Manajemen Berbasis Sekolah MBS sebagai U
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai Upaya Pemberdayaan Sekolah Efektif di
Indonesia
Sekolah atau satuan pendidikan merupakan unit pendidikan formal yang secara
langsung dan utama berkenaan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Disebutkan
dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu, jelas bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan dituntut agar mampu
mengasilkan output, yaitu lulusan yang memiliki kompetesi unggul untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun bersaing di dunia kerja, sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
Keberhasilan sekolah dalam menghasilkan lulusan yang berkompeten sesuai dengan
sasaran atau tujuan pendidikan nasional menunjukkan bahwa telah muncul gejala efektivitas
sekolah. Getzel (1969) menyebutkan bahwa suatu sekolah akan disebut efektif jika terdapat
hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan untuk dikerjakan dengan hasil-hasil
yang dicapai oleh sekolah, sebaliknya sekolah dikatakan tidak efektif bila hubungan tersebut
rendah. Selanjutnya, Komariah (2004:28) menyebutkan sekolah efektif sebagai sekolah yang
menetapkan keberhasilan pada input, proses, output maupun outcome yang ditandai
dengan berkualitasnya komponen-komponen sistem tersebut. Dalam hal ini, input, proses,
output maupun outcome merupakan komponen-komponen sekolah yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan demikian efektivitas
sekolah bukan hanya pada tercapainya tujuan saja, tetapi juga berkaitan dengan mutu setiap
komponen sekolah yang merujuk pada mutu sekolah maupun mutu lulusan sekolah itu
sendiri.
Sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal memiliki berbagai keragaman
serta kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya sehingga sekolah harus dinamis
dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas atau
mutu pendidikan. Hal ini akan dapat terlaksana jika sekolah dengan berbagai keragamannya
itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan
kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi yang otonom
diberikan peluang untuk mengelola dalam proses koordinatif untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan. (Atmodiwirio 2000:5-6). Konsep pemikiran tersebut telah mendorong
munculnya pendekatan baru, yaitu pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang berbasis
sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan inilah yang
dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (school based
quality management/ school based quality improvement) (Suryosubroto 2004:204-205).
Selanjutnya, konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tersebut muncul dalam
kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah atau lebih dikenal sebagai School Based
Management (MBS).
Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling
bergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa,
orang tua, dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota
organisasi. Wohlstetter dalam Watson (1999) memberikan panduan yang komprehensif
sebagai elemen kunci reformasi MBS yang terdiri atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan
hasil yang diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 3)
adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 4) tingkat
kepemimpinan yang kuat, dukungan politik dan dukungan kepemimpinan dari atas, 5)
pembangunan kelembagaan (capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada
kepala sekolah, para guru, dan anggota dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam
pendanaan atau pembiayaan pendidikan (Nurkolis 2003:81-82).
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung
oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang
cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasana memadai
untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua) yang
tinggi [Sutomo 2012:122]. Dengan kata lain, input sekolah sangat menentukan kualitas atau
tingkat keberhasilan pelaksanaan MBS di setiap sekolah, oleh karenanya dalam
implementasi MBS dijumpai adanya pengelompokkan sekolah berdasarkan kemampuan
manajemennya dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah, yaitu
kategori sekolah yang baik, sedang, dan kurang. Perbedaan kemampuan manajemen
masing-masing sekolah membutuhkan penanganan yang berbeda sesuai tingkat
kemampuan dalam upaya implementasi MBS oleh pihak internal sekolah, seperti kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan, maupun pihak eksternal sekolah, seperti pemerintah
dan masyarakat termasuk orang tua peserta didik.
Berkaitan dengan MBS itu sendiri, beberapa Negara juga menerapkan model-model
MBS yang berbeda, bagaimanapun semuanya tetap mengarah pada satu titik, yaitu
peningkatan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap Negara tidak
terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Di Indonesia, model MBS disebut
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas
kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis 2003:107, lih. juga Depdiknas
2002:3). Jadi, MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS
bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi,
inovasi, relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan
pada peningkatan mutu (Depdiknas 2002:3-4). Upaya pelaksanaan MBS sangat memerlukan
adanya kerjasama masing-masing pihak yang berperan atau berkepentingan (stakeholders)
dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi, seperti kantor pendidikan pusat, kantor
pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala sekolah,
orang tua siswa dan masyarakat luas. Implementasi MBS dilaksanakan melalui tahapantahapan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kompleksitas permasalah
pendidikan di Indonesia, tahapan tersebut terdiri dari jangka pendek (tahun pertama sampai
tahun ketiga), jangka menengah (tahun keempat sampai tahun keenam), dan jangka panjang
(setelah tahun keenam). Secara garis besar, Fattah (2000) membaginya menjadi tiga tahap,
yaitu sosialisasi, piloting, dan deseminasi. Tahap sosialisasi merupakan tahapan penting
dalam rangka memperkenallkan MBS kepada masyarakat secara personal maupun
organisasional. Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep MBS tidak
mengandung resiko dengan persyaratan dasar, terdiri dari aksepbilitas (dapat diterima),
akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan), reflikabilitas (dapat direflikasi), dan
sustainabilitas (dapat dijaga kesinambungannya). Tahap diseminasi merupakan tahapan
memasyarakatkan model MBS yang telah diuji cobakan ke berbagi sekolah agar dapat
diimplementasikan secara efektif dan efisien.
Pemberdayaan sekolah efektif dapat diawali dengan mengukur sejauh mana
efektivitas sekolah untuk selanjutnya dapat dikembangkan agar menjadi lebih baik dari
capaian sebelumnya. Untuk mengukur keberhasilan kinerja sekolah dapat menggunakan
metode:
a. Pengukuran hasil (the outcomes method), menekankan kepada hasil akhir dari suatu
proses pendidikan di suatu sekolah, tanpa memperhatikan modal belajar awal dari
peserta didik. Metode pengukuran hasil ini biasanya dikaitkan dengan pencapaian
tujuan pendidikan yang umum dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan
institusional, tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional.
b. Metode pengukuran nilai tambah (the value-added method), menekankan kepada
seberapa banyak peserta didik telah memperoleh kemajuan atau peningkatan belajar
dalam suatu periode waktu sekolah. Pada cara ini berarti harus ada pengukuran potensi
awal sebelum peserta didik masuk sekolah untuk dibandingkan dengan hasil akhir
setelah yang bersangkutan memperoleh pendidikan di suatu sekolah.
Pemberdayaan sekolah efektif yang berfokus pada capaian hasil dan mutu dari
sekolah serta lulusan sekolah tersebut sejalan dengan pelaksanaan MBS yang juga
memfokuskan pada peningkatan mutu pendidikan dan kinerja sekolah. Oleh karena itu,
upaya pemberdayaan sekolah efektif di Indonesia sangat didukung oleh adanya konsep MBS
yang diterapkan oleh tiap-tiap sekolah. Melalui pelaksanaan MBS dalam penyelenggaraan
proses pendidikan suatu sekolah diharapkan tujuan sekolah dapat tercapai sebagai awal dari
tercapainya tujuan pendidikan nasional Indonesia.
Bahan Bacaan:
Moerdiyanto. 2007. Artikel: Manajemen Sekolah Indonesia Yang Efektif Melalui Penerapan
Total Quality Management. Diakses dari
http://staff.uny.ac.id/Artikel_Manajemen_Sekolah_Efektif.pdf
Scheerens, Jaap. 2003. Peningkatan Mutu Sekolah. Jakarta: Logos. Diakses dari
http://Funesdoc.unesco.org.
Sutapa, Mada. 2006. Artikel tentang Model Pengembangan Sekolah Efektif. Yogyakarta: UNY.
Diakses dari http://staff.uny.ac.id/Artikel_Jurnal_Ilmiah_Guru_COPE_Desember_2006.
Sutomo. 2012. Mnajemen Sekolah. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Penulis:
Anita Setyaningsih, mahasiswa S1, Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri
Semarang.
E-mail: [email protected]
Indonesia
Sekolah atau satuan pendidikan merupakan unit pendidikan formal yang secara
langsung dan utama berkenaan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Disebutkan
dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu, jelas bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan dituntut agar mampu
mengasilkan output, yaitu lulusan yang memiliki kompetesi unggul untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun bersaing di dunia kerja, sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
Keberhasilan sekolah dalam menghasilkan lulusan yang berkompeten sesuai dengan
sasaran atau tujuan pendidikan nasional menunjukkan bahwa telah muncul gejala efektivitas
sekolah. Getzel (1969) menyebutkan bahwa suatu sekolah akan disebut efektif jika terdapat
hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan untuk dikerjakan dengan hasil-hasil
yang dicapai oleh sekolah, sebaliknya sekolah dikatakan tidak efektif bila hubungan tersebut
rendah. Selanjutnya, Komariah (2004:28) menyebutkan sekolah efektif sebagai sekolah yang
menetapkan keberhasilan pada input, proses, output maupun outcome yang ditandai
dengan berkualitasnya komponen-komponen sistem tersebut. Dalam hal ini, input, proses,
output maupun outcome merupakan komponen-komponen sekolah yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan demikian efektivitas
sekolah bukan hanya pada tercapainya tujuan saja, tetapi juga berkaitan dengan mutu setiap
komponen sekolah yang merujuk pada mutu sekolah maupun mutu lulusan sekolah itu
sendiri.
Sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal memiliki berbagai keragaman
serta kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya sehingga sekolah harus dinamis
dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas atau
mutu pendidikan. Hal ini akan dapat terlaksana jika sekolah dengan berbagai keragamannya
itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan
kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi yang otonom
diberikan peluang untuk mengelola dalam proses koordinatif untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan. (Atmodiwirio 2000:5-6). Konsep pemikiran tersebut telah mendorong
munculnya pendekatan baru, yaitu pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang berbasis
sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan inilah yang
dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (school based
quality management/ school based quality improvement) (Suryosubroto 2004:204-205).
Selanjutnya, konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tersebut muncul dalam
kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah atau lebih dikenal sebagai School Based
Management (MBS).
Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling
bergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa,
orang tua, dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota
organisasi. Wohlstetter dalam Watson (1999) memberikan panduan yang komprehensif
sebagai elemen kunci reformasi MBS yang terdiri atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan
hasil yang diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 3)
adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 4) tingkat
kepemimpinan yang kuat, dukungan politik dan dukungan kepemimpinan dari atas, 5)
pembangunan kelembagaan (capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada
kepala sekolah, para guru, dan anggota dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam
pendanaan atau pembiayaan pendidikan (Nurkolis 2003:81-82).
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung
oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang
cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasana memadai
untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua) yang
tinggi [Sutomo 2012:122]. Dengan kata lain, input sekolah sangat menentukan kualitas atau
tingkat keberhasilan pelaksanaan MBS di setiap sekolah, oleh karenanya dalam
implementasi MBS dijumpai adanya pengelompokkan sekolah berdasarkan kemampuan
manajemennya dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah, yaitu
kategori sekolah yang baik, sedang, dan kurang. Perbedaan kemampuan manajemen
masing-masing sekolah membutuhkan penanganan yang berbeda sesuai tingkat
kemampuan dalam upaya implementasi MBS oleh pihak internal sekolah, seperti kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan, maupun pihak eksternal sekolah, seperti pemerintah
dan masyarakat termasuk orang tua peserta didik.
Berkaitan dengan MBS itu sendiri, beberapa Negara juga menerapkan model-model
MBS yang berbeda, bagaimanapun semuanya tetap mengarah pada satu titik, yaitu
peningkatan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap Negara tidak
terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Di Indonesia, model MBS disebut
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas
kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis 2003:107, lih. juga Depdiknas
2002:3). Jadi, MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS
bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi,
inovasi, relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan
pada peningkatan mutu (Depdiknas 2002:3-4). Upaya pelaksanaan MBS sangat memerlukan
adanya kerjasama masing-masing pihak yang berperan atau berkepentingan (stakeholders)
dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi, seperti kantor pendidikan pusat, kantor
pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala sekolah,
orang tua siswa dan masyarakat luas. Implementasi MBS dilaksanakan melalui tahapantahapan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kompleksitas permasalah
pendidikan di Indonesia, tahapan tersebut terdiri dari jangka pendek (tahun pertama sampai
tahun ketiga), jangka menengah (tahun keempat sampai tahun keenam), dan jangka panjang
(setelah tahun keenam). Secara garis besar, Fattah (2000) membaginya menjadi tiga tahap,
yaitu sosialisasi, piloting, dan deseminasi. Tahap sosialisasi merupakan tahapan penting
dalam rangka memperkenallkan MBS kepada masyarakat secara personal maupun
organisasional. Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep MBS tidak
mengandung resiko dengan persyaratan dasar, terdiri dari aksepbilitas (dapat diterima),
akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan), reflikabilitas (dapat direflikasi), dan
sustainabilitas (dapat dijaga kesinambungannya). Tahap diseminasi merupakan tahapan
memasyarakatkan model MBS yang telah diuji cobakan ke berbagi sekolah agar dapat
diimplementasikan secara efektif dan efisien.
Pemberdayaan sekolah efektif dapat diawali dengan mengukur sejauh mana
efektivitas sekolah untuk selanjutnya dapat dikembangkan agar menjadi lebih baik dari
capaian sebelumnya. Untuk mengukur keberhasilan kinerja sekolah dapat menggunakan
metode:
a. Pengukuran hasil (the outcomes method), menekankan kepada hasil akhir dari suatu
proses pendidikan di suatu sekolah, tanpa memperhatikan modal belajar awal dari
peserta didik. Metode pengukuran hasil ini biasanya dikaitkan dengan pencapaian
tujuan pendidikan yang umum dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan
institusional, tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional.
b. Metode pengukuran nilai tambah (the value-added method), menekankan kepada
seberapa banyak peserta didik telah memperoleh kemajuan atau peningkatan belajar
dalam suatu periode waktu sekolah. Pada cara ini berarti harus ada pengukuran potensi
awal sebelum peserta didik masuk sekolah untuk dibandingkan dengan hasil akhir
setelah yang bersangkutan memperoleh pendidikan di suatu sekolah.
Pemberdayaan sekolah efektif yang berfokus pada capaian hasil dan mutu dari
sekolah serta lulusan sekolah tersebut sejalan dengan pelaksanaan MBS yang juga
memfokuskan pada peningkatan mutu pendidikan dan kinerja sekolah. Oleh karena itu,
upaya pemberdayaan sekolah efektif di Indonesia sangat didukung oleh adanya konsep MBS
yang diterapkan oleh tiap-tiap sekolah. Melalui pelaksanaan MBS dalam penyelenggaraan
proses pendidikan suatu sekolah diharapkan tujuan sekolah dapat tercapai sebagai awal dari
tercapainya tujuan pendidikan nasional Indonesia.
Bahan Bacaan:
Moerdiyanto. 2007. Artikel: Manajemen Sekolah Indonesia Yang Efektif Melalui Penerapan
Total Quality Management. Diakses dari
http://staff.uny.ac.id/Artikel_Manajemen_Sekolah_Efektif.pdf
Scheerens, Jaap. 2003. Peningkatan Mutu Sekolah. Jakarta: Logos. Diakses dari
http://Funesdoc.unesco.org.
Sutapa, Mada. 2006. Artikel tentang Model Pengembangan Sekolah Efektif. Yogyakarta: UNY.
Diakses dari http://staff.uny.ac.id/Artikel_Jurnal_Ilmiah_Guru_COPE_Desember_2006.
Sutomo. 2012. Mnajemen Sekolah. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Penulis:
Anita Setyaningsih, mahasiswa S1, Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri
Semarang.
E-mail: [email protected]