PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PEMERINTAH DAERAH KABUPATENKOTA DI INDONESIA

PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA

   SYURMITA Universitas Al Azhar Indonesia

  Abstract This study aims to predicted financial distress condition of local governments in Indonesia. “Financial distress” in the private sector has been equated with failure to meet financial commitments, but in this research “financial distress” is interpreted as aninability to provide public service facilities at satisfactory levels.Severalindicatorsare usedto predictfinancial distress i.e composition ofrevenues, financialcommitments, population, andsplittingphenomenonafter the autonomy era. 100 sampel local governments (Kabupaten/Kota) were randomly and proportionally selected from The Audit Board of The Republic of Indonesia (BPK-RI) and The Ministry of Domestic Affair’s data.Logistic regression analysis used in this research.The research findings showed thatfinancial distress ware statistically significant associated withthedegree of financial independency (sig.0,027),the degree ofdecentralization (sig.0,024), size ofpopulation (sig. 0,004), and local government’s age (sig. 0,005 ).

  Key words: financial distress, local government, decentralization,autonomy era, public sector

  Abstrak Penelitian ini bertujuanuntuk memprediksi kondisi kesulitan keuangan (financial distress) di Indonesia. Dimana, financial distress pada sektor swasta diartikan sebagai kegagalan dalam memenuhi komitmen keuangan, sedangkan pada penelitian ini financial distress diinterpretasikan sebagai ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas pelayanan publik pada level yang layak.Beberapa indikator digunakan untuk memprediksi terjadinya financial distress, yaitu komposisi pendapatan, komitmen keuangan, populasi penduduk, dan fenomena pemekaran yang terjadi di Indonesia. 100 sampel pemerintah daerah Kabupaten/Kota dipilih secara acak dan proporsional dari data Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indoneisa (BPK- RI) dan Kementrian Dalam Negeri. Analisis regresi logistik digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prediksi financial distress pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Indonesia secara singnifikan dipengaruhi oleh tingkat kemandirian daerah (sig.0,027), derajat desentralisasi (sig.0,024), populasi penduduk (sig.0,004), dan pemekaran wilayah (sig.0,005) Kata kunci: Financial Distress, Kemandirian, Desentralisasi, Solvabilitas, Pemekaran Wilayah

1. Pendahuluan

  Setelah lebih dari satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, keberhasilan program ini mulai banyak dipertanyakan. Otonomi daerah yang tadinya diharapkan mampu memperbaiki masalah ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, justru menimbulkan masalah baru akibat penyalahgunaan wewenang yang telah diberikan pemerintah pusat kepada daerah. Adanya temuan lembaga independen yang ikut mengawasi pelaksanaan otonomi daerah juga telah menyebutkan bahwa kini kondisi keuangan daerah cenderung kritis dan mengkhawatirkan.

  FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi) menyebutkan pada tahun 2012 terdapat 291 pemerintah daerah yang memproyeksikan belanja pegawai lebih dari 50 persen, yang artinya sisa anggaran yang masih tersedia untuk belanja program dalam rangka memenuhi pelayanan publik hanya sebesar 9 persen sampai 14 persen ).Perilaku boros pemerintah daerah yang menguras separuh lebih anggarannya hanya untuk belanja pegawai dikhawatirkan akan mengantarkan pemerintah daerah pada kondisi kebangkrutan. Pembiaran terjadinya rekruitmen pegawai secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah akan berdampak pada berkurangnya dana untuk membangun fasilitas publik, percepatan pembangunan daerah, penciptaan pelayanan yang berkualitas, dan pemerataan kesejahteran masyarakat, sebagaimana yang telah diamanahkan dalam kebijakan otonomi daerah.

  Pada sektor swasta financial distress didefinisikan sebagai kegagalan untuk memenuhi komitmen keuangan, berupa ketidaksanggupan melunasi pinjaman, kegagalan membayar dividen (atau bahkan pengurangan jumlah pembayaran dividen), kekurangan modal kerja, dan ketidakcukupan dana untuk membayar sejumlah biaya perusahaan (Foster, 1986; Lau, 1987; Ward, 1994; Jones and Hensher, 2004, Luo and Yu, 2011). Pada sektor publik, Jones dan Walker (2007) mendefinisikan financial distress sebagai ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik sesuai standar mutu pelayanan yang telah ditetapkan. Ketidakmampuan ini dikarenakan pemerintah tidak memiliki kecukupan dana untuk membangun infrastruktur pelayanan publik, seperti jalan, jembatan, saluran irigasi dan fasilitas publik lainnya.

  Beberapa penelitian terdahulu telah mengembangkan indikator untuk memprediksi . Pada sektor swasta, rasio-rasio keuangan digunakan untuk memprediksi

  financial distress

  ketidakpastian atau kepailitan sebuah perusahaan (Platt and Platt, 2002; Jones and Hensher, 2004, Luo and Yu, 2011). Pada sektor pemerintahan, Jones dan Walker (2007)

  Australia, yaitu indikator keuangan dan non-keuangan. Indikator keuangan terdiri dari: (1) besaran dana yang dialokasikan untuk membangun infrastruktur pelayan publik dan (2) rasio-rasio kinerja keuangan, sedangkan indikator non keuangan terdiri dari: (1) karakteristik dewan dan (2) kualitas pelayan publik.

  Penelitian ini bertujuan untuk prediksi financial distress dengan menggunakan indikator keuangan dan non-keuangan. Indikator keuangan yang digunakan meliputi komposisi pendapatan dan komitmen utang, sedangkan indikator non-keuangan meliputi kondisi sosial-ekonomi dan fenomena pemekaran yang terjadi di Indonesia. Derajat desentralisasi dan kemandirian keuangan digunakan untuk melihat kondisi pendapatan pemerintah daerah. Populasi penduduk digunakan untuk melihat kondisi sosial-ekonomi pemerintah daerah (sebagai ukuran pembayaran transfer). Penentuan indikator-indikator tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan teori dan kondisi yang terjadi di Indonesia.

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Kajian Teori

  2.1.1. Otonomi Daerah

  Pelaksanaan otonomi daerahdi Indonesia sudah diselenggarakan lebih dari satu dasawarsa. Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Pelaksanaan otonomi daerahdi Indonesia tersebut telah mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang.Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini terutama disebabkan karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan kewenangan yang pada awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi urusan pemerintahan daerah masing-masing.

  2.1.2. Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

  Bab V UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara mengatur tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, serta pemerintah/ lembaga asing. Sementara itu, Bab VI UU No.17 Tahun 2003 mengatur tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, serta badan pengelola dana masyarakat. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah terjadi dalam bentuk: a.

  Pengalokasian transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasil pajak dan dana bagi hasil sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian b. Pemberian pinjaman dan/atau hibah oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sebaliknya dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat c.

  Pemberian Pinjaman/hibah/penyertaan modal oleh pemerintah pusat kepada perusahaan daerah atau sebaliknya pemberian pinjaman/hibah oleh perusahaan daerah kepada pemerintah pusat d. Pemberian pinjaman/hibah oleh perusahaan negara kepada pemerintah daerah.

2.1.3. Financial distress

  Financial distress atau “kesulitan keuangan” pada sektor swasta didefinisikan

  sebagai kegagalan untuk memenuhi komitmen keuangan, berupa ketidaksanggupan melunasi pinjaman, kegagalan membayar dividen (atau bahkan pengurangan jumlah pembayaran dividen), kekurangan modal kerja, dan ketidakcukupan dana untuk membayar sejumlah biaya perusahaan (Foster, 1986; Lau, 1987; Ward, 1994; Jones and Hensher, 2004, Luo and Yu, 2011). Pada sektor publik, Jones dan Walker (2007) mendefinisikan

  

financial distress sebagai ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan

  publik sesuai standar mutu pelayanan yang telah ditetapkan. Ketidakmampuan ini dikarenakan pemerintah tidak memiliki kecukupan dana untuk membangun infrastruktur pelayanan publik, seperti jalan, jembatan dan fasilitas publik lainnya.Pada pemerintah daerah, Financial Distress ditandai dengan tidak terkendalinya pengeluaran yang dilakukan untuk belanja rutin, sehingga pemerintah daerah menekanpengeluaran untuk belanja modal atau belanja investasi.

2.2. Pengembangan Hipotesis

2.2.1. Pengaruh Kemandirian Keuangan terhadap Prediksi Financial Distress

  Teori ketergantungan sumber daya menjelaskan mengenai hubungan antar organisasi. Sebuahorganisasi dipandangmemiliki sifat sepertimakhluk hidup(organisme) yang survavilitasnya akantergantung pada lingkungan. Organisasi mengambil sumber daya menguasai sumber daya vital atau bisa mengurangi ketidakpastian dalam hubungannya dengan organisasi lain akan memiliki kekuatan (power) yang paling besar (Peffer dan Salancik, 1978 dalam Gudono, 2009).

  Padapemerintah daerah, kekuatan (power) sumber daya keuangan dapat tercermin dari besarnya pendapatan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah tersebut. Menurut Undang- Undang, Pemerintah daerah memiliki tiga komponen sumber pendapatan, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Pendapatan Lain- Lain.Pemerintah daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah rendah akanmembutuhkan dana dari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, sumber dana tersebut diantaranya dapat berasal dari dana transfer pemerintah pusat/provinsi (dana perimbangan).

  Sesuai pandangan teori ketergantungan sumber daya, pemerintah daerah yang memiliki kemandirian sumber daya keuanganakan memiliki kekuatan untuk survive dan terhindar dari financial distress. Kemandirian keuangan juga telah digunakan oleh peneliti terdahulu sebagai indikator dalam menilai kinerja keuangan pemerintah (Cheng, 1992; Christiaens, 1999; Christiaens dan Pateghem, 2007). Kloha, Weissert, dan Kleine (2005)

  Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Kemandirian keuangan pemerintah daerah berpengaruhnegatif terhadap prediksi Financial distress .

2.2.1. Pengaruh Derajat Desentralisasi terhadap Prediksi Financial Distress

  Teori ketergantungan sumber daya menjelaskan bahwa organisasi adalah konsekwensi dari kemampuan mereka mempengaruhi, sehingga organisasi yang hidupnya tergantung pada subsidi pemerintah biasanya akan cenderung lebih taat pada perintah (aturan) pemerintah (Pfeffer dan Salancik, 1978 dalam Gudono, 2009). Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah akan bergantung pada transfer dana pemerintah pusat/provinsi, agar dapat mendanai program-programnya. Sedangkan Kabupaten/Kota yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi dapat menyelenggarakan desentralisasi dengan mengandalkan pendapatan asli daerah lebih banyak, disamping dana transfer (perimbangan).

  Jones dan Walker (2007) meneliti financial distress pada pemerintah lokal di negara bagian Australia (New South Wales). Hasil temuannya menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki ketergantungan terhadap dana pemerintah federal diprediksi mengalami financial distress. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Kontribusi pendapatan asli daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi berpengaruh positif terhadap prediksi financial distress.

  2.2.3. Pengaruh Rasio Solvabilitas terhadap Prediksi Financial Distress

  Ketersediaan sumber daya untuk melunasi hutang merupakan sinyal kemampuan organisasi dalam memenuhi komitmen keuangan. Beberapa penelitian terdahulu, baik di sektor bisnis maupun sektor publik, menggunakan hutang sebagai indikator financial distress. Monti dan Garcia (2010) menggunakan debt turnover ratio, non current debt

  

ratio, debt coverage dan liabilities (average)untuk memprediksi financial distress jangka

  pendekperusahaan-perusahaan di Argentina. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut berpengaruh signifikan dalam memprediksi financial distress.

  Wibowo dan Samekto (2013) menggunakan Current Liability ratio, dan Debt to Revenue ratio sebagai informasi akuntansi relevan dalam mengukur Financial distress pemerintah daerah di Jawa Timur. Penelitiannya menghasilkanadanya hubungan yang cukup kuat dan searah antara ketiga variabel tersebut dengan financial distress.Sutaryo, dkk (2010) menggunakan Current Liability Government Wealth, Current Liabilities, Long

  

Term Debt to Total Asset, dan Debt to Revenue sebagai nilai relevan informasi laporan

  keuangan terkait financial distress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara variabel-variabel tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Kemampuan pemerintah daerah dalam melunasi kewajibannya berpengaruh positif terhadap financial distress.

  2.2.3. Pengaruh Kompleksitas terhadap Prediksi Financial Distress

  Organisasi yang kompleks akan dilengkapi dengan sistem informasi yang lebih canggih (sophisticated) dibanding organisasi sederhana (kecil). Pada organisasi yang kompleks terdapat sistem informasi yang efektif untuk menjamin ketersediaan informasi dan mengurangi kos informasi per unit. Sistem informasi yang efektif akan diperlukan pada organisasi yang kompleks untuk mengawasi ketercapaian tujuan organisasi (Hossain, 2008).

  Kompleksitas pada riset akutansi pemerintahan diukur dengan menggunakan proksi Austin, 1986; Evans dan Patton, 1987; Cheng, 1992; Christiaens, 1999; Christiaens dan Pateghem, 2007). Populasi dianggap sebagai ukuran pembayaran transfer pemerintah berkaitan dengan jumlah sumber daya yang mungkin dapat disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (agen). Jadi kota dengan populasi yang lebih besar diperkirakan akan menghasilkan kinerja yang lebih baik karena lebih banyak sumber daya yang dipertaruhkan (Evans dan Patton, 1987).

  Christiaens (1999) dan Christiaens dan Pateghem (2007) menemukan bahwa kota besar dengan jumlah penduduk yang lebih banyak memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik terhadap prinsip akuntansi. Penelitian ini juga menduga bahwa semakin banyak populasi penduduk yang dimiliki sebuah Kabupaten/Kota, maka probabilitas mengalami financial distress akan semakin kecil dikarena populasi penduduk menggambarkan besaran transfer (sumber daya) yang dimiliki pemerintah (Evans dan Patton, 1987). Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Kompleksitas pemerintahan berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.2.5. Pengaruh Pemekaran Wilayah terhadap Financial Distress

  Pelaksanaan otonomi daerah yang berlangsung sejak tahun 1999 memberikan aspek penting terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah. Salah satu tujuan pemekaran atau penggabungan wilayah adalah untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan berdemokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara lebih baik sebagai warga negara.

  Namun, pemekaran dan penggabungan wilayah diduga akan berpengaruh terhadap probabilitas pemerintah daerah mengalami financial distress. Pemerintah dearah yang sudah lama terbentuk (tidak mengalami pemekaran), sudah memiliki pengalaman dalam menjalankan kegiatan pemerintahan, sehingga diduga akan terhindar dari financial distress. Sebaliknya, pemerintah daerah yang baru terbentuk (hasil pemekaran),belum memiliki cukup pengalaman dalam pemerintahan sehingga memiliki kinerja yang lebih buruk dan berisiko mengalami financial distress.

  Amitabh (2006)menggunakan umur (pengalaman) sebagai indikator dalam menilai kinerja pelaporan keuangan institusi pemerintah. Hasil temuannya menunjukkan bahwa pertumbuhan umur institusi pemerintah akan meningkatkan kinerja dan pengalaman organisasi dalam menjelaskan variasi dalam praktik akuntansi dan pelaporan keuangan. Umur organisasi diketahui berpengaruh terhadapi kinerja pelaporan keuangan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Umur pemerintahan berpengaruh positif terhadap financial distress.

3. METODE PENELITIAN

  3.1. Objek Penelitian

  Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Pemerintah Provinsi dikecualikan dari populasi dengan pertimbangan adanya ketidaksetaraan wewenang dan sifat hubungan antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik probabilitas yaitu dilakukan secara acak (random) tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Penyampelan acak dilakukan dengan tujuan agar dapat mengeneralisir kondisi seluruh pemerintah daerah kabupaten dan kota di Indonesia. Proses pengambilan sampel secara acak dilakukan dengan bantuan software statistik SPSS versi 19.

  3.2. Teknik Pengumpulan Data

  Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa dokumen dan catatan yang dikumpulkan oleh peneliti melalui pihak perantara, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari keuangan dan non keuangan. Data keuangan yang digunakan bersumber dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan data non keuangan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data populasi penduduk dan data pemekaran daerah yang bersumber dari dokumen dan catatan Kementrian Dalam Negeri.

  3.3. Operasionalisasi Variabel Penelitian

  Pada penelitian ini terdapat 6 (enam) variabel yang akan diujikan, yaitu satu variabel dependent (terikat) Financial distress (Y), serta 5 (lima) variabel independent (bebas) yaitu: Kemandirian Keuangan (X

  1 ), derajat desentralisasi (X 2 ), Solvabilitas (X 3 ), populasi penduduk (X ), dan Pemekaran wilayan (X ).

  4

  5

   Kemandirian keuangan mencerminkan sejauh mana pendapatan asli daerah (PAD) mampu memenuhi kebutuhan daerah. Variabel kemandirian keuangan daerah diukur dengan menggunakan rasio kemandirian: =

  Kemandirian Keuangan

   Derajat desentralisasi menunjukkan kontribusi pendapatan asli daerah dalam menyelenggarakan kebijakan desentralisasi.

  Derajat Desentralisasi

  = Solvabilitas

   Kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi seluruh kewajiban finansialnya, baik kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang tercermin dari rasio solvabilitas pemerintah daerah.

  = Populasi Penduduk

   Populsi penduduk suatu wilayah mencerminkan banyaknya sumber daya yang dimiliki oleh wilayah (pemerintah daerah) tersebut.

  = Umur

   Umur pemerintah daerah merupakan varibel dami (dummy variable) yang dinyatakan melalui konstruk pemekaran atau penggabungan wilayah. Apabila pemerintah daerah bukan Daerah Autonomi Baru (bukan hasil pemekaran/penggabungan wilayah) maka pemerintah daerah tersebut diberi bobot 1, sedangkan apabila pemerintah daerah merupakan Daerah Autonomi Baru (terbentuk setelah tahun 1999) maka pemerintah daerah tersebut diberi bobot 0.

   Jones dan Walker (2007) mendefinisikan financial distress sebagai ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik sesuai standar mutu pelayanan yang telah ditetapkan. Ketidakmampuan ini dikarenakan pemerintah tidak memiliki kecukupan dana untuk membangun fasilitas pelayanan publik. Indikasi financial distress

  Financial Distress menghabiskan sebagian besar anggaran yang dimilikinya untuk belanja yang bersifat rutin (belanja operasi) maka dikhawatirkan Pemda tidak lagi memiliki kecukupan dana untuk kebutuhan membangun infrastruktur pelayanan publik, seperti membangun sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya.

  ℎ = ℎ

  Angka ideal untuk rasio belanja modal terhadap total belanja tidak diatur oleh pemerintah pusat. Otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mengatur sendiri porsi belanja daerah. Pada umumnyarasio belanja modal terhadap total belanja daerah adalah antara 5-20% (Mahmudi, 2010). Namun, dalam rapat koordinasi,Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (2013) meminta agar pemerintah daerah mengalokasikan anggaran belanja modal sekurang-kurangnya 30% dari total belanja. Tujuannya agar dapat mendorong pembangunan infrastruktur dan sesuai dengan Perpres No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Oleh karena itu, maka pada penelitian ini pemerintah daerah yang mengalokasikan belanja modal kurang dari 30% dianggap mengalami financial distress karna dana yang dimilikinya habisuntuk kebutuhan rutin (operasional) pemerintah daerah. Variabel financial distress merupakan variabel dummy, dimana pemerintah daerah yang memiliki porsi belanja modal terhadap total belanja kurang dari 30% dianggap mengalami financial distress dan diberi skor 0, sedangkan pemerintah daerah yang memiliki porsi belanja modal terhadap total belanja lebih dari 30% dianggap tidak mengalami financial distress dan diberi skor 1.

  3.4. Model Penelitian Komposisi Pendapatan

  Kemampuan Pemerintah Daerah ( R.Kemandirian dan Derajat Desentralisasi) memobilisasi pendapatan Indikator keuangan

  Komitmen Keuangan Kemampuan melunasi utang mengandalkan potensi yang dimiliki (R.Solvabilias)

  FINANCIAL DISTRESS Kompleksitas Populasi penduduk yang mencerminkan jumlah pembayaran trasfer

  Indikator non-keuangan Ketidakmampuan pemerintah daerah menyediakan fasilitas pelayanan publik,

  Umur indikasi habisnya anggaran untuk

  Fenomena Pemekaran belanja pengawai (pengeluaran rutin)

  (Pembentukan) Daerah Otonomi Baru

  3.5. Metode Pengujian Hipotesis

  Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi logistik biner (binary

  

logistic regression) dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 18.Regresi logistik biner

digunakan apabila variabel dependennya berupa variabel dikotomi atau variabel biner.

  Dalam penelitian ini, financial distress merupakan variabel dikotomi yang memiliki dua tingkatan berbeda, yaitu pemerintah derah yang mengalami financial distress dan pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress. Selain untuk melihat pengaruh sejumlah variabel independen terhadap variabel dependen yang berupa variable response biner, regresi logistik biner juga biasa digunakan untuk memprediksi nilai suatu variabel dependen y (yang berupa varibel biner) berdasarkan nilai variabel-variabel independen x

  1 , Model regresi logistikyang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Log (P / 1 – p) = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + e

  Dimana p adalah kemungkinan bahwa Y = 1 (financial distress), dan X1, X2, X3, X4, X5 adalah variabel independen.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

  4.1 . Deskripsi Objek Penelitian

  Populasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Terdapat 508 Pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Indonesia pada tahun 2010, yang terdiri dari 410 Pemerintah Kabupaten dan 98 Pemerintah Kota. Teknik penyampelan yang digunakan adalah penyampelan acak sederhana (simple random sampling) dengan jumlah sampel 100 pemerintah daerah yang terpilih. Pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Penyampelan acak dilakukan dengan tujuan agar dapat mengeneralisir kondisi seluruh pemerintah daerah kabupaten dan kotadi Indonesia (anggota populasi).

  4.2. Hasil Uji Hipotesis 4.2.1. -2 log likehood

  Nilai -2 log likehood dapat digunakan untuk melihat kelayakan model yang digunakan, dengan cara membandingkan nilai -2 log likelihood sebelum ditambah variabel independen dengan nilai -2 log likelihood setelah ditambah variabel independen.

  

Tabel 4.4

  Dari tablel 4.4 dapat dilihat nilai -2 log likelihood yang terjadi. Pada Block Number 0 nilai -2 log likelihood adalah sebesar 120.430, sedangkan pada Block Number 1 nilai -2 log likelihood adalah sebesar 86.521. Pada Tabel 4.5 diperoleh nilai Chi-square sebesar 33.909 yaitu selisih antara 120.430 dengan 33.909 yang menunjukkan model penelitian ini fit dengan data.

  

Tabel 4.5

  2

  4.3.2. Negelkerke R

  Nilai Nagelkerke R square sebesar 0,411 menunjukkan bahwa 41,1 persen variasi dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen, sedangkan sisanya sebanyak 58,9 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini (Tabel 4.6). Variasi yang terjadi pada variabel financial distress dijelaskan oleh variabel kemandirian keuangan, derajat desentralisasi, solvabilitas, populasi penduduk, dan pemekaran wilayah.

  

Tabel 4.6

  4.3.3. Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test

  Uji Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test dilakukan untuk melihat apakah data empiris cocok atau sesuai dengan model penelitian. Hasil uji Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test dapat dilihat pada tabel berikut:

  

Tabel 4.7

  Tabel menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,284 atau lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data yang diobservasi dalam penelitian.

  4.3.4. Classification Table

  Tingkat ketepatan prediksi model dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 2 x 2

  

Classification Table menunjukkan nilai estimasi financial distress dan non financial

  distress. Terdapat 71 pemerintah daerah yang diprediksi mengalami financial distress, namun observasi menunjukkan hanya 63 pemerintah daerah yang mengalami financial distress, sedangkan sisanya 8 pemerintah daerah diprediksi secara tidak tepat sebagai non financial distress. Jadi ketepatan prediksi financial distress adalah 63/71 (88,7%).

  Pemerintah daerah yang diprediksi tidak mengalami kesulitan keuangan (non financial distress) sebanyak 29 pemerintah daerah, namun observasi mununjukkan hanya 15 pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress, sedangkan sisanya 14 pemerintah daerah diprediksi secara tidak tepat sebagai financial distress. Jadi ketepatan prediksi non financial distress adalah 15/29 (51,7%). Secara keseluruhan tingkat ketepatan prediksi adalah 78 pemerintah daerah atau sebesar 78%.

  Cut off value yang digunakan adalah sebesar 0,5. Pemerintah daerah dianggap mengalami financial distress apabila hasil estimasi dari model lebih atau sama dengan 0,5. Estimasi data yang benar secara keseluruhan adalah 78 data atau sebesar 78%. Besarnya kesalahan tipe I adalah sebannyak 14 atau 14% dan besarnya kesalahan tipe II adalah sebanyak 8 data atau sebesar 8%.

4.3.5. Estimasi Parameter dan Interpretasinya

  Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

  

Tabel 4.9

4.4. Pembahasan

  4.4.1. Pengaruh Kemandirian Keuangan Terhadap Financial Distress

  Hasil pengujian hipotesis pertama memiliki nilai signifikansi 0,027 dan koefisien - 197,978. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa kemandirian keuangan berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Nilai koefisien negatif menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki kemandirian keuangan tinggi (tidak bergantung pada dana transfer pemerintah pusat atau provinsi), cenderung tidak akan mengalami financial distress atau memiliki ketersediaan dana untuk membiayai pengeluaran diluar kebutuhan rutin.

  Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan teori ketergantungan sumberdaya (Peffer dan Salancik, 1978 dalam Gudono, 2009) bahwa pemerintah daerah yang mampu menguasai sumber daya akan memiliki kekuatan untuk survive dan terhindar dari kondisi ketidakpastian (financial distress). Kemandirian keuangan juga telah digunakan oleh peneliti terdahulu dalam menilai kinerja keuangan pemerintah (Cheng, 1992; Christiaens, 1999; Kloha, Weissert, dan Kleine, 2005; Christiaens dan Pateghem, 2007)

  4.4.2. Pengaruh Derajat Desentralisasi Keuangan Terhadap Financial Distress

  Hasil pengujian hipotesis ke dua menunjukkan nilai signifikansi 0,024 dengan nilai koefisien 193,655. Nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa hasil uji statistik mendukung hipotesis ke dua, yaitu derajat desentralisasi berpengaruh terhadap financial distress. Nilai koefisien positif menunjukkan bahwa ketika derajat desentralisasi naik (rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan naik) maka probabilitas Pemerintah daerah yang memiliki derajat desentralisasi tinggi (mengandalkan dana transfer lebih sedikit) cenderung akan mengalami financial distress, sedangkan pemerintah daerah yang memiliki derajat desentralisasi rendah (mengandalkan dana transfer lebih banyak) cenderung tidak mengalami financial distress.

  Hasi penelitian menunjukkan bahwa kemampuan menyelenggarakan desentralisasi yang dimiliki pemerintah daerah ternyata sudah “kebablasan” atau terjadi penyalahgunaan wewenang. Pemerintah daerah yang “kaya” yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) tinggi, justru dengan wewenang yang dimilikinya telah melakukan pemborosan anggaran untuk pengeluaran belanja rutin (operasional). Dalam hal ini pemerintah daerah memiliki komponen belanja rutin lebih dari 70% dari total belanja, sehingga tidak lagi memiliki kecukupan dana untuk melakukan pembangunan daerah, menyediakan fasilitas pelayanan publik, dan pengeluaran belanja modal lainnya.

  4.4.3. Pengaruh Solvabilitas Terhadap Financial Distress

  Hasil pengujian hipotesis ke tiga memiliki nilai signifikansi 0,805 dan koefisien

  0.14 Nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa rasio solvabilitas (kemampuan melunasi hutang) tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Nilai koefisien positif menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki komitmen keuangan tinggi atau kemampuan melunasi utang yang baik, cenderung tidak akan akan mengalami financial distress.

  Penelitian ini gagal mendukung hipotesis ketiga dan tidak sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang menemukan bahwa kemampuan organisasi dalam melunasi kewajibannya berpengaruh terhadap financial distress (Sutaryo, 2010; Monti dan Garcia, 2011; Wibowo dan Samekto, 2013).

  4.4.4. Pengaruh Populasi Penduduk Terhadap Financial Distress

  Hasil pengujian hipotesis ke empat memiliki nilai signifikansi 0,004 dan koefisien - 1,005. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa populasi berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Populasi penduduk menggambarkan besaran sumber daya (transfer pemerintah) yang dipertaruhkan (Evans dan Patton, 1987). Nilai koefisien negatif menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki jumlah penduduk yang besar, cenderung tidak akan akan mengalami financial distress.

  Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang tinggi menunjukkan kepemilikan sumber

4.4.5. Pengaruh Fenomena Pemekaran Wilayah Terhadap Financial Distress

  Hasil pengujian hipotesis ke lima memiliki nilai signifikansi 0,005 dan koefisien 1,721. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa pemekaran berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Nilai koefisien positif menunjukkan bahwa daerah otonomi baru yang mengalami pemekaran atau penggabungan wilayah cenderung mengalami financial distress. Hal ini diduga terkait penyalahgunaan wewenang yang terjadi di pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah melakukan rekruitmen pegawai yang tidak terkendali sehingga terjadi pemborosan belanja pegawai (belanja rutin).

  Amitabh (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan umur sebuah organisasi akan meningkatkan pengalaman dan keahlian dalam mengelola organisasi tersebut. Temuan ini sejalan dengan kondisi pemerintah daerah di Indonesia, dimana daerah otonomi baru (berdiri mulai tahun 1999) memiliki kemampuan mengelola yang lebih buruk dibandingkan dengan daerah yang sudah lama berdiri.

5. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil pengujian statistik yang dilakukan terhadap 100 sampel pemerintah daerah kabupaten dan kota di Indonesia pada periode 2010, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.

  Hasil analisis statistik deskriptif diketahui bahwa bahwa dari 100 sampel pemerintah daerah, hanya 29 pemerintah daerah yang tidak mengalami financial distress, sedangkan sisanya sebanyak 71 pemerintah daerah diprediksi mengalami financial distress. Hal ini menunjukkan bahwa 71% pemerintah daerah mengalami financial distress yang artinya pemerintah daerah tidak memiliki kecukupan dana untuk belanja modal atau belanja yang terkait dengan infrastruktur, pembangunan daerah dan belanja fasilitas publik lainnya, dikarenakan uang yang dimilikinya telah habis untuk kebutuhan operasional daerah.

  2. Kemandirian keuangan dan populasi penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki kemandirian keuangan tinggi (tidak bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat atau provinsi), diprediksi tidak mengalami financial distress atau

  Disamping itu, pemerintah daerah yang memiliki jumlah penduduk yang besar, diketahui tidak akan mengalami financial distress karna jumlah penduduk yang besar menunjukkan kepemilikan sumber daya yang lebih baik.

  3. Pemekaran wilayah berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, yang artinya daerah pemekaran memiliki kemampuan mengelola keuangan yang lebih buruk dibandingkan daerah yang sudah lama berdiri, sedangka pengaruh rasio solvabilitas terhadap financial distress tidak ditemukan dalam penelitian ini.

5.2. Keterbatasan Penelitian dan Saran untuk Penelitian Selanjutnya.

  Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian. Adapun keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Penelitian ini hanya mengamati satu tahun kondisi pemerintah daerah, pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperpanjang periode pengamatan agar dapat melihat kecenderungan financial distress pemerintah daerah dalam jangka panjang.

  2. Variabel financial distress dalam penelitian ini adalah variabel dummy dengan melihat besarnya rasio belanja modal terhadap total belanja. Angka ideal untuk rasio belanja modal terhadap total belanja belum diatur oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan atau Undang-undang, sehingga peneliti menggunakan angka 30% sebagai cut off rasio belanja modal terhadap total belanja dengan melihat pendapat dan wacana yang dikembangkan oleh pejabat Pemerintahan, sebagai mana yang dipaparkan di bab 2 dan 3 tulisan ini.

  3. Pemilihan variabel pada penelitian ini dilakukan dengan berdasar pada penelitian sebelumnya di negara lain. Pada penelitian berikutnya diharapkan dapat terlebih dahulu melakukan analisis faktor dalam memilih variabel-variabel yang akan diteliti, agar dapat meningkatkan ketepatan prediksi model.

  ACKNOWLEDGEMENT

  Ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Al Azhar Indonesia yang telah mendukung pelaksanaan Seminarpada Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII Universitas Mataram (24-27 September 2014) dengan memberikan bantuan dana dari Grant Seminar Domestik 2014 LP2M UAI.

DAFTAR PUSTAKA

  Amitabh, Joshi. 2006. Disclosure in Corporate Reporting of Public Sector Financial Institutions (PSFs)iakses 12 Januari 2010. Cheng, R.,H. 1992. An Empirical Analysis of Theories on Factors Influencing State

  Government Accounting Disclosure. Journal of Accounting and Public Policy, 11, 1- 14. Christiaens, Johan. 1999. Financial Accounting Reform in Flemish Municipalities: An Empirical Investigation. Financial Accountability & Management, 15(1), 0267-4424. Christiaens, Johan and Vincent V. Pateghem. 2007. Governmental Accounting Reform:

  Evolution of The Implementation in Flemish Municipalities. Financial Accountability & Management, 23(4), 0267-4424. Evans, J & Patton, J .1987. Signalling and Monitoring in Public Sector Accounting.

  Journal Accounting Research, 25 (supplement), 130-158 Foster, G. 1986. Financial Statement Analysis (2nded), Prentice-Hall. Gudono .2009. Teori Organisasi. Penerbit: Pensil Hossain, Mohammed .2008. The Extent of Disclosure in Annual Reports of Banking

  Companies: The Case of India. European Journal of Scientific Research, Vol.23, No.4, 660-681

  Ingram, Robert W. 1984. Economic Insentives and the Choice of State Government Accounting Practices. Journal of Accounting Research 22, No.1, 126-144

  Jones, Steward and David A. Henser. 2004. Predicting Firm Financial Distress: A Mixed Logit Model. Accounting Review Vol.79 No.4 pp 1011-1038. Jones, Steward and R., G Walker (2007). Explanators of Local Government Distress.

  ABACUS 43 (3): 396-418 Kloha, et al (2005). Developing and Testing a Composite Model to Predict Local Fiscal Distress.

  Lau, A.H. (1987). A Five-State Financial distress Prediction Model. Journal of Accounting Research. Vol.18 No.1

  Luo, C and Xiang Yu (2011). Financial distress Prediction Based on SVM and MDA Methods: the case of Chinese Listed Companies. Monti, E.N and R.M Garcia (2010). A Statistical Analysis to Predict Financial Distres. J

  Service Science & Managemen. Published Online September 2010. Scientific Research. Republik Indonesia (2003). Undang-Undang Republik Indonesia No.17/2003 tentang Keuangan Negara. __________ (2004). Undang-Undang Republik Indonesia No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. __________ (2004). Undang-Undang Republik Indonesia No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah. _________ (2004). Undang-Undang Republik Indonesia No.33/2004 tentang Perimbangan Robbin, Walter A., dan Austin, Kenneth R (1986). Disclosure Quality in Governmental Financial Report: An Assessment of the Aprroriatenss of a Compound Measure.

  Journal of accounting research, Vol 24, No 2, 412-421. Plat, H, dan M.B Platt (2002). Predicting Financial distress. Journal of Financial Service Profesional, 56: 12-15.

  Sutaryo, dkk (2010). Nilai Relevan Informasi Laporan Keuangan Terkait Financial Distress Pemerintah Daerah. Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto

  Ward, T., (1994). An Empirical Study on the Incremental Predictive Ability of Beaver;s Naive Operative Flow Measure Using Four-State Ordinal Models of Financial distress. Journal of Business Finance and Accounting Vo.21 No.4.1994.

  Wibowo dan Samekto (2013). The Relevance Of Accounting Information And Financial Distress Of Local Government In East Java. The Indonesian Accounting Review Volume 3, No. 1, January 2013, pages 43 – 52

  Website:

  akses 1 Juni 2013 diakses 1 Juni 2013 akses 10 Juni 2013

  DAFTAR TABEL

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

  N Minimum Maximum Mean Std.

Tabel 4.1 Descriptive Statistics

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

  Block 33,909 5 ,000 Model 33,909 5 ,000

  Chi-square df Sig. Step 1 Step 33,909 5 ,000

Tabel 4.5 Omnibus Tests of Model Coefficients

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

  Keterangan -2 log likelihood Block Number = 0 120.430 Block Number = 1 86.521

Tabel 4.4 Overall Model Fit

  Non Financial Distress 29 29,0 29,0 100,0 Total 100 100,0 100,0

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

  Percent Valid Financial Distress 71 71,0 71,0 71,0

  Percent Cumulative

  Frequency Percent Valid

Tabel 4.3 Financial_Distress

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

  DOB 73 73,0 73,0 73,0 DOB 27 27,0 27,0 100,0 Total 100 100,0 100,0

  Percent Valid Non

  Percent Cumulative

  Frequency Percent Valid

Tabel 4.2 Pemekaran

  Deviation Kemandirian 100 ,007 ,278 ,06168 ,040397 Desentralisasi 100 ,006 ,288 ,06088 ,041370 Solvabilitass 100 6 3,E12 8,83E10 4,644E11 PopulasiPenduduk 100 18915 2838592 512627,85 480532,523 Valid N (listwise) 100

Tabel 4.6 Model Summary

  • 2 Log Cox & Snell Nagelkerke Step likelihood R Square R Square

  a

  1 86,521 ,288 ,411 Sumber: Pengolahan Data SPSS

Tabel 4.7 Hosmer and Lemeshow Test

  Step Chi-square df Sig. 1 9,736 8 ,284

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

  

Tabel 4.8

a

  

Classification Table

  Predicted Financial_Distress

  Percentage Observed Distress Non-Distress Correct

  Step 1 Financial_Distress Distress

  63 8 88,7 Non-Distress

  14 15 51,7 Overall Percentage

  78,0 Sumber: Pengolahan Data SPSS

Tabel 4.9 Hasil Klasifikasi Kesalahan Tipe I dan Tipe II

  Klasifikasi Jumlah Persentase (%) Estimasi yang benar 78 78% Kesalahan Tipe I 14 14% Kesalahan Tipe II 8 8% Total 100 100

  Sumber: Pengolahan Data SPSS

Tabel 4.10 Variables in the Equation

  Koefisien Signifikansi Kesimpulan Kemandirian -197,978 0,027 Ha

  1 Terdukung

  Desentralisasi 193,655 0,024 Ha Terdukung

  2 Solvabilitas 0,014 0,805 Ha Tidak Terdukung

  3 Kompleksitas -1,005 0,004 Ha

  4 Terdukung

  Pemekaran 1,721 0,005 Ha

  5 Terdukung

  Sumber: Pengolahan Data SPSS