MENIMBA ILHAM KITAB SUCI UNTUK MENCINTAI

MENIMBA ILHAM KITAB SUCI
UNTUK MENCINTAI SESAMA
Oleh: Fransiskus Borgias M., MA., Ph.D.,Cand.,

Pengantar
Dalam kesempatan ini, sebagai pembicara, saya diharapkan memberi tanggapan terhadap dokumen
yang disebut dengan judul A Common Words (ACW). Dalam rangka itu saya mulai dengan beberapa
kutipan yang penting dari dokumen itu sendiri. Pada dasarnya dokumen itu mengemukakan satu
kebenaran teologis yang sangat penting dan mendasar yaitu bahwa, dengan berlandaskan pada Kitab
Sucinya masing-masing, Islam (Qu’ran) dan Kristianitas (Kitab Suci, Bibel), sesungguhnya samasama menganut ajaran perintah ‘emas’ yang bersisi ganda itu, yakni perintah cinta akan Allah dan
perintah cinta akan sesama (ACW, p.7). Kedua agama besar dunia itu sesungguhnya menganut
kebenaran fundamental tadi. Atas dasar kenyataan itu, maka dokumen ACW ini mencoba membangun
perdamaian dan harmoni antara orang-orang Kristiani dan orang-orang Muslim di seluruh dunia
(ACW, p.7), sebab sangat diyakini bahwa kedamaian dunia ini salah satunya ditentukan oleh
kedamaian dan harmoni dalam relasi kedua agama besar ini (ACW p.59). Perintah ‘ganda’ itulah yang
kiranya dapat menjadi sebuah landasan bersama untuk membangun sebuah relasi yang tidak terutama
berdasarkan benci melainkan terutama berdasarkan cinta dan kasih sayang (ACW, p.9). Jadi, kita
semua dipanggil untuk membangun relasi cinta dengan sesama kita walaupun berbeda-beda agama.
Dengan cara saya sendiri, saya mencoba menjabarkan pemahaman dasar dari dokumen ACW itu
untuk proses pembelajaran kita bersama sekarang dan di sini.
Pokok Permasalahan Kita

Salah satu tantangan terbesar dalam hidup dan relasi agama-agama di dunia ini adalah fakta historis
bahwa agama-agama besar di dunia ini muncul sebagai kritik dan reformasi atas kebekuan dan
mungkin juga “kesalahan” (kekeliruan) agama-agama lama terdahulu. Tendensi kritik dan reformasi
itu dibesar-besarkan lewat penciptaan labeling dan stereotiping yang menjelekkan agama lama agar
gerakan rohani yang baru itu bisa mendapat identitas baru dan dengan itu bisa menjadi kuat. Pada
gilirannya identitas dan status baru itu dikampanyekan dengan gencar dan kuat agar segera bisa
mendapat pengakuan sosial dan lambat laun bisa berkuasa juga. Kita tidak mudah mengabaikan fakta
historis itu begitu saja.
Di satu pihak, kita menyadari bahwa adalah sangat mudah untuk membangun dan menyulut
kebencian terhadap sesama atas dasar agama. Dalam pelbagai Kitab Suci agama-agama ada banyak
ayat yang mengandung benih-benih kebencian yang cenderung agresif terhadap sesama, teks-teks
yang mengajarkan balas dendam yang ngeri, yang mengajarkan agar tidak lupa akan kekerasan yang
pernah terjadi di masa silam yang dilakukan orang lain, teks-teks yang memandang sesama sebagai
ancaman, dan karena itu harus dikuasai, dan bila perlu dilenyapkan, agar tidak ada lagi di bumi ini.
Sejarah dunia mungkin bisa diacu sebagai petunjuk bukti yang bisa membenarkan hal ini. Misalnya,
sejarah Perang Salib yang terkenal itu yang efek-efek traumatisnya masih kita rasakan hingga kini.
Ada pengkotbah-pengkotbah yang menyulut kebencian (misalnya, membakar kitab suci salah satu
agama tertentu, yang tidak kalah sengitnya dibalas juga persis dengan tindakan yang sama; atau
contoh lain, penghancuran tempat-tempat suci kelompok agama-agama lain).
Di pihak lain juga disadari bahwa adalah tidak mudah untuk membangun rasa cinta akan

sesama terutama yang dari agama lain berdasarkan ajaran agama dan kitab suci masing-masing.
Walau tidak mudah tetapi secara pribadi saya yakin bahwa hal itu bisa dilakukan dan diupayakan, baik
secara pribadi maupun secara komunal. Kita sesungguhnya bisa menemukan banyak ayat-ayat cinta
dari dalam kitab suci agama-agama masing-masing untuk mencoba mencintai sesama di sekitar kita,
membangun relasi sosial yang ramah dan penuh kasih walaupun berbeda agama. Ada banyak contoh
pengkotbah penuh cinta yang mengkampanyekan cinta dan mempraktekkannya dalam hidup mereka
sehari-hari.
1

Kisah-kisah Ilustrasi Untuk Membangun Cinta
Saya terutama mencoba melihat kemungkinan membangun rasa cinta akan orang yang beragama lain
berdasarkan ayat-ayat cinta dari kitab suci masing-masing. Selanjutnya, paper ini tidak lebih dari pada
upaya membeberkan beberapa kisah-kisah ilustratif yang bisa memperlihatkan dan membuktikan
bahwa jalan cinta itu bisa diwujudkan, bahwa jalan cinta itu sungguh nyata tersedia bagi kita. Jalan
cinta itu dapat kita pilih dengan sadar sebagai jalan hidup kita di tengah dunia dan masyarakat.
Pertama, cerita mengenai seseorang bernama Achmad Wahib. Ketika saya pertama kali
datang dari Flores ke Yogyakarta tahun 1982, salah satu buku yang saya baca saat itu ialah
Pergolakan Pemikiran Islam. Sebuah buku yang laris dan heboh saat itu, yang karena itu menjadi
perbincangan di mana-mana oleh pelbagai kalangan. Buku ini adalah kumpulan catatan harian
Achmad Wahib yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan. Achmad Wahib adalah anak seorang

kiayi dari sebuah pesantren besar di Madura (tetapi saya lupa lagi persisnya: Sumenep, Sampang!).
Ketika menamatkan SLTA di Madura, ia merantau ke Yogya untuk kuliah di Fisipol UGM. Saat itu ia
mondok di asrama milik para pater Yesuit, yaitu asrama Realino. Di sinilah ia mengalami sebuah
perubahan besar dalam sikap hidup dan pandangan religiusnya. Ia berasal dari tradisi Islam yang kuat
dan keras yang memandang hanya Islam saja yang benar, sedangkan yang lain itu kafir; hanya yang
Islam yang akan masuk surga, sedangkan yang lain niscaya akan terhukum masuk neraka. Tidak ada
jalan keluar. Tidak ada pengampunan apa pun juga.
Dengan latar belakang pemikiran religius seperti itu, ia mempunyai pandangan negatif akan
orang beragama lain. Tetapi sekarang ia hidup dalam asrama yang dikelola oleh penganut agama lain,
yaitu oleh para romo Katolik. Di situlah ia mengalami perubahan besar. Saya berani mengatakan, ia
mengalami pertobatan, metanoia. Maka dengan sangat berani dan berterus-terang ia mengatakan
bahwa menurut ajaran agamanya, romo bapa asrama yang Yesuit ini pasti akan masuk neraka karena
ia bukan muslim. Tetapi ia sama sekali tidak tega menerima dan membenarkan pandangan itu. Dengan
diam-diam dan juga lama-lama keras, ia memprotes dan mengkritik pandangan itu. Protes itu tampak
dalam pertanyaan reflektifnya berikut ini: Bagaimana mungkin bapaku yang sangat baik ini kelak
masuk neraka? Yang ia maksudkan tentu bukan bapa fisik-biologis, melainkan bapa dalam bentuk
relasi yang lain, yaitu sosok romo Yesuit, bapa asrama di Realino waktu itu. Sekali lagi, di sini ada
perubahan besar, perubahan radikal. Ia tidak lagi mendekati sang bapa asrama yang berbeda agama
itu, dengan pendekatan fungsional-instrumental, melainkan dengan pendekatan personal-familialkomunal. Ia mengalami metamorfosis, mengalami metanoia, perubahan dalam cara berpikir,
perubahan sikap mental. Begitulah ia mencoba merumuskan protesnya saat itu. Di sini ia berada di

persimpangan jalan. Di satu pihak ada ajaran yang keras dalam Islam yang menerakakan semua orang
bukan Islam, tetapi di pihak lain, ia tidak tega melihat orang-orang baik dicampakkan begitu saja ke
api neraka. Karena itu, dengan rendah hati ia mau mengembalikan perkara yang sulit dan penuh
misteri ini kepada kebijaksanaan dan kasih Allah saja. Ini adalah sebuah pendekatan eskatologis.
Mungkin ia menganut pendekatan eskatologis itu dalam menilai agama-agama di dunia ini.
Di sini saya teringat akan pengalaman tahun 2002 ketika saya dengan beberapa teman pergi
ke Paris mengunjungi beberapa tempat wisata di situ. Ada tiga tempat yang secara khusus saya
sebutkan: Katedral Notre Dame, Museum Louvre, dan Menara Eifel yang terkenal itu. Saat itu saya
ikut dalam tur mahasiswa Nijmegen. Ada beberapa teman dari Indonesia, dari Gajah Mada. Semuanya
muslim. Di ketiga tempat itu, kami terkagum-kagum akan keagungan, keindahan dan kemegahan
warisan peradaban Paris yang luar biasa itu. Ketika kami berdiri terkagum-kagum di bawah kaki
Eifel, salah seorang teman Muslim dari Gajah Mada itu mengatakan kepada saya, betapa orang-orang
yang membangun ini, pasti masuk surga, biarpun mereka bukan Islam, karena mereka telah
membangun sesuatu yang mempunyai manfaat yang sangat besar dan luar biasa bagi manusia dan
kemanusiaan. Ketika mendengar hal itu, saya sangat terkagum dan terharu. Ini sebuah metanoia. Ini
adalah sikap yang mulia, serba merangkul yang selama ini dianggap tidak bisa dan tidak boleh
dirangkul sama sekali.
Kedua, kisah mengenai seorang yang bernama Bambang (saya lupa lengkapnya). Beberapa
tahun silam (2005), FF-UNPAR Bandung mengawali tahun kuliah pembuka untuk mahasiswanya
dengan mengundang tokoh muslim bernama Bambang. Orang ini dikenal sebagai tokoh sufi (tasawuf)

di Bandung. Ia berpenampilan sederhana, tetapi dengan segudang pengalaman menarik. Ia memberi
judul kuliahnya itu dengan judul yang amat menarik: mencintai orang Kristen melalui Al-Qur’an.
2

Benar-benar sebuah judul yang mengagumkan. Dengan terus terang ia mengatakan bahwa bahan itu
sebenarnya dimaksudkan sebagai bahan untuk sesama kaum muslim, bukan dimaksudkan untuk orang
Kristiani; itu adalah sebuah ajakan terhadap kaum muslim untuk mulai berusaha mencintai orangorang Kristen (dan juga orang yang beragama lain) menurut ajaran al Qur’an itu sendiri. Sebab ia
sungguh yakin (dan memang hal itu benar adanya) kitab itu mengandung ajaran moral kasih. Tidak
ada yang menyangkal kebenaran itu. Bahan refleksi itu ia sampaikan pada komunitas Kristiani,
khususnya para calon imam di Fakultas Filsafat UNPAR. Saya sudah lupa beberapa detail ceramah
beliau. Tetapi ia meyakinkan saya bahwa Qu’ran mempunyai visi positif akan orang lain, akan agama
lain, khususnya akan agama Kristianitas.
Atas dasar pandangan dan keyakinan seperti itu, ia berusaha mengajak sesama kaum muslim
untuk menerima, menghormati, bahkan mencintai orang-orang Kristiani, menurut anjuran al-Qur’an
itu. Bagi saya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengagumkan dan menarik. Bagaimana pun juga
tampilnya pak sufi Bambang ini mengingatkan saya akan orang seperti John S.Dunne yang terkenal
dengan metode passing over dan coming back-nya itu dalam hubungan dan dialog antar agama dan
terutama antar para pemeluk agama. Beliau menuangkan pemikiran itu dalam bukunya yang berjudul
The Way of All the Earth. Juga mengingatkan saya akan orang-orang seperti Raimundo Panikkar yang
menyerukan agar dibangun sebuah dialog dan kerja-sama inter-religius atas dasar basis mistik dalam

masing-masing agama. Sesuatu hal yang tentu saja bisa diupayakan, walau tidak serba mudah juga.
Selanjutnya saya teringat akan seorang Pastor Palestina bernama Elias Chacour yang
menerbitkan sebuah buku tahun 1990, dengan judul Saudara Sekandung. Buku ini adalah roman
sejarah yang mengisahkan proses tersingkirkannya kaum keluarga pastor Elias ini dari bumi Palestina
ketika negara Israel mulai dibentuk pada tahun 1948. Ia menghadapi sebuah realitas yang teramat
pahit, yaitu kaum keluarganya, orang-orang Palestina disingkirkan dari tanah kaum leluhurnya dan
menjadi pengungsi yang serba tidak aman dan nyaman di beberapa wilayah negara tetangga sekitar.
Namun kendati pengalaman pahit seperti itu, ia tetap mengembangkan sebuah teologi pembebasan
dan teologi perdamaian yang dibangunnya berdasarkan apa yang ia baca dan yang ia pelajari dari
dalam Kitab Suci. Berbeda dengan teologi pembebasan di Amerika Latin, misalnya, yang membangun
teologi pembebasan mereka terutama dengan menimba ilham dari kitab Keluaran (Exodus), Elias
justru menimba ilham gerakan teologi pembebasannya dari Kotbah di Bukit. Masih dari Palestina ini,
baru-baru ini ada sebuah buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh
seorang perempuan Palestina (Muslimah). Tetapi sayang, saya lupa namanya dan juga saya lupa judul
bukunya; buku itu terbit pada sebuah penerbit kecil di Bandung kira-kira dua tahun yang lalu.
Perempuan ini, sebagaimana semua orang Palestina yang masih coba bertahan hidup di Palestina,
mengalami kekerasan yang mengerikan. Tetapi ia mencoba mengajak kaumnya untuk tidak mau dan
tidak usah membalas kekerasan itu dengan kekerasan. Ia mengajarkan sebuah jalan damai, walaupun
hal itu mungkin tampak terasa tidak mungkin. Saya yakin, perempuan ini pun mendasarkan
perjuangannya pada apa yang diajarkan dan diilhami oleh Agamanya, oleh Kitab Sucinya.

Dari sejarah India modern saya mau menyebut dua nama yang penting. Pertama, tentu saja
Mahatma Gandhi. Ia adalah seorang pejuang dalam revolusi kemerdekaan India. Salah satu alat
perjuangannya ialah ajarannya yang terkenal yaitu ahimsa (non-violence), tentu saja selain beberapa
pokok ajarannya yang lain (seperti satyagraha). Gandhi menjadikan ahimsa itu sebagai alat
perlawanan politik melawan imperalisme barat (Inggris). Dan sungguh mengagumkan bahwa ia
sungguh berhasil dalam perjuangannya itu. Tampaknya, ia seperti hanya bergerak pada level
pemikiran dan ideologi saja, tetapi justru pergerakan itu membuahkan hasil yang nyata, yaitu
kemerdekaan India. Gandhi juga tentu saja bisa sampai kepada paham dan ajaran seperti itu setelah ia
mendalami kitab suci agamanya dan dicampur dengan pelbagai macam pengalaman-pengalaman
negatif yang lain yang ia alami dalam perjalanan hidup dan kariernya. Tokoh kedua, dari India yang
ingin saya ajukan di sini ialah Bunda Teresa dari Calcuta. Memang ia bukan orang India, tetapi
seluruh hidupnya dibaktikannya bagi India. Dengan ketekunan yang luar biasa, bunda Teresa mencoba
melayani dan mencintai sesama terutama mereka yang tersisihkan dan menderita. Pada awal karya
pelayanannya ia hanya mencoba memberikan sebuah karya nyata, yaitu menyediakan rumah kematian
yang nyaman bagi sekian banyak gelandangan di Calcuta yang saat itu, bisa saja mati di jalanan persis
sama dengan proses matinya anjing, tanpa ada yang menunggui dan memperhatikan. Bunda Teresa
tergerak hatinya untuk memberi pelayanan bagi mereka karena tentu saja terilhami oleh ajaran Kitab
Suci yang dipercayainya.
3


Tafsir Untuk Menyuburkan Cinta Kasih
Tentu daftar kisah ilustrasi ini bisa diperpanjang lagi. Tetapi saya mengakhirinya di sini. Tinggal satu
pertanyaan lagi bagi kita. Jika memang sangat mungkin bahwa kita bisa menggali dari kitab suci
agama masing-masing bahan ilham untuk membangun relasi cinta dan perdamaian dengan sesama,
maka apa yang menjadi tugas dan tanggung-jawab, dan tantangan etis kita sekarang dan ke depannya?
Menurut saya, tugas dan tanggung jawab itu ialah mencoba menjawab pertanyaan sederhana ini, yaitu
bagaimana caranya agar alur cinta dan kedamaian inilah yang dominan mewarnai masyarakat kita,
dan bukan alur kekerasan dan kebencian? Tujuannya ialah agar yang kita lihat bukan tindakan
kekerasan dan kebringasan, melainkan hidup berdampingan secara damai.
Dengan mengikuti anjuran para Bapa Gereja (St.Agustinus), saya mencoba mengemukakan
beberapa prinsip hermeneutik yang penting. Pertama, tafsir KS harus praxis-oriented, terarah kepada
praksis. Tafsir harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir yang baik, harus mampu
mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosio-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas
olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas
melayang-layang saja. Kedua, tafsir harus dilandasi semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap
rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini
ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan KS harus bisa mengubah orang menjadi
rendah hati; jika orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama.
Sebaliknya, jika ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.
Ketiga, terkait dengan poin kedua tadi, tafsir KS juga harus bisa menyuburkan cinta kasih.

Hendaknya tafsiran itu harus menumbuh-kembangkan cinta akan sesama. Tafsir jangan sampai
bermuara pada kebencian, menumbuhkan benih-benih amarah di dalam hati dan budi manusia. Ini
yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini.
Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang menabur dan
menebar kebencian, walau kemungkinan ke situ selalu ada sebagaimana disinyalir P.Ricoeur dalam
The Conflict of Interpretation-nya itu. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta
kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta
kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah
conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.
Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak
ada tafsir tunggal. Tafsir selalu plural. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak
dalam hermeneutik. Orang tidak dapat memonopoli tafsir. Sebab di antara penafsir ada satu keyakinan
abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan bisa menggali satu dimensi baru. Sebab diyakini
bahwa “Reading is a process of reproducing meaning.” Juga dikatakan bahwa “reading is a process
of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan
membangun makna. Makna harus berkonotasi etis, artinya mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan
bagi manusia, bukan untuk mencelakakan sesama.
Penutup: Sebuah Himbauan Etis
Menurut saya, tidak ada cara lain selain dengan pendidikan keadilan dan cinta kasih yang intensif
sejak dini. Diharapkan bahwa sejak dini kita tidak diajarkan benih kebencian dan curiga terhadap

sesama yang berbeda (agama) dari kita. Tentu hal ini memang tidak mudah. Sebab sejarah agamaagama kita sudah terbentuk dengan labeling dan stereotipe. Tidak apa-apa. Jalan ke masa depan
memang masih sangat panjang. Mari kita berbuat sesuatu yang sederhana terus menerus seperti yang
sedang kita lakukan sekarang dan di sini: mencoba menebarkan benih-benih kasih dalam relasi
kemanusiaan, mencoba mengajak sesama agar bisa menemukan ayat-ayat cinta dalam Kitab Suci kita
masing-masing yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk membangun relasi yang harmonis dengan
sesama kita.

Daftar Kepustakaan:
A Common Word, Between Us and You, 2012, The Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought,
Amman.
4

Elias Chacour, (asli 1990). Saudara Sekandung, Perjuangan Seorang Palestina Untuk Perdamaian
Timur Tengah, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Graham E.Fuller, 2010. A World Without Islam, Little, New York: Brown and Company.
Perjumpaan dalam Persahabatan, Surat-surat dari Vatikan kepada Umat Islam 1967-2011, 2011,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Tzvetan Todorov, 2010. The Fear of Barbarians, Beyond the Clash of Civilizations, Chicago: The
University of Chicago Press.
John Tolan, 2009. Saint Francis and the Sultan, The Curious History of Muslim-Christian Encounter,

Oxford: Oxford University Press.
Karen Armstrong, 2007. The Bible, A Biography, New York: Atlantic Monthly Press.
Paul F.Knitter, 2005. Menggugat Arogansi Kekristenan, Yogyakarta: Kanisius.
Bryan S.Turner, 2008. Religious Diversity and Civil Society, A Comparative Analysis, Oxford, The
Bardwell Press.
John S.Dunne, 1970. The Way of All the Earth, New York: Orbis Books.
William T.Cavanaugh, 2009. The Myth of Religious Violence, Secular Ideology and the Roots of
Modern Conflict, Oxford: Oxford University Press.
Paul Ricoeur, 1974. The Conflict of Interpretation, Essays in Hermeneutics, Evanston: Northwestern
University Press.

5