Pajak Penghasilan Atas dari Royalti

Karya Ilmiah

PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI,
IMBALAN JASA TEKNIK DAN
FRANCHISE

Oleh:

Hendrik ES Samosir, SE.Ak, M.Ak.
(Dosen Tetap Fakultas Ekonomi – Universitas HKBP Nommensen)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2015
1

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ...........................................................................................................

i
BAB I

PENDAHULUAN ....................................................................................
1

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................
3

II.1.
3

Kerangka Teori..............................................................................

II.2.
14

Metode Pengumpulan Data ...........................................................

II.3.

15

Pembahasan ...................................................................................

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
25
III.1.
25

Kesimpulan ...................................................................................

III.2.
26

Saran ..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
27

2


BAB I
PENDAHULUAN

Dunia telah berada dalam era millennium ketiga yang ditandai oleh
kemajuan yang pesat di bidang tehnologi komunikasi dan informasi yang telah
mendorong berlangsungnya globalisasi dunia dengan cepat dan dinamis.
Perdagangan dan teknologi adalah kekuatan besar yang mempengaruhi proses
transformasi global. Kemajuan komunikasi dan transportasi telah memberikan
kontribusi dan ikut mematangkan iklim yang kondusif terhadap hubungan
ekonomi internasional. Kemajuan tersebut juga ikut mendorong munculnya
format-format

baru

dalam

menjalankan

aktivitas


bisnis

dalam

rangka

memperlancar arus barang dan jasa, meluaskan pasar, menghilangkan distorsi dari
jaringan distribusi dan membangun image bagi pelanggan dan calon pelanggannya.
Dalam beberapa hal negara-negara berkembang memang belum bisa
menciptakan sendiri tehnologi yang mereka butuhkan dalam rangka menjalankan
usahanya. Kondisi ini akhirnya menyebabkan mereka, mau tidak mau harus
menggunakan tehnologi ciptaan negara maju. Hal tersebut dapat kita lihat dari
pemanfaatan technical advise dari pihak asing atau penggunaan lisensi atas hal
memanfaatkan tehnologi tertentu yang dimiliki pihak asing tersebut dalam bentuk
kerjasama antara pihak Indonesia dengan asing berupa perjanjian bantuan teknik
(technical assistance agreement) dan perjanjian lisensi (license agreement).
Dewasa ini franchise (waralaba) sebagai salah satu bentuk perjanjian
lisensi semakin marak berkembang di Indonesia terutama bisnis franchise
(waralaba) mancanegara. Sebut saja Mc Donals, Pizza Hut, Kentucky Fried

Chicken, Hoka-Hokba Bento dan nama beken lainnya. Tidak ikut ketinggalan
bisnis franchise dalam negeri pun mulai berkembang seperti Es Teler 77, Ayam
Bakar Wong Solo, Ny.Suhartini dan lain sebagainya. Bisnis ini cepat berkembang
mungkin karena kepraktisannya melayani konsumen dengan harga yang relatif
terjangkau dan melambangkan gaya hidup modern terutama di kota metropolitan
seperti Jakarta.

3

Dengan demikian atas pemanfaatan bisnis franchise (waralaba) sudah
tentu ada sejumlah imbalan berupa uang yang harus dibayar kepada pihak asing
maupun antar pihak dalam negeri. Imbalan yang terkait dalam bisnis franchise
bisa bermacam-macam jenisnya antara lain royalti, imbalan jasa teknik, dan
penghasilan dari usaha keseluruhannya merupakan objek pengenaan Pajak
Penghasilan (PPh).
Namun demikian, tidak mudah untuk menentukan royalti, jasa teknik, dan
penghasilan dari usaha sebagai objek PPn. Bahkan sering terjadi dispute antara
Wajib Pajak dengan fiskus dalam menentukan royalti, jasa teknik, penghasilan
dari usaha sebagai objek pajak (PPh).
Tidak terbatas pada aspek Pajak Penghasilan saja, aspek pajak lain yang

tidak kalah menarik untuk dibahas adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Misalnya dikaitkan dengan franchise, untuk pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) terutama yang berkaitan dengan penyerahan jasa pemanfaatan barang tidak
berwujud dalam negeri dikenakan pajak maka begitu juga pemanfaatan barang
tidak berwujud dari luar negeri. Atas penyerahan tersebut sering timbul dispute
misalnya mengenai tarif apakah berlaku hal yang sama baik yang berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri.
Hal-hal demikian yang menjadikan topik mengenai royalti, imbalan jasa
teknik, dan penghasilan dari usaha dalam bisnis frachise menarik untuk dikaji
lebih lanjut.

PERMASALAHAN POKOK

Berkaitan dengan hal-hal diatas, maka begitu banyak permasalahan yang timbul
dan menarik untuk dibahas. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk
mengidentifikasi sejumlah penghasilan yang mungkin ada dalam bisnis franchise
serta apa saja yang merupakan objek-objek pajak yang timbul dari bisnis franchise
dan perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
sejumlah penghasilan yang timbul dalam bisnis franchise yang meliputi royalti.


4

BAB II
PEMBAHASAN

11.1 Kerangka Teori
A. Franchise
1. Pengertian Franchise
Menurut Joseph Moncuso dan Donal Borolan (1995) secara
sederhana menyebutkan franchising (waralaba), sebagai istilah yang
menunjukkan hubungan antara dua pihak untuk mendistribusikan barang
atau jasa.
Dalam kegiatan franchising paling tidak, terikat dua pihak yang
saling berhubungan yakni:
a. Franchisor (penjual) yaitu pihak yang memperkenalkan pemegang
(pembeli) franchise menggunakan nama dagang, produk, teknik dan
proses franchise dengan mengharuskan diikutinya standar melalui
persetujuan lisensi.
b. Franchisee (pembeli) yaitu pihak yang membeli suatu bisnis dan
menarik manfaat dari pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan

pelayanan yang dapat disediakan penjual (pemilik franchise).
2. Jenis-jenis Francise
Joseph Moncuse Donald Boroian, menyebutkan tiga jenis franchise:
a. Franchising Formal Bisnis (yang sering disebut dengan franchising
saja)
Manajer atau pemilik franchise (franchisor) mengizinkan seseorang
memasarkan produk atau jasa menggunakan nama, merek dagang dan
format bisns franchisor. Produk yang dijual tersebut umumnya tidak
disediakan franchise tapi adakalanya bahan atau alat-alat disediakan
(dengan imbalan) oleh franchisor (untuk fast food misalnya Mac
Donald).
b. Franchising Produk atau Merek Dagang

5

Berhubungan dengan distribusi produk dengan pemberikan lisensi
pemegang franchise untuk memasarkan produk dari perusahaan
(franchisor) pada wilayah tertentu misalnya dalam industri otomotif
(mobil),


elektronika,

komputer,

dan

sebagainya.

Selanjutnya,

pemegang franchise wilayah tersebut dapat men-subfranchisekan lagi
pada orang lain untuk bagian-bagian wilayah yang lebih baik lagi.
c. Franchising Konversi
Franchise konversi sebetulnya adalah franchising format bisnis yang
diadaptasikan untuk mengangkat nama pendiri bisnis dalam iklan,
misalnya Century 21.
3. Penghasilan yang diterima/ diperoleh dari bisnis franchise
Dari pemegang (franchise), pemilik (franchisor) dapat memperoleh
penghasilan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Uang franchise awal (initial franchise fee)

b. Uang franchise terus menerus (continuing franchise fee)
c. Kenaikan harga produk
4. Metode-metode Franschising
Ada beberapa metode franchising yaitu:
a. Lisensi master
Dilakukan dengan memberikan lisensi kepada sebuah perusahaan atau
orang di wilayah negara tertentu dan memberinya hak operasi untuk
seluruh wilayah tersebut dan dapat memberikan sub-franchise di
wilayah tersebut atau wilayah yang lebih kecil kepada franchise yang
mengoperasikannya.
b. Operasi anak perusahaan (subsidiary company)
Franchising dengan mengoperasikan anak perusahaan lebih bersifat
bentuk legal sarana beroperasi (cabang sebagai bagian dari perusahaan
franchisor, anak perusahaan sebagai badan hukum tersendiri).
c. Operasi cabang
Sementara franchisor dapat membuka cabang di suatu negara yang
memanfaatkannya dalam wilayah tersebut.
6

d. Lisensi langsung

Lisensi langsung (direct licencing) merupakan pemberian franchise
langsung kepada pemilik unit operasional dan dukungan langsung
terutama antar negara yang berdekatan wilayahnya.

B. Royati
1. Pengertian Royalti menurut UU Domestik
Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh, pada
dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu
sehubungan dengan penggunaan:
a. Hak atas hak tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek
dangan, formula, atau rahasia perusahaan;
b. Hak atas harta berwujud, misalnya hal atas alat-alat industri, komersial,
dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri,
komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang
mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang
digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran
minyak (drilling rig) dan sebagainya
c. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum,
walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang
industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud
adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya
tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilan informasi tersebut.
Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi
yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum atau ahli
teknik sesuai dengan bidang keahliannya yang dapat diberikan oleh
setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama

2. Pengeritan Royalti Menurut OECD Model
Menurut OECD Model Pasal 12 ayat 2, royalti berarti setiap jenis
pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan atau atas hak
7

untuk menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian atau kerja
ilmiah, termasuk fim sinematografi, paten, merek dagang, pola atau model,
perencanaan, rumus rahasia, atau cara pengolahan, atau untuk informasi di
bidang industri, perdagangan atau pengalaman ilmu pengetahuan.
3. Pengertian Royalti Menurut UN Model
Menurut UN Model Pasal 12 ayat 3, royalti berarti setiap jenis
pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan atau atas hak
untuk menggunakan setiap hak cipat kesusteraan, kesenian atau kerja
ilmiah, termasuk sinematografi, paten, merk dagang, pola atau model,
perencanaan, rumus rahasia, atau cara pengolahan, atau untuk penggunaan
atau hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan
atau ilmu pengetahuan atau untuk informasi di bidang industri,
perdagangan atau pengalaman ilmu pengetahuan.

C. Imbalan Jasa Teknik
1. Pengertian Imbalan Jasa Teknik menurut UU Pajak Domestik
Pengertian Imbalan Jasa Teknik menurut UU Pajak Domestik
diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2009
tanggal 25 Mei 2009 , tentang Jumlah Bruto sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pengertian Imbalan Jasa Teknk menurut Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (Tax Treaty)
Menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty),
pada umumnya secara implisit telah tercakup dalam kalimat “furnishing of
services”. Yaitu kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria Badan Usaha
Tetap (BUT) bila telah memenuhi uji waktu.
Khusus dalam Tax Treaty antara Indonesia dengan Pakistan, Swiss,
Jerman, Luxemburg, dan Venezuela jasa teknik diatur secara tersendiri dan

8

pemajakannya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak lain (withholding)
serta dengan penerapan reduced rate.

D. Bussiness Profit
1. Bussiness profit menurut OECD Model
Menurut OECD Model pasal 7:
“Laba perusahaan dari satu Negara pihak pada Persetujuan (Contracting
States) hanya akan dikenai pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
(The Other Contracting States) melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila
perusahaan itu menjalankan usaha seperti dimaksud diatas, laba
perusahaan dapat dikenai pajak di Negara lainnya tetapi hanya sebesar
bagian laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap”.
OECD Model menganut attribution principle artinya adalah bahwa
yang dianggap laba usaha yang diperoleh dari kegiatan usaha di Negara
sumber oleh perusahaan yang merupakan penduduk dari Negara domisili
adalah laba yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh bentuk usaha
tetap saja.
2. Bussiness profit menurut UN Model
Menurut UN Model pasal 7:
“Laba perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan (Contracting
States) hanya akan dikenai pajak di Negara itu kecuali jika perusahaan
tersebut menjalankan usahanya di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
(The Other Contracting States) melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila
perusahaan itu menjalankan usaha seperti dimaksud di atas, laba
perusahaan dapat dikenai pajak di Negara lainnya tetapi hanya sebesar
bagian laba yang dianggap berasal dari:
a. Bentuk usaha tetap
b. Penjualan barang-barang atau barang dagangan di Negara lainnya,
yang jenisnya sama atau serupa seperti yang dijual melalui bentuk
usaha tetap tersebut; atau

9

c. Kegiatan usaha lainnya yang dilakukan di Negara lain yang sejenisnya
sama atau serupa seperti yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap
tersebut.
Sedangkan UN Model menganut force of attraction principle
artinya yang dianggap sebagai laba usaha dari usaha bentuk usaha tetap
bukan hanya laba dari kegiatan yang langsung dilakukan oleh betuk usaha
tetap, tetapi juga laba yang berasal dari kegiatan yang dilakukan di luar
bentuk usaha tetap oleh kantor pusatnya.

E. Bentuk Usaha Tetap
1. Pengertian BUT menurut UU PPh
Berdasarkan pasal 2ayat (5) UU PPh ada beberapa kriteria
sehingga dapat dikatakan adanya suatu BUT, yaitu:
Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak
berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen
b. Cabang perusahaan
c. Kantor perwakilan
d. Gedung kantor
e. Pabrik
f. Bengkel
g. Pertambangan dan penggalian sumber, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan
h. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
i. Proyek kontruksi, instalasi,atau proyek perakitan
j. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang
lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12
bulan
10

k. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas
l. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak bertempat

kedudukan di Indonesia yang menerima premi

asuransi atau menanggung risiko di Indonesia

2. Pengertian BUT menurut OECD Model
Menurut OECD Model pasal 5 BUT didefinisikan sebagai suatu
tempat usaha tetap di salah satu negara dimana seluruh atau sebagian
usaha dari suatu perusahaan dari negara lainnya dijalankan yang meliputi:
a. Suatu tempat kedudukan manajemen
b. Suatu kantor cabang
c. Suatu pabrik
d. Suatu bengkel
e. Suatu lokasi tambang, sumur minyak bumi atau gas, suatu penggalian
atau tempat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
BUT juga meliputi bangunan, kontruksi, proyek perakitan atau proyek
instalasi selama lebih dari 12 bulan

3. Pengertian BUT menurut UN Model
Menurut UN Model pasal 5 BUT didefinisikan sebagai suatu
tempat usaha di salah satu negara dimana seluruh atau sebagian usaha dari
suatu perusahaan dari negara lainnya dijalankan yang meliputi:
a. Suatu tempat kedudukan manajemen
b. Suatu cabang
c. Suatu kantor
d. Suatu pabrik
e. Suatu bengkel
f. Suatu lahan pertanian
g. Suatu gudang

11

h. Suatu lokasi tambang, sumur minyak bumi atau gas, suatu penggalian
atau tempat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
BUT juga meliputi:
a. Bangunan, konstruksi, proyek perakitan atau instalasi atau kegiatan
pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, asalkan
bangunan dan konstruksi serta kegiatan pengawasannya berlangsung
selama lebih dari 6 bulan
b. Pemberikan jasa, termasuk jasa konsultan yang diberikan oleh suatu
perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan
oleh perusahaan untuk keperluan tersebut, sepanjang kegiatan itu
berlangsung untuk proyek yang sama, atau yang berkaitan, di negara
tersebut selama lebih dari 6 bulan dalam kurun waktu 12 bulan

F. Aspek Pajak Penghasilan
1. Objek PPh Pasal 23
Berdasarkan UU PPh pasal 23 ayat 1 atas penghasilan tersebut di
bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
1. Dividen segaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. Bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1)
huruf e;
b. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
12

c. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas:
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta
2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.

2.

Objek PPh Pasal 26
Berdasarkan UU PPh Pasal 26 ayat 1 atas penghasilan tersebut di
bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan
atau terutang

oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam

negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Dividen;
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swal dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. Royalti,

sewa

dan

penghasilan

lain

sehubungan

dengan

penggunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan pengenaan jasa, pekerjaan dan
kegiatan;
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya

G. Aspek Pajak Pertambahan Nilai
1. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Objek Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C
dan Pasal 16D UU Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah oleh
UU Nomor 42 tahun 2009 adalah sebagai berikut:
13

a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain;
h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan
semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual belikan, sepanjang Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan.
2. Barang Kena Pajak
Di dalam pasal 1 huruf c dan huruf b yang baru UU No.42 Tahun
2009, pengertian Barang Kena Pajak dirumuskan sebagai berikut:
“Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak
maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-undang ini”.

3. Jasa Kena Pajak
Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009, Jasa Kena Pajak didefinisikan
sebagai berikut:
“Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau
fasilitas atau kemudahan atas hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
14

permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang
dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”.

4. Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di
Dalam Daerah Pabean
Berdasarkan dasar hukum yaitu pasal 3A ayat (3) dan pasal 11 ayat
(4) UU PPN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010
yang berlaku 1 April 2010 adalah sebagai berikut:
a. Saat mulai pemanfaatan adalah ditentukan oleh perbuatan/ peristiwa
hukum yang lebih dahulu dilakukan atau diketahui ada diantara 5
perbuatan hukum yang dilakukan pada:
1. Saat secara nyata BKP Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
tersebut digunakan;
2. Saat harga perolehannya dinyatakan sebagai utang;
3. Saat harga jual atau penggantian ditagih oleh pihak yang
menyerahkan;
4. Saat harga perolehan dibayar sebagian atau seluruhnya;
5. Saat ditandatangani surat perjanjian dalam hal saat butir (1) sampai
dengan (4) tidak diketahui
b. BKP tidak berwujud dapat berupa hak patent, hak oktroi, hak cipta dan
merek dagang
c. Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dapat berupa:
1. Jasa berasal dari luar Daerah Pabean yang melekat atau ditujukan
pada barang tidak bergerak yang terletak di Dalam Daerah Pabean.
Misalnya maket gedung hotel yang terletak di Jakarta, dibuat di
Singapura.
2. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau
ditujukan untuk Barang Bergerak yang berada atau dimanjaatkan
didalam Daerah Pabean. Misalnya rig disewa dari pengusaha di
Hongkong untuk kegiatan pencarian sumber-sumber minyak di
lepas pantai Laut Jawa.
15

3. Jasa yang dilakukan secara fisik di dalalm Daerah Pabean
(penyerahan oleh Pengusaha dari luar Daerah Pabean). Misalnya
jasa konsultan, pengacara, kantor akuntan publik, jasa surveyor
yang dilakukan oleh pengusaha dari luar Daerah Pabean tetapi
dilakukan di dalam Daerah Pabean.
d. Cara penghitungan pajak terutang
1. 10% dari jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan
dalam hal:
i.

Jumlah yang dibayarkan belum termasuk PPN

ii.

Tidak diketemukan surat perjanjian untuk pembayaran
dimaksud

iii.

Ada surat perjanjian tetapi tidak ada penegasan bahwa dalam
harga kontrak sudah termasuk PPN

2. 10/110 dari jumlah pembayaran yang dinyatakan sudah termauk
PPN
e. Orang Pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud
atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, wajib mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP.

II.2. METODE PENGUMPULAN DATA

Makalah ini bersifat deskripsi analisis. Adapun metode pengumpulan data
yang digunakan berasal dari kepustakaan atau literatur yang meliputi
pengumpulan bahan-bahan bacaan dari buku-buku literatur, referensi, dan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang beserta peraturan
pelaksanaannya.

16

II.3. PEMBAHASAN

A. Perlakuan Pajak Penghasilan
1. Initial Franchise Fee
Kontrak franchise pada umumnya memuat initial franchise fee
yang akan dibebankan oleh franchisor kepada franchise untuk menagih
semua biaya awal sebagai akibat penyediaan franchise tersebut. Sebagai
biaya awal dapat meliputi biaya operasi percobaan dan menjalankan
operasi sebagai pengujian bahwa sistem (formula) dapat berjalan dengan
baik. Selebihnya termasuk biaya penyusunan struktur organisasi untuk
menyediakan berbagai pelayanan seperti perekrutan, pelatihan dan jasa
lainnya bagi franchise. Selanjutnya, beberapa biaya yang mungkin masih
ditanggung franchisor termasuk:








Pembuatan logo perusahaan, disain toko, dan tata ruang
Penyiapan petunjuk operasional dan pencetakannya
Pembuatan fasilitas pelatihan
Professional fee, seperti akuntansi jasa hukum dan pendaftaran
hak milik intelektural dan industri (HAKI, Patent) serta penyiapan







dokumen hukum
Jasa konsultasi
Biaya perekrutan dan seleksi franchise
Biaya lainnya
Dengan mengabaikan implikasi pajak bagi pihak yang memberikan

jasa kepada franchisor, maka biaya-biaya tersebut merupakan jumlah
yang akan dimintakan kembali (recovery) dari franchise. Apakah
franchisor akan mengutip mark up tergantung pada kebijakan
manajemennya.
Disamping itu, kadangkala pada tahap awal operasi franchise,
franchisor dapat memberikan paket berupa jasa teknik, penjualan barang
dan penjualan atau persewaan peralatan. Ada juga yang memberikan
„turn key operation‟ dengan melengkapi perabotan toko dan suku cadang
17

serta keperluan lainnya sehingga bisnis siap dioperasikan. Sehubungan
dengan perabotan, perlengkapan suku cadang, barang dan jasa teknik
tersebut, franchisor dapat menghitung dalam jumlah terpisah atau
digabungkan dengan initial franchise fee. Pemisahan hitungan akan lebih
menjelaskan transaksi, karena pada hakikatnya keduangan merupakan
transaksi yang berbeda (penjualan atau pemberikan jasa, dan penutupan
franchise). Hal ini berarti kontrak

penutupan franchise sangat

menentukan untuk menentukan jenis penghasilan yang diperoleh
franchisor pada tahap awal operasi franchise. Dalam kontrak harus
dirinci secara jelas mana penghasilan yang merupakan intial franchise fee,
penjualan barang/peralatan, persewaan peralatan, dan pemberian jasa
teknik.

a.

Initial franchise fee dan penjualan barang/peralatan
Berdasarkan karakteristik initial franchise fee yang diterima oleh
franchisor, maka dapat dikatakan bahwa penghasilan tersebut
merupakan penghasilan dari usaha. Apabila franchisor merupakan
Wajib Pajak Dalam Negeri, maka atas penghasilan berupa initial
franchise fee dan penjualan barang harus dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh. Dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam
Negeri, maka penghasilan dari usaha tersebut hanya akan dikenakan
pajak di Indonesia apabila franchisor menjalakan usaha di Indonesia
melalui suatu bentuk usaha tetap. Dari berbagai metode franchise
yang ada, maka metode franchise dengan operasi cabang dapat
dipastikan akan menimbulkan suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dalam hal demikian, makan kewajiban pajak franchisor di Indonesia,
diperlakukan sama dengan kewajiban pajak Wajib Pajak Dalam
Negeri.
Terhadap franchisor yang merupakan penduduk dari negara yang
memiliki P3B dengan Indonesai, maka penghasilan kantor cabang
sebagai bentuk usaha tetap yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya
18

mengacu kepada Pasal yang terkait dengan penghasilan dari usaha
dalam P3B yang bersangkutan yang umumnya meliputi:
 Penghasilan dari kantor cabang

 Penghasilan kantor pusat dari penjualan barang-barang atau
barang dagangan di Indonesai yang jenisnya sama atau serupa
seperti yang dijual melalui kantor cabang

 Penghasilan kantor pusat dari kegiatan atau usaha lainnya yang
dilakukan di Indonesia yang jenisnya sama atau serupa seperti
yang dilakukan melalui kantor cabang.
Sedangkan terhadap franchisor dari negara yang tidak memiliki P3B
dengan Indonesia, maka penghasilan yang merupakan objek pajak
bagi kantor cabang meliputi:

 Penghasilan dari usaha atau kegiatan kantor cabang dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai

 Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan
yang dijalankan atau yang dilakukan oleh kantor cabang di
Indonesia

 Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh
yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat
hubungan efektif antara kantor cabang dengan harga atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
b. Persewaan peralatan
Adakalanya peralatan yang diberikan oleh franchisor kepada
franchisee tidak dilakukan dalam bentuk penjualan melainkan dalam
bentuk persewaan. Dalam kasus ini, apabila franchisor merupakan
Wajib Pajak Dalam Negeri, maka franchisee harus melakukan
pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan sehubungan dengan
penggunaan harga sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto
penghasilan tersebut. Dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak
Luar Negeri, maka pengenaan pajaknya mengacu kepada P3B yang
19

bersangkutan atau sesuai dengan Pasal 26 UU PPh. Perlakuan sesuai
ketentuan P3B Indonesia dengan negara treaty partner atas hak
penggunaan peralatan memiliki perbedaan antara satu P3B dengan
P3B

lainnya

sesuai

dengan

kesepakatan.

Sebagian

P3B

memperlakukan penghasilan atas hak penggunaan peralatan sebagai
royalti sedangkan sebagian P3B yang lain memperlakukannya sebagai
penghasilan dari usaha.
1)

Penggunaan peralatan yang dikategorikan sebagai royalti
Terhadap

imbalan

atas

hak

penggunaan

peralatan

yang

dikategorikan sebagai royalti, maka franchise wajib memotong PPh
Pasal 26 dengan tarif sesuai P3B yang bersangkutan atas jumlah
bruto transaksi dan bersifat final. Namun, perlakuan

terhadap

royalti tersebut berubah menjadi penghasilan dari usaha bentuk
usaha tetap bila royalti ini mempunyai hubungan yang efektif
dengan bentuk usaha tetap itu.
Yang dimaksud dengan efektif disini adalah bahwa timbulnya
sautu bentuk usaha tetap berhubungan erat dengan pembayaran
royalti. Misalnya, disamping menyewakan peralatannya, franchisor
juga melakukan kegaitan pemberian jasa yang menimbulkan
bentuk usaha tetap. Dengan adanya bentuk usaha tetap tersebut,
maka pembayaran royalti atas hak menggunakan peralatan menjadi
mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap yang
ada di Indonesia. Akibatnya adalah perlakuan royalti berubah dari
passive income menjadi business income, sebab ia harus
digabungkan dengan laba usaha dari bentuk usaha tetap.
Penghasilan royalti tersebut harus digabung dengan penghasilanpenghasilan bentuk usaha tetap lainnya serta dikenakan pajak atas
basis neto dengan menerapkan tarif progesif. Adapun PPh Pasal
26 yang sudah dipotong oleh franchisee dapat dikreditkan oleh
bentuk usaha tetap franchisor tersebut.

20

Perlakuan yang berbeda terjadi bilamana royalty tersebut
dibebankan kepada kantor cabang franchisor di Indonesia yang dari
awal sudah merupakan bentuk usaha tetap. Royalti yang dibayar
oleh kantor cabang kepada kantor pusatnya atas penggunaan
peralatan tersebut bukan merupakan objek pajak bagi kantor pusat
dan di sisi lain bukan merupakan biaya bagi kantor cabang
franchisor. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya bentuk
usaha tetap berupa kantor cabang merupakan satu kesatuan dengan
kantor pusatnya, sehingga pembayaran royalti tersebut hanya
merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan.
2. Penggunaan peralatan yang dikategorikan sebagai penghasilan dari
usaha
Terhadap imbalan atas hak penggunaan peralatan yang menurut
P3B dikategorikan sebagai penghasilan dari usaha, maka
penghasilan tersebut hanya akan dikenakan pajak di Indonesia
apabila franchisor menjalankan usaha di Indonesia melalui suatu
bentuk usaha tetap. Jadi, apabila penyewaan peralatan oleh
franchisor tidak dilakukan melalui bentuk usaha tetap, maka
penghasilan

tersebut hanya dikenai pajak di negara franchisor

menjadi penduduk.
Perlu juga diperhatikan bahwa untuk menerapkan pengenaan tarif PPh
Pasal 26 atau tidak dikenakannya pajak atas penghasilan sebagaimana
diatur dalam P3B bersangkutan, franchisor wajib menyerahkan asli
Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Competent Authority
atau wakilnya yang sah di negara tempat kedudukan (residence)
franchisor kepada franchisee di Indonesia dan franchisee harus
menyampaikan fotocopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat dimana ia terdaftar
sebagai Wajib Pajak. Asli Surat Keterangan Domisili yang berlaku
selama satu tahun tersebut menjadi dasar bagi franchisee untuk
menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B
21

yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan
(residence) dari franchisor.

Dalam hal franchisor merupakan penduduk dari negara yang tidak
memiliki P3B dengan Indonesia, maka atas penghasilan dari
penggunaan peralatan tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif
20% dari jumlah bruto transaksi bersifat final.

c. Imbalan Jasa Teknik
1) Pemberian jasa teknik dalam tahap awal, yang dapat pula
berlangsung sampai periode waktu tertentu, merupakan objek PPh
Pasal 23 dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam
Negeri. PPh yang harus dipotong oleh franchisee atas penghasilan
jasa teknik tersebut adalah sebesar jumlah bruto transaksi
dikalikan tarif ekfektif 2 %.
2) Dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, maka
pengenaan PPh atas imbalan

jasa teknik tersebut diperlakukan

sebagai berikut:
a) Franchisor merupakan penduduk dari negara treaty partner
Apabila franchisor merupakan penduduk dari negara treaty
partner, maka penghasilan dari pemberian jasa teknik hanya
akan dikenai pajak di Indonesia jika jasa tersebut dilakukan di
Indonesia dan melewati tes waktu sebagaimana diatur dalam
P3B yang bersangkutan. Ini berarti bahwa apabila franchisor
melakukan pemberikan jasa teknik tidak di Indonesia, maka
Indonesia tidak berhak untuk mengenakan pajak atas imbalan
jasa teknik. Lebih jauh, apabila pemberian jasa oleh franchisor
di Indonesia kurang dari tes waktu seperti yang disebutkan
dalam P3B yang bersangkutan, imbalan jasa teknik tersebut
tidak dikenakan pajak di Indonesia sebab kegiatan itu tidak
menimbulkan bentuk usaha tetap. Jangka waktu penghitungan
22

tes waktu untuk pemberian jasa teknik tidak harus secara terus
menerus. Tes waktu pemberian jasa dihitung mulai hari
pertama, kemudian dari sana dilihat dalam rentang waktu 12
bulan. Jika selama itu pemberian jasa melebihi jasa melebihi
tes waktu yang ditentukan dalam P3B, ia akan dianggap
sebagai bentuk usaha tetap. Jangka waktu penghitungan tes
waktu untuk pemberian jasa teknik tidak harus secara terus
menerus. Tes waktu pemberian jasa dihitung mulai hari
pertama, kemudian dari sana dilihat dalam rentang waktu 12
bulan. Jika selama itu pemberian jasa melebihi jasa melebihi
tes waktu yang ditentukan dalam P3B, ia akan dianggap
sebagai bentuk usaha tetap.
Apabila dalam kurun waktu yang sama dikirim lebih dari satu
orang, penghitungan waktu jumlah tenaga ahli tersebut tidak
berpengaruh. Artinya, bila dalam taraf pertama jasa teknik ini
diberikan selama satu bulan dua orang tenaga ahli,
penghitungan waktunya adalah tetap satu bulan.
Dalam hal pemberian jasa teknik di Indonesia menimbulkan
adanya suatu bentuk usaha tetap, maka imbalan sehubungan
jasa teknik tersebut dikenakan pajak di Indonesia dan
dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif efektif
sebesar 6% dari jumlah bruto transaksi. PPh Pasal 23 yang
dipotong tersebut merupakan pembayaran pajak pendahuluan
bagi franchisor dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
b) Franchisor bukan penduduk dari negara treaty partner
Apabila franchisor merupakan penduduk dari negara yang
tidak memiliki P3B dengan Indonesia, maka atas imbalan jasa
teknik

yang

diberikan

kepada

franchisee

dikenakan

pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto
transaksi.

23

2. Continuing Franchise Fee
Continuing

franchisee

fee

merupakan

pembayaran

yang

berkelanjutan atas jasa (penyerahan hak) oleh franchisor. Jasa tersebut
pada umumnya dihitung sebesar persentase tertentu dari penghasilan dari
(penjual) franchise. Persentase tersebut dapat tetap besarnya (flat rate) atau
meningkat (gradual) sesuai dengan perjanjian, misalnya untuk memberikan
masa pertumbuhan kepada franchisee. Hak yang dimaksud dalam hal ini
adalah hak sehubungan dengan penggunaan nama dagang, produk, teknik
dan proses franchise, termasuk sistem pelayanan dengan mengharuskan
diikutinya standar melalui persetujuan lisensi.
Berdasarkan penjelasan Pasal 4 (1) huruf h UU PPh, continuing
franchise fee jelas merupakan penghasilan

royalty bagi franchisor.

Implikasinya adalah franchisee sebagai pihak yang membayar penghasilan
tersebut harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto transaksi bila franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam
Negeri.
Continuing

franchise

fee

juga

memenuhi

definisi

royalti

sebagaimana tersebut dalam P3B Indonesia dengan negara treaty partner.
Persetujuan lisensi atas penggunaan hak untuk menggunakan nama dagang,
produk, teknik dan proses franchise merupakan dasar hukum yang kuat
dalam mengkategorikan penghasilan tersbut sebagai penghasilan royalti.
Dengan diperlakukannya continuing franchise sebagai royalti, maka
perlakuan pajak terhadap franchisor yang merupakan Wajib Pajak Luar
Negeri sama dengan perlakuan hak atas penggunaan peralatan yang
dikategorikan sebagai royalti.

B. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
Perlakuan PPN atas aktivitas bisnis yang menggunakan format franchise
pada dasarnya tetap mengacu pada karakteristik penyerahan barang/jasa yang
dapat dikenakan PPN. Karakteristik suatu penyerahan dapat dikenakan PPN
adalah apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
24

1. Penyerahan Barang Kena pajak/Jasa Kena Pajak
2. Di dalam daerah pabean
3. Dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan
4. Penyerahan harus dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
Dari karakteristik tersebut dapat dipahami bahwa barang yang
diserahkan oleh franchisor maupun franchisee harus merupakan barang
berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan
pajak berdasarkan UU PPN. Demikian pula, jasa yang diserahkan harus
merupakan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Ini berarti jika
barang/jasa yang diserahkan franchisor dan franchisee tersebut merupakan
barang/jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana tercantum
dalam PP No.144 Tahun 2000, maka atas penyerahan barang/jasa tersebut
tidak dikenakan PPN.
Berkaitan dengan franchisee sebagai hak untuk menggunakan nama
dagang, produk, teknik dan proses franchisee dalam suatu perjanjian lisensi
menurut UU PPh jelas merupakan barang tidak berwujud. Merujuk kepada
memori penjelasan Pasal 1 huruf b UU No.42 Tahun 2009 ditegaskan bahwa
yang dimaksud dengan barang tidak berwujud adalah antar lain hak atas
merek dagang, hak paten, dan hak cipta. Meskipun demikian, karena
franchisee tidak termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenakan PPN,
maka dapat disimpulkan bahwa franchise merupakan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
Sebagai konsekuensi dari dikenakannya PPN atas royalty sehubungan
dengan franchisee sebagai barang kena pajak, maka franchisor sebagai pihak
yang melakukan penyerahan franchisee kepada franchisee harus dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak sepanjang franchisor tidak tergolong sebagai
pengusaha kecil. Ini berarti meskipun barang/jasa yang diserahkan oleh
franshisor dikecualikan dari pengenaan PPN, sepanjang franchisor tersebut
tidak tergolong sebagi pengusaha kecil, maka ia harus dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak.
25

Terhadap franchisee yang berasal dari franchisor yang berkedudukan
di luar daerah pabean, maka pengenaan PPN nya merupakan tanggung jawab
renteng dari franchisee yang berkedudukan di dalam daerah pabean sebagai
bentuk pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean tanpa memperhatikan apakah franchisee
merupakan pengusaha kena pajak atau bukan. Sejalan dengan perlakuan ini,
pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
yang diberikan oleh franchisor tersebut juga harus dikenakan PPN.
Berkaitan dengan impor barang kena pajak yang dilakukan oleh
franchisee dari franchisor, tanpa memperhatikan apakah

franchisee

merupakan pengusaha kena pajak atau tidak, tetap dikenakan PPN impor.

26

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan
1. Franchise merupakan aktiva tak berwujud berupa hak untuk menggunakan
nama dagang, produk, teknik dan proses, serta pelayanan yang dinyatakan
dalam suatu perjanjian lisensi.
2. Initial franchisee fee pada dasarnya merupakan penghasilan dari usaha
karena penghasilan ini tidak terkait dengan pembayaran imbalan tertentu
sehubungan dengan penggunaan hal melainkan terkait dengan penerimaan
atas sejumlah biaya awal yang dengan atau tanpa markup sebagai akibat
penyediaan franchise.
3. Penyediaan barang dan atau peralatan yang mengiringi initial franchisee
fee dikategorikan sebagai penghasilan dari usaha.
4. Persewaan peralatan yang disediakan oleh franchisor dapat dikategorikan
sebagai penghasilan sewa, royalti, atau penghasilan dari usaha tergantung
dari status franchisor apakah merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau
Luar Negeri dan keberadaan atau pengaturan P3B dengan negara
franchisor menjadi penduduk.
5. Continuing franchisee fee merupakan penghasilan royalti yang pengenaan
pajaknya tergantung dari status franchisor apakah merupakan Wajib Pajak
Dalam Negeri atau Luar Negeri dan keberadaan atau pengaturan P3B
dengan negara franchisor menjadi penduduk.
6. Franchisor

yang berkedudukan

memperhatikan

apakah

di

melakukan

dalam

daerah

penyerahan

pabean,

tanpa

barang/jasa

yang

dikecualikan dari pengenaan PPN harus dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak.
7. Imbalan royalti yang dibayarkan sehubungan dengan franchisee baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar daerah pabean merupakan objek PPN.

27

III.2. Saran
1. Perlu diterbitkan peraturan perpajakan yang secara tegas menyatakan
bahwa franshisor tidak tergolong sebagai pengusaha kecil yang
berkedudukan di dalam daerah pabean harus dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak.
2. Perlu dibuktikan peraturan perpajakan yang menegaskan jenis barang
tidak berwujud yang dikenakan pajak menurut UU PPN.

28

DAFTAR PUSTAKA
Gunadi., 1999. Pajak Dalam Aktivitas Bisnis, Jakarta: Abdi Tandur
Gunadi., 1999. Pajak Internasional, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Gunadi., 2009. Akuntansi Pajak sesuai

Undang-undang Pajak baru, Jakarta:

PT.Gramedia Widiasara
Gunadi., 2013. Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, Jakarta: Penerbit Bee
Media Indonesia
Sukardji, Untung., 2009. Pajak Pertambanan Nilai, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Surahmat, Rachmanto., 2011. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Jakarta:
Penerbit Salemba Empat
Waluyo., 2010.Akuntansi Pajak, Jakarta: Penerbit Salemba Empat
Waluyo., 2011. Perpajakan Indonesia Edisi 9, Buku 2, Jakarta: Penerbit Salemba
Empat
Waluyo., 2013. Perpajakan

Indonesia Edisi 11, Buku 1,Jakarta: Penerbit

Salemba Empat
Direktorat Jenderal Pajak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2007
Direktorat Jenderal Pajak. Undang-undang Republik Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan
atas barang Mewah sebagai telah dibuah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 42 Tahun 2009
Direktorat Jenderal Pajak. Himpunan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dan
Surat Edaran Direktorat Jenderal pajak
Ikatan Akuntan Indonesia., 2009. Standar Akuntansi Keuangan Tahun 2009,
Jakarta:Penerbit Salemba Empat
Smith,J.M.;K.F. Skousen.; E.K. Stice; dan J.D.Stice., 1995. Intermediate
Accounting. 12th ed South Western College Publishing

29

30