Pendidikan MUltikultural Strategi Menin. docx
Pendidikan MUltikultural
Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan
Multikultural
Oleh Achmanto Mendatu
Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini
tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa
(Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas
yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan
saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama
lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman
ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan
rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang
merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan
antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak,
maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan.
Menumbuhkan pemahaman lintas budaya mutlak diperlukan dalam
masyarakat Indonesia yang multietnik dan multikultur. Adapun cara yang
dilakukan bisa melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai
dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui
pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa
dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan
latar belakang kultural (Bryant, 1996) dan pemahaman akan keberagaman
dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak
dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto, 1996). Dimensi yang
terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi,
konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan
empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah
pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan
pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas
keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya
manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas
yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan
berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan
antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock,
1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran
dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.
Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultur. Peran guru
sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas
budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar,
dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
(Syah, 2002), demikian juga latar belakang kultural guru akan turut
membentuk persepsi murid terhadap kulturnya (Cabello & Burstein, 1995).
Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak
sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa
diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur (Banks,
1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki
pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu
pendidikan multikultur.
Pendidikan tingggi yang bertugas menyiapkan calon guru, seperti misalnya
IKIP maupun Fakultas Keguruan lainnya, sudah seharusnya memiliki
strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan kompetensi calon guru
dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Strategi dimaksud bisa
secara nyata terdapat dalam kurikulum maupun melalui beragam cara
lainnya yang diselenggarakan dalam proses pengajaran. Keberhasilan dari
suatu pendidikan tinggi bahkan bisa dilihat dari kemampuannya
menyiapkan kompetensi itu.
Makalah ini membahas beberapa strategi dalam meningkatkan kompetensi
calon guru dalam melaksanakan pendidikan multikultural.
Analisis
Ada empat strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan kompetensi
mahasiswa calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur
yang akan dibahas dalam makalah ini. Empat strategi dimaksud diambil dari
Journal of Teacher Education, yaitu Issues Exchange Activity (Marshall,
1998)., ABC’s Model (Xu, 2000), The Cultural Immersion Project (Wiest,
1998), dan Service Learning (Barton, 1999). Semua strategi itu telah
dilaksanakan sebagai bagian dari tugas kuliah mahasiswa calon guru dan
telah diteliti efek-efeknya terhadap peningkatan pemahaman lintas budaya
mahasiswa.
1. Issues Exchange Activity
Judul : Toward Developmental Multicultural Education : Case Study of the
Issues Exchange Activity.Penulis : Patricia L. MarshallSumber: Journal of
Teacher Education, 1998, 49 (1) : 57-65
Issues Exchange Activity adalah serangkaian dialog akan sebuah topik yang
berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat
yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan selama 16 kali pertemuan atau 1
semester, oleh mahasiswa peserta mata kuliah pendidikan multikultural yang
diampu oleh Prof. Patricia L. Marshall di North Carolina State University.
Strategi dalam Issues Exchange Activity adalah menempatkan dua orang
dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan
yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan
yang lain anti. Kemudian mereka saling bertukar tempat, yang pro menjadi
anti dan yang anti menjadi pihak yang pro. Mahasiswa dipersilahkan untuk
mengungkapkan cultural aversion-nya dalam diskusi itu. Tugas dosen
(Marshall), adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan
bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus
dibaca oleh mahasiswa sebelum diskusi. Salah satu contoh dari tema
diskusi, yaitu “apakah beberapa kelompok kultur subordinat menggunakan
ketidakadilan terhadap mereka dimasa lalu sebagai alasan atas
kekurangsuksesan mereka saat ini?”
Marshall kemudian melakukan survei melalui surat untuk melihat efek dari
kegiatan itu pada peserta yang mengikuti kegiatan itu satu tahun (7 orang)
dan dua tahun (8 orang) sebelumnya. Melalui laporan dari para peserta, Ia
menemukan bahwa :
1. Hampir semua mahasiswa melaporkan bahwa sebelum mengikuti
kegiatan itu mereka memiliki sikap yang kemudian mendapatkan tantangan
setelah mengikuti kegiatan. Mereka mengakui memiliki personal bias
(prasangka, berpikiran sempit, dll) yang dikonfrontir dalam kegiatan itu..
Mereka melaporkan menjadi lebih reseptif terhadap cara pandang orang
lain.
2. Kegiatan itu membuat mereka lebih kritis terhadap perbedaan kultural
diantara pelajar di dalam sekolah dan lebih mampu untuk memahami cara
berpikir (perspectives-taking) orang-orang dalam kultur yang berbeda.
3. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu rasial/etnisitas dan membuat
pikiran mereka lebih terbuka
4. Mereka melaporkan bahwa efek dari kegiatan itu ditransfer ke dalam
kehidupan profesional mereka (termasuk didalamnya sebagai pengajar di
sekolah).
2. ABC’s Model
Judul : Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into
Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s ModelPenulis : Hong
XuSumber: Journal of Teacher Education, 2000, 51 (2) : 135-148.
Model ABC ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami
latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai didalamnya sebelum
memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman
hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dan
analisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada
gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan
diantara berbagai budaya.
Kegiatan peningkatan kompetensi multikultural model ABC ini merupakan
proyek penelitian yang melibatkan 20 mahasiswa calon guru di Texas Tech
University. Model ABC ini terdiri dari lima komponen, yaitu :
1. Otobiografi. Calon guru menulis otobiografi dengan memasukkan nilainilai budaya dan pengalaman hidup. Mereka juga menggambarkan tentang
pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan di sekolah.
2. Biografi. Calon guru membuat studi kasus dengan melakukan interview
terhadap seorang murid mengenai latar belakang keluarga dan kulturnya,
serta pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan disekolah. Kemudian
hasilnya ditulis dalam biografi.
3. Analisis lintas budaya. Calon guru mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan antara kisah tentang diri mereka dan studi kasus yang
dilakukannya terhadap seorang murid tadi dengan menggunakan chart.
4. Analisis perbedaan budaya. Dikelas didiskusikan hasil dari analisis lintas
budaya yang dan studi kasus yang dilakukan, serta ketidaknyamanan
mereka terhadap perbedaan budaya.
5. Praktik di kelas. Calon guru berpraktik mengajar didepan kelas. Pertama
ia harus mengetahui kemampuan menulis dan membaca murid-muridnya
melalui mengeja dan membaca secara informal. Kemudian ia menerapkan
pengetahuan mengenai strategi intruksional dan literatur anak-anak,
terhadap murid-muridnya berdasarkan kebutuhan murid-murid tersebut.
Mereka mendokumentasikan aplikasi setiap strategi dalam sebuah lembaran
strategi dan mencatat literatur anak-anak di lembaran literatur. Di akhir
tugas lapangan ini, mereka membuat laporan studi kasus dengan dilengkapi
dengan pengalaman mengajar dan insight mereka dalam mengajar pelajar
yang berbeda-beda.
Xu melakukan penelitian terhadap otobiografi, biografi, chart analisis lintas
budaya, lembaran strategi dan literatur, serta melalui observasi langsung. Ia
menemukan bahwa :
- Otobiografi membuat mereka lebih memahami latar belakang budaya
sendiri.
- Mereka lebih memahami kultur dan keluarga murid dan kesulitankesulitan mereka dalam belajar tulis-menulis.
- Mereka menyadari adanya perbedaa-perbedaan antara diri mereka dengan
murid-murid dan berpikir lebih positif mengenai perbedaan itu.
- Mereka mengeksplorasi dan mengintegrasikan perbedaan ke dalam
intruksi pengajaran. Mereka melakukan dua pendekatan; 1) integrasi isi dari
literatur multikultural, 2) mengaplikasikan strategi instruksional dalam
membaca dan menulis yang sesuai dengan latar belakang murid.
3. The Cultural Immersion Project
Judul : Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’
Views About Cultural Diffrerences,Penulis : Lynda R. WiestSumber: Journal
of Teacher Education, 1998, 49 (5) : 358-365.
"The cultural immersion Project” merupakan tugas wajib bagi mahasiswa
calon guru di University of Nevada, yang tergabung dalam mata kuliah
Aspek sosiokultural dalam pendidikan, yang juga sekaligus sebagai.
penelitian yang dilakukan oleh Lynda R. Wiest. Proyek ini melibatkan tiga
kelas, dengan total 86 subjek. Proyek ini bertujuan membantu mahasiswa
mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana
merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang
subordinat di masyarakat. Proyek itu membuat mahasiswa calon guru
berpartisipasi langsung ke dalam kultur yang tidak begitu dikenalnya selama
minimum satu jam dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan
bagaimana penerapan pengajaran didepan kelas mengenai apa yang telah
dipelajari.
1. Mereka harus memilih sebuah pengalaman dalam budaya yang berbeda
dengan budayanya sendiri, dan itu harus minimal selama 1 jam.
2. Mereka tidak boleh hanya mengobservasi tetapi harus turut berpartisipasi
dan berinteraksi dengan anggota kelompok budaya lainnya, jikalau
mungkin.
3. Interaksi dengan anggota kelompok budaya lain tidak boleh hierarkis,
interaksi itu harus terdapat adanya power yang seimbang.
4. Jika mungkin mereka memilih sebuah pengalaman budaya lain dalam
situasi berbeda-beda.
5. Melakukannya sendiri, dan harus terpisah dengan rekan lain apabila
mengambil suatu topik yang sama.
6. Mahasiswa harus menulis paper 4-5 halaman, sebagai laporan kegiatan
itu. Laporan terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Latar belakang, 2) Respon
personal yang berisi, dan 3) Implikasi untuk pendidikan.,
Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik komparatif dari 86 hasil paper
yang dikumpulkan oleh mahasiswa, Wiest mengidentifikasi beberapa
keuntungan dari program tersebut:
1. Informasi baru mengenai budaya khusus yang berbeda. Mahasiswa
memperoleh informasi baru mengenai tradisi, adat, dan sikap yang berbeda
dengan yang dimiliki.
2. Tantangan terhadap keyakinan dan pengertian yang dimiliki. Beberapa
mahasiswa mengakui mendapatkan pengetahuan kultural yang melenyapkan
stereotip, miskonsepsi, dan ketakutan-ketakutan terhadap kelompok yang
dikunjungi.
3. Meningkatkan skil personal dan profesional. Mahasiswa mengalami
peningkatan kemampuan untuk melihat sebuah situasi melalui perspektif
budaya yang berbeda dan meningkatkan empati pada perasaan orang saat
berada di dalam budaya yang dominan atau familiar.
4. Mendapatkan insight bagaimana mengajar pelajar yang berbeda-beda
kulturnya. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa pelajar dari kelas bawah
harus diperkuat kebutuhannya, yakni dalam kebutuhan fisik (pakaian,
sepatu, dll), keamanan (stabilitas di sekolah), dan harga diri. Beberapa
menyatakan bahwa pelajar dari kaum minoritas harus dibuat nyaman
didalam kelas.
4. Service Learning
Judul : Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case
StudyPenulis : Angela Calabrese BartonSumber: Journal of Teacher
Education, 1999, 50 (4) : 303-314.
Belajar melayani komunitas diartikan sebagai aktivitas belajar yang
mengkombinasikan belajar di ruang kelas dengan aksi sosial dan pelayanan.
Angela Barton mengaitkan antara service learning itu dengan kesiapan calon
guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni
pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural.
Dalam proyek yang diteliti Barton, service learning dilakukan dalam tiga
tahapan :
1. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam seminar yang mengeksplorasi
berbagai teori dan praktik yang terkait dengan pendidikan sains, pendidikan
multikultural, dan pendidikan kaum urban.
2. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam merencanakan pelajaran dan
persiapan seminar.
3. Mereka mengajar di Homeless-Children Shelter selama 2 kali seminggu.
Mereka didorong untuk mengkontruksi cara-cara agar sains bisa dipahami
berdasarkan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan kultur murid. Mereka
juga didorong untuk mengajar secara privat.
Hasil dari kegiatan itu sebagai berikut :
1. Merubah ide mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru
memiliki ide-ide baru bagaimana mengajarkan sains yang berperspektif
multikultural, dengan mengaitkan antara pendidikan sains multikultural
dengan keadaan sekolah, dan permasalahan sosial-politik.
2. Merubah cara pandang mengenai pendidikan sains multikultural. Para
calon guru awalnya melihat hal itu sama seperti pendidikan sains regular
yang ditemui, tapi mereka akhirnya memperoleh pemahaman bahwa
pendidikan sains di kultur yang berbeda juga berbeda. Mereka melihat
pendidikan sains multikultural lebih kompleks
3. Para calon guru menjadi sadar bagaimana keyakinan mereka mengenai
sains, persekolahan dan masyarakat mempengaruhi hubungan mereka
dengan murid-murid.
Secara umum, keempat strategi mendasarkan pada asumsi bahwa dalam
memahami segala sesuatu yang berbeda, masing-masing orang dari budaya
yang berbeda memiliki prototip pikirannya sendiri yang berbeda satu sama
lain dalam memahami realitas (Matsumoto, 1996). Memahami adanya
perbedaan boleh jadi bisa meningkatkan pemahaman multikultur akan tetapi
jauh lebih baik lagi apabila individu bisa langsung merasakan terlibat dalam
budaya yang berbeda (Triandis, 1994). Dalam hal ini, strategi ‘The Cultural
Immersion Project’ mensyaratkan mahasiswa untuk langsung terlibat dalam
budaya yang berbeda sehingga langsung menyentuh ranah afektif. Demikian
juga dengan strategi ‘Service Learning’ menghendaki adanya keterlibatan
dengan orang-orang yang secara kultur berbeda, meskipun dengan intensitas
yang lebih rendah. Adapun strategi ‘Issues Exchange Activity’ dan ‘ABC’s
Models’ cenderung menggunakan ranah kognitif, yakni memahami adanya
perbedaan budaya melalui beragam informasi yang berhasil dikumpulkan
dari orang-orang yang berbeda budaya.
Empat strategi diatas menggunakan adanya otoritas yakni dosen pengampu
mata kuliah sebagai legalisasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Brown (1996) dimana menurutnya strategi peningkatan
pemahaman lintas budaya dan. pengurangan prasangka memerlukan adanya
tekanan pihak otoritas sehingga kegiatan yang dilaksanakan bisa berjalan
baik. Terlihat juga bahwa keempat strategi menggunakan kelas sebagai
sarana pembelajaran. Shpancer (2004) menyebutkan bahwa agar strategi
kelas berhasil baik dalam pengajaran, maka diperlukan strategi yang bisa
membuat mahasiswa mencapai ‘insight’ hingga bisa tercetus ide “aha, saya
mengerti”. Dari keempat strategi di atas tampak sekali bahwasanya
semuanya berupaya untuk memberikan ‘insight’ kepada mahasiswa calon
guru, baik melalui pengalaman maupun dari pengetahuan yang diperoleh
sendiri, daripada sekedar memberikan pengetahuan adanya suatu kultur
yang berbeda.
Diskusi
Pertanyaan yang biasa muncul ketika menggunakan studi literatur dari
jurnal yang terbit di luar negeri adalah ‘apakah cara itu akan efektif
diterapkan di Indonesia, mengingat budaya yang berbeda?’ Pertanyaan
tersebut mungkin relevan ditanyakan berkait dengan tema makalah ini. Saya
berasumsi bahwa strategi itu bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia.
Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian, pertama, strategi itu
melandaskan premis yang berlaku universal yaitu paradigma ingroupoutgroup yang menghasilkan prototip pikiran yang berbeda antar budaya
yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang terdapat adanya perbedaan budaya
di dalam masyarakat maka strategi itu bisa diterapkan. Kedua, strategi diatas
bukan merupakan strategi yang terikat pada basis budaya individualistik
maupun kolektivistik karena masing-masing dari tugas justru akan
menyadarkan individu untuk memahami budayanya sendiri lebih baik serta
memahami budaya yang berbeda dengan lebih baik pula. Artinya, strategistrategi itu bisa berlaku disegala macam budaya yang berada dalam tataran
modern, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pertanyaan yang lebih
relevan adalah apakah strategi itu bisa diterapkan di Indonesia mengingat
mahasiswa Indonesia pada umumnya kurang disipilin dalam mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan dosen, sebab strategi diatas memerlukan
kesungguhan dalam mengerjakannnya.
Persoalan lain dari strategi diatas terkait dengan penelitian yang digunakan
untuk mengetahui efektivitas kegiatan yang didasarkan pada laporan
mahasiswa yang bisa sangat bias karena mahasiswa melaporkan hal-hal
yang normatif. Oleh karena itu mungkin lebih baik apabila juga digunakan
indikator atau alat ukur lain untuk menguji kebenaran pernyataan peserta.
Empat strategi diatas masing-masing dilakukan dengan melibatkan diri ke
dalam kultur dan situasi yang berbeda dengan diri peserta. Semuanya
memerlukan tindakan atau aksi langsung halmana membuat para peserta
memiliki pengalaman berada dan ikut merasa dalam kultur yang berbeda.
Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi strategi yang lebih berorientasi
kognitif yakni refleksi atas pengalaman kultural yang diperoleh melalui
bacaan, film, cerita-cerita, dan sebagainya.
KesimpulanStrategi meningkatkan kompetensi calon guru agar bisa menjadi
guru yang kompeten dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa
dilakukan melalui empat cara, yakni strategi “Issues Exchange Activity”,
“Service Learning”, “Model ABC” dan “Cultural Immersion”. Masingmasing strategi terbukti memiliki efek yang positif terhadap mahasiswa
calon guru dalam memahami perbedaan kultural diantara murid-murid
maupun antara dirinya dengan murid dan berbagai konsekuensinya dalam
pendidikan. Lebih jauh pemahaman itu juga terbukti berefek positif
terhadap meningkatnya pemahaman tentang bagaimana seharusnya
pendidikan multikultural diselenggarakan.
Strategi diatas, dengan sedikit adaptasi, bisa diselenggarakan oleh institusi
pendidikan di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon
guru. Hal ini akan membantu para calon guru di Indonesia memiliki
kompetensi dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Sebuah ironi,
bila ternyata ditengah suasana multikultur para guru tidak memiliki
kompetensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultur.
Daftar Pustaka
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera
Ancok, D.(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak
diterbitkan.
Banks, J.A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston :
Allyn & Bacon.
Barton, A.C. (1999). Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A
Case Study. Journal of Teacher Education, 50 (4) : 303-314
Brown, R. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell
Publishers Ltd.
Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science
Teacher, 63 (2), 28-31.
Cabello, B., & Burstein, N.D. (1995). Examining Teachers’ Beliefs about
teaching in Culturally Diverse Classroom. Journal of Teacher Education,
46 : 285-294.
Lara-Alecio, R (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the
Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51
Marshall, P.L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education: A
case Study of the Issues Exchange Activity. Journal of Teacher Education,
49 (1) :57-65
Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California : Brooks/Cole
Publishing Co.
Santrock, J.W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA : Mc Graw
Hill.
Siahaan, H. (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan
Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada
Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi
Press, 479-490.
Shpancer, N (2004). What Makes Classroom Learning a Worthwhile
Experience. Thought & Action, The NEA Higher Education Journal, 23-35.
Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta :
LP3ES.
Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung :
Rosda Karya.
Wiest, L.R. (1998). Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice
Tachers’ Views About Cultural Diffrerences. Journal of Teacher Education,
49 (5) : 358-365.
Xu, H. (2000). Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity
Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s Model. Journal of
Teacher Education, 51 (2) : 135-148.
Pendidikan MUltikultural
Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan
Multikultural
Oleh Achmanto Mendatu
Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini
tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa
(Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas
yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan
saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama
lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman
ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan
rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang
merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan
antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak,
maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan.
Menumbuhkan pemahaman lintas budaya mutlak diperlukan dalam
masyarakat Indonesia yang multietnik dan multikultur. Adapun cara yang
dilakukan bisa melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai
dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui
pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa
dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan
latar belakang kultural (Bryant, 1996) dan pemahaman akan keberagaman
dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak
dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto, 1996). Dimensi yang
terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi,
konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan
empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah
pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan
pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas
keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya
manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas
yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan
berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan
antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock,
1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran
dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.
Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultur. Peran guru
sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas
budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar,
dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
(Syah, 2002), demikian juga latar belakang kultural guru akan turut
membentuk persepsi murid terhadap kulturnya (Cabello & Burstein, 1995).
Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak
sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa
diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur (Banks,
1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki
pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu
pendidikan multikultur.
Pendidikan tingggi yang bertugas menyiapkan calon guru, seperti misalnya
IKIP maupun Fakultas Keguruan lainnya, sudah seharusnya memiliki
strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan kompetensi calon guru
dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Strategi dimaksud bisa
secara nyata terdapat dalam kurikulum maupun melalui beragam cara
lainnya yang diselenggarakan dalam proses pengajaran. Keberhasilan dari
suatu pendidikan tinggi bahkan bisa dilihat dari kemampuannya
menyiapkan kompetensi itu.
Makalah ini membahas beberapa strategi dalam meningkatkan kompetensi
calon guru dalam melaksanakan pendidikan multikultural.
Analisis
Ada empat strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan kompetensi
mahasiswa calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur
yang akan dibahas dalam makalah ini. Empat strategi dimaksud diambil dari
Journal of Teacher Education, yaitu Issues Exchange Activity (Marshall,
1998)., ABC’s Model (Xu, 2000), The Cultural Immersion Project (Wiest,
1998), dan Service Learning (Barton, 1999). Semua strategi itu telah
dilaksanakan sebagai bagian dari tugas kuliah mahasiswa calon guru dan
telah diteliti efek-efeknya terhadap peningkatan pemahaman lintas budaya
mahasiswa.
1. Issues Exchange Activity
Judul : Toward Developmental Multicultural Education : Case Study of the
Issues Exchange Activity.Penulis : Patricia L. MarshallSumber: Journal of
Teacher Education, 1998, 49 (1) : 57-65
Issues Exchange Activity adalah serangkaian dialog akan sebuah topik yang
berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat
yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan selama 16 kali pertemuan atau 1
semester, oleh mahasiswa peserta mata kuliah pendidikan multikultural yang
diampu oleh Prof. Patricia L. Marshall di North Carolina State University.
Strategi dalam Issues Exchange Activity adalah menempatkan dua orang
dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan
yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan
yang lain anti. Kemudian mereka saling bertukar tempat, yang pro menjadi
anti dan yang anti menjadi pihak yang pro. Mahasiswa dipersilahkan untuk
mengungkapkan cultural aversion-nya dalam diskusi itu. Tugas dosen
(Marshall), adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan
bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus
dibaca oleh mahasiswa sebelum diskusi. Salah satu contoh dari tema
diskusi, yaitu “apakah beberapa kelompok kultur subordinat menggunakan
ketidakadilan terhadap mereka dimasa lalu sebagai alasan atas
kekurangsuksesan mereka saat ini?”
Marshall kemudian melakukan survei melalui surat untuk melihat efek dari
kegiatan itu pada peserta yang mengikuti kegiatan itu satu tahun (7 orang)
dan dua tahun (8 orang) sebelumnya. Melalui laporan dari para peserta, Ia
menemukan bahwa :
1. Hampir semua mahasiswa melaporkan bahwa sebelum mengikuti
kegiatan itu mereka memiliki sikap yang kemudian mendapatkan tantangan
setelah mengikuti kegiatan. Mereka mengakui memiliki personal bias
(prasangka, berpikiran sempit, dll) yang dikonfrontir dalam kegiatan itu..
Mereka melaporkan menjadi lebih reseptif terhadap cara pandang orang
lain.
2. Kegiatan itu membuat mereka lebih kritis terhadap perbedaan kultural
diantara pelajar di dalam sekolah dan lebih mampu untuk memahami cara
berpikir (perspectives-taking) orang-orang dalam kultur yang berbeda.
3. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu rasial/etnisitas dan membuat
pikiran mereka lebih terbuka
4. Mereka melaporkan bahwa efek dari kegiatan itu ditransfer ke dalam
kehidupan profesional mereka (termasuk didalamnya sebagai pengajar di
sekolah).
2. ABC’s Model
Judul : Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into
Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s ModelPenulis : Hong
XuSumber: Journal of Teacher Education, 2000, 51 (2) : 135-148.
Model ABC ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami
latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai didalamnya sebelum
memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman
hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dan
analisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada
gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan
diantara berbagai budaya.
Kegiatan peningkatan kompetensi multikultural model ABC ini merupakan
proyek penelitian yang melibatkan 20 mahasiswa calon guru di Texas Tech
University. Model ABC ini terdiri dari lima komponen, yaitu :
1. Otobiografi. Calon guru menulis otobiografi dengan memasukkan nilainilai budaya dan pengalaman hidup. Mereka juga menggambarkan tentang
pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan di sekolah.
2. Biografi. Calon guru membuat studi kasus dengan melakukan interview
terhadap seorang murid mengenai latar belakang keluarga dan kulturnya,
serta pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan disekolah. Kemudian
hasilnya ditulis dalam biografi.
3. Analisis lintas budaya. Calon guru mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan antara kisah tentang diri mereka dan studi kasus yang
dilakukannya terhadap seorang murid tadi dengan menggunakan chart.
4. Analisis perbedaan budaya. Dikelas didiskusikan hasil dari analisis lintas
budaya yang dan studi kasus yang dilakukan, serta ketidaknyamanan
mereka terhadap perbedaan budaya.
5. Praktik di kelas. Calon guru berpraktik mengajar didepan kelas. Pertama
ia harus mengetahui kemampuan menulis dan membaca murid-muridnya
melalui mengeja dan membaca secara informal. Kemudian ia menerapkan
pengetahuan mengenai strategi intruksional dan literatur anak-anak,
terhadap murid-muridnya berdasarkan kebutuhan murid-murid tersebut.
Mereka mendokumentasikan aplikasi setiap strategi dalam sebuah lembaran
strategi dan mencatat literatur anak-anak di lembaran literatur. Di akhir
tugas lapangan ini, mereka membuat laporan studi kasus dengan dilengkapi
dengan pengalaman mengajar dan insight mereka dalam mengajar pelajar
yang berbeda-beda.
Xu melakukan penelitian terhadap otobiografi, biografi, chart analisis lintas
budaya, lembaran strategi dan literatur, serta melalui observasi langsung. Ia
menemukan bahwa :
- Otobiografi membuat mereka lebih memahami latar belakang budaya
sendiri.
- Mereka lebih memahami kultur dan keluarga murid dan kesulitankesulitan mereka dalam belajar tulis-menulis.
- Mereka menyadari adanya perbedaa-perbedaan antara diri mereka dengan
murid-murid dan berpikir lebih positif mengenai perbedaan itu.
- Mereka mengeksplorasi dan mengintegrasikan perbedaan ke dalam
intruksi pengajaran. Mereka melakukan dua pendekatan; 1) integrasi isi dari
literatur multikultural, 2) mengaplikasikan strategi instruksional dalam
membaca dan menulis yang sesuai dengan latar belakang murid.
3. The Cultural Immersion Project
Judul : Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’
Views About Cultural Diffrerences,Penulis : Lynda R. WiestSumber: Journal
of Teacher Education, 1998, 49 (5) : 358-365.
"The cultural immersion Project” merupakan tugas wajib bagi mahasiswa
calon guru di University of Nevada, yang tergabung dalam mata kuliah
Aspek sosiokultural dalam pendidikan, yang juga sekaligus sebagai.
penelitian yang dilakukan oleh Lynda R. Wiest. Proyek ini melibatkan tiga
kelas, dengan total 86 subjek. Proyek ini bertujuan membantu mahasiswa
mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana
merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang
subordinat di masyarakat. Proyek itu membuat mahasiswa calon guru
berpartisipasi langsung ke dalam kultur yang tidak begitu dikenalnya selama
minimum satu jam dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan
bagaimana penerapan pengajaran didepan kelas mengenai apa yang telah
dipelajari.
1. Mereka harus memilih sebuah pengalaman dalam budaya yang berbeda
dengan budayanya sendiri, dan itu harus minimal selama 1 jam.
2. Mereka tidak boleh hanya mengobservasi tetapi harus turut berpartisipasi
dan berinteraksi dengan anggota kelompok budaya lainnya, jikalau
mungkin.
3. Interaksi dengan anggota kelompok budaya lain tidak boleh hierarkis,
interaksi itu harus terdapat adanya power yang seimbang.
4. Jika mungkin mereka memilih sebuah pengalaman budaya lain dalam
situasi berbeda-beda.
5. Melakukannya sendiri, dan harus terpisah dengan rekan lain apabila
mengambil suatu topik yang sama.
6. Mahasiswa harus menulis paper 4-5 halaman, sebagai laporan kegiatan
itu. Laporan terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Latar belakang, 2) Respon
personal yang berisi, dan 3) Implikasi untuk pendidikan.,
Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik komparatif dari 86 hasil paper
yang dikumpulkan oleh mahasiswa, Wiest mengidentifikasi beberapa
keuntungan dari program tersebut:
1. Informasi baru mengenai budaya khusus yang berbeda. Mahasiswa
memperoleh informasi baru mengenai tradisi, adat, dan sikap yang berbeda
dengan yang dimiliki.
2. Tantangan terhadap keyakinan dan pengertian yang dimiliki. Beberapa
mahasiswa mengakui mendapatkan pengetahuan kultural yang melenyapkan
stereotip, miskonsepsi, dan ketakutan-ketakutan terhadap kelompok yang
dikunjungi.
3. Meningkatkan skil personal dan profesional. Mahasiswa mengalami
peningkatan kemampuan untuk melihat sebuah situasi melalui perspektif
budaya yang berbeda dan meningkatkan empati pada perasaan orang saat
berada di dalam budaya yang dominan atau familiar.
4. Mendapatkan insight bagaimana mengajar pelajar yang berbeda-beda
kulturnya. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa pelajar dari kelas bawah
harus diperkuat kebutuhannya, yakni dalam kebutuhan fisik (pakaian,
sepatu, dll), keamanan (stabilitas di sekolah), dan harga diri. Beberapa
menyatakan bahwa pelajar dari kaum minoritas harus dibuat nyaman
didalam kelas.
4. Service Learning
Judul : Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case
StudyPenulis : Angela Calabrese BartonSumber: Journal of Teacher
Education, 1999, 50 (4) : 303-314.
Belajar melayani komunitas diartikan sebagai aktivitas belajar yang
mengkombinasikan belajar di ruang kelas dengan aksi sosial dan pelayanan.
Angela Barton mengaitkan antara service learning itu dengan kesiapan calon
guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni
pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural.
Dalam proyek yang diteliti Barton, service learning dilakukan dalam tiga
tahapan :
1. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam seminar yang mengeksplorasi
berbagai teori dan praktik yang terkait dengan pendidikan sains, pendidikan
multikultural, dan pendidikan kaum urban.
2. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam merencanakan pelajaran dan
persiapan seminar.
3. Mereka mengajar di Homeless-Children Shelter selama 2 kali seminggu.
Mereka didorong untuk mengkontruksi cara-cara agar sains bisa dipahami
berdasarkan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan kultur murid. Mereka
juga didorong untuk mengajar secara privat.
Hasil dari kegiatan itu sebagai berikut :
1. Merubah ide mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru
memiliki ide-ide baru bagaimana mengajarkan sains yang berperspektif
multikultural, dengan mengaitkan antara pendidikan sains multikultural
dengan keadaan sekolah, dan permasalahan sosial-politik.
2. Merubah cara pandang mengenai pendidikan sains multikultural. Para
calon guru awalnya melihat hal itu sama seperti pendidikan sains regular
yang ditemui, tapi mereka akhirnya memperoleh pemahaman bahwa
pendidikan sains di kultur yang berbeda juga berbeda. Mereka melihat
pendidikan sains multikultural lebih kompleks
3. Para calon guru menjadi sadar bagaimana keyakinan mereka mengenai
sains, persekolahan dan masyarakat mempengaruhi hubungan mereka
dengan murid-murid.
Secara umum, keempat strategi mendasarkan pada asumsi bahwa dalam
memahami segala sesuatu yang berbeda, masing-masing orang dari budaya
yang berbeda memiliki prototip pikirannya sendiri yang berbeda satu sama
lain dalam memahami realitas (Matsumoto, 1996). Memahami adanya
perbedaan boleh jadi bisa meningkatkan pemahaman multikultur akan tetapi
jauh lebih baik lagi apabila individu bisa langsung merasakan terlibat dalam
budaya yang berbeda (Triandis, 1994). Dalam hal ini, strategi ‘The Cultural
Immersion Project’ mensyaratkan mahasiswa untuk langsung terlibat dalam
budaya yang berbeda sehingga langsung menyentuh ranah afektif. Demikian
juga dengan strategi ‘Service Learning’ menghendaki adanya keterlibatan
dengan orang-orang yang secara kultur berbeda, meskipun dengan intensitas
yang lebih rendah. Adapun strategi ‘Issues Exchange Activity’ dan ‘ABC’s
Models’ cenderung menggunakan ranah kognitif, yakni memahami adanya
perbedaan budaya melalui beragam informasi yang berhasil dikumpulkan
dari orang-orang yang berbeda budaya.
Empat strategi diatas menggunakan adanya otoritas yakni dosen pengampu
mata kuliah sebagai legalisasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Brown (1996) dimana menurutnya strategi peningkatan
pemahaman lintas budaya dan. pengurangan prasangka memerlukan adanya
tekanan pihak otoritas sehingga kegiatan yang dilaksanakan bisa berjalan
baik. Terlihat juga bahwa keempat strategi menggunakan kelas sebagai
sarana pembelajaran. Shpancer (2004) menyebutkan bahwa agar strategi
kelas berhasil baik dalam pengajaran, maka diperlukan strategi yang bisa
membuat mahasiswa mencapai ‘insight’ hingga bisa tercetus ide “aha, saya
mengerti”. Dari keempat strategi di atas tampak sekali bahwasanya
semuanya berupaya untuk memberikan ‘insight’ kepada mahasiswa calon
guru, baik melalui pengalaman maupun dari pengetahuan yang diperoleh
sendiri, daripada sekedar memberikan pengetahuan adanya suatu kultur
yang berbeda.
Diskusi
Pertanyaan yang biasa muncul ketika menggunakan studi literatur dari
jurnal yang terbit di luar negeri adalah ‘apakah cara itu akan efektif
diterapkan di Indonesia, mengingat budaya yang berbeda?’ Pertanyaan
tersebut mungkin relevan ditanyakan berkait dengan tema makalah ini. Saya
berasumsi bahwa strategi itu bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia.
Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian, pertama, strategi itu
melandaskan premis yang berlaku universal yaitu paradigma ingroupoutgroup yang menghasilkan prototip pikiran yang berbeda antar budaya
yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang terdapat adanya perbedaan budaya
di dalam masyarakat maka strategi itu bisa diterapkan. Kedua, strategi diatas
bukan merupakan strategi yang terikat pada basis budaya individualistik
maupun kolektivistik karena masing-masing dari tugas justru akan
menyadarkan individu untuk memahami budayanya sendiri lebih baik serta
memahami budaya yang berbeda dengan lebih baik pula. Artinya, strategistrategi itu bisa berlaku disegala macam budaya yang berada dalam tataran
modern, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pertanyaan yang lebih
relevan adalah apakah strategi itu bisa diterapkan di Indonesia mengingat
mahasiswa Indonesia pada umumnya kurang disipilin dalam mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan dosen, sebab strategi diatas memerlukan
kesungguhan dalam mengerjakannnya.
Persoalan lain dari strategi diatas terkait dengan penelitian yang digunakan
untuk mengetahui efektivitas kegiatan yang didasarkan pada laporan
mahasiswa yang bisa sangat bias karena mahasiswa melaporkan hal-hal
yang normatif. Oleh karena itu mungkin lebih baik apabila juga digunakan
indikator atau alat ukur lain untuk menguji kebenaran pernyataan peserta.
Empat strategi diatas masing-masing dilakukan dengan melibatkan diri ke
dalam kultur dan situasi yang berbeda dengan diri peserta. Semuanya
memerlukan tindakan atau aksi langsung halmana membuat para peserta
memiliki pengalaman berada dan ikut merasa dalam kultur yang berbeda.
Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi strategi yang lebih berorientasi
kognitif yakni refleksi atas pengalaman kultural yang diperoleh melalui
bacaan, film, cerita-cerita, dan sebagainya.
KesimpulanStrategi meningkatkan kompetensi calon guru agar bisa menjadi
guru yang kompeten dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa
dilakukan melalui empat cara, yakni strategi “Issues Exchange Activity”,
“Service Learning”, “Model ABC” dan “Cultural Immersion”. Masingmasing strategi terbukti memiliki efek yang positif terhadap mahasiswa
calon guru dalam memahami perbedaan kultural diantara murid-murid
maupun antara dirinya dengan murid dan berbagai konsekuensinya dalam
pendidikan. Lebih jauh pemahaman itu juga terbukti berefek positif
terhadap meningkatnya pemahaman tentang bagaimana seharusnya
pendidikan multikultural diselenggarakan.
Strategi diatas, dengan sedikit adaptasi, bisa diselenggarakan oleh institusi
pendidikan di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon
guru. Hal ini akan membantu para calon guru di Indonesia memiliki
kompetensi dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Sebuah ironi,
bila ternyata ditengah suasana multikultur para guru tidak memiliki
kompetensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultur.
Daftar Pustaka
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera
Ancok, D.(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak
diterbitkan.
Banks, J.A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston :
Allyn & Bacon.
Barton, A.C. (1999). Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A
Case Study. Journal of Teacher Education, 50 (4) : 303-314
Brown, R. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell
Publishers Ltd.
Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science
Teacher, 63 (2), 28-31.
Cabello, B., & Burstein, N.D. (1995). Examining Teachers’ Beliefs about
teaching in Culturally Diverse Classroom. Journal of Teacher Education,
46 : 285-294.
Lara-Alecio, R (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the
Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51
Marshall, P.L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education: A
case Study of the Issues Exchange Activity. Journal of Teacher Education,
49 (1) :57-65
Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California : Brooks/Cole
Publishing Co.
Santrock, J.W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA : Mc Graw
Hill.
Siahaan, H. (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan
Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada
Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi
Press, 479-490.
Shpancer, N (2004). What Makes Classroom Learning a Worthwhile
Experience. Thought & Action, The NEA Higher Education Journal, 23-35.
Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta :
LP3ES.
Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung :
Rosda Karya.
Wiest, L.R. (1998). Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice
Tachers’ Views About Cultural Diffrerences. Journal of Teacher Education,
49 (5) : 358-365.
Xu, H. (2000). Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity
Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s Model. Journal of
Teacher Education, 51 (2) : 135-148.