SASTRA ANAK WAHANA LITERASI DAN PENDIDIK

SASTRA ANAK: WAHANA LITERASI DAN PENDIDIKAN
KARAKTER
Abdul Karim Wirawan
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Email: abdulkarimwira@gmail.com
Abstrak: sastra anak merupakan khazanah sastra yang sering disepelekan dan
tidak mendapat perhatian khusus dalam dunia kesusastraan, khususnya di
Indonesia. Teori, kritik, maupun sejarah sastra luput membahas sastra anak.
Padahal, sastra anak merupakan elemen penting dalam dunia kesusastraan. Hal
ini karena pada dasarnya anak memiliki konsep, pola pikir, dan dunia yang
berbeda dari orang dewasa. Hal ini membuat sastra anak harus dipilah dan tidak
boleh disamakan dengan sastra orang dewasa. Sastra anak harus
mempertimbangkan sisi psikologis anak, wawasan dunia anak, serta menunjang
tumbuh kembang anak, terutama secara mental, pemikiran, dan psikologis.
Sastra anak juga tidak boleh dilepaskan dengan program literasi yang
dicanangkan oleh pemerintah. Sastra anak dapat menjadi salah satu wahana
literasi anak, yang dapat menambah opsi bahan bacaan anak. Terlebih lagi, sastra
anak memang merupakan bahan bacaan khusus konsumsi anak-anak. Muatanmuatan cerita dalam sastra anak ini juga dapat menjadi media pendidikan
karakter anak. Muatan pendidikan karakter yang disisipkan dalam cerita anak
akan mudah dipahami dan dicerna oleh anak, sehingga pemahaman karakter

anak akan lebih baik.
Kata kunci: literasi, karakter, sastra anak

PENGANTAR
Sastra anak merupakan kajian yang sedang berkembang dalam khazanah
kesusatraan, tidak terkecuali di Indonesia. Sastra anak menitikberatkan konsep
pada karya sastra yang layak baca bagi anak. Hal ini karena terdapat bacaanbacaan sastra yang hanya layak untuk dibaca pada batasan umur tertentu. Ketika
bacaan sastra tersebut dibaca oleh mereka yang belum cukup usia, maka akan
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Batasan usia ini ditentukan oleh isi
karya sastra tersebut. Misalnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari mungkin tidak cocok dibaca oleh anak kecil, usia TK atau SD misalnya.
Hal ini karena cerita dalam novel tersebut mengandung adegan dewasa, yang
tentu belum layak sebagai bacaan anak-anak.
Ketika banyak karya-karya sastra yang dikategorikan tidak layak baca
untuk anak, maka kebutuhan bahan bacaan literasi sastra untuk anak menjadi

1

berkurang. Fakta ini akan mereduksi, atau bahkan menghambat proses
penumbuhan minat baca pada anak. Padahal, penumbuhan minat baca sejak dini

ini penting dilakukan agar anak menjadi terbiasa dalam berliterasi. Berangkat dari
fakta ini, maka dikembangkanlah konsep sastra anak. Sastra anak merupakan
sebuah wadah untuk memfasilitasi kebutuhan literasi sastra anak, dan memberikan
opsi-opsi bacaan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif. Bahkan,
bacaan-bacaan sastra anak ini pada perkembangannya akan dapat membantu
perkembangan anak tersebut.
Sama seperti sastra pada umumya, sastra anak juga memiliki unsur-unsur
pembangun di dalamnya. Salah satu unsur pembangun sastra anak yang
ditonjolkan adalah penanaman nilai-nilai positif dalam ceritanya. Hal ini penting
untuk diperhatikan karena anak-anak merupakan fase terpenting dalam fase
kehidupan manusia. Nilai positif yang dapat dimasukkan ke dalam sastra anak
salah satunya adalah nilai pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter ini
penting ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga dapat membentuk karakter
anak tersebut menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, sastra anak berperan sebagai
media pendidikan karakter. Peran sastra anak sebagai media pendidikan karakter
ini yang menjadi fokus kajian artikel ini, selain juga peran sastra anak sebagai
wahana literasi. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian mengenai dua fokus ini
yakni meningkatkan nilai kebermaknaan sastra anak sebagai wahana literasi dan
pendidikan karakter, sehingga bacaan sastra tidak hanya menjadi sekadar bacaan
semata.


SASTRA ANAK
Sastra anak merupakan bentuk kesusastraan yang memiliki keunikan
tersendiri. Sastra ini disebut sastra anak bukan karena ditulis oleh anak atau
bercerita tentang anak, tetapi tujuan penulisan sastra ini (Grenby, 2008:199).
Sastra anak merupakan karya sastra yang memiliki sasaran pembaca yang
spesifik, yakni anak. Sarumpaet (2010:2) menyatakan bahwa sastra anak
merupakan sastra yang dibaca oleh anak-anak, namun tetap dalam bimbingan dan
pengarahan orang dewasa. Sementara Winarni (2014:3) menjelaskan bahwa sastra
2

anak adalah sebuah karya sastra yang bahasa dan isinya selaras dengan
perkembangan usia anak, mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak,
ditulis oleh anak, remaja, maupun dewasa, baik lisan maupun tertulis. Berbeda
dengan dua konsep pertama, konsep ketiga mengenai sastra anak ini menyertakan
keterangan bahwa sastra anak juga dapat ditulis oleh anak, sementara dua konsep
lain menyatakan bahwa sastra anak ini ditulis oleh orang dewasa. Mengapa sastra
anak juga dapat ditulis oleh anak? Pendapat ini disinyalis berdasar pada
pandangan bahwa yang mengenal dunia anak, kepribadian anak, corak kehidupan
anak, adalah anak-anak itu sendiri. Namun satu yang harus digarisbawahi bahwa

sastra anak memperhatikan tahapan perkembangan usia anak. Dalam poin inilah
peran orang dewasa sebagai pembimbing (seperti pendapat Sarumpaet di atas)
menjadi penting. Hal ini karena yang lebih memahami tahapan-tahapan
perkembangan anak adalah orang dewasa yang lebih memahami tahapan
perkembangan ini.
Sebagai kajian yang unik dan spesifik, sastra anak memiliki paling tidak 3
ciri utama. Pertama, terdapat unsur pantangan. Dalam sastra anak, terdapat tematema yang dihindari, sepertiseks, erotisme, dendam, kebencian, kekejaman,
kematian, dan lain-lain. Kedua, penyajian dengan gaya secara langsung. Sastra
anak merupakan karya sastra yang ditujukan khusus kepada anak. Sementara
bahasa anak cenderung langsung pada sasaran. Oleh karena itu, sastra anak harus
memperhatikan hal ini. Penggunaan penyajian dengan gaya langsung, makna
cerita tersebut akan lebih mudah ditangkap oleh anak. Ketiga, fungsi terapan.
Sastra anak harus mengandung informasi-informasi yang baik untuk pengetahuan,
keterampilan, dan perkembangan anak (Winarni, 2014:3—4).
Ketika berpikir mengenai anak, kehidupan, bacaan, serta bermacam
persoalan berkaitan dengan anak, perlu diperhatikan konteks budaya anak.
Artinya, dalam memahami anak, perlu dikaitkan dengan konteks anak tersebut
dan tidak menggunakan sudut pandang orang dewasa semata. Perlu disadari pula
bahwa fase anak-anak merupakan fase pertumbuhan. Dalam fase ini, anak-anak
perlu mendapatkan bimbingan dan arahan dari orang dewasa. Bimbingan dan


3

arahan tersebut tentunya juga harus mempertimbangkan kebutuhan anak yang
dilihat dari sudut pandang anak itu sendiri (Sarumpaet, 2010:4).
Di atas telah dikemukakan bahwa anak-anak merupakan tahap
perkembangan. Perkembangan anak ini merupakan tahapan yang sangat penting.
Sarumpaet (2010:5) menjelaskan bahwa perkembangan anak ini juga harus
dipahami ketika seseorang berusaha untuk mendekati dunia anak, termasuk sastra
anak. Anak-anak merupakan manusia utuh yang memerlukan perkembangan. Hal
ini sekaligus mengaitkan pada permasalahan urgensi pendidikan dan pengajaran
dalam dunia anak. Anak-anak dan buku yang mereka baca, akan selalu berkaitan
dengan pendidikan. Dalam bacaan anak tersebut terkandung pengetahuan yang
secara tidak langsung dipelajari oleh anak ketika ia membaca sastra.

SASTRA ANAK SEBAGAI WAHANA LITERASI
Istilah literasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai kegiatan membaca.
Namun demikian, membaca itu sendiri pun tidak dapat dimaknai sesederhana itu.
Membaca adalah proses aktif yang memerlukan latihan dan skill yang kompleks
(Moreillon, 2005:10). Kegiatan membaca oleh Moreilon (2005:10) diibaratkan

seperti banyaknya trik sulap di dalam topi pesulap. Hal ini mengingat betapa
kompleksnya keterampilan membaca ini. Sebagai pembaca, kita dituntut untuk
dapat mengucapkan kata yang kita baca dan memaknainya.
Pada perkembangannya, istilah literasi mengalami perkembangan makna.
Istilah literasi tidak hanya dimaknai sebuah kegiatan membaca semata, namun
melebihi itu. Literasi kini mencakup pula implikasi kegiatan membaca tersebut
(Aronoff, 1995:68). Dalam kegiatan literasi, tujuan menjadi hal yang penting.
Kegiatan yang dianggap sebagai literasi bergantung pada masyarakat tertentu
yang cenderung dinamis, serta merefleksikan harapan perubahan dari masyarakat
tersebut. Hal ini menimbulkan perbedaan antara literasi dalam waktu dan tempat
tertentu, dan mengenali pengaruh budaya dan masyarakat dalam kegiatan literasi
(Yates, 2006:159).

4

Di Indonesia, saat ini istilah literasi sedang gencar digaungkan.
Kemendikbud bahkan meluncurkan program literasi sekolah, berupa kewajiban
membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran
dimulai setiap hari di sekolah (tempo.co, 2017). Program ini diberi nama gerakan
literasi sekolah atau GLS dan dilakukan secara masif di sekolah-sekolah di

Indonesia. Tujuannya, dengan tumbuhnya budaya baca di sekolah, diharapkan
minat baca masyarakat Indonesia meningkat. Posisi Indonesia yang selalu berada
di posisi bawah dalam beragam survei literasi internasional terdongkrak.
Secara konseptual, pengertian literasi yang diadopsi dan disosialisasikan
Kemendikbud bukanlah sekadar kegiatan membaca dan menulis. Lebih dari itu,
literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan
informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk
mewujudkan warga sekolah yang literat, dekat dengan buku, dan terbiasa
menggunakan bahan bacaan dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan.
(Tempo.co, 2017). Hal ini sesuai dengan konsep literasi yang mengalami
perkembangan yang telah dijelaskan di atas, bahwa literasi bukan hanya sekadar
kegiatan membaca, tetapi juga implikasi yang mengikuti kegiatan membaca
tersebut.
Satu hal yang disoroti dalam program GLS oleh pemerintah ini yakni jenis
buku bacaan yang diberikan untuk dibaca oleh siswa di sekolah. Dalam program
GLS diterangkan bahwa bahan bacaan untuk GLS adalah bahan bacaan nonteks
pelajaran. Artinya, bahan bacaan untuk GLS ini mencakup ruang lingkup bidang
yang sangat luas. Salah satu bentuk bacaan yang dapat menjadi bahan bacaan GLS
adalah bahan bacaan kesusastraan. bacaan sastra yang bagaimana yang cocok
sebagai bahan GLS? Tentu bahan bacaan sastra yang memenuhi kriteria-kriteria

khusus. Sebelum membahas kriteria tersebut, perlu dijelaskan juga bahwa GLS ini
merupakan program yang dijalankan di sekolah, yang juga termasuk SD dan SMP
yang notabene siswanya masih dapat digolongkan sebagai anak-anak. Maka,
bahan bacaan sastra yang cocok adalah bahan bacaan sastra anak, didasarkan pada
tiga ciri sastra anak, yakni adanya unsur pantangan, penyajian dengan gaya secara
langsung, serta adanya fungsi terapan (Winarni, 2014:3).

5

Satu hal yang dapat disoroti ketika membahas gerakan literasi dengan
bahan bacaan sastra anak adalah adanya fungsi terapan. Sarumpaet (2010:12)
menjelaskan bahwa sastra anak merupakan sastra yang unik dan khas. Ia adalah
sastra terbaik yang diusahakan dengan baik berkat pemahaman atas kehidupan
anak yang khas dan kompleks. Itulah sebabnya, sastra anak, betapa pun
maksudnya untuk mengibur, tetap saja ia memiliki sifat mendidik. Oleh karena
sifat mendidik inilah, dengan harus mempertimbangkan perkembangan anak
secara psikologis, pedagogis, dan memerhatikan segala keperluan dan lingkup
kehidupan khasnya yang lain, ranah ini menjadi sangat istimewa. Sadar atau tidak,
bagi anak yang sedang bertumbuh, meskipun berfungsi sebagai kesenangan, sastra
anak sebenarnya adalah ajaran dan bahkan rencana masa depan. Hal inilah yang

menjadikan sastra dan dunia anak sangat penting.

SASTRA ANAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Esensi utama sastra anak adalah hiburan. Bacaan sastra anak menjadi
media anak untuk bersenang-senang. Namun demikian, sastra anak tetap memiliki
nilai pendidikan di dalamnya. Anak, melalui bacaan sastranya, dapat menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai berbagai hal yang ia temukan dalam cerita
yang dibaca. Bahkan, sastra anak ini sebenarnya merupakan sebuah ajaran,
bahkan menjadi rencana masa depan (Sarumpaet, 2010:12). Hal ini dapat terjadi
karena sastra anak mengandung nilai-nilai yang dapat ditemukan dan dimasukkan
dalam tema cerita tersebut.
Salah satu bentuk nilai yang dapat dimasukkan ke dalam sastra anak
adalah nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang
bertujuan untuk membantu agar siswa mengalami, memperoleh, dan memiliki
karakter kuat yang diinginkan (Suparno, 2015:29). Orang yang berkarakter adalah
orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak
(Wibowo, 2013:12). Artinya, karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang
yang menjadi dasar untuk membedakan seseorang dengan yang lainnya. Hal ini
karena karakter setiap orang adalah khas dan memiliki ciri khususnya sendirisendiri. Konsep lain tentang karakter yang lebih lengkap dijelaskan oleh Lickona
6


(1991:52) yang menjelaskan bahwa karakter adalah disposisi batin yang andal
untuk merespons situasi dengan cara yang baik secara moral. Karakter yang
dikandung memiliki tiga bagian yang saling terkait, yakni pengetahuan moral,
perasaan moral, dan perilaku moral.
Pendidikan karakter saat ini dimunculkan sebagai salah satu aspek penting
dalam proses pembelajaran di sekolah. Pemunculan pendidikan karakter ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan sosial politik yang cenderung menegasikan
karakter bangsa. Perilaku anarkis, kriminalitas, dan berbagai tindakan patologi
sosial lainnya menunjukkan terdapat permasalahan dalam karakter bangsa
(Mustakim, 2011:1—2). Hal inilah yang dicoba untuk ditangkal, salah satunya
oleh pemerintah, dengan memasukkan pendidikan karakter dalam proses
pembelajaran. Mengapa di pembelajaran? Karena dalam siswa-siswa di sekolah
notabene masih muda, bahkan tergolong anak-anak. Hal ini akan membuat
pembentukan dan pendidikan karakter mereka lebih mudah dilakukan. Selain itu,
memberikan pendidikan karakter sejak dini kepada generasi penerus bangsa dapat
menjamin masa depan negeri yang cerah, karena di tangan generasi muda inilah
nasib bangsa Indonesia bergantung.
Proses internalisasi pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai
kiat dan cara. Pendidikan karakter dapat disisipkan dalam pembelajaran dan

kurikulum sekolah. Contoh dan teladan yang baik dari guru juga dapat menjadi
sarana internalisasi pendidikan karakter. Proses internalisasi pendidikan karakter
ini tidak terikat batasan-batasan tertentu. Tidak adanya batasan
penginternalisasian pendidikan karakter ini membuat pendidikan karakter mudah
diinternalisasikan karena dapat diintegrasikan ke dalam berbagai aspek.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam proses penginternalisasian
pendidikan karakter adalah dengan sastra. Hal ini karena sastra memiliki kaitan
erat dengan pendidikan karakter. Sastra merupakan representasi atau cerminan
nilai hidup dan kehidupan manusia, yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan pembentukan karakter manusia. Sastra dapat menjadi sarana
pengembangan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, serta mengembangkan
kepribadian dan pribadi sosial (Wibowo, 2013:20).
7

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: jika sastra dapat menjadi agen
internalisasi pendidikan karakter, mengapa kini nilai karakter bangsa Indonesia
justru menurun? Padahal sastra telah diajarkan sejak dulu. Apa yang salah dengan
pembelajaran sastra, terutama di sekolah, sehingga tidak mampu menjadi agen
pendidikan karakter? Wibowo (2013:21—22) menjelaskan bahwa jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah karena ada sesuatu yang menjadi
kekurangan, atau bahkan kegagalan, pembelajaran sastra. Pertama, pembelajaran
sastra belum mendapat porsi yang memadai dalam proses pembelajaran di
sekolah. Kedua, sastra belum menjadi prioritas pembelajaran dan masih
“menumpang” di mata pelajaran bahasa Indonesia. Ketiga, imajinasi sebagai
aspek penting dalam sastra belum menjadi aspek fundamental dalam capaian
portofolio.
Dalam kaitan antara sastra dan pendidikan karakter, di manakah posisi
sastra anak? Kembali lagi ke prinsip bahwa sastra anak, betapa pun maksudnya
untuk mengibur, tetap saja ia memiliki sifat mendidik. Sifat mendidik ini dapat
diseret ke pendidikan karakter, sehingga sastra anak menjadi media
penginternalisasian nilai pendidikan karakter. Hal ini dimungkinkan dengan cara
memasukkan nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam karya sastra anak sehingga
ketika proses membaca sastra oleh anak, ia sekaligus juga menginternalisasikan
nilai pendidikan karakter ke dalam dirinya. Penanaman nilai pendidikan karakter
semacam ini akan lebih efektif dan lebih baik hasilnya karena dilakukan secara
menyenangkan, dan bahkan dalam bawah sadar. Anak seolah-olah hanya
membaca karya sastra, namun ia juga sekaligus menanamkan nilai pendidikan
karakter ke dalam dirinya. Nilai pendidikan karakter yang telah tertanam ini akan
membekas dan tertanam dalam pikiran anak karena tidak terdapat unsur paksaan
sama sekali dalam proses pembelajarannya.

PENUTUP
Sastra anak merupakan sebuah karya sastra yang bahasa dan isinya selaras
dengan perkembangan usia anak, mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian

8

anak. Sastra anak memiliki ciri khusus, yakni adanya unsur pantangan, penyajian
dengan gaya secara langsung, serta adanya fungsi terapan. Sastraanak ini dapat
menjadi salah satu bentuk media literasi. Hal ini karena bacaan sastra anak
memiliki aspek kelayakan sebagai bahan bacaan program GLS di sekolah, yang
notabene merupakan anak-anak. Ciri sastra anak yang memiliki fungsi terapan ini
juga membuat sastra anak dapat menjadi media pendidikan karakter. Sastra anak
dapat dimasuki nilai-nilai pendidikan karakter, yang pada akhirnya akan dibaca
anak dan nilai pendidikan karakter tersebut akan diketahui dan diserap oleh anak.
Hal inimembuat sastra anak selain sebagai media hiburan juga sekaligus media
pendidikan.

9

DAFTAR RUJUKAN
Aronof, M. 1994. Spelling and culture. Dalam W.C. Watt (Ed.). Writing system
and cognition. Dordrecht: Kluwer.
Grenby, Matthew. 2008. Children’s Literature. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach
Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney,
Aucland: Bantam books.
Moreillon, Judi. 2007. Collaborative Strategies for Teaching Reading
Comprehension. Chicago: American Library Asociation.
Mustakim, Bagus. Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas
Menuju Indonesia Bermartabat. Yogyakarta: Samudera Biru.
Suparno, Paul. 2015. Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Tempo.co. 2017. Gerakan Literasi Sekolah Wujudkan nawa Cita,
(https://nasional.tempo.co/read/870509/gerakan-literasi-sekolahwujudkan-nawa-cita), diakses 29 November 2017.
Wibowo, Agung. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Winarni, retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yates, Sally. 2005. Understanding Reading and Literacy. Dalam Peter Hunt (Ed.).
Understanding Children’s Literature. London dan New York: Routlegde.

10