Tugas hukum ekonomi syariah id

BAB I
Pendahuluan

Kemiskinan, hingga hari ini, tetap menjadi problematika mendasar yang harus
dihadapi bangsa Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh, angka kemiskinan mengalami
peningkatan dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 18,7 persen per Juli 2006 hingga 22
persen per Maret 2007. Fakta ini menunjukkan bahwa tampaknya bangsa belum sepenuhnya
“merdeka” dari kemiskinan. Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkap Boediono,
menganggarkan Rp 46 triliun pada 2007 untuk menciptakan lapangan kerja. Tentu saja kita
berharap bahwa rencana tersebut dapat direalisasikan di lapangan, sehingga dampaknya dapat
benar-benar di rasakan masyarakat.
Pemerintah saat ini masih terlihat gamang dengan upaya mengentaskan kemiskinan.
Berbagai langkah yang ditempuh bersifat tambal sulam. Di satu sisi, pemerintah belum bisa
melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga, sehingga utang menjadi salah satu
sumber utama pembiayaan APBN. Namun di sisi lain, utang luar negeri yang belum terserap
jumlahnya juga tidak sedikit. Berdasarkan data Bappenas, hingga Juli 2006, utang luar negeri
yang belum terserap mencapai 8-9 miliar dolar AS.
Apapun alasannya, ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Kondisi itu
terjadi sebagai akibat paradigma utang konvensional yang tidak berpihak pada sektor riil.
Untuk itu, paradigma tersebut harus diubah secara total jika kita ingin melepaskan diri dari
jebakan perangkap utang dan tekanan kreditor. Dan mengembangkan ekonomi syariah

menjadi pilihan yang baik.
Sesungguhnya, telah banyak solusi yang ditawarkan para praktisi dan akademisi
ekonomi syariah. Solusi tersebut antara lain melalui penerbitan sukuk. Meskipun sukuk

1

sendiri pada hakikatnya mirip dengan utang, namun ia memiliki bentuk yang berbeda dengan
utang konvensional. Sukuk haruslah berbasis aset dan proyek di sektor riil, sedangkan utang
konvensional

tidak

mewajibkannya.

Bahkan

sebaliknya,

undang-undang


melarang

pemerintah menerbitkan SUN yang berbasis aset.
Sehingga, sukuk dapat memberikan lebih banyak manfaat dalam menciptakan
lapangan kerja karena dana yang terserap akan benar-benar digunakan pada sektor riil dan
tidak bisa di gunakan untuk spekulasi di pasar uang.
Solusi lain harus mulai kita kampanyekan secara lebih intensif adalah menggali
sumber dana pembangunan melalui wakaf tunai. Inilah sebenarnya 'raksasa' yang jika
bangkit, perekonomian nasional bakal segera menggeliat dan memerdekakan dirinya dari
belenggu kapitalisme global.

2

BAB II
Pembahasan
II.1. Pengertian Ekonomi Syariah
Ekonomi Syari’ah terdiri atas dua akar kata yaitu ekonomi dan syari’ah. Kata Ekonomi
berasal dari bahasa latin yaitu ekos dan nomos yang berarti orang yang mengatur rumah
tangga. Dan dalam bahasa arab istilah ekonomi berasal dari kata dasar qashada yang
melahirkan kata qashd, qashadan, qashdi, qashd, maqshid atau maqashid dan iqtishad. Dari

sini lahirlah istilah ilm alqtishadi (ilmu ekonomi).
Dalam alqur’an dijumpai beberapa kata yang berakar dari qashada, diantaranya:
1. Kata qashid pada surah luqman 9 yang berarti sederhana.
2. Kata qashdu pada surah an Nahl 9 yang berarti jalan lurus/stabil.
3. Kata qashidan pada surah at Taubah 42 dengan arti keinginan atau Kebutuhan
4. Kata Muqtashid pada surah Luqman 32 yang berarti jalan lurus dan pada surah Fathir 32
dengan arti pertengahan.
5. Kata Muqtashidatun pada surah al Maidah 66 yang berarti Pertengahan.
Dari berbagai pengertian istilah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok
berbagai

aktifitas

ekonomi

dalam

Islam

harus


dapat

merealisasikan

pencapaian

kesempurnaan manusia melalui aktualitas maqashidus syari’ah. Adapun maqashidus syari’ah
itu adalah untuk memelihara jiwa, akal, keturunan, kehormatan dan harta.

3

Sedangkan Syari’ah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiyah berarti jalan yang
ditempuh atau garis yang mesti dilalui. Secara terminology, definisi syri’ah adalah peraturanperaturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya
dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya.
Sebab inilah kenapa ekonomi Islam sering disebut dengan ekonomi syari’ah, karena
ekonomi syari’ah adalah ekonomi yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk al Qur’an dan
Hadits.
Sedangkan menurut Abdul Manan, bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang

meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah
syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga
keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. (Abdul Manan, hal.1)
Mengenai prinsip syari’ah, telah digariskan oleh Undang-undang nomor 10 tahun 1998,
pasal 1 angka 13 prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak
lain (ijarah wa iqtina).

4

Dari Penjelasan pasal 49 huruf (i) Undang-undang nomor 3 tahun 2006 ada dua hal
yang perlu diperhatikan yaitu:
Pertama kata-kata menurut prinsip syari’ah, tidak dikatakan menurut syari’at atau
berdasarkan syari’at, karena kata prinsip (prinsiples) mempunyai arti tersendiri tidak hanya

merujuk pada aturan yang tegas dan operasional tetapi cukup ada ketentuan pokok atau
prinsip umum dari syari’ah. Kedua kata-kata antara lain: mengandung 11 bidang yang masuk
dalam lingkup ekonomi syari’ah, tidak bersifat limitative karena masih ada lagi bidangbidang lain yang belum disebutkan dan akan ditentukan secara khusus tersendiri dalam
ketentuan lain.
Dan menurut Karnaen A. Perwaatmadja, Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti
ketentuan syari’ah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah
praktik-praktik yang mengandung unsur riba. (Muhammad Firdaus NH. Et-al.hal.18)
Dari penjelasan tersebut di atas tergambar kepada kita bahwa letak perbedaan antara
Bank konvensional dengan Bank Syari’ah yaitu perbedaan mendasar dalam hal konsepsional
dan pengelolaan dari bank syari’ah dengan bank konvensional terletak pada pendapatan
keuntungan yang berasal dari bagi hasil dan bunga pinjaman.
Adapun tujuan dari mendirikan Bank Islam (Syari’ah) ini adalah menerapkan ajaran
Allah secara konsekwen dalam lapangan perekonomian dan bisnis dan menghindarkan
masyrakat Islam dari larangan-larangan agama.

5

II.2. Pengaturan Ekonomi Syariah
Baru-baru ini, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang

Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran UndangUndang ini membawa implikasi besar terhadap perundang - undangan yang mengatur harta
benda, bisnis dan perdagangan secara luas.
Dan dengan disahkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) ini, maka Peradilan
Agama mendapatkan tambahan kewenangan yang sangat strategis. Jika selama ini
kewenangan Peradilan Agama sangat terbatas dan hanya menyangkut hukum keluarga dan
wakaf, maka sejak disyahkannya perubahaan UU tersebut kewenangan PA menjadi
diperluas. Sengketa ekonomi syari'ah telah menjadi bagian dari kewenangan absolut
Peradilan Agama.
Terlihat pada pasal 49 point i yang menyebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang - orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi
syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah,
antara lain meliputi :
a. Bank syariah
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah
c. Asuransi syari’ah

6


d. Reasurasi syari’ah
e. Reksadana syari’ah
f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
g. Sekuritas syariah
h. Pembiayaan syari’ah
i. Pegadaian syari’ah
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
k. bisnis syari’ah
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di
Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang
ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabenenya belum bisa dianggap
sebagai hukum syari’ah.
Dan apabila kita runtut ke belakang, adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama
paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya perubahan di tingkat Konstitusi
(amandemen UUD 1945) yang berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman (UU No 4 Tahun 2004), yang menempatkan Peradilan Agama menjadi salah satu
lingkungan kekuasaan kehakiman MA. Selanjutnya, perubahan tersebut berimplikasi pada
perubahan Undang-Undang Peradilan Agama. Di dalam undang-undang yang baru dijelaskan
bahwa sengketa ekonomi syari'ah menjadi salah satu dari kompetensi PA, selain kompetensi

yang selama ini telah dijalankan. Kedua, penambahan kewenangan tersebut lebih di
latarbelakangi

oleh

pesatnya

perkembangan

ekonomi

syari'ah.

Ekonomi

syari'ah
7

sesungguhnya tidak hanya menyangkut lembaga perbankan saja, tetapi juga menyangkut
institusi lain, seperti Lembaga keuangana mikro syari'ah, Asuransi, Reasuransi syari'ah,

Reksadana Syaria’ah, Obligasi Syari’ah, Pegadaian Syaria’ah dan sebagianya.
Menariknya, fakta yang tidak terbantahkan, perkembangan teori dan praktik ekonomi
syari'ah ternyata tidak seiring dengan perkembangan perangkat hukumnya. Perangkat hukum
ekonomi syari'ah kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan dinamika ekonomi syari'ah
itu sendiri. Sebagai contoh sampai hari ini dua paket RUU ekonomi syari'ah; RUU Perbankan
Syari'ah dan RUU Surat Berharga Syari'ah Negara belum juga mendapatkan pengesahan.
Adalah penting untuk diperhatikan, kendatipun ekonomi syari'ah secara normatif
bersandarkan pada nilai-nilai dan norma-norma syari'ah, namun dalam aplikasinya tidak
semulus yang dibayangkan. Sebagaimana yang terdapat di dalam praktik ekonomi
konvensional, potensi konflik dan ketegangan cukup terbuka lebar di dalam pelaksanaan
ekonomi syari'ah. Adakalanya konflik terjadi pada masalah pelaksanaan akad, penafsiran isi
suatu perjanjian atau juga dapat disebabkan oleh pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan
para pihak terkait.
Selain itu, dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan
hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada
ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab
Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan
Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak
lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah
BW.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan
(transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah
8

yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia
Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya,
sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke Tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah
diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis
yang jelas akan sulit sekali dilakukan.
A. Urgensi Kodifikasi
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang
absolut hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi
syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para
hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis
syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi
Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya.
Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya
hanyalah sebagai inpres. Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat yang
dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum .
Untuk itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana
yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang
terdiri dari 1851 pasal.
Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal
penyusunan kitab perundang-undangan Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau
peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya
lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus
juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah
9

kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para
ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar
mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah
masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.
Berdasarkan dasar pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari
fikih muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah,
memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam kegiatan
usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut.
Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah
dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian hukum
sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik
bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan berfariasinya
putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa
keadilan. Dengan demikian lahirnya Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi
Syariah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia.
Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan hukum masa
lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai dengan syariah.
Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan
hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa
memfikihkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH

10

Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka materi dan keputusan
hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi.
KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam
pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab
Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH
Perdata dengan ketentuan fikih Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain.
Selain itu, yurisprudensi putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari
penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit
banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah merujuk
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan
Turki Usmani yang disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH Perdata Islam ini dapat
dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas
perekonomian di zaman modern ini.
Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata
Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi
yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid
syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan
pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan,
selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat,
Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social
enginaring) masyarakat muslim Indonesia.
Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat
terwujud melalui peran penting pemerintah ‘Political Will’ Penguasa, sebagaimana telah

11

diterapkan pada Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi
Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting,
mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai
perguruan tinggi terkemuka.
B. Urgensi Undang-Undang
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan
bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat
institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the
viability of new political system”, and “ an agent of social change”.
Agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional maka hukum di
Indonesia harus memenuhi lima kualitas, yaitu: 1. kepastian (predictability),2. stabilitas
(stability), 3. keadilan (fairness), 4. pendidikan (education), 5. kemampuan SDM di bidang
hukum (special abilities of the lawyer).
C. Penanganan Sengketa Ekonomi
Memang, dahulu kompetensi penanganan sengketa ekonomi syariah sempat menjadi
perdebatan politis di DPR. Dalam pembahasan RUU Perbankan Syariah yang sekarang
disahkan menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, ada
rencana tambahan satu pasal pada bab IX, yakni pasal 52 yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa perbankan syariah dan bidang ekonomi syariah lainnya seperti
sekuritas syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, bisnis syariah,
pembiayaan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dan lain-lain ditangani oleh peradilan
umum. Upaya pengambil-alihan wewenang mengadili tersebut secara konstitusional
ambivalen dengan UU No.3 tahun 2006. Apalagi, pasal-pasal yang berkaitan dengan sengketa
12

telah diatur secara organik dalam undang-undang peradilan terkait. Pasal 49 UU No.3 tahun
2006 secara tegas menyebut bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan absolut
mengadili perkara antara orang-orang Islam di bidang ekonomi syariah.
D. Hakim Pengadilan Agama Harus Lebih Familiar
Banyak kalangan yang cenderung meremehkan kualitas hakim-hakim di Peradilan
Agama. Betapapun derasnya opini publik yang memvonis peradilan agama sebagai lembaga
yang kurang familiar dalam menangani sengketa perbankan, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa secara filosofis hukum-hukum keuangan dan perbankan syariah sarat dengan muatan
substantif serta terminologi yang justru familiar bagi hakim peradilan agama, seperti
mudharabah, musyarakah, murabahah, wadhiah, hawalah, kafalah, qard, ijarah, dan lainnya.
Hakim peradilan agama juga pernah menekuni disiplin ilmu fiqh mu’amalah ketika di bangku
kuliah. Jadi secara keilmuan, hakim-hakim peradilan agama sangat siap menangani sengketa
ekonomi syariah. Apalagi, perkara tersebut di mata hakim-hakim PA bukanlah makhluk
langka.
Arah ekonomi syariah saat ini menuju ke titik positif. Terutama arah (constituendum)
dan kebijakan (policy,beleid) menyangkut hukum ekonomi syariah. Pada Sektor perbankan
misalnya, asset yang dimiliki perbankan syariah saat September 2007 sekitar 30 triliun.

BAB III

13

Kesimpulan
syari’ah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau
telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya
mematuhinya. ekonomi Islam sering disebut dengan ekonomi syari’ah, karena ekonomi
syari’ah adalah ekonomi yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk al Qur’an dan Hadits.
Tujuan dari mendirikan Bank Islam (Syari’ah) ini adalah menerapkan ajaran Allah
secara konsekwen dalam lapangan perekonomian dan bisnis dan menghindarkan masyrakat
Islam dari larangan-larangan agama.
Dan harus dipahami bahwa larangan riba (usury) yang menjadi jantung sistem ekonomi
syariah bukan saja ajaran agama Islam, tetapi juga larangan agama-agama lainnya, seperti
Nasrani dan Yahudi. Dengan demikian, bagi pemeluk agama mana pun, ekonomi syariah
sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Selain itu, bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7 tahun 1989
dengan UU No.3 tahun 2004 tentang Peradilan Agama yang secara tegas memasukkan
masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama, yang sebelumnya seperti kita
ketahui bahwa dahulu masalah ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang
notabenenya belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.

14