kelemahan dalam hal penentuan pemberian PKPU Tetap dan perpanjangannya. Lebih lanjut ditentukan bahwa setelah putusan PKPU tetap diucapkan, Pengurus diwajibkan untuk melaporkan keadaan harta Debitor setiap 3 (tiga) bulan sekali (Pasal 239 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun berdasarkan Pasal 239 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, jangka waktu pelaporan tersebut dapat diperpanjang oleh Hakim Pengawas. Dengan adanya ketentuan tersebut, artinya jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 239 ayat (1) tidak terlalu rigid. Dengan demikian, apabila Pengurus menganggap jangka waku tiga bulan itu terlalu singkat karena keadaan keuangan Debitor tidak sederhana, misalnya bagi Debitor besar yang memiliki jumlah utang yang sangat besar, maka


(52)

40

Pengurus dapat mengajukan permohonan kepada Hakim Pengawas agar periodisasi laporan tersebut diperlonggar.46

Setelah PKPU tetap diberikan maka selama periode tersebut berikut perpanjangannya, yakni sampai dengan hari ke-270 semenjak PKPU Sementara diberikan, Debitor dan Kreditor melakukan perundingan mengenai rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor. Apabila selama periode tersebut berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan tidak tercapai kesepakatan mengenai rencana perdamaian karena rencana perdamaian ditolak oleh Kreditor, maka Pengadilan harus menyatakan Debitor Pailit. Dalam hal ini pasal 289 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa:

“Apabila rencana perdamaian ditolak maka Hakim Pengawas wajib segera memberitahukan penolakan itu kepada Pengadilan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan tersebut salinan rencana perdamaian serta berita acara rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282, dan dalam hal demikian Pengadilan harus menyatakan Debitor Pailit setelah Pengadilan menerima pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1).”47

Adapun apabila selama periode tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan antara Debitor dan Kreditor mengenai rencana perdamaian, atau pada akhirnya rencana perdamaian disetujui dengan terpenuhinya ketentuan:48

1. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, termasuk Kreditor yang tagihannya dibantah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280,

46

Ibid., hlm 347. 47

Indonesia, Op.Cit, Pasal. 289.

48


(53)

41

yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari

seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari Kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan

2. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua

pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut mka Pengadilan akan menggelar sidang untuk mengesahkan perdamaian.

Sidang tersebut, Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian disertai alasan-alasannya. Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa Pengadilan dalam sidang pengesahan perdamaian wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:

1. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; 2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan

4. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.


(54)

42

Ditolaknya permohonan pengesahan perdamaian yang telah diterima oleh Kreditor, maka Pengadilan dalam putusan yang sama akan menyatakan bahwa Debitor pailit (Pasal 285 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Pasal 285 pun menyatakan bahwa putusan pailit itu harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dengan jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diterima oleh Hakim Pengawas dan Kurator. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa masa PKPU Tetap berikut perpanjangannya akan berakhir dengan sidang pengesahan perdamaian yang telah diterima oleh Kreditor. Pada sidang tersebut terdapat kemungkinan penolakan pengesahan oleh Pengadilan yang dapat mengakibatkan pailitnya Debitor. Selain itu, dalam hal rapat para Kreditor tidak menghasilkan keputusan penerimaan atas rencana perdamaian sampai periode PKPU Tetap dan perpanjanganya berakhir, maka Debitor pun pada akhirnya akan dijatuhi putusan pailit. Adapun masa PKPU yang berakhir dengan adanya pengesahan rencana perdamaian oleh Pengadilan akan menimbulkan akibat hukum kepada Kreditor dan Debitor sesuai dengan kesepakatan yang tertuang pada perdamaian tersebut. Seluruh ketentuan yang tertuang pada perdamaian yang telah disahkan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 286 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU akan mengikat seluruh Kreditor, kecuali Kreditor yang tidak menyetujuinya.49

49

Prayoga, Andhika, Solusi Hukum ketika Bisnis Terancan Pailit (Bangkrut) ( Cetakan


(55)

43

C. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh PT Sebagai Debitor

Akibat hukum adalah segala konsekuensi yang terjadi dari setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan. Akibat hukum itu sendiri dapat lahir karena adanya suatu peristiwa hukum.

Mengenai peristiwa hukum, Satjipto Rahardjo berpendapat dalam bahwa Peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum.50

PKPU itu sendiri tergolong ke dalam suatu peristiwa hukum, mengingat adanya PKPU akan memberikan akibat-akibat hukum terhadap pihak-pihak

maupun hubungan-hubungan hukum sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Kepailitan.

1. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status Hukum Debitor

Adanya PKPU memengaruhi status hukum Debitor, khususnya yang terkait tindakan yang dapat dilakukannya. PKPU menimbulkan akibat hukum atas

50


(56)

44

status hukum dari seorang Debitor, yakni terhadap tindakan yang dilakukannya atas harta kekayannya. Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan adanya batasan bagi seorang Debitor dalam PKPU untuk dapat melakukan tindakan atas harta yang dimilikinya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut Debitor memerlukan adanya persetujuan dari Pengurus untuk melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Adanya PKPU terlihat bahwa status hukum Debitor sebagai pemilik harta kekayaanya tidak lagi mutlak. Sebagaimana yang kita tahu bahwa hak kebendaan atas suatu benda pada dasarnya memberikan kekuasaan langsung atas benda itu dan dapat dipertahankan terhadap tuntutan setiap orang.51 Hal berlakunya PKPU kekuasaan Debitor tersebut menjadi di-reduksi oleh ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Adapun konsekuensi apabila ternyata Debitor melanggar ketentuan sebagaimana disebut di atas adalah Pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut.52

Terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh Debitor dalam ranah hukum perjanjian, yang dalam Undang-undang Kepailitan pasal 240 ayat (4) ditentukan secara limitatif terhadap pengikatan perjanjian pinjaman dari pihak Di samping itu, ditentukan menurut Pasal 240 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU bahwa kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor.

51

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan- Jilid I (Jakarta: Penerbit Ind-Hil-Co, 2005), hlm. 52

52


(1)

89

pembentuk undang-undang juga memberi batas waktu agar ada kepastian hukum. Dalam Pasal 145 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU disebutkan, bila Debitor ingin mengajukan perdamaian, harus mengajukan rencana perdamaian sebelum rapat pencocokan piutang.

3. Akibat hukum setelah Debitor dinyatakan lalai dalam memebuhi perjanjian perdamaian oleh Pengadilan Negeri Niaga Medan yang sebelumnya dimana perjanjian perdamaian tersebut sudah disepakati oleh para pihak dapat dikatan sudah sesuai dengan peraturan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Bahwa Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa berdasarkan Putusan No. 03/PKPU/2013/PN.Niaga.Medan, tertanggal 25 Pebruari 2013, Termohon/Debitor telah dinyatakan berada dalam keadaan PKPU. Kemudian Termohon/Debitor telah menawarkan kepada Pemohon skema penyelesaian utang Termohon/Debitor dan kemudian para pihak telah menyepakati perjanjian perdamaian tersebut. Seiring berjalannya waktu, Termohon telah dinyatakan lalai dalam melaksanakan isi Perjanjian Perdamaian tertanggal 21 Nopember 2013 yang telah disahkan melalui Putusan Pengadilan Niaga Medan No. 03/PKPU/2013/PN.Niaga.Medan tertanggal 04 Desember 2013, maka hakim menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, juga beralasan dan haruslah dikabulkan. Karena perjanjian perdamaian telah lalai dipenuhi oleh Debitor maka hakim menyatakan Pailit dengan segala akibat hukumnya. Dengan pernyataan pailit, Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk


(2)

90

kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Tentang harta kepailitan, lebih lanjut dalam Pasal 19 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan Debitor, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan. Kendati telah ditegaskan bahwa dengan dijatuhkannya putusan kepailitan harta kekayaan Debitor pailit akan di urus dan di kuasai oleh Kurator.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis mencoba memberikan saran, di antaranya :

1. Mengingat perkara kepailitan memiliki sifat yang cukup kompleks dan rumit, sangatlah disarankan bagi setiap pihak terkait untuk dapat memahami hal-hal apa saja yang sekiranya harus dijalani. Debitor sebaiknya memiliki pemahaman terkait apa-apa saja yang menjadi kewajibannya selama proses perkara kepailitan berlangsung, sehingga proses yang ada akan berjalan lebih lancar. Sebaliknya, Kreditor pun perlu kiranya untuk mengetahui apa saja yang menjadi hak maupun kewajibannya. Pemberitahuan mengenai timeline dari proses penyelesaian perkara kepailitan pun harus diumumkan secara memadai, sehingga Kreditor dapat mengikuti proses dengan baik dan partisipatif serta menghindari adanya Kreditor yang kehilangan haknya.

2. Pengaturan mengenai tugas dan kewenangan pengurus PKPU sebaiknya lebih disempurnakan lagi, baik dalam bentuk Undang-Undang Kepailitan


(3)

91

dan PKPU yang baru ataupun peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang lebih jelas dan terperinci, agar tidak terjadi multi interpretasi oleh hakim dalam menyelesaikan permasalahan PKPU. Seperti peraturan tentang tanggungjawab pengurus PKPU atas kelalaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap harta Debitor.

3. Perlu adanya batasan-batasan kewenangan yang jelas antara pengurus dan debitur PKPU, untuk mempermudah kerjasama antara pengurus dan debitur PKPU dalam melaksanakan tugas pengurusan harta Debitor.


(4)

92

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2006

Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia: Studi Putusan-Putusan Pengadilan. Cet. 1.Yogyakarta:Total Media, 2008

Djohan Putro, Bramantyo. Resrtukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai. Jakarta: PPM, 2004.

Elijana. “PKPU dan Akor”. Dalam Rangkuman Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya dengan Tema Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan. Ed. Emmy Yuhassarie dkk.. Cet.1. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998, dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1999.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan: Edisi Revisi. Malang: UMM Press, 2007.

Hartono, Sri Rejeki. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Mandar Maju, 2001.


(5)

93

Ikhsan, Edy dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009)

Jono, Hukum Kepailitan, Bandung: Sinar Grafika, 2009.

Lontoh, Rudhy A. et.al., Penyelesaian Utang Piutang; (Melalui Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Bandung: Penerbit Alumni, 2011

Muda, Akhmad Antoni K. Kamus Lengkap Ekonomi. Cet.1. Jakarta: Gitamedia Press, 2005

Mulyadi, Lilik, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung: Penerbit Alumni, 2010.

Prayoga, Andhika, Solusi Hukum ketika Bisnis Terancan Pailit (Bangkrut), Cetakan pertama, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1991.

Sjahdeini, Prof. Dr. Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3. Jakarta: UI-Press, 1986.

Sinaga M, Syamsudin. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: Tatanusa, 2012

Sunarmi. Hukum Kepailitan: Edisi . Jakarta: PT Sofmedia, 2010

Suyatno, R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. Cet. 1. Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012


(6)

94

Tumbuan, Fred B.G. Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah Oleh Perpu No. 1/1998. Dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Cet. 1. Bandung:Alumni,2001.

B.UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

C.WEBSITE

Anonim. “Pengertian Restrukturisasi Utang.”

http://id.shvoong.com/businessmanagement/accounting/2194457-pengertian-restrukturisasi-hutang. Diakses tanggal Oktober 2015

Anonim,

http://sesukakita.wordpress.com/2012/05/30/kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang-pkpu/, di akses tanggal 5 Oktober