Tugas Konflik Budaya dalam surat kabar

Tugas Konflik Budaya, Analisis
Konflik Sampit (Etnis Dayak dan
Etnis Madura)
ANALISIS KONFLIK SAMPIT
(Etnis Dayak dan Etnis Madura)
Abstrak :
Keberagaman etnis yang ada di Indonesia menyebabkan
munculnya suatu konflik, karena pada dasarnya setiap etnis
memiliki aturan-aturan atau adat istiadat sendiri yang dibuat
dari kesepakatan bersama kelompoknya. Kehidupan etnis yang
sangat kental memiliki ciri kehidupan yang tradisional dimana
mereka menjaga dan berusaha mengembangkan kebudayaan
serta adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek
moyangnya, mereka cenderung memiliki sikap taat dan patuh
serta menjunjung tinggi aturan, nilai dan norma yang ada,
dalam mempertahankan identitas kelompoknya mereka rela
berkorban agar identitas yang selama ini mereka jaga tidak
mudah goyah dan luntur. Konflik konflik antar etnis biasanya
terjadi akibat dari kurangnya rasa hormat dan menghargai
kebudayaan, adat-istiadat atau suatu kebiasaan yang dilakukan
oleh etnis lain. Dalam analisis ini akan dibahas mengenai

konflik yang terjadi antar kedua etnis dengan mengambil fokus
perhatian pada konflik yang terjadi di daerah Sampit,
Kalimantan Tengah yaitu etnis Dayak dan etnis Madura.
Dijelaskan bahwa ada rasa ketidaksenangan terhadap para
transmigran etnis Madura yang ditempatkan di daerah
pedalaman Kalimantan yang membuat etnis Dayak kehilangan
pijakan serta kebijakan pemerintah yang telah mengurangi
identitas mereka sebagai masyarakat adat, hal tersebut
memicu timbulnya konflik diantara etnis tersebut.

Kata Kunci: Kategori konflik, konflik dari segi sistem budaya,
penanggulangan konflik.

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah disebabkan
karena adanya rasa ketidaksenangan masyarakat Dayak

terhadap suku Madura karena para transmigran yang berasal
dari suku Madura membentuk sekitar 21% populasi di
Kalimantan Tengah. Sehingga apabila populasi ini banyak
didiami oleh penduduk suku Madura, maka hukum hukum baru
akan berlaku dan suku Dayak merasa terdesak akan hal itu,
selain itu Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan
yang mengakibatkan singgungan hutan juga merupakan
penyebab dari konflik tersebut. Hutan bagi masyarakat Dayak
adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran
ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan
penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu,
selanjutnya disebabkan karena lemahnya penegakan hukum,
hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan
banyaknya terjadi tindak kekerasan dan kriminal akibatnya
dalam mengatasi masalah masyarakat main hakim sendiri,
terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak
mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan.
Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan
pemerintah telah menghilangkan atau mengurangi identitas
mereka sebagai masyarakat adat.

Akibat dari faktor tersebut etnis Dayak mengambil tindakan
untuk melakukan pembunuhan. Mengetahui korban dari suku
Madura yang berjatuhan, warga Madura merasa tidak terima
dan kemudian membalas perbuatan yang sudah dilakukan oleh
orang Dayak dengan saling membunuh. Penyerangan yang
dilakukan oleh suku Dayak tidak berhenti sampai disitu saja,
suku Dayak yang berada di pedalaman keluar dengan

berbondong-bondong menyerbu etnis Madura dengan
membakar rumah-rumah penduduk, membunuh tanpa melihat
faktor usia. Para aparat keamanan yanga ada di Kalimantan
Tengah tidak dapat menghentikan konflik tersebut, akibatnya
korban banyak yang berjatuhan, penggalan kepala berserakan
di pinggir jalan. Disebutkan bahwa dalam pertempuran tersebut
terdapat kurang lebih 1000 orang tewas dalam pemenggalan
kepala yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah.

2.

ANALISIS KONFLIK

Berbicara mengenai konflik sampit yang terjadi antara dua
etnis yang berbeda, etnis pada dasarnya diartikan sebagai
sekumpulan orang atau kelompok masyarakat yang mendiami
suatu wilayah tertentu dengan menganut dan
mempertahankan kebudayaan, aturan-aturan sendiri,
menggunakan bahasa sendiri. etnis tidak selalu berjalan
dengan baik, apalagi melihat banyaknya etnis-etnis yang ada di
Indonesia, baik itu etnis melayu, etnis jawa, etnis madura, etnis
dayak dan lain sebagainya. permasalahan-permasalahan dapat
timbul di dalam etnis baik itu antar etnis yang berbeda maupun
dalam anggota etnis itu sendiri.
Kelompok etnis dapat dikenal sebagai populasi yang mampu
berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya
yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam bentuk budaya
itu sendiri, membentuk suatu jaringan komunikasi dan interaksi
antar kelompok, membangun suatu tujuan bersama untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan menjadi lebih baik,
menentukan ciri-ciri dari kelompoknya sehingga dapat diterima
oleh kelompok lain.
Dalam kehidupan atau pada kenyataannya, hubungan antar

etnis tidak selalu berjalan dengan baik, tidak selalu bisa
bekerjasama dengan baik. Adakalanya etnis dapat berbenturan
dengan etnis lain, baik itu karena masalah kecil maupun

masalah yang dianggap serius. Etnis yang hidupnya
berdampingan atau bertetangga dengan etnis lain dalam satu
wilayah dapat menimbulkan suatu konflik, biasanya konflik ini
berupa konflik yang berhubungan dengan aturan-aturan yang
tidak dapat diterima oleh kelompok lain, kekuasaan dalam
sebuah wilayah juga mempengaruhi adanya konflik, karena
dalam sebuah wilayah yang terdapat dua etnis akan
menimbulkan suatu persaingan dalam berbagai bidang, adanya
rasa ketidak adilan dalam hukum juga menjadi pemicu
terjadinya konflik. Seperti yang terjadi di Sampit, Kalimantan
Tengah, konflik yang terjadi antara dua etnis yang berbeda,
yaitu etnis Dayak yang memang dikatakan sebagai etnis asli
dari penduduk Kalimantan Tengah dengan etnis Madura yang
dapat dikatakan sebagai migran.
Konflik yang terjadi antara dua etnis ini dapat dikatakan
sebagai masalah sosial, sebab masalah sosial itu sendiri

disebut sebagai suatu bentuk kesulitan yang dialami oleh
masyarakat itu sendiri sehingga masalah-masalah tersebut
membutuhkan adanya pemecahan masalah. Apabila dalam
masalah itu dibiarkan begitu saja maka muncullah yang
namanya konflik, seperti kasus ini yang terjadi pada suku
Dayak yang tidak menginginkan keberadaan etnis Madura,
dalam diri etnis Dayak ada rasa ketidaksenangan yang timbul
sebagai masalah sosial, ia merasa terganggu dengan adanya
etnis Madura yang berbondong-bondong melakukan migrasi ke
kota Sampit, Kalimantan Tengah. Etnis Dayak yang memang
asli etnis tersebut merasa dirinya akan tersingkirkan dari tanah
mereka sendiri.
Jika dilihat dari bentuk konfliknya, etnis Dayak dan etnis Madura
dapat dikategorikan ke dalam kelompok masyarakat yang
disebut sebagai Gemeinschaft atau paguyuban. Dalam
paguyuban, kehidupan masyarakat mengelompok, membentuk
suatu kerjasama yang baik, memiliki rasa kesetiakawanan, rela
berkorban demi kelompoknya, memiliki rasa kesadaran kolektif
yang tinggi sebagai anggota dan selalu taat dengan aturan-


aturan yang telah dibuat. Dimana dalam konflik ini mereka
saling bekerjasama dalam mengahadapi perang dengan etnis
Madura, begitupun dengan etnis Madura. Adanya rasa
kekecewaan dan tidak terima jika salah satu anggota
kelompoknya disakiti dan dibunuh. Dalam kehidupan
mengelompok ini biasanya, akan terjadi politik balas dendam
dimana anggota-anggota lain akan membalas perbuatan yang
telah dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh etnis Dayak, jika
salah satu anggota mati maka etnis-etnis Dayak yang berada di
pedalaman akan keluar secara berbondong-bondong untuk
kembali membalas dan menghabisi dari yang telah dilakukan.
Akibatnya konflik tidak akan terselesaikan hingga salah satu
diantara dua etnis tersebut kalah dan terkikis dari tanah
Sampit, Kalimantan Tengah.
Menurut Roni Nitibaskara kekerasan dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu
1.

Kekerasan kolektif primitif yaitu tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh suatu kelompok individu yang tidak bersifat

secara politis dan luas lingkupnya terbatas pada komunitas
lokal saja. Tindakan kekerasan yang terjadi dalam kategori ini
adalah keributan (brawl), kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok pengaman masyarakat (vigilante group), kekerasan
dalam bentuk main hakim sendiri oleh kelompok masyarakat,
interaksi saling membenci antar kelompok yang berbeda.
2.
Kekerasan kolektif reaksioner, dalam kekerasan cirinya
adalah dilakukan oleh sekelompok kecil warga masyarakat yang
melakukan potes secara kekerasan terhadap cara-cara
pemegang kekuasaan melakukan tugasnya.
3.
Kekerasan kolektif modern, biasanya mempunyai tujuan
jelas dan di organisasi untuk tujuan politik dan ekonomi.
Jadi, konflik Sampit jika dilihat dari konteks kekerasannya ia
masuk dalam kekerasan kolektif primitif, dimana dalam konflik
ini adanya rasa benci terhadap etnis Madura, seperti yang telah
dijelaskan bahwa adanya rasa persaingan yang membuat etnis
Dayak merasa jika etnis Madura akan menguasai tanah


mereka, perasaan saling membenci antar agama, adanya
keributan, sehingga dalam penyelesaiannya mereka
menggunakan kekerasan untuk mengikis habis etnis Madura
dari tanah mereka atau bisa disebut sebagai budaya main
hakim sendiri.
Menurut Max Weber (dikutip oleh Robert Alexander) adanya
pengelompokan pendatang dan penduduk setempat membawa
implikasi pada interaksi kebudayaan yang dapat menimbulkan
tiga hal :
1.

Pengaruh yang dipaksakan untuk mencapai perubahan
secara cepat akan menyebabkan ketidakmampuan melakukan
perubahan karena harus mengubah adat-istiadat, kebiasaan
dan gaya hidup (life style) yang sudah dibudayakan sejak kecil.
2.
Pengaruh yang dipaksakan tanpa mengharap perubahan
yang cepat, akan menimbulkan prasangka terhadap pihak luar
yang seolah-olah enggan membagi kesejahteraan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka.

3.
Pengaruh yang tidak dipaksakan tapi diadopsi ke dalam
kehidupan atas kehendak mereka sendiri, akan menyebabkan
penolakan terhadap semua pengaruh dari asing.
Hal ini dapat dilihat dari pengelompokan atau pembentukan
berdasarkan latar belakang etnis dan budaya. Seperti
pembentukan yang dilakukan oleh para transmigran di Sampit,
Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh etnis Madura sekitar
21% populasi. Dimana mereka bergabung dalam satu populasi
membentuk satu tujuan yang sama. Dalam kehidupan
mengelompok ini biasanya sulit sekali untuk berinteraksi
dengan lingkungannya, hal ini disebabkan karena sulitnya
menerima kebiasaan-kebiasaan baru dan terlalu
mempertahankan tradisi kebudayaan sendiri.
Selain itu, dari segi ekonomi juga sangat mempengaruhi kasus
ini, ekonomi pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan yang
sangat penting untuk dipenuhi guna mempertahankan hidup
seseorang atau kelompok. Orang akan melakukan apa saja agar

kebutuhan ekonominya tersebut dapat terpenuhi. Sama halnya

dengan yang dilakukan oleh orang-orang Madura yang
melakukan transmigran menuju kota Sampit, Kalimantan
Tengah, sumber daya yang cukup memadai membuat etnis
Madura banyak berdatangan ke tanah tersebut.
Kemudian apabila dilihat dari segi budayanya, suku Dayak
memiliki ciri-ciri kebudayaan yang primordial, dimana dalam
hidupnya ia berorientasi pada dirinya sendiri. Mereka percaya
bahwa dengan adanya hutan dan rawa terdapat dua
masyarakat yang hidup di dalamnya yaitu masyarakat hidup
dan roh-roh manusia yang telah meninggal. Keduanya ini saling
berhubungan setiap harinya melalui adat dan tradisi yang
mereka lakukan. Ketika adat dan tradisi itu dirusak oleh etnisetnis lain maka mereka tidak segan-segan untuk
membunuhnya. Jadi suku Dayak disini, masih cenderung
bersifat tradisional, kepercayaan terhadap roh-roh halus masih
sangat kental dan berusaha untuk menjaga serta
menghormatinya. Sementara kebudayaan etnis Madura
memiliki ciri kebudayaan keluar, mereka menganggap bahwa
lahan hidup mereka tidak terbatas hanya di pulau Madura saja
tetapi juga terdapat di luar pulau, sehingga perpindahanlah
yang mereka lakukan untuk mencari sumber kehidupan.
Sehingga dari perbedaan budaya yang mereka memiliki akan
menimbulkan pergesekan-pergesekan budaya yang dapat
memunculkan adanya sebuah konflik, baik itu konflik yang pada
mulanya bersifat tertutup hingga terbuka, yang bisa
berdampak pada kehidupan kedua etnis tersebut.
Menurut Collier dan Hoeffler (dikutip oleh Robert Alexander),
situasi yang paling mudah memicu terjadinya konflik yaitu pada
saat kedua kelompok suku utama bersaing untuk memperoleh
kekuasaan. Dimana dalam konflik ini penguasaan terhadap
suatu wilayah tidak ingin diambil alih oleh etnis Madura, hal
tersebut tentu tidak akan terjadi apabila etnis Dayak memiliki
pola pikir yang baik dalam mempertahankan wilayah tersebut
tanpa menggunakan kekerasan. Pada kenyataannya, kehidupan

etnis Dayak yang masih berada di pedalaman memiliki latar
belakang pendidikan yang sangat minim, sehingga
penguasaan-penguasaan yang terjadi di wilayah Sampit
dengan sangat mudah dikuasai oleh orang-orang Asing.
Jika dilihat dari perspektif teori konflik menurut Ralf Dahrendrof,
dimana ia mengemukakan teori konflik sebagai teori konflik
dialektik. Bagi Dahrendrof, masyarakat mempunyai dua wajah,
yakni konflik dan konsensus. Kita tidak mungkin mengalami
konflik jika sebelumnya tidak ada konsensus. Seperti etnis
Dayak dan etnis Madura tidak akan mengalami atau terlibat
konflik, jika mereka tidak pernah mengenal satu sama lain dan
hidup bersama. Demikian sebaliknya, konflik bisa
mengantarkan orang kepada konsensus. Dalam fungsionalisme
struktural ia juga mengatakan bahwa keseimbangan dan
kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang sukarela atau
karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan dalam teoriteori konflik, kestabilan atau keseimbangan terjadi karena
paksaan. Hal itu berarti bahwa dalam masyarakat ada
beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas untuk
menguasai orang lain sehingga kestabilan bisa dicapai.
Sedangkan dalam interaksionisme simbolik aksi dan interaksi
yang dibuat oleh Mead tentang covert behavior atau tingkah
laku yang tersembunyi dan overt behavior atau tingkah laku
yang terbuka atau terang-terangan. Covert behavior adalah
proses berfikir yang melibatkan arti dan simbol-simbol.
Sedangkan overt behavior adalah tingkah laku aktual yang
dilakukan oleh seorang aktor. Ada beberapa overt behavior
yang tidak selalu melibatkan covert behavior. Artinya, ada
tingkah laku yang tidak didahului oleh proses berpikir. Covert
behavior menjadi pokok perhatian dari interaksionisme simbolik
sedangkan overt behavior menjadi pokok perhatian dari teori
pertukaran.
Arti dan simbol-simbol memberikan aksi dan interaksi sosial
suatu kekhasan. Tindakan sosial atau aksi pada dasarnya

adalah sebuah tindakan dimana seseorang bertindak dengan
selalu mempertimbangkan orang lain dalam pikirannya.
Dengan kata lain, dalam bertindak manusia selalu mngukur
dampak atau impaknya untuk orang lain yang terlibat dalam
tindakan itu. Sekalipun ada manusia yang bertindak tanpa
berpikir namun manusia mempunyai kemampuan untuk
melakukan tindakan sosial yakni tindakan yang terarah atau
yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam proses interaksi sosial,
manusia mengkomunikasikan arti-arti kepada orang-orang lain
melalui simbol-simbol. Kemudian orang lain
menginterpretasikan simbol-simbol itu dan mengarahkan
tingkah laku mereka berdasarkan interpretasi mereka. Dengan
kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor terlibat dalam
proses saling mempengaruhi. Dalam interaksi yang terjadi
antara etnis Dayak dan etnis Madura terdapat adanya interaksi
yang kurang baik, adanya pemaknaan simbol-simbol yang
berbeda, dimana etnis Dayak memiliki anggapan kurang baik
terhadap etnis Madura, begitupun sebaliknya sehingga
anggapan-anggapan negatif tersebut dapat memicu adanya
konflik. Dalam teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle dengan
merujuk pada karya Mac Iver, Znaniecky dan Parsons
1.

Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri
sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya
sebagai obyek.
2.
Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu.
3.
Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik,
prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok
untuk mencapai tujuan tersebut.
4.
Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh
kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya.
5.
Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap
tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kedua etnis antara etnis
Dayak dan etnis Madura merupakan tindakan yang muncul dari
dalam diri kelompok.

Lebih jauh lagi jika dilihat dari tipe tindakan sosialnya Weber
dalam paradigma definisi sosial. Dimana dalam teori ini
dimaksudkan bahwa tindakan sosial yang dimaksudkan Weber
dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada
orang lain. Atau merupakan tindakan perulangan dengan
sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa.
Weber juga mengemukakan lima ciri pokok penelitian sosiologi
yaitu
1.

Tindakan manusia, yang menurut sia ktor mengandung
makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2.
Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya
dan bersifat subyektif.
3.
Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi,
tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk
persetujuan secara diam-diam.
4.
Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada
beberapa individu.
5.
Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan
terarah kepada orang lain.
Selain daripada ciri-ciri tersebut tindakan sosial juga memiliki
ciri-ciri lain dimana tindakan sosial juga dapat dibedakan dari
sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada
waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang.
Apabila dilihat dari segi sasarannya, konflik yang terjadi di
Sampit merupakan konflik atau tindakan yang diarahkan
kepada beberapa individu atau masyarakat, dimana anggotaanggota kelompok saling melakukan aksi bunuh-membunuh
untuk mencapai tujuannya.
Sedangkan dalam sistem tindakan yang dikemukakan oleh
Talcott Parsons yang salah satunya adalah sistem budaya.
Dalam sistem ini, unit analisis yang paling mendasar ialah
tentang “arti” atau “sistem simbolik”. Misalnya dari sistemsistem simbolik meliputi kepercayaan religius, bahasa dan nilainilai. Dalam tingkatan ini Parsons memusatkan perhatiannya
pada nilai-nilai yang dihayati bersama. Konsep tentang

sosialisasi , misalnya mempunyai hubungan dengan tingkatan
analisa ini. Menurut dia, sosialisasi terjadi ketika nilai-nilai yang
dihayati bersama dalam masyarakat dinetralisir oleh anggotaanggota masyarakat itu. Dalam hal ini, anggota-anggota suatu
masyarakat membuat nilai-nilai masyarakat menjadi nilai-nilai
sendiri. Sosialisasi itu sendiri mempunyai kekuatan integratif
yang sangat tinggi dalam mepertahankan kontrol sosial dan
keutuhan masyarakat. Kedua etnis antara Dayak dan Madura
dalam sistem budayanya, mereka masih saling memegang
teguh aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh
anggota kelompoknya, dimana etnis Dayak dengan kehidupan
dan kebudayaan yang sangat kental, menjaga dan melestarikan
kebudayaan dan adat istiadat. Sistem Parsons berikutnya yaitu
sistem sosial. Kesatuan yang paling mendasar dalam analisa ini
adalah interaksi berdasarkan peran. Menurut Talcott Parsons,
sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di
dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak
terbatas dengan antara individu-individu melainkan juga
terdapat antara kelompok-kelompok, institusi-institusi,
masyarkat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional.
Dalam menangani kasus tersebut, Coser dalam teorinya yang
disebut sebagai Katup Penyelamat. Dimana ia menjelaskan
bahwa, katup penyelamat merupakan suatu mekanisme khusus
yang dipakai untuk mempertahankan dari kemungkinan konflik
sosial. Katup penyelamat membiarkan permusuhan tersalur
tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu
membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Di
sini, katup penyelamat digunakan untuk mengungkapkan rasa
tidak puas karena keberadaan etnis Madura serta kebijakankebijakan pemerintah. Katup penyelamat menyediakan sarana
lewat pihak yang berkonflik yaitu dengan mengungkapkan
keluhan mereka kepada sebuah lembaga. Dengan cara tersebut
memungkinkan terhindar dari konflik atau main hakim sendiri.


KESIMPULAN

Konflik antara etnis Sampit dan Etnis Madura merupakan konflik
yang didasari dari ketidaknyamanan etnis Dayak akibat dari
adanya para transmigran dari Madura yang oleh pemerintah
ditempatkan di pedalaman seperti hutan, hal ini mengakibatkan
keberadaan etnis Dayak terganggu, kebijakan-kebijakan
pemerintah juga menjadi pemicu konflik tersebut, yaitu
mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat, oleh
karena itu teori konflik dari beberapa tokoh dalam sosiologi
seperti Talcott Parsons dengan teorinya sistem budaya, Ralf
Dahrendrof yang menyebut konflik sebagai konflik dialektif,
dimana manusia memiliki dua wajah yaitu konflik dan
konsensus dan Max Weber dengan tindakan sosialnya yang
dapat digunakan dalam analisis ini.


SARAN
Sebaiknya dalam menangani kasus tersebut hukum yang ada di
Sampit, Kalimantan Tengah harus segera bertindak tegas dan
segera mengambil keputusan dalam pemecahan masalah yang
terjadi agar tidak terjadi konflik antar kedua etnis tersebut.

KONFLIK ANTAR AGAMA DI
LAMPUNG SELATAN
Konflik berdarah terjadi di Lampung Selatan. Sebanyak 14 orang tewas dalam bentrok
yang terjadi dalam kurun waktu tiga hari antara warga Desa Agom, Kecamatan
Kalianda dengan warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji.
Perang antar warga itu pertama kali terjadi Sabtu, 27 Oktober 2012, pukul 23.00 WIB.
Berbagai senjata tajam, termasuk senjata api rakitan digunakan untuk menyerang satu
sama lain.
Bentrokan itu bermula ketika dua orang gadis asal Desa Agom yang tengah
mengendarai sepeda motor diganggu oleh pemuda asal Desa Balinuraga hingga jatuh
dan luka-luka.
Kepala Desa Agom dan Balinuraga sebetulnya telah mengadakan perjanjian damai atas
kejadian tersebut. Namun, keluarga kedua gadis tidak terima. Mereka lantas
mendatangi Desa Balinuraga untuk menemui pemuda yang mengganggu itu.
Namun, saat tiba di Desa Balinuraga, keluarga dan beberapa warga Desa Agom
langsung diserang dengan senjata api. Akibatnya, satu orang tewas tertembus timah
panas.
Bentrokan kembali terjadi, Minggu 28 Oktober 2012 pukul 10.00 WIB. Pada bentrok kali
ini, jumlah korban lebih banyak. Enam orang tewas mengenaskan akibat dihajar

senjata tajam. Tak hanya menelan korban jiwa yang lebih banyak, bentrok kali ini
menghanguskan 6 rumah.
Polisi langsung berupaya mendamaikan kedua kubu. Tokoh masyarakat dari kedua
warga dipertemukan.
"Pihak kami telah melakukan upaya perdamaian sejak kemarin dengan menghadirkan
para tokoh adat. Pembicaraan upaya perdamaian terus dilakukan hingga hari ini,"
ungkap Kapolres Lampung Selatan, AKBP Tatar Nugroho di Lampung.
Upaya perdamaian ini dipimpin langsung oleh Kapolda Lampung. Selain itu, polisi juga
langsung mendatangi kelompok-kelompok warga untuk memberikan imbauan damai.
"Kami datangi kedua kampung agar warga tidak saling serang kembali," tutur Tatar.
Rupanya, pertemuan antar pemimpin kedua desa tidak berpengaruh. Aksi serang antar
warga kembali terjadi, Senin, 29 Oktober 2012, pukul 14.00 WIB.
Sekitar 1.000 aparat kepolisian dan TNI sudah dikerahkan ke lokasi. Namun, warga
yang jumlahnya ribuan itu, tak dapat ditangani hingga akhirnya warga berhasil masuk
ke Desa Balinuraga melalui jalan perkebunan dan persawahan.
Dalam aksi penyerangan ini 7 orang tewas. Kebanyakan korban tewas tergeletak di
areal perkebunan dan persawahan dengan kondisi tubuh rusak akibat dicabik-cabik.
Setelah beberapa jam kemudian, warga penyerang meninggalkan Desa Balinuraga
yang hancur lebur.
Total korban tewas sejak bentrok Sabtu hingga Selasa sebanyak 14 orang. Empat
orang dari Desa Agom dan 10 orang dari Desa Balinuraga. Belasan orang lainnya
mengalami luka-luka akibat senjata tajam.
Sebanyak 166 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa, 11
unit sepeda motor dibakar, 1 mobil minibus dan 2 mobil jeep dibakar, serta sebuah
gedung sekolah juga dibakar massa.
Ribuan orang mengungsi
Konflik antar warga di Lampung Selatan menyebabkan penderitaan bagi warga lainnya.
Ketakutan akan serangan balasan, menyebabkan ribuan orang takut keluar rumah.
Sejak Senin kemarin, ribuan warga Desa Agom terpaksa mengungsi untuk menghindari
serangan balasan dari warga Desa Balinuraga.

Kabid Humas Polda Lampung, AKBP Sulityaningsih, mengatakan, sebanyak 192 orang
diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling. Ribuan lainnya mengungsi ke
Mapolres Lampung Selatan.
Para pengungsi tersebut kebanyakan perempuan, orangtua dan anak-anak. Mereka
berduyun-duyun membawa bungkusan pakaian. Wajah-wajah mereka menunjukan rasa
cemas, takut akan keselamatannya.
Mereka kemudian menggelar tikar di sekitar Mapolres. "Kami dengar ada serangan
balasan, dan akan menyerang warga Kalianda juga, padahal jaraknya jauh dari lokasi
bentrokan. Saya takut dan langsung mengungsi ke Mapolres ini," ujar seorang warga,
Asih, sambil menggendong bayinya.
Selasa dinihari, 30 Oktober 2012, ratusan warga pria berjaga-jaga di jalanan Kota
Kalianda. Dengan memegang berbagai senjata tajam seperti, tombak, parang, dan
bambu runcing. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi isu adanya serangan balik
dari Desa Balinuraga.
Isu serangan balasan itu berhembus sejak Senin malam, dan membuat seluruh warga
Kota Kalianda yang juga ibukota Lampung Selatan, panik. Suara pengumuman agar
seluruh warga waspada berkumandang dari pengeras suara di masjid-masjid.
Kondisi di lapangan tampak lengang. Sebagian warga tidak berani keluar untuk
beraktivitas seperti biasa. Mereka memilih untuk tetap di dalam rumah. Sebagian lagi
masih bertahan di lokasi pengungsian. "Keluarga masih kami ungsikan. Takut ada
serangan balasan," kata seorang warga Desa Agom.
Persoalan sepele
Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo menyatakan, bentrok antarwarga yang terjadi di
Lampung Selatan sesungguhnya berawal dari masalah sepele.
Timur mengatakan, akar persoalan dapat dirunut "mulai dari kelompok yang
mengganggu kegiatan pemudi." Dua gadis asal Desa Agom yang mengendarai sepeda
motor diganggu oleh pemuda asal Desa Balinuraga hingga jatuh dan mengalami lukaluka.

"Masalah sepele ini mempengaruhi dan melatarbelakangi semua," kata Kapolri. Lalu
masalah itu kemudian berkembang dengan isu pelecehan seksual, hingga terjadi
bentrokan.
Oleh sebab itu Kapolri meminta tokoh-tokoh masyarakat Lampung, ulama setempat,
dan pemerintah daerah, bisa ikut meredam bentrok antarwarga di Lampung.
Kapolri mengakui peristiwa bentrok antarwarga di Lampung Selatan bukan terjadi kali
ini saja. "Ini sudah terjadi berkali-kali. Artinya kita harus lebih keras lagi, terutama dalam
membina dan mengelola wilayah itu. Masyarakat, tokoh, ulama, dan pemda harus
bersinergi," ujar Timur.
Oleh karena itu, Kapolri meminta kepala daerah berperan aktif dalam mengatasi konflik
yang terjadi di Lampung Selatan. "Tentu saja kami akan kedepankan pemerintah
daerah. Kami akan tegas demi hukum," kata Timur.
Bukan hanya di Lampung, konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia juga
harus diselesaikan secara bersama-sama. Penegak hukum dan pemerintah daerah.
"Tentu saja ada ciri khas masing-masing daerah. Ciri khas itulah yang harus
dikedepankan masyarakat untuk tindakan preventif," kata Kapolri.
Instruksi Presiden SBY
Peristiwa berdarah itu langsung disikapi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelum bertolak ke Inggris, untuk menghadiri pertemuan puncak The Asia-Europe
Meeting (ASEM). Presiden meminta segenap pemangku kepentingan turut bertanggung
jawab mengatasi aksi kekerasan horisontal yang terjadi di beberapa tempat di
Indonesia, termasuk di Lampung Selatan.
Dia minta tanggung jawab itu tidak hanya dibebankan kepada aparat kepolisian dan TNI
tetapi juga pemangku kepentingan lainnya.
"Saya menyerukan semua pihak harus ikut bertanggung jawab, semua pihak peduli,
semua pihak bekerja," kata SBY di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa 30
Oktober 2012.
Pencegahan optimal tidak bisa hanya diserahkan pada kepolisian dan TNI. "Jangan,

sekali lagi, hanya menyerahkan kepada aparat kepolisian dan komando teritorial TNI.
Hanya dengan cara itu kita bisa mencegah secara optimal dan efektif," kata SBY.
Pernyataan presiden itu kemudian diperjelas oleh Menteri Koordinator Bidang Politik
Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto. Djoko mengatakan, maksud presiden itu adalah
agar seluruh pemangku kepentingan seperti kepala daerah, tokoh masyarakat dan
masyarakat sipil ikut bersama-sama mencegah.
"Poinnya adalah jangan semua diserahkan kepada TNI dan Polri. Semua tokoh
masyarakat, pemda, gubernur, bupati, itu juga ikut dalam konteks itu," kata Djoko.
Kini, ratusan anggota polisi dari Polda Lampung, Brimob Polda Banten dan Sumsel
diterjunkan menuju lokasi. Sebanyak 700 anggota TNI juga dikerahkan untuk
mengamankan lokasi bentrokan

TUGAS PPKN KONFLIK

NAMA : DIKA FAJAR P
NOMOR:12
KELAS

:IXF