MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN IDEAL ANTARA

MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN IDEAL:
ANTARA DEMOKRASI DAN KHILAFAH ISLAMIYYAH
Analisa Wacana Negara Ideal Bagi Masyarakat Muslim
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Filsafat Ilmu dan
Nilai-Nilai Islam
Dosen pengampu: Bpk. Mansur Juned
Asisten Dosen: Rafika Diana dan Jimmy Anwar

Oleh:
Nadia Sarah Azani
0801511002
HI A 2011

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2014

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.

Latar Belakang Masalah
Gejolak yang melanda sebagian wilayah Timur Tengah dan Afrika sejak tahun 2011
lalu yang kerapkali disebut sebagai Arab Spring merupakan sebuah bentuk upaya
penegakan demokrasi. Negara-negara yang bergejolak, antara lain Libya, Mesir, Suriah,
Aljazair, Tunisia, merupakan beberapa negara dengan pemerintahan yang cenderung
otoriter, di mana kebebasan masyarakat dalam berpendapat masih merupakan hal yang
tabu. Suriah, salah satunya, merupakan sebuah negara republik yang dikuasai oleh
pemerintahan yang berafiliasi kepada militer. Selain itu, negara Suriah juga dinilai
sebagai negara dengan pemerintahan Dinasti al-Assad, di mana Bashar al-Assad menjadi
Presiden Suriah menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad dengan campur tangan hegemoni
Partai Ba’ath yang berkuasa melegalkan amandemen pergantian kekuasaan tersebut.
Dengan jatuhnya kekuasaan ke tangan Bashar al-Assad, semakin melanggengkan rezim
al-Assad yang membuat Suriah sebagai negara republik dengan pemerintahan dinasti, dua
hal yang amat bertentangan. Instabilitas politik yang terjadi di negara Suriah bukan hanya
karena ketidakpuasan masyarakat Suriah akan rezim al-Assad, tetapi lebih karena otoritas
militer yang mendominasi kekuasaan dan dengan tangan kekuasaannya, kebebasan
masyarakat dalam aktivitas politik secara terang-terangan dibungkam.
Tidak hanya Suriah yang bergejolak, tetapi bagai efek domino juga melanda di

negara-negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun dengan pola
yang cenderung berbeda di antara negara-negara tersebut, tetapi poin utama yang diusung
dan menjadi main agenda adalah tuntutan akan penegakan demokrasi di seluruh lapisan
masyarakat. Kekecewaan masyarakat akan kebijakan pemerintah yang kerap menekan
kebebasan publik menyeret kepada gejolak. Agenda penegakan demokrasi ini menjadi
semacam perubahan yang disebut oleh para intelektual dunia sebagai “musim semi”.
Hanya saja, musim semi tersebut tidak semata-mata diartikan kepada perubahan ke arah
kebaikan yang signifikan, justru menjadi musim semi yang “panas” oleh gejolak dan
huru-hara.

1

Di antara gairah dan semangat masyarakat Timur Tengah akan penegakan demokrasi,
sebuah alternatif lain dalam sistem pemerintahan yang cukup kontroversial bernama
Khilafah Islamiyyah tengah gencar diupayakan. Bagi para pengusungnya, Khilafah
Islamiyyah merupakan alternatif terbaik atas krisis negara-bangsa yang tengah melanda
banyak negara di dunia, khususnya negara dunia ketiga yang mayoritas penduduknya
memeluk agama Islam. Khilafah Islamiyyah merupakan suatu pemerintahan tunggal
dengan seorang khalifah sebagai pemimpin, dan sesuai dengan namanya, sistem
pemerintahan ini menerapkan hukum syariah Islam sebagai landasan hukum. Khilafah

Islamiyyah merupakan suatu upaya untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat Muslim
di dunia ke dalam suatu wadah kelompok masyarakat bersama, artinya seluruh umat
Muslim berada di bawah satu kepemimpinan khalifah. Sebagai suatu sistem pemerintahan
tunggal, Khilafah Islamiyyah tidak mengenal konsep negara-bangsa, sebuah konsep yang
tengah digandrungi oleh masyarakat dunia saat ini. Hal ini menjadikannya bertolak
belakang dengan sistem demokrasi ala negara-bangsa yang sedang diperjuangkan oleh
sebagian besar masyarakat Timur Tengah yang dilanda gejolak.
Dua sistem yang sangat berbeda tersebut kini tengah digaungkan oleh masing-masing
kaum fanatisnya. Menjadi suatu perdebatan di kalangan umat Muslim yang menimbulkan
terpecahnya para cendekiawan Muslim ke dalam beberapa kubu: antara lain kubu
demokrat dan kubu pro-khilafah. Masing-masing dari kubu menawarkan alternatif
sebagai jalan keluar dari polemik yang melanda masyarakat Muslim. Di satu sisi, para
demokrat Muslim ini menyampaikan bahwa penegakan demokrasi merupakan jalan
terbaik yang mesti dilakukan untuk “membebaskan” masyarakat dari belenggu
otoritarianisme, sehingga akan tercapai masyarakat madani dengan kebebasan individu
yang terjamin. Meski berpegang teguh pada demokrasi, para demokrat Muslim menilai
tidak akan membuat nilai-nilai Islam dikesampingkan. Sementara kaum pro-khilafah yang
menolak konsep demokrasi tersebut menilai bahwa sistem Khilafah Islamiyyah
merupakan jalan bagi penyelesaian serangkaian problem kemanusiaan sekaligus sebagai
jalan pemersatu umat Muslim di dunia. Dengan ditegakkannya khilafah, syariat Islam

akan dapat ditegakkan dan dakwah akan dikembangkan ke seluruh penjuru dunia.
Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, masyarakat Muslim tentu semakin
dilanda kebingungan mengenai suatu pemerintahan yang ideal. Apakah jalan tersebut
dapat dicapai dengan ditegakkannya demokrasi seperti yang tengah diusahakan di

2

beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang tengah bergejolak, atau
kembali kepada romantisme yang ditawarkan oleh Khilafah Islamiyyah.
1.2.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dalam makalah ini pertanyaan masalah akan difokuskan
kepada apa perbedaan antara wacana demokrasi dan Khilafah Islamiyyah dan bagaimana
pemerintahan yang ideal bagi masyarakat Muslim?

1.3.
Kerangka Pemikiran
1.3.1. Teori Demokrasi Hans Kelsen
Istilah demokrasi menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by

the people (demokrasi berasal dari bahasa Yunani: demos berarti rakyat,
kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).1 Menurut Jean Jaques Rousseau,
demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah
negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Pernyataan Rousseau ini seakan
mengatakan, bahwa demokrasi bagi sebuah negara adalah sebuah pembelajaran
menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan yang sempurna.2 Akan tetapi Rousseau
menyadari bahwa kesempurnaan bukanlah milik manusia. Oleh karenanya, yang
menjadi ukuran ada tidaknya sebuah demokrasi dalam sebuah negara bukan
ditentukan oleh tujuan akhir, melainkan lebih melihat pada fakta tahapan yang ada. 3
Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat
dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Dengan begitu Rousseau
menyampaikan bahwa jika menempatkan demokrasi secara kaku dan ideal, tidak akan
pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.4
Sementara itu, Hans Kelsen barasumsi bahwa awal dari datangnya ide demokrasi
adalah adanya ide kebebasan yang berada dalam benak manusia. Kebebasan semula
dianggap bebas dari ikatan-ikatan atau ketiadaan terhadap segala ikatan, ketiadaan
terhadap segala kewajiban, yang kemudian ditolak oleh Hans Kelsen. 5 Pasalnya,
ketika manusia berada dalam konstruksi kemasyarakatan, maka ide kebebasan tidak
bisa lagi dinilai secara sederhana, tidak lagi semata-mata bebas dari ikatan, namun ide


1 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 105
2 HM. Thalhah, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan, Perspektif Pemikiran Hans Kelsen, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 16, Juli 2009, Universitas Islam Indonesia, hlm. 415
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid. hlm. 416

3

kebebasan dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak sendiri.6 Inilah yang
kemudian menjadi dasar pemikiran Hans Kelsen mengenai demokrasi.
Di dalam masyarakat, akan muncul dinamika interaksi sosial yang berujung
kepada suara mayoritas dan minoritas. Bertemunya suara mayoritas dan suara
minoritas tentunya menghasilkan kompromi. Menurut Hans Kelsen, salah satu esensi
demokrasi terletak pada ada tidaknya sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan
pendapat untuk menentukan sebuah tatanan bagi landasan sebuah negara. 7 Kompromi,
bagi Helsen menjadi sebuah syarat utama dalam penentuan apakah sebuah negara
menganut prinsip demokrasi ataukah tidak sama sekali. Tentu saja, dalam prinsip
demokrasi sangat bergantung pada budaya, dan adat istiadat setempat. Hal itu disadari
betul oleh Hans Kelsen, karenanya ia menuturkan bahwa prinsip demokrasi sebuah

negara tidak bisa dijadikan patokan bagi negara lain. Tergantung pada banyak aspek
dan keberadaan lingkungan yang melingkupinya.8
1.3.2. Teori Negara Menurut Al-Farabi
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles tentang negara, AlFarabi dalam karyanya yang berjudul Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, manusia
adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat
(bernegara) dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia menambahkan
bahwa manusia juga berhasrat mencapai kebahagiaan material dan spiritual di dunia
dan akhirat.9 Negara, menurut Al-Farabi, dibagi menjadi dua: negara utama (alMadinah al-Fadhilah) dan negara bodoh, rusak, sesat, dan merosot (al-Madinah alJahilah al-Fasiqah al-Dhallah al-Mubadilah). Negara utama ibarat organ tubuh
manusia yang saling bekerjasama dengan tugasnya masing-masing. Keadilan dan
kesejahteraan akan tercapai jika setiap organ tersebut bekerja selaras.10
Al-Farabi berpendapat bahwa tidak setiap warga negara dapat menjadi kepala
negara utama. Kepala negara seharusnya diadakan terlebih dahulu baru kemudian
membentuk negara, badan-badan di bawahnya, dan rakyat. Al-Farabi tidak bermaksud
untuk memperbaiki situasi politik, tetapi mencetak negara yang sama sekali baru sejak
awal.11
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, edisi 5, Jakarta: UI Press, 1993,
hlm. 50

10 Ibid.

4

Sedangkan negara bodoh adalah negara yang tidak tahu tentang kebahagiaan,
yaitu hanya mementingkan kepentingan materil dan kekayaan. Negara yang rusak
adalah negara yang tahu tentang kebahagiaan tetapi perilaku warganya seperti
perilaku negara bodoh. Negara merosost adalah negara yang perilaku warganya sama
dengan negara utama tapi kemudian terjerumus ke perbuatan tercela. Sementara
negara sesat adalah negara yang diliputi kesesatan dan penipuan. Rakyatnya tidak
percaya Tuhan, dan kepala negaranya melakukan penipuan dengan mengaku sebagai
utusan Tuhan sehingga rakyat tunduk kepadanya.12

BAB II
PEMBAHASAN
11 Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State: Abu Nasr Al-Farabi’s Mabadi Ara’ Ahl Al-Madinah AlFadhilah, New York: Oxford University Press, 1985, hlm. 228
12 Ibid, hlm. 256-258

5


2.1. Tinjauan Sejarah: Konsep Negara Dalam Islam (Sistem Pemerintahan)
Setelah hijrah Nabi Muhammad SAW ke kota Madinah pada 622 M, banyak
perubahan yang terjadi di wilayah tersebut. Sebelum kedatangan beliau, keadaan
penduduk kota Madinah hampir sama dengan keadaan penduduk di kota Makkah, yaitu
selalu hidup dengan melanggar hukum. Suku-suku yang tinggal di Madinah saling
berperang satu sama lain.13
Nabi

Muhammad

SAW

kemudian

menghapus

perbedaan

suku


dan

mengelompokkan penduduk dengan satu nama umum, yaitu Anshar. Beliau mulai
menata kehidupan melalui mekanisme hukum, ketertiban, dan perdamaian. Sebagai
upaya untuk mewujudkan persatuan, Nabi Muhammad membuat piagam yang berisi hak
serta kewajiban kaum Muslim maupun non-Muslim di Madinah. Piagam yang dikenal
dengan Piagam Madinah ini merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia yang
merupakan suatu landasan hukum yang resmi atas negara-kota (city-state).14
Inti dari Piagam Madinah dalam aktivitas politik dan agama mengandung prinsipprinsip dan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat, kelompok-kelompok sosial
Madinah, menjamin hak-hak ummat, menetapkan kewajiban, dan menekankan kepada
hubungan baik dan kerjasama serta hidup berdampingan secara damai dala tata
kehidupan sosial politik.15 Kebijakan Nabi Muhammad membuat piagam tersebut
membuat semua penduduk Madinah bersatu dalam satu bangsa. Kaum Yahudi dan
Nasrani Madinah bebas menganut agamanya dan mendapat perlindungan. Piagam
Madinah menjadi konstitusi dasar bagi Madinah yang membuatnya sebagai sebuah
entitas yang berdaulat. Entitas yang berabad-abad kemudian dikenal dengan istilah
negara.
Perlu diketahui, Piagam Madinah merupakan lanjutan dari Perjanjian Aqabah I dan
II (Baiat al-Aqabah). Perjanjian Aqabah I terjadi setahun sebelum Nabi Muhammad
SAW hijrah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 12 orang penduduk Yastrib

(nama kota Madinah sebelum diganti), pada musim haji menyatakan masuk Islam.
Mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah, meninggalkan segala
perbuatan tercela dan menaati Nabi Muhammad.16 Pada tahun berikutnya, sebanyak 73
13 M. Yakub, Piagam Madinah: Acuan Dasar Negara Islam, Analytica Islamia, Vol. 6 No. 2, 2004, hlm. 172
14 Ibid.
15 Ibid.
16 Ibn Hisyam, Sirah al-Nabi, Juz II, Beirut: Darul Fikri, hlm. 40

6

orang penduduk Yatsrib yang sudah memeluk Islam datang kembali ke Makkah dan
mempertegas pengakuan keislaman mereka dan pembelaan kepada Nabi Muhammad.
Dalam kesempatan ini mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Madinah yang
selanjutnya dikenal dengan Perjanjian Aqabah II.17 Dua peristiwa bersejarah ini yang
mengubah arah perjalanan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dari kelompok
tertindas menjadi kekuatan politik yang kokoh dan juga merupakan titik awal bagi Nabi
Muhammad SAW untuk mendirikan Negara Madinah.18
Dipandang dari sudut ilmu ketatanegaraan modern, piagam tersebut sudah
memenuhi syarat-syarat sebagai konstitusi. Syarat-syarat tersebut antara lain:19
1. Mengatur pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Bila
dikaitkan dengan Piagam Madinah, pembagian kekuasaan di situ dapat
diartikan dengan pembagian tugas dari masing-masing golongan untuk
membela kepentingan sesama penduduk Madinah.
2. Mengatur hubungan antara masing-masing lembaga negara, dalam hal ini
diatur hubungan antara masing-masing kaum, contohnya adalah terdapat
dalam Pasal 23, yaitu: “Apabila kamu berselisih tentang sesuatu,
penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah dan keputusan Muhammad.”
3. Mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia para rakyatnya.
Dikaitkan dengan Piagam Madinah, perlindungan terhadap manusia sangat
ditekankan karena dapat diketahui dari asal muasal dibentuknya Piagam
Madinah, yaitu untuk mewadahi segala kepentingan politik setiap anggota
kaum yang terdapat di Madinah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 16 yang
menyebutkan: “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak
atas pertolongan dan santunan sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan
ditentang olehnya.”
Dengan adanya piagam tersebut, maka Madinah telah memenuhi unsur-unsur awal
untuk terbentuknya suatu negara. Yaitu dengan adanya wilayah tertentu yakni kota
Madinah, adanya rakyat yakni masyarakat Madinah, adanya pemerintahan yang
berdaulat yakni Nabi Muhammad SAW. 20 Dengan adanya piagam ini, maka kedaulatan
Tuhan yang bersifat teosentris mulai berlaku di seluruh penjuru Madinah. Berdasarkan
17 Ibid. hal. 41
18 Ibid.
19 Mahatma Hadhi et.al. Negara Islam Indonesia: Fakta Sejarah dan Perkembangannya, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Jakarta: Mei 2005, hlm. 22
20 Ibid.

7

Piagam Madinah dapat disimpulkan bahwa Negara Madinah menganut Teori Kedaulatan
Tuhan. Kesimpulan tersebut didapat karena kekuasaan Nabi Muhammad SAW dalam
menjalankan pemerintahan dan memimpin umatnya bersumber pada Allah SWT.21
Sa’id Hawwa, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin dari Suriah, dalam bukunya AlIslam menjelaskan bahwa pemerintahan Islam terbagi menjadi dua, yaitu Darul Islam
dan Darul Harb.22 Darul Islam ialah negeri yang diperintahkan dengan pemerintah
Islam dan dipimpin oleh kaum muslimin. Sedangkan Darul Harb ialah negeri yang tidak
tunduk pada pemerintahan Islam dan kaum muslimin. Dan tanah air muslim ialah Darul
Islam, dimanapun letaknya dan apapun rasnya, tetapi terikat dengan akidah yang
diimaninya.23
Adapun yang termasuk ke dalam golongan Darul Islam tersebut adalah:24
1. Darul ‘Adl, yaitu negera yang menegakkan Islam secara utuh dan memelihara
sunnah Rasulullah. Negara ini dikepalai oleh seorang Khalifah.
2. Darul Bahy, yaitu satu negara yang dikuasai para pemberontak terhadap Imam
yang hak, sekalipun diberlakukan hukum Islam.
3. Darul Bid’ah, yaitu negera yang dikuasai dan diperintah para ahli bid’ah dan
menegakkan bid’ahnya.
4. Darul Riddah, yaitu negara yang penduduknya telah murtad dan diperintah oleh
orang-orang murtad, atau yang semula muslimin, kemudian membatalkan
perjanjiannya secara sepihak serta menguasai negara tersebut.
5. Darul Maslubah, yaitu negara yang dirampas dan diduduki orang kafir, yang
pada mulanya negara tersebut bagian dari Darul Islam.
Sementara Darul Harb digolongkan menjadi dua, yaitu, Darul Harb yang mengikat
satu perjanjian, atau disebut juga Darul ‘Ahdi dan Darul Harb yang sama sekali tidak ada
ikatan perjanjian.25

2.2. Pandangan Islam Mengenai Demokrasi
21 Ibid.
22 Sa’id Hawwa, Al-Islam, penerj. Abu Ridho dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Al-I’tishom, 2011, hlm.
517-527
23 Ibid.
24 Ibid.
25 Ibid.

8

Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan bebas.26 Demokrasi adalah suatu sistem di mana warga negara
bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas.27
Ilmu politik membagi dua pemahaman terkait demokrasi yaitu pemahaman normatif
dan pemahaman empiris. Dalam pemahaman normatif, demokrasi diartikan sesuatu yang
secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya
“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dari pernyataan ini bisa
dinyatakan bahwa demokrasi dibangun di atas dua prinsip yaitu pemerintahan sendiri
dan penetapan atau pembuatan undang-undang secara langsung oleh rakyat.28 Sementara
dalam pemahaman empiris, biasanya menggunakan sejumlah indikator antara lain
seberapa banyak ruang gerak yang diberikan pemerintah kepada warga negara untuk
berpartisipasi. Warga negara atau rakyat (demos), dalam demokrasi selalu mendapatkan
perhatian, bahkan terfokus padanya. Oleh karena itu selalu ditekankan peranan warga
negara yang senyatanya dalam proses politik. 29 Oleh karena itu dalam demokrasi,
pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur
sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi: partai politik, organisasi dan
asosiasi. Namun diakui bahwa yang memiliki kemutlakan dan kedaulatan adalah
manusia atau rakyat.30
Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang
kebebasan, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah “pelembagaan”
dari kebebasan. Oleh karena itu wajar kalau dalam perkembangannya wacana demokrasi
terkait dengan persoalan kebebasan, misalnya saja hak asasi manusia, persamaan di
depan hukum, dan toleransi.31
Terdapat berbagai perdebatan mengenai kaitan antara Islam (agama) dengan
demokrasi. Di zaman modern, hubungan antara agama dan demokrasi terlihat
bertentangan dan konfliktual. Kedua konsep tersebut berbicara mengenai dua aspek yang
26 Diane Ravicth, What Is Democracy?, terjemahan Budi Pyaritno, Amerika: United States Information
Agency, 1991, hlm. 4.
27 Ibid. hlm. 5
28 Pierre Rosalvallon, “The History of the Word Democracy in France”, dalam Journal of Democracy, Volume
6.4 (1995), hlm. 140.
29 Afan Gafar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 6.
30 Ibid.
31 Ibid.

9

berbeda mengenai manusia. Agama adalah sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan
yang berkaitan dengan Sang Pencipta. Sehingga agama lebih metafisik dan memiliki
orientasi dan tujuan akhir berupa akhirat. Meskipun agama-agama memiliki perbedaan
dalam manifestasinya yang beragam, kebanyakan agama memiliki ciri tersebut.32
Sementara demokrasi bersifat duniawi, sekuler, dan egaliter tanpa memperhatikan
latar belakang agama, ras, atau kepercayaan politik, demokrasi menawarkan persamaan
hak dan perlakuan di depan hokum bagi seluruh warganegara tanpa diskriminasi. Tujuan
akhirnya diarahkan menuju pengelolaan urusan manusia tanpa kekerasan dalam rangka
menciptakan kehidupan yang lebih baik di dunia, bukan di akhirat. Perbedaan besarnya
adalah bahwa tidak seperti perintah agama, aturan-aturan demokrasi dapat diubah,
disesuaikan, dan diperbaiki.33
Ketegangan teoretis yang terjadi antara agama dan demokrasi yaitu dengan klaim
yang dilakukan oleh agama bahwa ia memiliki kebenaran universal. Kekakuan ideologis
yang sering dikaitkan dengan kepercayaan agama ini dipercaya menentang toleransi,
pluralism, dan kompromi, dan ketiganya merupakan aspek penting dalam demokrasi
liberal.34 Selain itu, agama bersifat eksklusif karena ia membangun batas-batas tak
terlampaui antara orang beriman dan tidak beriman. Di sisi lain, demokrasi bersifat
inklusif, egaliter, dan tidak membeda-bedakan. Kewarganegaraan tidak berdasarkan
ketaatan kepada Tuhan namun ditentukan oleh keanggotaan dalam sebuah masyarakat
politik.35
Adapun Islam memandang demokrasi terdapat tiga pemikiran yaitu menolak,
menerima, dan mengakomodasi. Aliran yang menolak konsep demokrasi yang
beranggapan bahwa antara Islam dan demokrasi tidak memiliki kesamaan. Para ulama
yang berpandangan demikian ialah Syaikh Fadlillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid
Qutb. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi
demokrasi, sehingga keduanya tidak dapat dipadukan.36
Aliran yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi
mengakui adanya perbedaan diwakili oleh Abu Ala Maududi di Pakistan dan Imam
32 Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal, Menuju Teori Demokrasi Dalam Masyarakat
Muslim, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Januari 2011, hal. 12
33 Ibid.
34 Ibid.hal. 14
35 Ibid.
36
Muhammad
Abduh,
Islam
dan
Demokrasi,
dikutip
dari
http://sumsel.kemenag.go.id/file/file/TULISAN/wcdu1333791877.pdf, diakses 30 Januari 2014

10

Khomenei di Iran. Maududi berpendapat bahwa ada kemiripan antara demokrasi dengan
Islam antara lain; keadilan, persamaan, musyawarah, tujuan negara, akuntabilitas
pemerintahan, dan hak-hak oposisi. Sementara Khomenei berpendapat bahwa demokrasi
Islam berbeda dengan demokrasi liberal. Khomenei meyakini bahwa kebebasan mesti
dibatasi dengan hokum dan kebebasan itu harus dilaksanakan di dalam batas hokum
Islam dan konstitusi dengan sebaik-baiknya.37
Terakhir yaitu aliran yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi yang
memandang bahwa sejatinya di dalam Islam sendiri sangat demokrastis karenanya Islam
menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Para pemikir aliran ini
antara lain Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi dari Tunisia,
dan Mehdi Bazargan dari Iran.38 Muhammad Husein Haikal berpendapat bahwa
demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam. Menurutnya, semua sistem yang tidak
berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang
ditetapkan dan diserukan Islam. Kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan
kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi samasama berorientasi kepada fitrah manusia.39 Haikal mendasarkan pikirannya kepada
prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad atau
kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah.
Prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki
oleh khalifah atau imam, prinsip ijma’, pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas
serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari
sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah.40

2.3. Wacana Khilafah Islamiyyah
Sementara demokrasi tengah gencar diperjuangkan dan ditegakkan oleh masyarakat
Muslim, terdapat pula kelompok Islamis yang justru menolak mentah-mentah konsep
demokrasi yang dinilai amat bertentangan dengan ajaran dan tradisi Islam. Kelompok ini
menawarkan sistem lain berupa sistem Khilafah yang hakikatnya telah ada jauh sebelum
konsep mengenai negara-bangsa dan demokrasi ala pemikiran Barat lahir.

37 Ibid.
38 Ibid.
39 Ibid.
40 Ibid.

11

Wacana mengenai penegakan kembali Khilafah Islamiyyah bermula ketika pada
1924, Mustafa Kemal Pasha yaitu Bapak Turki Modern, secara resmi menghapus
Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki, yaitu Khilafah Turki Utsmani. Penghapusan
tersebut mendapat dukungan dari Inggris dan berhasil membawa Turki menuju
peradaban yang berkiblat kepada sistem Barat. Kabar tersebut mengejutkan umat Islam
di seluruh dunia, dan segera setelah itu, diadakan pertemuan para ulama di Kairo, Mesir,
yang menghasilkan kesepakatan mengadakan Muktamar di Kairo pada 1925 dengan
mengundang wakil-wakil umat Islam di seluruh dunia. Dalam muktamar tersebut,
dibahas mengenai pengganti Khalifah yang akan memimpin Khilafah Islamiyyah
selanjutnya.41
Pada tahun 1953, sebuah organisasi politik Islam ideologis berskala internasional
bernama Hizbut Tahrir didirikan di Al-Quds, Palestina, oleh Taqiyyudin al-Nabhani
(1909-1977). Organisasi ini aktif memperjuangkan agar umat Islam kembali kepada
kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyyah. 42 Hizbut Tahrir kini telah
berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir,
Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda,
dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan,
Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.43
Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan
memberlakukan hukum-hukum Islam. Khilafah juga mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Khilafah merupakan
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukumhukum syara’.44 Sistem khilafah sangat berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan yang
lain, baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar
serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari
aspek undang-undang dasar yang diberlakukannya ataupun dari aspek bentuk yang
mengambarkan wujud negara. Misalnya bentuk pemerintahan monarki, republik,
kekaisaran ataupun federasi.45
41 Septian Anto Waginugroho, Respon Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah Islamiyah, dikutip
dari http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/04/respon-umat-islam-di-indonesia-atas-keruntuhan-khilafah-islamiyah/
diakses 30 Januari 2014
42 Dedi Slamet Riyadi, Skripsi: Analisis Terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir, Fakultas Syariah,
Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2008, hlm. 32.
43 Dikutip dari http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/ diakses 30 Januari 2014
44 Dedi Slamet Riyadi, Op.Cit. hlm. 39
45 Ibid.

12

Sistem khilafah berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara’, di
mana kedaulatannya di tangan syara’, bukan di tangan umat. Baik umat maupun khalifah
tidak berhak membuat aturan sendiri, karena yang berhak membuat aturan adalah Allah
SWT semata. Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk
dijadikan undang-undang dasar serta perundang-undangan.46 Di dalam sistem khilafah,
tidak terdapat masa jabatan tertentu. Batasannya adalah apakah khalifah masih
menerapkan hukum syara’ ataukah tidak. Selama khalifah masih melaksanakan hukum
syara’, maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang dan
apabila telah meninggalkan hukum syara’, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun
baru satu hari, atau harus diberhentikan. Pemberhentiannya dilakukan melalui keputusan
Mahkamah Madzalim.47
Dari beberapa paparan mengenai Khilafah Islamiyyah di atas, telah jelas bahwa
sistem tersebut berlawanan dengan sistem demokrasi yang banyak dianut oleh negaranegara saat ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa inti dari demokrasi adalah
kebebasan dan kedaulatan di tangan rakyat. Hal yang berbeda justru ditawarkan oleh
Khilafah Islamiyyah yaitu dengan landasan utama hukum syariah dan kedaulatan berada
mutlak di tangan dan hukum Tuhan.

2.4. Di Balik Romantisme Demokrasi dan Khilafah Islamiyyah
Pembahasan panjang lebar mengenai demokrasi dan Khilafah Islamiyyah
sebelumnya mungkin akan membawa kepada kebimbangan, yaitu menimbang-nimbang
sistem yang mana yang semestinya dijalankan, khususnya oleh masyarakat Muslim.
Meski telah dijelaskan mengenai nilai-nilai kedua sistem tersebut yang nampaknya
memang tepat jika disandingkan dengan agama, tetapi dalam sub-bab ini akan
disinggung pula beberapa fakta mengenai kelemahan-kelemahan dari keduanya.
Bagi kalangan anti-demokrasi, salah satunya adalah Hizbut Tahrir, sistem demokrasi
dinilai memiliki banyak kegagalan dan kecacatan. Kegagalan-kegagalan tersebut antara
lain krisis multidimensi termasuk krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, gagal
mewujudkan sistem pemerintahan yang mampu membuat kebijakan yang berpihak

46 Ibid., hlm. 40
47 Ibid., hlm. 41

13

kepada rakyat banyak.48 Sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis
mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Sehingga
muncul kebijakan elit politik yang lebih pro pemilik modal daripada pro rakyat.
Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap
merupakan penyakit kronis demokrasi.49
Turki dan Indonesia merupakan dua negera dengan mayoritas penduduk Muslim
yang seringkali dinilai sebagai negara demokratis. Namun faktanya, dua negeri itu gagal
dalam bidang ekonomi, kemandirian ekonomi, politik dan sistem sosial.50 Republik Turki
sekular yang berbasis ekonomi liberal memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
cukup signifikan di mana laju pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 8,9%.
Namun ironisnya, persentase pendudukTurki yang hidup di bawah garis kemiskinan
meningkat dari 17,79 %menjadi 18,08 %(12,75 juta orang) pada tahun 2008. 51
Pertumbuhan ekonomi meningkat namun angka kemiskinan juga meningkat, maka ini
menunjukkan adanya jurang kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin dalam. 52
Senada dengan kesenjangan ekonomi Turki, akumulasi kekayaan 10% orang terkaya
Indonesia merupakan 65,4% total kekayaan penduduknya. Sebanyak 2% penduduk
terkaya Indonesia menguasai 46% aset nasional.53
Sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan individu justru melahirkan sistem
sosial yang salah kaprah. Tingkat kriminalitas di negara-negara penganut demokrasi
meninggi. Indonesia, salah satunya, meski UU Pornografi telah disahkan, tetapi pada
kenyataannya degradasi moral terus terjadi. Sepanjang tahun 2011, terjadi lebih dari
3700 kasus pelecehan seksual di seluruh Indonesia.54
Bukan hanya kalangan Hizbut Tahrir yang mengecam kegagalan demokrasi. Karel
Beckman dan Frank Karsten menulis dalam Kegagalan Demokrasi bahwa demokrasi,
berbeda dengan kepercayaan yang populer, tidak mengarah pada kebebasan, peradaban,
kemakmuran, perdamaian, dan penegakan hukum, tetapi sebaliknya: hilangnya
kebebasan, konflik sosial, anggaran belanja negeri yang berlebihan, standar hidup yang
48
Muhammad
Sholahuddin,
Kegagalan
Demokrasi,
tahrir.or.id/2011/11/29/kegagalan-demokrasi/ diakses 31 Januari 2014
49 Ibid.
50 Ibid.
51 Ibid.
52 Ibid.
53 Ibid.
54 Ibid.

dikutip

dari

http://hizbut-

14

lebih rendah dan sabotase hak-hak individu. 55 Pada kenyataanya, kritik terhadap ide
demokrasi tabu atau dilarang secara moral di kalangan masyarakat Barat. Kritik
diperbolehkan dan dibatasi tentang bagaimana cara demokrasi dipraktekkan, atau
bagaimana pemimpin politik atau partai politik yang sedang menjabat, tetapi cita-cita
demokrasi itu sendiri tidak dikritisi.56 Pada kenyataannya pula demokrasi justru
terpenjara dalam wacana kebebasannya sendiri. Demokrasi tidak serta merta berarti
kebebasan, justru merupakan cabang lain dari kediktatoran. 57 Beckman dan Kartsen
menyatakan bahwa sistem alternative adalah kebebasan dengan pengumpulan keputusan
secara individu, yaitu sistem politik yang berdasarkan pada penentuan nasib sendiri
secara individu, yang dicirikan oleh desentralisasi, pemerintahan daerah dan keragaman.
Sementara Hizbut Tahrir tetap menyatakan bahwa sistem alternative ialah penegakan
khilafah dan syariat Islam.
Berlawanan dengan itu, Farag Fouda, seorang sekularis Mesir, membeberkan faktafakta sejarah tentang Khilafah Islamiyyah yang “jauh” dari Islam. Meski tulisan Fouda
dikecam oleh kalangan Islamis di Mesir (terutama Jama’ah Islamiyyah), tetapi tidak ada
salahnya bila melihat wacana ini dari sudut kacamata yang berbeda. Menurut Fouda,
khilafah dalam sejarahnya tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung
agama.58 Fouda memang menganut prinsip pemisahan politik dengan agama hal itu agar
agama terhindar dari manipulasi politisi dan pemerintahan terlaksana tanpa beban
partikularisme keagamaan.59
Bagi para pemuja khilafah, penegakan Khilafah Islamiyyah sebagai suatu bentuk
penegakan kembali kegemilangan khilafah di masa lalu, yaitu di masa KhulafaurRasyidin dan sesudahnya. Hal ini kemudian dibantah oleh Fouda, bahwa yang terjadi di
masa Khulafaur-Rasyidin adalah zaman yang biasa, meski tidak memungkiri bahwa
syariat Islam ditegakkan dengan penuh saat itu. Fouda justru menegaskan bahwa banyak
“kecelakaan” terjadi pada masa itu. Tiga dari empat Khulafur-Rasyidin wafat karena
pembunuhan politik yang terjadi di tengah perang saudara di kalangan pengikut nabi. 60
Pun dengan khilafah-khilafah yang berdiri pasca Khulafaur-Rasyidin, penegakannya tak
55 Frank Karsten dan Karel Beckman, Kegagalan Demokrasi, dikutip dalam kata pengantarnya
http://kegagalandemokrasi.com/ diakses 31 Januari 2014
56 Ibid.
57 Ibid.
58 Samsu Rizal Panggabean, Farag Fouda dan Jalan Menuju Toleransi, dalam Farag Fouda, Al-Haqiqah alGhaybah, penerj. Novriantoni, Kebenaran yang Hilang, Jakarta: Dian Rakyat, 2008.
59 Ibid.
60 Ibid.

15

lepas dari konflik saudara sesama Muslim, sebagian khalifah yang memerintah pun tak
semuanya berpegang teguh pada syariat Islam, hal yang terjadi justru pemerintahan yang
korup dan dzalim.61
Hal ini yang kemudian disinggung oleh Abd Moqsith Ghazali, yang menyatakan
bahwa Khilafah Islamiyyah adalah absurd untuk dilaksanakan. Hal itu disebabkan
pertama, tidak mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat
Islam yang menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh
Hizbut Tahrir adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum
tentu diamini oleh para ulama yang lain.62 Kedua, khilafah tidak memiliki kisah sukses
yang memadai, justru ia gagal di tengah uji cobanya yang pertama. Sejarah telah banyak
menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Empat
Khulafaur-Rasyidin, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi
Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan.63 Ketiga, penegakan
khilafah

merupakan

wadah

untuk

memformalisasikan

syariat

Islam,

Tetapi

dipertanyakan yaitu bentuk syariat yang bagaimana. Mengutip pernyataan Ibn Aqil
bahwa al-din wahid wa al-syari’atu mukhtalifah (agama satu dan syariat beragam), maka
memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang
lain.64
Mahmoud Ayoub, dalam The Crisis of Muslim History menuliskan sejak hari pertama
Nabi Muhammad wafat, persaingan dan perselisihan politik di kalangan para sahabatnya
telah dimulai.65 Pasca Khulafaur-Rasyidin, terjadi perubahan yang sangat mendasar
dalam sistem kekuasaan. Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah (zaman kegemilangan
peradaban Islam) mengembangkan sistem dinasti, dimana kekuasaan diwariskan
menurut garis keluarga, secara turun-temurun dalam lingkaran dinasti. Tak jarang
disertai pertumpahan darah di antara sesama saudara sendiri, seperti kasus Al-Ma’mun
dan Al-Amin, para ahli waris Sultan Harun al-Rasyid. 66 Khilafah dianggap merupakan
sistem politik baku, tunggal, dan menyatukan umat Islam seluruh dunia. Tetapi sejarah
61 Ibid.
62Abd Moqsith Ghazali, Absurditas Khilafah Islamiyyah, dikutip dari http://islamlib.com/?
site=1&aid=928&cat=content&cid=13&title=absurditas-khilafah-islamiyah diakses 31 Januari 2014
63 Ibid.
64 Ibid.
65 M. Kodim, Khilafah Islamiyah: Mimpi Besar yang Tak Mendasar, 25 Maret 2008, dikutip dari
http://www.desantara.or.id/03-2008/965/khilafah-islamiyah-mimpi-besar-yang-tak-mendasar/ diakses 31 Januari
2014
66 Ibid.

16

mencatat, Dinasti Umayyah di Spanyol, Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan Dinasti
Abbashiyah di Bagdad tidak hanya merupakan tiga kekuasaan terpisah yang pernah
berdiri satu zaman, tapi juga berperang satu sama lain.67

2.5. Sistem Pemerintahan Ideal: Sebuah Analisa
Dengan melihat kembali penjabaran-penjabaran tentang sistem pemerintahan yang
telah, banyak, dan sedang dilalui oleh masyarakat Muslim, perlu kiranya memahami
kembali apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Muslim saat ini, sesuai dengan zaman
yang berlaku. Model negara Islam (darul Islam) yang diterapkan di masa
kepemerintahan Nabi Muhammad SAW di Madinah pada hakikatnya tidak bertentangan
dengan dua sistem setelahnya yang menjadi perdebatan dan topik utama dalam
penelitian ini, yaitu sistem demokrasi dan Khilafah Islamiyyah. Piagam Madinah, yang
menjadi konstitusi pertama di dunia Islam, sangat sarat akan makna-makna dan nilainilai yang demokratis. Hubungan kemasyarakatan yang terbina di Negara Madinah
bukan hanya semata-mata urusan yang bersifat transendental, atau melulu urusan agama.
Banyak pula terjadi hubungan yang sifatnya sosial dan politis, terutama yang
menyangkut hubungan dunia.
Nilai-nilai yang dikedepankan oleh Nabi Muhammad SAW sangat mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan, contohnya toleransi beragama yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad dengan aturan-aturan yang cukup adil di kalangan umat beragama di
Madinah. Tetapi, di sisi lain, Nabi Muhammad meletakkan dasar hukumnya pada AlQur’an, yang bersumber kepada Allah.
Yang kini banyak diperdebatkan ialah sistem yang ideal antara demokrasi dan
khilafah, dan keduanya saling mengaitkan kepada sistem yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad di Madinah. Kaum demokrat Islam, (di luar demokrat yang sekuler dan
liberal), meski mengakui bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (baca: manusia),
tetapi mengamini bahwa di masa pemerintahan Nabi Muhammad terdapat nilai-nilai
yang kini dikenal sebagai bagian dari demokrasi. Meski tidak berarti menyatakan bahwa
Islam murni demokratis dan demokrasi itu sesungguhnya datang dari Islam (karena
darul Islam Madinah telah ada berabad-abad sebelum negara-bangsa lahir di Barat).

67 Ibid.

17

Sistem demokrasi yang berlaku saat ini, tidak dipungkiri adalah sistem yang
diterapkan (dan lahir) di Barat. Boleh jadi pada kenyataannya kelahiran sistem tersebut
tidak lepas dari peran bangsa-bangsa terdahulu, seperti telah lahir di zaman Yunani
Kuno, dari buah pemikiran para filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan Socrates.
Berkembangnya demokrasi hingga saat ini tentu mengalami banyak evolusi meskipun
hal utama yang dijunjung tetap dari maknanya: rakyat yang berkuasa. Keberlangsungan
demokrasi yang berumur panjang tidak lepas dari kemerdekaan bangsa-bangsa yang
terjajah di era kolonial. Sebagai sebuah negara baru, negara yang merdeka tersebut
hendak menentukan nasib bangsanya sendiri, salah satunya dengan memilih sistem
demokrasi yang dinilai pada saat itu merupakan sistem yang paling tepat dan dapat
menjadi jawaban (meskipun banyak fenomena pemerintahan diktator pada negara yang
mengaku demokrasi). Mengutip pernyataan Hans Kelsen mengenai demokrasi, bahwa
sejatinya demokrasi tidak bisa disamaratakan konsep dan maknanya di negara-negara
dunia, hal itu karena budaya politik lokal yang cenderung berbeda. Tetapi Kelsen
menekankan bahwa kebebasan dan kompromi merupakan kunci utama dalam meraih
kesejahteraan demokrasi.
Karena faktor budaya politik yang berbeda itu, serta dampak dari kolonialisme,
negara-negara baru condong memilih sistem demokrasi untuk diterapkan dalam sistem
sosial politik di negaranya, tak lepas dengan negara-negara dengan mayoritas penduduk
Muslim. Demokrasi masih dianggap menjadi kebutuhan yang selaras dengan zaman
sekarang.
Sementara kehendak para pendukung khilafah untuk kembali menyatukan umat
Islam, masih dirasa menjadi kehendak yang utopis. Dengan tidak bermaksud melakukan
supremasi demokrasi atas wacana khilafah, akan tetapi akan sangat sulit untuk
ditegakkan mengingat masyarakat Muslim yang telah tersebar di seluruh dunia, di
berbagai negara yang memiliki konstitusi dan kedaulatan, sehingga wacana tersebut
tidak dapat dipungkiri akan melahirkan perpecahan dan konflik yang panjang.
Penegakan khilafah, mengutip teori negara Al-Farabi, memang akan dimulai dengan
penegakan sebuah sistem pemerintahan yang benar-benar baru, dan bukan sebagai
sekadar solusi untuk perbaikan sistem politik. Dengan begitu, ia akan sangat
bersinggungan dengan sistem negara-bangsa. Pokok dari khilafah ialah masyarakat
Muslim di bawah kepemimpinan tunggal, dengan hukum Tuhan sebagai kedaulatannya.
Namun, bila melihat kembali fakta-fakta sejarah, kepemimpinan tunggal justru menjadi
18

paradoks tersendiri. Bilakah Khilafah Islamiyyah benar-benar ditegakkan tanpa
kehendak politis, sementara sejarah mencatat bahwa kecacatan-kecacatan era khilafah
terdahulu justru seringkali datang dari para pembesarnya? Dapatkah Khilafah Islamiyyah
kembali ditegakkan tanpa terulang kembali masa-masa kelam mengenai perebutan
kekuasaan dan berdirinya tiga khilafah dalam satu zaman yang tentu bertentangan
dengan ide khilafah itu sendiri?
Bukan berarti dalam hal ini penulis merasa apatis akan wacana Khilafah Islamiyyah
yang sedang diusungkan. Justru karena perasaan tertarik akan isu ini, penulis tidak ingin
hanya terjebak dengan romantisme khilafah masa lalu, tanpa mengenal kelemahan dan
kealpaannya dalam fakta sejarah. Dan bukan pula demokrasi tanpa cacat, justru penulis
pun mengamini pernyataan Hizbut Tahrir akan “negara-negara boneka demokrasi” akibat
merebaknya isu kapitalisme yang mengancam rakyat-rakyat di negara demokratis.
Sebagai seorang Muslim, tentu sangat berangan untuk hidup di sebuah masyarakat
politik yang ideal. Ideal dalam artian dapat hidup selaras bersama-sama dengan
kelompok masyarakat lain. Bagi penulis, wacana Khilafah Islamiyyah bukan tidak
mungkin diwujudkan, jikalau telah jelas dan dapat dipastikan sejarah yang kelam tidak
akan terulang. Sementara itu, penulis menghargai kebebasan dengan syarat kebebasan
tersebut memiliki batasan-batasan yang jelas, sehingga kebebasan tersebut (baca:
demokrasi) tidak menjadi kebablasan. Dengan kembali kepada kasus negara-negara
dengan mayoritas penduduk Muslim di Timur Tengah sedang mengupayakan penegakan
demokrasi, maka sistem ini masih menjadi kebutuhan di tengah masyarakat luas,
khususnya masyarakat Muslim. Tetapi, untuk menghindari kecacatan demokrasi yang
tengah banyak terjadi saat ini, perlu kiranya bagi masyarakat Muslim untuk melihat dan
meninjau kembali model demokrasi seperti apa yang paling tepat untuk diterapkan.
Negara dengan sistem demokrasi yang menyerap nilai-nilai Hans Kelsen, atau menjadi
negara utama seperti yang dipaparkan Al-Farabi, atau bahkan dengan konsep yang
diterapkan oleh negara Madinah.
BAB III
KESIMPULAN

19

Wacana demokrasi dan Khilafah Islamiyyah dan perdebatan di antara keduanya
memang cenderung pelik. Masing-masing mengunggulkan sebagai pemenang, dengan cara
saling melihat kelemahan satu sama lain. Demokrasi, yang dituntut oleh banyak masyarakat
Timur Tengah (yang mayoritas Muslim) sebagai satu-satunya alternative untuk keluar dari
kungkungan penguasa diktator. Namun, pada kenyataannya, demokrasi tidak sesempurna
yang diharapkan. Banyak permasalahan-permasalahan yang ditujukan sebagai kegagalan
sistem demokrasi.
Sementara itu, wacana penegakan kembali Khilafah Islamiyyah oleh para
pendukungnya yang banyak dikenal tergabung dalam Hizbut Tahrir, menyerukan bahwa satusatunya alternative dari pemerintahan yang bobrok adalah dengan cara penegakan khilafah.
Dengan kata lain, Khilafah Islamiyyah dan syariat Islam sebagai satu-satunya solusi.
Di balik romantisme yang ditawarkan keduanya, masing-masing memiliki kelemahankelemahan yang tidak dapat dipungkiri sebab fakta dan sejarah yang telah berbicara.
Demokrasi belum berhasil menjadi suatu solusi yang paling baik dan khilafah masih terjebak
dalam paradoks yang diciptakannya sendiri. Dalam demokrasi, kebebasan yang menjadi salah
satu jargon utamanya juga banyak yang terjerembab sehingga salah kaprah. Dan khilafah pun
masih

banyak

dinilai

sebagai

menegakkan

kembali

kegemilangan

masa

lalu,

mengenyampingkan nilai-nilai yang keluar dari konsep utamanya justru di uji coba khilafah
yang pertama di masa lalu.
Disebabkan oleh hasrat dan keinginan masyarakat Muslim untuk dapat hidup dengan
damai di sebuah sistem pemerintahan yang ideal, satu-satunya jalan yang paling mungkin
untuk diterapkan untuk jangka sekarang ialah kembali meninjau dan memperbaiki kesalahankesalahan yang terjadi saat ini. Sistem demokrasi masih dibutuhkan, dengan begitu jalan
keluar adalah memperbaiki kecacatan demokrasi dengan kebutuhan kolektif masyarakat
Muslim, yang kembali diserahkan menurut budaya politiknya masing-masing. Sementara
penegakan Khilafah Islamiyyah adalah mungkin, tetapi tidak akan segera menjawab
permasalahan-permasalahan kontemporer. Justru penegakan sistem tersebut dapat berdampak
pada perpecahan yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur

20

Afan Gafar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000
Dedi Slamet Riyadi, Skripsi: Analisis Terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir,
Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2008
Diane Ravicth, What Is Democracy?, terjemahan Budi Pyaritno, Amerika: United States
Information Agency, 1991
Farag Fouda, Al-Haqiqah al-Ghaybah, penerj. Novriantoni, Kebenaran yang Hilang, Jakarta:
Dian Rakyat, 2008.
HM. Thalhah, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan, Perspektif Pemikiran Hans
Kelsen, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16, Juli 2009, Universitas Islam Indonesia
Ibn Hisyam, Sirah al-Nabi, Juz II, Beirut: Darul Fikri
M. Yakub, Piagam Madinah: Acuan Dasar Negara Islam, Analytica Islamia, Vol. 6 No. 2,
2004
Mahatma Hadhi et.al. Negara Islam Indonesia: Fakta Sejarah dan Perkembangannya,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta: Mei 2005
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, edisi 5, Jakarta: UI
Press, 1993
Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal, Menuju Teori Demokrasi
Dalam Masyarakat Muslim, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Januari 2011
Pierre Rosalvallon, “The History of the Word Democracy in France”, dalam Journal of
Democracy, Volume 6.4 (1995)
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State: Abu Nasr Al-Farabi’s Mabadi Ara’ Ahl AlMadinah Al-Fadhilah, New York: Oxford University Press, 1985
Sa’id Hawwa, Al-Islam, penerj. Abu Ridho dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: AlI’tishom, 2011

Database Online
21

Abd Moqsith Ghazali, Absurditas Khilafah Islamiyyah, dikutip dari http://islamlib.com/?
site=1&aid=928&cat=content&cid=13&title=absurditas-khilafah-islamiyah

diakses

31

Januari 2014
Frank Karsten dan Karel Beckman, Kegagalan Demokrasi, dikutip dalam kata pengantarnya
http://kegagalandemokrasi.com/ diakses 31 Januari 2014
M. Kodim, Khilafah Islamiyah: Mimpi Besar yang Tak Mendasar, 25 Maret 2008, dikutip
dari

http://www.desantara.or.id/03-2008/965/khilafah-islamiyah-mimpi-besar-yang-tak-

mendasar/ diakses 31 Januari 2014
Muhammad

Abduh,

Islam

dan

Demokrasi,

dikutip

dari

http://sumsel.kemenag.go.id/file/file/TULISAN/wcdu1333791877.pdf, diakses 30 Januari
2014
Muhammad

Sholahuddin,

Kegagalan

Demokrasi,

dikutip

dari

http://hizbut-

tahrir.or.id/2011/11/29/kegagalan-demokrasi/ diakses 31 Januari 2014
Septian Anto Waginugroho, Respon Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah
Islamiyah, dikutip dari http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/04/respon-umat-islam-di-indonesiaatas-keruntuhan-khilafah-islamiyah/ diakses 30 Januari 2014

22