ANALISIS FOUCAULDIAN TERHADAP UU NO. 44

ANALISIS FOUCAULDIAN TERHADAP UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG
PORNOGRAFI
Samuel Vincenzo Jonathan
Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
smlvncnz@gmail.com
Herdito Sandi Pratama
Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
herditosandi@gmail.com
ABSTRACT
UU no. 44 tahun 2008 is a constituion which give a legal position against pornography.
Legislator, and the government, assume that constitution could overcome the problem of
pornography, and it’s cultural impact on the society. The purpose of the constitution, one of
them, is to protect women. Throught the foucauldian’s perspective, and critical hermeneutics,
this research indicate that some of the government’s assumptions are false. Not only false, even
in that constitution, there is a hidden text which could be shown, therefore the constitution
present itself as a discourse which redefine pornography, and has a cultural impact which
unintensified by the government for the society. Explicitly, the society in which talked is the
indeginous people and women.
Keywords: pornography; foucauldian; discourse; women; constitution
ABSTRAK
UU no. 44 tahun 2008 merupakan sebuah undang-undang yang membahas posisi legal dari

pornografi. Legislator, dan pemerintah, menganggap bahwa UU tersebut mampu mengatasi
persebaran dari pornografi, serta dampak kultural dari pornografi di dalam masyarakat. Tujuan
dari UU tersebut, salah satunya adalah melindungi perempuan. Melalui perspektif Foucauldian,
serta hermneutika kritis, penelitian ini menunjukkan bahwasanya beberapa asumsi yang dimiliki
pemerintah terhadap UU tersebut adalah salah. Tidak hanya salah, bahkan di dalam UU tersebut
terdapat teks tersembunyi yang dapat tersibakkan, sehingga dapat dilihat bahwa ia hadir sebagai
sebuah wacana yang meredefinisi ulang pornografi, dan memiliki implikasi kultural yang tidak
diintensikan oleh pemerintah terhadap masyarakat. Masyarakat yang disebutkan di sini secara
khusus adalah para penduduk asli di Indonesia, serta para perempuan.
Kata kunci: pornografi, Foucault, diskursus, perempuan, konstitusi

PENDAHULUAN
UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi usianya sudah hampir mencapai satu
dasawarsa, namun pro dan kontra terhadapnya sampai pada saat ini masih terus bermunculan.
Sejak pertama kali UU tersebut, UU tentang pornografi, disahkan di masa kedua pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah hadir pro-kontra terhadap UU tersebut di dalam
masyarakat. Kelompok pro terhadap UU pornografi menyampaikan berbagai argumentasi,

namun poin utamanya dapat diringkas menjadi sebuah term, yaitu “dalih agama”, atau “dalih
moral”. Pornografi, dan pornoaksi, didefinisikan sebagai sebuah media yang menampilkan aurat

dari seseorang, khususnya perempuan, adalah tidak bersesuaian dengan, pendapat sebagian besar
orang, syariat Islam. Bagi mereka, genimbang Indonesia sebagai sebuah negara dengan
mayoritas penduduk Muslim, maka adalah hal yang wajar bagi legislator, misalnya DPR, untuk
mengadopsi hukum yang dilandaskan oleh agama Islam.
Kecenderungan yang ditunjukkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam
menangani pornografi adalah bahwa mereka menangani pornografi melalui regulasi, mematikan
sumber yang memampukan seseorang untuk memperoleh konten pornografi, dan argumentasi,
atau dalil-dalil, keagamaan dan moralitas. Bahkan di dalam UU no. 44 tahun 2008, nuansa moral
begitu terkandung di dalam pasal 3 dari UU tersebut, bahwa UU tersebut bertujuan
untuk,”[M]ewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan,” serta,”[M]emberikan pembinaan dan
pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat”. Kecenderungan dari pemerintah dan
masyarakat dalam menangani pornografi dengan mematikan sumber adalah dikarenakan
pandangan terhadap pornografi sebagai merely permasalahan moral dan agama, tidak lebih dari
itu, sehingga ia dianggap sebagai suatu hal yang tabu, duniawi, dan wajib untuk diperangi,
bahkan dimusnahkan.
Salah satu pernyataan yang perlu untuk ditelisik lebih jauh lagi, selain soal bagaimana ia
dilandaskan atas dalil agama dan moralitas, di dalam UU tentang pornografi tersebut adalah
pernyataan bahwa UU tersebut bertujuan untuk, salah satunya,”[M]emberikan kepastian hukum

dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak (cukup jelas) dan
perempuan.” Pernyataan yang pertama, bahwa UU tersebut dibuat dengan tujuan memberikan
kepastian hukum dan perlindungan terhadap anak, merupakan sebuah pernyataan yang cukup
jelas. Anak-anak. perlu dilindungi dari exposure terhadap pornografi di usia dini untuk
menghindari dampak negatif yang dihasilkan, serta kemungkinan terjadinya pornografi anak.
Sedangkan, menurut saya, pernyataan yang kedua, bahwa bahwa UU tersebut dibuat dengan
tujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap perempuan, adalah sebuah
pernyataan yang memiliki ambiguitas. Apabila pernyataan yang kedua mengikuti penyimpulan
dari pernyataan yang pertama, maka, artinya, perempuan harus dilindungi dari exposure terhadap
pornografi, serta dilindungi dari keikutsertaannya di dalam pornografi. Namun, menurut saya,
masih ada yang janggal dan tidak jelas di dalam pernyataan “[M]emberikan kepastian hukum
dan perlindungan … terutama … perempuan.” Pertanyaan yang hadir adalah mengapa harus
perempuan yang dilindungi, dan bukan laki-laki? Atau, kenapa terutama ditujukan bagi, selain
anak, perempuan? Apakah berarti perempuan menjadi korban dari pornografi? Dan berbagai
pertanyaan lainnya yang mungkin hadir, dengan jawaban yang tidak sesuai dengan realitas yang
ada di dalam masyarakat saat ini.
Penilitian ini melihat bagaimana kerja keefektifan dari UU pornografi tersebut, semenjak
disahkannya sampai dengan saat ini ketika umurnya hampir mencapai satu dasawarsa. Sejak
tahun 2010, sebenarnya, sudah ada berbagai pihak yang berusaha untuk melakukan uji materi
terhadap UU pornografi, namun, sekali lagi, ada banyak pihak juga yang melayangkan

ketidaksetujuan mereka apabila UU tersebut ditinjau ulang oleh sebagian orang, misalnya oleh
Rizieq Shihab. Penilitian ini, bila tidak menyempurnakan, setidaknya berusaha untuk
menambahkan, sebuah tinjauan ulang, memberikan persepsi yang baru terhadapnya, dengan
secara khusus menaruh perhatian terhadap bagaimana UU pornografi, sebagai sebuah wacana,

membangun persepsi dari masyarakat terhadap pornografi, dan, tidak hanya pornografi, bahkan
membangun persepsi masyarakat terhadap perempuan, baik secara amelioratif, ataupun
peyoratif.
Oleh karena hal tersebut, rumusan masalah yang diangkat oleh penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana perspektif Foucauldian terhadap UU pornografi? (2)
Bagaimana UU pornografi, sebagai sebuah wacana, bekerja membangun episteme yang baru
terhadap pornografi? (3) Bagaimana UU pornografi, sebagai sebuah wacana, membangun
perspektif individu terhadap perempuan? Penelitian ini akan menjawab tiga pertanyaan tersebut,
dan menganalisis bagaimana dampak kultural dari UU pornografi bagi sebagian kelompok di
dalam masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
Setiap individu pada dasarnya memiliki worldview, cara pandang dunia, masing-masing
baik secara sadar ataupun tidak sadar. Dengan bahasa yang lebih peyoratif, menurut saya, cara
pandang dunia dapat disebut sebagai ideologi. Dua term tersebut memang memiliki definisi yang
masing-masing berbeda. Menurut Oxford Dictionary, cara pandang dunia didefinisikan sebagai

“A particular philosophy of life or conception of the world,” sedangkan ideologi didefinisikan
sebagai “A system of ideas and ideals, especially one which forms the basis of economic or
political theory and policy.” Namun, di dalam segala ketersandingannya, menurut saya, cara
pandang dunia dan ideologi adalah dua hierarki yang berbeda. Maksudnya, ideologi secara
hierarkis memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan cara pandang dunia. Ideologi
membentuk cara pandang dunia seseorang. Cara pandang dunia merupakan sebuah “kacamata”
yang digunakan oleh individu dalam mempersepsi fenomena sosial yang ada di sekitarnya;
sebuah presuposisi, proposisi yang terlebih dahulu ada, yang diambil untuk menafsirkan dunia.
Sedangkan ideologi membentuk “kacamata”, cara pandang, tersebut.
Implikasinya, bahwa manusia, per individu ataupun per kelompok, tidak pernah berada di
dalam kondisi netral secara intelek. Setiap keputusan yang diambil oleh setiap individu
didasarkan oleh ketidaknetralan dari inteleknya, sekali lagi, baik sadar atau tidak sadar, dan pada
umumnya adalah sulit bagi individu untuk mengambil jarak, atau melepaskan kacamata, dari
cara pandang dunia mereka yang spesifik. “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk
mata tiada tampak,” menggambarkan bagaimana relasi antara cara pandang dunia dengan setiap
individu yang mengambil “komitmen intelektual” terhadapnya: sulit bagi individu untuk bisa
aware terhadap keberadaannya. Selain itu, selain individu bertindak sesuai dengan cara pandang
dunia mereka masing-masing, yang sosial juga bekerja sesuai dengan cara kerjanya sendiri di
dalam kekontingensiannya. Maka dari itu, diperlukan individu lainnya yang mampu melakukan
suspension of judgment, sehingga melihat ketidaknetralan di dalam pemikiran seseorang. Salah

satu tokoh yang menawarkan perangkat untuk melakukan hal tersebut adalah seorang filsuf asal
Pranci yaitu Michel Foucault.
Michel Foucault menulis lebih dari satu karya yang membuat namanya dikenal sebagai
salah satu intelektual besar yang pernah ada di dalam sejarah, dan bahkan yang terbesar di
Prancis. Karya-karyanya mencakup berbagai topik dan fenomena social. Di dalam Madness and
Civilizaion ia membahas soal kegilaan dan peran serta psikiatris dalam mendefinisika kegilaan,
di dalam History of Sexuality ia membahas bagaimana seks direpresi oleh kuasa, di dalam
Discipline and Punish ia membahas, menganalisis, bagaimana cara kerja teoritis dari sistem
penghukuman terhadap sorang terdakwa di Prancis, dan masih ada banyak karya lain sebagai
hasil dari buah pikirannya.

Di dalam keluasan topik dan fenomena sosial yang Foucault bahas di dalam tulisannya, ia
tidak dapat dipisahkan dari semangatnya di dalam berfilsafat. Bagi Foucault, filsafat dilihat
bukan lagi sebagai sebuah proses pencarian, kanonisasi, terhadap kebenaran (“berfilsafat adalah
mencari kebenaran dengan seluruh jiwa,” menurut Platon) – seperti apa yang dipahami oleh
orang pada umumnya –, melainkan sebagai sebuah upaya untuk melihat bagaimana wacana1
(filsafat dan ilmu) tentang kedokteran, kegilaan, penjara atau seks, dan topik lainnya, dibentuk
dan ditampilkan sebagai kebenaran (Foucault, 2008: 10).
Dalam melaksanakan semangatnya tersebut, Foucault menggunakan dua metode yang ia
sebut sebagai arkeologikal dan genealogikal. Dalam menjelaskan metode arkeologikal, Foucault

mengadopsi pemikiran dari Annales yang membagi sejarah ke dalam dua bentuk, yaitu general
history, sejarah umum, yang ia oposisikan dengan total history, sejarah keseluruhan. Sejarah
keseluruhan cenderung untuk menggeneralisir, melihat, fenomena ke dalam satu bentuk
penyebab yang berpusat, atau semangat dari sebuah masyarakat atau peradaban. Misalnya
dengan melihat bahwa aspek ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, disebabkan oleh satu
penyebab spesifik yang mempengaruhi mereka semua. Sedangkan, sejarah umum menaruh
perhatian kepada seri-seri, segmentasi, batas-batas, perbedaan tingkat, peninggalan yang
menyalahi jaman, jarak antara satu waktu, jenis-jenis relasi yang mungkin ada (Weeks, 1982:
110). Maksudnya, ia tidak melihat sejarah di dalam bentuk yang menyeluruh, melainkan secara
terpisah. Arkeologikal, dengan mengikuti logika dari Foucault mengenai sejarah umum, adalah
sebuah upaya untuk membaca dokumen untuk menemukan makna tersembunya di dalamnya,
menjadikan monumen sebagai sebuah dokumen, dan bukan sebaliknya, yang kemudian
memberikan deskripsi intrinsik terhadap dokumen.
Secara singkat, arkeologi merupakan sebuah metode yang tidak mengidentifikasi struktur
universal dari semua pengetahuan, kesadaran, dan semua kemungkinan tindakan moral, tetapi
mencari bentuk wacana langsung yang mengartikulasikan apa yang seseorang pikirkan,
bicarakan, dan lakukan dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang memiliki sifat kekontingensian.
Metode genealogikal, adalah dengan tidak merancang menemukan “apa yang mungkin seseorang
laukan atau kita ketahui,” tapi menyingkapkan “kemungkinan yang tidak dapat dilakukan atau
dipikirkan tentang diri sendiri” (Gahral, 2011: 141). Pertama dengan melakukan analisis

terhadap fenomena sosial dengan melihat jejak dari wacana yang mengartikulasikannya, dan
kedua adalah dengan menyingkapkan ketidaktahuan di dalam tindakan dan pikiran seseorang.
Melalui cara-cara tersebutlah seseorang mampu melakukan analisis terhadap wacana.
Disiplin dan Hukuman: Panoptisisme
Dalam menjelaskan bagaimana kuasa bekerja, di dalam bukunya Discipline and Punish,
Foucault menggunakan dua buah ilustrasi yang ia ambil di dalam sejarah. Ilustrasi pertama yang
diambil oleh Foucault adalah bagaimana masyarakat di abad ke-17 mengatasi wabah penyakit di
sebuah kota. Ketika wabah menjangkit suatu kota, langkah pertama yang diambil oleh
pemerintah adalah menutup kota tersebut, melarang penduduk untuk masuk ke dalam atau keluar
dari kota tersebut, membunuh setiap hewan yang berkeliaran. Kota dibagi menjadi beberapa
bagian yang mana bagian-bagian tersebut memiliki seorang pemimpin, yang merupakan seorang
pejabat pemerintah. Ia memiliki kuasa untuk memerintahkan setiap orang terus berada di dalam
rumah mereka, ia memegang kunci rumah, serta mengunci setiap rumah, dari setiap penduduk.
Jatah makanan dari penduduk dibagikan menggunakan katrol dan ember, sebisa mungkin
menghindari kontak dengan penduduk. Pemeriksaan bekerja terus menerus tanpa berhenti, ada
1

Wacana dapat disandingkan dengan ideologi, kedua-duanya bermakna peyoratif.

tatapan di segala tempat; penjaga di gerbang, di balai kota dan setiap belokan, untuk menjamin

ketaatan dari penduduk serta otoritas absolut dari para pejabat. Setiap harinya para pejabat
pemerintah akan berkeliling dari setiap rumah ke rumah, memanggil nama dari penduduk satu
per satu, semacam absensi, dan setiap penduduk akan memunculkan wajahnya di depan jendela,
menandakan bahwa mereka masih hidup. Pengawasan tersebut didasarkan oleh sistem registrasi
permanen: dimana laporan dilaporkan oleh pejabat pemerintah rendahan kepada pejabat
pemerintahan menengah, ke pejabat pengadilan, sampai pada akhirnya tersampaikan kepada
walikota dari kota tersebut.
Ilustrasi kedua merupakan sebuah prototipe penjara yang ditawarkan oleh seorang filsuf,
Jeremy Bentham, dengan maksud mempermudah pengawasan yang dilakukan oleh sipir penjara.
Proptotipe dari penjara tersebut ia beri nama sebagai panoptikon. Bentham menawarkan sebuah
penjara berbentuk gelang dan di tengah-tengah dari penjara tersebut terdapat sebuah menara
yang menjulang ke atas. Menara tersebut memiliki sebuah jendela yang begitu luas, yang
memampukan para sipir untuk memperhatikan para napi di bagian luar menara. Melalu efek
lampu, sebaliknya, para napi tidak mampu melihat di mana dan berapa banyak, sipir yang
memperhatikan mereka dari menara tersebut.

Gambar 1. Sketsa penjara panoptikon yang Bentham tawarkan.
Efek yang diharapkan melalui panoptikon tersebut adalah agar memberikan kondisi
kesadaran kepada para napi bahwa mereka berada di dalam kondisi terus diperhatikan,
memberikan kuasa yang bekerja secara otomatis, tanpa memerlukan napi yang mungkin

sebenarnya tidak hadir. Bagi Foucault, melalui Panoptikon, dapat dipahami bahwa kuasa, dalam
pandangan Bentham, harus tampak dan tidak dapat diverifikasi (Foucault, XXXX: 201).
Tampak, bahwa napi dapat melihat kekuasaan tersebut di dalam bentuk sebuah menara, tempat ia
diperhatikan oleh para sipir; tidak dapat diverifikasi, bahwa para napi, di dalam kesadaran bahwa
terdapat kuasa yang memperhatikan mereka, tidak akan pernah mampu memverifikasi
keberadaan dari napi di dalam menara tersebut, namun mereka harus selalu mengandaikan
bahwa napi tersebut memang berada di dalam menara.
Dari dua ilustrasi tersebut, ada dua bentuk dari mendisiplinkan sesuatu. Pada ekstrem
yang pertama, yang Foucault sebut sebagai discipline-blockade, ditunjukkan oleh ilustrasi
pertama, mendisiplinkan dilakukan dengan begitu tersusum dan ketat. Organisir dari kuasa
dilakukan sedemikian rupa, setiap tempat diletakkan setidaknya seorang pengawas yang bertugas

untuk mengawasi dan mendisiplinkan. Mereka bertugas untuk menangkap penjahat, menghukum
orang yang membelot; sifatnya berupa kuasa yang hadir secara eksternal. Sedangkan, pada
ekstrem yang kedua, yang Foucault sebut sebagai discipline-mechanism, melalui panoptisisme,
mendisiplinkan dilakukan dengan cara yang lebih mudah, lebih cepat, lebih efektif,
menghasilkan sebuah pemaksaan yang sifatnya subtil. Kuasa tidak hadir secara eksternal,
melainkan internal, dan kehadirannya ada di mana-mana.
Konsep panoptikon yang Bentham tawarkan tersebut, sebagai bentuk dari sebuah penjara,
sekarang tidak hanya hadir di dalam prototipe saja, namun juga di dalam masyarakat modern ini.

Panoptikon merupakan simbol dari cara mendisiplinkan masyarakat melalui pengawasan. Ia
menunjukkan bahwa pada saat ini kuasa tidak hadir secara terpusat, secara eksternal, namun
tersebar, hadir di segala tempat, secara internal terhadap subjek.
METODE PENELITIAN
Dalam menelisik UU pornografi yang dihadirkan melalui teks, saya mengkombinasikan
perspektif Foucaldian mengenai wacana dengan hermeneutika kritis secara umum. Melalui
perspektif Foucauldian dan hermeneutika kritis dapat dilihat bagaimana wacana bekerja di dalam
segala “netralitas” yang dianggap oleh legislator dan masyarakat, serta menyingkap teks
tersembunyi di dalam suaut teks. Tiga hal yang dapat ditemukan melalui hermeneutika kritis
adalah (Roberge, 2011: 1), pertama, mampu menemukan bagaimana pesan-pesan budaya
disampaikan dan disembunyikan, bahwa ambiguitas makna selalu memberikan ruang bagi
sekelompok orang untuk merepresentasikan dirinya untuk melakukan distorsi dan dominasi;
kedua, menunjukkan bahwa tindakan dapat dimengerti dengan baik sebagai sebuah opposing
performances yang diarahkan oleh pandangan ideologis-moral, yang mana melalui analisis sosial
dapat menunjukkan bahwa usaha dari sekelompok orang untuk melakukan keadilan justru
memberikan ruang bagi mereka untuk melakukan eksklusi; ketiga, mengklarifikasi bahwasanya
ketegangan dan dualisme antara makna dan makna dan tindakan tidak dipisahkan dari
interpretasi diri sendiri darisetiap individual, menyingkapkan bahwa otonomi dari subjek sedang
dipertaruhkan terkait permasalahan ideologi.
PEMBAHASAN
Perspektif Foucauldian terhadap UU Pornografi
Setiap individu, terlepas dari sadar atau tidak sadarnya mereka, tidak dapat dilepaskan
dari wacana yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia. Hal itu tidak berlaku hanya
bagi sebagian orang, atau masyarakat awam saja, namun juga orang-orang yang berada di dalam
pemerintahan, akademisi, dan yang lainnya. Sehingga, dalam konteks penelitian ini, para
perancang dan legislator, khususnya UU pornografi, adalah individu yang juga memiliki cara
pandang dunia, dibentuk oleh wacana yang ada di sekitar mereka, sehingga menjadi sedemikian
rupa. Sebagian dari mereka mungkin menyadari bagaimana cara mereka memandang dunia,
namun belum tentu, dan menurut saya hampeir dapat dipastikan, bahwa mereka memahami
bagaimana wacana membentuk cara pandang mereka terhadap dunia.
Di dalam buku Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas, Foucault melihat bahwa seksualitas
merupakan sebuah entitas yang diwacanakan sejak abad ke-17, bahkan, menurutnya, sampai
pada saat ia menuliskan buku tersebut. Permasalahannya bukan bahwa seks merupakan entitas
yang haram atau halal, melainkan: bahwa seks dibicarakan, lembaga yang mendorong
pembicaraannya serta yang menyimpan dan menyebarluaskan apa yang dikatakan orang
mengenainya, singkat kata, masalahnya adalah seluruh wacana seksual itu, seluruh

“pewacanaannya” (Foucault, 2008: 30). Untuk dapat melihatnya sebagai sebuah wacana perlu
diketahui dalam bentuk apa, melalui jalur apa, dengan menyelinap, kekuasaan berhasil
memayungi segala aktifitas seksual dari manusia di dalam bentuk yang paling halus. Sebanding
dengan seksualitas, pornografi juga merupakan entitas yang pada saat ini diwacanakan
keadaannya. Ketika sebuah, dan bahkan lebih, lembaga memiliki kuasa untuk berbicara
mengenai pornografi, bahkan mendefinisikannya. Pornografi hadir sebagai sesuatu yang profane,
yang haram, dan patut untuk dimusnahkan.
Teks apabila tidak dsertai oleh kuasa, adalah semata-mata sebuah teks. Misalnya, novel
Percy Jackson yang ditulis oleh Rick Riordan, atau novel Harry Potter yang dituliskan oleh J. K
Rowling. Kedua-duanya semata-mata merupakan sebuah teks, yang digunakan sebagai
penghibur bagi sebagian orang. Namun, ketika teks disertai dengan kuasa, ia akan menjadi
sebuah wacana. Misalnya, UU pornografi, yang tidak hanya semata-mata sebuah teks, namun
juga memerintahkan disiplin serta hukuman terhadap individu yang melakukan sebuah tindakan
tertentu. Melalui Foucault dapat dipahami bahwa sesungguhnya UU tentang pornografi
merupakan sebuah praktek diskursif, wacana, dari sebuah institusi. Dalam kasus ini institusi
yang memiliki andil banyak dalam melanggengkan wacana tersebut adalah negara. Wacana
tersebut tidak ditampilkan di dalam UU pornografi secara eksplisit, melainkan secara implisit.
Dan melalui UU tersebut ada sebuah wacana yang berusaha untuk disampaikan, dilanggengkan
di dalam masyarakat. Untuk dapat mendapatkan hidden meaning, makna tersebunyi, yang
disampaikan di dalam UU tersebut, UU tersebut harus diulas secara kritis dan sedemikian rupa
pasal per pasal.
Sedari pasal pertama dari UU tersebut, nuansa wacana sebenarnya sudah ditampilkan
secara implisit. Pasal pertama tersebut berbunyi:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar
norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh
orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi
kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Ambiguitas makna selalu memberikan ruang bagi sekelompok orang untuk
merepresentasikan dirinya untuk melakukan distorsi dan dominasi, dan beberapa pernyataan di
dalam pasal ini, selain memiliki sifat yang ambigu, juga memiliki sifat yang multi-tafsir. Di
dalam keberadaannya tersebut, terdapat ruang bagi seseorang untuk memaksakan wacana mereka
mengenai sesuatu, dalam kasus ini: pewacanaan terhadap pornografi.
Foucault dalam melihat seksualitas membaginya ke dalam dua bentuk: ars erotica dan
scientia sexualis. Ars erotica dapat diartikan sebagai seni erotis. Seni erotis tersebut biasanya
dapat ditemukan di dalam kebudayaan yang ada pada masyarakat Asia, misalnya Cina, Jepang,
India, Romawi Kuno, dan bahkan, menurut saya, Indonesia. Sedangkan, di sisi yang lain,
masyarakat yang berada di Eropa daratan mempraktekkan scientia sexualis, dimana mereka
berusaha untuk mengatakan kebenaran mengenai seks melalui prosedur yang ditata sedemikian
rupa dalam bentuk pengetahuan-kekuasaan, melalui ilmu pengetahuan. Kbenearan tersebut
disampaikan oleh dokter, psikiatris, seksolog, dan sejenisnya. Dan di dalam kasus UU
pornografi, menurut saya, sebanding dengan seks, terdapat sebuah usaha untuk mengatakan
permasalahan mengenai pornografi, bahkan seksualitas, secara legal, melalui hukum. Upaya
untuk mengatakan kebenaran-kebenaran mengenai seks melalui moral, hukum, dan sebagainya
merupakan suatu bentuk quae ad ius sexus, law relating to sex, hukum yang berhubungan
dengan seks, singkatnya hukum tentang seks. Melalui hukum tentang seks, wacana dibentuk dan
tampil sebagai kebenaran, bagaimana pornografi, dengan sangat jelas, sudah dinggap gamblang
oleh legislator, dan nantinya oleh masyarakat.
Di sini peneliti tidak berusaha untuk mengatakan bahwa pornografi merupakan sebuah
hal yang berguna, tidak berdampak buruk, dan sebagainya, saya tidak membicarakan dimensi
etis dari pornografi. Melainkan saya berusaha untuk melihat bagaimana dampak dari
diberlakukannya sebuah episteme spesifik ke dalam masyarakat, secara khusus masyarakat di
Indonesia, yang sebenarnya juga memiliki sistem epistemenya sendiri. Bagaimana cara dari UU
tersebut memaksakan episteme spesifik, wacananya, ke dalam masyarakat? Langkah paling awal
yang perlu dilakukan oleh mereka adalah dengan mendefinisikan pornografi itu sendiri, karena
salah satu mekanisme dari wacana adalah dengan melakukan pendefnisian. Pornografi
didefinisikan sebagai,” … gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” Pendefinisian di dalam UU
tersebut dilakukan dengan maksud memperluas definisi dari pornografi, namun, justru, yang
dihasilkan adalah definisi yang ambigu dan multi-tafsir, hasilnya menjadi sebuah “pasal karet”.
Sebagai sebuah peradaban yang berada di Timur, Indonesia juga memiliki kebudayaan
yang kental dengan nuansa seksualnya, sebuah seni erotis. Ketika law relating to sex dipaksakan
sebagai sebuah wacana, teks yang disertai oleh kuasa, terjadi sebuah proses epistemik, bahwa
episteme tentang apa itu pornografi, menjadi sebuah episteme yang umum, yang general,
dainggap sebagai sesuatu yang sudah gamblang dan tidak lagi perlu dipertanyakan. Definisi yang
diberikan oleh UU tersebut terhadap pornografi sebagai,” … percakapan, gerak tubuh …
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat,” membuat kita bertanya-tanya,”Norma
kesusilaan dalam masyarakat yang mana?” Definisi tersebut bahkan mencakup, menjadikan,
tindakan, dan bahkan budaya, dari sekelompok orang yang memiliki episteme yang berbeda,
misalnya budaya yang berada di dalam bentuk seni erotis, menjadi sebuah tindakan yang porno
dan menyimpang, sebagai sebuah bentuk dari pornoaksi.

Menyimpulkan dari definisi dari pornografi tersebut, ketika episteme yg diberlakukan
adalah episteme tertentu, pengentalan terhadap satu nilai tertentu akan terjadi, sehingga beberapa
budaya di dalam masyarakat dengan episteme yang berbeda dari episteme yang diwacanakan
dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk dari pornografi. Ada asumsi-asumsi antropologis
yang dimiliki oleh legislator. Di dalam pasal 3, misalnya, pasal tersebut meyatakan bahwasanya:
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan
ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi,
terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Asumsinya adalah melalui UU tersebut legislator, dan pemerintah, hendak menjadikan
masyarakat sebagai penduduk yang beretika, serta, secara kontradiktif, malahan mengaku hendak
memelihara dan melestarikan masyarakat Indonesia yang majemuk. Padahal, sebaliknya, tidak
sedikit budaya di Indonesia yang, melalui wacana tersebut, dapat dikategorikan sebagai sebuah
bentuk dari pornografi, bahkan pornoaksi, melihat bahwa pada dasarnya sebagian dari budaya
yang ada di Indonesia bebentuk ars erotica. Misalnya, secara khusus, budaya yang menampilkan
erotisisme di dalam kesehariannya adalah budaya Bali. Di dalam masyarakat Bali, ketelanjangan
merupakan sebuah keseharian mereka, baik di dalam keseharian perempuan maupun laki-laki.
Apa yang dianggap sebagai sebuah tindakan pornoaksi, atau pornografi, bagi para legislator,
merupakan sebuah tindakan yang normal di dalam masyarakat Bali tersebut. Menurut Nyoma
Wijaya, ketelanjangan dari perempuan Bali merupakan bentuk dari kejujuran. Tidak hanya
kebudayaan Bali saja yang menunjukkan,” … pertunjukan di muka umum … yang melanggar
norma kesussilaan masyarakat,” namun juga kebudayaan di Papua terkait koteka, yang bahkan
sampai saat ini masih tidak sulit untuk ditemukan. Tidak mengherankan apabila penolakan
sebelumnya terhadap RUU pornografi dengan keras dilakukan oleh, salah satunya, dari
masyarakat Bali, bahkan gubernur Bali yang menjabat pada saat itu. Ia menganggap bahwa
disahkannya RUU tersebut merupakan sebuah bentuk “diskriminasi sebagian warga bangsa.”
Sebagai sebuah wacana, UU pornografi, ia merupakan quae ad ius sexus, law relating to
sex, ada pemaksaan universalitas terhadap lokalitas. Bagaimana mungkin legislator dapat
membagi nilai kepada mereka mengenai pornografi, ketika mereka sebagai indigenous people,
penduduk asli, memiliki nilai yang berbeda dari nilai yang dipahami “pada umumnya” mengenai
pornografi?
UU Pornografi: Melindungi Perempuan?
UU Pornografi, pada akhirnya, tidak hanya memaksakan satu episteme spesifik ke dalam
masyarakat yang beragam, yang mungkin memiliki episteme yang berbeda dengan legislator;
implikasi terhadap aspek kultural yang lainnya juga hadir. Teks tersembunyi yang berada di

dalam UU tersebut tidak mungkin tertampilkan secara eksplisit, namun melalui analisis terhadap
latar belakang budaya, bagaimana UU tersebut bekerja, prakteknya di dalam masyarakat, sampai
saat ini, maka tersembunyi tersebut dapat disibakkan. Tiga poin yang dipelajari melalui
hermeneutika kritis, yang bisa menjadi titik mulai untuk melihat UU tersebut adalah: pertama,
bahwa ambiguitas makna memberikan ruang agar terjadi dominasi dan distori; kedua, tindakan
dapat dimengerti melalui analisis ideologis-moral dibaliknya, bahwa keinginan utnuk melakukan
keadilan memberikan ruang bagi suatu kelompok untuk melakukan eksklusi; dan, ketiga, bahwa
makna dan tindakan tidak dipisahkan dari interpretasi diri sendiri dari setiap individual,
menyingkapkan bahwa otonomi dari subjek sedang dipertaruhkan terkait permasalahan ideologi.
Pada pasal ketiga dari UU tersebut, yang sudah ditampilkan sebelumnya, terdapat lima
tujuan dari dibuatnya, dan disahkannya, UU tersebut oleh pemerintah. Salah satu tujuan yang
menurut saya masih mengandung ambiguitas, dan bahkan merupakan pernyataan yang
multitafsir adalah pernyataan nomor empat, bahwa UU tersebut,”[M]emberikan kepastian hukum
dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.”
Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya, bahwa pernyataan,” …
kepastian hukum dan perlindungan bagi … perempuan,” adalah pernyataan yang mengandung
ambiguitas, dan saya menawarkan beberapa alternatif dalam menafsirkan pernyataan tersebut.
Pertama, bahwa perempuan harus dilindungi agar tidak terekspos oleh pornografi,
kasarnya bahwa perempuan, secara khusus dinyatakan di dalam UU tersebut, tidak boleh
mengakses pornografi. Penafsiran tersebut saya peroleh dengan mengikuti logika dari pernyataan
sebelumnya, bahwa anak-anak harus dilindungi dari pornografi. Namun, permasalahannya, apa
yang berusaha dinyatakan melalui UU tersebut memang merupakan perkara bahwa pornografi
merupakan sebuah tindakan yang tidak etis, yang berarti bahwa tidak hanya perempuan yang
tidak diperbolehkan untuk mengakses pornografi, melainkan setiap warga negara yang berada di
bawah kuasa UU tersebut. Lantas, kenapa perempuan menjadi subjek yang harus disebut secara
khusus oleh UU tersebut? Tafsiran yang kedua, adalah bahwa perempuan merupakan korban dari
pornografi, sama seperti kasus pornografi anak, artinya bahwa di dalam setiap bentuk pornografi,
pasti, di sana perempuan hadir sebagai korban. Pornografi merupakan media yang
mengeksploitasi tubuh perempuan, sehingga, mengikuti logika dari pernyataan tersebut,
perempuan yang berada di dalam media pornografi merupakan korban dan bukan pelaku. Lantas,
pertanyaan yang muncul terhadap tafsiran kedua tersebut adalah, apakah perempuan adalah satusatunya subjek yang dieksploitasi? Bagaimana dengan laki-laki, apakah mereka juga tidak ikut
dieksploitasi?
Sebuah kebijakan, atau disahkannya UU, mungkin memiliki intensi yang baik, dalam
kasus ini adalah untuk memberantas pornografi dan melindungi perempuan, namun apabila hasil
akhirnya justru tidak seperti yang diharapkan, maka kebijakan atau UU tersebut, maka dari itu,
tidak berfungsi dengan seharusnya. Menurut saya, melalui dua tafsiran tersebut, UU pornografi
justru merupakan sebuah UU yang merugikan perempuan sebagai seorang subjek, baik di mata
hukum maupun di mata masyarakat luas. Bagaimana mungkin? Dokumentasi dari sebuah LSM,
menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi korban justru diperlakukan sebagai pelaku
kejahatan. Sama seperti seorang yang terkena penyakit kusta di dalam ilustrasi Foucault, ia
merupakan korban, sekaligus orang yang menjadi pelaku, yang harus dijauhi oleh masyarakat,
agar wabah penyakit tidak lagi terjadi. Kisah dari kasus Karang Anyar dan kasus Firza Husein,
sebagai perempuan yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah, malahan ditetapkan sebagai
seorang pelaku. UU tersebut justru rentan untuk melakukan kriminalisasi terhadap perempuan.

Pada akhirnya, lebih parah lagi, justru tidak hanya negara yang mengutuk perempuan
sebagai terdakwa, kuasa hadir secara tersebar di dalam masyarakat. Terjadi panoptikon terhadap
tubuh perempuan. Negara menjadi mata elang bagi masyarakat, dan secara khusus bagi
perempuan. Perempuan memiliki kesadaran bahwa terdapat kuasa yang selalu memperhatikan
mereka, namun, di sisi lainnya, mereka tidak bisa memastikannya, sehingga mereka harus selalu
mengasumsikan bahwa diri mereka berada di bawah kuasa. Independensi perempuan terhadap
tubuhnya menghilang. Tradisi victim blaming justru dilanggengkan oleh UU pornografi tersebut.
KESIMPULAN
Di dalam perspektif Foucauldian, UU pornografi bukan sebuah teks yang hadir sebagai
teks yang murni. Melainkan sebuah teks yang disertai oleh kuasa, sehingga ia hadir menjadi
sebuah wacana di dalam masyarakat, yang mampu mendisiplinkan mereka. Ia, menurut saya,
merupakan bentuk dari budaya quae ad ius sexus, law relating to sex. Sebagai sebuah wacana, ia
mendefinisikan pornografi dengan episteme spesifik, sehingga episteme lainnya yang sudah
hadir sebelumnya, mau tidak mau dipaksakan untuk menerima definisi yang ditawarkan oleh
legislator. Pada akhirnya, justru, mengikuti pernyataan dari gubernur Bali, UU tersebut
merupakan sebuah diskriminasi terhadap sebagian dari warga negara. Tidak hanya terhadap
penduduk asli, UU tersebut justru juga menjadikan perempuan, tidak hanya sebagai korban,
justru sebagai pelaku. Ketika negara hadir sebagai panoptikon, independensi perempuan terhadap
tubuhnya juga ikut menghilang.
DAFTAR REFERENSI
Berteens, K. (2001). Sejarah filsafat abad XX, jilid II: Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Foucault, M. (2008). Ingin tahu: sejarah seksualitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Foucault, M., & Sheridan, A. (1995). Discipline and punish: the birth of the prison. New York:
Vintage Books.
Gahral, D. (2011). Setelah marxisme. Depok: Penerbit Koekoesan.
Jonathan, R. (2011). What is critical hermeneutics?. Thesis eleven, 5-22.
Weeks, J. (1982). Foucault for historians. History Workshop, No. 14 (Autumn, 1982), pp. 106119.
Y. Rahmawani. (2006). Pro dan kontra undang-undang anti pornografi. Al-Mawarid Edisi XV
Tahun 2006, pp. 35-42
https://www.komnasperempuan.go.id/memberantas-pornografi-menghadirkan-hukum-yangberkeadilan/ diakses pada tanggal 10 Juli 2017 19.34
http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-39958579 diakses pada tanggal 10 Juli 2017 pukul
21.45

Samuel Vincenzo Jonathan. Lahir di Jakarta, 26 April 1997. Ia sedang menempuh pendidikan
di Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Herdito Sandi Pratama. Lahir di Jakarta, 4 Agustus 1986. Mengajar di Departemen Filsafat,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, baik di jenjang sarjana maupun
pascasarjana. Bidang pengajaran di antaranya filsafat ekonomi, filsafat ilmu pengetahuan dan
metodologi, epistemologi (teori pengetahuan), dan filsafat analitik. Saat ini menjabat sebagai
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26