Lap Skenario 3 Geriatri

LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI
SKENARIO 3

INFEKSI DAN ULKUS DEKUBITUS PADA LANSIA

Oleh :
KELOMPOK 9
1.

Christian Ganda W A

G0010043

2.

Diah Nahdliana

G0010057

3.


Eko Dewi Ratna Utami

G0010067

4.

Faris Khairuddin syah

G0010077

5.

Liswindio Apendicaesar

G0010115

6.

Melissa Donda


G0010123

7.

Nurul Wahda Aulia

G0010145

8.

Silvia Imnatik F. I.

G0010177

9.

Yunandia Rahmawati

G0010201


10.

Zulhilmi Bramantyo

G0010207

Tutor : dr. Bulan Kakanita
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I

PENDAHULUAN
Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau
makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar.
Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan batuk, berdahak,
tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Dan tidak mau dibawa
berobat.
Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR

30x/menit, T 360 C, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan
didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba
meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar
luka kemerahan. Skor norton 9. Hasil laboratorium leukosit 7500. Foto thorax
menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.
Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian
dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus.
Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
Jump 1

Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario.
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.

Apatis
Ronkhi basah kasar
Suara dasar bronchial
Fremitus raba meningkat
Skor Norton
Kesuraman homogeny
Oksigenasi
Kasur dekubitus
Dekubitus

Jump 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Mbah Suro,perempuan berusia 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi
karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah.
2. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar.

3. 2 minggu pasien tiduran terus karena lemas dan batuk, berdahak, tidak
berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada.
4. Pasien tidak mau dibawa berobat.
5. Hasil pemeriksaan : kesadaran apatis.
6. Pemeriksaan vital sign: TD 120/70 mmHg, RR 30x/menit, T 36 0 C, HR
108x/menit.
7. Pemeriksaan paru kanan : didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar
bronkhial, dan fremitus raba meningkat.
8. Pada pasien tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan
dasar luka kemerahan.
9. Skor norton 9.
10. Hasil laboratorium: leukosit 7500.
11. Foto thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.
12. Penatalaksanaan yang di dapat di UGD : oksigenasi, antibiotik, dan terapi
cairan.
13. Pasien kemudian dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan
kasur dekubitus.
14. Pasien direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.
Jump 3
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai

permasalahan tersebut.

1. Mengapa terjadi gejala pada pasien (tidak mau makan, lemas, dan nampak
gelisah) ?
2. Apakah ada kaitannya dengan umur dan jenis kelamin ?
3. Bagaimana etiologi, patofisiologi, komplikasi dan penatalaksanaan dari
konstipasi ?
4. Bagaimana dan apakah terdapat hubungan antara pasien selalu tiduran
selama 2 minggu dengan gejala yang dialami pasien dan luka di
punggung ?
5. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan vital sign ?
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik ?
7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang/laboratorium ?
8. Apakah terdapat hubungan antara hasil foto toraks pasien yang didapatkan
kesuraman homogen dengan RR, gejala batuk dan hasil pemeriksaan paru
yang didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus
raba meningkat, jelaskan ?
9. Apakah indikasi hasil skor norton 9, jelaskan cara melakukan dan
interpretasinya ?
10. Jelaskan macam-macam terapi cairan? Terapi cairan apakah yang

digunakan pada kasus ?
11. Bagaimana etiologi, patofisiologi, komplikasi dan penatalaksanaan dari
ulkus dekubitus ?
12. Indikasi pemberian oksigenasi dan antibiotik pada kasus ?
13. Bagaimana indikasi pemakaian kasur dekubitus ?
14. Penatalaksanaan dan perawatan ulkus dekubitus di rumah ?
15. Mengapa kasus pada pasien perlu dikonsulkan ke rehabilitasi medik ?
16. Jelaskan jenis terapi yang didapatkan pada rehabilitasi medik ?
17. Diagnosis banding pada kasus tersebut ?
18. Bagaimana penatalaksanaan kasus yang tepat dan sesuai ?

Jump 4
Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan
secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahanpermasalahan pada langkah 3.
Mbah Suro
Usia:805 tahun
Dibawa ke
RSDM karena
tidak mau
makan, lemas,

dan nampak
gelisah.

Keluhan Utama:
5 hari konstipasi,
2 minggu tiduran terus
karena lemas dan batuk.

Keluhan Lain:
Batuk berdahak, tidak berdarah, tidak
demam, tidak didapatkan nyeri dada.

Lansia, terjadi
penurunan
imunitas.

Pemeriksaan fisik:
- kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR
30x/menit, T 360 C, HR 108x/menit.
- Px Paru = didapatkan ronkhi basah kasar, suara

dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat.
- luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm
Jump 5
dengan dasar luka kemerahan
Merumuskan tujuan pembelajaran
(Learning
Objective)
- Skor norton
9
Pemeriksaan
penunjang:
1. Gejala pada pasien
yang berupa
tidak mau makan, lemas, dan nampak
- leukosit 7500.
gelisah
- Foto thorax = kesuraman homogen pada paru
2. Faktor resiko jenis kelamin
terhadap
sebelah

kanan.kasus
3. Hubungan dua minggu tiduran terus dengan gejala pasien dan luka di
4.
5.
6.
7.

punggung
Konstipasi : Etiologi, mekanisme, penatalaksanaan, komplikasi
Interpretasi hasil vital sign, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab
Klarifikasi istilah kesuraman dan skor Norton
Hubungan antara gejala batuk, RR yang meningkat, dan hasil pemeriksaan

rontgen
8. Macam-macam terapi cairan pada kasus
9. Ulkus decubitus: Etiologi, mekanisme, penatalaksanaan, komplikasi
10. Indikasi pemberian antibiotic dan oksigenasi scenario
11. Penatalaksanaan dan perawatan pada kasus geriatric
12. Derajat ulkus pasien
13. Mengapa terjadi penurunan system imun pada kasus
14. Hubungan antara system imun, infeksi tanpa leukositosis dan demam pada
geriatric
15. Indikasi kasur decubitus
16. Penatalaksaan dan perawatan ulkus decubitus di rumah
17. Mengapa perlu konsultasi kepada rehabilitasi medis
18. Differential diagnosis dan penegakan diagnosisnya
19. Penatalaksanaan

Jump 7
Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh.
A. Konstipasi
1. Definisi
Definisi kontipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja,
frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Konstipasi adalah
persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang
air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, harus
mengejan atau feses keras (Hadi, 2001; Ulshen, 2000). Disebut konstipasi
bila tinja yang keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan
usus hanya terjadi kurang dari 3 x dalam 1 minggu. Diartikan juga
konstipasi klinis yaitu ditemukannya sejumlah besar feses memnuhi ampula
rectum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rectum, atau
keduanya pada foto polos perut (Pranaka dan Andayani, 2009).
Menurut International Workshop on Constipation konstipasi dikategorikan
menjadi dua, yaitu: 1. Konstipasi fungsional, 2. Konstipasi karena
penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid.
Konstipasi fungsional berupa dua atau lebih keluhan berikut dalam paling
sedikit 12 bulan:
1. Mengedan keras 25% dari BAB
2. Feses yang keras 25% dari BAB
3. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
4. BAB kurang dari 2x tiap minggu
Penundaan pada muara rectum menunjukkan adanya disfungsi anorektal,
berupa:
1. Hambatan pada anus lebih dari 25% dari BAB
2. Wakt untuk BAB lebih lama
3. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Etiologi

Penyebab konstipasi dapat berupa banyak faktor, misalnya : Konstipasi
sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik,
kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi),
konstipasi fungsional (konstipasi biasa, Irritabel bowel syndrome,
konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon , obstruksi
intestinal kronik, rectal outlet obstruction, daerah pelvis yang lemah, dan
ineffective straining), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid,
hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).
Patofisiologi
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit dalam kolon atau
pada fungsi anorektal sebagai akibat dari gangguan motilitas primer,
penggunaan obat-obat tertentu atau berkaitan dengan sejumlah besar
penyakit sistemik yang mempengaruhi traktus gastrointestinal. Konstipasi
merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, namun motilitas kolon
tidak dipengaruhi oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Pemeriksaan
eektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motoric dari kolon pasein dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motoric dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic akrena degenerasi pleksus mienterikus.
Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Individu diatas 60 tahun
juga menunjukkan kadar plasma beta endorphin yang meningkat, disertai
peningkatan ikatan pada reseprot opiate endogen di usus. Hal ini
mengakibatkan hambatan refleks gaster kolon. Selain itu ditemukan juga
menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot otot polos berkaitan dengan
usia, khususnya pada perempuan.
Penegakan Diagnosis
Pada anamnesis penting untuk menanyakan kronologis dari konstipasi.
Sebagian besar penderita dengan konstipasi kronik pada umumnya tidak
menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama.

Anamnesis yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari
konstipasi yaitu : (1) konstipasi pasca bedah, (2) tirah baring yang terlalu
lama, (3) sisa barium setelah pemeriksaan barium enema, atau (4) obat-obat
yang dapat menimbulkan konstipasi (misalnya : opioid, antikholinergik).
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab
serta pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan
sistemik dan local, terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik
usus dan colok dubur.
Pada pemeriksaan laboratoris, perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya
dan konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai
untuk menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi,
seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat
menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum. Tes fungsi tiroid
dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid
Komplikasi
Pada usia lanjut konstipasi dapat mengakibatkan impaksi feses yang
merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon
dan rectum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu di
rectum, sigmoid, dan kolon bagian proksimal. Peristiwa inidapat
diakibatkan ulsesrasi sterkoraseus dari fecaloma yang keras dan
menyebabkan ulkus dengan tepi nekrotik dan meradang, dapat pula terjadi
perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak.
Selain itu dapat pula ditemukan inkontinensia alvi, retensio urin,
hidronefrosis bilateral. Mengejan berlebihan dalam waktu lama dapat
menyebabkan prolapse rektum
B. Interpretasi Pemeriksaan
1. Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan. Tingkat kesadaran diukuran dengan
menggunaan skor GCS. tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
2. Vital Sign
Pengukuran tanda vital meliputisuhu tubuh, denyut nadi, pernafasan,
dan tekanandarah. Pengukuran tersebut bertujuan untuk memperoleh
data dasar, mendeteksi ataumemantau perubahan status kesehatan, dan
memantau probandus yang berisiko terhadapperubahan status kesehatan.
Masing masing diterangkan pada bagian berikut.
a. Tekanan darah
Berdasarkan JNC VII interpretasi tekanan darah dibedakan sebagai
berikut :

Tekanan Sistol mmHg

Tekanan Diastol mmHg

=100

Normal

Prehipertensi

Hipertensi grade 1

Hipertensi grade 2

Tekanan darah merupakan besaran yang penting dalam sistem
sirkulasi. Tekanan darahpenting karena tekanan harus cukup tinggi
untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup. Tekanan tidak boleh
terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja bagi jantung dan
meningkatkan resiko kerusakan pembuluh darah halus. Tekanan darah
seseorang

secara

langsung

dipengaruhi

oleh

volume

darah

pada.sirkulasi sistemik.

b. Suhu
Seperti banyak fungsi biologis lainnya, suhu tubuh manusia
memperlihatkan iramasirkadian. Mengenai batasan “normal”, terdapat
beberapa pendapat. Umumnya berkisarantara 36,1C atau lebih rendah
pada dini hari sampai 37,4C pada sore hari. Atau 36,5 + 0,7C
(Benneth, et al , 1996; Gelfand, et al, 1998). Lebih lanjut dijelaskan,
suhu tubuh rata-rataorang sehat 36,8+0,4C, dengan titik terendah pada
jam 06.00 pagi dan tertinggi pada jam16.00. Suhu normal maksimum
(oral) pada jam 06.00 adalah 37,2C dan suhu normalmaksimum pada
jam 16.00 adalah 37,7C. Dengan demikian, suhu tubuh > 37,2C pada
pagihari dan > 37,7C pada sore hari disebut demam (Gelfand,et al ,
1998; Andreoli,et al , 1993;Lardo, 1999). Sebaliknya Bennet & Plum

(1996) mengatakan, demam (hipertemi) bila suhu >37,2C.Walaupun
tidak ada batasan yang tegas, namun dikatakan bahwa apabila
terdapatvariasi suhu tubuh harian yang lebih 1-1,5C adalah abnormal.
Suhu tubuh dapat diukurmelalui rektal, oral atau aksila, dengan
perbedaan kurang lebih 0,5- 0,6C, serta suhu rectalbiasanya lebih
tinggi (Andreoli,et al, 1993; Gelfand,et al ,1998).
Suhu inti tubuh manusia dappat diukur secara :
a) Perrektal atau anus 0,6/1C lebih tinggi dari peroral.b.
b) Peroral (sublingual) 37 C.
c) Peraxiler : 0,5C lebih rendah dari peroral.
Dari ketiga cara tersebut yang paling akurat adalah perrektal
sebab dinding pemisahantara termometer dan kapiler tidak begitu
tebal.
c. Pernapasan


Normal : 14 – 20 x/menit



pada keadaan istirahat 14-18 x/menit



Pada bayi bisa : 44 x/menit

d. Denyut nadi
Denyut nadi adalah gelombang darah yang dapat dirasakan karena
dipompa ke dalam arteri oleh kontraksi ventrikel kiri jantung. Denyut
nadi diatur oleh sistem saraf otonom.


Normal : 60-100 x/menit



Takikardi : >100 x/menit



Bradikardi < 60x/menit

3. Pemeriksaan Paru
Palpasi
Fremitus raba (FR)

Kesan

FR kanan = kiri

Paru fisiologis

FR kanan > kiri

Massa di kanan

FR kiri > kanan

Massa di kiri

Perkusi
Perkusi
Hipersono
r
Sonor

Kesan

Isi

Dominan

Diagnosis Banding

Udara




Pneumothoraks
PPOK

Jaringan paru



Paru fisiologis




Efusi pleura
Hidrothora
ks

Redup

Pekak

Cairan

Padat

Hemothora


ks


Pyothoraks



atau Empyema
Kilothoraks





Bronkopneumonia
Pneumonia
Massa



mediastinum
Massa paru

Auskultasi
a. Suara dasar paru
 Vesikuler :
 Vesikuler normal (Jantung terkompensasi)

 Vesikuler meningkat, Cairan -> Efusi pleura (Hidrothoraks,
Hemothoraks, Pyothoraks atau Empyema, Kilothoraks)


b.

 Vesikuler menurun
Bronkhial
Bronkhovesikuler

Suara tambahan


Mengi (wheezing) : Asma, Udem pulmo, Dekompensasi kordis
sinistra, Gagal jantung kongestif (CHF).



Ronkhi basah kasar (RBK) merupakan petunjuk adanya
peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan intensitas suara
lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama:Udem pulmo,
Dekompensasi kordis sinistra, Gagal jantung kongestif (CHF),
pneumonia.



Ronkhi basah halus (RBH): Infeksi saluran napas akut (ISPA),
Udem pulmo, Dekompensasi kordis sinistra, Gagal jantung
kongestif (CHF).

4. Pemeriksaan Penunjang
-

Sel darah putih atau leukosit adalah salah satu komponen yang
membentuk darah. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu
tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem
kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna, memiliki inti, dapat
bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler /

-

diapedesisleukosit. Kadar normal 4000-11.000/mm3.
Terdapat bayangan kesuraman yang homogrn pada satu lobus/lebih
dan terlihat konsolidasi pada satu lobus/lebih, serta becak infiltrat
merupakan salah satu gejala yang dipdatkan pada penyakit pneumoni.

C. Ulkus Dekubitus
1. Definisi

Berdasarkan pernyataan dari Potter & Perry (2005), dekubitus
merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan
lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam
jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan
mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi
serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang
mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara
mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan
iskemi jaringan. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti
merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi
penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam
(Sabandar, 2008).
2. Faktor Risiko
Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien
yaitu:
1. Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap
nyeri dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas
kulit daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai
persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat
mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau
nyeri yang terlalu besar, sehingga ke
tika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau
meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).
2. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri
beresiko tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan
tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang
terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian

dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis
diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini
(Potter dan Perry, 2005).
3. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.
Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan,
tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu.
Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu
mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang
mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi
binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang
operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi (Potter
dan Perry, 2005).
4. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips

dan

traksi

mengurangi

mobilisasi

pasien

dan

ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi
dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan
gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan
yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan
atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher
digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal
servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi
dari alat penyangga leher ini (Potter dan Perry, 2005).
5. Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat

perubahan ini maka jaringan yang

berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin
sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut
(Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami

defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat
asupan vitamin C. Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien
mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal.
Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea
(level albumin serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Potter dan
Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya
dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar
albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein
viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik
untuk semua kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka
dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan
tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial
dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi
kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi,
dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan
kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry,
2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat,
hipoalbuminimea menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel
kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan
resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan
edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya
perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry,
2005).
3. Patogenesis Dekubitus
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:

1) Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
2) Durasi dan besarnya tekanan
3) Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan
tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.
Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan
menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya.
Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan
ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang
mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat
tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan
pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari
otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang
berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Potter
dan Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya
gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area
sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga
dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.
Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan
tempatnya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi
secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang
mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik
tekanan mengalami gangguan (Potter & Perry, 2005).
4. Klasifikasi Luka Dekubitus
Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan
dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan:

1) Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang
diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi
indikator.
2) Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan
dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet,
atau lubang yang dangkal.
3) Derajat III:

Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan

subkutan
atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak
melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat
seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
4) Derajat IV:

Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi

ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur
penyangga

misalnya

kerusakan

jaringan

epidermis,

dermis,

subkutaneus, otot dan kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).
5. Komplikasi Luka Dekubitus
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,
walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar
(2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
1)

Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun

anaerobik
2)

Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis

3) Septikimia
4) .Animea
5) Hipoalbuminea
6) Kematian
6. Tempat Terjadinya Luka Dekubitus
Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah
sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis iskial.

Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka
dekubitus adalah:
1) Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,
daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
2) Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama
daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki
dan bagian atas jari-jari kaki.
3) Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga,
dan lutut.
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi uka Dekubitus
a) Gaya gesek
b) Friksi
c) Kelembaban
d) Nutrisi buruk
e) Anemia
f) Demam
g) Usia
h) Gangguan sirkulasi primer
8. Penatalaksanaan Dekubitus
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah
terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya
dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk
meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor
Norton. Skor Norton adalah skala pengkajian dekubitus untuk memprediksi
timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan berdasarkan
pengalaman klinik yang mencakup lima variabel yaitu kondisi fisik, kondisi
mental, aktifitas, mobilitas dan inkontinensia. Maksimum skor yang dapat
dicapai pada skala ini adalah 20. Skore lebih dari 18 berarti risiko dekubitus
masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10

termasuk kategori sangat tinggi. Selain itu skor Norton juga dapat digunakan
sebagai upaya pencegahan resiko lebih lanjut.
Tindakan berikutnya adalah menjaga kebersihan penderita khususnya
kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu
digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolantonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi
darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak
menyebabkan lecet pada kulit penderita (Hidayat et al, 2009).
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun
setelah terjadinya dekubitus adalah:
1) Meningkatkan status kesehatan penderita.
Meningkatkan

status

kesehatan

dapat

dilakukan

dengan

cara

memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia
diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup,
vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan, mengatasi/mengobati
penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2) Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah.
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat
yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang
mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
b. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh
penderita, misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik
turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur.
c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah
setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain:
3) Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya
atau duduk dikursi.
4) Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan
tubuh penderita.

5) Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan
tebal sebagai alas tubuh penderita (Hidayat et al, 2009).
Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita,
khususnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua
usaha-usaha diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki
iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringan upaya
penyembuhan akan lebih rumit.Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan
stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi:
a. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit yang
kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi
lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
b. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus
memperhatikan

syarat-syarat

aseptik

dan

antiseptik.

Daerah

bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat
bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal,
mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan
dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
c. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus
otot dan sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan
eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal
dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya
udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah,
karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor
dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis.
mungkin diperlukan.
d. Dekubitus derajat IV

Antibiotik sistemik

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula
diserta jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap
dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab akan
menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan
tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga
merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka
bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.Beberapa
usaha

mempercepat

adalah

antara

lain

dengan

memberikan

oksigenisasi pada daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk
membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada
transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini
dapat mencapai 40% (Hidayat et al, 2009).
D. Rehabilitasi Medik
1. Tujuan Rehabilitasi Medik pada Lansia
a. Memberikan pelayanan rehabilitasi medik yang komprehensif.
b. Berperan dalam mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas
hidup pasien ( kesehatan, vitalitas, fisik, dan fungsi ).
c. Mencegah atau mengurangi keterbatasan ( impairment ), hambatan
(disability) dan kecacatan ( handicap ).
Tujuan pokok rehabilitasi para usia

lanjut

bukanlah

untuk

mengembalikan peran mereka sebagai pencari nafkah, melaikan
bagaimana mempersiapkan mereka untuk dapat menikmati ruas ahir dari
kehidupannya dengan kemandirian yang maksimal.

2. Konsep Rehabilitasi medic pada Lansia
Reintegrasi adalah rentetan usaha untuk kembali pada kemampuan
fungsional yang pernah dimiliki. Reintegrasi terhadap kehidupan normal
adalah hal yang samgat di dambakan oleh seorang pasien. Harapan inilah
yang mewakili kualitas hidu yang diinginkan . upaya reintegrasi diartikan

sebagai reorganisasi kondisi fisik, psikis, dan social serta spiritual menuju
kesatuan yang harmonis sehingga adaptasi terhadap kehidupan dapat
diperoleh, setelah mengalami sakit atau trauma.
Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa inti upaya
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup seseorang yang
menderita sakit adalah yang melaksanakan upaya berdasarkan konsep
rehabilitasi. Konsep rehabilitasi menyatu dan berkesinambungan dengan
proses penyembuhan penyakit, termasuk berbagai reaksi dan efek samping
terapi, khususnya pada penyakit geriatri.

3. Pelaksanaan Rehabilitasi Medik
Pada dasarnya falsafah dan teknik rehabilitasi pada penderita lansia
tidak berbeda dengan rehabilitasi pada umumnya, demikian pula modalitas
yang

diberikan

seperti

fisioterapi,

okufasiterapi,

fisikologi,

ortotikprostetik, terapi wicara dan social medic. Yang perlu diperhatikan
adalah sasaran program haruslah tepat pada kelompok umur berapa,
program rehabilitasi bisa diterapkan.
Dalam melaksanakan program rehabilitasi sering kali justru merugikan
menderita dengan menberikan proteksi yang berlebihan dan tidak jarang
penderita “ DIPAKSA “ berbaring dan dilayani segala kebutuhannya, dan
yang lebih tidak menguntungkan lagi sering kali penderitanya sendiri “
MENIKMATI “ peayanan semacam itu, meskipun sesunguhnya dapat
melakukan sendiri.
4. Program Rehabilitasi Medik
Untuk

memulai

program

rehabilitasi

medic

pada

penderita

lansia,sebagai tenaga professional harus mengetahui kondisi lansia saat
itu,baik penyakit yang menyertai maupun kemampuan fungsional yang
mampu dilakukan.salah satunya di kemukakan oleh Katz, DKK yang telah
menetapkan Fungsional Assessment Instrument untuk menggolongkan
kemandian merawat diri pada lansia dengan berbagai macam penyakit,
misal fraktur collum femoris, infark cerebri, arthritis, paraplegia,

keganasan, dll. adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing,
Toileting, Transfering, Continence dan Feeding.
a) Program Fisioterapi
1) Aktivitas di tempat tidur
Positioning, alih baring, latihan pasif dan aktif lingkup gerak
sendi.
2) Mobilisasi
Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke
kursi, berdiri, jalan.
Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, makan,
berpakaian.
b) Program okupasi terapi
Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas kehidupan seharihari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan,
atau langsung pada aktifitas yang diinginkan. Misal latihan jongkok –
berdiri.
c) Program ortetik prostetik
Pada ortotis prostetis akan membuat alat penopang atau alat
pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi
penderita, misal pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan,
model alat yang lebih sederhana sehingga mudah di pakai.
d) Program terapi bicara
Program ini kadang – kadang tidak selalu di tujukan untuk latihan
bicara saja, tetapi di perlukan untuk memberi latihan pada penderita
dengan gangguan fungsi menelan apabila di temukan adanya
kelemahan pada otot – otot sekitar tenggorok. Hal ini sering terjadi
pada penderita stroke, dimana terjadi kelumpuhan saraf fagus, saraf
lidah, dll.
e) Program social medic
Petugas social medic memerlukan data pribadi maupun keluarga
yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana struktur atau kondisi
di rumahnya yang berkaitan dengan aktifitas yang di butuhkan
penderita, tingkat social ekonomi. Misal seorang lansia yang tinggal
dirumahnya banyak tramp/anak tangga, bagaimana bisa di buat
landai/pindah kamar yang datar dan bisa deket dengan kamar mandi.
f) Program psikologi

Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan
keadaan emosionalnay yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada
lansia, misal apakah seorang yang tipe agresif atau konstruktif. Untuk
memberikan motifasi lansia agar lansia mau melakukan latihan, mau
berkomunikasi, sosialisaai dan sebagainya.

5. Keunggulan Rehabilitasi Medik untuk Lansia
a) Pendkekatan pelayanan bersifat mediko – psiko – sosial – edukasional
– vokasional yang merupakan pemenuhan aspek kebutuhan dasar
manusia.
b) Penanganan oleh Tim Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik.
c) Penanganan bersifat komprehensif dan terintegrasi di suatu tempat.
d) Senantiasa menyediakan alat – alat terapi yang baru untuk menunjang
pelayanan rehabilitasi medik yang lebih baik.

6. Latihan
a)
b)
c)
d)
e)

Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan musculoskeletal
Melatih fleksibilitas sendi
Latihan mobilisasi
Pemeliharaan sirkulasi
Pemeliharaan fungsi urogenital dan gastrointestinal
(Gallo JJ, 2006)

D. Penatalaksanaan Kasus
Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang
timbul. Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik
dan terapi cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan
oksigen pada pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan
untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi, sedangkan pemberian
antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada
pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik yang
sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi

(di masyarakat atu dirumah sakit) sambil menunggu hasil kultur dari
dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika perlu
diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses menua
serta komorbid yang ada pada lansia yang kesemuanya akan berakibat
pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan
interaksi obat. Untuk pasien pneumoni yang dirawat dirumah sakit dapat
diberikan klindamisin dan seftazidim.
Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien
disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang
tepat, selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai
derajatnya seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.
Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi
rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan
monilitas dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien
terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap
dan aman bagi pasien. Pertama, latihan rehabilitasi medik meliputi
pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang
termasuk pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot
isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk
meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.
Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan
rentang gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan
ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan
kaki) mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. Ketiga,
pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi
serta menghilangkan sekresi. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang
adekuat. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal
bergantung pada dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitasrutinitas untuk memfasilitasi eliminasi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh berupa learning objectives dari diskusi pertama
dan kedua yang berupa:
1. Gejala pada pasien yang berupa tidak mau makan, lemas, dan nampak
gelisah
2. Faktor resiko jenis kelamin terhadap kasus
3. Hubungan dua minggu tiduran terus dengan gejala pasien dan luka di
punggung
4. Konstipasi : Etiologi, mekanisme, penatalaksanaan, komplikasi
5. Interpretasi hasil vital sign, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab
6. Klarifikasi istilah kesuraman dan skor Norton
7. Hubungan antara gejala batuk, RR yang meningkat, dan hasil
pemeriksaan rontgen
8. Macam-macam terapi cairan pada kasus
9. Ulkus decubitus: Etiologi, mekanisme, penatalaksanaan, komplikasi
10. Indikasi pemberian antibiotic dan oksigenasi scenario
11. Penatalaksanaan dan perawatan pada kasus geriatric
12. Derajat ulkus pasien
13. Mengapa terjadi penurunan system imun pada kasus
14. Hubungan antara system imun, infeksi tanpa leukositosis dan demam
pada geriatric
15. Indikasi kasur decubitus
16. Penatalaksaan dan perawatan ulkus decubitus di rumah
17. Mengapa perlu konsultasi kepada rehabilitasi medis
18. Differential diagnosis dan penegakan diagnosisnya
19. Penatalaksanaan

B. Saran
1. Sebaiknya dalam setiap diskusi sumber informasi harus jelas dan selalu
disebutkan agar dapat memilah dan memilih informasi yang paling benar
2. Dalam diskusi sebaiknya setiap anggota ikut berpartisipasi aktif baik
pertemuan satu maupun dua
DAFTAR PUSTAKA

Colonic Obstruction, http://www.emedicine.com/med/topic415.htm. diakses 12
April 2013
Friedman LS, Isselbacher KJ: Diare dan Konstipasi, Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, vol 1, edisi ke-13, editor Asdie AH, EGC, Indonesia
Gallo JJ (2006). ADL & Instrumental ADL Assessment in and book of Geriatric
Assessment 4th ed.
Guyton, Arthur C (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hadi S, (2001). Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta, 712-716.
Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, et al, (1997). How do older persons define
constipation? Implications for therapeutic management. J Gen Intern Med
12(1): 63-66
Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H, (2009). Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Potter PA, Perry A, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik. edisi ke 4. Jakarta: EGC.
Pranarka K, Andayani R. (2009). Konstipasi dan Inkontinensia Alvi. Dalam:
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Sabandar AO, (2008). Ulkus Dekubitus. Available from: http://Alfonso de
Oncrotte.Ulkus Dekubitus.mht. Diakses 05 April 2012.
Ulshen M, (2000). Sistem Saluran Pencernaan, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Ed
Wahab S, Edisi 15, Volume 2, EGC, Jakarta, hal 1271-1278
www.bagus.blogspot.com/2011/05/rehabilitasi-medik-komprehensif-pada-usialanjut.html. Diakses pada 11 April 2013.