Indonesia Sebagai Negara Maritim d

INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM

Disusun Oleh :
Sahrizal Malki Darmawan

2012-22-002

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik
Universitas Esa Unggul
Jakarta
2015

Pendahuluan
Indonesia memiliki luas laut mencapai 7,9 juta km 2 dan terdiri dari 13.667 pulau sehingga
Indonesia dijuluki sebagai Negara Maritim. Indonesia sebagai Negara Maritim telah diakui oleh
dunia melalui UNCLOS 1982. Kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1985. Selain memiliki lautan yang luas, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang indah
yang ada di dalam laut. Sumber daya alam yang ada di dalam laut Indonesia, yaitu terumbu
karang, ikan, minyak bumi, biota laut, dan lain-lain. Namun dibalik keindahan dan potensi yang
ada di laut Indonesia, banyak masalah yang dihadapi oleh Indonesia terutama perairannya.

Masalah yang tejadi di perairan Indonesia adalah terkait perbatasan negara dengan negara-negara
lain, kerusakan ekosistem laut akibat prilaku manusia, hilangnya pulau-pulau kecil terluar,
perencanaan tata ruang yang masih berbasis daratan, dan lain-lain. Hal ini perlu diatasi oleh
pemerintah serta partisipasi masyarakat untuk mencapai Indonesia yang utuh dan berdaulat
sebagai Negara Maritim di Mata Internasional.

Teori Terkait Maritim
Negara maritim adalah negara yang berada dalam kawasan/teritorial laut yang sangat
luas, memiliki banyak pulau, dikelilingi oleh wilayah laut dan perairan, dan sebagian
besar penduduknya bekerja di wilayah perairan. Benua Maritim Indonesia (BMI) adalah
wilayah dengan hamparan pulau-pulau di dalamnya, sebagai satu kesatuan alamiah antara
darat, laut, dan udara dengan sudut pandang iklim, cuaca, keadaan airnya, tatanan kerak
bumi, keberagaman biota serta tatanan sosial budaya.
Banyak definisi mengenai arti dan batasan wilayah pesisir yang telah dibuat pakarpakar ilmu kelautan dan pesisir dunia. Menurut Sorensen dan McCreary kawasan pesisir
didefinisikan sebagai perbatasan atau ruang termpat berubahnya dua lingkungan utama
yaitu laut dan daratan (Institutional Arrangemen for Managing Coastal Resources and
Environments ). Karakteristik khusus dari wilayah pesisir menurut Jan C. Post dan Carl
G. Lundin (1996) antara lain:
1. Suatu wilayah yang dinamis dengan seringkali terjadi perubahan sifat biologis,
kimiawi, dan geologis.

2. Mencakup ekosistem dan keanekaragaman hayatinya dengan produktivitas yang
tinggi yang memberikan tempat hidup penting buat beberapa jenis biota laut.
3. Ciri-ciri khusus wilayah pesisir, seperti adanya terumbu karang, hutan bakau, pantai
dan bukit pasir, sebagai suatu sistem yang akan sangat berguna secara alami untuk
menahan atau menangkal badai, banjir, dan erosi.
4. Ekosistem pesisir dapat digunakan untuk mengatasi akibat-akibat dari pencemaran,
khususnya yang berasal dari darat (sebagai contoh: tanah basah dapat menyerap
kelebihan bahan-bahan makanan, endapan, dan limbah buangan).
5. Pesisir yang pada umumnya lebih menarik dan cenderung digunakan sebagai
pemukiman, maka di sekitarnya seharusnya dimanfaatkan pula sebagai sumber daya
laut hayati dan nonhayati, dan sebagai media untuk transportasi laut serta rekreasi.
Dalam penentuan wilayah pesisirnya, Indonesia menggunakan batasan pengertian
berdasarkan pendekatan secara ekologis yang digabungkan dengan pendekatan dari segi
perencanaan untuk memperlihatkan batasan secara yuridis dari wilayah pesisir Indonesia.
Menurut UU No. 1 Tahun 2014, Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan
pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta
kesatuan ekosistemnya.
1


Kebijakan Terkait Maritim
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki potensi yang cukup besar. Potensi
yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil cukup besar pengaruhnya untuk pembangunan. Hal
ini karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, maupun pertahanan
dan keamanan. Potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil di Indonesia adalah adanya
ekosistem khas tropis yang memiliki produktivitas yang tinggi, seperti terumbu karang,
padang lamun, dan hutan mangrove. Potensi-potensi perlu dikelola dengan baik dan juga
diberi payung hukum untuk melindungi potensi yang ada.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor,
antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta anatar ilmu penegetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap manusia dalam
memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sejarah Maritim Indonesia
Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama
melalui kekuatan maritim besar di bawah kerajaan Sriwijaya sampai Majapahit. Dalam catatan
sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lauatan Nusantara,

bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit
maupun kerajaan-kerajaan lan lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas
suatu konsepsi kewilayahan dan hukum.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat 5 jaringan perdagangan. Pertama,
jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri
Langka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan
Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka,
Thailand, dan Vietnam Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir
barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan. Kelima, jaringan Laut
Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan,
Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan
Majapahit.
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki armada
laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara inensif dengan wilayah sekitarnya.
Kerajaan Majapahit melalui Sumpah Amukti Palapa telah mempersatukan wilayah Indonesia.
Dari Kerajaan Majapahit juga kita telah banyak belajar tentang pengembangan dan perkembangan
nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang
besar.
Namun, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia mengalami kemunduran.

Masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia semakin membuat budaya bahari
terpuruk. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan
Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya
kepada Belanda. Sejak saat itu, semangat bahari Bangsa Indonesia mulai turun dan terjadi
pergeseran budaya bahari ke budaya daratan. Namun, semangat budaya bahari ini tidak boleh
hilang dalam diri Bangsa Indonesia.

2

Perkembangan Maritim Di Indonesia
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sejarah maritim di Indonesia bahwa nenek
moyang kita telah menanamkan budaya bahari sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1957,
Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara yang memandang bahwa wilayah laut di
antara pulau-pulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah Nusantara. Bung Karno saat
pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa “Geolitical Destiny” dari Indonesia adalah
Maritim. Pada tahun 1982, Indonesia berhasil memberikan gagasan Negara Nusantara dan diakui
oleh Internasional dalam Konvensi PBB tentang hukum laut. Pada tahun 1998, Presiden BJ
Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam “Deklarasi Bunaken”.
Sejak tahun 1999 dibentuklah Departemen Eksplorasi Laut dan berubah nama menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001.

Selain itu, Presiden KH. Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari
Nusantara. Visi pembangunan kelautan Gus Dur dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno
Putri dengan ditetapkannya Keppres No. 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara. Kebijakan
maritime yang sangat penting pada masa Presiden Megawati adalah dalam Seruan Sunda Kelapa
menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah
kebijakan fundamental bagi pembangunan industri Maritim Nasional. Kemudian keluar Inpres
No. 5 Tahun 2005 tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional pada masa Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Namun penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban.
Pada saat ini, semangat budaya maritim kembali dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo
dalam Visi, Misi, dan Program Aksi yang terkenal dengan NAWACITA. Di dalam program
tersebut disebutkan Diplomasi Maritim untuk mempercepat penyelesaian permasalahan
perbatasan Indonesia, meningkatkan upaya pengamanan khusus wilayah kelauatan guna
mencegah illegal fishing, dan program tol laut. Program tol laut yang dibuat oleh Pemerintahan
Jokowi menargetkan pembangunan 24 pelabuhan dan pembelian 609 kapal dengan biaya ±96,8
triliun. Program tol laut ini akan menjadi bagian penting jalur maritim dunia.

Sumber : www.katadata.co.id
Masalah Maritim Di Indonesia
3


Selain memiliki potensi sumber daya alam yang indah dan banyak, permasalahan juga terjadi
di perairan Indonesia. Mulai dari kerusakan ekosistem laut, masalah hukum perbatasan dengan
Negara lain di laut, hilangnya pulau-pulau kecil terluar, dan pembangunan yang masih berbasis
darat.
1. Kerusakan Ekosistem Laut dan Pesisir
Wilayah laut dan pesisir beserta sumber daya alamnya memiliki makna strategis bagi
pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar eknomi
Nasional. Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah ekosistem
yang berada di daerah pesisir. Ekosistem pesisir terdiri dari ekosistem mangrove, ekosistem
lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Pusat penelitian Oseanografi LIPI mengungkap hanya 5,3% terumbu karang Indonesia
yang tergolong sangat baik. Sementara 27,18% digolongkan dalam kondisi baik, 37,25%
dalam kondisi cukup baik, dan 30,45% berada dalam kondisi buruk. Penyebab kerusakan
ekosistem laut di Indonesia diantaranya adalah pembangunan di kawsan pesisir, pembuangan
limbah dari berbagai aktivitas di darat atau laut, dan penangkapan ikan yang menggunakan
sianoda dan alat tangkap terlarang serta penambangan terumbu karang. Rusaknya ekosistem
laut dan pesisir maka Indonesia kehilangan potensi ekonominya di bidang kelautan dan
pariwisata.
2. Perbatasan Laut Negara Indonesia dengan Negara Lain
Masalah batas laut Indonesia dengan Negara lain merupakan agenda prioritas yang harus

dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Garis batas laut terutama Batas Landasan Kontinen
(BLK) dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagian besar belum disepakati bersama
Negara-negara tetangga. Ketidakjelasan dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan
beberapa Negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat ataupun nelayan terhadap batas
Negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia
maupun nelayan asing.
A. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Undang-Undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa batas ZEE Indonesia di segmen-segmen
perairan yang berhadapan dengan negara lain dan lebarnya kurang dari 400 mil laut, maka
ZEE merupakan garis median. Jika mengacu kepada konvensi tersebut, maka batas ZEE
yang merupakan garis median pada wilayah laut yang berhadapan dengan negara-negara
tetangga yaitu :
(1) Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka;
(2) Berhadapan dengan Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur;
(3) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan sebelah utara;
(4) Berhadapan dengan Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut Fillipina;
(5) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;
(6) Berhadapan dengan Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor;
(7) Berhadapan dengan Pulau Christmas (Australia) di Samudera Hindia;

(8) Berhadapan dengan Timor Leste di Selat Wetar;
(9) Berhadapan dengan India di Laut Andaman.
Selain itu, terdapat wilayah laut yang tidak memiliki batas ZEE yaitu di wilayah Selat
Singapura yang berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura, karena lebarnya
hanya sekitar 15 mil laut. Selebihnya, penentuan ZEE terutama pada wilayah laut yang
berhadapan dengan laut lepas, ditarik selebar 200 mil dari garis pangkal kepulauan
Indonesia.
Namun demikian, batas ZEE antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, sebagian
besar belum ditetapkan, terutama yang berhadapan langsung dengan negara tetangga. Hal
ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan, atau belum dilakukannya ratifikasi.
4

Ketidakjelasan batas ZEE tersebut menyebabkan sulitnya penegakan hukum oleh aparat
dan berpotensi untuk menjadi sumber pertentangan antara Indonesia dengan negara
tetangga. Tabel berikut ini menunjukkan status batas-batas ZEE di wilayah perbatasan
laut Indonesia.
Tabel 3.1. Status Batas-Batas ZEE antara RI dengan negara tetangga
Batas Zona
No


Eksklusif

Status

Keterangan

1

Ekonomi (ZEE)
RI–Malaysia

Belum disepakati

2

RI–Vietnam

Telah disepakati

3

4
5
6
7
8
9

RI–Fillipina
RI–Palau
RI–PNG
RI–Timor Leste
RI–India
RI–Singapura
RI-Thailand

Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati

10

RI–Australia

Telah disepakati

Belum ada perjanjian batas
Kesepakatan di tingkat teknis,
menunggu proses ratifikasi
Belum ada perjanjian batas
Belum ada perjanjian batas
Tidak ada batas laut
Belum ada perjanjian batas
Belum ada perjanjian batas
Belum ada perjanjian batas
Belum ada perjanjian batas
ZEE di Samudera Hindia, Lauta
Arafura, dan Laut Timor

Sumber : Bakosurtanal, 2003
B. Batas Laut Teritorial (BLT)
BLT Indonesia lebarnya tidak melebihi 12 mil laut dari garis pangkal yang
merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat, laut, maupun udara. Sebagian
besar BLT sudah disepakati oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia, kecuali dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka.
Selain itu diperlukan pula perundingan tri-partit antara Indonesia-Malaysia-Singapura
untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan Timur yang lebarnya
kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung dengan perbatasan di ketiga negara.
Mengingat pentingnya pengakuan terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas
laut teritorial antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point di
Selat Malaka perlu segera disepakati untuk menghindari kekhawatiran timbulnya
konflik akibat pelanggaraan kedaulatan wilayah negara. Tabel berikut ini
menunjukkan status batas laut teritorial Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Tabel 3.2. Status Batas Laut Teritorial Indonesia
No

Batas Laut Teritorial

1

(BLT)
RI – Malaysia

2

RI–Singapura
sebagian

3
4

Singapura)
RI – PNG
RI – Timor Leste

Status
Telah disepakati

(di
Selat

Telah disepakati

Telah disepakati
Belum
5

Keterangan
Disepakati

dalam

perjanjian

Indonesia-Malaysia Tahun 1970
Disepakati
dalam
perjanjian
Indonesia-Singapura Tahun 1973
Disepakati

dalam

Perjanjian

Indonesia-PNG Tahun 1980
Perlu
ditentukan
garis-garis

pangkal kepulauan di Pulau Leti,
disepakati

5

RI-Malaysia-Singapura

Kisar, Wetar. Liran. Alor, Pantar,
hingga Pulau Vatek, dan titik dasar

Belum

sekutu di Pulau Timor
Perlu perundingan bersama (tri-

disepakati

partid)

Sumber : Bakosurtanal, 2003
C. Batas Landas Kontinen (BLK)
Mengacu kepada Undang Undang no 1 /1973 tentang Batas Landas Kontinen
Indonesia (BLKI) serta UU no. 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik
sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil
laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah
perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu dimana BLK dapat
ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung
dengan Indonesia, antara lain :
(1) Berhadapan dengan India dan Thailand di Laut Andaman;
(2) Berhadapan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara;
(3) Berhadapan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut
Natuna bagian Timur dan Barat;
(4) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan;
(5) Berhadapan dengan Filipina di Laut Sulawesi;
(6) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;
(7) Berhadapan dengan dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera
Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas;
(8) Berhadapan dengan Timor Leste di laut Timor.
Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah disepakati dan telah
ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian masih terdapat
beberapa segmen wilayah laut yang belum ditetapkan BLK-nya, karena masih dalam
proses negosiasi atau bahkan belum dilakukan perundingan sama sekali dengan
negara tetangga, antar lain BLK antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina, Palau,
dan Timor Leste. Tabel berikut menunjukkan status Batas Landas Kontinen di
wilayah perbatasan laut Indonesia.
Tabel 3.3. Status Batas Landas Kontinen antara RI dengan negara tetangga
No
1

Batas Landas
Kontinen (BLK)
RI – India

Status

10 titik BLK di Lauta Andaman berikut
Telah disepakati

2

RI – Thailand

RI – Malaysia

koordinatnya disepakati berdasarkan
perjanjian pada tahun 1974 dan 1977
Titik-titik BLK di selat Malaka

Telah disepakati

3

Keterangan

Telah disepakati
6

maupun

Laut Andaman disepakati

berdasarkan perjanjian pada tahun
1977
10 titik BLK di Selat Malaka dan 15

titik

di

Laut

Natuna

disepakati

berdasarkan perjanjian pada tahun
4

1969
- Titik-titik BLK di Laut Arafura dan

RI – Australia

laut

Timor

ditetapkan

melalui

Keppres pada Tahun 1971 dan 1972
Telah disepakati

- Titik-titik BLK di Samudera Hindia
dan di sekitar Pulau Christmas telah
disepakati

5
6
7
8

RI – Vietnam
RI – Filipina
RI – Palau
RI – Timor Leste

Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati
Belum disepakati

berdasarkan

perjanjian

pada tahun 1997.
Dalam proses negosiasi
Dalam proses negosiasi
Belum ada proses perundingan
Belum ada proses perundingan

Sumber : Bakosurtanal, 2003
3. Hilangnya Pulau-Pulau Kecil Terluar
Pulau-pulau terluar sesungguhnya adalah beranda rumah Indonesia yang harus dirawat
dan dijaga, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alamnya. Pulau-pulau terluar
berpotensi rawan konflik yang berdimensi disentegratif dan konflik-konflik bilateral. Konflikkonflik tersebut dapat menghilangkan pulau-pulau terluar dari peta Indonesia.
Sebuah pulau dapat terhapus sebagai teritori sebuah Negara berdaulat karena faktor fisik
(abrasi, perubahan cuaca), faktor hukum, dan faktor sosial budaya. Kedaulatan Republik
Indonesia terancam bila pulau-pulau terluar hilang. Terdapat beberapa pulau yang rawan
konflik karena berbatasan dengan Negara tetangga.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Pulau Nipa (berbatasan dengan Singapura dan Malaysia)
Pulau Berhala
Pulau Sebatik (berbatasan dengan Malaysia)
Pulau Miangas
Pulau Marampit (berbatasan dengan Filipina)
Pulau Dana
Pulau Batek (berbatasan dengan Timor Leste)
Pulau Sekatung (berbatasan dengan Vietnam)
Pulau Fani (berbatasan dengan PNG)

4. Pembangunan yang Masih Bebasis Daratan
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih berbasis daratan.
Pembangunan tersebut tanpa memikirkan karakteristik wilayah Indonesia yang terdiri dari
pulau-pulau besar dan kecil. Selama ini pembangunan di Indonesia masih berpatokan kepada
Negara-negara yang memiliki daratan yang lebih luas dibandingkan dengan perairannya.
Kesimpulan
Negara Maritim adalah Negara yang berada dalam kawasan/teritorial laut yang luas, memiliki
banyak pulau, dan sebagian besar penduduknya bekerja di wilayah perairan. Indonesia merupakan
Negara Maritim. Indonesia memiliki sejarah yang sangat hebat di bidang kemaritiman. Namun
semenjak penjajahan Belanda, Indonesia kehilangan semangat sejarah kemaritiman. Setelah
7

Indonesia merdeka, semangat kemaritiman kembali digaungkan. Kebijakan-kebijakan di bidang
kelautan dibuat untuk mendukung semangat kemaritiman. Pada masa pemerintahan saat ini,
semangat kemaritiman ditunjukkan dalam bentuk program tol laut sebagai poros maritim dunia.
Dibalik kebijakan-kebijakan yang dibuat, Indonesia mempunyai sejumlah masalah yang harus
diselesaikan terutama masalah perbatasan laut. Hal ini sangat penting karena dengan dibentuknya
kesepakatan batas Negara dengan Negara lain maka pulau-pulau terluar Indonesia tidak akan
hilang dan keamanan Indonesia terjaga. Kemudian pembangunan di Indonesia haruslah melihat
karakteristik Indonesia yang memiliki perairan yang lebih luas dari daratan. Semangat
kemaritiman di Indonesia haruslah kembali di dalam diri bangsa Indonesia. Seperti dikatakan
dalam sebuah lirik lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, di dalam lirik ini memberikan arti
penting bahwa Indonesia memiliki sejarah kemaritiman yang sangat kuat. Sehingga mulai saat ini
mari kita kembalikan semangat kemaritiman di dalam diri bangsa untuk Indonesia yang berdaulat
dan sejahtera.
Daftar Pustaka
https://www.academia.edu/9789018/Mempertahankan_Nasionalisme_di_Tapal_Batas
https://www.academia.edu/7105722/EKPLOITASI_EKOSISTEM_LAUT_DI_INDONESIA
https://www.academia.edu/7454898/Makalah_hukum_laut
https://www.academia.edu/7377943/
Merajut_Kembali_Negara_Maritim_Indonesia_melalui_Aktivasi_Tiga_Elemen_Negara_Civil_So
ciety_dan_Wawasan_Maritim_dalam_menghadapi_AEC_2015
https://www.academia.edu/6397576/Sejarah-Maritim-Indonesia
https://ddediary.wordpress.com/2013/09/25/luas-laut-indonesia/
http://katadata.co.id/infografik/2014/12/04/tol-laut-jokowi-poros-maritim-dunia
http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/184-4-article/1590-wilayah-laut-indonesia-60-kalilebih-luas.html

8

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111