RTRW Jakarta apa yang salah

MATA KULIAH TEORI PERENCANAAN
ARTIKEL 1
RTRW JAKARTA DIBUAT UNTUK DILANGGAR
Dosen Pengampu: Prof. Ir. Sudaryono, M.Sc., Ph.D

Disusun Oleh:
Taufik Hidayat
13/356973/PTK/9243

MAGISTER PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

ANALISIS
Pengembangan wilayah merupakan upaya mendorong perkembangan wilayah melalui

pendekatan komprehensif mencaku paspek fisik, ekonomi dan sosial (Misra R.P, Regional
Development,tahun 1982). Dalam perkembangannya di Indonesia, berbagai pendekatan telah

diterapkan. Pada dasarnya, perkembangan pendekatan pengembangan wilayah ditujukan
untuk mengefisienkan pembangunan berdasarkan evaluasi pelaksanaan pendekatan

sebelumnya serta disesuaikan tuntutan dalam kurun waktu tertentu. Pengembangan wilayah
adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep

pengembangan sektoral, basic needs approach sampai penataan ruang (pengaturan ruang
secara terpadu melalui proses Pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan
pengembangan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan). Dalam perkembangannya pendekatan pengembangan wilayahdi Indonesia

dibagi dalam periode tahun 1950-1960 (Soekarno), 1970, 1990 dan 1993 (Soeharto) dan
2000-an.
-

Pada periode tahun 1950-1960, perencanaan di Indonesia lebih menekankan kepada

National Character Building atau pembangunan karakter bangsa dimana pembangunan


pada saat itu mengutamakan pembangunan semangat harga diri sebagai bangsa yang baru

merdeka. Di samping itu pembangunan fisik lebih kepada pembangunan landmark atau

monument dan kawasan yang memliki fungsi sebagai ciri khas Bangsa Indonesia seperti
-

Tugu Monas, Hotel Indonesia, Nusa Dua (Bali) dan Ambarrukmo (Jogja).

Pada periode tahun 1970, paradigma perencanaan di Indonesia kemudia bergeser menjadi

pembangunan yang lebih kepada pertumbuhan (growth) seperti teori pertumbuhan yang
dikemukakan oleh W.W. Rostow yang mengutamakan kepada pertumbuhan ekonomi.
Pada masa ini, kota-kota di Indonesia diklasifikasikan ke dalam hierarki sehingga

-

perencanaannyapun dibuat berjenjang sesuai hierarki kota-kota tersebut.

Pada periode tahun 1990, paradigma perencanaan berubah lagi yaitu menekankan kepada


pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) yang melahirkan konsep
ekonomi lingkungan. Pada periode ini, faktor manusia cenderung diabaikan karena lebih

mengutamakan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan guna
Pada periode 1993, paradigma perencanaan kembali bergeser sebagai akibat dari semakin

termarginalisasikannya faktor manusia dalam pembangunan yaitu munculnya konsep

1

pembangunan manusia berkelanjutan (Sustainable Human Development) dimana
Hal.

-

mempertahankan daya dukung lahan terhadap aktivitas manusia.

kebahagiaan dan kesejahteraan manusia menjadi tujuan utamanya. Pada masa itu, banyak


pendekatan perencanaan baru yang berkembang diantaranya adalah perencanaan

partisipatif (participatory planning), pembangunan masyarakat (community development),

pendampingan (advocacy planning) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment
-

people).

Pada periode 2000 an, Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam
penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di era

otonomi ini. Dalam paradigma baru ini,penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up
approach) danpenyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) disiapkanpemerintah
daerah bersangkutan dengan mengikutsertakanmasyarakat (public participation).

Dalam pelaksanaan pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia terus

dilakukanpenyesuaian seiring koreksi terhadap pendekatan yang dilaksanakan sebelumnya.


Muncul

kesadaran,pendekatan

pembangunan

yang

bersifat

sektoral

dan

parsial

kerapmengakibatkan inefisiensi pembangunan, seperti duplikasi kegiatan serta konflik

antarsektor dan daerah. Pendekatan pengembanganwilayah yang diterapkan terus berevolusi
dari


pendekatan

yangbertumpu

pada

pendekatan

ekonomi

wilayah

kemudian

berkembangdengan mengintegrasikan pendekatan fisik dan infrastruktur,kelembagaan,
manajemen dan lingkungan (Ruchyat Deni Dj, 2002 dalam Sejarah Penataan Ruang di

Indonesia)


Secara umum, perencanaan di Indonesia menggunakan pendekatan

rational

comprehensive planning yaitu perencanaan yang dilakukan dengan tertib (sistematis), logis
dan menyeluruh (komprehensif) untuk mencapai tujuan tertentu. Pendekatan ini memerlukan

ketersediaan data dan informasi yang memadai untuk mendukung proses pengambilan
keputusan melalui pemilihan alternatif solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan

yang ada. Sebagai pendekatan yang rasional, perencanaan rasional komprehensif seringkali

didukung oleh berbagai alat (tools) analisis ilmiah dan teknologi guna mendukung proses
pengambilan keputusan. Namun model-model analisis yang terlalu menekankan pada

analisis-analisis fisik, teoritik dan parsial seringkali tidak memberikan manfaat yang

signifikan di dalam menghasilkan keputusan terbaik. Pendekatan teknis-ilmiah yang Nampak
terkesan canggih, seringkali hanya dapat diterima secara rasional oleh kalangan yang terbatas


terutama pihak teknokrat dan perencana semata. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki

kapasitas pemahaman dan informasi yang terbatas akan terjebak dalam rasionalitasnya sendiri

Hal.

2

yang berbeda dengan pihak pengambil keputusan. Sehingga proses perencanaan seperti ini

banyak melahirkan hasil-hasil yang sering disebut sebagai fenomena

master plan

syndrome , suatu fenomena dimana proses perencanaan hanya sanggup menghasilkan
dokumen-dokumen perencanaan namun tidak dapat diimplemantasikan di lapangan akibat

tidak sesuai dengan realitas di lapangan atau banyaknya penolakan dari berbagai pihak yang

berkepentingan di masyarakat (Ernan Rustiadi dkk, 2009, Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah, hal. 345).

Artikel KOMPASedisi Jum at tanggal 20 Desember 2013 memaparkan laporan akhir

tahun yang sungguh sangat mencengangkan bahwa RTRW (Peraturan Daerah) dibuat hanya
untuk dilanggar, lalu apa fungsi perencanaan/ peraturan tersebut jika tidak mampu membuat

masyarakat untuk mematuhinya?Begitu banyak penyimpangan tata ruang kotaJakarta yang
terjadi selama kurun waktu lebih kurang 45 tahun sejak diterbitkannya Rencana Induk Kota
Jakarta 1965-1985. Revisi RTRW yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali tidak membuat

penataan kota yang lebih baik tetapi seringkali diboncengi kepentingan poltik dan ekonomi
tertentu yang mengabaikan daya dukung dan fungsi ruang yang sesungguhnya.
Pertanyaan lain yang kemudian muncul adalah:

1. Apa yang salah dengan RTRW Jakarta (Perencanaan Kota)?

2. Apakah rencana yang telah disusun oleh pemerintah tidak sesuai dengan kondisi
di lapangan?


3. Dimana letak kesalahannya?pada dokumen rencana, implementasi, ataukah pada
pengendaliannya?

4. Model pendekatan perencanaan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
mereduksi permasalahan dan pelanggaran tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat dan mengamati

fenomena yang selama ini masih terjadi baik di tingkat pusat maupun di daerah dan kemudian
mengaitkannya dengan teori perencanaan yang telah dikemukakan oleh para ahli. Fakta telah

menunjukkan adanya pelanggaran terhadap dokumen RTRW yang telah disusun oleh
pemerintah kota Jakarta, masyarakat masih saja membangun di kawasan yang seharusnya
berfungsi sebagai kawasan lindung seperti yang dimuat di dalam artikel KOMPAS dimana

kawasan Angke Kapuk, Jakarta Utara yang seharusnya sebagai kawasan hutan lindung bakau,
hutan wisata dan pengaman banjir cengkareng beralih fungsi sebagai kawasan permukiman

dan komersil sebagai akibatnya hampir setiap tahun kawasan tol menuju bandara Soekarno-


Hal.

3

Hatta mengalami banjir/genangan.

a) Apa yang salah dengan RTRW Jakarta?
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) disusun oleh pemerintah sebagai guidelines

(acuan) dalam pembangunan dan penataan ruang di suatu wilayah untuk mencapai tujuan

tertentu. Rencanan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota) yang
merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam strategi dan struktur

pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, disusun pemerintah kabupaten/kota dan
ditetapkan dengan Perda kabupaten/kota. Kata kunci dari RTRW adalah menata ruang ,
analoginya seperti menata ruang di rumah sehingga mampu mendukung pergerakan yang

dinamis dari pemilik ruang (rumah) tersebut dan secara estetika enak untuk dilihat. Ruang

yang tidak tertata dengan baik akan mempersulit pergerakan dari satu titik menuju titik
yang lain, untuk itulah perlu ditata dengan sebaik-baiknya sesuai tujuan dan konsep ruang
(rumah) yang diinginkan.

RTRW Jakarta yang telah disusun sejak tahun 1965 melalui Rencana Induk 1965-1985,
tentunya memiliki tujuan agar Penggunaan dan Pemanfaatan ruang di wilayah Jakarta
mampu mendukung aktivitas pemerintahan maupun ekonominya. Perencanaan yang
disusun oleh pemerintah daerah Jakarta tentunya melibatkan banyak pihak (ahli

perencanaan) yang memliliki kapasitas dan kompetensi tinggi. Jadi, secara teoritis dan
ilmiah, seharusnya pertanyaan di atas tidak relevan untuk diajukan karena telah melalui

proses sistematis dan logis yang dilakukan oleh para ahli perencanaan. Namun pada

kenyataannya RTRW yang telah disusun melalui proses ilmiah seringkali tidak mampu
mengakomodasi kepentingan masyarakat tertentu terhadap ruang tersebut sehingga

pelanggaran masih saja terjadi. Hal yang mungkin perlu dilakukan adalah meninjau ulang
proses

perencanaannya

yang

sebelumnya

menggunakan

pendekatan

rasional

komprehensif dimodifikasi menjadi pendekatan perencanaan rasional-partisipasif berbasis
proses dan konsensus dengan lebih menekankan pada dialog dan partisipasi masyarakat
dalam proses perencanaan.

b) Apakah rencana yang telah disusun oleh pemerintah tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan?

Melihat banyaknya pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi, pertanyaan di atas

mungkin cukup relevan diajukan terhadap RTRW Jakarta yang telah mengalami
Perkembangan dan Perubahan dari tahun 1965

2010. Sebagai ibukota Negara dan kota

metropolitan, Jakarta merupakan magnet bagi penduduk di wilayah sekitarnya (Bogor,

Hal.

4

Depok, Tangerang, Bekasi) sehingga pertumbuhan penduduk dan urbanisasi sangat

tinggi. Hal ini mengakibatkan munculnya permukiman kumuh (slum) di kawasan pinggir
kali yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga (lindung). Seharusnya

pemerintah daerah sudah mengantisipasi hal ini, sehingga rencana yang telah dibuat
mampu mendukung kegiatan masyarakat yang sangat beragam, meskipun setiap 5 tahun
sekali dapat dilakukan revisi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di
lapangan.

Penyimpangan penggunaan ruang terhadap RTRW terjadi kemungkinan karena lemahnya
pengawasan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Idealnya, sesuai UU No. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang, setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi pidana dan
membayar denda berupa uang dengan jumlah tertentu, namun kenyataannya setiap

pelanggaran hanya dilalukan penyegelan dan pembongkaran bangunan sehingga tidak
memberi efek jera bagi yang melanggar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penegakan
hukum (law enforcement) oleh aparat berwenang, atau mungkin saja masih adanya mental

korup dari oknum tertentu sehingga memberi peluang kepada pelaku pelanggaran untuk
melanjutkan pembangunan di kawasan yang menyalahi peruntukannya (misalnya

membangun rumah di dalam kawasan lindung seperti sempadan sungai).

Sesungguhnya jika pemerintah memliki komitmen yang kuat terhadap penataan ruang,

pengawasan yang ketat harus dilakukan baik pada tahap penyusunan rencana,
implementasi maupun pada tahap pengendaliannya. Tidak semua dokumen perencanaan

sesuai dengan kondisi di lapangan, hal ini terjadi pada daerah-daerah yang jauh dari
pengawasan pusat sehingga dokumen rencana yang disusun hanya untuk memenuhi
penyerapan anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat tetapi tidak dapat

diimplementasikan dengan baik. Output dari dokumen perencanaan (Penyusunan RDTR
dan Zoning Regulation) di tingkat kota merupakan masukan bagi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA)
yang selanjutnya akan menghasilkan Peraturan Daerah (PERDA) yang sifatnya mengikat.

PERDA yang telah disusun seharusnya menjadi instrumen yang memadai untuk pihak
berwenang untuk mengendalikan Pemanfaatan ruang, salah satunya pada proses
pengajuan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada proses pengajuan IMB, pihak yang

memliki kewengan memberikan ijin (Dinas Perijinan) dapat mengetahui kesesuaian ijin
dengan

peruntukannya

menurut

RTRW/

RDTR

sehingga

mampu

mencegah

penyimpangan yang terjadi. Namun, seringkali pihak tertentu melakukan perubahan pada

Hal.

5

fungsi bangunannya tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak pemberi

ijin (misalnya pada saat pengurusan IMB menyatakan bangunan tersebut untuk rumah

tinggal tetapi beberapa waktu kemudian berubah fungsi menjadi pabrik atau fungsi

industri tertentu) sehingga melanggar aturan pemanfaatan ruang (RTRW). Hal inilah yang
menjadi awal dari pelanggaran yang terus saja terjadi, jika dilakukan pembiaran maka
lambat laun kawasan tersebut akan berubah fungsi. Oleh sebab itu, pihak yang berwenang
seharusnya melakukan pengawasan yang sangat ketat di lapangan.

c) Dimana letak kesalahannya? pada dokumen rencana, implementasi, ataukah pada
pengendaliannya?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemungkinan kesalahan bukan pada

dokumen rencana (meskipun mungkin ada sebagian dokumen yang disusun tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan) tetapi lebih kepada implementasi dan pengawasan di
lapangan oleh pihak berwenang. Tahap implementasi terkadang diintervensi oleh

kepentingan kekuasaan oknum pejabat daerah tertentu yang cenderung korup, apalagi
sejak ditetapkannya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu

mengenai perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah (Otonomi Daerah). Kepala
daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas dalam mengatur daerahnya,

hal ini baik jika pejabatnya memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi untuk
memajukan dan mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Namun jika yang terjadi
sebaliknya, pejabatnya bermental korup, maka perencanaan pembangunan tidak akan
dapat dilaksanakan sebagaimana tujuan yang dicita-citakan.

Jadi, dokumen perencanaan yang telah disusun dengan baik tidak akan dapat terlaksana
dengan baik jika tidak ada komitmen yang kuat dari berbagai pihak, terutama pejabat
yang berwenang dan masyarakat itu sendiri.

d) Model pendekatan perencanaan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
mereduksi permasalahan dan pelanggaran tersebut?

Para ahli perencanaan telah mengemukakan berbagai macam ide dan gagasan mengenai

perencanaan yang ideal, namun selalu saja terdapat banyak kendala yang dihadapi. Hal ini
disebabkan oleh metode-metode dan pendekatan perencanaan tidak ada yang absolut

tetapi terus berkembang dan penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat,
birokrasi dan aspek lain yang berbeda-beda di setiap wilayah geografis.

Dalam perkembangan teori pendekatan perencanaan, perdebatan di lingkup teori

Hal.

6

perencanaan masih diwarnai oleh dikotomi antara pendekatan yang ideal yakni

pendekatan perencanaan rasional komprehensif dengan perencanaan pastisipasif berbasis
proses dan konsensus. Dalam menghadapi permasalahan pembangunan yang semakin
kompleks, pencapaian pengetahuan yang

sempurna

(sebagaimana dituntut dalam

perencanaan rasional) di manapun hampir tidak pernah tercapai. Hal ini mengakibatkan

terjadinya kegagalan dalam mengidentifikasi masalah yang ada. Kegagalan dalam

mengidentifikasi masalah dapat disebabkan oleh pendekatan dan cara pikir ( top down ),

dimana para perencana dan para pengambil keputusan melakukan interpretasi dan
pengambilan keputusan secara satu arah dan tidak melalui proses dialogis yang interaktif
bersama pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Mengenai kasus pelanggaran terhadap RTRW Jakarta, menurut penulis pendekatan yang

sebaiknya dilakukan adalah pendekatan yang merupakan gabungan dari pendekatan

perencanaan rasional komprehensif dengan pendekatan partisipatif yang berbasis pada

partisipasi, dialog/komunikasi dan kesepakatan bersama. Pengertian prinsip partisipasi
adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan

pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian
kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill.

Salah satu hal yang terpenting dalam menunjang keberhasilan perencanaan pembangunan

di suatu wilayah adalah kepemimpinan (leadership) yang berkomitmen kuat dan memiliki
kapabilitas tinggi dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Aspek kepemimpinan ini

penting, mengingat sebagian besar di Negara-negara berkembang memilki kapasitas

pemerintahan yang lemah. Kapasitas leadership yang cukup baik akan menumbuhkan

ekspektasi para pelaku pembangunan untuk melakukan investasi (contoh pemimpin yang
punya komitmen kuat terhadap penataan ruang dan pembangunan adalah Joko Widodo

7

Surabaya).

Walikota

Hal.

Mantan Walikota Solo dan sekarang Gubernur DKI, dan Tri Rismaharini

KESIMPULAN
Pembangunan di suatu Negara bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencapai

kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyatnya. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut

diperlukan perencanaan yang mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak baik bagi
pembuat kebijakan maupun bagi masyarakat sebagai objek pembangunan.

Dari analisis kritis yang telah dijabarkan di atas, ada bebarapa kesimpulan yang diperoleh,
antara lain:

1. Pelanggaran dan penyimpangan Pemanfaatan ruang yang terjadi dapat diakibatkan

oleh lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan kurangnya pengawasan

terhadap penyalahagunaan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah dalam
hal ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

2. Pendekatan perencanaan yang dilakukan sebaiknya tidak hanya dengan pendekatan
rasional komprehensif tetapi juga dikombinasikan dengan pendekatan yang bersifat
partisipatif, komunikatif dan berbasis komunitas, sehingga masyarakat ikut serta dan
mampu

mengawasi

serta

mempunyai

tanggung

jawab

pembangunan yang dilaksanakan pemerintah DKI Jakarta.

terhadap

program

3. Salah satu hal yang paling penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan

adalah pemerintah yang bersih dan tidak korup (good governance) dan kepemimpinan

(leadership) yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan komitmen yang tinggi dalam
menjalankan program-program pembangunan guna mencapai kesejahteraan rakyat

Hal.

8

yang berkeadilan.

Dokumen yang terkait

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pelayanan sosial medis bagi penderita paraplegia di instalasi rehabilitasi medik RSUP Fatmawati Jakarta

7 158 123

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Komunikasi antarpribadi antara guru dan murid dalam memotivasi belajar di Sekolah Dasar Annajah Jakarta

17 110 92

Citra IAIN dan Fakultas Dakwah pada komunitas publiknya: studi FGD terhadap sepuluh komunitas sekitar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3 53 125

Pengaruh Proce To Book Value,Likuiditas Saham dan Inflasi Terhadap Return Saham syariah Pada Jakarta Islamic Index Periode 2010-2014

7 68 100

Implementasi Program Dinamika Kelompok Terhada Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur

10 166 162

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46