Hubungan Antara Faktor Penularan dengan Kasus Demam Berdarah Dengue (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2007 di Jawa Barat)

  Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 7 No. 2, 2013 : 15 - 25

  Hubungan Antara Faktor Penularan dengan Kasus Demam Berdarah Dengue (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2007 di Jawa Barat) (Relationship Between Transmision Factors with Dengue Fever Dengue Cases (Further analysis of the Riskesdas 2007 Data in West Java)) Lukman Hakim* Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

  INFO ARTIKEL A B S T R A C T / A B S T R A K Article History :

  Control of dengue hemorrhagic fever (DHF) has not succeed yet in reducing the cases Received : 3 Sep. 2013 significantly, although the mortality rate can be reduced. The factors associated with the

  Revised : 28 Nov. 2013 incidence of DHF has not been known, its lead the control was conducted by the case. This

  Accepted : 1 Dec. 2013 study aimed to obtain information about the variables associated with the case of DHF by conducting further analysis on Riskesdas 2007 data from Cimahi, Bandung, Sukabumi,

  Keywords : Cirebon, Depok, Bogor, Bogor regency, Indramayu, Bandung and Bekasi (overall were 10

  Risk factors for districts/cities). DHF cases,

  Independent variables i.e. the number of occupants of the house, water supply all of the measles cases,

c pulmonary tuberculosis year, the presence of water container, nutritional status, measles cases, and pulmonary

cases, nutritional status, tuberculosis cases, its have been associated with the dependent variable of DHF cases.

  Riskesdas 2007, Bivariate and multivariate analyzes were performed on the data Riskesdas 2007 over all West Java. locations.

  Number of samples analyzed was 29 377 people, consisting of 48.58% men and 51.42% women, mostly from Bogor Regency (15.64%) and the least amount from Sukabumi (5.90%). Results of bivariate analysis showed that variable pulmonary tuberculosis cases, measles cases, variable number of occupants of the house, and nutritional status were significantly corelated to the incidence of DHF, so likely to be risk factors of DHF. Multivariate analysis showed that there were no interaction between independent variables in relation to cases of DHF. Analysis on each district showed that the interaction between variables were occured in Bandung district and Bogor city. Estimation of DHF cases can be calculated based on the variable of pulmonary tuberculosis cases, measles cases and nutritional status.

  

Kata kunci : Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) belum berhasil menurunkan jumlah

Faktor risiko kasus secara bermakna meskipun angka kematian bisa ditekan Di Jawa Barat. Faktor kasus DBD, yang berhubungan dengan kejadian DBD belum banyak diketahui sehingga kasus campak, pemberantasan yang dilakukan masih berdasarkan pada kasus. Penelitian ini kasus TB paru, bertujuan memperoleh informasi tentang variabel yang berhubungan dengan kejadian status gizi,

  DBD dengan melakukan analisis lanjut data hasil Riskesdas 2007 di Kota Cimahi, Kota Riskesdas 2007,

  Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Jawa Barat. Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kota Bekasi sehingga keseluruhan ada 10 kabupaten/kota.

  Analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada variabel independent yaitu jumlah penghuni rumah, kemudahan air sepanjang tahun, keberadaan tandon air terbuka, status gizi, kasus campak, dan kasus TB paru dihubungkan dengan variabel dependent yaitu kasus DBD. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 29.377 orang terdiri dari 48,58% laki-laki dan 51,42% perempuan, paling banyak dari Kabupaten Bogor (15,64%) dan paling sedikit dari Kota Sukabumi (5,90%). Hasil analisis bivariat menunjukan variabel kasus TB paru, kasus campak, jumlah penghuni rumah, dan status gizi, berhubungan bermakna dengan kejadian DBD sehingga berpeluang menjadi faktor risiko kejadian DBD. Analisis multivariat menunjukan ada interaksi antara variabel independent dalam hubungannya dengan kasus DBD. Analisis pada masing-masing kabupaten

  • Alamat Korespondensi : email : lukmahak@gmail.com menunjukkan adanya interaksi antar variabel di Kabupaten Bandung dan Kota Bogor. Perkiraan terjadinya DBD bisa dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru, kasus campak dan status gizi.

  PENDAHULUAN Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan adanya penularan virus dengue akibat interaksi agent (virus dengue), pejamu (host) yang rentan dan lingkungan. Faktor agent yang berpengaruh adalah serotipe dan virulensi virus dengue; faktor pejamu meliputi ke p a d a t a n d a n m o b i l i t a s p e n d u d u k , pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, kelompok umur, suku bangsa, dan kerentanan terhadap 1 penyakit. Faktor lingkungan meliputi kualitas perumahan, jarak antar rumah, keberadaan 2 genangan air dan iklim makro maupun mikro.

  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularan virus dengue tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia, karena masih tergantung pada faktor lain seperti vektor capacity, virulensi virus dengue, serta 3 status kekebalan (imunitas) pejamu yang salah satunya dipengaruhi usia dan status 4 gizi. Vektor capacity dipengaruhi oleh populasi nyamuk, frekuensi gigitan nyamuk per hari (multiple bites), lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk, lamanya inkubasi extrinsic virus dengue dan proporsi nyamuk yang menjadi infektif. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh jumlah manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat p e n gh u n i nya , l e b i h t i n g g i f re ku e n s i menggigitnya terhadap manusia dibanding di 2 rumah yang kurang padat. Imunitas pejamu terhadap penyakit infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah umur 4 dan status gizi. Penelitian di Thailand menunjukkan, anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih rendah untuk tertular virus dengue, tetapi jika tertular akan mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena shock bahkan kematian. Sebaliknya, anak- anak obesitas memiliki risiko lebih tinggi tertular DBD dibandingkan yang status gizi 5 normal. Laporan lain menyebutkan bahwa orang obesitas mempunyai risiko lebih tinggi mendapatkan DBD dengan komplikasi atau 6 kematian. Selain itu, telah dikonfirmasi bahwa penderita DBD dengan status gizi baik, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang obesitas. 7 Status gizi (nutrition status) adalah keadaan tubuh karena konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, dibedakan antara gizi kurang, baik dan lebih yang ditentukan berdasarkan beberapa metode pengukuran, di antaranya pengukuran anthropometry dengan mengukur berat badan 8 dan tinggi badan. Status gizi dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh 8 pada sistem kekebalan tubuh.

  Status imunitas seseorang bisa menurun karena immunodefisiensi atau penyebab lain, salah satunya karena menderita penyakit tertentu, misalnya campak dan tuberkulosis 9 paru. Campak yang disebabkan oleh paramiksovirus, biasanya mempunyai efek l a n j u t a n , d i a n t a r a n y a t e r j a d i n y a t ro m b o s i t o p e n i a ( p e n u r u n a n j u m l a h trombosit) sehingga penderita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan serta malnutrisi pasca serangan campak. Faktor ini bisa menurunkan imunitas sehingga mudah 10 terkena penyakit infeksi lainnya. Sedangkan efek samping tuberkulosis paru adalah rusaknya sel makrofag dan malnutrisi sehingga juga akan menurunkan imunitas dan 11 lebih rentan terhadap penyakit infeksi.

  Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Jawa Barat, menunjukkan prevalensi DBD berdasarkan diagnosis sebesar 0,22%, sedangkan berdasarkan gejala klinis sebesar 12 0,41%. Selain itu ditemukan anak dengan status gizi sangat kurus sebesar 3,6%, kategori kurus sebesar 5,4%, kategori normal sebesar 81,3% dan kategori gemuk sebesar 9,6%. Sedangkan kabupaten/kota di Jawa Barat dengan IR tinggi berada di wilayah tengah dan utara; sepuluh besar tertinggi adalah Kota Cimahi, Kota Bandung, Kota

  © 2013 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved

  Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 7 No. 2, 2013 : 15 - 25

  Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kota 13 Bekasi.

  Hubungan Antara Faktor Penularan ............. (Lukman Hakim)

BAHAN DAN METODE

  Analisis dilakukan pada data Riskesdas 2007 yang berasal dari Kota Cimahi, Kota Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Variabel independent yang dianalisis adalah jumlah penghuni rumah, kemudahan air sepanjang tahun, keberadaan tandon air terbuka, status gizi, kasus TB paru dan kasus campak; sedangkan variabel dependent yang dianalisis adalah kasus DBD. Analisis dilakukan pada data masing-masing kabupaten/kota serta data gabungan keseluruhan.

  Seluruh variabel independent dijadikan dua kategori (dikotome) yaitu kategori tidak berisiko (diberi kode 0) dan kategori berisiko (diberi kode 1). Sedangkan data variabel dependent dibuat menjadi kategori tidak sakit DBD (kode 0) dan kategori sakit DBD (kode 1).

  Kode pada variabel dependent disesuaikan dengan kode variabel dependent, yaitu 0 (tidak berisiko) dan 1 (berisiko) (Tabel 1).

  

Tabel 1.

Nama Variabel Independent dan Jenis Kategori Berdasarkan Risiko Terkena DBD

No Nama Variabel Kategori

  

Tidak Berisiko Terkena DDB

(0)

Berisiko Terkena DDB (1)

  1 Jumlah penghuni rumah

TIDAK PADAT PADAT

  2 Kemudahan air sepanjang tahun

  3 Keberadaan tandon air terbuka

  Analisis lanjut data Riskesdas 2007 ini bertujuan mengetahui hubungan beberapa faktor penularan dengan kasus DBD serta menentukan model matematika untuk menduga kejadian DBD di kabupaten/kota dengan kasus DBD Jawa Barat.

TIDAK MUDAH MUDAH

TIDAK ADA ADA

  Analisis ini juga bertujuan membuat permodelan pendugaan dalam menghitung probabilitas individu (dalam %) terjadinya kasus DBD berdasarkan nilai-nilai sejumlah variabel prediktor. Model matematika untuk pendugaan p ro b a b i l i t a s ke j a d i a n eve n t , d i te n t u ka n 15 berdasarkan rumus sebagai berikut :

  Selanjutnya dilakukan analisis bivariat dengan chi square test untuk mengetahui ada tidaknya hubungan masing-masing variabel 1 4 independent dengan variabel dependent . S e d a n g k a n u n t u k m e n g e t a h u i v a r i a b e l independent yang paling besar hubungannya dengan variabel dependent, dilakukan analisis multivariat (regresi binary logistic) antara variabel independent yang dengan variabel dependent.

  6 Kasus campak TIDAK PERNAH PERNAH

  5 Kasus TB paru TIDAK PERNAH PERNAH

  4 Status gizi NORMAL TIDAK NORMAL Berdasarkan jenis kelamin, sampel tediri dari 14.272 orang (48,6%) laki-laki dan 15.105 orang (51,4%) perempuan. Setelah dikelompokkan, sebanyak 2.756 orang (9,4%) berada pada kelompok umur <5 tahun dan 26.621 orang (90,6%) berada pada kelompok umur >5 tahun.

  Variabel penelitian

  2 Kabupaten Bandung 2.012 2.325 4.337 14,76

  11 Jumlah 10 Kabupaten/Kota

  10 Kota Cimahi 1.331 1.423 2.754 9,37

  9 Kota Depok 867 1.083 1.950 6,64

  8 Kota Bekasi 1.431 1.379 2.810 9,57

  7 Kota Bandung 1.722 1.633 3.355 11,42

  6 Kota Sukabumi 860 874 1.734 5,90

  5 Kota Bogor 1.049 1.152 2.201 7,49

  4 Kabupaten Indramayu 1.259 1.232 2.491 8,48

  3 Kabupaten Cirebon 1.464 1.687 3.151 10,73

  1 Kabupaten Bogor 2.277 2.317 4.594 15,64

  1. Jumlah penghuni rumah Variabel jumlah penghuni rumah dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kabupaten Bandung yaitu 51,6% dan paling rendah di Kabupaten Bogor y a i t u 2 5 , 5 % , d e n g a n r a t a - r a t a 1 0 kabupaten/kota adalah 33,0%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kabupaten Bogor yaitu 74,5% dan paling rendah di Kabupaten Bandung yaitu 48,4%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 67,0% (Tabel 3).

  Jumlah % Laki-laki Perempuan

  No Kab/Kota Jenis Kelamin

  Tabel 2. Jumlah Sampel Penelitian Per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2007

  HASIL Jumlah sampel penelitian yang dianalisis adalah 29.377 orang, paling banyak berasal dari Kabupaten Bogor (15,64%), paling sedikit berasal dari Kota depok (6,64%) (Tabel 2).

  5. Kasus campak Variabel kasus campak dalam kategori tidak

  4. Status gizi Variabel status gizi dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kabupaten Bandung yaitu 53% dan paling rendah di Kabupaten Cirebon yaitu 43,5%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 48,4%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kabupaten Cirebon yaitu 56,5% dan paling rendah di Kota Bandung yaitu 47%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 51,6% (Tabel 3).

  3. Keberadaan tandon air terbuka Variabel keberadaan tandon air terbuka dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kota Depok yaitu 97,1% dan paling rendah di Kota Bandung y a i t u 8 5 , 9 % , d e n g a n r a t a - r a t a 1 0 kabupaten/kota adalah 93,1%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kota Bandung yaitu 14,1% dan paling rendah di Kota Depok yaitu 2,9%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 14,1% (Tabel 3).

  Bogor yaitu 91,3% dan paling rendah di Kabupaten Bandung yaitu 54,7%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 70,5% (Tabel 3).

  2. Kemudahan air sepanjang tahun Variabel kemudahan air sepanjang tahun dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kabupaten Bandung yaitu 45,3% dan paling rendah di Kota Bogor y a i t u 8 , 7 % , d e n g a n r a t a - r a t a 1 0 kabupaten/kota adalah 29,5%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kota

  14.272 15.105 29.377 100,00 Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 7 No. 2, 2013 : 15 - 25 Hubungan Antara Faktor Penularan ............. (Lukman Hakim) berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kota Bekasi yaitu 99,7% dan paling rendah di Kabupaten Cirebon yaitu 2,2% dan paling di Kabupaten Cirebon yaitu 96,7%, dengan rendah di Kota Bekasi yaitu 0,2%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 98,7%. rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 1% Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada (Tabel 3). di Kabupaten Cirebon yaitu 3,3% dan paling

  7. Kasus DBD rendah di Koka Bekasi yaitu 0,3%, dengan Variabel kasus DBD dalam kategori TIDAK rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 1,3% SAKIT, paling tinggi ada di Kota Bekasi yaitu (Tabel 3). 99,8% dan paling rendah di Kabupaten

  6. Kasus TB paru Cirebon yaitu 98,5%, dengan rata-rata 10

  Variabel kasus TB paru dalam kategori tidak kabupaten/kota adalah 99,4%. Sedangkan berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada kategori SAKIT, paling tinggi ada di Kabupaten di Kota Bekasi yaitu 99,8% dan paling rendah Cirebon yaitu 1,5% dan paling rendah di Kota di Kabupaten Cirebon yaitu 97,8%, dengan Bekasi yaitu 0,2%, dengan rata-rata 10 rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 99%. kabupaten/kota adalah 0,6% (Tabel 3).

  

Tabel 3.

Prosentase Kategori Berisiko Variabel Independent dan Kategori Sakit Variabel

Dependent Penelitian Per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

  Variabel Kabupaten/Kota

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7 Kabupaten Bogor 74,5 69,9 7,2 50 0,9 0,8 0,4 Kabupaten Bandung 48,4 54,7 8,6 53,7 0,8 1 0,4 Kabupaten Cirebon 69,2 66,6 3,2 56,5 3,3 2,2 1,5 Kabupaten 52,3 69,2 4,2 54,1 1,9 1,6 0,4 Indramayu Kota Bogor 72,1 91,3 6,7 49,9 1,2 1,2 0,6 Kota Sukabumi 68,6 69,8 8,5 54,4 1,8 1,2 0,5 Kota Bandung 72,2 65,6 14,1 47 1,3 0,8 0,6 Kota Bekasi 73,2 78,6 6,1 49,6 0,3 0,2 0,2 Kota Depok 50,5 81,4 2,9 51,1 0,8 0,5 0,3 Kota Cimahi 69,5 59 4,1 50,8 0,5 0,7 0,9

  10 Kab/Kota 67 70,5 6,9 51,6 1,3 1 0,6 Keterangan variabel: 1 = Jumlah penghuni rumah 5 = Kasus campak 2 = Kemudahan air sepanjang tahun 6 = Kasus TB paru 3 = Keberadaan tandon air terbuka 7 = Kasus DBD 4 = Status gizi

  

Hubungan antar variabel independent dengan Kabupaten Cirebon (p=0,000). Analisis bivariat di

variabel dependent Kota Bandung menghasilkan tiga variabel

  independent yang signifikan berhubungan dengan Analisis bivariat antara masing-masing tujuh variabel dependent, yaitu jumlah penghuni rumah variabel independent dengan kasus DBD,

  (p=0,043), kasus campak (p=0,000), dan kasus TB menunjukkan di kabupaten Bogor, Kabupaten paru (p=0,001); serta satu variabel confounding

  Indramayu dan Kota Bekasi tidak ada variabel yaitu variabel keberadaan tandon air terbuka (p = independent yang signifikan berhubungan dengan

  0,064). Di Kota Bogor juga menghasilkan tiga variabel dependent , sedangkan di tujuh variabel yang signifikan berhubunngan yaitu kabupaten/kota lainnya dan pada data gabungan status gizi (p=0,029) dengan RP = 0,993, kasus seluruh kabupaten/kota, terdapat beberapa campak (p=0,000), dan kasus TB paru (p=0,012), v a r i a b e l i n d e p e n d e n t y a n g s i g n i f i k a n sedangkan di Kota Cimahi hanya menghasilkan berhubungan dengan variabel dependent. satu variabel independent yang signifikan

  Variabel kasus TB paru berhubungan dengan berhubungan dengan kasus DBD yaitu yaitu kasus kasus DBD di Kabupaten Bandung (p=0,010) dan campak (P=0,008). Di Kota Depok, analisis bivariat menghasilkan dua variabel independent yang signifikan yaitu kasus campak (p=0,038) dan kasus TB paru (p=0,023), serta status gizi (p=0,173) sebagai confounding. Di Kota Sukabumi, variabel kasus TB paru signifikan berhubungan dengan kasus DBD (p=0,004), serta kemudahan air sepanjang tahun (p = 0,192) sebagai confounding (Tabel 4.).

  Tabel 4. P Value Hasil Analisis Bivariate Antara Variabel Independent dan Dependent di Jawa Barat Tahun 2007

  Prevalenc e (RP) Tidak sakit

  .

  Sedangkan analisis pada data di 10 kabupaten/kota, menghasilkan dua variabel yang signifikan berhubungan yaitu kasus campak (p=0,000) dan kasus TB paru (p=0,000) (Tabel 5).

  Tabel 5. Hasil Analisis Bivariate Antara Variabel Independent dan Dependent di Jawa Barat

  Tahun 2007 Variabel Kategori

  Kasus DBD Total

  P value Ratio

  Sakit Jumlah Penghuni rumah

  .865 .001 .000 .139 .012 .004 .001 .985 .023 .827 .000 Keterangan

  Tidak Padat 9643 56 9699 0.439 Padat 19560 118 19678 Jumlah 29203 174 29377

  Kemudahan Air Sepanjang Tahun

  Tidak Mudah 8623 50 8673 0.442 Mudah 20580 124 20704 Jumlah 29203 174 29377

  Keberadaan tandon air terbuka

  Tidak ada 27198 160 27358 0.310 Ada 2005 14 2019 Jumlah 29203 174 29377

  Jurnal Vektor Penyakit, Vol.7 No. 2, 2013 : 15 - 25

  5 = Kota Bogor, 6 = Kota Sukabumi, 7 = Kota Bandung, 8 = Kota Bekasi,

  1 = Kab. Bogor, 2 = Kab. Bandung, 3 = Kab Cirebon, 4 = Kab Indramayu,

  .852 .860 .070 .161 .000 .850 .000 .978 .038 .008 .000 Kasus TB paru

  Variabel Kabupaten/Kota

  7

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  8

  .500 .348 .424 .399 .029 .608 .564 .233 .173 .307 .306 Kasus campak

  9

  10

  11 Jml penghuni rumah .445 .573 .194 .302 .346 .425 .043 .282 .510 .392 .439

  Kemudahan air sepanjang tahun

  .405 .080 .561 .557 .651 .192 .273 .460 .357 .324 .442

  Keberadaan tan-don air terbuka

  .671 .531 .546 .322 .379 .550 .064 .358 .864 .289 .310 Status gizi

  9 = Kota Depok, 10 = Kota Cimahi, 11 = Gabungan Data 10 Kab/Kota Status gizi Normal 14123 88 14211 0.306 Tidak normal 15080 86 15166 Jumlah 29203 174 29377

  Kasus campak Tidak sakit 28853 153 29006 0.000 1.054 Sakit 350 21 371 Jumlah 29203 174 29377

  Kasus TB paru Tidak sakit 28925 153 29078 0.000 1.070 Sakit 278 21 299 Jumlah 29203 174 29377

  Perkiraan kejadian demam berdarah dengue

  D i h i t u n g b e rd a s a rka n h a s i l a n a l i s i s multivariate (logistic binary) beberapa variabel

  independent dan confounding terhadap variabel

  dependent. Analisis ini dilakukan pada data yang menghasilkan lebih dari satu variabel yang signifikan berhubungan atau variabel confounding.

  Analisis multivariat di Kabupaten Cirebon dengan dua variabel independent

  ,

  menghasilkan hanya variabel Kasus TB paru yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD . .

  Di Kota Bandung, analisis dengan empat variabel independent, menunjukkan variabel kasus campak (p=0,000) dan kasus TB paru (p=0,042) secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian untuk menduga kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus campak (p=0,000) dan kasus TB paru. Dari hasil itu diketahui, individu yang menderita sakit TB paru dan status gizi tidak normal, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 38,74%, sedangkan individu yang tidak menderita sakit TB paru dan status gizi normal, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 0,51%.

  Di Kota Bogor, analisis dengan tiga variabel independent, menunjukan variabel status gizi (p=0,039), kasus campak (p=0,00) dan kasus TB paru (p=0,036) secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD, dengan demikian untuk menduga kasus DBD dihitung berdasarkan variabel status gizi, kasus campak dan kasus TB paru. Dari hasil itu diketahui, individu dengan status gizi tidak normal, menderita sakit TB paru dan menderita campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 26,77%, sedangkan individu dengan status gizi normal, tidak menderita sakit TB paru dan tidak menderita campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 2,02%.

  Analisis multivariat di Kota Cimahi dengan dua variabel independent, menghasilkan hanya variabel kasus campak yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD berdasarkan variabel independent. Sedangkan di Kota Depok, analisis dengan empat variabel independent, menunjukan tidak ada variabel yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD, dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD berdasarkan variabel independent. Sedangkan di Kota Sukabumi, analisis dengan tiga variabel independent, menghasilkan hanya variabel kasus TB paru yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD berdasarkan variabel independent.

  Analisis data 10 kota/kabupaten dengan dua variabel independent, menghasilkan kasus campak (p=0,00) dan kasus TB paru (p=0,000) secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD, dengan demikian untuk menduga kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus campak dan kasus TB paru (Tabel

  6 .

  ). Hubungan Antara Faktor Penularan ............. (Lukman Hakim) Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 7 No. 2, 2013 : 15 - 25

Tabel 6.

  

Output Analisis Multivariat Variabel Kasus Campak dan Kasus TB Paru

Terhadap Kasus DBD di Jawa Barat Tahun 2007

a B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

  Step 1 Campak 2.027 .258 61.613 1 .000 7.595 TB_Paru 2.277 .259 77.279 1 .000 9.749 Constant -5.314 .084 4043.118 1 .000 .005 a. Variabel(s) entered on step 1: campak, TB_Paru.

  Dengan demikian, bentuk model untuk menduga kejadian infeksi virus dengue berdasarkan nilai variabel kasus campak dan kasus TB paru, yaitu :

  1 P = -(-5,314 + (2,027 x X1) + (2,277 x X2) 1 + 2,218 dimana : P = besarnya peluang untuk terjadinya infeksi virus dengue (dalam %) X = nilai variabel kasus campak, yaitu 0 = tidak sakit, dan 1 = sakit 1 X = nilai variabel kasus TB paru, yaitu 0 = tidak sakit, dan 1 = sakit 2 Selanjutnya, berdasarkan bentuk model D e n ga n d e m i k i a n , i n d iv i d u ya n g

  

pendugaan ini, dapat dihitung besarnya menderita sakit TB paru dan menderita

probabilitas individu untuk menderita DBD, campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah

adalah : adalah 30,90%.

i. Apabila nilai variabel kasus campak dan ii. Apabila nilai variabel kasus campak dan

kasus TB paru adalah 1 yang berarti kasus TB paru adalah 1 yang berarti semuanya positif atau berisiko terhadap semuanya positif atau berisiko terhadap infeksi virus dengue, maka peluangnya infeksi virus dengue, maka peluangnya adalah : adalah :

  1

  1 P = -(-5,314 + (2,027 x 1) + (2,277 x 1) -(-5,314 + (2,027 x 0) + (2,277 x 0) P = 1 + 2,218 1 + 2,218

  1

  1 = -(-5,314 + (4,304) = -(-5,314 + (0) 1 + 2,218 1 + 2,218

  1

  1 P = 1,01 P = 5,314 1 + 2,218 1 + 2,218

  1

  1 =

  = 1 + 68,93498 1 + 2,235739

  = 0,014299 = 0,309048 = 30,90% = 1,43%

  PEMBAHASAN Analisis bivariat yang dilakukan antara tujuh variabel independent masing-masing d e n g a n v a r i a b e l d e p e n d e n t , s e c a r a keseluruhan menunjukkan empat variabel yang signifikan berhubungan, yaitu variabel kasus TB paru (di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kota Bogor, Kota Depok, K o t a S u k a b u m i d a n p a d a d a t a 1 0 kabupaten/kota), variabel kasus campak (di Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Depok dan di 10 kabupaten/kota), variabel jumlah penghuni rumah (di Kota Bandung), dan variabel status gizi (di Kota Bogor). Keempat variabel tersebut berpeluang menjadi faktor risiko kejadian DBD.

  Variabel kasus campak dan kasus TB paru bisa menjadi faktor risiko kasus DBD karena berpengaruh terhadap status imunitas seseorang (immunodefisiensi) sehingga menjadi rentan terhadap mikroba termasuk 10 virus dengue, dengan demikian akan menjadi rentan terhadap infeksi penyakit menular termasuk infeksi DBD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di Jepara dan Ujung Pandang yang dilaporkan bahwa untuk terjadi infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD pada manusia, selain populasi nyamuk juga masih tergantung pada faktor lain seperti vektor capacity, virulensi virus dengue, serta 3 status kekebalan host. Jumlah penghuni rumah bisa menjadi faktor risko kejadian DBD karena variabel tersebut berpengaruh terhadap frekuensi gigitan nyamuk per hari (multiple bites), sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang banyak p e n gh u n i nya , l e b i h t i n g g i f re ku e n s i menggigitnya terhadap manusia dibanding di .2 rumah yang lebih sedikit penghuninya

  Variabel status gizi bisa menjadi faktor risiko kejadian DBD karena juga bisa berpengaruh terhadap status imunitas seseorang (immunodefisiensi) sehingga menjadi rentan terhadap mikroba termasuk 1 0 virus dengue. Beberapa penelitian terdahulu, juga menunjukan hasil yang sama, misalnya penelitian yang dilakukan di Vietnam dan El Salvador yang membuktikan status gizi sangat berpengaruh terhadap 5 kasus DBD khususnya pada ana-anak. Status gizi juga berpengaruh terhadap sitem immunitas tubuh yang berfungsi membantu perbaikan DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi untuk memerangi serangan bakteri 4 dan virus asing yang masuk ke dalam tubuh.

  Analisis ini menunjukan, responden yang tidak menderita sakit TB paru, tidak menderita sakit campak, tinggal di rumah dengan penghuni yang sedikit, serta memiliki status gizi baik (normal), memiliki tingkat proteksi yang lebih tinggi dibandingkan yang berada pada kelompok sebaliknya, sehingga lebih terhindar dari kasus DBD.

  Selain itu, terdapat empat variabel yang menjadi variabel coumponding (p <0,25) yaitu variabel jumlah penghuni rumah (Kabupaten Cirebon), variabel keberadaan tandon air terbuka (Kota Bandung), variabel status gizi (Kota Depok), dan variabel kemudahan air sepanjang tahun (Kota Sukabumi). Kelima variabel tersebut, kalau berinteraksi dengan variabel lain, berpeluang menjadi faktor risiko kejadian DBD.

  Berdasarkan analisis data, tidak di semua kabupaten kota, variabel independent signifikan berhubungan dengan kasus DBD. Di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota Bekasi, tidak ada satupun variabel independent yang berhubungan dengan variabel dependent, artinya ketujuh variabel yang dianalisis bukan jadi faktor risiko kejadian DBD.

  Analisis multivariat tidak dilakukan pada data di Kabupaten Bandung karena hanya ada satu variabel yang signifikan berhubungan serta tidak ada variabel confounding. Analisis pada data di enam kabupaten/kota dan pada data gabungan, hanya di Kabupaten Bandung, Kota Bogor dan gabungan data 10 kabupaten/ kota yang menunjukan adanya interaksi a n t a ra va r i a b e l i n d e p e n d e n t d a l a m hubungannya dengan kasus DBD. Dengan demikian, hanya di wilayah tersebut yang bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD b e r d a s a r k a n k e t i g a v a r i a b e l y a n g menunjukan adanya interaksi. Di Kota Bandung, peluang terjadinya kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru dan kasus campak; yaitu individu yang menderita sakit TB paru dan campak,

  Hubungan Antara Faktor Penularan ............. (Lukman Hakim) berpeluang 38,74% untuk menderita DBD, sedangkan yang tidak menderita sakit TB paru dan campak, berpeluang 0,51% untuk menderita DBD. Di Kota Bogor, peluang terjadinya kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru, kasus campak dan status gizi; yaitu individu yang menderita sakit TB paru, menderita campak dan status gizi tidak normal, berpeluang 26,77% untuk menderita DBD, sedangkan yang dalam keadaan sebaliknya, berpeluang 2,01% untuk m e n d e r i t a D B D . S e d a n g k a n s e c a r a keseluruhan di 10 kabupaten/kota, peluang terjadinya kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru dan kasus campak; yaitu individu yang menderita sakit TB paru dan campak, berpeluang 30,90% untuk menderita DBD, sedangkan yang tidak menderita sakit TB paru dan campak, berpeluang 1,33% untuk menderita DBD. Kecilnya nilai pendugaan peluang terjadinya kasus DBD, disebabkan sedikitnya variabel yang dijadikan sebagai prediktor (dua variabel di Kota Bandung, tiga variabel di Kota Bogor, dua variabel pada data di 10 kabupaten/kota), sedangkan penularan virus dengue dan kejadian kasus DBD sangatlah komplek dengan melibatkan banyak faktor dan variabel.

  KESIMPULAN Terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian DBD di Kota Bogor, variabel kasus TB paru berhubungan dengan kejadian DBD di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Sukabumi, dan secara ke s e l u r u h a n d i 1 0 k a b u p a t e n / ko t a , s e d a n g k a n v a r i a b e l k a s u s c a m p a k berhubungan dengan kejadian DBD di Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Depok, dan secara keseluruhan di 10 kabupaten/kota.

  Peluang terjadinya kasus DBD, di Kota Bandung, bisa dihitung berdasarkan status kasus campak dan status kasus TB paru; di Kota Bogor bisa dihitung berdasarkan status kasus campak, status kasus TB paru dan status gizi; sedangkan secara keseluruhan di 10 kabupaten/kota, bisa dihitung berdasarkan status kasus campak dan status kasus TB paru.

  SARAN Kelompok masyarakat dengan status gizi tidak normal, yang menderita TB paru, dan menderita campak supaya dijadikan prioritas dalam upaya pencegahan DBD. Pelaksanaan program pemberantasan DBD khususnya kegiatan pencegahan, supaya dilakukan secara terpadu dengan program perbaikan kesehatan lainnya, yaitu program perbaikan gizi, program pemberantasan TB paru, program pemberantasan campak dan program penyehatan lingkungan khususnya program perbaikan lingkungan perumahan.

  Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian analisa lanjut ini. Terutama kami sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Direktur Poltekes Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, serta tim manajemen data Balibangkes Kementerian Kesehatan RI.

  1. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health, Sosial and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10: p. 100-113

  2. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vektor Capacity: Tropical Infectious and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and Tropical Medicine, James Cook University; 2000.

  3. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di Indonesia.

  Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.

  4. Aspinall R. Ageing and the Immune System in vivo: Commentary on the 16th session of British Society for Immunology Annual Congress Harrogate December 2004. Immunity and Ageing 2005;Vol 2:5-10.)

  5. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Guidelines for diagnosis and management of dengue infection. Bangkok: Ministry of Public Health, Thailand; 2003.

  6. Maron GM, Clara AW, Diddle JW, et al.

  Assosiation between Nutritional Status and Severrity of Dengue Infection in Children El

  Jurnal Vektor Penyakit, Vol.7 No. 2, 2013 : 15 - 25

UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR PUSTAKA

  Hubungan Antara Faktor Penularan ............. (Lukman Hakim) Salvador. Am. J Trop. Med Hyg. 2010;Vol 82

  11. Zuraida. 2009. Ilmu Kesehatan Anak : (2).(pp. 324-329. T u b e r k u l o s i s p a d a a n a k . . c o m / u p l o a d s / 4 / 6 / 9 / 3 / 4 6 9 3 4 9 / T B

  7. Nimmannitya S. Dengue hemorrhagic fever: paruc_anak.doc. Diakses tanggal 10 Mei 2012. current issues and future research. Asian- Oceanian J Pediar Child Health. 2002;Vol 1:1-

  12. Balitbangkes. Riset Kesehatan dasar 20.

  (RISKESDAS) 2007 : Laporan nasional 2007. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan 8. Almatsier, Sunita. Prinsip Dasal Ilmu Gizi. Kesehatan Depkes RI, 2008. Jakarta: Gramedia Pustaka utama; 2003.

  13. Anonim. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa 9. Kumala S. 2009. Respon imun pada infeksi.

  Barat Tahun 2007. Bandung. Dinkes Prov Jawa www.scribd.com/doc/ 43601512/Respon- Barat. 2008. Imun-Pada-Infeksi-1. Diakses tanggal 10 Mei 2012.

  14. Atmaja. Populasi dan sampling. Jakarta: Binarupa Aksara; 2003.

  10. Suwoyo., Hardjito, K., Aisyah, S. 2010. Resiko Terjadinya Gejala Klinis Campak pada Anak

  15. Kleinbaum DG, Klein M. Logistic Regression. A Usia 1-14 Tahun dengan Status Gizi Kurang Self-Learning Text. Second Edition. New York: dan Sering Terjadi Infeksi Di Kota Kediri. Springer; 2002.

  Jurnal Penelitian Kesehatan Forikes Vol. I No. 2.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25