62 BAB III PERKEMBANGAN LEMBAGA PERWAKILAN BIKAMERAL DI INDONESIA

BAB III PERKEMBANGAN LEMBAGA PERWAKILAN BIKAMERAL DI INDONESIA Pada sub bab ini Penulis akan membahas mengenai

  pengaturan bicameral di Indonesia yang akan ditelaah melalui sejarah terbentuknya DPD melalui beberapa kali Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya pembahasan ini kemudian akan berfokus pada Kedudukan, keanggotaan dan fungsi (legislasi, Anggaran dan pengawasan) yang ada saat ini dan kemudian merujuk pada struktur dan peran yang dianggap ideal oleh Penulis untuk diterapkan di Indonesia pada masa yang akan datang.

  A.

  

Sejarah Pengaturan Lembaga Perwakilan Bicameral di

Indonesia

  Lembaga perwakilan rakyat Indonesia telah mengalami proses dan perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi politik pada saat itu. Struktur organisasi lembaga perwakilan Indonesia mengalami pergantian sesuai dengan konstitusi yang berlaku pada masa tersebut. Pada awal berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945 menganut sistem Parlemen MPR, yang merupakan ciri khas Indonesia walaupun ini belum sempat terbentuk dan dijalankan oleh Komite Nasional Pusat (KNP) dan Badan Pekerja KNP. Pada masa RIS atas keinginan Belanda, dibentuk negara federal dengan struktur organisasi Parlemen bicameral dengan Senat sebagai perwakilan teritorial.

  Pada UUDS 1950, kembali dengan struktur organisasi lembaga perwakilan unikameral. Dengan adanya Dekrit Presiden 5 juli 1959, UUD 1945 diberlakukan kembali, kemudian mulai dibentuk MPRS. Walaupun kedudukannya masih kepanjangan tangan dari Presiden, tetapi pemerintah Indonesia saat itu sudah mulai mengikuti struktur lembaga perwakilan yang diinginkan UUD 1945. Pada masa Orde Baru yang bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, MPR kembali difungsikan sesuai yang diinginkan oleh UUD 1945, tetapi MPR lebih sering menjadi lembaga yang melegitimasi tindakan pemerintah.

  Sesudah reformasi, keinginan membentuk badan perwakilan bicameral muncul berkaitan dengan sistem politik yang sentralistik dan jarang memperhatikan aspirasi daerah. Lembaga legislatif pada masa-masa lalu cenderung pasif dan tidak memerhatikan kebijakan pemerintah pusat terutama yang berkaitan dengan daerah. Sehingga sistem bicameral dimunculkan kembali pada Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945.

1. Periode Pertama UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945-27 Desember 1949)

  Satu hari setelah proklamasi pada tanggal 18 Agustus 1945 sidang PPKI mengesahkan dua agenda pokok ketatanegaraan Indonesia Merdeka, yaitu menetapkan Undang-undang dasar (UUD) 1945 dan memilih Presiden serta wakil presiden. Undang-undang Dasar 1945 sebagai

  staats fundamental norm merupakan hukum dasar yang

  mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia.

  Apabila kita lihat dari proses pembentukannya yang hanya 4 bulan maka UUD 1945 sebelum

  1 Proklamasi Kemerdekaan. Maka UUD 1945

  termasuk konstitusi yang cukup singkat dan sederhana. Meskipun UUD 1945 merupakan naskah konstitusi yang singkat namun negara yang hendak dijelmakannya secara normatif telah memenuhi syarat sebagai sebuah negara hukum. Bahkan penjelasan umum UUD 1945 itu dengan tegas menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).

  Muatan Konstitusi salah satunya adalah pengaturan tentang susunan ketatanegaraan/ lembaga negara dan pembagian tugas dari lembaga tersebut. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Indonesia pada saat itu juga membutuhkan perangkat negara atau lembaga negara yang fundamental lain disamping lembaga negara kepresidenan yang telah terbentuk (Presiden dan wakil Presiden).

1 Proses pembahasan Undang-undang Dasar 1945 diawali dengan dibentuknya BPUPKI yang bersidang sejak tanggal 10-17 1945.

  Apabila dicermati secara keseluruhan UUD 1945 mengenal enam lembaga negara yang fundamental sebagai pilar utama dalam kehidupan ketataneraan Indonesia. Lembaga negara tersebut yaitu Majelis Permusyawaratan (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

  Menurut Jimly Asshiddiqie dari keenam lembaga tersebut hanya MPR saja yang bersifat khas Indonesia. Selanjutnya Jimmy mengemukakan bahwa kelima lembaga lain berasal dari cetak biru (tiruan) kelembagaan

  2 yang dicontoh dari zaman hindia Belanda.

  Lembaga tersebut antara lain DPR dapat dikaitkan dengan sejarah Dewan Rakyat (voolksraad) yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, Presiden tidak lain adalah

  Gouvernuur General

  pengganti lembaga merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif antara pemerintah, Mahkamah Agung berkaitan dengan Landraad Raad Van Justitia di Hindia Belanda, serta Hogeraad yang ada di negara Belanda merupakan pelaksana kekuasaan

  judicial atau kehakiman. Sedangkan badan

  pemeriksaan kekuasaan dari Raad Van

  Rekenkameer, dan dewan pertimbangan Agung 2 berasal dari Raad van Nederlandsche Indie Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran

  Kekuasaan dalam UUD 1945 , FH-UI Press, Jakarta, 2004, hal. yang ada di Batavia atau Raad van State yang

  3 ada di Belanda.

  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang kemudian dianggap mempunyai kedudukan yang tertinggi. Konsep lembaga tertinggi biasanya dipakai dalam lingkungan negara komunis yang menerapkan sistem partai tunggal di mana kedaulatan rakyat disalurkan melalui pelembagaan majelis rakyat yang tertinggi (supreme people council) seperti di Uni Soviet, RRC, dll. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi didasarkan atas ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Kedaulatan

  adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permuswaratan Rakyat”. Secara

  ekplesitit dalam pasal tersebut memang tidak dinyatakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi namun dalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem Pemerintahan Negara, angka II dan III jelas dinyatakan hal tersebut. Angka II berbunyi : 3 Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional dan

  Ibid.,

  

bukan berdasarkan absolutism. Angka III berbunyi:

kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (Diegezamte

staatsgewaltliegi allein bei der majelis) . Kedaulatan

  terletak di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.

  Presiden adalah mandataris MPR yang bertanggungjawab meyelenggarakan pemerintahan tertinggi di bawah MPR, maka dapat dikatakan bahwa UUD 1945 lebih mendekatkan asas Kedaulatan Rakyat.

  Dari penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan bahwa MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat dan memiliki kedudukan supreme dari lembaga lainnya yang dapat kita golongkan ke dalam lembaga tinggi negara. Dalam sidang BPUPKI tanggal 13 mei 1945, Muhhamad Yamin menyebutkan: “Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia diduduki, tiga saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya…………… Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Soepomo mengatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tinggi itu tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan wakil-wakil dari daerah, golongan- golongan, supaya mewujudkan seluruh rakyat”

  Muhhamad Yamin dalam sidang BPUPK pertama kali menyebut perkataan majelis pada pidato tanggal 29 Mei, Yamin menyebutkan pusat Parlemen/balai perwakilan yang terbagi atas majelis dan Balai Perwakilan Rakyat. Mengenai komposisi dari anggota MPR diatur berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:

  “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari

  

atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat

ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah

dan golongan menurut aturan yang ditetapkan

dengan undang- undang”.

  Jika dibandingkan dengan sistem badan perwakilan pada umumnya yang dianut oleh negara- negara di dunia, maka struktur parlemen Indonesia diidealkan berparlemen tunggal (unikameral) tetapi dengan variasi yang dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat dan dibayangkan dapat diorganisasikan secara total ke dalam suatu organ yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Soepomo parlemen negara Indonesia terdiri dari satu badan ialah Badan Perwakilan Rakyat.

  4 2.

   Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

  Pada tanggal 27 Desember 1949, di Amsterdam, Belanda diadakan upacara penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Tentang istilah “penyerahan” kedaulatan kepada Indonesia, bangsa Indonesia, menamakan “pengembalian/pemulihan. Indonesia menerima istilah penyerahan hanya agar Belanda lepas dari Indonesia.

  Menurut Kostitusi RIS Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS, Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan 4 Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan

  Mekanisme Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Liberty, Yogjakarta, 1982, hal. 41. berdaulat ialah sebuah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi. Pada masa RIS, banyak yang mengatakan bahwa sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan parlementer karena kabinet/para menterinya bertanggungjawab, baik secara langsung bersama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri kepada Parlemen. Sejak tanggal 27 Desember 1949, Republik Indonesia yang tadinya meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, kemudian dikurangi wilayahnya melalui persetujuan Linggarjati dan Renville, telah menjadi negara bagian di dalam negara RIS sebagai halnya negara-negara bagian lainnya.

a. Senat

  Menurut Konstitusi RIS Pasal 1 ayat (2), kekuasaan kedaulatan RIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Kita dapat melihat dalam konstitusi RIS, bahwa senat diakui kedudukannya secara jelas sebagai pemegang kedaulatan RIS, bersama-sama dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota- anggota senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing- masing 2 anggota dari tiap negara bagian. Ketua senat RIS diangkat oleh Presiden dari anjuran atau saran yang dimajukan oleh senat atau atau sebagian anggota senat.

  Secara keseluruhan cara kerja senat RIS diatur dalam tata tertib senat RIS. Dalam banyak hal, banyak ketentuan seperti tertulis dalam konstitusi RIS mengenai hak dan kewajiban senat dan anggota senat RIS yang belum dapat berfungsi sempurna, sama halnya dengan kondisi DPR RIS. Hal ini lebih beralasan lagi karena senat merupakan “badan baru” dalam kehidupan

  5 bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.

  6 Senat mewakili daerah-daerah bagian. Setiap

  7 daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat.

  Setiap anggota senat mengeluarkan satu suara dalam

  8

  senat. Anggota-anggota senat ditunjuk pemerintah daerah-daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh 5 masing-masing perwakilan rakyat dan memuat tiga calon

  Reni Dwi Purnomowati, Sistem Bikameral Dalam……. Op cit., hal 140- 141. 6 7 Pasal 80 ayat (1) Konstitusi RIS. 8 Ibid., Pasal 80 ayat (3) konstitusi RIS.

  9

  untuk tiap-tiap kursi. Apabila dibutuhkan calon untuk dua kursi, pemerintah bersangkutan bebas untuk menggunakan sebagai satu, daftar-daftar yang disampaikan oleh perwakilan rakyat untuk pilihan

  10

  lembar itu. Berkaitan dengan hal itu, daerah-daerah bagian sendiri mengadakan peraturan-peraturan yang

  11 perlu untuk menunjuk anggota-anggota dalam senat.

  Warga negara yang boleh menjadi anggota senat ialah warga negara yang telah berusia tiga puluh tahun dan yang bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun yang haknya

  12

  untuk dipilih sudah dicabut. Anggota-anggota senat sebelumnya mengangkat sumpah (keterangan dan janji) dihadapan Presiden atau ketua senat yang dikuasakan untuk itu oleh Presiden, menurut cara agamanya.

  9 10 Pasal 81 ayat (1) Konstitusi RIS. 11 Pasal 81 ayat (2) Konstitusi RIS. 12 Pasal 81 ayat (3) Konstitusi RIS.

Pasal 82 Konstitusi RIS.

  |

b. Dewan Perwakilan Rakyat

  Menurut Konstitusi RIS jumlah anggota DPR terdiri 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian, sebagai berikut: Republik Indonesia 49 orang, Indonesia Timur, Jawa Timur 15 orang, Madura 5 orang, Pasundan 21 orang, Sumatra Utara 4 orang, Sumatra Selatan 4 orang, Jawa Tengah 12 orang, Bangka 2 orang, Belitung 2 oang, Riau 2 orang, Kalimantan Barat 4 orang, Daya Besar 2 orang, Banjar 3 orang, Kalimantan Tenggara 2 orang, Kalimantan Timur 2 orang. Penunjukan anggota DPR dilakukan oleh negara-negara bagian. Pimpinan DPR dipilih oleh dan di antara anggota DPR dan pemilihan itu disahkan oleh Presiden. Selama pemilihan, ketua belum di sahkan, rapat-rapat DPR dipimpin anggota tertua. Setelah melalui pemilihan di antara beberapa beberapa calon ketua dan Mr. Sartono terpilih menjadi ketua.

  Sidang DPR-RIS berlangsung dengan sangat bebas dan dalam banyak hal belum sempat mendapat bentuk standar mengingat asal usul serta kedudukan yang sangat dominan dari wakil RI, yang sebenarnya hanya menerima eksistensi DPR-RIS tidak berfungsi secara penuh. DPR-RIS dan senat bersama-sama pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain melakukan kekuasan perundang-undangan, DPR-RIS berwenang pula mengontrol pemerintah, dengan catatan, Presiden tidak dapat diganggu gugat tetapi para menteri bertanggungjawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Akan tetapi, DPR tidak dapat menjatuhkan Menteri (pemerintah). Di samping kekuasaan perundang-undangan DPR-RIS diatur dalam tata tertib DPR-RIS yang kenyataanya baru disahkan 28 Februari 1950, yang berarti hanya berlaku kurang dari enam bulan dengan tercapainya Negara Kesatuan RI 17 Agustus 1950. Dalam masa kerja DPR-RIS yang enam bulan itu, mereka berhasil mengesahkan tujuh undang-undang, yang satu di antaranya berdasarkan usul inisiatif DPR,

yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1950 tentang penggantian kerugian anggota DPR-RIS.

  Beban berat DPR-RIS pada masa-masa akhir eksistensinya ialah perdebatan mengenai pengakhiran eksistensi DPR-RIS atau perubahan Konstitusi RIS menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia dalam proses kembali menjadi negara kesatuan. Setelah melalui perdebatan dari berbagai mosi dan usul, akhirnya DPR-RIS mengadakan votting pada tanggal 14 Agustus Tahun 1950, mengenai menerima atau tidak UUDS, yang berakhir dengan Sembilan puluh orang setuju dan hanya delapan belas orang tidak setuju. Dengan keputusan itu, secara de jure dan de facto eksistensi DPR-RI berakhir.

3. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)

  Pada tanggal 17 Agustus, RIS dibubarkan dan pada saat yang sama dibentuk kembali NKRI yang dibentuk berdasarkan UUDS 1950. Menurut ketentuan Pasal 44 UUDS 1950, lembaga negara terdiri dari : Presiden dan wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR, Mahkamah Agung, Dewan Pengawas Keuangan/DPK.

  Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950, menjalankan sistem badan perwakilan satu kamar (unikameral). Berdasarkan Pasal 3B ayat (1) tentang persetujuan Pemerintah Republik Indonesia dan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 mei 1950 tersusunlah gabungan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat dengan tidak menutup kemungkinan untuk penambahan anggota yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam UUDS 1950 MPR ditiadakan gantinya, khusus untuk menjalankan fungsi pembuatan Undang-Undang Dasar, dibentuk lembaga konstituante yang dipisahkan dari fungsi legislatif untuk membuat undang-undang biasa 4.

   Periode UUD 1945 (Setelah Dekrit Presiden 5 Juli-11 Maret 1966)

  Periode kedua berlakunya UUD 1945 diawali dengan keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain menyatakan. 1) berlakunya kembali UUD 1945 dan

  menyatakan tidak berlakunya UUDS 1950, 2) membubarkan konstituente, 3) Membentuk Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dengan

  keluarnya Dekrit Presiden tersebut maka secara langsung kehidupan ketatanegaraan harus dikembalikan kepada

  13 ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.

  Dekrit juga berakibat pada diperlukannya reorganisasi terhadap lembaga negara yang sudah ada maupun yang belum ada. Konstituante yang melaksanakan kewenangan MPR untuk membuat UUD yang baru telah dibubarkan dan sesegera mungkin akan dibentuk MPRS. Sedangkan mengenai DPR yang telah ada sebelumnya menurut ketentuan Pasal II Aturan Peralihan mengubah DPR hasil pemilu berdasarkan UUDS 1950 menjadi DPR menurut UUD 1945.

5. Lembaga Perwakilan Pasca Perubahan UUD 1945

  Penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada masa 13 lalu bukan hanya terjadi karena faktor politik atau Charles Simabura, Parlemen Indonesia…. Op Cit,. hal 65. kepemimpinan nasional saja namun juga dikibatkan oleh rumusan pasal-pasal UUD 1945 yang memberikan peluang untuk itu. UUD 1945 telah dijadikan instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktik-praktik korupsi,

  14 kolusi, dan nepotisme disekitar kekuasaan Presiden.

  Penyimpangan terjadi juga pada kekuasaan lembaga perwakilan rakyat yang telah direkayasa untuk melenggengkan kekuasaan para penguasa saat itu baik Orde Lama, maupun Orde Baru. Pada masa orde lama, Lembaga Perwakilan (MPRS) diperalat sehingga mengangkat

  15 Presiden Soekarno untuk masa jabatan seumur hidup.

  Oleh karena itu, di masa reformasi menyusul berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998, agenda Perubahan UUD menjadi sesuatu yang niscaya. Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diringi oleh reformasi 14 hukum. Tetapi reformasi hukum yang menyeluruh juga

  Jimlly Asshiddiqqie, Pengantar Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 , Makalah disampaikan pada rapat PAH I MPR. 15 Lihat Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan

Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Seumur

Hidup.

  tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar dan itu berarti diperlukan adanyan „constitutional reform‟ yang tidak setengah hati. Reformasi konstitusi niscaya dilakukan karena sering dengan enam tuntutan reformasi yaitu Perubahan UUD 1945, Penghapusan Doktrin Dwi Fungsi ABRI, Penegakan Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN, Otonomi Daerah, Kebebasan Pers, Mewujudkan

16 Kehidupan Demokrasi.

a. Pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945

  Untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Oktober 1999, MPR melakukan Perubahan terhadap UUD 1945.

  Pembahasan dilakukan mulai dari Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat. Pada mulanya rumusan asli mengenai MPR terdapat dalam BAB I Pasal 1 yang berbunyi:

  1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.

16 Charles Simabura, Pa rlemen Indonesia…. Op Cit,. hal.77-78.

  2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.

  Perubahan yang disepakati terhadap Majelis Permusyawarakatan Rakyat dalam Pasal 2, adalah:

  1) MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

  2) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.

  3) Segala putusan MPR Ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

  Perubahan rumusan tersebut merupakan hasil perdebatan panjang antara anggota MPR waktu itu. Diawali dengan pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 tanggal 14-21 Oktober 1999. Untuk melakukan perubahan telah dibentuk Badan Pekerja MPR yang disahkan pada rapat paripurna ke-6 Sidang Umum MPR tahun 1999 pada tanggal 14 oktober 1999. Pembahasan tentang MPR sebagai salah satu materi Perubahan UUD dimulai dengan pemandang fraksi-fraksi di MPR. Partai Golkar menyarakan tentang kedaulatan rakyat, pemberdayaan lembaga DPR dan MPR sebagai wujud tegaknya kedaulatan rakyat. Selain itu, perlu adanya checks and balance dalam

  17

  memperbaiki kehidupan ketatanegaraan. Selanjutnya Fraksi Kebangkitan Bangsa menyampaikan pendapat partai, yaitu: pertama, terkait dengan pembatasan keuasaan presiden. Kedua, tentang optimalisasi lembaga tertinggi

  18

  negara, terutama MPR dan DPR Sama halnya juga dengan fraksi reformasi yaitu menyangkut kelembagaan MPR dan DPR yaitu perlunya penguatan kewenangan kedua lembaga

  19

  tersebut. Fraksi PBB juga mengatakan bahwa titik berat perubahan UUD pada pembenahan tiga pilar kekuasaan

  20

  negara yaitu, Presiden, DPR dan MA Ide lain yang dimunculkan oleh Fraksi PDU melalui Asnawi Latief memunculkan lembaga baru yang diberi nama dewan

  17 Pidato yang disampaikan oleh fraksi partai Golkar melalui juru bicaranya

Tubagus Haryono yang terdapat dalam Naskah Komprehensif Perubahan

UUD Negara Republik Indonesia, Buku III Jilid 1, Sekjen MPR, Jakarta, hal.

  50. 18 19 Ibid.,hal 51. 20 Ibid., Ibid., daerah. Walaupun sebatas ide, namun sudah mulai muncul

  21 usulan untuk membentuk lembaga lain di luar DPR.

  Selanjutnya yang menarik adalah F-PDKB melalui Gregorius Seto Harianto menyampaikan pendapat fraksi yang mulai mengarah secara konkret kepada usul pembentukan Lembaga Perwakilan bikameral dengan mengajukan struktur MPR yang terdiri dari DPR dan Dewan Utusan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Walaupun banyak perdebatan dalam pembahan perubahan pertama namun belum banyak secara konkret mengarah kepada perbincangan mengenai DPD.

b. Pembahasan Perubahan Kedua UUD 1945

  Pada Perubahan Kedua UUD 1945, keinginan untuk membentuk lembaga perwakilan dengan sistem Bikameral semakin kuat. Dalam rapat-rapat yang dilakukan lebih banyak membahas mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perdebatan yang terjadi mengenai sistem bicameral ini tidak hanya melibatkan anggota PAH I 21 MPR saja namun juga menggunakan komponen masyarakat

  Ibid.,hal. 52 sosial lainnya. Materi tentang struktur MPR disampaikan oleh Hamdan Zoelfa dari F-PBB, yang menyatakan MPR sebagai sebuah lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat seluruh anggotanya harus dipilih langsung oleh rakyat. Dan mengenai komposisi MPR F-PBB mengusulkan

  22 agar MPR hanya terdiri dari DPR dan Dewan Daerah.

  Selanjutnya F-PDU juga mengusulkan agar utusan daerah adalah utusan yang mewakili daerah dan dipilih secara

  23 langsung juga perlu adanya penghapusan utusan golongan.

  F-TNI mengusulkan agar MPR terdiri dari DPR dan wakil daerah yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat namun

  24 tidak menghapuskan utusan golongan.

  Pada rapat ke-7 PAH 1 BP MPR pada tanggal 13 desember 1999 yang dipimpin Jacob Tobing dengan agenda mendengarkan pendapat dengan pakar antara lain: Roeslan Abdulgani, Dr. Pranarka, dan Dahlan Ranuwihardjo. Dari ketiga pakar tersebut, yang jelas menyampaikan pemikiran

  22 23 Ibid,. hal 91. 24 Ibid.,hal 92.

  Ibid., hal. 95. mengenai sistem bicameral adalah Roeslan, ia mengemukakan pemikirannya: “….kalau utusan daerah dijadikan kuat, maka kita datang pada senat sehingga kita nanti mempunyai

  bicameral system , satu DPR dan satu lagi senat. Yang

  senat ini adalah terdiri hanya dari, umpamanya dua dari tiap-tiap provinsi atau tiga orang tiap provinsi. Tidak melihat besar kecilnya sehingga dengan begitu kita nanti mempunyai bicameral sistem yang bisa kita jalankan itu semua….”

  25 Dari pandangan tersebut sebenarnya sudah secara

  ekplisit menegaskan sekaligus mengarah pada pemikiran untuk membentuk lembaga perwakilan bicameral system.

  26 Demikian pula Philipus M. Hadjon menyatakan dan

  mengajukan secara tegas mengenai konsep lembaga perwakilan dengan bicameral system dan juga perlu dilakukan penghapusan terhadap utusan golongan. Ichlasul Amal juga menyampaikan pendapatnya bahwa perlu ada pemberdayaan terhadap utusan daerah. Secara tegas mengusulkan perlu bentuk sistem bicameral sistem dengan mengacu pada model bicameral Amerika Serikat. Pendapat ini mendapat tanggapan dari Hamdan Zoelva yang 25 Ibid., hal 100. 26 Ibid.,

  kemudian mempertanyakan kedudukan dewan daerah maupun kewenangan legislasi untuk menolak maupun mengajukan undang-undang. Perdebatan mengenai komposisi bicameral juga di persoalkan oleh F-TNI.

  Sedangkan hasil dari kunjungan di daerah, kebanyakan daerah menyuarakan hal yang sama, mereka menginginkan agar komposisi MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah, sedangkan untuk utusan golongan juga perlu dihapuskan. Pemikiran untuk memperkuat utusan semakin mendapat dukungan dengan alasan yang kuat bahwa hal tersebut bukan tanpa alasan melainkan sudah seiring dengan semangat otonomi daerah. Pembahasan mengenai MPR berikutnya, Isbodroini mengusulkan juga hal yang sama agar sistem lembaga perwakilan dari Monocameral diubah ke sistem bicameral seperti House of Representative dengan senat di Amerika.

  Perdebatan panjang dalam pembahasan kedua ini memang menimbulkan pro dan kontra akan tetapi kesimpulan yang bisa diambil adalah dalam pembahasan kedua ini, sudah banyak fraksi, pakar maupun daerah yang mulai secara konkrit mengusulkan bentuk bicameral sistem.

c. Pembahasan Perubahan Ketiga UUD 1945

  Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, lembaga perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar. Sebelum perubahan lembaga perwakilan rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan setelah perubahan menjadi tiga lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan telah dilakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 di dalam sidang tahunan MPR pada tanggal 9 November 2001 maka secara praktis Indonesia telah menerapkan sistem bikameral dengan lahirnya DPD sebagai kamar kedua, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang maka terbentuklah lembaga dengan dua kamar yang lunak (soft

  27 bikameral ).

  Di samping itu, baik sebelum maupun sesudah Perubahan UUD 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun DPRD Kabupaten dan Kota. Status DPD terbentuk berdasarkan kewenangan, tugas, dan hak-hak yang dimiliki oleh DPD, yang selanjutnya secara umum disebut dengan kekuasaan DPD. Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping memiliki status sebagai angota DPD, juga merupakan anggota MPR sehingga juga memiliki tugas, kewenangan, dan hak sebagai anggota MPR.

  Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlemen dua kamar (bicameral) dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika 27 DPR RI merupakan lembaga perwakilan yang diusung

  

T.A. legowo DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Forum Masyarakat Peduli Perlemen Indonesia, Jakarta, 2005, hal.132. oleh partai politik, sementara DPD adalah Lembaga Perwakilan yang mewakili wilayah atau daerah dalam hal ini propinsi tanpa mewakili dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

  Mengenai Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tertuang dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, yakni terdapat pada Pasal 22C, 22D, dan 22E. kemudian diatur lebih lanjut pada Perubahan Keempat yang konteknya sebagai bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 dikatakan bahwa MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan

  28 umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

  Dewan Perwakilan Daerah lahir sebagai bagian dari tuntutan reformasi 1998 dengan tujuan menghilangkan 28 penyelenggaraan negara yang bersifat sentralistik yang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 ayat (1) Perubahan Keempat. berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru telah secara signifikan menimbulkan akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang sekaligus merupakan indikasi kuat kegagalan pemerintahan pusat dalam mengelola daerah sebagai basis berdirinya bangsa ini. Selain itu keberadaan DPD dimaksudkan untuk:

  1) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.

  2) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah.

  3) Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan,

  29 dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.

  Selanjutnya kehadiran DPD menurut Ginanjar Kartasasmita sebagai refleksi kritis terhadap eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan di era sebelum reformasi.

  Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan 29 golongan bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang

  A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Kompas, Jakarta, 2009 , hal. 314. tidak demokratis; melainkan juga mengaburkan sistem perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan

  30 kehidupan negara modern yang demokratis.

  Sebagaimana yang telah Penulis jelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa setiap periode dalam Perubahan UUD 1945, maka bentuk dari sistem perwakilan di Indonesia berbeda-beda, Periode Pertama UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945-27 Desember 1949. Struktur parlemen Indonesia diidealkan berparlemen tunggal (unikameral)

  Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan yang bisa diambil mengenai sejarah lahirnya DPD dan bagaimana struktur maupun perannya sebagai kamar ke dua dalam sistem bicameral di Indonesia adalah sebagai berikut:

  Perubahan Pertama: pada periode inilah mulai

  diusulkan tentang Perubahan dalam sistem perwakilan 30 Parlemen dari satu kamar menjadi dua kamar, hal ini

  Dewan Perwakilan Daerah republik Indonesia 2009, Konstitusi Republik

Indonesia Menuju Perubahan ke-5 , Dewan Perwakilan Daerah, Jakarta, 2009, hal. iii. pertama kali diusulkan oleh F-PDKB melalui Gregorius Seto Harianto menyampaikan pendapat fraksi yang mulai mengarah secara konkret kepada usul pembentukan parlemen bikameral dengan mengajukan struktur MPR yang terdiri dari DPR dan Dewan Utusan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum

  Perubahan Kedua:

  Materi tentang struktur MPR disampaikan oleh Hamdan Zoelfa dari F-PBB, yang menyatakan MPR sebagai sebuah lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat seluruh anggotanya harus dipilih langsung oleh rakyat. Dan mengenai komposisi MPR F-PBB mengusulkan agar MPR hanya terdiri dari DPR dan Dewan Daerah. Selanjutnya F-PDU juga mengusulkan agar utusan daerah adalah utusan yang mewakili daerah dan dipilih secara langsung juga perlu adanya penghapusan utusan golongan. F-TNI mengusulkan agar MPR terdiri dari DPR dan wakil daerah yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat namun tidak menghapuskan utusan golongan.

  Pasca Perubahan Ketiga UUD: Pada Periode ini

  Terbentuklah DPD Status DPD terbentuk berdasarkan . kewenangan, tugas, dan hak-hak yang dimiliki oleh DPD, yang selanjutnya secara umum disebut dengan kekuasaan DPD. Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping memiliki status sebagai angota DPD, juga merupakan anggota MPR sehingga juga memiliki tugas, kewenangan, dan hak sebagai anggota MPR. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem perwakilan dua kamar (bicameral) dalam format baru perwakilan politik Indonesia.

  B.

  

Perbandingan Sistem Bikameral di Indonesia dengan

Negara Lain

1. Sistem Bikameral di Belanda

  Belanda merupakan negara Monarki Konstituisional yang berbentuk kesatuan. Belanda terdiri dari 12

31 Provinsi. Kepala negaranya adalah seorang ratu. Kepala

  Pemerintahan adalah Perdana Mentri. Dewan mentri merencanakan dan menetapan kebijakan pemerintahan.

  Kerajaan dan dewan mentri bersama-sama disebut “crown” parlemennya merupakan perwakilan seluruh rakyat. Parlemen terdiri dari kamar pertama (Eerste

  kamer

  ) dan kamar kedua (teweede kamer), senat atau majelis tinggi dinamakan sebagai kamar pertama terdiri dari 75 anggota, sedangkan kamar kedua dipertimbangkan sebagai suatu kesatuan ketika mereka bertemu dalam

  32 suatu joint session.

  Masa jabatan anggota kedua kamar tersebut adalah selama empat tahun. Dan anggota Eerste kamer diubah jika durasi dari dewan provinsi (yang terdiri dari 12 provinsi) diubah oleh Act of Parliament (Undang-undang Tentang Parlemen) untuk waktu selain dari masa 4

  33

  tahun. Anggota kedua kamar dipilih dengan cara 31 perwakilan proporsional terbatas yang berdasarkan pada

  King Faisal, Sistem Bicameral dalam spectrum parlemen Indonesia.,Op.cit 32 . hal 66. 33 Lihat Constitution of Natherland., Art 50-51.

  Ibid., Art 52.

34 Act of Parliament . Untuk dapat menjadi anggota

  parlemen adalah warga negara Belanda, dan harus mencapai usia 18 tahun dan tidak didiskualifikasikan dari

  35

  hak pilihnya. anggota Eerste Kamer ( kamar kedua atau majelis tinggi) dipilih oleh anggota dewan provinsi.

  Pemelihannya seharusnya tidak lebih dari tiga bulan sesudah pemilihan anggota dewan provinsi, kecuali pada

  36 saat pembubaran kamar tersebut.

  Peran Eesrte Kamer dalam konstitusi Belanda lebih banyak bersama-sama dengan Parlemen, yaitu dalam bentuk joint session. Baik dalam perannya dalam proses legislasi maupun kekuasaan kenegaraan lain diluar proses legislasi. Walaupun begitu peran tersebut tidak dapat diabaikan, karena kedua kamar dalam konstitusi belanda mempunyai posisi yang sama kuat. Atau paling tidak, tidak terlalu berbeda, sehingga Eerstse kamer masih mempunyai fungsi yang penting dalam Parlemen Belanda. 34 Setiap kamar dapat dibuarkan oleh dekrit kerajaan ( Royal 35 Ibid., Art. 53. 36 Ibid., Art 52.

  Ibid., Art 55.

  37 decree.) dekrit pembubaran tersebut juga mengharuskan

  suatu pemilihan umum baru untuk memilih anggota kamar

  

38

yang dibubarkan tersebut.

  Sistem Parlemen di Belanda hampir sama dengan Indonesia, Belanda menganut sistem bikameral yakni Tweede Kamer (Majelis Rendah/House of

  Representative/ Second Chamber

  ) dan Earste

  Kamer (Majelis Tinggi/Senat/First Chamber). Earste Kaamer merupakan lembaga yang beranggotakan

  perwakilan dari daerah-daerah semacam propinsi, Tweede

  Kaamer yang merupakan lembaga perwakilan yang

  anggotanya berasal dari parpol. Tweede

  Kamer beranggotakan 150 orang, dipilih untuk masa 4

  tahun dan dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui perwakilan partai politik. Sedangkan Earste

  Kamer beranggotakan 75 orang yang dipilih oleh

  perwakilan provinsi untuk masa 6 tahun. Tweede

  Kamer memiliki kewenangan yang lebih dominan yakni 37 melakukan pembahasan dan pengusulan undang-undang 38 Ibid., Art 64 (1).

  Ibid., Art 64 (2). serta kebijakan pemerintah lainnya, sedangkan Earste

  Kamer

  mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak undang-undang yang akan disampaikan kepada eksekutif, anggota Earste Kamer hanya melakukan rapat

  

39

satu kali dalam seminggu.

  Tweede Kamer memiliki struktur-struktur

  diantaranya adalah standing commitee yang bersifat tetap yang di dalamnya adalah anggota parlemen yang mempunyai ketertarikan pada sebuah subjek/pembahasan tertentu dalam konteks Indonesia standing committee ini bisa dikategorikan sama seperti komisi. yang dilakukan

  committee

  oleh standing ini adalah tidak sekedar melakukan rapat saja, namun mereka juga menyelenggarakan rapat dengar/debat publik untuk mendapatkan gambaran opini dari masyarakat. selain itu secara berkala mereka juga melakukan kunjungan kerja untuk mempelajari beberapa masalah yang perlu dibahas. 39 Hal-hal terkait dengan teknis pembahasan di dalam

  Betty Drexhage, Bicameral Legislatures, Publication Ministry of the

Interior and Kingdom Relations Directorate of Constitutional Affairs and

Legislation An International Comparison, The Hague 2015,hal 1 (ditranslite). sebuah Undang-undang akan diselesaikan dalam

  committee meeting

  ini, yang selanjutnya akan dibawa dalam plenary sitting/meeting untuk dibahas secara bersama-sama. Selain membahas tentang Undang-undang anggota Tweede Kamer juga bisa mengadakan rapat dengan eksekutif untuk menanyakan kebijakan strategis yang dilakukan oleh eksekutif. pertanyaan yang diajukan oleh anggota Tweede Kamer akan langsung dijawab oleh

  40 menteri terkait.

  Apabila dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia dikenal istilah rapat paripurna, di Tweede

  Kamer

  istilah plenary sitting/meeting digunakan untuk paripurna tersebut. Plenary sitting harus memenuhi

  quorum

  yakni dihadiri oleh minimal 76 anggota parlemen (atau setengah plus satu). Selain itu ada dikenal juga istilah join sitting dimana diadakan rapat antara Earst

  Kamer dengan Tweede Kamer . Join sitting ini

  diselenggarakan tiap hari Selasa pada minggu ke tiga

40 Ibid., hal 5

  bulan september yang juga bertepatan dengan sidang

  41 pembukaan parlemen setiap tahunnya.

  Proses pengambilan keputusan dalam committee

  meeting dilakukan dengan cara debate yang terlaksana

  dalam beberapa tahap. Tahap pertama atau biasa disebut sesi pertama diberikan kepada kelompok politik (semacam fraksi) untuk menyampaikan pertanyaan atau pernyataan yang kemudian ditanggapi oleh menteri yang bersangkutan atau sekretaris negara. apabila pada tahap pertama dirasa kurang maka pembahasan dilanjutkan pada tahap berikutnya yakni dari masing-masing anggota Parlemen memberi pertanyaan yang kemudian akan dijawab oleh menteri yang bersangkutan. tahapan itu akan terus berlanjut sampai ditemukan kesepemahaman antara

  42 anggota parlemen dengan eksekutif.

  Apabila dalam sebuah debat tidak terjadi titik temu maka keputusan diambil melalui voting, ada tiga metode voting yakni: voting terbuka berdasarkan 41 preferensi politik anggota parlemen, jadi dalam 42 Ibid., Ibid.,hal. 6.

  mengambil keputusan pimpinan sidang bersasumsi setiap anggota perlemen mewakili partai politik. Yang kedua, voting terbuka berdasarkan masing-masing anggota, dalam voting dengan metode ini, anggota parlemen bisa jadi mempunyai keputusan yang berbeda dengan partai politiknya. Yang ketiga adalah voting tertutup yang dilakukan secara rahasia.

a. Proses Legislasi: Dari RUU menjadi UU

  Apabila eksekutif ingin mengajukan undang- undang tertentu maka mereka dapat mengajukan draft Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibuat oleh departemen masing-masing yang sebelumnya sudah dibahas dalam Council of Ministers. Dari Council of

  Ministers

  tersebut kemudian diajukan kepada Council

  Of State yang bertugas untuk memberikan masukan

  yang detilnya akan dijelaskan nanti. Selain eksekutif, apabila anggota parlemen ingin menginisiasi RUU, anggota parlemen tersebut bisa meminta kepada eksekutif untuk mengajukan RUU, dalam kasus apabila eksekutif menolak permintaan tersebut, maka anggota parlemen baik secara individu maupun berkelompok bisa menginisiasi sebuah RUU yang nantinya disebut RUU inisiatif. Dalam proses pembuatan rancangan undang-undang inisiatif dibantu oleh Legislation Office atau juga bisa dibantu oleh Departemen (eksekutif)

  43 yang bersangkutan.

  Setelah pembahasan oleh Council of Minister, RUU selanjutnya diajukan kepada Council Of State untuk dimintakan masukan/saran/koreksi, masukan dari Council Of State ini berupa pengecekan dan harmonisasi apakah sebuah RUU bertentangan dengan undang-undang yang lain atau tidak dan sekaligus meneliti bagaimana dampak RUU tersebut terhadap masyarakat. Namun, meskipun demikian, inisiator RUU tidak harus mengikuti saran dan masukan dari Council of State. Tercatat selama ini, apabila sebuah RUU tidak mengikuti saran dari Council Of

43 Ibid.,hal. 7.

  State peluang berubah akan sangat besar karena

  44 dianggap tidak sesuai dengan ketentuan.

  Sistem pemerintahan di Belanda adalah monarki konstitusional, oleh karena itu, sebelum RUU diserahkan kepada Tweede Kamer untuk dibahas, eksekutif menyampaikan RUU tersebut dulu kepada Raja dengan disertakan hasil masukan dari Council Of

  State tadi. Proses ini dinamai dengan istilah “The Royal

  Message” dimana Raja menambahkan sebuah

  catatan menyertai RUU tersebut untuk diserahkan kepada tweede kamer. berikut adalah contoh catatan Raja:

  The Royal Message; We send you herewith, for consideration, a proposal for law (judul RUU). The explanatory notes that accompany the proposal for law specify the grounds on which it is based.We commend you to

Dokumen yang terkait

BAB V PERAN PEMERINTAH DAERAH SUMBA BARAT DALAM PENGENDALIAN PENDUDUK DI ERA OTONOMI DAERAH - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 31

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perubahan Sosial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabup

0 0 9

BAB IV GAMBARAN TIGA GERAKAN MORAL DALAM DESA MALINJAK 4.1 Munculnya Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah Kabupaten Sumba Tengah terletak di Pulau Sumba. Dalam era otonomi daerah, - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Des

0 3 15

BAB V PERSEPSI DAN PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT DESA MALINJAK DALAM PRAKSIS TIGA GERAKAN MORAL 5.1. Realitas kehidupan kolektif yang malas, boros, dan tidak aman 5.1.1. Dari Rajin Berkebun ke Sifat Jenuh dan Malas - Institutional Repository | Satya Wacan

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Wisata Karaoke - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 9

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 10

BAB V PERAN AKTOR DALAM PEMANFAATAN RUANG SARIREJO KOTA SALATIGA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 27

A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 47

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

0 0 23