RTRW Jakarta apa yang salah
MATA KULIAH TEORI PERENCANAAN
ARTIKEL 1
RTRW JAKARTA DIBUAT UNTUK DILANGGAR
Dosen Pengampu: Prof. Ir. Sudaryono, M.Sc., Ph.D
Disusun Oleh:
Taufik Hidayat
13/356973/PTK/9243
MAGISTER PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
ANALISIS
Pengembangan wilayah merupakan upaya mendorong perkembangan wilayah melalui
pendekatan komprehensif mencaku paspek fisik, ekonomi dan sosial (Misra R.P, Regional
Development,tahun 1982). Dalam perkembangannya di Indonesia, berbagai pendekatan telah
diterapkan. Pada dasarnya, perkembangan pendekatan pengembangan wilayah ditujukan
untuk mengefisienkan pembangunan berdasarkan evaluasi pelaksanaan pendekatan
sebelumnya serta disesuaikan tuntutan dalam kurun waktu tertentu. Pengembangan wilayah
adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep
pengembangan sektoral, basic needs approach sampai penataan ruang (pengaturan ruang
secara terpadu melalui proses Pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan
pengembangan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan). Dalam perkembangannya pendekatan pengembangan wilayahdi Indonesia
dibagi dalam periode tahun 1950-1960 (Soekarno), 1970, 1990 dan 1993 (Soeharto) dan
2000-an.
-
Pada periode tahun 1950-1960, perencanaan di Indonesia lebih menekankan kepada
National Character Building atau pembangunan karakter bangsa dimana pembangunan
pada saat itu mengutamakan pembangunan semangat harga diri sebagai bangsa yang baru
merdeka. Di samping itu pembangunan fisik lebih kepada pembangunan landmark atau
monument dan kawasan yang memliki fungsi sebagai ciri khas Bangsa Indonesia seperti
-
Tugu Monas, Hotel Indonesia, Nusa Dua (Bali) dan Ambarrukmo (Jogja).
Pada periode tahun 1970, paradigma perencanaan di Indonesia kemudia bergeser menjadi
pembangunan yang lebih kepada pertumbuhan (growth) seperti teori pertumbuhan yang
dikemukakan oleh W.W. Rostow yang mengutamakan kepada pertumbuhan ekonomi.
Pada masa ini, kota-kota di Indonesia diklasifikasikan ke dalam hierarki sehingga
-
perencanaannyapun dibuat berjenjang sesuai hierarki kota-kota tersebut.
Pada periode tahun 1990, paradigma perencanaan berubah lagi yaitu menekankan kepada
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) yang melahirkan konsep
ekonomi lingkungan. Pada periode ini, faktor manusia cenderung diabaikan karena lebih
mengutamakan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan guna
Pada periode 1993, paradigma perencanaan kembali bergeser sebagai akibat dari semakin
termarginalisasikannya faktor manusia dalam pembangunan yaitu munculnya konsep
1
pembangunan manusia berkelanjutan (Sustainable Human Development) dimana
Hal.
-
mempertahankan daya dukung lahan terhadap aktivitas manusia.
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia menjadi tujuan utamanya. Pada masa itu, banyak
pendekatan perencanaan baru yang berkembang diantaranya adalah perencanaan
partisipatif (participatory planning), pembangunan masyarakat (community development),
pendampingan (advocacy planning) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment
-
people).
Pada periode 2000 an, Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam
penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di era
otonomi ini. Dalam paradigma baru ini,penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up
approach) danpenyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) disiapkanpemerintah
daerah bersangkutan dengan mengikutsertakanmasyarakat (public participation).
Dalam pelaksanaan pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia terus
dilakukanpenyesuaian seiring koreksi terhadap pendekatan yang dilaksanakan sebelumnya.
Muncul
kesadaran,pendekatan
pembangunan
yang
bersifat
sektoral
dan
parsial
kerapmengakibatkan inefisiensi pembangunan, seperti duplikasi kegiatan serta konflik
antarsektor dan daerah. Pendekatan pengembanganwilayah yang diterapkan terus berevolusi
dari
pendekatan
yangbertumpu
pada
pendekatan
ekonomi
wilayah
kemudian
berkembangdengan mengintegrasikan pendekatan fisik dan infrastruktur,kelembagaan,
manajemen dan lingkungan (Ruchyat Deni Dj, 2002 dalam Sejarah Penataan Ruang di
Indonesia)
Secara umum, perencanaan di Indonesia menggunakan pendekatan
rational
comprehensive planning yaitu perencanaan yang dilakukan dengan tertib (sistematis), logis
dan menyeluruh (komprehensif) untuk mencapai tujuan tertentu. Pendekatan ini memerlukan
ketersediaan data dan informasi yang memadai untuk mendukung proses pengambilan
keputusan melalui pemilihan alternatif solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada. Sebagai pendekatan yang rasional, perencanaan rasional komprehensif seringkali
didukung oleh berbagai alat (tools) analisis ilmiah dan teknologi guna mendukung proses
pengambilan keputusan. Namun model-model analisis yang terlalu menekankan pada
analisis-analisis fisik, teoritik dan parsial seringkali tidak memberikan manfaat yang
signifikan di dalam menghasilkan keputusan terbaik. Pendekatan teknis-ilmiah yang Nampak
terkesan canggih, seringkali hanya dapat diterima secara rasional oleh kalangan yang terbatas
terutama pihak teknokrat dan perencana semata. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki
kapasitas pemahaman dan informasi yang terbatas akan terjebak dalam rasionalitasnya sendiri
Hal.
2
yang berbeda dengan pihak pengambil keputusan. Sehingga proses perencanaan seperti ini
banyak melahirkan hasil-hasil yang sering disebut sebagai fenomena
master plan
syndrome , suatu fenomena dimana proses perencanaan hanya sanggup menghasilkan
dokumen-dokumen perencanaan namun tidak dapat diimplemantasikan di lapangan akibat
tidak sesuai dengan realitas di lapangan atau banyaknya penolakan dari berbagai pihak yang
berkepentingan di masyarakat (Ernan Rustiadi dkk, 2009, Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, hal. 345).
Artikel KOMPASedisi Jum at tanggal 20 Desember 2013 memaparkan laporan akhir
tahun yang sungguh sangat mencengangkan bahwa RTRW (Peraturan Daerah) dibuat hanya
untuk dilanggar, lalu apa fungsi perencanaan/ peraturan tersebut jika tidak mampu membuat
masyarakat untuk mematuhinya?Begitu banyak penyimpangan tata ruang kotaJakarta yang
terjadi selama kurun waktu lebih kurang 45 tahun sejak diterbitkannya Rencana Induk Kota
Jakarta 1965-1985. Revisi RTRW yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali tidak membuat
penataan kota yang lebih baik tetapi seringkali diboncengi kepentingan poltik dan ekonomi
tertentu yang mengabaikan daya dukung dan fungsi ruang yang sesungguhnya.
Pertanyaan lain yang kemudian muncul adalah:
1. Apa yang salah dengan RTRW Jakarta (Perencanaan Kota)?
2. Apakah rencana yang telah disusun oleh pemerintah tidak sesuai dengan kondisi
di lapangan?
3. Dimana letak kesalahannya?pada dokumen rencana, implementasi, ataukah pada
pengendaliannya?
4. Model pendekatan perencanaan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
mereduksi permasalahan dan pelanggaran tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat dan mengamati
fenomena yang selama ini masih terjadi baik di tingkat pusat maupun di daerah dan kemudian
mengaitkannya dengan teori perencanaan yang telah dikemukakan oleh para ahli. Fakta telah
menunjukkan adanya pelanggaran terhadap dokumen RTRW yang telah disusun oleh
pemerintah kota Jakarta, masyarakat masih saja membangun di kawasan yang seharusnya
berfungsi sebagai kawasan lindung seperti yang dimuat di dalam artikel KOMPAS dimana
kawasan Angke Kapuk, Jakarta Utara yang seharusnya sebagai kawasan hutan lindung bakau,
hutan wisata dan pengaman banjir cengkareng beralih fungsi sebagai kawasan permukiman
dan komersil sebagai akibatnya hampir setiap tahun kawasan tol menuju bandara Soekarno-
Hal.
3
Hatta mengalami banjir/genangan.
a) Apa yang salah dengan RTRW Jakarta?
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) disusun oleh pemerintah sebagai guidelines
(acuan) dalam pembangunan dan penataan ruang di suatu wilayah untuk mencapai tujuan
tertentu. Rencanan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota) yang
merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam strategi dan struktur
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, disusun pemerintah kabupaten/kota dan
ditetapkan dengan Perda kabupaten/kota. Kata kunci dari RTRW adalah menata ruang ,
analoginya seperti menata ruang di rumah sehingga mampu mendukung pergerakan yang
dinamis dari pemilik ruang (rumah) tersebut dan secara estetika enak untuk dilihat. Ruang
yang tidak tertata dengan baik akan mempersulit pergerakan dari satu titik menuju titik
yang lain, untuk itulah perlu ditata dengan sebaik-baiknya sesuai tujuan dan konsep ruang
(rumah) yang diinginkan.
RTRW Jakarta yang telah disusun sejak tahun 1965 melalui Rencana Induk 1965-1985,
tentunya memiliki tujuan agar Penggunaan dan Pemanfaatan ruang di wilayah Jakarta
mampu mendukung aktivitas pemerintahan maupun ekonominya. Perencanaan yang
disusun oleh pemerintah daerah Jakarta tentunya melibatkan banyak pihak (ahli
perencanaan) yang memliliki kapasitas dan kompetensi tinggi. Jadi, secara teoritis dan
ilmiah, seharusnya pertanyaan di atas tidak relevan untuk diajukan karena telah melalui
proses sistematis dan logis yang dilakukan oleh para ahli perencanaan. Namun pada
kenyataannya RTRW yang telah disusun melalui proses ilmiah seringkali tidak mampu
mengakomodasi kepentingan masyarakat tertentu terhadap ruang tersebut sehingga
pelanggaran masih saja terjadi. Hal yang mungkin perlu dilakukan adalah meninjau ulang
proses
perencanaannya
yang
sebelumnya
menggunakan
pendekatan
rasional
komprehensif dimodifikasi menjadi pendekatan perencanaan rasional-partisipasif berbasis
proses dan konsensus dengan lebih menekankan pada dialog dan partisipasi masyarakat
dalam proses perencanaan.
b) Apakah rencana yang telah disusun oleh pemerintah tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan?
Melihat banyaknya pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi, pertanyaan di atas
mungkin cukup relevan diajukan terhadap RTRW Jakarta yang telah mengalami
Perkembangan dan Perubahan dari tahun 1965
2010. Sebagai ibukota Negara dan kota
metropolitan, Jakarta merupakan magnet bagi penduduk di wilayah sekitarnya (Bogor,
Hal.
4
Depok, Tangerang, Bekasi) sehingga pertumbuhan penduduk dan urbanisasi sangat
tinggi. Hal ini mengakibatkan munculnya permukiman kumuh (slum) di kawasan pinggir
kali yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga (lindung). Seharusnya
pemerintah daerah sudah mengantisipasi hal ini, sehingga rencana yang telah dibuat
mampu mendukung kegiatan masyarakat yang sangat beragam, meskipun setiap 5 tahun
sekali dapat dilakukan revisi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di
lapangan.
Penyimpangan penggunaan ruang terhadap RTRW terjadi kemungkinan karena lemahnya
pengawasan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Idealnya, sesuai UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi pidana dan
membayar denda berupa uang dengan jumlah tertentu, namun kenyataannya setiap
pelanggaran hanya dilalukan penyegelan dan pembongkaran bangunan sehingga tidak
memberi efek jera bagi yang melanggar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penegakan
hukum (law enforcement) oleh aparat berwenang, atau mungkin saja masih adanya mental
korup dari oknum tertentu sehingga memberi peluang kepada pelaku pelanggaran untuk
melanjutkan pembangunan di kawasan yang menyalahi peruntukannya (misalnya
membangun rumah di dalam kawasan lindung seperti sempadan sungai).
Sesungguhnya jika pemerintah memliki komitmen yang kuat terhadap penataan ruang,
pengawasan yang ketat harus dilakukan baik pada tahap penyusunan rencana,
implementasi maupun pada tahap pengendaliannya. Tidak semua dokumen perencanaan
sesuai dengan kondisi di lapangan, hal ini terjadi pada daerah-daerah yang jauh dari
pengawasan pusat sehingga dokumen rencana yang disusun hanya untuk memenuhi
penyerapan anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat tetapi tidak dapat
diimplementasikan dengan baik. Output dari dokumen perencanaan (Penyusunan RDTR
dan Zoning Regulation) di tingkat kota merupakan masukan bagi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA)
yang selanjutnya akan menghasilkan Peraturan Daerah (PERDA) yang sifatnya mengikat.
PERDA yang telah disusun seharusnya menjadi instrumen yang memadai untuk pihak
berwenang untuk mengendalikan Pemanfaatan ruang, salah satunya pada proses
pengajuan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada proses pengajuan IMB, pihak yang
memliki kewengan memberikan ijin (Dinas Perijinan) dapat mengetahui kesesuaian ijin
dengan
peruntukannya
menurut
RTRW/
RDTR
sehingga
mampu
mencegah
penyimpangan yang terjadi. Namun, seringkali pihak tertentu melakukan perubahan pada
Hal.
5
fungsi bangunannya tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak pemberi
ijin (misalnya pada saat pengurusan IMB menyatakan bangunan tersebut untuk rumah
tinggal tetapi beberapa waktu kemudian berubah fungsi menjadi pabrik atau fungsi
industri tertentu) sehingga melanggar aturan pemanfaatan ruang (RTRW). Hal inilah yang
menjadi awal dari pelanggaran yang terus saja terjadi, jika dilakukan pembiaran maka
lambat laun kawasan tersebut akan berubah fungsi. Oleh sebab itu, pihak yang berwenang
seharusnya melakukan pengawasan yang sangat ketat di lapangan.
c) Dimana letak kesalahannya? pada dokumen rencana, implementasi, ataukah pada
pengendaliannya?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemungkinan kesalahan bukan pada
dokumen rencana (meskipun mungkin ada sebagian dokumen yang disusun tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan) tetapi lebih kepada implementasi dan pengawasan di
lapangan oleh pihak berwenang. Tahap implementasi terkadang diintervensi oleh
kepentingan kekuasaan oknum pejabat daerah tertentu yang cenderung korup, apalagi
sejak ditetapkannya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu
mengenai perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah (Otonomi Daerah). Kepala
daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas dalam mengatur daerahnya,
hal ini baik jika pejabatnya memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi untuk
memajukan dan mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Namun jika yang terjadi
sebaliknya, pejabatnya bermental korup, maka perencanaan pembangunan tidak akan
dapat dilaksanakan sebagaimana tujuan yang dicita-citakan.
Jadi, dokumen perencanaan yang telah disusun dengan baik tidak akan dapat terlaksana
dengan baik jika tidak ada komitmen yang kuat dari berbagai pihak, terutama pejabat
yang berwenang dan masyarakat itu sendiri.
d) Model pendekatan perencanaan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
mereduksi permasalahan dan pelanggaran tersebut?
Para ahli perencanaan telah mengemukakan berbagai macam ide dan gagasan mengenai
perencanaan yang ideal, namun selalu saja terdapat banyak kendala yang dihadapi. Hal ini
disebabkan oleh metode-metode dan pendekatan perencanaan tidak ada yang absolut
tetapi terus berkembang dan penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat,
birokrasi dan aspek lain yang berbeda-beda di setiap wilayah geografis.
Dalam perkembangan teori pendekatan perencanaan, perdebatan di lingkup teori
Hal.
6
perencanaan masih diwarnai oleh dikotomi antara pendekatan yang ideal yakni
pendekatan perencanaan rasional komprehensif dengan perencanaan pastisipasif berbasis
proses dan konsensus. Dalam menghadapi permasalahan pembangunan yang semakin
kompleks, pencapaian pengetahuan yang
sempurna
(sebagaimana dituntut dalam
perencanaan rasional) di manapun hampir tidak pernah tercapai. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kegagalan dalam mengidentifikasi masalah yang ada. Kegagalan dalam
mengidentifikasi masalah dapat disebabkan oleh pendekatan dan cara pikir ( top down ),
dimana para perencana dan para pengambil keputusan melakukan interpretasi dan
pengambilan keputusan secara satu arah dan tidak melalui proses dialogis yang interaktif
bersama pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Mengenai kasus pelanggaran terhadap RTRW Jakarta, menurut penulis pendekatan yang
sebaiknya dilakukan adalah pendekatan yang merupakan gabungan dari pendekatan
perencanaan rasional komprehensif dengan pendekatan partisipatif yang berbasis pada
partisipasi, dialog/komunikasi dan kesepakatan bersama. Pengertian prinsip partisipasi
adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian
kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill.
Salah satu hal yang terpenting dalam menunjang keberhasilan perencanaan pembangunan
di suatu wilayah adalah kepemimpinan (leadership) yang berkomitmen kuat dan memiliki
kapabilitas tinggi dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Aspek kepemimpinan ini
penting, mengingat sebagian besar di Negara-negara berkembang memilki kapasitas
pemerintahan yang lemah. Kapasitas leadership yang cukup baik akan menumbuhkan
ekspektasi para pelaku pembangunan untuk melakukan investasi (contoh pemimpin yang
punya komitmen kuat terhadap penataan ruang dan pembangunan adalah Joko Widodo
7
Surabaya).
Walikota
Hal.
Mantan Walikota Solo dan sekarang Gubernur DKI, dan Tri Rismaharini
KESIMPULAN
Pembangunan di suatu Negara bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencapai
kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyatnya. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut
diperlukan perencanaan yang mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak baik bagi
pembuat kebijakan maupun bagi masyarakat sebagai objek pembangunan.
Dari analisis kritis yang telah dijabarkan di atas, ada bebarapa kesimpulan yang diperoleh,
antara lain:
1. Pelanggaran dan penyimpangan Pemanfaatan ruang yang terjadi dapat diakibatkan
oleh lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan kurangnya pengawasan
terhadap penyalahagunaan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah dalam
hal ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
2. Pendekatan perencanaan yang dilakukan sebaiknya tidak hanya dengan pendekatan
rasional komprehensif tetapi juga dikombinasikan dengan pendekatan yang bersifat
partisipatif, komunikatif dan berbasis komunitas, sehingga masyarakat ikut serta dan
mampu
mengawasi
serta
mempunyai
tanggung
jawab
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah DKI Jakarta.
terhadap
program
3. Salah satu hal yang paling penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan
adalah pemerintah yang bersih dan tidak korup (good governance) dan kepemimpinan
(leadership) yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan komitmen yang tinggi dalam
menjalankan program-program pembangunan guna mencapai kesejahteraan rakyat
Hal.
8
yang berkeadilan.
ARTIKEL 1
RTRW JAKARTA DIBUAT UNTUK DILANGGAR
Dosen Pengampu: Prof. Ir. Sudaryono, M.Sc., Ph.D
Disusun Oleh:
Taufik Hidayat
13/356973/PTK/9243
MAGISTER PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
ANALISIS
Pengembangan wilayah merupakan upaya mendorong perkembangan wilayah melalui
pendekatan komprehensif mencaku paspek fisik, ekonomi dan sosial (Misra R.P, Regional
Development,tahun 1982). Dalam perkembangannya di Indonesia, berbagai pendekatan telah
diterapkan. Pada dasarnya, perkembangan pendekatan pengembangan wilayah ditujukan
untuk mengefisienkan pembangunan berdasarkan evaluasi pelaksanaan pendekatan
sebelumnya serta disesuaikan tuntutan dalam kurun waktu tertentu. Pengembangan wilayah
adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep
pengembangan sektoral, basic needs approach sampai penataan ruang (pengaturan ruang
secara terpadu melalui proses Pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan
pengembangan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan). Dalam perkembangannya pendekatan pengembangan wilayahdi Indonesia
dibagi dalam periode tahun 1950-1960 (Soekarno), 1970, 1990 dan 1993 (Soeharto) dan
2000-an.
-
Pada periode tahun 1950-1960, perencanaan di Indonesia lebih menekankan kepada
National Character Building atau pembangunan karakter bangsa dimana pembangunan
pada saat itu mengutamakan pembangunan semangat harga diri sebagai bangsa yang baru
merdeka. Di samping itu pembangunan fisik lebih kepada pembangunan landmark atau
monument dan kawasan yang memliki fungsi sebagai ciri khas Bangsa Indonesia seperti
-
Tugu Monas, Hotel Indonesia, Nusa Dua (Bali) dan Ambarrukmo (Jogja).
Pada periode tahun 1970, paradigma perencanaan di Indonesia kemudia bergeser menjadi
pembangunan yang lebih kepada pertumbuhan (growth) seperti teori pertumbuhan yang
dikemukakan oleh W.W. Rostow yang mengutamakan kepada pertumbuhan ekonomi.
Pada masa ini, kota-kota di Indonesia diklasifikasikan ke dalam hierarki sehingga
-
perencanaannyapun dibuat berjenjang sesuai hierarki kota-kota tersebut.
Pada periode tahun 1990, paradigma perencanaan berubah lagi yaitu menekankan kepada
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) yang melahirkan konsep
ekonomi lingkungan. Pada periode ini, faktor manusia cenderung diabaikan karena lebih
mengutamakan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan guna
Pada periode 1993, paradigma perencanaan kembali bergeser sebagai akibat dari semakin
termarginalisasikannya faktor manusia dalam pembangunan yaitu munculnya konsep
1
pembangunan manusia berkelanjutan (Sustainable Human Development) dimana
Hal.
-
mempertahankan daya dukung lahan terhadap aktivitas manusia.
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia menjadi tujuan utamanya. Pada masa itu, banyak
pendekatan perencanaan baru yang berkembang diantaranya adalah perencanaan
partisipatif (participatory planning), pembangunan masyarakat (community development),
pendampingan (advocacy planning) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment
-
people).
Pada periode 2000 an, Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam
penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di era
otonomi ini. Dalam paradigma baru ini,penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up
approach) danpenyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) disiapkanpemerintah
daerah bersangkutan dengan mengikutsertakanmasyarakat (public participation).
Dalam pelaksanaan pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia terus
dilakukanpenyesuaian seiring koreksi terhadap pendekatan yang dilaksanakan sebelumnya.
Muncul
kesadaran,pendekatan
pembangunan
yang
bersifat
sektoral
dan
parsial
kerapmengakibatkan inefisiensi pembangunan, seperti duplikasi kegiatan serta konflik
antarsektor dan daerah. Pendekatan pengembanganwilayah yang diterapkan terus berevolusi
dari
pendekatan
yangbertumpu
pada
pendekatan
ekonomi
wilayah
kemudian
berkembangdengan mengintegrasikan pendekatan fisik dan infrastruktur,kelembagaan,
manajemen dan lingkungan (Ruchyat Deni Dj, 2002 dalam Sejarah Penataan Ruang di
Indonesia)
Secara umum, perencanaan di Indonesia menggunakan pendekatan
rational
comprehensive planning yaitu perencanaan yang dilakukan dengan tertib (sistematis), logis
dan menyeluruh (komprehensif) untuk mencapai tujuan tertentu. Pendekatan ini memerlukan
ketersediaan data dan informasi yang memadai untuk mendukung proses pengambilan
keputusan melalui pemilihan alternatif solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada. Sebagai pendekatan yang rasional, perencanaan rasional komprehensif seringkali
didukung oleh berbagai alat (tools) analisis ilmiah dan teknologi guna mendukung proses
pengambilan keputusan. Namun model-model analisis yang terlalu menekankan pada
analisis-analisis fisik, teoritik dan parsial seringkali tidak memberikan manfaat yang
signifikan di dalam menghasilkan keputusan terbaik. Pendekatan teknis-ilmiah yang Nampak
terkesan canggih, seringkali hanya dapat diterima secara rasional oleh kalangan yang terbatas
terutama pihak teknokrat dan perencana semata. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki
kapasitas pemahaman dan informasi yang terbatas akan terjebak dalam rasionalitasnya sendiri
Hal.
2
yang berbeda dengan pihak pengambil keputusan. Sehingga proses perencanaan seperti ini
banyak melahirkan hasil-hasil yang sering disebut sebagai fenomena
master plan
syndrome , suatu fenomena dimana proses perencanaan hanya sanggup menghasilkan
dokumen-dokumen perencanaan namun tidak dapat diimplemantasikan di lapangan akibat
tidak sesuai dengan realitas di lapangan atau banyaknya penolakan dari berbagai pihak yang
berkepentingan di masyarakat (Ernan Rustiadi dkk, 2009, Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, hal. 345).
Artikel KOMPASedisi Jum at tanggal 20 Desember 2013 memaparkan laporan akhir
tahun yang sungguh sangat mencengangkan bahwa RTRW (Peraturan Daerah) dibuat hanya
untuk dilanggar, lalu apa fungsi perencanaan/ peraturan tersebut jika tidak mampu membuat
masyarakat untuk mematuhinya?Begitu banyak penyimpangan tata ruang kotaJakarta yang
terjadi selama kurun waktu lebih kurang 45 tahun sejak diterbitkannya Rencana Induk Kota
Jakarta 1965-1985. Revisi RTRW yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali tidak membuat
penataan kota yang lebih baik tetapi seringkali diboncengi kepentingan poltik dan ekonomi
tertentu yang mengabaikan daya dukung dan fungsi ruang yang sesungguhnya.
Pertanyaan lain yang kemudian muncul adalah:
1. Apa yang salah dengan RTRW Jakarta (Perencanaan Kota)?
2. Apakah rencana yang telah disusun oleh pemerintah tidak sesuai dengan kondisi
di lapangan?
3. Dimana letak kesalahannya?pada dokumen rencana, implementasi, ataukah pada
pengendaliannya?
4. Model pendekatan perencanaan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
mereduksi permasalahan dan pelanggaran tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat dan mengamati
fenomena yang selama ini masih terjadi baik di tingkat pusat maupun di daerah dan kemudian
mengaitkannya dengan teori perencanaan yang telah dikemukakan oleh para ahli. Fakta telah
menunjukkan adanya pelanggaran terhadap dokumen RTRW yang telah disusun oleh
pemerintah kota Jakarta, masyarakat masih saja membangun di kawasan yang seharusnya
berfungsi sebagai kawasan lindung seperti yang dimuat di dalam artikel KOMPAS dimana
kawasan Angke Kapuk, Jakarta Utara yang seharusnya sebagai kawasan hutan lindung bakau,
hutan wisata dan pengaman banjir cengkareng beralih fungsi sebagai kawasan permukiman
dan komersil sebagai akibatnya hampir setiap tahun kawasan tol menuju bandara Soekarno-
Hal.
3
Hatta mengalami banjir/genangan.
a) Apa yang salah dengan RTRW Jakarta?
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) disusun oleh pemerintah sebagai guidelines
(acuan) dalam pembangunan dan penataan ruang di suatu wilayah untuk mencapai tujuan
tertentu. Rencanan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota) yang
merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam strategi dan struktur
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, disusun pemerintah kabupaten/kota dan
ditetapkan dengan Perda kabupaten/kota. Kata kunci dari RTRW adalah menata ruang ,
analoginya seperti menata ruang di rumah sehingga mampu mendukung pergerakan yang
dinamis dari pemilik ruang (rumah) tersebut dan secara estetika enak untuk dilihat. Ruang
yang tidak tertata dengan baik akan mempersulit pergerakan dari satu titik menuju titik
yang lain, untuk itulah perlu ditata dengan sebaik-baiknya sesuai tujuan dan konsep ruang
(rumah) yang diinginkan.
RTRW Jakarta yang telah disusun sejak tahun 1965 melalui Rencana Induk 1965-1985,
tentunya memiliki tujuan agar Penggunaan dan Pemanfaatan ruang di wilayah Jakarta
mampu mendukung aktivitas pemerintahan maupun ekonominya. Perencanaan yang
disusun oleh pemerintah daerah Jakarta tentunya melibatkan banyak pihak (ahli
perencanaan) yang memliliki kapasitas dan kompetensi tinggi. Jadi, secara teoritis dan
ilmiah, seharusnya pertanyaan di atas tidak relevan untuk diajukan karena telah melalui
proses sistematis dan logis yang dilakukan oleh para ahli perencanaan. Namun pada
kenyataannya RTRW yang telah disusun melalui proses ilmiah seringkali tidak mampu
mengakomodasi kepentingan masyarakat tertentu terhadap ruang tersebut sehingga
pelanggaran masih saja terjadi. Hal yang mungkin perlu dilakukan adalah meninjau ulang
proses
perencanaannya
yang
sebelumnya
menggunakan
pendekatan
rasional
komprehensif dimodifikasi menjadi pendekatan perencanaan rasional-partisipasif berbasis
proses dan konsensus dengan lebih menekankan pada dialog dan partisipasi masyarakat
dalam proses perencanaan.
b) Apakah rencana yang telah disusun oleh pemerintah tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan?
Melihat banyaknya pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi, pertanyaan di atas
mungkin cukup relevan diajukan terhadap RTRW Jakarta yang telah mengalami
Perkembangan dan Perubahan dari tahun 1965
2010. Sebagai ibukota Negara dan kota
metropolitan, Jakarta merupakan magnet bagi penduduk di wilayah sekitarnya (Bogor,
Hal.
4
Depok, Tangerang, Bekasi) sehingga pertumbuhan penduduk dan urbanisasi sangat
tinggi. Hal ini mengakibatkan munculnya permukiman kumuh (slum) di kawasan pinggir
kali yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga (lindung). Seharusnya
pemerintah daerah sudah mengantisipasi hal ini, sehingga rencana yang telah dibuat
mampu mendukung kegiatan masyarakat yang sangat beragam, meskipun setiap 5 tahun
sekali dapat dilakukan revisi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di
lapangan.
Penyimpangan penggunaan ruang terhadap RTRW terjadi kemungkinan karena lemahnya
pengawasan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Idealnya, sesuai UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi pidana dan
membayar denda berupa uang dengan jumlah tertentu, namun kenyataannya setiap
pelanggaran hanya dilalukan penyegelan dan pembongkaran bangunan sehingga tidak
memberi efek jera bagi yang melanggar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penegakan
hukum (law enforcement) oleh aparat berwenang, atau mungkin saja masih adanya mental
korup dari oknum tertentu sehingga memberi peluang kepada pelaku pelanggaran untuk
melanjutkan pembangunan di kawasan yang menyalahi peruntukannya (misalnya
membangun rumah di dalam kawasan lindung seperti sempadan sungai).
Sesungguhnya jika pemerintah memliki komitmen yang kuat terhadap penataan ruang,
pengawasan yang ketat harus dilakukan baik pada tahap penyusunan rencana,
implementasi maupun pada tahap pengendaliannya. Tidak semua dokumen perencanaan
sesuai dengan kondisi di lapangan, hal ini terjadi pada daerah-daerah yang jauh dari
pengawasan pusat sehingga dokumen rencana yang disusun hanya untuk memenuhi
penyerapan anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat tetapi tidak dapat
diimplementasikan dengan baik. Output dari dokumen perencanaan (Penyusunan RDTR
dan Zoning Regulation) di tingkat kota merupakan masukan bagi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA)
yang selanjutnya akan menghasilkan Peraturan Daerah (PERDA) yang sifatnya mengikat.
PERDA yang telah disusun seharusnya menjadi instrumen yang memadai untuk pihak
berwenang untuk mengendalikan Pemanfaatan ruang, salah satunya pada proses
pengajuan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada proses pengajuan IMB, pihak yang
memliki kewengan memberikan ijin (Dinas Perijinan) dapat mengetahui kesesuaian ijin
dengan
peruntukannya
menurut
RTRW/
RDTR
sehingga
mampu
mencegah
penyimpangan yang terjadi. Namun, seringkali pihak tertentu melakukan perubahan pada
Hal.
5
fungsi bangunannya tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak pemberi
ijin (misalnya pada saat pengurusan IMB menyatakan bangunan tersebut untuk rumah
tinggal tetapi beberapa waktu kemudian berubah fungsi menjadi pabrik atau fungsi
industri tertentu) sehingga melanggar aturan pemanfaatan ruang (RTRW). Hal inilah yang
menjadi awal dari pelanggaran yang terus saja terjadi, jika dilakukan pembiaran maka
lambat laun kawasan tersebut akan berubah fungsi. Oleh sebab itu, pihak yang berwenang
seharusnya melakukan pengawasan yang sangat ketat di lapangan.
c) Dimana letak kesalahannya? pada dokumen rencana, implementasi, ataukah pada
pengendaliannya?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemungkinan kesalahan bukan pada
dokumen rencana (meskipun mungkin ada sebagian dokumen yang disusun tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan) tetapi lebih kepada implementasi dan pengawasan di
lapangan oleh pihak berwenang. Tahap implementasi terkadang diintervensi oleh
kepentingan kekuasaan oknum pejabat daerah tertentu yang cenderung korup, apalagi
sejak ditetapkannya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu
mengenai perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah (Otonomi Daerah). Kepala
daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas dalam mengatur daerahnya,
hal ini baik jika pejabatnya memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi untuk
memajukan dan mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Namun jika yang terjadi
sebaliknya, pejabatnya bermental korup, maka perencanaan pembangunan tidak akan
dapat dilaksanakan sebagaimana tujuan yang dicita-citakan.
Jadi, dokumen perencanaan yang telah disusun dengan baik tidak akan dapat terlaksana
dengan baik jika tidak ada komitmen yang kuat dari berbagai pihak, terutama pejabat
yang berwenang dan masyarakat itu sendiri.
d) Model pendekatan perencanaan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
mereduksi permasalahan dan pelanggaran tersebut?
Para ahli perencanaan telah mengemukakan berbagai macam ide dan gagasan mengenai
perencanaan yang ideal, namun selalu saja terdapat banyak kendala yang dihadapi. Hal ini
disebabkan oleh metode-metode dan pendekatan perencanaan tidak ada yang absolut
tetapi terus berkembang dan penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat,
birokrasi dan aspek lain yang berbeda-beda di setiap wilayah geografis.
Dalam perkembangan teori pendekatan perencanaan, perdebatan di lingkup teori
Hal.
6
perencanaan masih diwarnai oleh dikotomi antara pendekatan yang ideal yakni
pendekatan perencanaan rasional komprehensif dengan perencanaan pastisipasif berbasis
proses dan konsensus. Dalam menghadapi permasalahan pembangunan yang semakin
kompleks, pencapaian pengetahuan yang
sempurna
(sebagaimana dituntut dalam
perencanaan rasional) di manapun hampir tidak pernah tercapai. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kegagalan dalam mengidentifikasi masalah yang ada. Kegagalan dalam
mengidentifikasi masalah dapat disebabkan oleh pendekatan dan cara pikir ( top down ),
dimana para perencana dan para pengambil keputusan melakukan interpretasi dan
pengambilan keputusan secara satu arah dan tidak melalui proses dialogis yang interaktif
bersama pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Mengenai kasus pelanggaran terhadap RTRW Jakarta, menurut penulis pendekatan yang
sebaiknya dilakukan adalah pendekatan yang merupakan gabungan dari pendekatan
perencanaan rasional komprehensif dengan pendekatan partisipatif yang berbasis pada
partisipasi, dialog/komunikasi dan kesepakatan bersama. Pengertian prinsip partisipasi
adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian
kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill.
Salah satu hal yang terpenting dalam menunjang keberhasilan perencanaan pembangunan
di suatu wilayah adalah kepemimpinan (leadership) yang berkomitmen kuat dan memiliki
kapabilitas tinggi dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Aspek kepemimpinan ini
penting, mengingat sebagian besar di Negara-negara berkembang memilki kapasitas
pemerintahan yang lemah. Kapasitas leadership yang cukup baik akan menumbuhkan
ekspektasi para pelaku pembangunan untuk melakukan investasi (contoh pemimpin yang
punya komitmen kuat terhadap penataan ruang dan pembangunan adalah Joko Widodo
7
Surabaya).
Walikota
Hal.
Mantan Walikota Solo dan sekarang Gubernur DKI, dan Tri Rismaharini
KESIMPULAN
Pembangunan di suatu Negara bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencapai
kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyatnya. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut
diperlukan perencanaan yang mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak baik bagi
pembuat kebijakan maupun bagi masyarakat sebagai objek pembangunan.
Dari analisis kritis yang telah dijabarkan di atas, ada bebarapa kesimpulan yang diperoleh,
antara lain:
1. Pelanggaran dan penyimpangan Pemanfaatan ruang yang terjadi dapat diakibatkan
oleh lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan kurangnya pengawasan
terhadap penyalahagunaan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah dalam
hal ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
2. Pendekatan perencanaan yang dilakukan sebaiknya tidak hanya dengan pendekatan
rasional komprehensif tetapi juga dikombinasikan dengan pendekatan yang bersifat
partisipatif, komunikatif dan berbasis komunitas, sehingga masyarakat ikut serta dan
mampu
mengawasi
serta
mempunyai
tanggung
jawab
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah DKI Jakarta.
terhadap
program
3. Salah satu hal yang paling penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan
adalah pemerintah yang bersih dan tidak korup (good governance) dan kepemimpinan
(leadership) yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan komitmen yang tinggi dalam
menjalankan program-program pembangunan guna mencapai kesejahteraan rakyat
Hal.
8
yang berkeadilan.