Perempuan dalam Perjalanan Teater Modern

Perempuan dalam Perjalanan
Teater Modern Indonesia
M. Yoesoef, M.Hum.

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

Perempuan dalam
Perjalanan Teater Modern Indonesia
M. Yoesoef, M. Hum.

[1]
SEJARAH panggung pertunjukan sandiwara di Indonesia terbilang lumayan tua,
setidaknya sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Catatan awal hadirnya
panggung pertunjukan sandiwara tidak akan pernah lepas dari nama August Mahieu
yang memimpin Komedie Stamboel, Willy Klimanov (A. Piedro) yang mendirikan
kelompok sandiwara The Malay Opera Dardanella di Sidoardjo, Jawa Timur.
Rombongan sandiwara ini berkeliling dari satu kota ke kota lain, bahkan ke luar
negeri seperti yang dilakukan Dardanella. Dalam masa-masa itu, kehadiran

kelompok sandiwara di suatu kota dapat dikatakan menjadi salah satu simbol
perkembangan kota itu karena di kota itulah budaya kota telah tumbuh.
Selain Dardanella, pada masa itu populer juga rombongan sandiwara Miss
Riboet’s Orion yang didirikan oleh TD Tio Jr. Kehadiran rombongan sandiwara
Komedie Stamboel, Dardanella, atau Miss Riboet’s Orion kemudian mengukuhkan
lahirnya sandiwara profesional yang tidak lagi bertopang pada tradisi sandiwara
konvensional. Mahieu, Klimanov, dan Tio melakukan berbagai pembaruan dalam
hal pertunjukan dan cerita. Bahkan Tio kemudian membuat film dengan Miss Riboet
sebagai primadona. 1 Di lingkungan budaya tradisional, muncul rombongan
Sandiwara Miss Tjitjih yang berbahasa Sunda dengan primadonanya Miss Tjitjih.
Dunia panggung sandiwara menjadi populer di masyarakat perkotaan pada masa
itu 2 terangkat oleh berbagai unsur pembaruan, baik dari segi cerita, pemanggungan,
dan yang terpenting adalah oleh pemain yang menjadi idola masyarakat, khususnya
para primadona. Mereka menjadi simbol dan bernilai jual bagi rombongan
1

Salim Said. Profil Dunia Film Indonesia (Jakarta: Pustakakarya Grafikatama, 1991), hlm.27.
Kepopuleran tersebut dipengaruhi oleh timbulnya kebudayaan mestizo di perkotaan yang perlahan tapi pasti
menggeser kebudayaan feodal yang berpusat pada keraton. Cerita-cerita Dardanella tidak mengagungkan
feodalisme, tetapi cerita tentang orang biasa yang ditempatkan pada pusat peristiwa. Di Dardanella itu sendiri

terlibat orang-orang dari berbagai suku dan bangsa, berbeda dengan sandiwara tradisional yang homogen.

2

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

sandiwara, sehingga tidak aneh rasanya nama-nama mereka kemudian identik
dengan kejayaan rombongan sandiwara itu sendiri.
Dalam sejarah pertunjukan sandiwara tercatat antara lain Dewi Dja, Riboet II,
Fifi Young, dan Miss Riboet yang kemudian berkiprah di layar lebar pada masa itu.
Beberapa bintang panggung pria pun, seperti seperti Tan Tjeng Bok dan Astaman
kemudian menjadi terkenal seiring dengan popularitas cerita atau tokoh cerita yang
dimainkannya. Kehadiran wartawan yang mengulas permainan Tan Tjeng Bok dan
Astaman ketika bermain anggar pada sebuah lakon Alexander Dumas, turut pula
menaikkan pamor mereka.
Pertumbuhan kota yang pesat dan disertai dengan semakin kuatnya budaya
mestizo pada masa itu merupakan hal yang mematangkan pertumbuhan sandiwara

profesional. Namun demikian, munculnya teknologi pembuatan film di tahun ’20-an
dan orang-orang yang melihat film sebagai ladang yang menjanjikan menyebabkan
dunia sandiwara profesional mendapat saingan kuat. Hal itu menyebabkan pamor
sandiwara profesional sedikit demi sedikit luntur. Dalam kondisi demikian, para
primadona panggung pun turut berkurang pamornya. Mereka mundur dan tertelan
zaman, atau mereka sudah beralih ke dunia film yang mulai marak pada tahun ’30an.
Ketika sandiwara dijadikan salah satu media propaganda pada zaman Jepang,
tidak tercatat seorang pun primadona yang menonjol walaupun kelompok sandiwara
profesional pada masa itu menuai panen yang tidak sedikit. Di lain pihak, muncul
pula rombongan-rombongan sandiwara amatir yang lebih menekankan gagasangagasan tentang kebangsaan, ideologi, dan sebagainya. Rombongan sandiwara
amatir yang muncul ke permukaan adalah Sandiwara Penggemar Maya yang didirikan
oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma, dan Abu Hanifah. Armijn Pane membentuk
rombongan sandiwara Pantjawarna yang mengangkat karya-karya yang ditulis
Armijn Pane, lalu Sri Murtono mendirikan Murni. 3 Pertumbuhan teater modern di
Indonesia semakin menemukan bentuknya melalui rombongan sandiwara amatir ini.
Untuk mengawal perkembangannya kemudian, tahun 1955 didirikanlah Akademi

3

Jakob Sumardjo, “Teater Indonesia Era 1900—1945,” dalam Tommy F. Awuy (ed.). Teater Indonesia: Konsep,

Sejarah, Problem (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999), hlm. 220—221).

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

Teater Nasional Indonesia antara lain oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D.
Djajakusuma. Generasi ATNI inilah yang kemudian menjadi ujung tombak teater
modern Indonesia. Hal itu terlihat pada Teguh Karya dan Teater Populernya.
Sejalan dengan itu, para perempuan yang memilih teater –melalui ATNI--antara lain
Tatiek Maliyati, Mieke Wijaya, dan R.A. Tahir. Mereka kemudian mengembangkan
diri dalam posisinya masing-masing, Tatiek Maliyati memilih sebagai dosen teater,
Mieke Wijaya memilih sebagai pemain teater dan artis film. Sementara itu, R.A.
Tahir tidak diketahui apa pilihannya kemudian.
Dalam pada itu, perkembangan rombongan sandiwara tradisional terus
berlangsung walaupun harus mengalami degradasi kontinuitas pertunjukan dan
semakin tersisih oleh munculnya media-media hiburan yang lebih menarik.
Sandiwara Sunda Miss Tjitjih di Jakarta atau Srimulat di Surabaya akhirnya
menemukan publiknya di lingkungan budayanya sendiri. Demikian juga sejumlah

grup sandiwara di daerah Indramayu.
Ketika kegairahan berteater muncul secara menggebu-gebu pada pertengahan
tahun ’70-an, muncul begitu banyak grup teater modern yang dimotori antara lain
oleh W.S. Rendra, Teguh Karya, Jim Lim Adilimas, dan Suyatna Anirun. Kendati
demikian, perempuan pemain teater pada tahun 1970-an sejalan dengan kegairahan
berteater--ternyata juga tidak muncul. Hal itu, tentu disebabkan oleh karakter teater
modern yang lain dengan karakter teater (sandiwara) profesional maupun sandiwara
tradisional. Sejumlah perempuan pemain teater yang lahir dari kancah teater modern
Indonesia pada masa itu adalah mereka yang muncul dari Teater Populer, seperti
Tuti Indra Malaon, Rahayu Effendi, Deliana Soerawijaya, Sylvia Nainggolan, Dewi
Matindas, Ninik L. Karim, Ratna Madjid, dari Teater Kecil antara lain Jajang S.
Pamoentjak, Cini Gunarwan. Dari Teater Mandiri Renny Djayusman. Dari Bengkel
Teater Yogya muncul Sitoresmi dan Ken Zuraida. Mereka itu berkiprah sebagai
pemain andalan masing-masing grup teaternya. Kontribusi yang cukup bermakna
dalam hal perempuan pemain teater didominasi oleh Teater Populer.
Apabila kita menengok pada perempuan penulis sastra drama di Indonesia
sejak awal pertumbuhan, perkembangan hingga sekarang masih dapat dihitung
sebelah tangan alias sangat langka. Kelangkaan itu kemungkinan besar disebabkan

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater

2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

oleh sulitnya menulis sastra drama yang tidak sekadar layak baca, tetapi juga layak
panggung. Lalu pada tahun 1974 muncullah Ratna Sarumpaet yang kala itu menulis
dan menyutradarai lakon “Rubayat Omar Kayam” sekaligus menjadi pemimpin
grup teater Satu Merah Panggung. Kehadiran Ratna Sarumpaet dalam dunia teater
modern Indonesia tidaklah tiba-tiba, karena sebelumnya ia bergabung dengan
Bengkel Teater Yogya yang dipimpin W.S. Rendra.
Sampai saat ini Ratna Sarumpaet masih menempati posisi satu-satunya
perempuan yang menulis sastra drama, menyutradarai, memainkan peran, dan
memimpin grup teater. Karya-karya Ratna pun senantiasa bersentuhan dengan
masalah perempuan dan lingkungannya, seperti pada karyanya Marsinah: Nyanyian
dari Bawah Tanah, Marsinah Menggugat,

dan Dara Muning. Melalui karya dan

pentasnya itu, Ratna Sarumpaet tidak saja mengangkat masalah perempuan tetapi
juga bagaimana posisi perempuan dilihat dari sudut pandang perempuan itu sendiri.

Selama ini, banyak sastra drama yang berbicara tentang perempuan, akan tetapi
tokoh-tokoh perempuan dalam drama itu kebanyakan berbicara bukan atas nama
perempuan. Mereka umumnya berada dalam tataran sosial, sebagai objek dan bukan
subjek. Hal itu berbeda dengan karya Ratna Sarumpaet yang berteriak lantang
mengangkat suara-suara perempuan ke permukaan.
Memang tidak ada keharusan, seorang perempuan penulis sastra drama
senantiasa menyuarakan dunia perempuan semata. Setidaknya, perempuan penulis
sastra drama akan lebih rigid mengemukakan perempuan dan dunianya
dibandingkan yang ditulis oleh laki-laki.
Dunia teater Indonesia dan penulisan drama lebih didominasi oleh laki-laki.
Dunia teater dan penulisan drama Indonesia sangat miskin dengan perempuan
penulis drama. Apakah ini menandakan bahwa menulis drama bagi perempuan
sangat sulit dibandingkan dengan menulis puisi, cerpen, atau novel? Pertanyaan ini
terpulang pada sikap budaya perempuan Indonesia sendiri.
Perjalanan

teater

modern


Indonesia

sejak

awal

pertumbuhan

dan

perkembangan sekarang memang tidak terlepas dari peran perempuan di dalamnya.
Namun demikian, tidak banyak perempuan penulis drama di Indonesia ini, tidak

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

banyak primadona panggung, tetapi begitu banyak perempuan pemain drama dan
perempuan pekerja teater.


[2]
PEREMPUAN pekerja teater, istilah ini merujuk pada para perempuan yang
memilih teater sebagai salah satu pilihan kegiatannya, selain sebagai pegawai atau
ibu rumah tangga. Memilih teater bagi perempuan sampai sekarang ini dapat
dikatakan masih tergolong aktivitas sampingan. Hal itu, disebabkan teater belum
(tidak) menjanjikan kelimpahruahan materi, justru sebaliknya menyedot kantong
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kuncinya adalah teater belum (tidak) dilihat
atau digarap sebagai lahan produktif. Agar menjadi lahan produktif, diperlukan
sebuah suasana timbal-balik antara masyarakat (penonton), pekerja teater (seniman),
dan juga produser atau yang disebut maecenas oleh Umar Kayam. 4 Masing-masing
unsur itu harus pula menunjukkan tingkat kebutuhan yang bersinergi secara
maksimal. Kenyataannya, teater adalah sebuah dunia yang jauh dari masyarakat,
bahkan dapat dikatakan sebuah kemewahan.
Kendati demikian, sejumlah perempuan justru secara konsisten tetap berada di
lingkungan dunia teater. Mereka antara lain adalah Mutiara Sani, Ratna Riantiarno,
Sari Manumpil, Dewi Matindas, Ninik L. Karim, , dan Margesti. Dahulu tercatat
Tuti Indra Malaon (almarhumah) dan Tarida Gloria (almarhumah). Konsistensi itu
tentu sangat bergantung pada produktivitas pertunjukan grup teaternya. Sejak tahun
70-an Teater Populer telah mengawali pertunjukan-pertunjukan rutinnya di Hotel

Indonesia. Kemudian Teater Koma yang sampai saat ini menjadi satu-satunya grup
yang tingkat produktivitasnya tinggi jika dibandingkan dengan grup-grup teater yang
lahir sezamannya, seperti Teater Mandiri, Teater Saja, Bengkel Teater Rendra, Studi
Teater Bandung, Teater Kecil, dan Teater Populer.
Apabila kita menengok pada grup teater yang lebih kemudian, antara lain seperti
Teater Sae, Art Study Club, GRJT, Teater Luka, Teater Tetas, maka kita akan
menjumpai sejumlah perempuan pekerja teater yang berteater sebagai bagian dari

4

Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat. (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981).

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

proses pencarian dirinya. Dengan kata lain, dunia teater bagi mereka sekadar bergiat
di luar rumah sebagai pengisi waktu; tidak terlihat dunia teater sebagai pilihan
profesinya.

Secara sosial, masyarakat kita masih terkukung dengan stigma bahwa menjadi
anak wayang bagi perempuan bukan hal yang bagus. Panggung adalah dunia lakilaki dan memiliki moralitas penghibur yang berkesan negatif. Kesan negatif yang
dilekatkan pada dunia panggung itu tentu menjauhkan perempuan untuk bergaul
lebih intens dengan kehidupan panggung. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa dunia
panggung bukanlah pilihan yang bagus untuk digeluti oleh perempuan. Akan tetapi,
di era sekarang ini apakah kita masih dan akan tetap memandang bahwa dunia
panggung tidak cocok untuk perempuan? Bukankah begitu banyak dan luas bidang
yang memungkinkan ditangani oleh perempuan di dunia panggung? Di sisi lain, ada
masalah besar yang sampai saat ini belum ditangani dengan baik mengenai dunia
panggung, bahwa dunia panggung ini tidak dieksplorasi secara maksimal oleh kita.
Padahal di sana tersedia sejumlah lapangan kerja kreatif yang bisa digarap secara
profesional oleh perempuan. Di sana ada sejumlah unsur yang harus dikerjakan
secara sungguh-sungguh yang berkaitan dengan kreativitas dan estiteka seni, bahkan
sebuah dapat diarahkan pada industri seni pertunjukan (teater).
Keterlibatan perempuan dalam produksi pertunjukan teater tidak harus berada
di atas panggung, pekerjaan-pekerjaan yang menuntut kerja profesional pun sangat
diperlukan di belakang panggung. Masalahnya kemudian adalah sinergi antara
seniman (sutradara), produser dengan bidang-bidang profesional, seperti untuk
urusan penataan busana, penataan rias, penataan gerak, pemasaran dan publisitas,
serta urusan lainnya dalam bidang produksi tentu dapat dikerjakan oleh perempuan.
Sumber daya dan tingkat profesionalisme perempuan dalam bidang-bidang itu
sekarang ini bukan lagi hal yang langka. Sejauh ini, semua urusan tadi dikerjakan
secara kurang profesional dengan mengandalkan orang-orang di dalam grup itu
sendiri. Manajemen seni pertunjukan seharusnya dimiliki oleh setiap grup teater,
sehingga terjadi penataan dan pemfokusan dalam pembagian kerja secara
profesional. Jelas, bahwa selama grup teater itu tidak memiliki sistem manajemen

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta

yang solid dan profesional, selama itu pula produksi pertunjukan teater tidak akan
lebih baik.
Sistem manajemen yang dilakukan di Teater Koma, misalnya, sementara ini
dapat dijadikan acuan. Ada pembedaan yang jelas siapa yang terlibat dalam
manajemen (sebagai produser dan tenaga administrasi) dan siapa yang berproses
dalam kerja kreatif (artis dan kelompok kerja yang membantu sutradara
menerjemahkan lakon dari segi artistik, seperti tata busana, tata rias, tata cahaya,
tata panggung), kendati terlihat juga ketumpangtindihan pada beberapa orang yang
terlibat di dua bagian.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, campur tangan perempuan dalam dunia
teater modern Indonesia seharusnya bisa lebih maksimal. Menyelenggarakan sebuah
pertunjukan teater pada dasarnya memerlukan sinergi berbagai profesi yang sebagian
besar dimiliki oleh perempuan.
[3]
Perjalanan teater Indonesia, baik tradisional maupun modern, memang dimotori
oleh kaum laki-laki. Namun demikian, kontribusi kaum perempuan pun tidak dapat
dikatakan sedikit, sekurang-kurangnya kaum perempuan ini jika tidak sebagai
pemain, maka ia bekerja di belakang panggung. Di mana pun tempatnya,
perempuan pekerja teater bernilai dalam proses tumbuh kembangnya teater modern
Indonesia. Sebuah tantangan besar ada di hadapan kita, yaitu dicari perempuan
penulis sastra drama.
Daftar Pustaka
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Said, Salim. 1991. Profil Dunia Film Indonesia.Jakarta: Pustakakarya Grafikatama.
Sumardjo, Jakob. 1999, “Teater Indonesia Era 1900—1945,” dalam Tommy F. Awuy (ed.). Teater
Indonesia: Konsep, Sejarah, Problem. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Pertemuan Perempuan di Panggung Teater
2—6 Agustus 2005

Dewan Kesenian Jakarta