1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara demokrasi. Dalam

  negara demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal dalam sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan konsekuesi logis dari sistem demokrasi dan sekaligus merupakan wujud dari demokrasi itu. Konstitusi sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Setiap lembaga yang menjadi representasi dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat dalam

  1 konstitusi.

  International Comission of Jurist merumuskan

  sistem politik yang demokratis sebagai suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan- keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih. Dalam sistem 1 pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan

  Charles Simabura, Parlemen Indonesia”Lintasan Sejarah dan Sistemnya”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1. sistem perwakilan, maka keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam

  2

  penyelenggaraan sistem pemerintahan. Secara teori dapat dikatakan bahwa suatu negara yang demokratis manakala setiap warga negara dan unit-unit politik harus diwakili dan terwakili.

  Konsep perwakilan terus berkembang dari tahun ke tahun, sehingga konsep perwakilan telah menjadi umum dalam suatu negara. Namun, setiap negara memiliki pengorganisasian perwakilan yang berbeda.

  Amerika misalnya memakai nama lembaga Parlemen dengan menggunakan sistem dua majelis Upper House

  3 atau Senate atau dikenal dengan sistem bicameral.

  Begitupula dengan Indonesia dalam format lembaga perwakilan bicameral yang terdiri dari DPR dan DPD.

  Walaupun demikian, secara teori sruktur lembaga perwakilan di Indonesia masih merupakan berdebatan 2 dalam hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie berpendapat

  King Faizal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia , UII Press,Yogyakarta, 2013 hal. 22. 3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hal.319.

  bahwa Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 menjalankan sistem sistem tiga kamar (trikameral) karena terdiri atas tiga lembaga yaitu MPR, DPR, dan DPD. Argumentasi tiga kamar ini didasarkan bahwa masing- masing dari ketiga badan memiliki fungsi dan wewenang yang spesifik serta berbeda.

  Menurut Anthony Mughan dan Samuel C. Patterson bahwa suatu upperhouses (kamar kedua/majelis tinggi) dibutuhkan karena suatu alasan yang penting yakni untuk teori dan praktek dalam pemerintahan yang demokratis. Karena kepentingan lembaga perwakilan rakyat bermacam-macam dan secara potensial meliputi alat perimbangan, seperti pada proses legislasi dan sebagai simbol umtuk mempertinggi legitimasi demokratis dengan memeriksa gerakan mayoritas dari pemerintahan berpartai tunggal. Dan juga senat (kamar kedua atau majelis tinggi) cenderung mempunyai pengaruh penting dalam mempertajam output dari

  4 4 kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif.

  King Faizal Sulaiman, Op.Cit., hal 23.

  Sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) diubah, sistem perwakilan rakyat di Indonesia dikenal adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disingkat MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR). Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, lembaga perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar, menjadi tiga lembaga yaitu: MPR, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disingkat DPD).

  Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping memiliki status sebagai anggota DPD, juga merupakan anggota MPR sehingga memiliki tugas, kewenangan, dan hak sebagai anggota MPR. Lahirnya lembaga baru dalam sistem kelembagaan negara selalu membawa pertanyaan mengapa lembaga tersebut perlu ada, apa dasar filosofi atau gagasan apa yang menghendaki kelahiran lembaga baru tersebut. Apabila dilihat dalam tataran kepentingan umum, maka pertanyaan yang akan muncul tentunya apa

  5 tujuan dan manfaat kehadiran lembaga tersebut.

  DPD merupakan lembaga perwakilan baru produk amandemen atau tepatnya pada perubahan ketiga UUD 1945 Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem perwakilan dua kamar bicameral dalam format baru perwakilan politik Indonesia. DPR merupakan lembaga perwakilan yang mewakili penduduk yang diusung oleh partai politik, sementara DPD adalah lembaga perwakilan yang mewakili wilayah atau daerah dalam hal ini provinsi tanpa mewakili dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

  Kedudukan DPD tertuang dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, yakni terdapat pada Pasal 22C, Pasal

  22D, dan Pasal 22E, kemudian diatur lebih lanjut pada Perubahan Keempat UUD 1945 yang konteksnya sebagai 5 bagian dari MPR. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1

  T.A. legowo DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Forum Masyarakat Peduli Perlemen Indonesia, Jakarta, 2005, hal.132.

  UUD 1945 dikatakan bahwa

  “MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang”.

  Setelah anggota DPD dilantik pada tahun 2004 tidak ada kewenangan yang signifikan yang dapat mengimbangi peran DPR dalam setiap mengambil kebijakan, hal ini terlihat dari kewenangan yang diberikan

  

6

  oleh UUD 1945 Pasal 22D Dalam Pasal tersebut terlihat jelas bahwa konstitusi sangat membatasi kewenangan DPD, dapat dikatakan kewenangan sangat terbatas dan lemah. Mengenai kewenangan legislasi DPD hanya berkisar pada usulan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) itupun hanya terbatas dalam permasalahan daerah saja sedangkan peran DPR sangat kuat. Dalam Pasal 22D jelas dikatakan bahwa:

  (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan

  kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan 6 dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22D Pasca Amandemen.

  daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber Daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

  (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas

  rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan pemekaran, dan daerah; pembentukan, penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

  (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan

  pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

  Selain berbeda dalam hal kewenangan legislasi, dalam Pasal 22D angka (2) dan (3) jelas secara eksplisit mengatakan fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran DPD juga sangat terbatas. Pelaksanaan fungsi pengawasan, dalam aturan tersebut terkesan sangat simplistik, dalam pengertian pengawasan yang dapat dilakukan oleh DPD hanya pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu oleh pemerintah. Padahal jika dimaknai dalam perspektif demokrasi maka anggota DPD dipilih oleh rakyat dan aturan pemerintahan mengatur seluruh rakyat maka tentunya DPD pun diberikan ruang yang sama dengan DPR dalam hal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN, karena pada hakekatnya pengawasan yang dilakukan oleh DPD ialah untuk memberikan penilaian atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama di bidang pembangunan, kemasyarakatan dan pemerintahan telah dilakukan secara benar dan bermanfaat bagi rakyat dan daerah. Masih dalam perspektif yang sama, pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPD melaksanakan prinsip pengawasan prosedural yang bersifat aktif, dalam pengertian pengawasan yang dilakukan tidak tergantung dari adanya kasus atas pelaksanaan undang-undang yang

secara substansial tidak mencerminkan penegakan keadilan bagi rakyat dan daerah. Tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan fungsi anggaran, dimana Pasal 22D tidak terdapat pengaturan khusus DPD dalam pelaksanaan fungsi anggaran. Adapun fungsi memberi pertimbangan masih dinilai belum cukup dan tidak menunjukkan bahwa DPD memperjuangkan kepentingan daerah dalam penyusunan dan penetapan APBN. Dalam konteks ini, dapat pula menggunakan pendekatan tripartit yang berarti dalam pembahasan APBN melibatkan lembaga

  7 perwakilan (DPR dan DPD) bersama dengan pemerintah.

  Selain itu, mengenai jumlah/anggota maupun alat kelengkapan DPD dan DPR juga berbeda. Dalam UUD 1945 Pasal 22C ayat (2) secara eksplisit mengatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap

  provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah itu tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwaki 7 lan Rakyat” bahkan

http://parlemennews.co.id/meletakkan-fungsi-legislasi-pengawasan-dan- anggaran-dpd-ri-dalam-kerangka-checks-and-balances-parlemen-indonesia/ dikunjungi pada tanggal 5 Maret 2017, Pukul 11.00 WIB. mengenai alat kelengkapan DPR dan DPD sangat berbeda. Alat kelengkatan DPD terdiri atas Pimpinan, Panitia Musyawarah, Panitia Kerja, Panitia Perancang Undang-Undang, Panitia Urusan Rumah Tangga, Badan Kehormatan dan alat kelengkapan lain yang diperlukan

  8

  dan dibentuk oleh rapat paripurna. Sedangkan alat kelengkapan DPR terdiri atas Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran Badan Kerja Sama antar-Parlemen, Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus dan alat kelengkapan lain yang diperlukan

  9

  dan dibentuk oleh rapat paripurna. Ketidakseimbangan ini merupakan persoalan yang memprihatinkan karena kehadiran DPD seharusnya memberikan solusi terhadap sistem politik yang sentralistik sepanjang lima dasawarsa terakhir. Pada kenyataanya keberadaan DPD tidak mempunyai fungsi yang ideal dan seakan-akan hanya

  8 Lihat Pasal 259 Undang-undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 42 tahun 2014. 9 Ibid.,Pasal 83. berfungsi sebagai aksesori demokrasi dalam sistem

  10 perwakilan.

  Beberapa waktu terakhir ini, 40 anggota DPD telah bergabung dengan salah satu partai politik yaitu partai HANURA dimana ketua partai tersebut juga

  11

  anggota DPD. Hal ini merupakan persoalan yang menarik jika dikaji secara hukum maupun politik. Secara hukum, dalam hal ini yang dimaksud adalah Peraturan Perundang-undangan, DPD memang haruslah perwakilan daerah/teritorial bukanlah dari perwakilan partai politik/ mewakili partai politik tertentu. Akan tetapi hijrahnya sejumlah anggota DPD tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan sejumlah ketimpangan kewenangan yang dimiliki DPD sehingga dengan langkah hijrah ke partai politik dianggap akan lebih menguntungkan posisi DPD untuk memperjuangkan penguatan fungsi dan kewenangan melalui suara fraksi yang tujuan utamanya 10 adalah Perubahan Kelima UUD 1945. 11 Reni Dwi Purnomowati, Op.cit, hal. 5.

  http ://nasional.kompas.com/read/2017/02/04/11251021/gabungnya.puluh an.anggota.dpd.ke.parpol.dianggap.kegalauan.politik.

  Mencermati problematika yang dihadapi oleh DPD baik itu dalam tataran normatif maupun pada tataran praktek, penguatan fungsi maupun peran DPD menjadi sebuah hal penting yang perlu ditindaklanjuti. Secara hukum, penguatan tersebut dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945.

  Bagaimanapun, menjadi sulit untuk melakukan penguatan fungsi legislasi DPD tanpa menyentuh UUD 1945. Terkait dengan hal itu maka penguatan fungsi DPD seharusnya dilakukan dengan menata ulang secara komprehensif fungsi dan kewenangannya dalam sistem pemerintahan Indonesia. Berdasarkan latarbelakang diatas maka Penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul

  “Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latarbelakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:

  Bagaimana konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia.

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari Penelitian ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui struktur dan peran Dewan Perwakilan Daerah saat ini.

  2. Untuk mengetahui bagaimana struktur dan peran perwakilan bicameral yang ideal di Indonesia.

  D. Manfaat Penelitian

  Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

  a. Manfaat Teoritis

  Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum tata negara yang berkaitan dengan lembaga negara.

  b. Manfaat Praktis

  Hasil dari Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah dan DPR serta MPR untuk melakukan Perubahan Kelima UUD 1945.

E. Kerangka Pemikiran

  Mengenai problematika keterbatasan peran DPD dalam format sistem perwakilan bicameral di Indonesia, akan didekati dengan beberapa teori, yaitu: Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Lembaga Perwakilan dan Teori Bicameral .

  Teori kedaulatan rakyat digunakan dalam penelitian karena ketika berbicara mengenai lembaga perwakilan rakyat maka di dalamnya mengandung makna sebuah kedaulatan rakyat. Dimana kedaulatan rakyat diatas segalanya sekaligus menjadi dasar sebuah

  12 pemerintahan yang demokratis.

  Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan 12 melalui lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem

  S. Dotomuljono, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985, hal. 10. demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana

  13

  hubungan serta kedudukannya Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya “wakil”, yaitu: a. adanya partai b. adanya kelompok c. adanya daerah yang diwakili

  Dengan demikian adanya klasifikasi yang demikian, maka akan melahirkan tiga jenis perwakilan, yaitu perwakilan politik (political

  representative ), perwakilan fungsional (functional representative ) dan perwakilan daerah (regional

  14 13 representative ).

  Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2008, hal. 17. 14 Ibid., hal. 41.

  Secara historis, munculnya lembaga perwakilan merupakan dampak dari pelaksanaan sistem feodal, khususnya yang berlaku di Inggris dan Perancis. Di sini awalnya hanya dikenal perwakilan fungsional sebab pada umumnya yang menjadi wakil pada waktu itu adalah orang-seorang yang direkrut melalui sistem pengangkatan berdasarkan perbedaan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat. Tetapi kemudian, di dalam negara-negara modern seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya dengan menganut prinsip persamaan, perwakilan berdasarkan sistem pengangkatan ini tidak dipergunakan karena dirasakan tidak sesuai dengan sistem demokrasi dianut.

  Sehingga dalam prakteknya hanya tinggal dua macam perwakilan, yaitu perwakilan politik dan perwakilan

  15 daerah.

  Mengenai teori bicameral, Penulis gunakan untuk memperjelas sistem dua kamar di Indonesia, 15 dalam hal ini antara lembaga DPR dan DPD.

  Ibid.,

  Terutama mengenai peran maupun kewenangan masing-masing lembaga.

  Sistem dua kamar pada hakikatnya mengidealkan adanya dua kamar di dalam lembaga perwakilan. Doktrin ini berasal dari teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarkhi. Lalu kemudian, menurut Robert L. Madex, Jeremy Bentham yang paling mula mengeluarkan istilah

  

bicameral tersebut. Merujuk pendapat Allen R. Ball

  dan B. Guy Peters, kebanyakan Parlemen modern menerapkan sistem dua kamar. Berkaitan dengan model yang ada, Giovanni Sartori membagi lembaga perwakilan rakyat bicameral menjadi tiga jenis, yaitu (1) sistem bicameral yang lemah (asymmetricbicameralism atau weak bicameralism atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya; sistem bicameral yang kuat (symmetricbicameralism atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua dua kamar nyaris sama kuat dan perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.

  Dalam hubungan dengan tiga model bicameral yang dikemukakan Giovanni Sartori itu, Denny Indrayana mengemukakan bahwa sebaiknya weak

  

bicameralism dihindari karena akan menghilangkan

  tujuan bicameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol di antara kedua kamarnya. Artinya, dominasi salah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar (unicameral). Di sisi lain, perfect bicameralism bukan pula pilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbang antara Majelis Rendah dan Majelis Tinggi memang seakan-akan melancarkan fungsi kontrol antara kamar di parlemen, namun sebenarnya juga berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Karenanya, yang menjadi pilihan tepat

  16 adalah terwujudnya sistem strong bicameralism.

  Di samping tiga model bicameral berdasarkan tingkatan kekuatan tersebut, Giovanni Sartori juga membedakan membedakan bicameral menjadi tiga jenis berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan di antara kedua kamarnya, yaitu: (1) bicameral yang unsurnya sama similar bicameralism; (2) bicameral yang unsurnya agak berbeda likely bicameralism dan (3) bicameral yang unsurnya sangat berbeda

  differentiated bicameralism . Karena model dua kamar

  dari unsur yang sama mudah terjebak ke dalam model unikameral, sebaliknya apabila terlalu berbeda potensial menimbulkan deadlock dalam proses legislasi maka perlu dicari perpaduan yang dapat menghasilkan likely bicameralism. Mengacu kepada jenis-jenis bicameral yang diajukan oleh Giovanni 16 Sartori itu, Denny Indrayana mengemukakan bahwa

  Denny Indrayana, DPD, Antara (ti)Ada dan Tiada, dalam Menapak Tahun Pertama “Laporan Pertanggungjawaban Satu Tahun Masa Sidang

Intsiawati Ayus Anggota DPD-RI Riau , the Peripheral Institute, 2005, hal.15. bicameral ideal sebaiknya mengarah kepada perpaduan antara strong bicameralism dengan likely

  bicameralism .

  Sistem bicameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dapat pula dilihat dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Karena itu, dengan adanya dua majelis two-chambers akan sangat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem

  double check ini semakin terasa apabila Majelis

  Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda

  

17

dari Majelis Rendah.

  17 https://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-

jurnalnasional/361-penguatan-fungsi-legislasi-dewan-perwakilan-daerah.html.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian adalah penelitian hukum (legal ) yaitu untuk mencari dan menemukan

  research

  prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang mengatur status, yang hendak dikemukakan adalah kecocokan

  18 antara aturan hukum dengan norma hukum.

  Dengan demikian penelitian ini hendak mencari, menemukan dan menjelaskan konsep, kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan dengan struktur dan peran lembaga perwakilan DPD dalam konsep

  bicameral di Indonesia.

2. Jenis pendekatan

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute

  approach) karena akan menelaah dan melihat kembali

  fungsi dan kewenangan DPD dalam peraturan perundang-undangan serta pendekatan konsep 18 (conceptual approach) karena akan mengkaji konsep

  

Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media Grup, Jakarta, 2013, hal. 41. perwakilan bicameral yang ideal untuk diterapkan di Indonesia.

3. Bahan Hukum a.

   Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan

  hukum yang mengikat yang terdapat dalam unit amatan, yaitu: 1)

  Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  2) Undang-undang No. 17 Tahun 2014

  Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 42 tahun 2014.

  3) Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia.

4) Naskah Akademik UU MD3.

  b.

   Bahan Hukum Sekunder, yakni yang

  memberikan penjelasan mengenai bahan hukum perimer. Misalnya hasil-hasil penelitian dan buku- buku yang berkaitan dengan lembaga perwakilan rakyat bicameral.

  c.

   Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang

  memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia hukum, dll.

4. Unit Analisa

  Yang menjadi unit analis dalam penelitian ini adalah mengenai struktur dan peran lembaga perwakilan bicameral yang ideal di Indonesia.

Dokumen yang terkait

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perubahan Sosial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabup

0 0 9

BAB IV GAMBARAN TIGA GERAKAN MORAL DALAM DESA MALINJAK 4.1 Munculnya Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah Kabupaten Sumba Tengah terletak di Pulau Sumba. Dalam era otonomi daerah, - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Des

0 3 15

BAB V PERSEPSI DAN PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT DESA MALINJAK DALAM PRAKSIS TIGA GERAKAN MORAL 5.1. Realitas kehidupan kolektif yang malas, boros, dan tidak aman 5.1.1. Dari Rajin Berkebun ke Sifat Jenuh dan Malas - Institutional Repository | Satya Wacan

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Wisata Karaoke - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 9

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 10

BAB V PERAN AKTOR DALAM PEMANFAATAN RUANG SARIREJO KOTA SALATIGA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 27

A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 47

A. PERBEDAAN JAMINAN FIDUSIA DAN GADAI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 19