Paradoks dalam Pasar Seni Rupa Kontempor

Sekelumit Paradoks Perihal
Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Pendahuluan
Isu-isu mengenai mengenai kelesuan pasar seni rupa Indonesia merupakan isu
yang cukup ramai dibicarakan dalam perkembangan seni rupa kontemporer
Indonesia akhir akhir ini. Melemahnya pasar dalam konteks ini berkesan secara
langsung mempengaruhi praktik-praktik seni rupa di Indonesia, meskipun belum
dapat dipastikan, dinamika pasar seni rupa memberikan dampak yang cukup kuat
pada perkembangan seni rupa kontemporer.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Indonesia Art News kepada
Syakieb Sungkar, seorang kolektor seni rupa kontemporer, dikemukakan bahwa
kelesuan pasar seni rupa di Indonesia memang mendapat pengaruh dari
melemahnya kekuatan ekonomi Eropa dan Amerika yang terjadi sekitar tahun
2010 sampai sekarang. Kolektor yang juga pengusaha rupanya lebih memilih jenis
investasi yang lebih fluid, ketimbang karya seni. Syakieb pun berpendapat bahwa
sekitar 80% kolektor di Indonesia adalah kolektor yang memperlakukan karya
seni sebagai investasi, karenanya proses konsumsi karya seni atau demand
menjadi menurun. Mengingat besarnya presentase apresiasi karya seni di ranah
market yang berpretensi investasi, maka kemudian hal tersebut berdampak pada
praktik seni rupa. Hal ini terbukti dari ditunda atau bahkan dihapuskannya

sebagian agenda beberapa galeri seni di Jakarta, ungkapnya. Salah satu pernyataan
menarik dari Syakieb adalah bahwa kolektor yang baik tidak akan terpengaruh
oleh kelesuan pasar, karena dasar pembeliannya adalah ‘beli senang’. Premis
tersebut selah memunculkan ambivalensi bahwa ada ‘kolektor-kolektor jahat’
yang hanya mengapresiasi karya seni jika pasar sedang ramai, atau lebih jauh lagi
misalnya, mengotori seni rupa dengan memperlakukan karya seni sebagai
komoditi, sebagai benda bernilai ekonomi semata. Pernyataan ini bernada paralel
dengan pernyataan dalam jurnal seni rupa ISI Vol 6, No 2 (2010) dengan judul
‘Boom Seni Lukis: Siapa Yang Diuntungkan?’ oleh Satriana Didiek Isnanta
dituliskan bahwa terdapat sebuah ketimpangan dalam medan seni rupa Indonesia

1

kala itu. Yakni mengenai dominasi pasar dalam perkembangan seni rupa
Indonesia. Menurut Howard S. Becker, medan seni rupa (artworld):
…composed of all the people involved in the production,
commission, preservation, promotion, criticism, and sale
of art. Howard S. Becker describes it as "the network of people whose
cooperative activity, organized via their joint knowledge of
conventional means of doing things, produce(s) the kind of art works

that art world is noted for" (Becker, 1982).
Mengacu pada definisi Becker, terdapat sebuah kesepakatan / konvensi dalam alur
kerja setiap pranata medan seni rupa sehingga hierarki setiap pranata sederajat.
Dan jika terjadi proses pelebaran wilayah kekuasaan dari salah satu pihak yang
membentuk pranata seni, akan menyebabkan distorsi dalam medan seni rupa.
Lebih jauh lagi Didiek mengungkapkan bahwa galeri dan kurator menjelma
menjadi agen kebenaran (Walker, Sarah Chaplin, 1997). Bahkan proses inisiasi
seniman ke dalam medan seni rupa juga melalui pihak galeri dan kurator (Zolberg,
1990). Didiek menduga bahwa latar belakang ketimpangan tersebut adalah dari
aspek manajemen setap galeri. Manajemen, secara umum dipahami sebagai: Halhal yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya secara efektif (baik
manusia, alam, maupun uang), atau, Sekelompok orang / pihak yang bertanggung
jawab dalam manajemen sebuah organisasi, perencanaan serta realisasi gerakangerakannya. (David A. Statt, 1991). Maka dari itu, manajemen seni atau galeri
adalah proses manajemen yang dlakukan untuk membantu penggagas (pengelola)
untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dalam kasus ini pameran seni
rupa (Sanento, 2004). Efektif dalam pengertian bahwa karya-karya yang
dipamerkan memenuhi kebutuhan seniman maupun pasar yang mengikutinya.
Sedangkan efisien, berujung pada penggunaan sumber daya seara rasional, hemat,
dan tepat sasaran. Beliau pun menyatakan bahwa motif pengadaan pameran pada
era boom seni lukis yang juga menjadi tujuan dibuatnya pameran adalah
komersialisasi karya seni.

Quasi-paradigma tersebut seolah dibantah oleh pernyataan Aminudin T. H.
Siregar dalam Artist Talk pada pameran Mencari Saya dalam Sejarah Seni Saya,
yakni pameran bersamanya dengan R. E. Hartantio di Selasar Soenaryo Art

2

Space. Baginya, karya-karya seni yang diakui dan melejit di pasar tidak serta
merta memiliki kualitas estetik atau artistik yang buruk, namun memang ada
praktik-praktik pasar seni rupa Indonesia yang memeliki tendensi-tendesi buruk
pada perlakuan karya seni. Dalam Artist Talk tersebut pun, dikemukakan bahwa
salah satu penopang utama (jika tidak sampai menyebut satu-satunya) seni rupa
kontemporer Indonesia adalah pasar, karenanya medan seni rupa Indonesia boleh
jadi disebut anomali, semenjak pemerintah bersikap acuh pada perkembangan seni
rupa Indonesia yang sewajarnya memberikan sebuah infrastruktur seni yang bebas
nilai dan tidak memilik keberpihakan khusus, selain tujuannya untuk memajukan
peradaban masyarakatnya.
Anomali, keanehan, kekacauan, chaos adalah kara-kata yang cukup sering
menyertai diskusi-diskusi seni rupa Indonesia, terutama dalam kajian sejarah dan
singgungan sosiologisnya. Kedua aspek tersebut memang mendapat perhatian
yang cukup mendalam akhir-akhir ini. Kembali pada konteks pasar, para pelaku

seni rupa Indonesia laiknya melakukan kajian mendalam dalam menyikapi
dinamika yang terjadi pada medan seni rupa. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi
simpang-siur dalam perjalanan seni rupa Indonesia yang dapat memberikan
pengaruh buruk, seperti kelesuan pasar belakangan ini misalnya. Tulisan ini
memang tidak berniat untuk meletakkan solusi dalam problematika dalam medan
seni rupa kontemporer Indonesia, namun sebatas memaparkan beberapa paradoks
yang terjadi dalam laju komodifikasi seni rupa kontemporer.
Dalam konteks akademi, terjadi progresi sorotan penelitian pada medan seni rupa
Indonesia. Setidaknya dapat disebut tiga penelitian yang meletakkan basis
penelitiannya pada medan seni rupa kontemporer, antara lain: Komodifikasi Seni
Rupa Kontemporer Indonesia oleh Djuli Djatiprambudi (Institut Teknologi
Bandung, 2009), Medium Seni dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia
(Institut Teknologi Bandung, 2011) oleh Rikrik Kusmara, dan Praktik
Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia
oleh Agung Hujatnika (Institut Teknologi Bandung, 2012), ketiga penelitian ini
berada di tingkat disertasi. Penelitan Djariprambudi akan dijadikan acuan khusus

3

pada penelitan ini, semenjak sorotan mendalamnya terhadap komodifikasi yang

tentunya amat lekat dengan pasar seni rupa Indonesia. Tulisan ini juga akan
mengelaborasi beberapa pencatatan juranlistik terhadap fenomena-fenomena pasar
seni rupa kontemporer. Guna memberikan gambaran komprehensif da
menyingkap paradoks-paradoks yang tersematkan dalam tubuh komodifikasi seni
rupa kontemporer, tulisan ini akan lebih dulu menjelaskan laju perkembangan
pasar seni rupa kontemporer Indonesia, yang sebelumnya didahului oleh
paradigma baru pada karya seni sebagia benda simbolik yang mampu memberikan
‘pembeda’ (distniction, meminjam Istilah Pierre Bordieu) pada medan
pertarungan simbolik (the filed of symbol).
Karya Seni dan Gaya Hidup
Komodifikasi seni dalam konteks budaya dan gaya hidup dapat dimaknai sebagai
seni borjuis, yang sebagian besar berkaitan dengan pengukuhan status dalam
struktur sosial tertentu. Menurut Herbert Marcuse, karya seni tidak dapat
dipahami hanya sebagia entitas tunggal, melainkan dipahami dalam kerangka dan
kondisi kelembagaan yang berperan besar menentukan fungsi karya seni. Seni,
bagi masyarakat borjuis memiliki fungsi kontraktif: Yakni disatu sisi menyingkap
kebenaran yang terlupakan, namun sekaligus memisahkan kebenaran tersebut dari
realitas. Melalui karya seni, individu borjuis dapat mengalami diri sebagai pribadi,
namun karena proses mengalami diri sendiri tersebut dipisahkan dari keseharian,
maka pengalaman tersebut tidak berdampak secara langsung pada kehidupan

borjuis. Bagaimanapun berkesan tidak berdampak, pengalaman estetik adalah
sebuah pengalaman mengalami diri yang kerap dicari oleh masyarkat borjuis.
Masyarkat borjuis hidup dalam sebuah simulakrum. Dengan meminjam
pemaparan Baudrillard, masyarakat tersebut hidup dalam dunia citraan yang
mampu memberikan kepuasan pada hasrat-hasrat pemilikan tanda. Fetisisme pada
produk atua komoditi yang disematkan nilai tandai oleh kapitasl, menciptakan
budaya konsumerisme tingkat tinggi yang fungsinya tidak hanya pada tataran
utlitas, namun juga tataran simbolik. Bagi masyarakat ini, citra adalah sebuah hal
yang diperebutkan dan dijualbelikan, dan karya seni, dalam konteks kebutuhan

4

setelah kebutuhan tersier, memiliki citra yang unik dan khas sehingga
kepemilikannya adalah hal yang wajar untuk diperebutkan, disamping nilai
estetika yang tersimpan dalam karya tersebut. Lukisan, sama dengan komoditas
lainnya, berubah menjadi tanda (sign) dalam konteks gaya hidup masyarakat
konseumeris. Citra-citra yang didapatkan dari kepemilikan lukisan antara lain
adalah terpelajar, beradab, berbudaya, dan selalu mengikuti perkembagan
modernitas. Karya seni adalah sebuah produk dari dinamika sosio-kultural.
Kemenjadiannya pun secara relatif dipengaruhi oleh proses transformasi nilainilai yang mempengaruhi kehadirannya. Lukisan hadir akibat proses interaksi dari

berbagai macam unsur sosio-kultural masyarakat yang mencakupi iedeologi,
norma, nilai, ikatan sosial, institusi sosial, dan sebagainya.
Karya seni, ketika memiliki fungsi di tataran sosial sebagai pembentuk citra dan
prestise, membutuhkan struktur sosial yang terpranatakan. Fenomena ini pun
merebak pada sejumlah unsur-unsur budaya lain yang kemudian dikomodifikasi.
Dalam konteks seni rupa, terbentuknya gugus bangunan pranata seni kemudian
dibahas dalam sebuah kajian khusus yang bertajuk pada artworld, artifiled, dll.
Secara ringkas, seni rupa kemudian tidak hanya berkutat pada proses kreasi atau
artistik seniman sebagai pusatnya, namun pula dikaitkan dengan proses yang lebih
rumit, yakni produksi-distribusi-konsumsi. Pranata sosial yang berbasi pada
prinsip tersebut kemudian terdiferensiasikan menjadi sejumlah agen seni rupa
disamping seniman seperti kurator, kolektor, art dealer, art broker, galeris, balai
lelang, kritikus, dll.
Dalam kaitannya dengan gaya hidup masyarakat konsumeris, galeri sebagai salah
satu pranata seni merupakan institusi sosio-budaya yang berperan dalam
membentuk citra, dan juga taste. Semenjak lukisan lazim dijual melalui galeri,
galeri kemudian memiliki signifikasi khusus dalam gaya hidup masyarakt modern.

Perkembangan Pasar Seni Rupa di Indonesia (Etnis Cina sebagai Fokus)


5

Tulisan ini sebelumnya telah mengutarakan terlebih dahulu latar belakang akan
keterkaitan antara budaya mengoleksi lukisan bagi masyarakat modern dan
kaitannya dengan medan seni rupa kontemporer sebagai cikal bakal pasar.
Kehidupan masyarakat borjuis dengan kekuatan ekonomi yang cukup kuat
ternyata memang benar memerlukan karya seni sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan akan citra. Semenjak komodifikasi sei rupa lekat dengan gaya hidup
masyarakt borjuis, tulisan ini perlu memaparkan sedikit tentang pengaruh dari
dinamika ekonomi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembentukan pasar seni
rupa, atau pada awal kehadirannya, pasar seni lukis.
Dalam konteks ekoomi, komodifikasi karya seni di Indonesia diduga diawali dari
fenomena bom seni lukis tahun 1987, yang kemudian semakin berkembang
hingga saat ini. Penyebutan fenomena sebagai boom seni lukis dikarenakan
mayoritas karya-karya yang simpang siur dalam pasar seni rupa adalah lukisan.
Boom seni lukis tahun 1987 ditandai dengan pembelian lukisan dengan harga
yang fantastis dan berlangsung dalam skala besar-besaran. Hal ini menjadi
menarik ketika disandingkan dengan melemahnya pilar-pilar ekonomi Indoesia
dan korporatisme otoriter yang diterapkan dalam rezim Orde Baru. Beberapa
kajian mengungkapkan bahwa adalah kooptasi dari etnis China di Indoeseia yang

memberikan dampak kongkrit pada kemunculan komodifikasi karya seni.
Menurut Djatiprambudi, keterlibatan elite ekonomi pada era Orde Baru (dalam
kasus ini mayoritas dikuasai oleh etnis Cina) pada gilirannya diarahkan untuk
menjadi agensi yang aktif dalam praktik oligarki politik dan korporatisme otoriter
tersebut (Djatiprambudi, 2009). Basis tersebut juga dapat dijadikan sebagai basis
sosio kultural yang mendasari komodifikasi seni rupa Indonesia.
Etnis China, dalam konteks Orde Baru, diletakkan dalam jejaring ekonomi secara
luas, sebagai golongan elite ekonomi yang secara intensif berkaitan dengan
perdagangan. Strategi Orde Baru tersebut dapat dipahami pula sebagai peletakkan
etnis China sebagai golongan perantara, berperan penting dalam akses ekonomi.
Meskipun begitu, etnis Chinda di Indonesia pada kenyataannya cukup
memberikan pengaruh diluar bidang ekonomi, misalnya di bidang olah raga,

6

keilmuan, hukum, pers, politik, film, sastra, dan seni rupa. Namun, persepsi
bahwa elite ekonomi yang menguasai mayoritas pusaran kapital dan jejaring
perdagangan yang dikuasai oleh etnis China di Indonesia merupakan realitas yang
tidak terelakkan.
Pada awalnya, sekitar dekade 1970, terjadi ledakan harga minyak dunia yang

memicu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pesat (sebuah catatan
mengemukakan bahwa Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi pada
angka 7%), namun kemajuan tersebut hanya bisa dirasakan oleh kaum elite
ekonomi, yang kemudian dikenal sebagai konglomerat. Peristiwa ini juga disertai
degan

pertumbuhan

di

sektor

riel,

seperti

industri

manufaktur,


jasa,

telekomunikasi, properti, dan realestat. Semenjak itu, timbul kekuatan ekonomi
yang dikuasai oleh mayoritas etnis China di Indonesia. Namun, laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia harus berakhir pada saat terjadi krisis ekonomi 1997, ditandai
dengan ambruknya sejumlah bank swasta dan menurunnya apresiasi rupiah
terhadap dollar. Dampak dari kondisi ekonomi Indonesia kala itu yang cenderung
merosot tajam adalah pengalihan kapital ke luar negri, yang juga diwujudkan
dengan investasi ke sektor lain, investasi seni lukis misalnya.
Sedangkan dalam perspektif global, sekitar dekade 1980-an, terjadi bom seni lukis
yang dtandakan dengan ramainya pembelian karya dengan nominal fantastis
(pemecah rekor) karya-karya master dunia, terutama pada balai lelang Christie’s
dan Sotheby’s. Hal tersebut kemudian memicu seni lukis menjadi lahan spekulasi
finansial di tengah gejolak krisis ekonomi. Dalam kondisi tersebut, seni lukis pada
praktik spekulasi tersebut didasarkan berdasarkan faktor-faktor ekstrinsik (seni
sebagai investasi), bukan pada nilai intrinsik (estetika). situasi ini kemudian
memunculkan berbagai komunitas bisnis seni lukis. Fenomena ini menandakan
adanya perubahan paradigma dari seni lukis yang memiliki seperangkat nilai
estetis-filosofis, menjadi semata-mata benda komoditi. Paradigma ini kemudian
semakin mapan ketika dibangunnya infrastruktur dan jejarinng binis seni lukis
sebagai konsekuensi akan maraknya komdifikasi seni lukis, diantaranya adalah
galeri, art dealer, art broker, balai lelang, media dan lainnya.

7

Kembali merujuk pada konteks Indonesia, medan seni rupa yang terbentuk
sebagai dampak dari lazimnya komodifikasi seni dikuasai oleh kalangan etnik
Cina. Hal tersebut tampak jelas dari lapis-lapis struktur pasar yang didominasi
oleh etnis Cina. Fenomena tersebut bernada paralel dengan paradigma penguasaan
jejaring ekonomi oleh etnis Cina, yang kemudian melirik seni lukis sebagai
bentuk investasi alternatif. Karenanya, timbul persepsi kuat bahwa etnik Cina
merupakan etnik terbesar dalam kapasitasnya sebagai ‘pemain tunggal’ dalam
pasar seni rupa Indonesia sebagai efek domino dari meledaknya bom seni lukis
global.
Pengaruh-pengaruh pasar pada seni rupa Indonesia
Perkembangan seni rupa Indoesia kemudian menjadi sangat dipangaruhi oleh
aspek pasar semenjak tahun 1980 - sekarang. Semenjak tradisi permuseuman seni
rupa di Indoensia tidak berjalan dengan baik, pasar kemudian menjadi satusatunya saluran bagi seni rupa kepada publik, atau bahkan satu-satunya penopang
seni rupa kontemporer Indonesia. Pemerintah, sebagai penyelenggara kehidupan
masyarakat Indonesia sejauh ini belum mampu mengakomodasi pranata-pranata
sosial yang dibutuhkan oleh seni rupa, padahal seni rupa sebagai salah satu dari 7
aspek kebudayaan sewajarnya tidak luput dari pengawasan pemerintah. Meskipun
pemerintah tidak serta merta mampu menjadi penyokong pusaran seni rupa
kontemporer Indonesia yang kompeten, kehadiran pemerintah dalam pusaran seni
rupa Indonesia diharapkan mampu memberikan sandingan akan pasar seni rupa
(dengan tidak menafikkan kemungkinan pasar yang tidak selamanya tendensius
dan pretensius).
Hegemoni pasar pada seni rupa Indonesia kemudian memberikan dampak-dampak
hampir secara menyeluruh pada seni rupa Indonesia, baik dalam wacana praktik,
akademi, dan medan seni rupa. Komodifikasi seni rupa di Indonesia terjadi dalam
model yang asimetrs, yaitu ketiadaan keseimbangan antara medan seni yang
beroprasi di dalamnya. Keadaan ini juga menimbulkan ketidakseimbangan antara
perkembagnan dunia wacana seni rupa (art discourse) dan dunia pasar seni rupa

8

(art market). Keadaan ini, seperti telah disinggung sebelumnya, scara struktural
diakibatkan oleh premis ekonomi dalam memahami karya seni.
Komodifikasi seni rupa kontemporer Indoensia yang kemudian membentuk
struktur pasar yang semakin terpranatakan memberikan dampak dan implikasi
tertentu pada seni rupa Indonesia, dampak dain implikasi tersebut antara lain:
Pertama, implikasi terhadap wacana seni rupa. Ideologi komdifikasi yang terlalu
materialistik atau bermotif ekonomi berakibat pada kurang diakomodirnya
kepentingan perkembangan wacana seni rupa. Pada kasus tertentu memang
terbentuk hubungan saling menguntungkan antara praktik komodifikasi dan
praktik wacana. Dalam titik temu tersebut, praktik komodifikasi mendorong
tumbuhnya wacana seni rupa dan sebalikna, praktik wacana seni rupa kemudian
dapat diambil manfaatnyauntuk melegitmasi praktik komodifikasi (penyangkalan
pada pretensi pasar yang terlampau materialistik, dengan catatan pada praktek
yang meguntungkan saut sama lain).
Kedua, implikasi terhadap praktik seni. Terdapat sebuah implikasi simplistik
akibat dari sifat pragmatis dari praktik komodifikasi seni rupa, Orientasi pada
karya dua dimensional (seni lukis) di atas kanvas dengan bahan, medium, teknik,
gaya ungkapan tertentu mengindikasikan adanya gejala penyempitan pada
eksplorasi karya seni. Gejala in ditimbulkan karena adanya dorongan kuat dalam
medan seni yang mengkonstruksikan seni lukis tertentu sebagai ikon utama
komodifikasi. Implikasi ini kemudian sedikit demi sedikit memudar ketika
pengoleksian karya seni dengan medium lain seperti video art dan fotografi juga
mulai lazim dikoleksi, seiring dengan perkembangan penggunaan medium dalam
medan seni rupa Indonesia. Namun, seni lukis, dengan gaya tertentu masih
medominasi pasar seni rupa Idonesia.
Ketiga, implikasi terhadap medan seni. Dominasi agen-agen seni tertentu
kemudian membentuk hubungan kebergantungan medan seni pada seorang atau
sekelompok agen yang memiliki pengaruh, baik dalam konteks lokal maupun

9

global. Medan seni yang seyogyanya terbentuk dari jejaring kultural beberapa
agen dengan distribusi kuasa tertentu kemudian harus berpijak hanya pada agenagen tertentu, sehingga terjadi jalur distribusi kuasa yang vertikal, bukan
horizontal (dengan asumsi bahwa kuasa tiap agen adalah kongruen).
Keempat, implikasi terhadap akademi seni rupa. Dominasi pasar pada medan seni
rupa kemudian memunculkan beragam krisis pada struktur kurikulum yang
diberikan di akademi-akademi seni rupa, beberapa diantaranya adalah krisis
orientasi (ideologis), krisis kurikuler, krisis instruksional, krisis kajian kritis.
Dalam konteks Indonesia, akademi seni kemudian digunakan sebagai medium
legitimasi praktik komodifikasi seni rupa, dengan sedikiti pengaruh intelektual
dalam menciptakan indikator dalam tataran ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
Keempat implikasi yang diutarakan sebelumnya memang mulai bergeser pada
beberapa tahun ke belakang, terutama 2010-sekarang (2012). Impresi quasinegatif (seyogyanya tidak serta merta) yang nampak pada praktik komodifikasi
seni rupa yang difasilitasi pasar mulai mendapatkan sandingannya, yakni seni-seni
alternatif yang cenderung menjauhi pasar dan menekankan pada aspek eksplorasi
seni rupa kontempoerer. Isu merebaknya seni alternatif di beberapa kota di
Indonesia salah satunya dilatarbelakangi oleh perkembangan seni media baru yang
mulai digalakan di Indoensia sekitar tahun 2001 – sekarang. Dengan
mengerucutkan pada aspek medium, dapat diindikasikan terjadi interaksi antara
seni rupa mainstream dan alternatif, dibuktikan dari mulai dikoleksinya karayakarya media baru yang pada awalnya digalakan pada praktik seni alternatif yang
cenderung menjauhi pasar.

Paradoks-paradoks dalam Pasar Seni Rupa Indonesia
Boom seni lukis Indonesia yang dimulai tahun 1987 dan berakhir sekitar tahun
2007 atau 2008 memang menimbulkan beragam implikasi pada seni rupa, bahkan

10

hampir secara menyeluruh. Beberapa kajian mengutarakan bahwa praktik
komodifikasi seni rupa yang cenderung lebih berpretensi ekonomi membawa
dampak buruk pada perkembangna seni rupa seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, namun kooptasi pasar yang hegemonik pada akhirnya tidak serta
merta mengekang praktik-praktik seni alternatif. Sebagai contoh, munculnya
ruang-ruang seni alternatif seperti Cemeti, Fabriek, dan Platform 3 menandakan
adanya praktik-prakti seni yang menjauhi arus utama seni rupa Indonesia yang
erat berkaitan dengan pasar, terutama pada tahun 2008 – sekarang (2012). Praktik
seni alternatif, bagaimanapun mencoba menjauhi pasar, tetap saja berkaitan
dengan pusaran aliran kapital untuk menyokong kegiatan-kegiatannya.
Kembali pada konteks boom seni rupa, terjadi beberapa paradoks hasil implikasi
dari hegemoni pasar dalam perkembangan seni rupa. Menurut Djatiprambudi,
setidaknya dapat diungkap 7 paradoks pada komodifikasi seni rupa kontemporer
Indonesia, paradoks-paradoks tersebut antara lain:
1. Pada situasi ekonomi negara yang cenderung masih buruk, terdapat gejala
pedagangan lukisan dengan harga yang cukup fenomenal. Menariknya,
terlihat beberapa kasus peningkatan harga lukisan secara akumulatif dan
dalam waktu yang realitf pendek. Hal ini seolah-olah mengindikasikan
ketiadaan kaitan antara persialan ekoomi makro/mikro yang tengah
mengalami krisis serius. Lukisan dalam kasus ini menjadi benda bernilai
kapital yang tinggi, diperdagangkan, dipermainkan, dan dimitoskan
menjadi sebuah saham.
2. Gaya hidup membeli lukisan dengan harga fenomenal seolah-olah tengah
mempertontonkan sebuah pertunjukan hasrta konsumsi yang luar biasa di
dalam kalangan masyarakat kelas atas. Dalam kajian Umberto Eco,
fenomena ini kemudian disebut ‘perang gerilya semiotik’, dan segmentasi
masyarakat yang didasarkan atas: simbol, status, kelas sosial, gaya hidup,
dan identitas. Lukisan kemudian dipahami sebagai representasi reputasi,
jual-beli simbol, dan produksi citraan.
3. Terdapat polarisasi pada ‘karya ikon’ (karya yang diperebutkan) dan
‘karya non-ikon’. Perlakuan pada karya ikon cenderung eksploitatif dan

11

cenderung hanya dilihat dalam aspek ekonomis, bukan apresiasi kritis.
Konsekuensinya, karya-karya dengna potensi estetik yang baik bisa saja
terlempar dari pusaran pasar, dan tidak diparesiasi dengan baik. Selain itu,
paradigma ini boleh jadi membuat daya kritis di tatanan para art dealer
cenderung menumpul. Dalam kondisi ini, para pelaku pasar rata-rata tidak
melihat alur perkembangan seni, kaji banding karya, apalagi polla dan
proses kreasi seniman dalam membentuk perspektif mengapresiasi karyal
Mereka justru terlibat aktif dalam proses perwacanaan karya melalui
seniman, dengan mempengaruhi, bahkan mendikte seniman untuk patuh
dan bersekutu dengan permintaan pasar.
4. Pengaruh pasar pada proses kreasi seniman mampu berkembang hingga
justifikasi sebuah karya seni. Timbul perspektif bahwa karya seni yang
laris manis di pasar kemudian dianggap karya yang baik, dan sebaliknya
karya yang tidak laku di pasar memiliki kualitas yang buruk. Kondisi ini
seyogyanya semakin diperburuk karena absennya museum dalam
konstruksi medan seni rupa Indonesia, sehingga pasar sifatnya menjadi
hegemonik, dan ironisnya justifikasi karya (meski tidak serta merta)
ditentukan dari apresiasi pasar.
5. Terdapat fenomena pendangkalan kecenderungan karya. Hal ini terlihat
dari adanya pengulangan baik dalam olah bentuk, tema, suasana, dan
konsep karya pada karya-karya pada karya-karya ikonik. Pola-pola ini
diduga terbentuk dari permintaan pasar pada kecenderungan karya tertentu
masih cukup tinggi, sehingga pengulangan dilakukan untuk kembali
memenuhi permintaan yang masih tinggi.
6. Impotensi kritik sebagai penjaga nilai dalam pasar seni rupa Indonesia.
Dalam konteks ini, kritik yang seyogyanya masih dipercaya mampu
memberikan penilaian objektif ternyata tidak menunjukan fungsinya,
meskipun kritik digalakan dalam berbagai media, justifikasi karya yang
baik dan kurang baik secara estetik masih berpusat pada intensitas dan
nominal transaksi/
7. Sifat pasar yang tendensius. Dalam kasus ini, pasar memang cenderung
mengapresiasi karya yang memiliki nilai ekonomis dan kapital tinggi,

12

namun sayangnya hal itu tidak berlanjut ketika nilai investasi karya
menurun. Minimnya konsistensi yang dilakukan para pelaku pasar dalam
mengapresiasi karya sekiranya membentuk medan seni yang kurang sehat.
Pretensi ekonomis pasar yang terlampau kentara membuat impresi buruk
pada komodifikasi karya seni.
Demikian dipaparkan tujuh paradoks dalam seni rupa kontemporer Indonesia,
meskipun diindikasikan muncul temuan-temuan baru dari komodifikasi seni rupa
kontemporer Indonesia yang diakibatkan oleh kelesuan pasar, tulisan ini kembali
hanya berupaya untuk membaca fenomena komodifikasi sepanjang boom seni
lukis Indonesia yang terjadi pada tahun 1987 hingga sekitar 2007/2008.
Kesimpulan
Praktik komodifikasi seni rupa kontemporer di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perekembangan ekonomi yang juga mendapat singgungan dari dunia politik.
Pengaruh ekonomi dan politik global pun memberikan efek dominonya pad
aproses komodifikasi seni rupa kontemporer. Pemerintahan Orde Baru yang
menempatkan etnis China pada sektor ekonomi rupanya secara tidak sengaja
berdampak pada penguasaan sturktur pasar seni rupa di Indonesia, fenomena
tersebut juga dilatarbelakangi oleh penguatan status eilte ekonomi yang
diperankan oleh etnis Cina, sebagai dampak dari kebijakan Orde Baru.
Karya seni yang bagi kaum elitis merupakan sebuah produk budaya yang
memiliki nilai estetika tersendiri pada awalnya, dan kemudian dikembangkan
melalui komodifikasi seni rupa yang berdampak pada penyematan nilai tanda dan
citra. Kaum elite ekonomi Indonesia, yakni etnis Cina, memang memiliki
kosntruksi budaya mengoleksi karya seni, dan juga didukung jejaring ekonomi
yang kuat semakin mengukuhkan dominasinya pada sturktur pasar. Pengoleksian
karya seni selain sebagai upaya perebutan tanda pada medan citra, juga dipahami
sebagai medium invesatasi alteratif, sejalan denan boom seni lukis dunia yang
juga menjadikan karya seni sebagai lahan investasi dan modal kultural untuk
mengukuhkan signifikasi seni rupa.

13

Dengan menajdikan Indonesia sebagai studi kasus, keruntuhan atau kemerosotan
ekonomi negara pada tahun 1997 menyebabkan pengalihan investasi ke sektor
global (sebagai dampak dari kemerosotan arpesiasi rupiah terhadap dollar), dan
salah satunya adalah lukisan. Motif ekonomi yang melatarbelakangi boom seni
lukis Indonesia tersebut kemudian menjadi dominan dalam medan seni rupa
Indonsia. Mulai bermunculan berbagai ketimpangan dan anomali pada medan seni
karena hegemoni pasar. Dampak pasar pada perkembangan seni rupa pun terjadi
hapir secara menyeluruh, melingkupi aspek wacana, praktik seni, medan seni
rupa, hingga akademi seni rupa. Implikasi-implikasi tersebutm terutama dalam
konteks praktik seni rupa, sekiranya menghasilkan tujuh paradoks, yang antara
lain:
1. Pada situasi ekonomi negara yang cenderung masih buruk, terdapat gejala
pedagangan lukisan dengan harga yang cukup fenomenal. menjadi sebuah
saham.
2. Lukisan sebagai medium pemenuhan kebutuhan tanda bagi kalangan elite,
3. Terdapat polarisasi pada ‘karya ikon’ (karya yang diperebutkan) dan
‘karya non-ikon’,
4. Peniliaian karya seni yang berpusat pada pasar,
5. Terdapat fenomena pendangkalan kecenderungan karya,
6. Impotensi kritik sebagai penjaga nilai dalam pasar seni rupa Indonesia,
7. Sifat pasar yang tendensius.
Paradoks-paradoks tersebut dapat dipahami sebagai ‘praktik kotor’ dari beberapa
agen seni rupa yang secara manipulatif berupaya untuk memanfaatkan boom seni
lukis untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Namun, kembali, pasar
bagi seni rupa kontemporer Indonesia adalah penyokong utama dalam
keberlangsungan praktik seni. Posisi ini tidak serta merta dilematis, tidak semua
agen pasar memiliki tendensi untuk menjadikan seni sebagia lahan usaha dengan
tidka mengindahkan nilai-nilai kultural yang terkandung di dalamnya. Impresi
pasar yang keruh dan kotor memang dapat dijejaki, pun manfaat-manfaat bagi
kehadiran pasar dalam seni rupa Indonesia, sekiranya para pelaku seni rupa tidak

14

serta merta menyalahkan praktik pasar yang meracuni laju perkembangan seni
rupa Indoensia, sebagai penyebab utama dari anomali-anomali yang terdapat pada
seni rupa kontemper Indoesia.

15

Daftar Pusataka
Bourdieu, Pierre (1984): The Field of Cultural Production, Columbia University
Press, New York.
Becker, Howard S. (1982): Art Worlds. Berkeley: University of California Press.
Danto, A. (2003) ‘ The Artworld’ in C. Korsmeijer (ed.) Aesthetics: The Big
Questions. Oxford: Blackwell Publishing
Djatiprambudi, Djuli (2009): Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia:
Basis Sosial-Historis, Struktur, dan Implikasinya, disertasi Program Studi
Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Hasan, Asikin (ed). 2001. Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman.
Yayasan Kalam. Jakarta. Indonesia.
Hujatnika, Agung (2012): Praktik Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan
Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu
Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Kusmara, A. Rikrik (2011: Mediuam dalam Medan Sosial Seni Rupa
Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa
dan Desain, Institut Teknologi Bandung

16